BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1. Modernitas dan Permasalahannya Beberapa pemikiran yang berniat untuk mengkritik zaman modern dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni kritik filosofis dan estetis. Kedua macam kritik tersebut ternyata saling tumpang tindih. Menurut McCarthy (1987:viii), dobrakan melalui estetika dapat dilacak dari Schiller dan romantisisme sampai Nietzsche dan poststrukturalisme. Serangan lain juga dilancarkan melalui seni Avant-Garde yang hendak menghadirkan pengalaman radikal (pembebasan dari kekangan nilai moral, agama dan pengetahuan ilmiah) untuk mendobrak egosentrisme, objektivime dan subjek rasional. Sedangkan kritik filosofis dapat ditunjukkan melalui para pemikir poststukturalis seperti Foucault dan Derrida. Dua jenis kritik tersebut berlanjut sampai era kontemporer, yang dapat direpresentasikan oleh dua filsuf, Jürgen Habermas dan Jean-François Lyotard. Pemahaman perihal modernitas bisa dijelaskan melalui Descartes, Kant dan Hegel. Habermas menjelaskan bahwa persoalan modernitas adalah tentang transformasi masyarakat Eropa. Habermas, melalui pemikiran Immanuel Kant, menjelaskan konsep modernitas, bahwa pencerahan, sebagai cikal bakal era modern, merupakan keberanian untuk berfikir sendiri dengan menggunakan rasio. Semboyannya yang terkenal adalah Sapere Aude! (Dare to know). “Pencerahan itu sampai pada penemuan bahwa kedaulatan manusia terdapat pada kemampuannya sendiri. Melalui pengetahuannya,
1
manusia berambisi untuk menghancurkan mitos irasional yang menyelubungi alam dengan misterinya (Hardiman, F.B., 2009:67)”.
Kant mengandaikan bahwa pengetahuan manusia bersifat ahistoris, lepas dari konteks
historis,
artinya
subjek
menjadi
otonom
dalam
mendapatkan
pengetahuan, tidak tergantung pada sesuatu di luar dirinya. Pemahaman perihal subjek rasional yang otonom ini senada dengan yang diungkapkan oleh Descartes perihal rasionalisme, bahwa pengetahuan yang murni dan pasti (clear and distinct) hanya mungkin didapatkan melalui rasio, yang mengatasi pengamatan empiris yang dinamis dan tidak tetap. Rasionalisme tersebut menganggap pengetahuan bersifat apriori, transendental, objektif dan universal. Dalam hal ini, epistemologi hendak melestarikan tradisi prima philosophia (filsafat pertama)1. Habermas kemudian juga menjelaskan konsep modernitas menurut Hegel yang mengkritik para pendahulunya, Descartes dan Kant. Modernitas menurut Hegel adalah berdasarkan pada prinsip subjektivitas. Habermas dalam The Philosopphical Discourse of Modernity menyatakan perihal subjektivitas Hegel, yakni “The only source of normativity that presents itself is the principle of subjectivity from which the very time-consciousness of modernity arose (Habermas, J., 1987:41). Prinsip subjektivitas menganggap bahwa hakikat manusia adalah individu yang otonom yang bebas dari segala bentuk kuasa eksternal/dari luar diri. Dengan kata lain, subjektivitas mensyaratkan diri
1 Filsafat pertama, menurut Hardiman (:2009124), adalah filsafat yang bersifat umum yang merefleksikan filsafat khusus seperti etika, estetika atau kosmologi. Dalam tradisi filsafat, yang disebut sebagai filsafat pertama adalah metafisika atau ontologi. Dalam hal ini, filsafat merupakan pemikiran yang pasti, total dan universal yang sanggup menjawab segala permasalahan realitas.
2
menciptakan normativitasnya sendiri, artinya aturan dan nilai disadari sebagai sesuatu yang rasional, yang dipatuhi berdasarkan kehendak dan kemauan sendiri. The modern state has enormous strength and depth, in that it allows the principle of subjectivity to complete itself to an independent extreme of personal particularity, and yet at the same time brings it back into the substantive unity, and thus preserves particularity in the principle of the state (Hegel, G.W.F., 2001:199)”. Dalam negara modern prinsip subjektivitas berkembang sampai titik ekstrim atau kebebasan yang paling partikular, namun sekaligus ia menariknya ke kesatuan substansial, sehingga kesatuan (negara) merupakan jalinan partikularitas antarindividu yang bersifat subjektif. Berbeda dengan Descartes dan Kant, kesadaran subjek, menurut Hegel, merupakan proses pembentukan diri. Pengetahuan subjek didapatkan dari refleksinya atas sejarah pembentukan dirinya. Dalam hal ini, Hegel menjelaskan pemikirannya dengan menggunakan pendekatan fenomenologi (pengalaman kesadaran atau pengalaman refleksi) yang sadar terhadap asal-usulnya dan dijadikan sebagai titik tolaknya. Menurut Hardiman (2009:128), proses pembentukan diri kesadaran berawal dari bentuk kesadaran elementer ke bentuk kesadaran sosial dalam sejarah umat manusia:hukum dan moral dan berakhir pada pengetahuan absolut. Hal yang menjadi titik tekan Habermas dari persoalan modernitas, yang diungkapkannya melalui Descartes, Kant dan Hegel adalah pertama, rasio yang berpusat pada subjek (subject-centered reason), kedua rasionalisme subjektif (subjectivistic rationalism) sebagai konsep rasio yang otonom, ketiga konsep
3
