BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang berlatar belakang Hindu atau Buddha di Indonesia, khususnya di Jawa. Orangorang di Jawa Timur menyebut candi dengan kata cungkup, hal ini berhubungan dengan asumsi candi itu sendiri yang pada mulanya dianggap sebagai makam. Namun, Soekmono berpendapat bahwa candi merupakan kuil, bukanlah makam (Soekmono, 1974 : 241). Sebagai sebuah kuil, candi memiliki konsep pembagian kosmologis
yang
dibagi
menjadi
tiga
bagian,
yaitu
kaki
candi
yang
melambangkan bhurloka atau dunia makhluk hidup, badan candi yang melambangkan
bhuvarloka
atau
dunia
antara,
dan
atap
candi
yang
melambangkan svarloka atau dunia para dewa. Candi dibangun sedemikian rupa sehingga mirip dengan tempat tinggal dewa agar dewa mau tinggal sementara di bangunan tersebut, hal ini berkaitan erat dengan konsep kosmologi dalam ajaran Hindu (Raharjo, 2001 : 30), yang merupakan penggambaran dari Gunung Meru. Gunung Meru sendiri merupakan gunung kosmos yang diedari matahari, bulan, dan bintang. Pada puncak gunung tersebut terletak kota tempat tinggal para dewa yang dikelilingi oleh tempat tinggal dewa lokapāla (Heine-Geldern, 1982 : 4-5). Sebagai replika Gunung Meru, candi dihiasi dengan ornamen-ornamen yang menggambarkan suasana kahyangan. Ciri tempat tinggal atau kahyangan digambarkan dengan adanya pohon hayat (kalpavṛksa), makhluk kahyangan (dewa atau tokoh kedewaan) dan binatang kahyangan (Kempers, 1959 : 21). Penggambaran di candi tentang suasana kahyangan dapat berupa pengarcaan
1
2
ataupun relief. Relief dipahatkan disekeliling candi untuk menggambarkan suasana kahyangan, maka tak jarang relief di candi dipenuhi dengan gambargambar makhluk yang tidak biasa (menyerupai manusia). Seperti yang banyak diketahui, candi dalam kosmologi Hindu maupun Buddha merupakan penggambaran gunung Mahameru, begitu juga dengan beberapa candi di Indonesia. Unsur-unsur kosmologi pada candi dicerminkan salah satunya dengan adanya tokoh parivāradevatā yang menunjukkan kehidupan di kahyangan. Tokoh parivāradevatā yaitu kelompok dewa yang tidak ditempatkan dalam garbhagṛha atau ruangan utama dari sebuah candi, tetapi terdapat pada sekeliling koridor candi (Liebert, 1976 : 214). Beberapa tokoh tersebut yang sudah diketahui sebagai relief di beberapa candi antara lain Apsarā, Gaṇa, Gandharva, Kinnara, serta beberapa dewa minor lainnya. Tokoh tersebut terdiri atas parivāra besar dan parivāra kecil. Parivāra besar adalah dewa-dewa yang posisinya di bawah dewa utama, seperti: çakti para dewa utama, dewa-dewa penjaga mata angin, serta dewa lain yang tidak termasuk dewa utama (Nugrahani, dkk (ed)., tt: 9,44). Sedangkan unsur parivāra kecil yaitu makhluk kahyangan, Apsarā, Gaṇa, Gandharva, Kinnara (Iswahyudi, t.t : 9). Kelompok
parivāradevatā banyak
dipahatkan pada dinding
relief
beberapa candi, khususnya candi-candi pada masa Jawa Tengah1. Beberapa tokoh sudah diketahui identitasnya, namun beberapa yang lain belum diketahui identitasnya, misalnya tokoh berjenggot yang dipahatkan berpasangan. Tokoh tersebut berciri-ciri kerdil, perut buncit, berjenggot, mengenakan cawat, membawa sesuatu, selalu berpasangan, dan biasanya berada di ambang pintu atau mengapit tokoh lain. Selain itu, beberapa tokoh berjenggot tersebut ada yang terlihat seperti terbang, karena digambarkan duduk di atas awan. Tokoh berjenggot sebenarnya banyak di jumpai di beberapa candi. Tokoh tersebut ada yang berupa arca atau relief. Pada arca, tokoh berjenggot sering
3
