BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini, para ahli pendidikan sering menyerukan tentang konsep kesetaraan pendidikan, maksudnya adalah konsep pendidikan yang memberikan kesempatan yang setara bagi peserta didik untuk mendapatkan pendidikan. Adapun yang sering kita dengar adalah konsep pendidikan multiklutural. L.H. Ekstrand sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah Aly menyebut 4 (empat) istilah yang sepadan dengan istilah pendidikan multikultural, “Interethnic education, transcultural education, multiethnic education, dan cross cultural education. Dipihak lain, Barry van driel menambahkan 2 (dua) istilah yang tidak disebutkan oleh Ekstrand, yaitu: human right education danintercultural education. Belakangan UNESCO memperkenalkan istilah lain yaitu inclusive education.”1 Pendidikan inklusi oleh Sapon-Sevin sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Wasita didefinisikan sebagai berikut: Sistem layanan PLB yng mempersyaratkan agar semua anak luar biasa dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, beliau menekankan adanya restrukturisasi di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dari sumber dan dukungan dari semua guru dan siswa.”2
1
Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 103. 2
Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara Serta Strategi Pembelajarannya (Yogyakarta: Javalitera, 2012), hlm. 78.
1
2
Dalam sistem pendidikan inklusi muncul istilah sekolah inklusi. Dalam hal ini, Stainback & Stainback sebagaimana dikutip oleh Emirfan TM mendefinisikan: Sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. 3 Jadi, pendidikan inklusi lebih menekankan pada konsep kesetaraan pendidikan bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (ABK) agar bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam memasuki sekolah umum. Sebenarnya dalam pelaksanaan pendidikan inklusi ini masih banyak terjadi pro dan kontra. Beberapa pihak yang kontra dengan pelaksanaan pendidikan inklusi ini beralasan bahwa sekolah inklusi tidak mungkin dilaksanakan karena perbedaan kemampuan antarsiswa yang sangat bervariasi sehingga menyulitkan guru dalam melaksanakan pembelajaran. 4 Kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran yang dimaksud seperti kesulitan dalam pengelolaan kelas, kesulitan dalam menggunakan metode yang bisa diterapkan baik untuk anak normal maupun anak berkebutuhan khusus. Alasan
lain
mengenai
ketidaksetujuan
terhadap
pelaksanaan
pendidikan inklusi adalah bahwa beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus tetap membutuhkan penempatan berbeda dari anak 3
Emirfan TM., Panduan Lengkap Orang Tua & Guru untuk Anak dengan Diskalkulia (Yogyakarta: Javalitera, 2013), hlm. 30. 4
Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara..., hlm. 78.
3
normal. Dalam hal ini, sebagaimana dituliskan dalam situs web Abatasa yang berbunyi: Peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinyu. Hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Tidak semua orang tua menghendaki anaknya yang berkelainan berada di kelas reguler bersama teman-teman seusianya yang normal. Pada umumnya sekolah reguler belum siap meyelenggarakan pendidikan inklusif karena keterbatasan sumber daya pendidiknya. 5 Jadi, pihak yang kontra ini tetap berpandangan bahwa anak yang berkebutuhan khusus itu harus sekolah di SLB, mereka tidak bisa masuk ke sekolah reguler sebab pelaksanaannya akan menimbulkan banyak masalah. Seperti argumen yang telah diungkapkan oleh pihak yang kontra bahwa masalah yang akan muncul dari konsep sekolah inklusi ini adalah murid-murid yang memiliki kebutuhan khusus ini dalam proses belajar mengajar dibaurkan dengan murid-murid yang normal. Sementara kebutuhan belajar antara murid dengan kebutuhan khusus dengan murid normal tentunya berbeda, misalnya dari metode pembelajaran yang digunakan guru. Terkadang murid dengan kebutuhan khusus ini membutuhkan penyampaian materi dengan metode yang berbeda dengan murid normal. Tidak bisa seorang guru menerapkan metode yang sama, baik untuk anak normal maupun anak berkebutuhan khusus. Sebab, tingkat pemahaman antara siswa yang normal dan siswa yang berkebutuhan khusus tentunya berbeda. Seharusnya metode yang digunakan berbeda. Akan tetapi karena pembauran antara siswa normal 5
Abatasa, “Benarkah Pendidikan Inklusif Terbaik bagi ABK?”, http://m.kolom.abatasa.co.id/kolom/detail/parenting/21/benarkah-pendidikan-inklusif-terbaik-bagiabk-bag-2.html. (22 November 2007). Diakses, tanggal 20 Mei 2015.