manusia dalam ruang lingkup humanisme barat. Ketiga hal tersebut yang menjadi target kritik Habermas tentang modernitas. Fokus habermas adalah rekonstruksi rasio di zaman modern yang menimbulkan beberapa permasalahan seperti universalitas, ideologi dan logosentrisme. Rasio yang berpusat pada subjek hendak direkonstruksi oleh Habermas dengan rasio komunikatif. Bernstein (1989:111) menjelaskan bahwa subject-centered reason adalah rasio transendental subjek, dengan kata lain, ia merupakan rasio refleksif dari filsafat kesadaran2. Habermas merekonstruksinya melalui tiga lapis. Pertama secara sosiologis, ia mereformasi rasio dan masyarakat di zaman modern menjadi dunia kehidupan masyarakat yang terbentuk secara intersubjektif. Kedua, rasio komunikatif digunakan sebagai kekuatan integrasi sosial dalam mengatasi kecenderungan krisis ekonomi, dan sistem. Ketiga, rasio komunikatif adalah prasyarat pembentukan norma yang mensyaratkan interaksi partisipan untuk kemudian bertanggungjawab terhadap klaim kesahihan yang diarahkan untuk kesadaran intersubjektif. Fokus kedua yakni pada rasionalisme subjektif. Di sinilah kemudian estetika sebagai kritik mulai memainkan perannya. McCarthy (1987:viii) menjelaskan bahwa estetika merupakan unsur dalam wacana filosofis tentang modernitas (kritik modernitas) yang memusatkan kritiknya pada rasionalisme subjektif. Rasionalisme subjektif merupakan rasio otonom yang dikemukakan oleh Descartes dan Kant. Kritik dilancarkan untuk merekonstruksi segala produk
2 Filsafat kesadaran, menurut Hardiman (2009:9), adalah segala bentuk menempatkan kenyataan (alam atau masyarakat) sebagai objek. Paradigma ini mempunyai kecenderungan objektivisme dan positivisme
4
yang dihasilkan oleh rasionalisme subjektif seperti norma, sistem sosial maupun kultural, bahwa segala produk tersebut memuat kepentingan, kuasa dan nilai tertentu yang sarat akan penindasan dan penderitaan, bahwa sesuatu yang nampak objektif adalah merupakan konstruksi manusia yang memiliki kepentingan tertentu yakni dominasi. Salah satu produk kebudayaan masyarakat borjuis di era modern adalah estetika dan karya seni. Habermas hendak mengintegrasikan pengetahuan teoritis, praktis dan estetis berdasarkan pada prinsip tindakan komunikasi, artinya estetika kemudian diintegrasikan dengan sains, norma dan hukum sosial serta politik. Seni, menurut Habermas, juga memiliki nilai praksis yang berperan dalam mengungkap selubung ideologi yang merupakan hasil dari proses sejarah represi dan penderitaan. Seni juga bersifat politis, maka dari itu Habermas mendukung seni Avant-Garde. Fokus Habermas berikutnya adalah mengkritik konsep manusia dalam ruang lingkup humanisme Barat, bahwa kesadaran manusia bukan lagi bersifat transendental, namun ia bersifat historis atau menyejarah. Kesadaran subjek merupakan hasil konstruksi sejarah penindasan, maka dari itu ia harus membebaskan dirinya dari represi melalui rasio kritis, yakni rasio yang bersifat reflektif terhadap dirinya sendiri, sekaligus praksis yang terwujud dalam kerja dan komunikasi. Dengan mewujudkan kerja instrumental (penguasaan teknis atas alam) dan komunikasi bebas dominasi dalam hubungan sosial, maka manusia dapat membebaskan dirinya dari kendala alam dan kekuasaan sosial. Habermas juga mengutarakan sikap dasar ekspresif yang memandang dunia secara estetis. Sikap ini secara subjektif mewujud dalam proses kreatif, secara sosial mewujud
5
dalam presentasi diri, dan secara objektif mewujud dalam seni, ia merupakan sebuah klaim kejujuran tentang interpretasi aktor sosial. Sikap dasar ekspresif nantinya akan menghasilkan rasionalitas praktis estetis, yang jika dihubungkan dengan sistem tindakan akan mewujud dalam erotisisme dan seni. Pemiskinan rasionalitas barat adalah karena subjek memandang kenyataan (alam dan masyarakat) secara instrumental saja. Sikap dasar ekspresif ini diperlukan serta dirasionalisasikan untuk menyeimbangkan rasionalisasi sikap objektivikasi yang menghasilkan sains berdasarkan rasionalitas instrumental, dan sikap penyesuaiannorma yang menghasilkan hukum dan norma. Filsuf yang bertolak belakang dengan Habermas perihal modernitas adalah Jean-François
Lyotard.
Jika
permasalahan
modernitas,
Habermas
maka
Lyotard
mengkritik mengkritik
lalu
merekonstruksi
kemudian
berniat
meninggalkan segala proyek era modern untuk kemudian masuk pada zaman baru yang disebutnya dengan postmodern. Menurut Rorty (1984:32-33), Habermas menyebut para pemikir yang menolak segala pendekatan teoretis terhadap modernitas sebagai neoconservative, yakni mereka yang menolak gagasan yang telah digunakan untuk melegitimasi berbagai reformasi yang menandai sejarah demokrasi Barat sejak pencerahan serta gagasan yang sedang digunakan untuk mengkritik isntitusi sosial dan ekonomi dalam sistem liberal dan komunis. Mereka juga gagal memahami hubungan antara budaya modernitas dan modernisasi sosial. Modernisasi sosial merupakan modernisasi ekonomi dan sosial dengan cara produksi kapitalisme sedangkan budaya modernitas adalah pembedaan nilai-nilai kultural seperti ilmu pengetahuan, moralitas dan seni.
6
Lyotard, seperti halnya para konservatif lainnya, banyak menaruh perhatian pada budaya modernitas dan mengesampingkan persoalan sosial dan ekonomi yang juga mempengaruhi permasalahan modernitas. Lyotard sebenarnya hendak mengkritik proyek modernitas, khususnya dari pemikiran Habermas, dan semua implikasinya seperti filsafat, politik dan estetik. Kritik Lyotard, dalam The Postmodern Condition (1984), dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama kritik terhadap legitimasi pengetahuan, dan kedua kritik terhadap seni. Sebelum menjelaskan ketiga hal tersebut, hendaknya memahami dulu maksud Lyotard perihal istilah modern. “I will use the term modern to designate any science that legitimates itself with reference to a metadiscourse of this kind making an explicit appeal to some grand narrative, such as the dialectics of Spirit, the hermeneutics of meaning, the emancipation of the rational or working subject, or the creation of wealth (Lyotard, J.F., 1984: xxiii)”. Istilah modern digunakan Lyotard untuk merujuk pada ilmu pengetahuan yang melegitimasi dirinya melalui metanarasi, atau kemudian disebutnya dengan narasi besar seperti dialektika roh (Hegel), hermeneutika makna (Dilthey) dan emansipasi
(Habermas).