diasumsikan sebagai Agastya, khususnya bila ditemukan pada candi Hindu. Penggambaran tokoh berjenggot pada relief sering diasumsikan sebagai Ṛṣi. Namun tokoh berjenggot yang letaknya berada di ambang pintu atau mengapit dewa belum diketahui identitasnya. Keberadaannya yang selalu berpasangan juga menimbulkan permasalahan yang menarik sehingga membedakan dengan perwujudan tokoh lain yang sudah diketahui seperti Agastya maupun Ṛṣi. Hingga saat ini penelitian yang mengkaji tokoh berjenggot pada ambang pintu candi belum pernah dilakukan. Semestinya penempatan tokoh tersebut memiliki arti tersendiri terkait dengan kosmologi bangunan candi. Berpijak pada masalah tersebut maka penelitian terhadap tokoh yang diperkirakan sebagai parivāradevatā mutlak diperlukan. Terlebih lagi posisi tokoh tersebut yang berada di ambang pintu atau mengapit tokoh lain semakin menegaskan kemungkinan adanya peran tertentu yang dimilikinya. B. RUMUSAN MASALAH Seperti yang diuraikan sebelumnya, tokoh berjenggot ini selalu digambarkan berpasangan berada di ambang pintu candi atau mengapit tokoh lain. Hal tersebut memunculkan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Siapakah tokoh berjenggot yang digambarkan berpasangan pada candicandi di Jawa Tengah? 2. Apa makna keletakan dan peranan tokoh berjenggot yang berpasangan pada candi-candi di Jawa Tengah? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasikan tokoh berjenggot yang digambarkan pada candi-candi di Jawa Tengah. Setelah diketahui identitasnya, maka kemudian dapat diketahui pola kedudukan dan peran tokoh berjenggot melalui posisi penempatannya.
4
D. RUANG LINGKUP PENELITIAN Fokus penelitian ini adalah relief tokoh berjenggot yang berada pada ambang pintu candi atau mengapit tokoh di Jawa Tengah. Ciri-ciri tokoh berjenggot yang akan dibahas ialah memiliki berjenggot, membawa berbagai macam atribut (seperti akṣamālā, çaṅkha, cāmara, padmā, nῑlotpala, dll), berpasangan, serta berada di ambang pintu atau mengapit tokoh lain. Penelitian ini juga hanya mengambil tokoh berjenggot berpasangan yang ada pada candi-candi pada masa Jawa Tengah. Apabila ditemukan tokoh berjenggot yang berpenampilan mirip tokoh yang dimaksud dalam penelitian ini, namun berdasarkan penempatan dan penggambarannya yang tidak sesuai ciriciri yang disebutkan, maka tokoh berjenggot yang mirip tersebut dianggap sudah di luar batas penelitian ini. E. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian tentang tokoh berjenggot pernah dilakukan oleh Satyawati Suleiman dalam artikelnya yang dimuat pada PIA III, dengan judul “Beberapa Catatan Tentang Tokoh-tokoh Berjenggot Pada Pahatan-pahatan Kuna Di Indonesia”. Namun dalam penelitiannya ini, Satyawati menjelaskan beberapa tokoh berjenggot yang sudah deridentifikasi oleh peneliti-peneliti sebelumnya, dan tokoh berjenggot yang sudah diidentifikasi dalam tulisan Setyawati antaralain Agastya, Brahmā, Ṛṣi, sedangkan tokoh berjenggot yang mengapit tokoh lain atau berada di ambang pintu candi belum teridentifikasi dengan pasti. Kemudian penelitian mengenai identifikasi tokoh yang belum diketahui pada sebuah candi pernah dilakukan oleh Wahyu Broto Raharjo pada tahun 2001 dalam skripsi sarjana jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada yang berjudul “Keberadaan Relief Tokoh Pada Ambang Atas Pintu dan Relung Utama Candi II Pada Kompleks Candi Ngawen”. Dalam penelitiannya, Raharjo mengidentifikasi tokoh yang menghiasi ambang atas pintu serta relung utama
5
candi kemudian menghubungkannya dengan arca utama Candi II. Berdasarkan hasil identifikasinya, tokoh tersebut adalah Apsarā, penari kahyangan. Oleh karena, itu penulis melakukan penelitian untuk mengetahui identitas tokoh berjenggot yang berada di ambang pintu candi atau mengapit tokoh lain, karena penelitian yang lebih mendalam mengenai tokoh tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya. F. METODE PENELITIAN Metode merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian, terlebih lagi penelitian ilmiah. Metode bisa diartikan sebagai cara kerja untuk mencapai sebuah pemahaman yang berhubungan dengan objek penelitian. Penggunaan metode yang benar akan menghasilkan hasil yang berkualitas, sedangkan penggunaan metode yang tidak tepat akan menghasilkan hasil yang kurang berkualitas (Tanudirdjo 1988/1989, 52). Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis, dimana pada tahap awal penelitian dilakukan penggambaran data atau obyek penelitian, berdasarkan fakta-fakta yang kelihatan, kemudian dilakukan langkah-langkah analitis mengenai variabel-variabel yang ada, sehingga gejala-gejala tertentu dapat terlihat dengan jelas (Tanudirdjo 1988/1989, 52). Dalam penelitian kali ini, awalnya akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai penggambaran tokoh di beberapa candi serta keletakannya. Setelah memperoleh gambaran mengenenai tokoh yang dimaksud, tahap selanjutnya adalah analisis mengenai tokoh dengan pendekatan-pendekatan ilmiah. Untuk itu dalam mengungkap penelitian ini dilakukan teknik analisis ikonografi, kemudian digunakan analisis kontekstual untuk mengungkap siapa dan bagaimana peranan tokoh berjenggot. Analisis Ikonografi adalah analisis yang bertujuan untuk mengetahui identitas objek dengan cara mengamati ciri-ciri ikonografi objek tersebut berkaitan dengan atribut yang dikenakan, meliputi
6
bentuk mahkota, sikap tangan, sikap tubuh, sikap duduk, serta benda-benda yang dibawa oleh objek atau tokoh yang akan dianalisis (Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008: 106). Sedangkan analisis kontekstual yaitu metode yang digunakan untuk mengamati keterikatan suatu objek relief dengan objek lainnya (Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008: 108). Dalam hal ini mengamati relief tokoh berjenggot dengan letak penempatannya. Penelitian ini menggunakan model penalaran induktif, yaitu metode untuk menjelaskan suatu masalah berdasarkan data yang ada, sehingga menghasilkan suatu pemecahan atau generalisasi secara umum (Tanudirjo, 1988-1989 : 34). Secara garis besar, penelitian ini akan dilakukan dalam beberapa tahap sebagai berikut. 1. Pengumpulan Data Tahap awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer yaitu semua data yang memberikan informasi data secara langsung, sedangkan data sekunder yaitu semua data yang bukan diusahakan pengumpulannya oleh peneliti, yaitu diambil dari data yang dikumpulkan oleh peneliti terdahulu (Marzuki, 1977 : 51). Data primer yang digunakan penulis adalah catatan ikonografi tokoh berjenggot dan foto tokoh berjenggot berpasangan pada candi-candi periode Jawa Tengah. Kemudian mencari data sekunder berupa studi pustaka yaitu naskah-naskah keagamaan, laporan penelitian, serta karya ilmiah yang mendukung penelitian ini. Untuk mengumpulkan data, dapat dilakukan dengan beberapa teknik : a. Observasi Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara langsung
di
lapangan
melalui
pengamatan,
pencatatan,
dan
7
pendokumentasian terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan objek penelitian. Observasi dilakukan dengan cara mengamati relief tokoh berjenggot pada bangunan candi-candi periode Jawa Tengah. Tujuan dari observasi ini adalah untuk mendapatkan data berupa unsur-unsur ikonografis serta foto relief tokoh berjenggot. b. Studi Pustaka Studi pustaka merupakan cara mendapatkan data dari tulisan atau pendokumentasian dari orang lain yang pernah melakukan penelitian yang bersangkutan dengan objek sebelumnya. Pencarian data mengarah pada tulisan, foto, gambar, maupun hal lain yang bersangkutan dengan objek penelitian yaitu tokoh berjenggot. 2. Analisis Data Tahap berikutnya yaitu analisis. Data yang sudah didapatkan kemudian dikelompokkan untuk selanjutnya dideskripsikan secara verbal maupun dengan bantuan gambar dan tabel. Deskripsi awalnya adalah tokoh berjenggot, kemudian penempatannya, lalu asosiasi dengan tokoh atau objek lain. Pada akhirnya sampai pada tahap analisis dengan menghubungkan data dari observasi dan studi pustaka. Analisis data dilakukan dengan pendekatan ikonografi untuk mengetahui identitas tokoh berjenggot. Dalam analisis ini data visual penggambaran tokoh dan atribut yang dikenakan sangat diperlukan. Analisis ikonografi dilakukan dengan cara mengidentifikasi bentuk mahkota, sikap tangan, sikap tubuh, sikap duduk, atribut yang dikenakan relief tokoh berjenggot berpasangan pada candicandi periode Jawa Tengah, kemudian dapat diketahui identitas tokoh berjenggot tersebut. Tahap analisis kedua ini menggunakan pendekatan kontekstual. Analisis kontekstual yang dimaksud adalah analisis mengenai konteks penempatan tokoh berjenggot berpasangan pada candi. Penempatan yang
8
dimaksud ialah apakah tokoh tersebut berada pada kaki candi, tubuh candi, atau atap candi. Berikutnya adalah analisis terhadap konteks dengan tokoh lain di sekitar relief tokoh orang berjenggot berpasangan. Setelah tahap analisis ikonografi dan analisis kontekstual maka dapat diketahui kedudukan dan peran tokoh orang berjenggot pada bangunan candi. 3. Kesimpulan Tahap terakhir yaitu tahap penarikan kesimpulan berdasarkan rumusan masalah yang ada. Kesimpulan diperoleh dengan mensintesakan hasil analisis pada bagian pertama dan kedua. Pertama, kesimpulan mengenai identitas tokoh berjenggot yang dimaksud. Kemudian yang kedua peranan tokoh berjenggot berdasarkan analisis data yang dihasilkan. Harapan dari kesimpulan ini dapat menjelaskan identitas tokoh dan peranan yang dimilikinya terhadap bangunan candi khususnya pada periode Jawa Tengah.
9
CATATAN
1
candi periode Jawa Tengah sering disebut candi bergaya klasik tua dan candi periode
Jawa Timur disebut candi bergaya klasik muda. Candi bergaya klasik tua dicirikan bentuk bangunannya tambun, atap berundak dengan puncaknya berbentuk ratna atau stūpa, pintu dan relung berhiaskan kāla makara, reliefnya naturalis, kebanyakan letaknya di tengah halaman, kebanyakan berbahan dasar andesit, serta kebanyakan menghadap ke Timur, sedangkan candi bergaya klasik muda memiliki ciri-ciri bangunannya berbentuk ramping, atap merupakan perpaduan tingkatan dengan puncaknya berbentuk kubus, pintu dan relung kebanyakan dihiasi kepala kāla tanpa menggunakan makara, reliefnya simbolis dengan penggambaran menyerupai wayang kulit, letaknya biasanya di bagian belakang halaman, kebanyakan terbuat dari bata, serta menghadap arah Barat (Soekmono, 1973 : 86). Kedua istilah klasik tua dan klasik muda menggantikan istilah candi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang disalah artikan sebagai candi yang bersifat kedaerahan, meskipun lebih berhubungan dengan kurun waktu serta gaya seni (Atmosudiro (ed.), 2001 : 47).