4
dan siswa berkebutuhan khusus dalam satu kelas yang sama, maka tidak mungkin untuk menerapkan metode yang berbeda bagi siswa berkebutuhan khusus jika dilakukan di dalam kelas. Sebab, tidak mungkin seorang guru menerapkan metode tersendiri yang hanya ia terapkan pada siswa berkebutuhan khusus itu dalam pembelajaran di kelas. Mengingat jumlah siswa berkebutuhan khusus yang lebih sedikit dibandingkan siswa normal. Masalah bertambah, sebab tidak semua guru mata pelajaran itu mampu untuk menangani murid-murid yang memiliki kebutuhan khusus ini dengan metode-metode pembelajaran yang bisa mereka terima. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Lombardi yang dikutip oleh David D. Smith, “guru bisa jadi tidak yakin tentang cara membuat perubahan materi, metode, harapannya, sehingga mereka dapat memberikan pengajaran yang layak kepada siswa dengan kebutuhan yang berbeda.” 6 Sebagian besar guru mata pelajaran di sekolah inklusi bukanlah guru yang mempunyai latar belakang pendidikan luar biasa sehingga mempunyai bekal untuk menangani siswa berkebutuhan khusus. Padahal bekal tersebut penting bagi guru untuk memahami metode pembelajaran yang dapat digunakan bagi siswa berkebutuhan khusus. Jika metode yang digunakan salah maka tujuan pembelajaran tidak akan tercapai. Ini akan merugikan peserta didik tersebut tentunya. Guru harus tahu metode pembelajaran yang tepat bagi anak berkebutuhan khusus dengan tiap jenis kekurangan yang mereka miliki masing-masing. Guru tersebut harus tahu metode pembelajaran yang tepat yang bisa diterima oleh anak-anak 6
David D. Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, terjemahan Enrica Denis (Bandung: Nuansa Cendekia, 2013), hlm. 400.
5
berkebutuhan khusus di sekolah inklusi, akan tetapi juga tidak mengabaikan anak-anak normal yang ada dalam satu kelas yang jumlahnya lebih banyak di bandingkan siswa berkebutuhan khusus. Sebagaimana pendapat Lombardi yang dikutip oleh David D. Smith: Metode pengajaran yang diketahui oleh guru kelas umum yang paling efektif bagi siswa-siswa tanpa hambatan dapat juga efektif bagi siswa-siswa penyandang hambatan. Pengajaran yang baik, dalam banyak hal, adalah pengajaran yang tanpa memandang ciri-ciri tertentu pembelajar. Dia juga tahu, bahwa sebagian modifikasi pengajaran telah dibuktikan terutama efektif bagi siswa-siswa penyandang hambatan di kelas umum. 7 Guru tersebut tidak mungkin hanya memfokuskan diri untuk mendidik siswa berkebutuhan khusus sebab ada siswa normal yang juga perlu dididik. Jika guru hanya memfokuskan diri pada siswa berkebutuhan khusus maka waktu pembelajaran banyak digunakan untuk mendidik anak berkebutuhan khusus, sementara siswa normal akan terabaikan dan mereka akan dirugikan. Masalah tersebut semakin kompleks ketika dalam pembelajaran mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam). Mata pelajaran ini memiliki nilai urgensitas yang tinggi sebab mata pelajaran ini menyangkut tentang penanaman dasar keagamaan bagi anak-anak usia sekolah dasar. Guru harus pandai-pandai memilih metode pembelajaran yang tepat yang selain bisa diterima siswa normal juga bisa diterima siswa berkebutuhan khusus. Mungkin saja dengan adanya variasi metode pembelajaran, akan tetapi komposisi antara metode yang mungkin bisa diterima siswa normal dan metode yang bisa diterima siswa berkebutuhan khusus harus seimbang. Guru
7
David D. Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan..., hlm. 401.
