BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup banyak. Kurang lebih 30.000 dari 40.000 tanaman di dunia tumbuh di Indonesia. Akan tetapi, baru sekitar 26% yang telah dibudidayakan sedangkan 74% tanaman lain masih tumbuh liar di hutan. Sekitar 940 dari 26% tanaman yang dibudidayakan telah digunakan sebagai obat (Anonim, 2010). Dewasa ini, pemanfaatan tanaman sebagai obat semakin populer di kalangan masyarakat luas. Fenomena ini terjadi karena masyarakat luas beranggapan bahwa penggunaan obat tradisional memang lebih aman dibanding dengan obat kimia sintetis. Selain itu pengobatan tradisional juga dianggap lebih murah dan kebanyakan dapat dibuat sendiri oleh masyarakat. Namun yang menjadi masalah bagi masyarakat belakangan ini adalah kurangnya pengetahuan dan informasi yang memadai mengenai berbagai macam tumbuhan yang digunakan menjadi tanaman obat tradisional untuk mengobati penyakit tertentu dan cara pembuatannya (Thomas, 1989). Penggunaan obat tradisional sendiri memiliki banyak keunggulan dibanding dengan pengobatan menggunakan obat-obat modern, antara lain : 1. Efek samping obat tradisional lebih rendah dibanding obat modern jika penggunaannya tepat dan benar, baik tepat takaran/dosis, waktu penggunaan, cara penggunaan, ketepatan pemilihan bahan secara benar, serta ketepatan pemilihan tanaman obat untuk indikasi tertentu.
1
2
2. adanya efek komplementer dan atau sinergisme dalam ramuan obat tradisonal/komponen bioaktif tanaman obat, 3. adanya beberapa efek farmakologi dalam satu jenis tanaman, 4. selain itu obat-obat tradisional lebih cocok untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif. Selain memiliki berbagai macam keunggulan, obat tradisional juga memiliki beberapa kelemahan antara lain : 1. Efek farmakologisnya yang lemah, 2. bahan baku yang belum terstandar dan bersifat higroskopis, 3. belum dilakukan uji klinik serta mudah ditumbuhi oleh berbagai macam mikroba (Katno dan Pramono, 2001). Salah satu jenis tanaman yang sering dan banyak dijumpai di Indonesia adalah mawar (Rosa damascena Mill.). Bunga mawar (Rosa damascena Mill.) mengandung beberapa senyawa kimia antara lain terpen, glikosida, flavonoid, antosianin, asam karboksilat, vitamin C, kaempferol dan quersetin (Boskabady et al., 2011). Efek farmakologis yang dimiliki oleh bunga mawar (Rosa damascena Mill.) antara lain adalah efek anti-HIV, antibakteri, antioksidan, antitusiv, relaksan, hipnotik, dan sebagai antidiabetes ( Boskabady et al., 2011). Telah dilakukan berbagai macam penelitian tentang bunga mawar dalam berbagai spesies mengenai efek analgetika yang ditimbulkan (Christensen et al., 2008; Rakhsandeh et al., 2008; Maryline, 2012). Menurut Rakhsandeh dkk (2008)
3
bunga mawar memiliki efek analgetika yang berasal dari kandungan flavonoidnya. Telah dilakukan pengujian efek analgetika ektrak etanolik 70% spesies mawar Rosa chinensis Jacq.. Pengujian ini dilakukan menggunakan metode geliat dengan menginduksi senyawa asam asetat kadar 0,6% secara intraperitoneal pada mencit. Melalui metode ini, bunga mawar spesies Rosa chinensis Jacq. terbukti memiliki efek analgetika pada dosis ekstrak 0,005g/20g BB mencit(dosis I) dan 0,01g/20g BB mencit(dosis II) yang hampir setara dengan kontrol positif yaitu mencit yang diberi asetosal dengan dosis 13g/20g BB mencit. Hal ini dapat dilihat dari persentase protektif dan persentase efektivitas yang ditimbulkan oleh kedua dosis ekstrak. Dosis I menunjukkan persentase protektif sebesar 89,12% dan persentase efektivitas sebesar 98,15% sedangkan dosis