BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kesejahteraan psikologis adalah suatu kajian ilmu psikologi positif mengenai individu yang tidak hanya terhindar dari rasa sakit, tetapi dapat berfungsi secara optimal dalam
menjalani
kehidupannya.
Ryff
(1989)
mengungkapkan
pendekatan
multidimensional terhadap kesejahteraan psikologis yang terdiri atas enam dimensi, yaitu : penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, pengusaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Kesejahteraan psikologis didefinisikan sebagai sebuah keadaan dimana individu menerima keadaan dirinya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu membuat keputusan sendiri, mengusai lingkungan, memiliki tujuan hidup dan membuat kehidupannya bermakna serta mempunyai keinginan untuk terus tumbuh dan berkembang (Ryff dan Keyes, 1995). Harter, Schimdt, dan Keyes (2002) berpendapat bahwa pekerjaan merupakan bagian signifikan dalam kehidupan yang akan berpengaruh terhadap kesejahteraan individu. Individu yang telah bekerja banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan, hampir seperempat waktu dalam hidupnya digunakan untuk bekerja (Harter, Schmidt dan Keyes, 2002). Kesejahteraan yang dimiliki karyawan di dalam organisasi akan berpengaruh terhadap kesejahteraan karyawan sebagai individu secara keseluruhan dalam berbagai aspek kehidupan (Pawar, 2012). Oleh karena itu, kesejahteraan psikologis individu yang telah bekerja dipengaruhi oleh kesejahteraan yang diperoleh di tempat kerja. Kesejahteraan psikologis karyawan tidak hanya penting bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi organisasi. Terdapat banyak penelitian yang mengungapkan bahwa memiliki
1
2 karyawan yang sejahtera akan memberikan dampak yang positif bagi organisasi. Harter, Schmidt, dan Keyes (2002) mengungkapkan bahwa kesejahteraan psikologis karyawan berkaitan dengan produktivitas, pergantian karyawan (turn over), kesetiaan pelanggan (customer loyalty), dan keuntungan perusahaan. Spector menyatakan bahwa karyawan dengan kesejahteraan psikologis yang tinggi lebih kooperatif, lebih mudah menolong rekan kerjanya, tepat waktu dan efisien, jarang absen dan bertahan lebih lama di organisasi (dalam Hater, Schimdt dan Keyes, 2002). Tingkat kesejahteraan psikologis karyawan yang lebih baik dapat berguna untuk meningkatkan komitmen individu, produktivitas kerja, hubungan dengan rekan kerja, dan penguasaan lingkungan kerja (Horn, Taris, Schaufeli, & Schreurs, 2004). Selain itu Bassi, Bacher, Negri, dan Fave (2012) mengungkapkan bahwa kesejahteraan psikologis yang direpresentasikan dalam arti pekerjaan (job meaning) dapat secara baik dan stabil digunakan oleh organisasi sebagai sumber untuk memotivasi karyawan serta mendukung mereka dalam menghadapi stress dan tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan. Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap karyawan di Indonesia. Pada tahun 2012 Regus melakukan penelitian mengenai tingkat stres terhadap enam belas ribu pekerja profesional di seluruh dunia. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa 64 persen karyawan di Indonesia merasa bahwa tingkat stres mereka bertambah bila dibandingkan dengan tahun lalu (dikutip dalam okezone.com; Senin, 17 September 2012). Secara konsisten, stress ditemukan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah pada orang dewasa setengah baya (middle-aged adults) (Chang, Zurilla, dan Sanna, 2007). Sehingga semakin meningkatnya tingkat stres karyawan akan menurunkan tingkat kesejahteraan psikologis. Penilitian terhadap lebih dari 4.000 karyawan di Indonesia dilakukan oleh Kelly Global Workforce Index pada tahun 2012. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa
3 karyawan di Indonesia adalah karyawan yang paling aktif dalam mencari pekerjaan baru, hampir tiga perempat karyawan berencana untuk pindah ke posisi lain di tahun depan. Munculnya
keinginan
karyawan
untuk
berpindah
posisi
menunjukkan
adanya
