!
1!
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bedah refraksi merupakan teknik manajemen miopia yang sangat berkembang. Laser-Assisted insitu Keratomileusis (LASIK) adalah salah satu teknik bedah yang lebih banyak dipilih dibanding photorefractive keratectomy (PRK) karena pasien tidak merasakan nyeri maupun haze pasca bedah. Walaupun risiko yang dikaitkan dengan LASIK cenderung rendah, komplikasi yang berhubungan dengan flap dapat mengancam penglihatan permanen maupun terjadi ektasia kornea (Rajan et al., 2004). Jumlah operasi photorefractive keratectomy (PRK) telah meningkat tajam selama 20 tahun terakhir. Photorefractive Keratectomy merupakan teknik operasi pertama yang menggunakan excimer laser pada mata untuk mengkoreksi kesalahan refraksi. PRK secara efektif digunakan untuk mengkoreksi miopia sedang, astigmatism, dan hiperopia dengan teknik ablasi permukaan. Salah satu efek samping yang paling umum pada PRK adalah terjadi radang kornea, nyeri, dan haze, yang secara signifikan jumlahnya kurang dari 5 % (Lohmann et al., 1992). Radang kornea pasca PRK akan ikut mempengaruhi respon penyembuhan luka. Fenomena ini akan mempengaruhi hasil operasi dan bertanggung jawab terhadap penurunan keakuratan hasil PRK serta ketidakpuasan pasien (Alio dan Javaloy, 2013). !!
!
!
!
Peradangan pasca PRK dapat dihubungkan dengan nyeri, tanda-tanda radang mata luar, gangguan lapisan epitel kornea, maupun paparan dari akhiran saraf stromal. Dilaporkan tanda peradangan yang khas pasca PRK meliputi nyeri pada mata, fotofobia, sensasi terbakar dan benda asing. Tercatat juga terjadi edema pada kelopak mata dan injeksi konjungtiva (Mohammadi et al., 2012). Arshinoff dan Mills (1996) menyatakan bahwa 86% operator PRK meresepkan steroid segera setelah PRK. Vetrugno et al. (2001) menggunakan fluorometolon 0,1% pada pasien photorefractive keratectomy dengan koreksi miopia kurang dari -5 D. Alio dan Javaloy (2013) mengemukakan penelitiannya tentang follow up sepuluh tahun dari PRK dengan menggunakan fluorometolon dengan hasil yang aman untuk pasien miopia kurang dari -6 D. Proses penyembuhan pasca PRK bergantung kepada berat ringannya proses penyembuhan kornea. Dengan demikian, penggunaan antiradang yang lebih kuat menjadi hal yang penting. Deksametason merupakan agen antiradang yang lebih kuat dibandingkan fluorometolon. Banyak penelitian melaporkan deksametason mampu meningkatkan TIO lebih tinggi dibanding fluorometolon (Bartlett dan Jaanus, 2008). Deksametason merupakan salah satu pilihan terapi steroid yang banyak tersedia bebas di pasaran dan relatif murah. Fluorometolon sendiri merupakan steroid generasi baru yang memiliki kemampuan anti-radang yang lebih lemah tetapi memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan deksametason.
!
2!
!
!
B. Perumusan Masalah Berdasar uraian diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah tingkat peradangan pasca PRK setelah pemberian tetes mata deksametason lebih rendah dibandingkan dengan fluorometolon ? 2. Apakah peningkatan tekanan intraokular pasca PRK setelah pemberian tetes mata deksametason lebih tinggi dibandingkan dengan fluorometolon ? C. Tujuan Penelitian 1.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat peradangan pasien
pasca PRK yang diberikan
tetes mata deksametason dibandingkan dengan
fluorometolon. 2. Mengetahui perbedaan tekanan intraokular pasca PRK yang diberikan tetes mata deksametason dibandingkan dengan fluorometolon. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang perbedaan tekanan intraokular dan tingkat radang pasien pasca PRK
yang
diberikan tetes mata deksametason dibandingkan dengan fluorometolon. 2. Manfaat Praktis Deksametason diharapkan dapat dipertimbangkan pada terapi pasca PRK sebagai alternatif pengganti fluorometolon sebagai anti-radang.
!
3!
!
!
E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian mengenai pemberian kortikosteroid tetes mata dan kondisi kornea pasca photorefractive keratectomy telah dilakukan. Masih terdapat berbagai perbedaan hasil penelitian mengenai hal tersebut. Katsanevaki et al. (2007) meneliti hasil klinis satu tahun setelah epilasik pada miopia. Peneliti menggunakan tetes mata tobramycin-deksametason empat kali sehari sampai reepitelisasi kornea komplit. Hasilnya menunjukkan bahwa waktu penyembuhan epitel rata-rata 4,7 hari, dan setelah satu tahun, spherical equivalent dari mata yang dioperasi rata-rata mencapai -1.25 sampai +0,625 D, dengan 80,33 % sekitar 0,5 D (96.72% dalam 1 D) dari koreksi yang diharapkan. Pada interval yang sama, 86% pasien memiliki kornea yang jernih, dan 14% pasien memiliki haze yang tidak signifikan. Gartry et al. (1998) meneliti terapi ulang pada regresi signifikan setelah excimer laser photorefractive keratectomy. Regresi secara gradual atau bahkan kembali ke miopia awal kembali sering terjadi pada komplikasi pasca photorefractive keratectomy sehingga mengurangi prediksi dari target hasil refraksi, terutama pada miopia tinggi. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan deksametason 0,1% empat kali sehari selama satu minggu, dilanjutkan dua kali sehari selama tiga minggu. Hasilnya membuktikan bahwa haze yang signifikan setelah photorefractive keratectomy pertama merupakan faktor predisposisi utama yang menyebabkan hasil yang kurang baik setelah operasi. Terapi ulang akan mengurangi miopia residu secara signifikan dan mengurangi kemungkinan dari regresi ulang dimasa mendatang.
!
4!
!
!
Keskinbora (2000) meneliti hasil jangka panjang dari multizone photorefractive keratectomy pada miopia -6.0 sampai -10,0 D. Peneliti menggunakan deksametason 0,1% empat kali sehari selama minggu pertama. Dilanjutkan fluorometolon 0,25% empat kali sehari selama minimum 4 minggu dengan memperhatikan tekanan intraokular dan hanya 1.1% pasien mengalami kenaikan tekanan intraokular. Hasilnya semua pasien mengalami overkoreksi pada minggu pertama. Pada minggu kedua dan ketiga, rata-rata refraksi mulai mendekat emetropia. Setelah enam bulan, refraksi menjadi stabil dan tidak ditemukan regresi pada hampir semua pasien. Vetrugno et al. (2001) menggunakan fluorometolon 0,1% pada pasien photorefractive keratectomy dengan koreksi miopia kurang dari -5 D, dan menggunakan deksametason 0,1% pada pasien photorefractive keratectomy dengan koreksi miopia lebih dari -5 D. Kedua terapi digunakan dengan tappering selama 3 bulan. Penelitian ini membahas efek dari penggunaan steroid segera setelah photorefractive keratectomy pada klinis dan refractive outcome. Javadi et al. (2008) melaporkan dalam penelitiannya bahwa steroid topikal akan menyebabkan hipertensi okuli setelah PRK. Deteksi awal, manajemen segera, dan follow up ketat direkomendasikan. Peneliti menyarankan mengukur TIO pasca PRK tidak lebih dari 10-14 hari setelah pemberian kortikosteroid. Javadi et al. (2008) menggunakan betametason 0,1% 4 kali sehari selama 2 minggu, dilanjutkan fluorometolon 0,25%, yang di tappering bertahap (4, 3, dan 2 kali sehari setiap 2 minggu).
!
5!
!
!
Pada penelitian ini, deksametason maupun fluorometolon digunakan sebagai salah satu terapi pasca photorefractive keratectomy untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan radang penyebab haze telah dilakukan dengan aman pada penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah penekanan pada perubahan pola tekanan intraokular dan tingkat reaksi radang pasca photorefractive keratectomy dengan pemberian kortikosteroid.
!
6!