II menunjukkan persentase protektif sebesar 73,69% dan persentase efektivitas 81,15%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase protektif asetosal sebesar 90,80% dan persentase efektivitasnya sebesar 100% sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ekstrak etanolik bunga mawar (Rosa chinensis Jacq.) memiliki efek analgetika yang bekerja secara perifer ( Marlyne, 2012). Penelitian lain juga dilakukan untuk menguji efek analgetika sentralbunga mawar (Rosa damascena Mill.) pada mencit dengan metode Hot Plate dan metode Tail Flick. Pengujian dilakukan dengan menggunakan 3 pelarut yang berbeda yaitu air, etanol, dan kloroform. Mencit diinjeksi senyawa uji dengan menggunakan 3 dosis berbeda untuk masing-masing ekstrak yaitu 100, 500, dan 1000 mg/kg. Pembanding yang digunakan dalam penelitian ini adalah morfin
4
dengan dosis 9mg/kg. Hasil yang diperoleh adalah ekstrak etanol dari bunga mawar (Rosa damascena Mill.) memiliki efek analgetika yang hampir setara dengan morfin, sedangkan ekstrak air dan kloroform dari bunga mawar (Rosa damascena Mill.) sama sekali tidak menunjukkan efek analgetika terhadap mencit. Senyawa yang diduga berperan dalam timbulnya efek analgetika dari ekstrak bunga mawar (Rosa damascenaMill.) dalam penelitian ini adalah quersetin dan kaempferol (Rakhsandeh et al., 2008). Penelitian lain yang menggunakan spesies mawar adalah penelitian dengan menggunakan spesies mawar Rosa canina Lin.. Penelitian ini merupakan penelitian metaanalisis yang meneliti tentang efek analgetika serbuk bunga mawar (Rosa canina Lin.) pada pasien Osteoartritis. Pengujian dilakukan terhadap dua kelompok yang berbeda, satu kelompok diberi serbuk bunga mawar dan kelompok lain diberikan serbuk plasebo. Kelompok yang diberi serbuk bunga mawar memiliki efek pengurangan rasa nyeri yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok plasebo ( Christensen et al., 2008). Hasil penelitian terdahulu mendorong untuk dilakukan penelitian mengenai efek analgetika dari spesies mawar (Rosa damascena Mill.) menggunakan metode Hot Plate dan geliat dengan dosis berbeda dari penelitian sebelumnya. Dosis yang digunakan adalah dosis 10mg/20gramBB mencit, dosis yang lebih besar (22mg/20gramBB mencit) serta dosis yang lebih kecil (1mg/20gram BB mencit) dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Dosis yang lebih kecil dan dosis yang lebih tinggi diambil untuk melihat ada tidaknya efek analgetika pada dosis yang lebih rendah dan lebih tinggi dibanding penelitian sebelumnya.
5
Sejauh ini, pemanfaatan bunga mawar lebih banyak sebagai kosmetika. Penggunaan bunga mawar (Rosa damascena Mill.) sebagai obat masih jarang diketahui oleh masyarakat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui salah satu efek farmakologis bunga mawar yaitu sebagai analgetika yang bekerja secara perifer dengan metode geliat dan efek analgetika yang bekerja secara sentral dengan metode Hot Plate.
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang dirumuskan pada penelitian ini adalah : 1. Apakah ekstrak etanol 70% bunga mawar (Rosa damascena Mill.) pada dosis 1mg/20gram BB mencit, 10mg/20gram BB mencit, dan 22mg/20gram BB mencitmemiliki efek analgetika yang bekerja secara sentral pada mencit betina galur Balb/c dengan metode Hot Plate ? 2. Apakah ekstrak etanol 70% bunga mawar (Rosa damascena Mill.) pada dosis 1mg/20gram BB mencit, 10mg/20gram BB mencit, dan 22mg/20gram BB mencitmemiliki efek analgetika yang bekerja secara perifer pada mencit betina galur Balb/c dengan metode geliat?
6
C. Tujuan Penelitan Tujuan dilakukan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui adanya efek analgetika sentral ekstrak etanolik 70% bunga mawar (Rosa damascena Mill.) pada dosis 1mg/20gram BB mencit, 10mg/20gram BB mencit, dan 22mg/20gram BB mencit. 2. Mengetahui adanya efek analgetika perifer ekstrak etanolik 70% bunga mawar (Rosa damascena Mill.) pada dosis 1mg/20gram BB mencit, 10mg/20gram BB mencit, dan 22mg/20gram BB mencit.
D. Tinjauan Pustaka 1. Klasifikasi Mawar Klasifikasi dari bunga mawar (Rosa damascena Mill.) adalah : Kindom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub-divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotiledonae
Ordo
: Rosanales
Famili
: Rosaceae
Genus
: Rosa
Spesies
: Rosa damascena Mill. (Anonim, 2000)
Gambar 1. Bunga Mawar (Rosa damascena Mill.)
7
Tanaman Rosa damascena Mill. merupakan hibrida dari tumbuhan Rosa gallica dan Rosa canina. Rosa damascena Mill. yang masuk dalam famili Rosaceae merupakan salah satu tanaman penghasil minyak esensial. Bunga mawar (Rosa damascena Mill.) menghasilkan minyak esensial yang digunakan dalam pembuatan parfum, kosmetik, makanan, dan obat (Lebaschi, 2012; Ginova et al., 2013). Rosa damascena Mill. merupakan tanaman subtropis yang berasal dari Damascus yang merupakan bagian dari Syria. Tumbuhan Rosa damascena Mill. dapat tumbuh hingga 2,2 meter. Batangnya yang kuat dan padat memiliki duri yang melengkung serta bulu-bulu yang kaku. Daunnya berbentuk menyirip dengan jumlah rata-rata daunnya sebanyak 5 dan terkadang 7. Gambar 1 menunjukkan bahwa bunga dari Rosa damascena Mill. berwarna merah muda hingga merah dan tumbuh secara berkelompok. Jumlah kelopak bunga berkisar antara 17-25. Bunganya memiliki bau harum yang tajam. Daun tumbuhan mawar ini berwarna hijau (Anonim, 2010). Menurut Kumar (2006), bunga mawar (Rosa damascena Mill.) memiliki kandungan
butin
4'-O-(2''-O-beta-D-apiofuranosyl)-beta-D-glucopyranoside,
liquiritin, liquiritin apioside, isoliquiritri apioside, davidioside, quercetin, kaempferol, kaempferol 3-O-beta-D-glucopyranoside and kaempferol 3-O-alphaL-arabinofuranoside. Gambar 2 dan 3 menunjukkan bahwa quersetin dan kaempferol merupakan senyawa flavonoid yang memiliki kerangka dasar flavonol.
8
Gambar 2. Struktur Quersetin (Anonim, 2015)
Gambar 3. Struktur Kaempferol (Anonim, 2015)
Efek farmakologi dari bunga mawar (Rosa damascena Mill.) berdasarkan kandungan kimianya meliputi efek anti-HIV, antibakteri, antioksidan, antitusif, relaksan, hipnotik, dan sebagai antidiabetes. Terapi uap bunga mawar (Rosa damascena Mill.) bahkan dapat menyembuhkan alergi, sakit kepala, dan migrain (Boskabady et al., 2011). Ekstrak etanol bunga mawar (Rosa damascena Mill.) pada dosis 100, 500, dan 1000 mg/kg terbukti memberikan efek analgetika yang bekerja secara sentral. Efek analgetika yang muncul ini diduga disebabkan karena adanya kandungan quersetin dan kaempferol (Rakhsandeh et al., 2008). Mekanisme dari senyawa quersetin dan kaempferol sebagai analgetika adalah memodulasi metabolisme asam arakhidonat melalui inhibisi aktivitas siklooksigenase dan lipooksigenase
9
(Tapas et al., 2008). Inhibisi aktivitas siklooksigense dan lipooksigenase akan menghambat terbentuknya mediator inflamasi seperti prostaglandin dan leukotrien (Neal, 2012). Ekstrak bunga mawar (Rosa damascena Mill.) dalam etanol dan air juga terbukti meningkatkan waktu tidur mencit yang diinduksi pentobarbital dibandingkan dengan diazepam (Rakhshandah et al., 2004 ; Rakhshandah dan Hosseini, 2006). Ekstrak bunga mawar (Rosa damascena Mill.) juga memiliki efek hepatoprotektor pada tikus yang diinduksi CCl4 pada dosis akut yang bersifat hepatotoksik. Efek hepatoprotektor ini diduga behubungan dengan efek antioksidan dari ekstrak bunga mawar (Rosa damascena Mill.) (Achuthan et al., 2003). Selain itu, ekstrak bunga mawar (Rosa damascena Mill.) dalam air pada konsentrasi rendah juga memiliki efek antidepresan (Dolati et al., 2011).
2. Ekstraksi a. Ekstrak Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Anonim, 1995). b. Metode Ekstraksi 1).Ekstraksi dengan menggunakan pelarut a). Cara Dingin
10
(1). Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia yang paling umum dilakukan. Prosesnya adalah dengan merendam simplisia menggunakan pelarut yang sesuai di dalam tabung tertutup selama beberapa hari sambil diaduk ataupun digojog. Maserasi pada umumnya dilakukan pada suhu ruangan. Prosesnya dapat diulang sebanyak satu atau dua kali dengan menggunakan pelarut yang baru. Kelemahan dari metode ini adalah dibutuhkannya waktu yang lama (Mahdi dan Altikriti, 2010). (2). Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan merendam simplisia dengan menggunakan pelarut yang sesuai di dalam perkolator. Berikutnya pelarut di alirkan dari atas perkolator dan keluar sedikit demi sedikit di ujung bawah perkolator. Perkolasi cocok untuk ekstraksi skala kecil maupun besar. Adanya bubuk halus atau resin dari tanaman dapat menyumbat perkolator sehingga cairan penyari tidak dapat keluar (Mahdi dan Altikriti, 2010). b). Cara Panas (1). Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendinginan balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Anonim, 2000).
11
(2). Metode Sokhlet Metode Sokhlet adalah merupakan cara ekstraksi yang dipilih untuk mengekstraksi senyawa yang memiliki kelarutan dalam pelarut rendah. Prosesnya adalah dengan meletakkan simplisia di dalam wadah berpori dan simplisia dialiri secara terus menerus dengan pelarut yang terkondensasi (Anonim, 2003). (3). Digesti Digesti adalah proses ekstraksi yang sama dengan maserasi namum dilakukan pada suhu yang lebih tinggi. Digesti dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa-senyawa yang stabil terhadap panas. Metode ekstraksi ini dapat meningkatkan efisiensi pelarut (Handa et al., 2008) (4). Infundasi Infundasi adalah ekstraksi dengan merendam simplisia dengan airdi bejana infus yang tercelup dalam penangas air mendidih dengan temperatur terukur (96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Anonim, 2000 ; Handa et al., 2008) (5). Dekokta Dekokta adalah infus pada waktu yang lebih lama (lebih dari sama dengan 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air. 2). Destilasi Uap Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak atsiri) dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peritiwa tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel
12
secara kontinu sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa kandungan menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian. Bahan (simplisia) benar-benar tidak tercelup ke air yang mendidih pada destilasi uap. Namun, dilewati uap air sehingga senyawa kandungan menguap ikut terdestilasi. Bahan (simplisia) bercampur sempurna atau sebagian dengan air mendidih pada destilasi uap dan air sehingga senyawa kandungan menguap tetap kontinu ikut terdestilasi (Anonim, 2000).
3. Nyeri dan Klasifikasi Nyeri a. Nyeri Nyeri adalah perasaan sensori dan emosional yang tidak enak dan yang berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Rasa nyeri merupaan suatu gejala yang berfungsi untuk melindungi tubuh. Nyeri merupakan suatu pertanda adanya gangguan di jaringan. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis(kalor, listrik) dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan mediatormediator nyeri (Tjay dan Rahardja, 2005). Nyeri menurut tempat terjadinya dapat dibagi menjadi dua yaitu nyeri somatik dan nyeri viseral. Yang dimaksud dengan nyeri somatik adalah nyeri yang dimediasi oleh serabut A-delta bermyelin yang memiliki ambang batas nyeri yang tinggi. Serabut ini menghantarkan rasa nyeri dengan cepat. Nyeri ini
13
merupakan nyeri yang menusuk dan intens. Impuls ini masuk ke sumsum tulang belakang melalui dorsal horn yang pada akhirnya impuls akan berakhir di lamina I di sumsum tulang belakang. Sedangkan nyeri viseral merupakan nyeri yang dimediasi oleh serabut C polymodal tidak bermyelin yang menghantarkan impuls lebih lambat dibanding A-delta. Karakteristik dari nyeri yang ditimbulkan adalah adanya rasa terbakar. Impuls pada nyeri viseral juga masuk ke sumsum tulang belakang melalui dorsal horn dan berakhir di lapisan terluar lamina II (Wingard et al., 1991).
b. Mediator Nyeri Beberapa mediator yang perperan dalam proses timbulnya rasa nyeri adalah histamin, serotonin, bradikinin, leukotrien, dan prostaglandin. Bradikinin merupakan jenis polipeptida yang dibentuk dari protein plasma. Prostaglandin merupakan mediator nyeri yang strukturnya mirip dengan asam lemak dan terbentuk dari asam arakhidonat. Bradykinin dan prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung saraf sensori bagi rangsangan nyeri yang diakibatkan oleh mediator lainnya (Tjay dan Rahardja, 2005). Bila membran sel mengalami kerusakan , maka enzim fosfolipase akan diaktifkan dan mengubah fosfolipid menjadi asam arakhidonat. Asam lemak poli tak jenuh ini kemudian diubah sebagian oleh enzim cyclo-oxygenase (COX) menjadi asam endoperoksida dan seterusnya menjadi zat-zat prostaglandin. Sebagian lain dari asam arakhidonat diubah menjadi leukotrien. Enzim cyclooxygenase sendiri dibagi menjadi dua iso-enzim yaitu COX-1 dan COX-2 dengan
14
berat molekul dan daya enzimatisasi yang sama. COX-1 terdapat di kebanyakan jaringan antara lain di pelat-pelat darah, ginjal, dan saluran cerna. Zai ini berperan dalam pemeliharaan perfusi ginjal, homeostase vaskuler, dan melindungi lambung dengan jalan membentuk bikarbonat dan lendir, serta menghambat produksi asam. COX-2 pada keadaan normal tidak terdapat di jaringan, tetapi dibentuk selama proses peradangan oleh sel-sel radang dan kadarnya dalam sel meningkat hingga 80 kali. Mediator nyeri dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain (Mutschler, 2010).
c. Nociceptor Nociceptor merupakan sel saraf aferen primer yang dapat membedakan antara rangsangan yang berbahaya (merusak) maupun yang tidak berbahaya (tidak merusak). Akson dari sel saraf ini pada umumnya ada dua jenis yaitu yang bermyelin (serabut A-delta) dan tidak bermyelin (serabut C) (Portenoy dan Kanner, 1996). Ada 3 kelas utama nociceptor yang tersebar luas di dalam tubuh meliputi thermal nociceptor, mechanical nociceptor, dan polymodal nociceptor. Thermal nociceptor merupakan reseptor nyeri yang peka terhadap rangsangan panas maupun dingin. Reseseptor ini terstimulasi pada suhu > 45oC atau < 5oC karena pada suhu tersebut sudah mulai terjadi kerusakan jaringan. Mechanical nociceptor adalah reseptor teraktivasi oleh adanya kerusakan jaringan oleh rangsang mekanis. Polymodal nociceptor merupakan reseptor nyeri yang dapat teraktivasi melalui
15
rangsang mekanik, termal, maupun kimia. Senyawa endogen yang dapat menstimulasi reseptor ini adalah kalium, bradikinin, substansi P, histamin, dan proteolik enzim (Kelly, 2005). Nociceptor ini terdapat di seluruh jaringan di organ tubuh, kecuali di Sistem Saraf Pusat(SSP). Nociceptor menyalurkan rangsangan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat banyak sinaps via sumsum belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Impuls kemudian diteruskan dari thalamus (opticus) ke pusat nyeri di otak besar , dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay dan Rahardja, 2005).
4. Analgetika a. Pengertian Analgetika Analgetika merupakan senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anastesi umum (Mutschler, 2010). b. Penggolongan Analgetika Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetik dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni : 1). Analgetika perifer (non-narkotik) yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja secara sentral. Obat-obat ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Yang termasuk dalam kelompok analgetika perifer adalah parasetamol, salisilat (salisilat, salisilamida, dan benorilat), penghambat
16
prostaglandin (NSAID) misalnya ibuprofen, derivat-derivat antranilat misalnya mefenamat
dan
floktafenin,
serta
derivat-derivat
pirazolinon misalnya
aminofenazon (Tjay dan Rahardja, 2005). Mekanisme kerja dari obat golongan NSAID adalah penghambatan produksi prostaglandindengan menghambat kerja enzim siklooksigenase (COX) pada luka di perifer sehingga menurunkan pembentukan mediator nyeri di sistem saraf perifer. Penghambatan COX secara tidak spesifik ini menyebabkan ulcer pada saluran cerna dan dapat membahayakan ginjal (Craig dan Stizel, 1997). 2). Analgetika sentral (narkotik) adalah zat yang bekerja terhadap reseptor opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi). Tubuh sendiri pada dasarnya memproduksi zat yang bekerja di reseptor opioid yang disebut Endorfin. Endorfin bekerja dengan jalan menduduki reseptor-reseptor nyeri di SSP, hingga perasaan nyeri dapat di blokir. Khasiat analgetika opioid didasarkan pada kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum ditempati endorfin. Penggunaan analgetika sentral secara terus menerus dapat menyebabkan stimulasi pembentukan reseptorreseptor baru dan akhirnya timbul kebiasan dan ketagihan. Analgetika golongan ini memiliki banyak efek samping seperti supresi di SSP, pengurangan motilitas saluran cerna, kontraksi sfingter kantung empedu, retensi urin, motilitas uterus yang berkurang, bronkokonstriksi, vasodilatasi pembuluh darah, hipertensi, dan bradikardia serta terstimulasinya pelepasan
17
histamin. Yang termasuk dalam analgetika golongan ini adalah morfin, kodein, heroin (Tjay dan Rahardja, 2005). Kelompok analgetika sentral pada awalnya ditemukan pertama kali melalui isolasi alkaloid dari opium yang berasal dari lateks tanaman Papaver somniverum. Kandungan terbanyak di lateks tanaman Papaver somniverum ini adalah morfin (3-20%) yang merupakan analgetika kuat. Beberapa alkaloid lain yang terkandung di dalamnya adalah papaverine, codeine, narcotine, thebaine, dan narceine. Codein memiliki efek analgetika yang lemah tetapi biasanya digunakan sebagai obat batuk karena memiliki efek antitusif (Lewis dan ElvinLewis, 1977).
5. Parasetamol Parasetamol merupakan salah satu obat yang banyak dijumpai sebagai analgetika. Selain bekerja sebagai analgetika, parasetamol juga memiliki efek antipiretik. Tidak seperti NSAID, parasetamol tidak memiliki efek antiinflamasi dan tidak mengiritasi lambung. Selain itu, parasetamol merupakan analgetika yang bekerja di perifer dan tidak menekan SSP (Bertolini et al., 2006). Mekanisme
kerja
dari
parasetamol
adalah
menghambat
terbentuknya
prostaglandin melalui penghambatan COX-1 maupun COX-2 (Graham et al., 2013). Pada orang dewasa, penggunaan parasetamol adalah sebesar 325-650 mg setiap 4-6jam (Anonim, 2007). Penggunaan parasetamol sebesar ≥ 150 mg/kg pada manusia dewasa dalam 24 jam menyebabkan toksisitas akut dan efek
18
hepatotoksisitas muncul setelah 1-3 hari pemberian dosis akut (O’Malley dan O’Malley, 2015).
6. Metode Pengujian Analgetika a. Metode Sigmund Pada metode ini, obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi oleh rangsangan kimia (pemberian fenilbenzokuinon) pada hewan uji yaitu mencit. Rasa nyeri ini pada mencit diperlihatkan dalam bentuk respon gerakan geliat. Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajad nyeri yang dinyatakan. Adanya aktivitas analgetika dinyatakan oleh lebih sedikit terjadi jumlah geliatan nyeri pada mencit sebesar ≥ 50% dari kelompok kontrol (Anonim, 1991). b. Metode Hot Plate Pada metode analgetika, obat yang akan diujikan pada hewan uji yang di induksi nyeri secara fisik yaitu dengan menempatkan di atas plat panas dengan suhu tetap yaitu 55-55,5oC. Hewan uji akan memberikan respon berupa menjilat kaki depan atau meloncat. Dihitung waktu reaksi pada percobaan ini, yaitu waktu yang dibutuhkan dari pemberian stimulus hingga hewan uji menimbulkan efek meloncat dan menjilat kaki. Waktu maksimum meletakkan hewan uji di atas plat panas adalah 15 detik karena jika terlalu lama akan menyebabkan kaki hewan uji terbakar dan melepuh. Respon analgetika dinyatakan positif jika waktu reaksi setelah pemberian obat lebih besar dari 30 detik yang terjadi paling sedikitnya satu kali, atau apabila paling sedikitnya tiga kali pembacaan memperlihatkan
19
waktu reaksi sama dengan atau lebih besar dari 3x waktu normal (Anonim,1991 ; Turner dan Hebborn, 1965). c. Metode pengujian analgetika untuk nyeri sendi Pada pengujian ini, dilakukan pengamatan terhadap hewan uji yang telah diindusi nyeri oleh suntikan secara intra artikular larutan AgNO3 1%. Sediaan uji dinyatakan bersifat analgetika untuk nyeri sendi, bila hewan tidak mencicit kesakitan oleh gerakan fleksi yang dipaksakan, pada waktu-waktu setelah pemberian sediaan uji (Anonim, 1991). d. Metode Formalin Pada metode ini, sifat analgetika suatu sediaan diamati dari hewan uji yang diberi induksi nyeri dengan pemberian formalin. Formalin yang diinjeksikan secara subkutan ke dalam kaki hewan uji akan menimbulkan respon menjilat atau menggigit kaki yang terinjeksi formalin (Heidari et al, 2009).
E. Landasan Teori Nyeri merupakan perasaan sensori dan emosional yang tidak enak dan yang berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Pengobatan nyeri sendiri dapat digolongkan menjadi dua golongan obat yaitu dengan analgetika narkotik yang bekerja di sistem saraf pusat dan analgetika non narkotik yang bekerja di sistem saraf perifer. Sejauh ini pemanfaatan bunga mawar hanya digunakan sebagai bahan kosmetik. Bunga mawar memiliki berbagai macam kandungan kimia. Kandungan kimia dari bunga mawar telah terbukti memiliki efek farmakologis seperti
20
antioksidan dan analgetika. Namun, bunga mawar belum banyak dimanfaatkan untuk pengobatan. Menurut beberapa penelitian sebelumnya, telah terbukti bahwa beberapa spesies mawar seperti Rosa chinensis Jacq., Rosa canina Lin., dan Rosa damascena Mill. memiliki efek analgetika yang bekerja secara sentral maupun perifer. Oleh karena itu, ekstrak etanol bunga mawar (Rosa damascena Mill.) dapat memberikan efek analgetik yang bekerja secara sentral maupun secara perifer dengan mempengaruhi pembentukan prostaglandin.
F.Keterangan Empiris Penelitian sebelumnya mengenai ekstrak bunga mawar Rosa chinensis Jacq., Rosa damascena Mill., dan Rosa canina Lin.telah membuktikan bahwa bunga mawar yang masuk dalam famili Rosaceae memiliki efek analgetika. Oleh karena itu, ekstrak etanol 70% bunga mawar (Rosa damascena Mill.) diperkirakan memiliki efek analgetika yang dapat bekerja sebagai analgetika sentral maupun analgetika perifer.