Lyotard
kemudian
secara
sederhana
menyebut
postmodern sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi tersebut, karena pengetahuan berdasarkan metanarasi telah menghasilkan teror, yakni pengetahuan yang diinstitusionalisasikan untuk melayani kapital dan Negara. Lyotard, menurut Rorty (1984:34), membedakan antara ilmu pengetahuan dan pengetahuan naratif. Ilmu pengetahuan adalah sekelompok penyataan yang mematuhi kondisi yang disyaratkan oleh aturan ilmiah, sedangkan pengetahuan naratif tidak memberikan prioritas pada legitimasinya sendiri dan membebaskan
7
dirinya melalui penyebaran pragmatik tanpa dukungan argumentasi dan bukti. Dalam kondisi masyarakat sekarang, dengan adanya pengaruh industri pada riset, dan perkembangan teknologi, kondisi ilmu pengetahuan ditentukan dari seberapa bagus kegunaannya. Tujuan kebenaran dalam ilmu pengetahuan kemudian ditaruh pada arena pragmatik, manfaat dan performativitasnya dalam melayani modal dan Negara. Riset ilmiah telah mengalami komodifikasi, yang tujuannya bukan lagi untuk mendapatkan kebenaran sahih, tetapi untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Masyarakat kontemporer, menurut Lyotard, adalah masyarakat yang terkomputerisasi (computerized society), yang kemudian mempengaruhi kondisi atau status pengetahuan. Menurut Kristanto (2002:5), perkembangan teknologi informasi telah membawa dampak serius bagi pengetahuan khususnya pengetahuan ilmiah atau sains. Pengembangan sains melalui riset dan transmisinya mengandaikan bahwa pengetahuan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa komputer menjadi sejumlah informasi. Akibatanya, pengetahuan sudah tidak lagi menjadi tujuan pada dirinya sendiri tetapi menjadi komoditas untuk diperdagangkan. Hubungan antarpemasok dan pengguna pengetahuan terhadap pengetahuan itu sendiri cenderung seperti relasi antara produsen dengan konsumen terhadap komoditas. Perubahan kondisi pengetahuan tersebut berdampak pada legitimasi ilmu pengetahuan ilmiah atau sains. Legislator pengetahuan ilmiah adalah para ilmuwan atau komunitas ilmiah yang menentukan sejumlah persyaratan tertentu yang harus dipatuhi pengetahuan untuk menjadi ilmiah. Dengan begitu maka persoalan legitimasi berkaitan dengan perkara
8
kekuasaan. Oleh sebab itu pertanyaan perihal pengetahuan merupakan pertanyaan mengenai kekuasaan. “who decides what knowledge is. and who knows what needs to be decided? In the computer age, rhe question of knowledge is now more than ever a question of government (Lyotard, J.F., 1984:9)”. Pengetahuan ilmiah mendapatkan legitimasinya melalui narasi-narasi besar seperti dialektika Roh (Hegel) dan emansipasi (Habermas). Sains yang mendapatkan legitimasi melalui wacana Roh menyatakan bahwa pengetahuan hanya absah sebagai pengetahuan ilmiah jika dihasilkan demi pengetahuan itu sendiri, ia bersifat objektif dan benar secara universal. Sains juga diarahkan untuk pembentukan moral dan karakter bangsa. Narasi Roh telah gugur karena erosi internal yakni nihilisme, artinya pengetahuan ini mereduplikasi dirinya dengan mengutip pernyataan pertama yang berfungsi melegitimasi pernyataan kedua, sedangkan pernyataan pertama didapatkan melalui pengandaian. Contoh sebuah pernyataan spekulatif, “sebuah pernyataan ilmiah adalah suatu pengetahuan jika ia menempatkan dirinya dalam suatu proses engendering (penyebaban) yang universal (Kristanto, 2002:14-15)”. Itu adalah pernyataan kedua, pernyataan pertama adalah pengandaian bahwa proses penyebaban atau The Life of Spirit itu memang ada. Narasi Roh juga mengalami erosi eksternal yang ditunjukkan melalui peristiwa Auschwitz, yakni pembantaian enam juta orang Yahudi. Kejadian tersebut telah menghancurkan pengertian rasionalitas, bahwa, menurut Hegel, segala sesuatu, kenyataan, adalah perwujudan dari Ide, suatu unsur rasional telah gugur karena peristiwa Auschwitz yang merupakan kenyataan yang menunjukkan irasionalitas. Dengan begitu proyek totalisasi ala Hegel telah
9
runtuh. Narasi kedua adalah emansipasi (Habermas). Legitimasi sains terletak pada otonomi subjek yang terlibat dalam praksis etis, sosial dan politis. Narasi besar tersebut mengalami erosi internal karena persoalan pernyataan denotatif (bernilai kognitif) dan preskriptif (bernilai praktis). Tidak ada justifikasi bahwa pernyataan denotatif mampu mendeskripsikan realita secara benar, begitu juga dengan pernyataan preskriptif yang didasarkan pada pernyataan denotatif mampu menghasilkan keadilan. Permainan bahasa sains yang denotatif tidak memiliki kompetensi untuk menilai atau melegitimasi permainan bahasa praksis yang preskriptif. Erosi eksternal dari narasi besar emansipasi adalah karena tumbangnya sosialisme komunis dan ekonomi liberal yang ditunjukkan melalui krisis ekonomi tahun 1911 dan 1929. Setelah dua narasi besar, Roh dan emansipasi, telah gugur pengetahuan ilmiah
mendapatkan
legitimasi
melalui
kriteria
performatifitas,
artinya
pengetahuan terkait erat dengan teknologi. Sains jenis ini, menurut Lyotard, disebut dengan the positive philosophy of efficiency/sains positifistik yang mengasumsikan bahwa alam semesta mengikuti pola dan hukum yang stabil. Pengetahuan tersebut membutuhkan teknologi untuk pembuktiannya, akibatnya riset dan pembuktian mengikuti prinsip teknologi, yakni performatifitas. Oleh sebab itu tujuan pengetahuan bukan lagi kebenaran objektif melainkan performatifitas. Tunduknya riset dan transmisinya pada teknologi telah membuat penelitian dan institusi pendidikan berorientasi pada kekuasaan, bahwa yang dapat mendanai riset adalah pihak yang memiliki kekuasaan (modal).
10
Berdasarkan permasalahan pengetahuan dalam abad modern tersebut, Lyotard membentuk suatu paradigma baru yakni postmodern, paradigma yang menekankan ketidakpastian, ketidakstabilan, paradoks dan disensus atau paralogi. Lyotard mengandaikan bahwa pengetahuan adalah permainan bahasa dan sains merupakan
salah
satunya.