6
tidak boleh cenderung pada salah satunya. Sebab, keduanya mempunyai hak yang sama. Realitanya, banyak sekolah inklusi yang tak lepas dari masalah tersebut, sebab keterbatasan bekal guru dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Selain itu pemerintah juga kurang memberikan dukungan terhadap pelaksanaan pendidikan inklusi seperti kurangnya bantuan dana untuk pelaksanaan pendidikan inklusi dan kurangnya pelatihan bagi guru-guru di sekolah inklusi. Beberapa tahun terakhir, di Indonesia mulai dibentuk sekolah-sekolah inklusi yang tersebar dibeberapa daerah. Meskipun masih terbatas pada sekolah tingkat SD dan SMP saja. Adapun di kota Pekalongan sendiri salah satu sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah provinsi Jawa Tengah untuk menjadi sekolah inklusi adalah SDN Bendan 01 Pekalongan. SDN Bendan 01 Pekalongan resmi menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi sejak tahun 2005.8 Berdasarkan yang tertulis dalam dokumen sekolah SDN Bendan 01 Pekalongan, tercatat bahwa pada tahun ajaran 2015/2016 terdapat 41 siswa berkebutuhan khusus yang tersebar dihampir semua kelas di sekolah tersebut. Jenis siswa berkebutuhan khusus tersebut adalah hyperaktive, slow learner, tunawicara, tunagrahita, ADHD dan ratardasi mental. Siswa-siswa tersebut tersebar ke beberapa kelas dengan rincian dua siswa hyperaktif di kelas IA, tiga siswa slow learner di kelas IB, lima siswa slow learner di kelas IIA, tiga 8
Iin Rofina, Kepala Sekolah SDN Bendan 01 Pekalongan, Wawancara Pribadi, tanggal 04 Januari 2016.
7
siswa slow learner di kelas IIB, dua siswa slow learner di kelas IIIA, lima siswa slow learner di kelas IIIB, satu siswa tunawicara di kelas IVA, satu siswa tunagrahita di kelas IVA, satu siswa slowlearner di kelas IVA, satu siswa tungrahita di kelas IVB, tiga siswa tunagrahita di kelas VA, lima siswa tunagrahita di kelas VB, dua siswa ADHD di kelas VB, satu siswa slow learner di kelas VIA, lima siswa tunagrahita di kelas VIB, dan satu siswa ratardasi mental di kelas VIB.9 Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti meneliti tentang “ Metode Pembelajaran PAI di Sekolah Inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan ”. Studi kasus dilakukan di SDN Bendan 01 karena sekolah ini merupakan sekolah yang sudah cukup lama menjadi sekolah inklusi yaitu sejak tahun 2005, sehingga murid dengan kebutuhan khusus sudah banyak terdaftar didalamnya. Alasan lain adalah sekolah ini tetap menjadi daya tarik sendiri bagi orangtua siswa yang mempunyai anak berkebutuhan khusus. Sebab, meski tak jauh di sekitarnya terdapat SDLB, tetapi banyak orangtua siswa berkebutuhan khusus berminat untuk menyekolahkan anaknya di SDN Bendan 01 Pekalongan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana metode pembelajaran PAI di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan? 9
Dokumen SDN Bendan 01 Pekalongan Tahun 2015/2016, diambil pada tanggal 14 Januari 2016.
8
2. Apa faktor penghambat dalam penerapan metode pembelajaran PAI di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan? 3. Bagaimana efektivitas metode pembelajaran PAI di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan ini adalah: 1. Untuk memahami metode pembelajaran PAI di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan. 2. Untuk
memahami
faktor
penghambat
dalam
penerapan
metode
pembelajaran PAI di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan. 3. Untuk memahami efektivitas metode pembelajaran PAI di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan. D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan ini adalah: 1. Kegunaan Teoritis Dapat
memberikan
kontribusi
dalam
menambah
khasanah
ilmu
pengetahuan di dunia pendidikan, khususnya dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan inklusi. 2. Kegunaan Praktis a. Bagi Guru
9
Dapat dijadikan bahan dalam mengembangkan dan menerapkan metode pembelajaran yang digunakan di sekolah inklusi khususnya pada mata pelajaran PAI. b. Bagi Sekolah Dapat dijadikan masukan bagi sekolah inklusi untuk memperbaiki implementasi pendidikan inklusi, khususnya pada penerapan metode pembelajaran PAI yang digunakan. E. Tinjauan Pustaka 1. Analisis Teori Ahmad Tafsir sebagaimana yang dipaparkan kembali oleh Thoifuri, sebagaimana dikutip oleh Zaenal Mustakim mendefinisikan metode dalam interaksi pembelajaran adalah, “cara yang tepat dan cepat melakukan sesuatu. Cara yang tepat dan cepat inilah, maka urutan kerja dalam suatu metode harus diperhitungkan benar-benar secara ilmiah.”10 Untuk memilih metode mengajar tidak bisa sembarangan, banyak faktor yang mempengaruhinya dan patut dipertimbangkan, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Winarno Surakhmad, sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah, “tujuan dengan berbagai jenis dan fungsinya, anak didik dengan berbagai tingkat kematangannya, situasi dengan berbagai keadaannya, fasilitas dengan berbagai kualitas dan
10
Zaenal Mustakim, Strategi dan Metode Pembelajaran (Pekalongan: STAIN Press, 2011), hlm. 41.
10
kuantitasnya, pribadi guru serta kemampuan profesinya yang berbedabeda.”11 Beliau menambahkan: Tidak tepat bila guru menyamakan semua anak didik. Seorang anak didik yang hasil belajarnya jelek dikatakan bodoh. Lalu semua anak didik yang hasil belajarnya jelek dikatakan bodoh. Hal itu belum tentu. Mungkin disebabkan kesehatannya terganggu, tidak ada kesempatan untuk belajar, sarana belajar kurang, dan sebagainya. Guru harus ingat, bahwa setiap anak didik mempunyai bakat yang berlainan dan mempunyai kecepatan belajar yang bervariasi. Secara garis besar setiap anak didik mempunyai tipe tanggapan berbeda seperti tipe penglihatan (visual), tipe pendengaran (auditif), tipe perabaan (taktil), tipe gerakan (motorik), dan tipe campuran. 12 Dengan demikian, guru harus memperhatikan kondisi anak didik dalam memilih metode pembelajaran. Terlebih dalam sekolah inklusi di mana terdapat siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus. Karena itu, guru harus memperhatikan mana metode yang mungkin bisa diterima siswa normal dan mana metode yang bisa diterima siswa berkebutuhan khusus. Menurut David D. Smith dalam menentukan metode pembelajaran di sekolah inklusi, “guru bisa jadi tidak yakin tentang cara membuat perubahan
materi,
metode,
harapannya
sehingga
mereka
dapat
memberikan pengajaran yang layak kepada siswa dengan kebutuhan yang berbeda.”13
11
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 184-185. 12
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik..., hlm. 186.
13
David D. Smith, Sekolah Inklusif Konsep..., hlm. 400.
11
Metode pembelajaran di sekolah inklusi memanglah belum ada yang menyebutkan bentuknya secara spesifik. Namun, Lombardi sebagaimana dikutip oleh David D. Smith menyatakan: Metode pengajaran yang diketahui oleh guru kelas umum yang paling efektif bagi siswa-siswa tanpa hambatan dapat juga efektif bagi siswasiswa penyandang hambatan. Pengajaran yang baik, dalam banyak hal, adalah pengajaran yang tanpa memandang ciri-ciri tertentu pembelajar. Dia juga tahu, bahwa sebagian modifikasi pengajaran telah dibuktikan terutama efektif bagi siswa-siswa penyandang hambatan di kelas umum. Metode pengajaran yang baik tidak mempunyai batas. Meskipun suatu kelas inklusi berfokus pada individu, ada beberapa modifikasi pengajaran yang umum terutama yang disesuaikan dengan siswa penyandang masalah-masalah belajar. Modifikasi tersebut meliputi, pemakaian pengembangan organisasi, kosakata sebelum pengajaran, pengulangan materi pelajaran organisasi mapan (Advance Organizers), beberapa kata kunci sebelum mengajar (Preteaching Key Vocabularies), sedia mengulang pembelajaran (Providing Repetition of Instruction), tinjau ulang konsep utama (Previewing Major Concept), penyesuaian penggunaan waktu (Making Time Adjustment), penggunaan manipulasi (Using Manipulate), menyediakan umpan balik koreksi (Providing Corrective Feedback), kelompok kerjasama (Cooperative Group), tutor teman sebaya (Peer Tutoring), instruksi bahasa yang menyeluruh (Whole Language Instruction), pengajaran unit (Unit Teaching), prosedur modifikasi perilaku (Behavioral Modification Procedures).14 Berdasarkan Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi oleh Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Mandikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa 2007 disebutkan tentang pelaksanaan pembelajaran di sekolah inklusi: a. Melaksanakan apersepsi b. Menyajikan materi/bahan pengajaran c. Mengimplementasikan metode, sumber/media belajar, dan bahan latihan yang sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa, serta sesuai dengan tujuan pembelajaran d. Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif e. Mendemonstrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansinya dalam kehidupan 14
David D. Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan..., hlm. 401-402.
12
f. Membina hubungan antar pribadi antara lain: (1) bersikap terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa; (2) menampilkan kegairahan dan kesungguhan; (3) mengelola interaksi antar pribadi. 15 Kemudian Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Mandikdasmen Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar
Biasa 2007
menambahkan sebagaimana yang ditulis oleh Rafa Ramdhani, “Proses pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan karakteristik belajar peserta didik.
Sistem
pelaksanaannya
mengacu
pada
buku
pedoman
pembelajaran.”16 Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa untuk menggunakan metode pembelajaran di sekolah inklusi maka seorang guru harus memilih metode yang bukan hanya efektif untuk anak normal tetapi juga efektif untuk anak berkebutuhan khusus. Agar metode yang digunakan bisa efektif juga untuk anak berkebutuhan khusus. 2. Analisis Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nur Khikmatunnisa’, NIM 2021210005 yang berjudul Implementasi Sistem Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita Di SDN Bendan 01 Pekalongan menyimpulkan bahwa:
15
Dasep Dadali, “Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif”, http://www.scribd.com/doc/101514501/pedoman-umum-inklusi#scribd. (30 Juli 2012). Diakses, 08 Maret 2016. 16
Rafa Ramdhani, “Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusi”, http://www.scribd.com/doc/146913300/Prosedur-Operasi-Standar-Pendidikan-Inklusi#scribd. ( 10 Juni 2013). Diakses, 24 Februari 2016.
13
Implementasi pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus tunagrahita di SDN Bendan 01 Pekalongan dengan menggunakan kurikulum tingkat satuan pembelajaran dengan modifikasi kurikulum di bawah standar pendidikan nasional. Proses input peserta didik di SDN Bendan 01 Pekalongan untuk ABK khususnya tunagrahita diidentifikasi oleh GPK dan guru kelas dengan pengamatan maupun wawancara pada ABK tersebut maupun wali murid dengan berpedoman pada alat identifikasi ABK tunagrahita dan berdasarkan pada rekomendasi psikolog maupun dokter spesialis. Kemudian terkait dengan metode yang digunakan untuk pembelajaran ABK tunagrahita di SDN Bendan 01 Pekalongan adalah metode ceramah, pembiasaan, tanya jawab, drill, demonstrasi, penugasan dan CTL, serta SKS (Sentuhan Kasih Sayang). Dan untuk evaluasi yang digunakan untuk ABK tunagrahita berupa tes tertulis, observasi, tes lisan, portofolio, jurnal, inventori dan penilaian antarteman. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi sistem pendidikan inklusif di SDN Bendan 01 Pekalongan terdiri dari faktor pendukung yaitu: kesiapan sekolah dalam melaksanakan pendidikan inklusif bagi ABK termasuk di dalamnya ABK tunagrahita seperti dengan adanya GPK, dukungan dari Dinas Pendidikan Provinsi/ Kementerian Dinas Pendidikan Pusat dalam bentuk pelatihan dan pendidikan bagi guru SDN Bendan 01 Pekalongan, dan beberapa wali murid yang mampu bekerjasama mendidik anaknya yang berkebutuhan khusus, serta siswa bebas dari segala pembiayaan sekolah. Sedangkan faktor penghambat adalah sarana prasarana yang belum cukup memadai untuk dapat menangani semua jenis ABK, kurangnya dukungan dari pemerintah kota setempat dalam pendanaan, ketenagakerjaan, dan sarana prasarana, kurangnya pemahaman walimurid yang memiliki ABK sehingga tidak membantu proses pembelajaran anak tersebut dan belum semua guru memperoleh pendidikan dan pelatihan mengenai penanganan siswa berkebutuhan khusus. 17 Antara penelitian yang dilakukan ini dan penelitian dari Nur Khikmatunnisa’ ini memiliki persamaan yaitu sama-sama mengangkat tema tentang pendidikan inklusi, selain itu tempat penelitiannya pun sama. Meskipun demikian, tentu terdapat perbedaan di antara keduanya yaitu bahwa penelitian yang dilakukan Nur Khikmatunnisa’ ini fokusnya cukup luas sebab dia mengkaji tentang implementasi yang meliputi kurikulum, 17
Nur Khikmatunnisa, “Implementasi Sistem Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita Di SDN Bendan 01 Pekalongan”, Skripsi Sarjana Pendidikan Agama Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2014), hlm. vii-viii.
14
metode, proses input, dan evaluasi di sekolah tersebut. Akan tetapi, dia hanya mengkhususkan diri pada anak dengan kebutuhan khusus tunagrahita saja. Sementara penelitian yang dilakukan fokusnya lebih khusus yaitu metode pembelajaran yang digunakan guru. Hal itupun hanya terfokus pada mata pelajaran PAI. Sementara siswa yang menjadi kajiannya adalah semua siswa yang ada di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan, baik itu siswa berkebutuhan khusus maupun siswa normal. Sehingga penelitian yang dilakukan ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Nur Khikmatunnisa’. Selanjutnya, penelitian dari Ita Ulfiana, NIM 232107316, yang berjudul “ Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Anak Autis di SLB PRI Buaran Pekalongan ” menyimpulkan bahwa: Terdapat problematika belajar pada anak autis di antaranya adanya gangguan konsentrasi yang disebabkan oleh gangguan lain diantaranya hiperaktif, adanya gangguan komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal yang berupa kesulitan atau keterlambatan berbicara dan adanya respon anak yang membutuhkan waktu yang lama saat proses pembelajaran, akibatnya siswa autis sulit untuk menerima materi. Faktor pendukung dan penghambat pembelajaran pendidikan agama Islam terbagi menjadi dua yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor pendukung intern dapat dilihat dari diri siswa yang mudah menerima materi pelajaran dengan bantuan guru yang memperhitungkan taraf kematangan siswa autis dan faktor pendukung ekstern dapat dilihat dari peran guru yang selalu menumbuhkembangkan semangat belajar siswa autis, faktor penghambat intern dapat dilihat dari karakteristik siswa yang berbeda-beda dan kurangnya minat dan motivasi dalam pembelajaran, sedangkan faktor penghambat ekstern diantaranya adalah kurangnya pendidik, kurangnya fasilitas, kurangnya alat atau media, tidak adanya buku pegangan PAI khusus untuk anak autis, alokasi waktu yang sempit, dan belum adanya kurikulum yang tertulis. Penerapan metode pembelajaran PAI pada anak autis di SDLB PRI Buaran Pekalongan sebenarnya hampir sama di sekolah-sekolah umum namun yang membedakan adalah diperlukannya pelayanan khusus bagi anak autis, yaitu dengan penyampaian materi yang berulang-ulang.
15
Dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, pendidik menggunakan metode ceramah, tanya jawab, peragaan, drill dan resitasi. Metode yang digunakan didasarkan pada karakteristik, kondisi dan kemampuan pesera didik.18 Antara penelitian yang dilakukan ini dengan penelitian dari Ita Ulfiana ini memiliki persamaan yaitu bahwa keduanya sama-sama mengkaji tentang metode pembelajaran PAI. Akan tetapi perbedaannya terletak pada tempat penelitiannya yaitu bahwa penelitian yang akan dilakukan itu di sekolah inklusi sementara penelitian dari Ita Ulfiana ini di SLB yang kondisinya tentunya berbeda. Selain itu, Ita Ulfiana hanya memfokuskan diri pada anak autis sedangkan penelitian yang dilakukan ini memfokuskan diri pada semua siswa di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan baik siswa berkebutuhan khusus ataupun siswa normal. 3. Kerangka Berpikir Sekolah inklusi adalah sebuah alternatif baru bagi dunia pendidikan. Dimana dalam konsep sekolah ini berusaha untuk lebih bersikap “wajar” kepada anak berkebutuhan khusus yaitu dengan membiarkannya berinteraksi dengan teman sebayanya dan belajar bersama mereka. Dengan perlakuan seperti ini diharapkan dapat mengasah mental anak menjadi lebih baik. Pelaksanaan sekolah inklusi diatur oleh pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional, yang kemudian menunjuk sekolah-sekolah tertentu untuk melaksanakan konsep pendidikan inklusi ini. Akan tetapi 18
Ita Ulfiana, “Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Anak Autis di SDLB PRI Buaran Pekalongan”, Skripsi Sarjana Pendidikan Agama Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2012), hlm. vii.
16
pelaksanaan pendidikan inklusif ini bukanlah hal yang mudah untuk diterapkan sebab banyak kendala yang muncul. Permasalahan muncul ketika anak berkebutuhan khusus itu dibaurkan dengan anak normal dalam proses belajar mengajar. Padahal yang namanya anak berkebutuhan khusus tentunya mempunyai kebutuhan yang berbeda dibanding dengan anak normal. Karena itu dalam proses pembelajarannya juga membutuhkan metode yang berbeda dengan anak normal yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus yang dimilikinya. Sementara banyak guru di sekolah inklusi belum dapat bekal tentang menangani anak berkebutuhan khusus. Guru harus bisa menentukan metode yang selain bisa diterima siswa normal juga bisa diterima siswa berkebutuhan khusus. Dari keterangan tersebut dapat dibuat bagan sebagai berikut: Guru PAI
Siswa-siswa di sekolah inklusi
Metode Pembelajaran di sekolah inklusi
17
F. Metodologi Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah field research. Menurut Sutrisno Hadi sebagaimana dikutip Beti Sri Rahayu bahwa field research atau penelitian lapangan adalah suatu riset yang dilakukan di kancah medan terjadinya gejala-gejala.19 Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Guba, sebagaimana dikutip oleh Uhar Suhasaputra, “penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menggunakan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.”20 2. Wujud Data Wujud data yang diperoleh dari hasil penelitian berupa kata-kata (diperoleh dari hasil wawancara), tindakan (yang diperoleh dari hasil observasi), serta tulisan (yang diperoleh dari hasil dokumentasi). 3. Sumber Data a. Sumber Data Primer Menurut Burhan Bungin, “sumber data primer adalah sumber pertama dimana sebuah data dihasilkan.”21 Dalam penelitian ini, sumber data primer yang diperoleh berasal dari guru PAI tentang metode pembelajaran PAI dan faktor penghambat dalam penerapan 19
Beti Sri Rahayu, “Pengaruh Pembelajaran Ta’lim Muta’alim Terhadap Akhlakul Karimah Siswa SMA Raden Rahmat Balong Bendo Sidoarjo”, Skripsi Sarjana Pendidikan Agama Islam (Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2014), hlm. 51. 20
Uhar Suhasaputra, Metode Penelitian (Bandung: Refika Aditama, 2012), hlm. 181.
21
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 132.
18
metode pembelajaran PAI di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder (sumber kedua) yang diperoleh berasal dari siswa-siswa di sekolah inklusi, kepala sekolah dan dokumendokumen SDN Bendan 01 Pekalongan. 4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian yang dilakukan ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Teknik Interviu Menurut Moh. Nazir, “interviu adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab antara si penanya dengan si penjawab dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (pedoman wawancara).22 Wawancara dilakukan dengan bebas terpimpin. Metode ini ditujukan kepada kepala sekolah dan guru PAI di sekolah SDN Bendan 01 Pekalongan. b. Teknik Observasi Observasi atau pengamatan adalah suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Dalam penelitian ini menggunakan observasi non partisipatif (nonparticipatory partisipation) yaitu pengamat tidak ikut serta dalam kegiatan, dia hanya berperan
22
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Graha Indo, 1983), hlm. 234.
19
mengamati kegiatan, tidak ikut dalam kegiatan. 23 Metode ini dilakukan dengan mengamati proses pembelajaran PAI yang sedang berlangsung. c. Teknik Studi Dokumenter Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, “studi dokumenter (documentary study) merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik.”24 Metode ini ditujukan untuk melihat dokumen-dokumen sekolah di SDN Bendan 01 Pekalongan. 5. Teknik Analisis Data Dalam
penelitian
ini,
analisis
data
dilakukan pada
saat
pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. 25Miles dan Huberman sebagaimana dikutip oleh Andi Prastowo, mengemukakan bahwa analisis data kualitatif adalah suatu proses analisis yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara
23
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 220. 24
25
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian..., hlm 221.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 246.
20
bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Sementara jika digambarkan dalam bagan sebagai berikut: Masa Pengumpulan Data ................................................................... Reduksi data
Antisipasi Selama
Pasca
Display data
ANALISIS
Selama
Pasca
Kesimpulan/Verifikasi Pasca26
Selama Berdasarkan gambar
tersebut
terlihat
bahwa,
setelah peneliti
melakukan pengumpulan data, maka peneliti melakukan antisipasi sebelum melakukan reduksi data. Antisipasi ini berguna untuk menentukan fokus penelitian sebab terkadang peneliti dalam melakukan pengumpulan data melebihi fokus penelitian, jika fokus penelitian jelas maka peneliti akan lebih mudah dalam mereduksi data. Setelah mereduksi data kemudian peneliti melakukan display data atau penyajian data yang selanjutnya ditarik kesimpulan.
27
Tahap analisis data ini dilakukan oleh peneliti sejak masa
pengumpulan data sampai pasca pengumpulan data.
26
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm.
241-242. 27
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D..., hlm. 246-247.
21
G. Sistematika Penulisan Pada penelitian yang dilakukan ini, peneliti menuliskan skripsi dengan membagi sistematika penulisan menjadi tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian isi dan bagian akhir. Bagian awal berisi: halaman judul, halaman surat pernyataan keaslian, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman persembahan, halaman moto, abstrak, kata pengantar, daftar isi, dan daftar lampiran. Bagian inti terdiri atas: BAB I: Pendahuluan, bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II: Landasan Teori yang dalam penelitian ini berjudul Sekolah Inklusi dan Metode Pembelajaran, berisi dua sub bab. Sub bab pertama berisi tentang sekolah inklusi yang meliputi: pengertian sekolah inklusi, karakteristik sekolah inklusi, tujuan sekolah inklusi, manfaat sekolah inklusi, siswa di sekolah inklusi, kurikulum di sekolah inklusi. Sub bab kedua berisi tentang metode pembelajaran meliputi pengertian metode pembelajaran, prinsipprinsip dalam memilih metode pembelajaran, macam-macam metode pembelajaran dan metode pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus. BAB III: Metode Pembelajaran PAI di Sekolah Inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan, yang terdiri dari empat sub bab. Sub bab pertama berisi gambaran umum SDN Bendan 01 Pekalongan, meliputi: Profil SDN Bendan 01 Pekalongan, visi dan misi SDN Bendan 01 Pekalongan, keadaan pengajar dan
22
karyawan SDN Bendan 01 Pekalongan, keadaan siswa SDN Bendan 01 Pekalongan. Sub bab kedua berisi metode pembelajaran PAI di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan. Sub bab ketiga berisi faktor penghambat dalam penerapan metode pembelajaran PAI di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan. Sub bab keempat berisi efektivitas metode pembelajaran PAI di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan. BAB IV: Analisis Metode Pembelajaran PAI di Sekolah Inklusi, berisi tiga sub bab. Sub bab pertama, analisis data tentang metode pembelajaran PAI di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan. Sub bab kedua, analisis data tentang faktor penghambat dalam penerapan metode pembelajaran PAI di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan. Sub bab ketiga, analisis efektivitas metode pembelajaran PAI di sekolah inklusi SDN Bendan 01 Pekalongan. BAB V
: Penutup, berisi tentang simpulan dan saran.
Bagian akhir berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran.