BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Di zaman yang serba cepat dan instan seperti sekarang ini banyak penyakit yang muncul akibat dari pola hidup yang tidak teratur dan asupan gizi makanan yang tidak seimbang. Manusia dituntut untuk bekerja lebih cepat sehingga mereka sendiri tidak sadar bahwa diri mereka juga mempunyai keterbatasan dalam tubuh mereka. Di dalam tubuh terdapat sistem imun yang menjaga tubuh melawan penyakit. Untuk menjaga tubuh tetap sehat maka dibutuhkan obat-obatan penambah daya tahan tubuh atau yang biasa disebut sebagai imunostimulator. Imunostimulator adalah suatu agen yang dapat meningkatkan respon imun ketika terpapar antigen atau zat asing yang masuk ke dalam tubuh dan bersifat patogen. Upaya pemeliharaan kesehatan telah digunakan oleh orang-orang dahulu dalam bentuk jamu atau obat tradisional. Pemeliharaan kesehatan pada prinsipnya adalah peningkatan daya tahan tubuh atau bisa disepadankan dengan imunostimulan. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995). Bukti-bukti empirik juga didapat bahwa penggunaan jamu tersebut dapat meningkatkan daya tahan tubuh dalam melawan penyakit. Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 yang dilakukan Kementrian Kesehatan
1
2
Diketahui bahwa, 59,12% penduduk Indonesia pernah memanfaatkan jamu dan 95% dari jumlah tersebut mengakui manfaat ramuan tradisional untuk kesehatan (Anna, 2012). Dalam contohnya adalah penggunaan tanaman akar kuning (Fibraurea chloroleuca Miers.) telah digunakan oleh masyarakat Kalimantan sebagai jamu penambah daya tubuh. Penggunaan dari tanaman tersebut masih sangat sederhana dan belum terdapat standardisasi dari tanaman tersebut. Belum banyaknya penelitian terhadap tanaman akar kuning juga menjadi permasalahan saat ini dan apabila dilakukan penelitian tersebut maka tidak menutup kemungkinan terdapat penelitian-penelitian selanjutnya. Penelitian tersebut akan menambah wawasan kita bahwa Indonesia mempunyai kekayaan alam yang melimpah. Oleh karena itu penulis ingin membuktikan apakah tanaman akar kuning mempunyai pengaruh terhadap fagositosis makrofag dan mengetahui senyawa yang berperan sebagai senyawa aktif adalah turunan alkaloid isokuinolin yang terkandung di dalam tanaman akar kuning.
B. Perumusan Masalah Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah sari larut air dari batang akar kuning yang mengandung alkaloid isokuinolin dapat meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag pada tikus galur Wistar secara in vitro? 2. Pada konsentrasi berapakah kadar alkaloid isokuinolin sari larut air dari batang akar kuning yang dapat meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag?
3
C. Kegunaan Penelitian Penelitian ini merupakan langkah ilmiah dalam membuktikan pengaruh batang kayu akar kuning yang digunakan masyarakat lokal sebagai penambah daya tahan tubuh. D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui apakah sari larut air batang akar kuning dapat meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag pada tikus galur Wistar secara in vitro. 2. Tujuan khusus Mengetahui pada kadar alkaloid isokuinolin berapakah yang dapat meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag pada tikus galur Wistar secara in vitro. E. Tinjauan Pustaka 1. Sistematika Fibraurea chloroleuca Miers. Divisi
: Spermatophyta
Anak Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Ranunculales
Suku
: Menispermaceae
Marga
: Fibraurea
Jenis
: Fibraurea chloroleuca Miers. (Backer dan van Den Brink, 1963)
4
Fibraurea chloroleuca Miers. mempunyai nama daerah akar kuning, akar kunyit (Melayu), akar mengkedun (Bangka), areuy gember, areuy ki koneng (Sunda), peron (Jawa) (PT Eisai Indonesia, 1987). Pada percobaan Nakanishi (1965) disebutkan bahwa Fibraurea chloroleuca Miers. ditemukan senyawa alkaloid, steroid, dan senyawa fenolik, dan mempunyai daya antibakteri, anti tumor, dan mempunyai LD50 pada tikus sebesar >1000 mg/kgBB untuk bagian daun dan sebesar 31,2-62,5 mg/kgBB untuk bagian batang. Akar kuning juga mengandung senyawa alkaloid didalamnya, yaitu palmatine, jatrorrhizine, columbamine, magnoflorine, pseudopalmatine, tetrahidrojatrorrhizine,
tetrahidrocolumbamine
(Siwon,
1982),
dan
8-
oxoprotoberberin (Wahyuono dkk., 2007).
Gambar 1. Struktur senyawa 8-oxoprotoberberin (Wahyuono dkk., 2007)
2. Alkaloid Berberin Berberin adalah alkaloid isokuinolin, dengan warna kuning terang yang dapat dengan mudah dilihat pada kebanyakan material tumbuhan, yang mengandung jumlah yang signifikan. Berberin digunakan dalam pengobatan tradisional Ayurveda dana traditional chinese medicine. Berberin mempunyai rentang farmakologi yang luas, antara lain antihipertensi, antiinflamasi,
5
antioksidan, antidepresan, antikanker, anti diare, kolagoga, hepatoprotektif, dan hipolipidemia (Singh dkk., 2010). Isokuinolin adalah golongan alkaloid terbesar. Kerangka isokuinolin adalah kerangka dasar dari beberapa tipe alkaloid
termasuk
benzilquinolin,
protopin,
benzo[c]fenantridin,
dan
protoberberin (Grycova dkk., 2007). Berberin memberikan bercak berwarna kuning di kromatogram pada deteksi sinar tampak sedangkan pada deteksi sinar UV366 berflouresensi kuning terang. Pereaksi semprot yang digunakan untuk deteksi berberin bisa menggunakan pereaksi Dragendorff dan pereaksi Iodoplatinat. Bercak berberin akan berwarna coklat kemerahan jika dideteksi dengan pereaksi Dragendorff, sedangkan pada pereaksi Iodoplatinat bercak berberin akan berwarna biru keunguan. Pereaksi Dragendorff dan Iodoplatinat akan bereaksi dengan atom N pada senyawa alkaloid (Wagner dan Bladt, 1996).
Gambar 2 Struktur kimia senyawa berberin (Grycova dkk., 2007)
Berberin klorida [1, 8, 13α- tetra-hidro-9, 10-demetoksi-2, 3-(metil-endioksi)-berberium klorida], adalah alkaloid isokuinolin kuartener yang penting secara medis dapat menginduksi produksi IL-2, mengaktivasi p38 MAPK (Saha dkk., 2011). Berberin klorida juga berguna dalam pengobatan penyakit
6
Alzheimer dengan cara memperbaiki kerusakan memori spasial, meningkatkan ekspresi faktor inflamasi, dan aktivasi mikroglia (Zhu dan Qian, 2006). Menurut penelitian Jeong dkk. (2009), berberin mempunyai peran menekan respon sitokin pro inflamasi melalui aktivasi MAPK di makrofag. Berberin menghambat ekspresi gen pro inflamasi yang diinduksi oleh lipopolisakarida, termasuk IL-1β, IL-6, iNOS, MCP-1, COX 2, dan MMP9 pada makrofag peritoneal mencit. 3. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase, salah satunya diantaranya bergerak secara berkesinambungan dengan arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion. Dengan demikian masing-masing zat dapat diidentifikasi dengan metode analitik (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Sebagai tambahan, kebanyakan instrumentasi kromatografi dilengkapi oleh detektor, membuat kromatografi sebagai instrument yang paling baik, alat yang dapat melakukan pengukuran. Konsekuensinya, monografi ini tidak hanya berurusan dengan prinsip dari kromatografi tetapi juga menjalankan analisis kuantitatif (Miller, 2005). Pada kromatografi lapis tipis (KLT), zat penjerap merupakan lapisan tipis serbuk halus yang dilapiskan pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapisis dapat dianggap sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan yang
7
tercapai dapat didasarkan pada adsorbsi, partisi, atau kombinasi kedua efek, yang tergantung dari jenis lempeng, cara pembuatan, dan jenis pelarut yang digunakan. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan bercak dengan harga Rf yang identik dan ukuran hampir sama, dengan menotolkan bahan uji dan pembanding pada lempeng yang sama. Perbandingan jarak rambat suatu senyawa tertentu terhadap jarak rambat fase gerak, diukur dari titik penotolan sampai titik yang memberikan intensitas maksimum pada bercak, dinyatakan sebagai harga Rf senyawa tersebut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Untuk fase stasioner atau fase diam, kebanyakan dari kromatografi lapis tipis adalah menggunakan silika gel, dan diperkirakan sekitar 90% dari pemisahan KLT dilakukan dengan pelat silika konvensional. Secara singkat, silika mempunyai energi permukaan yang heterogen dan mempunyai banyak gugus silanol aktif. Biasanya untuk fase gerak adalah campuran larutan yang dipilih berdasarkan literatur dan optimasi dari trial dan error karena hasilnya bisa didapat secara cepat dan mudah (Miller, 2005). 4. Sistem Imun dan Imunostimulan Tubuh manusia mempunyai sistem imun dalam melawan zat asing yang masuk dalam tubuh dan menghasilkan respon imun. Respon imun sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenali molekul asing (antigen) yang terdapat pada patogen potensial dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen bersangkutan. Terdapat dua jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu pertama respon imun non
8
spesifik (innate immunity) dan respon imun spesifik (acquired immunity). Respon imun non spesifik merupakan imunitas bawaan dalam arti bahwa respon terhadap zat asing terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar pada zat tersebut, sedangkan respon imun spesifik merupakan respon yang didapat terhadap antigen tertentu ketika tubuh sudah pernah terpapar antigen tersebut (Kresno, 2010). Terdapat dua macam sistem imun spesifik (adaptive), yaitu imunitas humoral dan imunitas yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immunity). Imunitas humoral diperantarai oleh molekul dalam darah dan sekresi mukosal, disebut antibodi, yang diproduksi oleh sel limfosit B (biasa disebut sel B). Antibodi mengenali antigen mikroba, menetralkan infeksi mikroba, dan target eliminasi mikroba oleh berbagai mekanisme efektor. Imunitas seluler diperantarai oleh sel limfosit T (biasa disebut sel T) (Abbas dan Lichtman, 2005). Imunostimulan atau senyawa-senyawa kimia yang meningkatkan efektifitas sistem imun bekerja dengan menstimulasi sistem imun non spesifik, yaitu stimulasi fungsi granulosit, makrofag, sel-sel Kupfer, monosit, sel Natural Killer, faktor-faktor komplemen, dan populasi limfosit T tertentu (Wagner dan Jurcic cit. Wulansari, 2009).
9
Gambar 3. Skema interaksi intraseluler dari sel-sel efektor dalam sistem imun (Awang, 2009)
5. Makrofag dan Fagositosis Makrofag adalah turunan dari sel monosit darah yang mempunyai kemampuan
fagositosis.
Makrofag
terdapat
dalam
jaringan
sistem
retikuloendotelial, hati, limpa, saluran pencernaan, nodus limpa, otak, dan lainnya. Makrofag bersama monosit mempunyai peran sebagai antigenpresenting cells yang menstimulasi sistem imun didapat (Awang, 2009). Monosit adalah sel yang kecil, berbentuk bola, sitoplasma yang berlimpah, retikulum endoplasma yang kecil, dan terdiri dari granul-granul (Benjamini dkk., 2000). Sel makrofag yang digunakan pada percobaan ini diisolasi dari
10
cairan peritoneal tikus. Sel makrofag berasal dari sel monosit dalam darah yang kemudian berdiferensiasi menjadi sel makrofag dalam jaringan. Sel makrofag mudah didapat dan dikultur secara invitro. Fagositosis dari makrofag mencerminkan kemampuan melawan invasi mikroba yang teruji secara in vitro dan in vivo (Wigley dkk., 2002).
Gambar 4. Proses pembentukan makrofag dari sel monosit (Burke dan Lewis, 2002)
Fungsi utama makrofag dalam imunitas bawaan adalah memfagositosis partikel asing seperti mikroorganisme, makromolekul termasuk antigen bahkan sel atau jaringan sendiri yang mengalami kerusakan atau mati. Pengenalan makrofag terhadap substansi asing dimungkinkan oleh adanya resptor untuk fosfolipid, seperti reseptor Fc dan reseptor komplemen (Bliss dkk., 2005). Fungsi lain adalah sebagai sel efektor yaitu menghancurkan mikroorganisme serta sel-sel ganas dan dan debris. Fungsi efektor terjadi karena terdapat lisosom di dalam sitoplasma yang mempunyai enzim hidrolase maupun peroksidase yang merupakan enzim perusak (Kresno, 2010).
11
Gambar 5. Reseptor pada makrofag yang dapat mengenali PAMP (Pathogen-associated Molecular Pattern) (Flaherty, 2012)
Makrofag akan mengenali antigen melalui interaksi antara TLR (TollLike Reseptor) pada membran makrofag dan PAMP (Pathogen-associated Molecular Pattern) pada antigen (gambar 5). Makrofag akan menghasilkan sitokin ketika terjadi interaksi antara TLR dengan PAMP. Sitokin yang dihasilkan adalah IL-6 dan IL-12. Lipopolisakarida adalah endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif (tabel I). Lipopolisakarida merupakan PAMP yang sangat penting. Endotoksin akan berikatan dengan CD14 dan reseptor TLR-4 pada
permukaan makrofag. Interaksi tersebut akan
menghasilkan sitokin pro inflamasi (IL-1, IL-2, IL-6, IL-8) dan TNF-α (Tumor Necrotic Factor-alpha) (Flaherty, 2012). Selain sitokin, makrofag juga menghasilkan Nitric Oxide (NO) ketika terjadi interaksi antara TLR dengan PAMP. Nitrit oksida sintase akan mengubah L-arginin menjadi L-sitrulin dan nitrit oksida. Nitrit oksida adalah sitotoksik bagi bakteri, fungi, parasit, dan sel kanker (Flaherty, 2012). Nitrit oksida adalah mediator pada penyakit vaskuler seperti diabetes, iskemik ginjal, aterosklerosis, penyakit-penyakit inflamasi, dan kanker. Bagaimanapun juga,
12
karena mempunyai waktu hidup yang singkat, kuantifikasi produksi NO masih merupakan tantangan dan tidak sesuai untuk kebanyakan sistem deteksi. Metode pengukuran NO total adalah total dari produk akhir oksidasi, nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-) (Cell Biolabs, Inc., 2013). Tabel I. Jenis-jenis PAMP dan reseptor yang mengenalinya (Flaherty, 2012)
PAMP Peptidoglikan Lipopolisakarida Asam Lipoteikoat Flagelin Lipoarabinomanan Beta 1,3 glukan Protein RSV RNA untai ganda Lipopeptida Unmetilated CpGDNA Molekul Profilin-like
Antigen Bakteri gram positif Bakteri gram negatif Bakteri gram positif Bakteri Mikobakteri Fungi Virus Virus Mikoplasma Bakteri Toksoplasma
Reseptor TLR-2, TLR-6 TLR-4 TLR-1, TLR 6 TLR-5 TLR-2, TLR-6 TLR-1, TLR-6 TLR-3 TLR-3 TLR-7 TLR-9 TLR-11
Fagositosis adalah proses dari sel yang telah berdiferensiasi untuk membunuh dan mendegradasi partikel besar seperti debris dan patogen (Desjardins dan Griffiths, 2003). Uji fagositosis makrofag adalah salah satu parameter untuk mengukur kompetensi imunitas bersama dengan produksi antibodi, proliferasi limfosit, dan muatan parasit (Heller dkk. cit. Sun dkk., 2008). Pada percobaan ini digunakan suspensi lateks sebagai antigen atau zat asing. Penggunaan lateks mempunyai keuntungan yaitu merupakan prosedur yang singkat, penggunaan yang luas, tidak berbahaya, dan hasil tes didapat dalam waktu yang singkat. Ukuran partikel lateks juga bisa dibuat seragam sehingga bisa dideteksi menggunakan metode Light Scattering technique.
13
Partikel lateks mempunyai sifat yang sangat hidrofobik yang menyebabkan lateks bisa diabsorbsi oleh sel biologis dengan baik (Bolivar dan Gonzalez, 2005). Fagositosis oleh sel makrofag terhadap lateks terjadi karena terdapat perbedaan tengangan antarmuka yang besar (Vogel dkk., 1980). Uji fagositosis pada percobaan ini menggunakan metode mikroskopi. Mikroskopi merupakan merupakan metode perhitungan secara langsung pada pengukuran fagositosis. Keuntungan dari metode ini adalah memberikan penilaian secara langsung, dan ini sangat berharga untuk membuktikan validitas dari hasil yang didapat dibanding metode lain. Kelemahan dari metode ini adalah resolusi yang rendah dari mikroskop akan menyulitak untuk mengukur partikel yang kecil (Hampton dan Winterbourn, 1999). Fagositosis patogen oleh makrofag menginisiasi respon imun non spesifik menjadi respon imun spesifik. Setelah fagositosis dan digesti mikroba, makrofag dapat mempresentasikan peptida dari mikroba kepada sel limfosit T CD4+ yang berasosiasi dengan major histocompatibility complex (MHC) II. Sel limfosit TCD4+ diperlukan selama proses respon imun humoral. Ikatan antigen-antibodi juga menghasilkan penarikan sel makrofag menuju tempat yang terinfeksi dan terjadi opsonisasi patogen. Hal ini meningkatkan persentase fagositosis makrofag serta kemampuan untuk mendegradasi partikel antigen (Qureshi dkk., 2000).
14
Keterangan
: TLR Th1, Th2 IFN-ɤ IL-4
= Toll-Like Receptor = sel T helper = Interferon gamma = Interleukin-4
Gambar 6. Skema fagositosis imunitas bawaan dari sel dendritik yang dapat berlanjut menjadi imunitas didapat (Takeda dan Akira, 2005)
Sel dari imunitas non spesifik seperti sel dendritik dan sel makrofag menelan patogen secara fagositosis. Patogen dikenali oleh makrofag melalui reseptor toll-like (TLR) dan menginduksi ekspresi dari molekul ko-stimulator dan sitokin inflamasi. Presentasi dari antigen yang dimediasi oleh fagositosis bersama dengan ekspresi dari ko-stimulator dan sitokin inflamasi yang dimediasi TLR, menghasilkan imunitas spesifik dan menghasilkan sel Th1 dan sel Th2 (Takeda dan Akira, 2005). Dalam memisahkan antara agen infeksi dan sel self, makrofag mempunyai beberapa reseptor untuk mengenali patogen. Patogen juga difagositosis oleh reseptor komplemen setelah secara relatif mengalami opsonisasi non spesifik oleh komplemen dan oleh reseptor Fc setelah
15
mengalami opsonisasi secara spesifik oleh antibodi (Aderem dan Underhill, 1999).
Gambar 7. Proses pengenalan dan aktivasi sel limfosit T (Abbas dan Lichtman, 2009)
F. Landasan Teori Tubuh manusia mempunyai sistem imun yang bekerja melawan penyakit dan meningkatkan daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh dapat ditingkatkan dengan bantuan dari imunostimulator. Senyawa dari tanaman akar kuning diduga dapat menambah daya tahan tubuh yang bekerja dengan cara meningkatkan aktivitas dari makrofag. Makrofag adalah sel fagosit yang dapat memfagositosis mikroba atau antigen lain yang bersifat merugikan tubuh. Dari hasil penelitian sebelumnya disebutkan bahwa senyawa berberin klorida dapat meningkatkan aktivitas dari makrofag (Saha dkk., 2011; Jeong dkk., 2009). Tanaman akar kuning (Fibraurea chloroleuca Miers.) mengandung senyawa alkaloid protoberberin dan berberin
16
(Wahyuono dkk., 2007; Siwon, 1982). Hal ini bisa dijadikan acuan bahwa tanaman akar kuning dapat meningkatkan aktivitas dari fagositosis makrofag. G. Hipotesis Diduga sari larut air batang kayu akar kuning (Fibraurea chloroleuca Miers.) dengan kadar berberin klorida tertentu dapat meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag pada tikus galur Wistar secara in vitro.