Pengetahuan,
dalam
paradigma
postmodern,
dilegitimasi oleh paralogi, yakni “…is a move (the importance of which is often not recognized until later) played in the pragmatics of knowledge (Lyotard, J.F., 1984:61)”. Lebih jelasnya, menurut Sugiharto (2012:59), paralogi adalah semacam gerakan meruntuhkan sesuatu yang sudah mapan, bisa dikatakan sesuatu yang bersifat mutlak dan absolut, dengan cara mengakomodasi pluralitas legitimasi (kebenaran) dan melakukan percobaan-percobaan baru secara berkelanjutan. Artinya, paralogi berfungsi untuk memproduksi ide-ide baru yang berbeda dari norma yang sudah mapan, ia bergerak dalam permainan bahasa, mengubah aturan permainan bahasa dan menghasilkan permainan bahasa baru. Setiap permainan bahasa memiliki aturan dan wilayah sendiri dalam pemakaiannya. Pengetahuan ilmiah atau sains hanyalah salah satu permainan bahasa, ia tidak dapat menggunakan standar atau ukurannya untuk menilai, mengevaluasi atau menerjemahkan permainan bahasa lain. Paralogi memungkinkan munculnya cerita-cerita baru, tersembunyi dan dilupakan. Sesuatu yang memungkinkan pemunculan atau pelahiran pluralitas narasi-narasi tersebut antara lain adalah melalui estetika, baik perihal bahasa maupun seni. Estetika postmodern dalam karya seni, menurut Lyotard, memungkinkan untuk mempresentasikan yang tak terpresentasikan. Dari sini
11
kemudian, Lyotard mengangkat persoalan estetika sebagai kritik terhadap modernitas. Seperti halnya pengetahuan, karya seni juga mendapatkan pengaruh dari kapitalisme, politik dan teknologi. Menurut Yulianto (2005:131-132), karya seni bukan lagi ekspresi bebas tetapi menjadi komoditas pasar. Karya seni ditunggangi oleh kepentingan kapitalis dan politis. Estetika dijauhkan dari realitas partikular dan heterogen. Lyotard menyebut gejala ini sebagai realitas yang kurang atau hilang (lack of reality). Estetika modern dan postmodern mempunyai persamaan, yakni keduanya adalah estetika sublim, dan keduanya memaknai estetika sebagai sebuah pengalaman. Perbedaannya, menurut Lyotard (1984:81), estetika modern adalah estetika sublim tetapi jenisnya nostalgia, artinya ia memanggil kembali pengalaman estetis masa pra modern. Ia mempresentasikan yang tak terpresentasikan sebagai realitas yang hilang atau kurang, namun bentuknya hanya menawarkan kesenangan dan hiburan bagi audiens. Sedangkan estetika postmodern mengemukakan yang tak terpresentasikan dalam wujudnya sendiri, yang tidak memberikan hiburan dan kesenangan dalam bentuk baiknya. Ia selalu mencari wujud-wujud barunya bukan untuk dinikmati tetapi untuk memberikan rasa yang lebih kuat atas yang tak terpresentasikan. Perasaan tersebut menurut Lyotard (dengan mengadopsi istilah dari Kant) disebut dengan sublim, yakni peleburan perasaan kesenangan dan ketaknyamanan. Melalui estetika, Lyotard hendak menolak aturan-aturan seni yang mapan, termasuk kriteria penilaian seni. Estetika dominan di era modern berpusat pada rasionalisme dan formalisme yang digunakan sebagai acuan dalam menilai karya
12
seni. Hal ini telah memerangkap kompleksitas dan heterogenitas realitas yang menjadi pijakan karya seni. Melalui estetika postmodern, Lyotard (1984:82) mendeklarasikan perang terhadap totalitas dan determinisme yang didengungkan oleh modernitas dengan selalu menciptakan bentuk-bentuk baru karya seni, memberikan perasaan sublim dan menghidupkan perbedaan-perbedaan. Latar belakang permasalahan di atas membuat perlunya pembahasan perihal estetika yang digunakan oleh Lyotard dan Habermas sebagai kritik sekaligus solusi filosofis terhadap permasalahan modernitas. Oleh sebab itu, alasan mengangkat judul Estetika sebagai Kritik atas Modernitas: Komparasi Pemikiran antara Jean-François Lyotard dan Jürgen Habermas antara lain yakni, pertama, permasalahan modernitas telah menghasilkan pemiskinan rasio yang hanya bersifat instrumental dan totalitas serta determinisme pengetahuan. Maka dari itu, perlu menelisik kritik filosofis dan estetis dari kedua filsuf kontemporer, Habermas dan Lyotard dalam usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kedua, pemilihan tokoh Lyotard dan Habermas dalam pembahasan perihal estetika adalah kedua tokoh ini mempresentasikan sikap pesimistik (postmodern) dan optimistik (modern) terhadap proyek modernitas. Kritik Habermas dimaksudkan untuk merekonstruksi modernitas, sedangkan kritik Lyotard dimaksudkan untuk meninggalkan proyek modernitas, dan memulai era baru yakni postmodern. Ketiga, di era kontemporer, diskursus estetika penting untuk dibahas mengingat gencarnya serangan atau pengaruh kapitalisme dan teknologi terhadap produksi karya-karya seni yang mengakibatkan industrialisasi karya dan munculnya seni populer.
13
2. Rumusan Masalah 1. Apa permasalahan modernitas yang ditanggapi oleh Habermas dan Lyotard melalui estetika? 2. Apa pemikiran Habermas dan Lyotard perihal estetika sebagai kritik terhadap modernitas? 3. Bagaimana
pemikiran
Habermas
dan
Lyotard
perihal
estetika
mendapatkan titik temu dan persilangannya? 4. Bagaimana pembahasan estetika dari Habermas dan Lyotard berkontribusi dalam persoalan budaya dan seni di era kontemporer?
3. Keaslian Penelitian Riset perihal pemikiran tokoh Jean-François Lyotard sudah pernah dilakukan sebelumnya, salah satunya yakni tesis Fahmi Sallatalohy berjudul Delegitimasi Pengetahuan dalam Postmodern Menurut Jean-François Lyotard. Tesis tersebut membahas tentang kritik Lyotard terhadap fenomena di zaman modern yang cenderung melegitimasikan kebenaran sains secara universal. Lyotard kemudian menegaskan adanya delegitimasi pengetahuan, yang berusaha mengganggap kebenaran layaknya bahasa pragmatik, yang bersifat plural dan setiap bahasa menganduung aturannya masing-masing. Fahmi membahas pemikiran Lyotard tersebut dalam tinjauan epistemologi dan kemudian menghubungkannya dengan epistemologi pengetahuan di era postmodern. Penelitian Fahmi berbeda dengan penelitian ini, karena tesis tersebut cenderung membahas tentang epistemologi atau filsafat pengetahuan, sedangkan tesis ini
14
membahas perihal estetika dalam pemikiran Habermas dan Lyotard dilihat dari sudut pandang postmodern, atau estetika sebagai kritik terhadap modernitas. Fahmi melihat keterkaitan antara pemikiran Lyotard perihal delegitimasi pengetahuan dengan era postmodern, sedangkan penelitian ini melihat keterkaitan antara pemikiran estetika Habermas dan Lyotard dengan budaya kontemporer di era postmodern dan kapitalisme lanjut. Penelitian berikutnya tentang tokoh Lyotard dilakukan oleh Robby Habiba Abror, dengan judul Pengaruh Seni Terhadap Politik Menurut Jean-François Lyotard. Tesis tersebut membahas tentang pandangan Lyotard perihal seni yang memiliki daya energetik untuk mencapai sublimitas (yang tak terpresentasikan). Oleh sebab kemampuan itu, seni kemudian mampu memancarkan visi dan tidak kompromistik terhadap ketidakadilan politik. Seni memiliki potensi perlawanan terhadap sesuatu yang bersifat universal dan menuntut adanya pluralitas, dalam konteks politik, yakni hendak mewujudkan keadilan yang berkeserbaragaman. Penelitian Robby membahas keterkaitan pandangan Lyotard peihal seni dengan politik, sedangkan tesis ini mengupas pemikiran Lyotard dan Habermas perihal estetika dalam hubungannya dengan budaya kontemporer. Penelitian ini juga tidak membahas tentang politik namun memfokuskan perhatian kepada budaya. Tesis selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini adalah riset yang dilakukan oleh Abdul Jabpar berjudul Gagasan Demokrasi Deliberatif: Sebuah Telaah tentang Filsafat Politik Jürgen Habermas. Pembahasan karya tersebut adalah seputar ide Habermas perihal demokrasi deliberatif yang mensyaratkan kebijakan-kebijakan publik mesti diuji terlebih dahulu melalui
15
konsultasi publik dengan menciptakan ruang publik yang efektif. Perbedaan penelitian Abdul Jabpar dengan penelitian ini adalah terletak pada fokus kajian, atau perihal objek formal. Penelitian Abdul Jabpar, objek formalnya adalah filsafat politik, sedangkan penelitian ini menggunakan objek formal epistemologi postmodern, sehingga pembahasannya juga berbeda. Tesis Abdul Japbar memfokuskan perhatian pada pemikiran Habermas tentang politik, sedangkan penelitian ini mengarahkan pembahasan perihal estetika dalam pemikiran Habermas dan Lyotard sebagai kritik atas modernitas. Tesis tentang Habermas selanjutnya adalah karya Arinto Nurcahyo berjudul Diskursus tentang Modernitas antara Jürgen Habermas dan Michel Foucault:Suatu Tinjauan Epistemologi. Penelitian tersebut menggunakan metode yang sama dengan penelitian ini yakni metode komparasi antara dua tokoh dalam membahas tentang suatu kasus. Penelitian Arinto Nurcahyo mengkomparasikan pemikiran Habermas dan Foucault tentang modernitas, sedangkan penelitian ini membandingkan pemikiran Habermas dan Lyotard perihal estetika dalam memandang budaya masyarakat. Tinjauannya sama yakni kritik terhadap modernitas, perbedaannya terletak pada objek material. Arinto Nurcahyo menggunakan diskursus pengetahuan sebagai kritik terhadap modernitas, sedangkan penelitian ini menggunakan estetika sebagai kritik terhadap modernitas.
16
4. Manfaat Penelitian 1. Bagi, para intelektual, khususnya yang berkecimpung di bidang filsafat dan seni, penelitian ini berguna untuk pengembangan pemikiran perihal kritik terhadap modernitas yang berkaitan dengan estetika dan karya seni dalam memandang persoalan kebudayaan kontemporer. 2. Penelitian ini juga bermanfaat bagi para seniman, sastrawan maupun kritikus seni dan sastra dalam proses kreatif maupun pengembangan kritik konstruktif dan ilmiah perihal suatu karya, serta bersikap kritis terhadap norma dan aturan yang deterministik tentang estetika dan kebudayaan. 3. Untuk masyarakat umum, penelitian ini bermanfaat memberikan pandangan perihal kondisi zaman sekarang dan menawarkan solusi dan landasan dalam bersikap dan berperilaku dalam menghadapi persoalan kebudayaan kontemporer.
B. Tujuan Penelitian 1. Menjelaskan secara sistematis dan objektif pemikiran Habermas dan Lyotard perihal estetika 2. Mengungkap landasan filosofis perihal estetika sebagai kritik atas modernitas dalam pemikiran Habermas dan Lyotard 3. Mengkaji pemikiran Habermas dan Lyotard tentang estetika secara kritis, yakni menemukan perbedaan, persamaan sekaligus titik temu pemikiran mereka.
17
4. Mengkontekstualisasikan pemikiran Habermas dan Lyotard ke dalam kondisi zaman sekarang, secara khusus mengaitkan pemikiran tersebut dengan permasalahan kebudayaan dan seni kontemporer.
C. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustakan berisi uraian kutipan-kutipan yang menjadi pendukung tema yang diteliti. Dalam penelitian ini, uraian kutipan terbagi menjadi tiga, yakni pertama kutipan perihal estetika berbasis rasio dan sublim, kedua tentang pemikiran Habermas dan Lyotard perihal estetika sebagai kritik terhadap modernitas, ketiga perihal kebudayaan dan seni kontemporer. Pertama adalah pembahasan estetika berbasis rasio. Kecenderungan pemikiran di era modern adalah rasionalisme yang dipelopori oleh Descartes, yang mengandaikan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio dan terlepas dari pengamatan inderawi. Pengetahuan model rasionalisme didapatkan melalui penetapan forma rasio terhadap objek realitas. Rasionalisme kemudian juga mempengaruhi bidang estetika. Pengaruh rasionalisme terlihat dari pemikiran Baumgarten perihal estetika. Baumgarten membedakan dua macam pengetahuan yakni intellectual knowledge dan sensory knowledge. Menurut Verhaak dan Sutrisno (1993:45-46), estetika dalam pemikiran Baumgarten termasuk dalam bidang inderawi yang bersifat clear and confused ideas. Ia menjelaskan estetika sebagai bagian dari psikologi empiris yang membicarakan inferior faculty, yakni kemampuan untuk pengamatan, pengalaman dan pengenalan yang bersifat inderawi. Ia memeriksa syarat-syarat yang diperlukan agar kemampuan inderawi
18
berguna demi tercapainya pengetahuan berdasarkan rasio. Estetika model rasionalisme ini telah menghasilkan seni otonom yang eksis dalam budaya borjuis. Seni otonom menganggap bahwa seni memiliki aturan dan hukum sendiri dan nilai estetik tidak merujuk pada nilai sosial maupun politik. Habermas mendasarkan estetika pada prinsip emansipatoris. Oleh sebab itu seni seharusnya memiliki nilai praksis untuk mengungkap selubung ideologi yang merupakan hasil dari proses sejarah represi dan penderitaan. Seni bersifat politis, maka dari itu Habermas mendukung seni Avant-Garde. Pemikiran estetika kemudian berubah dari penilaian estetis menjadi pengalaman estetis. Habermas, dalam The Theory of Communicative Action Volume 2, Lifeworld and System:A Critique of Functionalist Reason, mengandaikan estetika sebagai pengalaman estetis yang kemudian dihubungkan dengan bidang-bidang lain seperti politik dan sosial. Estetika postmodern berbasis pada pemaknaan atas pengalaman, artinya estetika, sebagaimana bentuk pengetahuan lain, diandaikan sebagai permainan bahasa yang memiliki wilayah dan aturan sendiri dalam hal pemakaiannya. Pendekatan pragmatik dalam pengetahuan mensyaratkan adanya sender, referent dan adreeser. Lyotard (1984:9-10), dalam The Postmodern Condition, mencontohkan beberapa model pragmatik dalam permainan bahasa yakni pernyataan denotatif (sender memiliki pengetahuan, referent sebagai sesuatu yang diidentifikasi benar, addresse sebagai pihak yang memberi penolakan atau persetujuan), performatif (sender sebagai pemegang otoritas, referent merupakan situasi dan addresse berada dalam posisi konteks atau situasi yang diciptakan) dan preskriptif (sender merupakan pemegang otoritas dan addresse sebagai pihak
19
yang melakukan apa menjadi referent dari sender). Dengan pendekatan pragmatik, estetika akan selalu menemukan aliran baru, aturan baru dan jenis karya seni yang juga baru. Kedua, secara lebih spesifik yakni pembahasan pemikiran estetika Habermas dan Lyotard. Dalam merekonstruksi persoalan masyarakat di era modern, Habermas dalam The Theory of Communicative Action 1:Reason and the Rationalization of Society (1984) menganjurkan strategi kebudayaan, yakni rasionalisasi tiga bidang kultural antara lain kognitif, evaluatif dan ekspresif. Tiga bidang kultural tersebut mewakili pengetahuan teoritis (knowledge), praktis (ethic) dan estetik (aesthetic). Habermas hendak merekonstruksi ketiga bidang tersebut berdasarkan satu prinsip, yakni tindakan komunikasi untuk mencapai klaim kesahihan. Estetika diwakili oleh sikap dasar ekspresif yang kemudian akan menghasilkan rasionalitas praktis estetis, yang mewujud dalam karya seni dan erotisisme. Validitas estetika ditentukan melalui tindakan komunikasi yang rasional, berbasis pada diskursus dan argumentasi yang akhirnya mencapai konsensus atau kesepakatan. Sedangkan Lyotard dalam Lesson on the Analytic of the Sublime (1991) memiliki pandangan berbeda perihal estetika, yakni ia mengutarakan tentang konsep “sublim” yang diadaptasi dari Immanuel Kant tentang “yang tak terpresentasikan”. Suatu karya seni memiliki dorongan yang mampu mendobrak standar kategori estetika yang mengekang. Lyotard mengatakan bahwa konsensus, seperti yang diutarakan Habermas, bukanlah sebuah tujuan, atau sesuatu yang tidak bisa dicapai. Konsensus hanyalah sebuah kondisi, konteks atau situasi, tujuan sebenarnya adalah paralogi., yakni gerakan
20
(move) untuk meruntuhkan sesuatu yang mapan dan berfungsi untuk memproduksi ide-ide baru. Dalam bidang estetika, strategi paralogi berperan untuk mendorong terciptanya jenis-jenis karya seni baru, tidak terkekang oleh nilai estetika atau aliran tertentu. Persamaan pemikiran Lyotard dan Habermas perihal estetika terletak pada pandangan tentang estetika sebagai pengalaman estetis. Jadi estetika tidak dianggap sebagai sebuah penilaian estetis, yang menilai dan mengelompokkan karya seni berdasarkan nilai estetika tertentu, tetapi pengalaman estetis lebih cenderung kepada sikap estetis (refleksif, ekspresif, disinterested) dan rasa (sublim) terhadap realitas, lebih khususnya karya seni. Terakhir, uraian tentang kebudayaan dan seni kontemporer. Karya seni di era kapitalisme lanjut cenderung mengalami industrialisasi. Fenomena ini diungkapkan oleh Walter Benjamin dalam artikelnya “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction” yang menyatakan bahwa karya seni telah mengalami reproduksi mekanis dan massal yang membuatnya kehilangan aura, otentisitas dan orisinalitas. Aura merupakan unique phenomenon of a distance, artinya ia adalah unsur unik dan natural dari sesuatu yang dialami secara langsung. Sedangkan otentisitas berarti suatu ritual di mana sebuah nilai karya seni mendapatkan ekspresinya. Karya seni juga memiliki orisinalitas, yakni prasyarat dari otentisitas, atau bisa disebut sebagai unsur natural. Ketiga hal ini dalam karya seni telah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan teknologi dan kapitalisme. Karya seni kehilangan auranya, karena direproduksi secara masal sehingga ia menjadi tidak unik (the only one) lagi. Otentisitas juga hilang karena karya seni telah tercerabut dari akar ekspresinya yakni ritual, dan
21
menjadi komoditi. Karya seni juga kehilangan originalitas karena terus diperbanyak atau di-copy, sehingga antara yang asli dan yang artifisial sulit dikenali. Adorno dalam The Culture Industry (1991) juga mengatakan bahwa budaya telah menjadi produk industri yang mengalami komodifikasi, stadarisasi, massifikasi, sehingga kebudayaan maupun karya seni diperlakukan layaknya komoditi yang memiliki nilai jual secara ekonomi. Komodifikasi merupakan transformasi sesuatu menjadi komoditi yang diperjual belikan. Seperti halnya sesuatu yang dikomodifikasi, budaya bertransformasi menjadi komoditi yang mempunyai nilai tukar. Budaya tersebut diberi kemasan sedemikian rupa, dengan merek dan diperdagangkan di pasar. Standarisasi adalah komoditi-komoditi yang menggunakan formula yang sama dengan sedikit modifikasi. Komoditi sebenarnya sama tetapi disamarkan kesamaannya sehingga terlihat beragam. Adorno mencontohkan musik yang terstandarisasi yaitu musik pop. Standarisasi terjadi pada musik pop dari pola musik sampai lirik lagu yang terus menerus direpetisi dan diproduksi ulang. Musik yang sedang disukai oleh banyak orang diciptakan terus dengan bentuk yang berbeda tetapi dengan pola yang sama. Massifikasi yakni merupakan produksi komoditi secara massal. Komoditi yang diproduksi massal dituntut untuk dipasarkan secara massal. Hal ini berefek juga pada konsumsi yang besar sebagai tuntutan dari produksi massal. Jika konsep ini diaplikasikan kepada budaya maka budaya yang menjadi produk disediakan dalam jumlah yang banyak dengan nilai tukar untuk mendapatkannya. Budaya tersebut diperluas jangkauannya bahkan sampai lintas negara dan benua sehingga orang dari negara lain bisa mengaksesnya. Inilah yang merupakan arus globalisasi
22
ketika ruang dan waktu dipangkas dengan keluar masuknya komoditas secara cepat.
D. Landasan Teori Postmodernisme merupakan aliran pemikaran yang kecenderungannya mengkritik modernisme. Istilah postmodernisme banyak dipakai di berbagai bidang. Menurut Sugiharto (2012:23), terminologi tersebut dapat ditemukan di bidang musik (Cage, Stockhausen, Glass), seni rupa (Rauschenberg, Baselitz, Warhol dan Bacon), fiksi (Vonnegut, Barth, Pynchon, Burroughs), film (Lynch, Greenaway, Jarman), drama (Artaud), fotografi (Sherman, Levin), arsitektur (Jencks, Venturi, Bolin), kritik sastra (Spanos, Hassan, Sontag, Fiedler), antropologi (Clifford, Tyler, Marcus), sosiologi (Denzin), geografi (Soja) dan filsafat (Lyotard, Derrida, Baudrillard, Vattimo, Rorty). Dalam pembahasan bidang filsafat, Postmodernisme sebenarnya berbeda dengan poststrukturalisme. Menurut Suryajaya (2009:127), postmodernisme adalah entitas kultural sedangkan poststrukturalisme adalah entitas filsafat. Hal ini ditunjukkan dengan keluasan cakupan bidang-bidang yang dinaungi oleh postmodernisme seperti arsitektur, seni rupa, kesusasteraan, musik, sinematografi, tata kota, political science, sosiologi bahkan teologi. Poststrukturalisme secara khusus membahas perihal filsafat seperti Derrida, Foucault, Deluze dan Lyotard. Para
tokoh
postsrukturalisme
sering
masuk
dalam
kategori
pemikir
postmodernisme karena dengan pertimbangan mereka menyediakan apparatus konseptual yang digunakan untuk membangun analisis postmodern. Pertimbangan
23
lain adalah meskipun postmodernisme merupakan fenomena kultural, ia juga mengandung problem-problem filosofis. Oleh sebab itu, pembahasan postmodern dalam penelitian ini sebagai objek formal fokus kepada istilah postmodern dalam bidang filsafat namun tidak menutup kemungkinan turut membahas bidang lain seperti budaya, seni dan politik sebagai implikasinya. Derrida dalam bidang filsafat mengkritik pemikiran modernisme yang memiliki kecenderungan strukturalisme dan logosentrisme. Maka dari itu konsep dekonstruksi
Derrida
bisa
diksebut
sebagai
poststrukturalisme.
Derrida
menyangkal adanya metafisika kehadiran, maksudnya ia menolak adanya universalitas makna dalam teks, atau menyanggah logosentrisme, yakni “sistem metafisik yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran transsendental di balik segala hal yang tampak di permukaan atau segala hal yang terjadi di dunia fenomenal (Al-Fayyadl, M. 2005:16)”. Dalam teks, khususnya wacana filsafat, metafisika kehadiran atau logosentrisme ditunjukkan melalui kuasa pengarang yang memiliki otoritas dalam pemaknaan teks. Metafisika juga cenderung menganggap realita sebagai oposisi biner, hitam dan putih, oleh sebab itu, Derrida hendak mendobrak tradisi metafisika dengan menyajikan kemungkinan makna lain yang selama ini dikuasai oleh makna dominan dalam struktur. Kritik terhadap modernitas dalam bidang kebudayaan diutarakan oleh Jean Baudrillard. Ia, dalam Sugiharto (2012:26), menyatakan bahwa modernitas ditandai oleh eksplosi komodifikasi, mekanisasi, teknologi dan pasar, sedangkan masyarakat postmodern ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam) alias peleburan segala batas wilayah dan pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah,
24
penampilan dan kenyataan. Modernitas merupakan proses meningkatnya diferensiasi bidang-bidang kehidupan beserta fragmentasi sosial dan alienasinya, sedangkan postmodernitas bisa diartikan sebagai proses de-diferensiasi dan implosi peleburan segala bidang. Filsuf berikutnya yakni Michel Foucault. Kritiknya diarahkan pada proses perjalanan sejarah pengetahuan, bahwa sejarah tidak berjalan linear menuju suatu telos/tujuan tertentu. Para pemikir modern beranggapan bahwa sejarah merupakan suatu evolusi menuju bentuk peradaban yang ideal, contohnya seperti Auguste Comte yang menunjukkan linearitas sejarah melalui hukum tiga tahap yakni teologi, metafisik dan berujung pada tahap positif. Foucault, menurut Lash (2004:66), menjelaskan bahwa perubahan zaman dari klasik ke modern bergerak di sekitar dua model yang berbeda perihal diskursus bertindak pada badan. Di zaman klasik terjadi pemisahan antara jiwa dan badan yang dipelopori oleh Descartes, sedangkan di era modern jiwa dan badan dipersatukan kembali. Fenomena transisi zaman ini menurut Foucault disebut dengan fenomena patahan (rupture) atau diskontinuitas sejarah. Dia juga menyatakan “Before the end of the eighteenth century, man did not exist… (Foucault, M., 2002:336)”, artinya sebelum Renaissance atau dalam abad kegelapan tidak ada manusia dalam arti kesadaran epistemologis, karena persoalan manusia belum dipikirkan. Dalam zaman modern, manusia mulai dipikirkan melalui ilmu-ilmu sosial seperti psikoanalisa, sosiologi dan etnografi. Maksudnya di sini adalah ada suatu patahan dalam proses transisi zaman dari klasik ke modern, alam pikir zaman klasik telah ditinggalkan dan mendapatkan perlawanan sehingga muncul aliran pemikiran
25
baru di zaman modern yakni humanisme. Oleh sebab itu sejarah tidak bergerak secara linear. Aliran pemikiran postmodern dalam bidang filsafat dapat diabstraksikan menjadi: pertama perlawanan terhadap logosentrisme, kedua, ketidakpercayaan terhadap metanarasi atau narasi besar, ketiga penolakan terhadap totalitas dan universalitas, keempat perlawanan terhadap humanisme barat (dualistik subjekobjek) dan kelima perlawanan terhadap pandangan objektivisme dan positivisme. Penelitian ini membahas pemikiran dua filsuf Habermas dan Lyotard dalam konteks perlawanan terhadap modernitas, khususnya dalam bidang estetika. Menurut Sugiharto (2012:31-32), Habermas termasuk dalam pemikir yang mengkritik modernisme, namun ia memilih untuk tidak menolaknya ataupun meninggalkannya,
tetapi
merekonstruksi
dan
membenahi
permasalahan-
permasalahan zaman modern dan tetap setia pada cita-cita modernitas yakni emansipasi, sedangkan Lyotard termasuk filsuf yang menolak modernisme dengan menarik segala premis modern dan membenturkannya pada konsekuensi logis paling ekstrimnya. Kritik Habermas antara lain kritik terhadap filsafat kesadaran, rasio instrumental dan rasio terpusat pada subjek, sedangkan kritik Lyotard ditujukan pada metanarasi atau narasi besar, totalitas dan universalitas dalam filsafat.
26
E. Metode Penelitian 1. Bahan penelitian Penelitian ini adalah studi pustaka yang dilakukan di beberapa perpustakaan antara lain perpustakaan Fakultas Filsafat UGM dan perpustakaan pusat UGM, juga perpustakaan Kolese Ignatius dan Seminari Tinggi Yogyakarta, serta buku-buku koleksi pribadi dan electric book yang didapat dari internet. Bentuk data-data yang dikumpulkan antara lain berupa jurnal, artikel, essai, buku dan ebook. Berikut adalah data-datanya yang dikategorikan menjadi sumber primer dan sekunder. a. Sumber primer a. Buku-buku karya Habermas : Knowledge and Human Interest, Toward a Rational Society, Communication and the Evolution of Society, Legitimation Crisis, The Theory of Communicative Action 1:Reason and the Rationalization of Society, The Theory of Communicative Action 2:Lifeworld and System:A Critique of Functionalist Reason, The Philosophical Discourse of Modernity b. Buku-buku karya Lyotard : The Postmodern Condition:A Report on Knowledge,
The
Différend:Phrases
in
Dispute,
Libidinal
Economy,
Enthusiasm:The Kantian Critique of History, The Inhuman:Reflections on Time, Collected Writing on Art, Lessons on the Analytic of the Sublime.
27
b. Sumber Sekunder The Lyotard Reader, Benjamin, Andrew (ed), 1989, Oxford:Blackwell. Habermas and Modernity, Bernstein, R. (ed), 1985, Cambridge:Basil Blackwell Polity Press. Kritik Ideologi, Hardiman, Budi, 2009, (edisi ketiga),Yogyakarta:Kanisius. Menuju Masyarakat Komunikatif, Hardiman, Budi, 2009, (edisi kedua), Yogyakarta:Kanisius. Demokrasi Deliberatif , Hardiman, Budi, 2009, , Yogyakarta:Kanisius. Habermas and Dialectic of Reason, Ingram, D., 1987, New Haven, Tale University Press. Postmodernism or the Cultural logic of Late Capitalism, Jameson, Federick, 1991, Durham:Duke University Press. Jean-François Lyotard, Malpas, Simon, 2003, London and New York:Routledge The Critical Theory of Jürgen Habermas, McCarthy, T., 1978, Cambridge:The MIT Press Introducing Lyotard:Art and Politics, Readings, Bill, 1991, London and New York:Rotledge Jean-François
Lyotard,
Sim,
Stuart,
1996,
UK:Prentice
Hall/Harvester
Wheatsheaf Teks-Teks
Kunci
Estetika:Filsafat
Seni,
Sutrisno,
Mudji
dkk.,
2005,
Yogyakarta:Galang Press Estetika:Filsafat Keindahan (cetakan kedua), Sutrisno, Mudji dan Verhaak, Christ, 1994, Yogyakarta:Kanisius
28
Habermas:Critical Debates, Thompson and Held, 1982, London:The Macmillan Press Ltd.
2. Jalan penelitian Penelitian ini
merupakan studi
pustaka
dengan membandingkan
pandangan dua tokoh, Habermas dan Lyotard perihal estetika. Objek formalnya adalah epistemologi postmodern, sedangkan objek materialnya pemikiran Habermas dan Lyotard perihal estetika. Kedua filsuf tersebut memiliki pandangan yang kontras dalam memandang zaman modern, yang juga berpengaruh pada solusi yang mereka tawarkan. “Dalam komparasi tersebut ini sifat-sifat hakiki dalam objek penelitian dapat menjadi lebih jelas dan lebih tajam. Justru perbandingan itu memaksa untuk dengan tegas menentukan kesamaan dan perbedaan sehingga hakikat objek dipahami dengan semakin murni (Bakker dan Zubair, 1990:51)”. Selain menemukan perbedaan pandangan antara Habermas dan Lyotard perihal estetika, maka penting juga untuk mencari persamaan atau titik temu pemikiran diantara mereka. Secara runut, penelitian ini akan berjalan dengan proses analisis sebagai berikut. Proses analisis, menurut (Kaelan, 2005:68), dilakukan dengan mereduksi data, mengklasifikasi data, menampilkan (display) data dan melakukan penafsiran serta mengambil kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan memilih, memilah dan merangkum data-data. Dalam penelitian ini, keseluruhan pemikiran Habermas dan Lyotard diseleksi dan dipilih hal-hal pokok dan penting perihal estetika, sesuai dengan objek formal penelitian. Kemudian, proses berikutnya adalah melakukan klasifikasi data, yakni mengelompokkan data berdasarkan ciri-
29
ciri tertentu. Setelah mendapatkan pemikiran Habermas dan Lyotard perihal estetika, maka kemudian, pemikiran tersebut dikelompokkan berdasarkan kecenderungan tertentu yakni estetika modern dan postmodern. Setelah itu, lalu menampilkan (display) data, yakni mengorganisasikan data atau membat skema yang berkaitan dengan konteks data tersebut. Pemikiran Habermas dan Lyotard tentang estetika, dalam penelitian ini, dipetakan untuk dijelaskan secara runut dan sistematis, kemudian menemukan perbedaan, persamaan dan titik temunya. Proses terakhir dalam analisis adalah interpretasi, yakni mengungkap keseluruhan makna dan merekontekstualisasikan dengan kondisi masa sekarang. Pemikiran Habermas dan Lyorad perihal estetika diinterpretasi dan kemudian ditemukan kontribusinya dengan karya seni di zaman kontemporer.
3. Analisis Penelitian Keseluruhan data, pemikiran Habermas dan Lyotard perihal estetika, yang telah mengalami proses analisis, reduksi data, klasifikasi data, menampilkan (display) data dan interpretasi data, kemudian dianalisis berdasarkan unsur-unsur metodis sebagai berikut. 1. Deskripsi, yakni menjelaskan pengertian epistemologi postmodern sebagai objek formal, kemudian pemikiran Habermas dan Lyotard perihal estetika 2.. Abstraksi, mensarikan pemikiran Habermas dan Lyotard yang luas dan umum, menjadi khusus dan fokus pada estetika.
30
3. Analisis, menganalisa istilah-istilah kunci dalam pemikiran Habermas dan Lyotard, sehingga makna istilah tersebut lebih mudah dimengerti secara sistematis. 4. Sintesis, memadukan unsur-unsur dalam bangunan pemikiran Habermas dan Lyotard, atau bisa disebut juga mencari titik temu diantara keduanya. 5. Hermeneutika, mengungkap kandungan makna dalam bahasa yang tertuang dalam
teks
yang
merupakan
fenomena
kehidupan
manusia.
Proses
hermeneutika dilakukan oleh peneliti dengan pertama kali menyadari adanya jarak yang berupa perbedaan konteks antara peneliti dan teks. Setelah itu menganalisa unsur-unsur objektif dalam pembentukan teks, kemudian mencari acuan makna di luar teks, dan terakhir merekontekstualisasikan teks dengan kondisi dan situasi di masa sekarang.
F. Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini akan dipaparkan sesuai dengan sistematika berikut: Bab I, menjelaskan konsep penelitian secara umum, yang terdiri dari terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, jadwal penelitian, dan sistematika penulisan dalam penelitian. Bab II, berisi penjelasan tentang landasan pemikiran estetika Jürgen Habermas dan Jean-François Lyotard. Deskripsi landasan estetika Habermas diurutkan dari rasionalitas Weber sampai pada rasio komunikatif Habermas,
31
sedangkan estetika Lyotard diurutkan dari sublim menurut Kant sampai sublim dalam pemikiran Lyotard tentang estetika. Bab III, mengandung penjelasan deskriptif-analitis perihal estetika Jürgen Habermas, yang terdiri dari tiga sub bab yakni estetika sebagai interpretasi kebutuhan, estetika dalam teori tindakan komunikatif dan estetika sebagai proses belajar. Sub bab berikutnya merupakan penjelasan deskriptif-analitis tentang estetika Jean-François Lyotard, yang terbagi menjadi tiga sub bab, antara lain sublim sebagai cara berfikir kritis, sublim dalam seni dan sublim dalam Seni Avant-Garde. Bab IV berisi tentang penjelasan analisa estetika sebagai kritik terhadap modernitas dalam perspektif potmodernisme. Bab IV mengandung sub bab antara lain posisi Habermas dan Lyotard dalam kritik terhadap modernitas, estetika sebagai kritik terhadap rasionalitas, estetika sebagai kritik terhadap positivisme, estetika sebagai kritik terhadap narasi besar, estetika sebagai kritik terhadap totalitas, estetika sebagai kritik terhadap realisme, Habermas dan Lyotard tentang seni Avant-Garde : kritik terhadap historisisme dan kritik terhadap estetika Lyotard dan Habermas. Bab V, adalah paparan tentang kontribusi diskursus estetika Jürgen Habermas dan Jean-François Lyotard dalam perkembangan kebudayaan kontemporer. Sumbangsih tersebut antara lain berpengaruh pada budaya populer dan seni populer, subkultur, pastiche, kitsch dan camp Bab VI, sebagai penjelasan terakhir sekaligus penutup, berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan temuan-temuannya, serta saran-saran dari
32
peneliti untuk penelitian selanjutnya, dengan tema dan topik yang berkaitan dengan tesis ini.
33