ketidakpuasan karyawan terhadap pekerjaannya saat ini. Kepuasan kerja berhubungan secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis karyawan (Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008). Semakin rendahnya tingkat kepuasan karyawan akan pekerjaan maka akan menurunkan tingkat kesejahteraan psikologis karyawan. Slemp dan Vella-Brodrick (2013) menungkapkan bahwa kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan (need satisfaction) lebih kuat terkait dengan kesejahteraan psikologis daripada kebahagiaan. Tait, Padget, dan Baldwin (1989) mengatakan bahwa hubungan antara kepuasan kerja dan kesejahteraan psikologis adalah hubungan timbal balik (dalam Hadjam dan Nasiruddin, 2003). Dengan kata lain, selain kepuasan terhadap pekerjaan dapat mendukung terciptanya kesejahteraan psikologis, kesejahteraan psikologis juga dapat mendukung terciptanya rasa puas terhadap pekerjaan (Hadjam dan Nasiruddin, 2003). Pada tahun 2012 Accenture juga telah melakukan penelitian terhadap 3900 karyawan di 31 negara dan hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan pertama negara dengan tingkat kepuasan dan kebahagiaan karyawan terendah. Hanya 18 dari 100 karyawan di Indonesia yang menyatakan bahwa dirinya puas dan merasa bahagia di tempat kerja. Kebahagiaan memang tidak secara langsung terkait dengan kesejahteraan psikologis, tetapi hal terebut merupakan hasil lain yang akan didapat ketika individu menjalankan kehidupannya secara baik (Ryff & Singer, 1998). Oleh karena itu, semakin rendahnya tingkat kepuasan dan kebahagiaan karyawan di tempat maka akan menurunkan tingkat kesejahteraan psikologis karyawan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Accenture pada tahun 2012 juga terungkap bahwa dua dari tiga masalah yang sering dikeluhkan karyawan
4 sebagai
penyebab
ketidapuasan dan ketidakbahagiaan
di
tempat
kerja
adalah
pengembangan karir dan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dessler (2011) mendefinisikan pengembangan karir adalah serangkaian kegiatan yang berkontribusi terhadap pengembangan, pembangunan, kesuksesan dan pemenuhan karir individu. Sistem pengembangan karir adalah usaha yang direncanakan untuk mendapatkan keseimbangan antara kebutuhan karir individu dan kebijakan yang berlaku di organisasi (Bernardin dan Russell, 1998). Zulkarnain (2013) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara pengembangan karir dan kesejahteraan psikologis. Hubungan antara pengembangan karir dan kesejahteraan psikologis bergantung pada penilaian karyawan terhadap kesempatan mengembangan karir di organisasi (Zulkarnain, 2013). Burke, Burgess, dan Fallon (2006) berpendapat bahwa apabila karyawan melihat pengembangan karir yang diberikan oleh organisasi sebagai hal positif, maka kondisi tersebut akan meningkatkan kesejahteraan psikologis. Saat ini karyawan sudah tidak lagi menukar kesetiannya dengan pekerjaan yang aman, tetapi karyawan lebih menginginkan adanya kesempatan untuk mengembangkan potensi diri dan pengembangan karir. Rhoades dan Eisenberger (2002) berpendapat bahwa karyawan sudah tidak lagi bekerja hanya untuk mencari kebutuhan fisik semata, melainkan juga menuntut adanya peningkatan hal-hal non-materi sebagai manifestasi dari aktualisasi diri dalam bentuk pengembangan karir. Pengembangan karir merupakan bagian dari pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan oleh organisasi sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan loyalitas dan produktifitas karyawan. Cara pandang karyawan mengenai masa depannya di organisasi juga berpengaruh terhadap pilihan karyawan untuk tetap bertahan atau meninggalkan organisasi. Karyawan akan tetap bertahan ketika mereka merasa bahwa pekerjaan yang dirancang oleh organisasi berguna bagi jenjang karir karyawan. Melinda dan Zulkarnain (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa
5 karyawan bersedia untuk bekerja dan berupaya demi kesuksesan organisasi, namun ketersediaan tersebut hanya akan muncul dan berkembang ketika karyawan percaya bahwa kesuksesan organisasi juga merupakan kesuksesan bagi karir mereka. Selain pengembangan karir, dalam penelitiannya Accenture (2012) mengungkapkan bahwa keseimbangan kehidupan-kerja adalah masalah lain yang sering dikeluhkan karyawan sebagai penyebab rendahnya kepuasan dan kebahagiaan di tempat kerja. Keseimbangan kehidupan-kerja memang telah banyak diperbincangkan beberapa tahun belakangan ini sebagai akibat dari meningkatnya persaingan antar organisasi. Peningkatan persaingan membuat organisasi menuntut kinerja dan komitmen yang lebih tinggi dari karyawan. Peningkatan kinerja dan komitmen sering diterjemahkan dalam bentuk penambahan waktu dan tuntutan dalam pekerjaan, serta mengharapkan karyawan dapat lebih memprioritaskan pekerjaan dibandingkan kehidupan pribadi. Keseimbangan kehidupan-kerja adalah kemampuan individu dalam menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, tanpa mengorbankan salah satu diantaranya (Sao, 2012). Hudson (2010) mendefinisikan keseimbangan kehidupan-kerja sebagai tingkat kepuasan individu atas keterlibatan atau kesesuaian seluruh peran dalam kehidupan. Keseimbangan kehidupan-kerja umumnya dikaitkan dengan keseimbangan atau kemampuan mempertahankan harmoni kehidupan. Seiwert mengungkapkan empat dimensi penting keseimbangan kehidupan-kerja adalah kerja/prestasi, kontak/hubungan sosial, kesehatan/tubuh, dan kehidupan bermakna (dalam Gröpel, 2005) Wilkinson (2013) mengungkapkan adanya hubungan positif yang signifikan antara keseimbangan kehidupan kerja dan kesejahteraan psikologis. Subjek yang merasa kehidupan dan pekerjaannya lebih seimbang memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih positif. Ketidakseimbangan kehidupan-kerja adalah salah satu dari tiga belas faktor psikososial yang ditemukan berhubungan rendanya tingkat kesejahteraan karyawan
6 (Scutte, Chustang, Malard, Parent-Thirion, Vermeylen, dan Neidhermmer, 2014). Semakin tinggi tingkat keseimbangan kehidupan—kerja maka maka akan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Hubungan antara keseimbangan kehidupan kerja dengan kesejahteraan psikologis juga terungkap dalam jurnal “Analisis work-family conflict terhadap kesejahteraan psikologis pekerja” yang ditulis oleh Mayasari dan Zulkarnain (2013). Keseimbangan kehidupan kerja juga didefinisikan sebagai hubungan antara konflik dan fasilitas (Kalliath dan Brough, 2008). Oleh karena itu, adanya konflik antara pekerjaan dan keluarga akan berpengaruh terhadap keseimbangan kehidupan-kerja dan akhirnya ditemukan berhubungan dengan kesejahteraan psikologis. PT. X adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa layanan konstruksi umum sebagai bisnis utama. Jasa layanan konstruksi PT. X meliputi pembangunan gedung pencakar langit, jembatan dan jalan, bendungan dan irigasi, hydro electric, pembangkit listrik tenaga batu bara, dan lain-lain. Dalam PT. X terdapat beberapa karyawan yang secara khusus bekerja dalam pembangunan proyek pada bagian teknik dan administrasi. Karyawan proyek dituntut untuk dapat menyelesaikan proyek sesuai dengan waktu dan anggaran yang telah ditetapkan. Bekerja di proyek memang memberikan kesempatan karyawan untuk mendapatkan upah lebih karena terdapat beberapa tunjangan yang akan didapatkan ketika bekerja di proyek. Tetapi pekerjaan proyek memberikan tuntutan dan beban kerja yang lebih terhadap karyawan. Besarnya tuntutan dan beban kerja karyawan proyek seringkali menyebabkan karyawan untuk bekerja diluar jam kerja dan karyawan proyek juga tidak jarang bekerja pada lokasi yang berjauhan dengan keluarga. Oleh karena itu, karyawan proyek hanya memiliki sedikit waktu untuk melakukan kegiatan lain diluar pekerjaan dan hal tersebut kemungkinan dapat berdampak terhadap kesejahteraan psikologis karyawan.
7 Berdasarkan fakta-fakta yang telah diungkapkan di atas peneliti tertarik untuk meneliti persepsi tentang pengembangan karir dan keseimbangan kehidupan-kerja dengan kesejahteraan psikologis karyawan yang bekerja di proyek.
B. Tujuan Penelitian Penilitian ini bertujuan untuk : 1.
Menguji hubungan antara persepsi tentang pengembangan karir dan keseimbangan kehidupan-kerja dengan kesejahteraan psikologis karyawan.
2.
Mengetahui
sumbangan
efektif
persepsi
tentang
pengembangan
karir
dan
keseimbangan kehidupan-kerja terhadap kesejahteraan psikologis karyawan.
C. Manfaat Penilitian 1.
Memberikan landasan dan mendorong adanya penelitian lain mengenai kesejahteraan psikologis karyawan.
2.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi organisasi mengenai kebijakan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis karyawan. Selain itu, juga dapat digunakan oleh karyawan secara pribadi untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis.