BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Karst adalah suatu bentanglahan yang memiliki sistem hidrologi dengan
ciri tersendiri. Bentanglahan ini tercipta dari batuan yang mudah larut, seperti batu gamping, dolomit, gypsum, halit, dan konglomerat. (Karimi, 2012). Definisi lain menyebutkan bahwa karst dikenal sebagai suatu kawasan yang memiliki keunikan tersendiri dan dicirikan oleh topografi eksokarst seperti lembah karst, doline, uvala, polje serta berkembangnya sistem drainase bawah permukaan yang jauh lebih mendominasi dari pada sistem drainase atas permukaan. (Adji dkk, 1999 dalam Haryono dan Adji, 2004). Gilli (2015) menyebutkan bahwa bentukan-bentukan yang dapat ditemui di bentangalam karst sangat bervariasi, akan tetapi karakteristik komponen karst secara umum ada 5 hal yakni adanya karren atau lapies, adanya cekungan tertutup atau doline, ditemukan adanya gua dan sistem perguaan, adanya aliran permukaan yang hilang menjadi aliran bawahtanah atau sinking stream, ditemukan adanya mataair dengan debit yang besar. Permukaan bumi yang tidak diselimuti es dan dapat dijumpai batuan karbonat hanya sebesar 12% saja, serta 7% hingga 10% dari luasan tersebut merupakan bentukan karst. (Ford and William, 2007). Air hujan yang jatuh pada kawasan karst akan masuk ke dalam pori-pori batuan karbonat penyusun bentuklahan karst yang selanjutnya terjadi proses pelarutan. Porositas batuan karbonat yang semula kecil dalam jangka waktu tertentu akan berkembang menjadi lebih besar dan akan saling berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. Hasil dari proses pelarutan ini adalah terbentuknya bentukan-bentukan eksokarst maupun endokarst. Batuan karbonat akan mudah terlarutkan oleh air hujan dan air freatik yang banyak mengandung gas karbondioksida (Bogli, 1980). Bloom (1991) menjelaskan proses pelarutan tersebut dengan persamaan reaksi sebagai berikut : CaCO3 + H2O + CO2 Ca2+ + 2HCO32- ……………. (1)
1
Dari persamaan reaksi tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin banyak air yang mengandung gas karbondioksida (CO2) maka akan semakin mudah air tersebut melarutkan batuan karbonat. (Adji, 2005). Berdasarkan gambaran tentang topografi karst tersebut, permasalahan yang sering muncul di daerah karst adalah sulitnya akses air terutama pada saat musim kemarau. Akses terhadap sumberdaya air yang sulit dikarenakan pada daerah bertopografi karst tidak memungkinkan tersedianya cadangan air permukaan dalam jumlah yang banyak sepanjang tahun. Banyaknya rongga-rongga atau diaklas pada daerah karst sehingga menjadikan mudahnya air di permukaan masuk ke bawah tanah dan menjadi cadangan air bawah tanah yang cukup sulit untuk diakses. Sistem hidrologi karst menjadikan minimnya akumulasi cadangan air permukaan yang dapat dimanfaatkan, tapi disisi lain hilangnya air pemukaan dan aliran permukaan yang langsung masuk ke dalam tanah menjadikan akuifer karst memiliki potensi sumberdaya air yang cukup tinggi terutama dari segi kuantitas. Ketersediaan air yang ada didalam tanah ini bisa dikatakan sebagai cadangan airtanah pada bentuklahan karst. Akan tetapi lokasinya yang jauh dari permukaan dan perlu pengelolaan secara teknis dalam pemanfaatannya sehingga potensi airtanah yang melimpah ini akan sia-sia karena tidak termanfaatkan secara optimal bahkan di beberapa tempat menjadi terbuang percuma karena muara aliran air langsung bermuara di laut. Sungai Bawah Tanah (SBT) merupakan hasil bentukan proses pelarutan. Aliran sungai bawah tanah ini jauh lebih berkembang dari pada aliran sungai permukaan pada bentanglahan karst. Terbentuknya sungai bawah tanah tidak terlepas dari terbentuknya gua-gua karst. Oleh Palmer (2007) disebutkan bahwa gua merupakan bentukan rongga kosong di bawah tanah hasil pelarutan batuan yang soluble dengan ukuran yang cukup besar sehingga memungkinkan manusia untuk bisa memasukinya. Keberadaan gua-gua karst yang saling terhubung satu sama lain menjadikannya sebagai sistem perguaan, kemudian sistem perguaan ini ketika terisi oleh air maka menghasilkan sungai bawah tanah. (Kusumayudha, 2005).
2
Salah satu sungai bawah tanah yang ada di daerah kajian yakni Kabupaten Gunungkidul adalah sistem sungai bawah tanah Pindul. Sistem sungai bawah tanah pindul ini melewati beberapa gua yang berada di Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Potensi sumberdaya air bawah tanah pada sistem ini tergolong besar serta dimanfaatkan oleh penduduk sekitar guna mengairi areal persawahan. Melihat fakta ini, menjadi hal yang menarik untuk mengkaji bagaimana kondisi hidrogeologi mencakup aliran permukaan, sistem aliran bawah tanah Pindul, karakteristik akuifer serta batas daerah tangkapan dari sistem Pindul. 1.2.
Rumusan Masalah Fisiografi Basin Wonosari yang berada di Kabupaten Gunungkidul
merupakan suatu dataran nyaris yang mengalami pengangkatan dan perlipatan yang disebabkan oleh tenaga geologi berupa tenaga endogen dan eksogen dengan litologi yang mendominasi adalah batu gamping dengan banyak struktur kekar yang berkembang sehingga tipe akuifernya berupa akuifer rekahan batu gamping dengan kedalaman yang relatif dangkal. Basin Wonosari selama ini dianggap bukan sebagai kawasan karst, akan tetapi observasi di lapangan menunjukkan bahwa terdapat aliran sungai bawah tanah yaitu sistem Pindul. Belum pernah dilakukannya riset tentang hidrogeologi sistem Pindul ini menjadi alasan penulis untuk mengetahui kondisi hidrogeologinya. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. bagaimanakah sistem Gua Pindul? 2. bagaimanakah batas daerah tangkapan sistem Gua Pindul? 3. bagaimanakah karakteristik akuifer karst sistem Gua Pindul? Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian maka diperoleh dasar pemikiran bahwa pendekatan ilmiah untuk mengetahui karakter akuifer karst dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi hidrogeologinya, sehingga penyusun memilih judul penelitian skripsi: “Kajian Hidrogeologi Karst Sistem Gua Pindul, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul”
3
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. mengetahui sistem Gua Pindul 2. mengetahui batas daerah tangkapan sistem Gua pindul 3. menganalisis karakteristik akuifer karst sistem Gua Pindul
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian mengenai karakteristik akuifer karst skala lokal ini dapat
memberikan beberapa manfaat, antara lain : a. kegunaan secara pragmatis penelitian ini kepada masyarakat adalah memberikan informasi mengenai potensi akuifer karst baik pada musim penghujan maupun pada musim kemarau. b. manfaat lain yang lebih luas adalah penelitian ini pada waktu mendatang dapat berfungsi sebagai referensi untuk manajemen Ekosistem Karst Gunung Sewu terutama dalam aspek hidrologi mencakup kebutuhan konservasi, eksplorasi, dan pengelolaan sumberdaya air. c.
manfaat secara akademis terkait keperluan pengembangan riset teknologi dan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan juga berperan sebagai acuan dalam pembelajaran ilmu bumi terutama di bidang geografi fisik dan lingkungan terlebih dalam lingkup kajian kawasan karst.
1.5. 1.5.1.
Tinjauan Pustaka Karst dan Karstifikasi Istilah karst berasal dari Bahasa Jerman yang merupakan turunan dari
Bahasa Slovenia yakni “kras” yang memiliki arti lahan gersang dan berbatu. Awalnya istilah ini tidak ada kaitannya dengan bentanglahan asal proses solusional, akan tetapi di Indonesia kemudian diadopsi untuk penyebutan bentanglahan asal proses solusional atau pelarutan. Summerfield, (1991) berpendapat bahwa istilah karst sebagai daerah yang mengalami pengangkatan batuan karbonat dengan sistem drainase permukaan yang tidak berkembang, memiliki solum tanah yang tipis, terdapatnya cekungan-cekungan tertutup atau
4
disebut dengan doline, serta sistem drainase bawah permukaan yang jauh lebih berkembang. Terbentuknya topografi karst tidak hanya terjadi pada daerah berbatuan karbonat, tetapi juga pada daerah dengan batuan lain seperti batu garam dan gipsum yang mudah larut. Dikarenakan keterdapatan batuan karbonat yang tersebar hampir merata di seluruh Indonesia, maka topografi karst lebih banyak berkembang di batuan karbonat. (Haryono dan Adji, 2004). Faktor yang mendorong terbentuknya topografi karst ada empat hal, yakni pertama terdapatnya batuan yang mudah larut terutama batuan karbonat. Kedua adalah batuan karbonat tersebut harus kompak dan memiliki banyak diaklas. Ketiga adanya lembah yang luas yang berada di bawah pegunungan di bagian dasarnya terdapat batuan yang mudah larut serta banyak kekar. Keempat adalah adanya curah hujan yang cukup. (Thornburry, 1954). Bentanglahan karst mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan bentanglahan yang lain. Proses geomorfologi yang didominasi oleh proses pelarutan merupakan keunikan pada bentanglahan karst, walaupun terdapat proses pengangkutan material oleh proses erosi akan tetapi pelarutan dan pengangkutan solusional merupakan proses yang paling dominan dalam pembentukan bentanglahan karst. (White, 1988). Kenampakan bentanglahan karst ditunjukkan seperti Gambar 1.1. Blair (2008) menambahkan juga bahwa terdapat setidaknya tujuh faktor penting yang saling mempengaruhi dalam perkembangan bentanglahan karst, yakni lithologi, struktur, relief, hidrologi, iklim, vegetasi, dan waktu.
Gambar 1.1 Kenampakan Bentanglahan Karst (Sumber: Marshak, 2008 dalam Gellegos, 2011)
5
Proses pelarutan atau yang biasa disebut karstifikasi adalah suatu proses yang mengubah batuan karbonat menjadi topografi karst. Agen geomorfologi yang mengontrol proses pelarutan ini adalah air, dalam skala ruang dan waktu proses pelarutan oleh air ini akan tercipta bentukan fenomena karst baik di permukaan maupun dibawah permukaan. Hasil dari proses karstifikasi ini yang terbentuk di permukaan disebut dengan eksokarst, sedangkan yang berkembang di bawah permukaan disebut dengan endokarst. (White, 1988). Tingginya
kandungan
CaCO3
akan
berbanding
lurus
dengan
berkembangnya topografi karst. Kekompakan batuan ikut menentukan kestabilan suatu topografi karst setelah mengalami pelarutan. Hal ini contohnya terjadi pada batuan yang lunak, kenampakan karst akan berhenti berkembang dikarenakan kenampakan yang terbentuk akan tergerus oleh proses pelarutan itu sendiri maupun yang diakibatkan oleh erosi dan mass movement. (Haryono dan Adji, 2004). Gambar 1.2 menyajikan tentang variabel utama yang mengontrol proses pelarutan atau karstifikasi.
Gambar 1.2 Variabel utama yang mengontrol proses pelarutan atau karstifikasi. (Trudgill, 1985 dalam Haryono 2001). 1.5.2.
Hidrogeologi Karst Batuan karbonat yang mengalami pengangkatan akan terbentuk topografi
karst yang dicirikan dengan adanya cekungan tertutup dengan ukuran yang
6
berbeda, sistem drainase bawah permukaan, serta ditemukannya gua-gua. (Pratistho, 1995). Secara morfologi, Monroe (1907) membedakan topografi karst menjadi doline karst, cone karst, dan tower karst. Sirkulasi air pada akuifer karst tidak begitu dipengaruhi oleh rongga antar butir, akan tetapi lebih dipengaruhi oleh adanya retakan, rekahan, dan saluran. Oleh sebab itu, pengaruh porositas primer dapat terabaikan, sedangkan porositas yang menyusun sebagian porositas total adalah porositas sekunder (kekar dan sesar intensif). Endapan batuan karbonat massif memiliki porositas dan permeabilitas primer yang sangat rendah. Berkembangnya porositas dan permeabilitas sekunder terbentuk karena adanya pelarutan dan terjadi pelebaran pada berbagai celah yang ada pada batuan karbonat, sebagai contoh seperti pada bidang perlapisan, kekar, sesar, rekahan dan lain sebagainya. (Fetter, 1994). Konduktivitas hidraulika suatu akuifer karst dikontrol oleh ukuran rongga dan keterkaitan antar rongga tersebut. Airtanah yang mengalir melalui ronggarongga tersebut dipengaruhi oleh gaya gravitasi. (Smart, dkk (1991)). Akuifer yang memiliki rekahan rapat menyebabkan akuifer ini menjadi homogen, sebaliknya akuifer yang rekahannya jarang (daerah karst) akan memiliki sifat heterogen. (Kusumayudha, 2005). Terdapat dua macam aliran airtanah pada sistem akuifer karst, yakni aliran rembesan (diffuse flow), dan aliran saluran (conduit flow). Aliran rembesan terjadi pada media dengan pori granuler, adanya retakan-retakan dengan kekarkekar yang pipih, serta bidang perlapisan yang ukuran regangannya lebih kecil. Aliran saluran dicirikan oleh adanya jaringan pembuluh yang saling berhubungan dengan diameter berkisar hanya beberapa sentimeter hingga meter. (Mahler dan Benet, 1991 dalam Kusumayudha, 2005). 1.5.3.
Akuifer dan aliran airtanah karst Definisi akuifer secara umum dikemukakan oleh Purnama (2010) yaitu
formasi batuan yang dapat menyimpan dan meloloskan air. Kodoatie (1996) berpendapat bahwa akuifer adalah suatu lapisan atau formasi geologi yang mampu meloloskan air baik itu material yang terkonsolidasi maupun material lepas dengan
7
kondisi yang jenuh air serta mempunyai konduktivitas hidraulik tertentu sehingga dapat menyalurkan air dalam jumlah yang ekonomis. Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa akuifer adalah formasi batuan yang mampu menyimpan dan mengalirkan airtanah dalam jumlah yang cukup pada gradient hidraulik tertentu. Illustrasi mengenai tipologi sistem akuifer karst ditunjukkan seperti Gambar 1.3.
Gambar 1.3 Skema tipologi sistem akifer karst (Mandel dan Shiftan, 1981) Tipe akuifer karst juga sama dengan daerah non-karst lainnya yang dapat dibedakan menjadi tiga, yakni akuifer tertekan, akuifer bebas, dan akuifer menggantung. (Ford dan William, 2007). Illustrasi mengenai tipe akuifer ini seperti Gambar 1.4 berikut :
Gambar 1.4 Tipe akuifer. (Ford dan William, 2007) Formasi batuan yang merupakan kebalikan dari akuifer disebut dengan akuiklud, sebagai contoh batu lanau atau lempung, serpih, tuf halus. Formasi
8
batuan selain akuifer dan akuiklud adalah akuifug dan akuitard. Akuifug adalah formasi batuan yang tidak dapat menyimpan dan meloloskan air, sebagai contoh adalah batu granit. Akuitard adalah formasi batuan yang dapat menyimpan air tetapi hanya dalam jumlah yang terbatas. Batuan karbonat pada daerah karst memiliki rongga-rongga yang berbeda yang akan berpengaruh terhadap kemampuan penyimpanan dan kemampuan dalam meloloskan air. Oleh karena itu, secara umum akuifer karst dibedakan menjadi 3 menurut sifat rongga dimana air disimpan dan ditransmisikan, yaitu granuler atau matriks, fraktur, dan conduit. Gambar 1.5 menjelaskan rongga granuler, fraktur, dan conduit.
Gambar 1.5 Pembagian akuifer menjadi granuler (i), fraktur (ii), dan conduit (iii). (Ford dan William, 2007). Sistem
drainase
permukaan
pada
bentanglahan
karst
kurang
mendominasi, melainkan lebih berkembangnya sistem drainase bawah permukaan karena terdapatnya rongga-rongga atau diaklas pada daerah karst sehingga menyebabkan mudahnya air di permukaan masuk ke bawah tanah yang selanjutnya disebut dengan airtanah karst. (Haryono dan Adji, 2004). Pergerakan airtanah tersebut sangat dinamis dengan melewati serta mengisi lorong-lorong dari adanya porositas sekunder. Perkembangan porositas sekunder ini tergantung oleh tingkat pelarutan yang ada, sehingga arah dan dimensinya bervariasi. Adanya arah dan dimensi yang bervariasi pada batuan karbonat ini juga akan mempengaruhi konduktivitas hidrauliknya, yang pada daerah karst bersifat anisotropik. Disimpulkan bahwa airtanah karst memiliki sifat heterogen-anisotropis. Menurut White (2004) skema secara umum mengenai aliran airtanah karst atau akuifer karst mulai dari imbuhan (recharge), sistem aliran, hingga berujung pada pelepasan (discharge) dapat diillustrasikan seperti Gambar 1.6 berikut :
9
Gambar 1.6 Model konseptual aliran airtanah karst (White, 2004). Imbuhan yang berkontribusi pada sistem aliran karst dapat dibagi menjadi dua sumber utama, yaitu allogenic dan autogenic. Imbuhan yang masuk pada akuifer karst berupa presipitasi dalam bentuk hujan. White (2004) menjelaskan berdasarkan model konseptual tersebut dapat dijelaskan bahwa terdapat 4 komponen utama yang mengimbuh (presipitasi) akuifer karst, yaitu : 1. Allogenic recharge yaitu aliran air permukaan yang masuk ke akuifer karst melalui ponor. 2. Internal runoff atau aliran permukaan dari kawasan karst adalah air hujan yang jatuh pada suatu ledok pada daerah karst dan masuk melalui ponor. 3. Diffuse infiltration atau infiltrasi secara perlahan-lahan merupakan air hujan yang jatuh pada permukaan tanah yang terinfiltrasi pada zona epikarst sebelum pada akhirnya masuk melalui diaklas dan turun menuju water table. 4. Imbuhan dari akuifer bertengger adalah air yang mengimbuh berasal dari akuifer bertengger diatas akuifer karst yang kemudian turun mencapai water table melalui media rekahan yang tersedia. Berdasarkan sistem hidrologi pada akuifer karst Domenico dan Schwarts (1990) membagi menjadi 3 sistem, yaitu diffuse, mixed, dan conduit.
10
-
Diffuse, berasal dari sisa presipitasi atau hujan yang tidak mengalami evapotranspirasi kemudian bergerak turun secara infiltrasi dikarenakan belum berkembangnya sistem pelorongan atau conduit.
-
Conduit, adanya hujan yang kemudian menyebabkan tanah menjadi jenuh sehingga timbul run off, kemudian aliran permukaan ini masuk melalui ponor serta berkembang membentuk lorong conduit dan dapat berkembang menjadi saluran terbuka.
-
Mixed, merupakan gabungan dari kedua sistem diffuse dan conduit. Gambaran mengenai ketiga sistem tersebut tersaji dalam Gambar 1.7 :
Gambar 1.7 Skema diffuse, mixed, dan conduit pada akuifer karst (Domenico dan Schwartz, 1990). Imbuhan dengan sifat diffuse akan bergerak turun melalui rekahanrekahan yang tersedia (fissure). Daerah dengan topografi karst yang sudah berkembang dengan baik maka sistem diffuse sudah menjadi satu sistem dengan conduit atau disebut mixed. Gambar 1.8 menunjukkan perbedaan tipe aliran diffuse dan conduit.
11
Gambar 1.8 Sistem aliran diffuse (kiri) dan conduit (kanan). (White, 1988). Selain aliran diffuse dan conduit, Gillieson (1996) menambahkan satu aliran lagi yang disebut fissure. Selanjutnya Yusun dan Brian J (1988) dalam Wijayanti (2001) mengklasifikasikan ukuran dari ketiga aliran tersebut. Aliran conduit mempunyai lebar ruang pipa berkisar 1 cm hingga 10.000 cm. Aliran fissure mempunyai lebar ruang pipa berkisar 0,1 cm hingga 1 cm. Aliran diffuse mempunyai lebar ruang pipa kurang dari 0,1 cm. Tabel 1.1 menyajikan hubungan antara karakteristik aliran beserta kondisi daerah tangkapannya. Tabel 1.1 Karakteristik aliran pada akuifer karst (Smart dan Hobbes, 1986) Tipe aliran
Karakteristik
Kondisi daerah
Besar simpanan
tangkapan Diffuse
Divergen
-
Fracture
Besar dan ada
Respon lambat
-
Intergranuler
sepanjang tahun
Celah
-
Fracture
Sedang dan
Respon sedang
-
Joint
perennial musiman
-
Banyak terdapat
Rendah dan hanya
luweng dan ponor
ada pada saat
terhadap hujan Fissure
terhadap hujan Conduit
Jaringan perpipaan Sangat cepat dan
musim hujan saja.
sensitif terhadap hujan
Berdasarkan sifat alirannya, White (1988) membagi 3 tipe akuifer karst, yaitu : 1. Akuifer karst aliran diffuse, seperti Gambar 1.5 (kiri). Ciri dari akuifer bertipe ini antara lain aktivitas pelarutan yang terjadi pada tipe akuifer
12
ini tidak begitu baik, merupakan akuifer homogen, terjadi pada batu gamping yang tidak mudah larut, debit pemunculan air hanya dalam jumlah yang kecil berupa rembesan (seepage), serta fluktuasinya yang tidak terlalu besar. 2. Akuifer karst dengan aliran bebas. Aliran pada akuifer tipe ini juga merupakan aliran diffuse, hanya perbedaannya terletak pada sistem pelorongannya yang lebih mendominasi dimana sebagian besar alirannya melalui lorong-lorong conduit yang ada. Pemunculan berupa mataair pada tipe akuifer karst ini mempunyai respon yang cepat terhadap hujan karena melewati pelorongan conduit, dan apabila dibuat hidrograf alirannya akan sama dengan hidrograf aliran permukaan atau sungai. 3. Akuifer karst aliran tertekan atau dengan kata lain akuifer karst yang terletak di bawah batuan dengan nilai permeabilitas sangat kecil 1.5.4.
Permeabilitas Permeabilitas pada batuan atau tanah didefinisikan sebagai kemampuan
untuk meloloskan cairan (Todd, 1980). Istilah dalam ilmu geohidrologi, permeabilitas sering disamakan dengan konduktivitas hidraulik (K). Pengukuran permeabilitas harus dilakukan tegak lurus terhadap arah aliran dan satuan nilai konduktivitas hidraulik adalah satuan kecepatan yang dinyatakan dalam m/hari. (Purnama, 2010). Perhitungan permeabilitas dinyatakan dalam rumus : k = K. µ ρ. g dimana
k : permeabilitas intrinsik K : konduktivitas hidraulik (m/hari) µ : viskositas dinamik ρ : massa jenis cairan g : percepatan gravitasi (m/s2)
Perhitungan dalam rumus ini adalah mendapatkan nilai permeabilitas intrinsik (k) yang sangat berkaitan dengan konduktivitas hidraulik (K). Nilai konduktivitas hidraulik (K) juga mempunyai hubungan dengan transmisibilitas (T) yakni sejumlah air yang dapat mengalir melewati satu unit luas
13
akuifer dengan aliran horizontal. Hubungan antara konduktivitas hidraulik dan transmisibilitas dinyatakan dalam rumus T = K.b; dimana T adalah transmisibilitas dengan satuan m2/hari, K adalah konduktivitas hidraulik dengan satuan m/hari, dan b merupakan tebal akuifer yang dinyatakan dalam satuan meter. Transmisivitas (T) merupakan kemampuan suatu akuifer untuk meloloskan air melaui suatu bidang vertikal setebal akuifer dengan lebar satu satuan panjang dan satu unit landaian hidrolika. (Todd, 1980). Pengertian lebih mudah bahwa transmisivitas ini adalah air yang mengalir dengan arah aliran horizontal. Mendapatkan nilai transmisivitas (T) merupakan perkalian antara nilai konduktivitas hidraulik dengan tebal akuifer sehingga satuan nilai T adalah m2/hari. 1.6.
Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan karakteristik akuifer
pernah dilakukan oleh Raeisi dan Karami pada tahun 1997 dengan menggunakan analisis hidrokemograf secara temporal disertai pemisahan aliran dasar, serta pemodelan hidrogeokimia dengan software WATEQF terhadap data temporal selama 32 bulan di Mataair karst Berghan, Iran untuk mengidentifikasi karakteristik akuifer karst. Penelitian serupa yang pernah dilakukan di Indonesia dilakukan oleh Adji dan Sudarmadji pada tahun 2006 berupa pemisahan aliran dasar dengan analisis konstanta resesi hidrograf untuk penentuan karakter aliran akuifer karst di Sungai Bawah Tanah Bribin, Provinsi DIY. Hasil variasi nilai konstanta resesi untuk komponen aliran diffuse, fissure, dan conduit pada tiga gua di sepanjang aliran Sungai Bribin adalah sangat tinggi, dengan rata-rata nilai konstanta resesi aliran diffuse tertinggi terjadi di Gua Bribin (0,998), kemudian Gua Gilap memiliki rata-rata nilai konstanta resesi diffuse yang paling kecil, sedangkan Gua Ngreneng yang merupakan bocoran dari aliran Sungai Bribin, akuifernya mempunyai sifat pelepasan komponen aliran diffuse yang hampir sama dengan Gua Bribin (0,980,99), dengan variasi nilai sepanjang musim banjir cukup besar (0,94-0,99). Adji kembali melakukan penelitian di tahun 2009 dengan tujuan utamanya mengetahui variasi spasial-temporal komponen aliran, mengevaluasi sifat hidrogeokimianya, dan menghitung tingkat agresivitas air dan perilaku
14
parameter Sistem Karst Dinamis. Adapun metode yang digunakan berupa pemisahan aliran dasar dengan analisis konstanta resesi, analisis scatter plot kondisi hidrogeokimia, dan analisis hubungan antar variabel sistem karst dinamis di Sungai Bawah Tanah Bribin. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini terdapat variasi spasial dan temporal pada sifat aliran, hidrogeokimia, dan agresivitas di Sungai Bawah Tanah Bribin dan terdapatnya hubungan antara sifat aliran dan hidrogeokimia dan karakteristik Sistem Karst Dinamis di Sungai Bawah Tanah Bribin. Misqi pada tahun 2010 melakukan penelitian yang terfokus pada perhitungan konstanta resesi pada tiga objek yang mewakili karakter berbeda yaitu Mataair Beton, Sungai Bawah Tanah Bribin, dan Sungai Bawah Tanah Seropan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah perhitungan konstanta resesi hidrograf dan analisis hidrograf. Hasil penelitian yang menyatakan bahwa Mataair Beton cepat melepaskan aliran conduit, nilai tertinggi konstanta resesi diffuse dimiliki Gua Seropan, Mataair Beton memiliki respon banjir tercepat (Tp = 12,78 jam). Oktama pada tahun 2014 melakukan penelitian di sebelah barat Karst Gunungsewu Kabupaten Gunungkidul dengan objek kajiannya di Mataair Ngeleng, Kecamatan Purwosari. Penelitian ini berjudul karakterisasi akuifer karst Mataair Ngeleng dengan pendekatan variasi sifat aliran dan hidrogeokimia. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan karakter akuifer karst dengan analisis variasi temporal sifat aliran, kondisi hidrogeokimia serta hubungan keduanya. Untuk menjawab tujuan tersebut metode yang digunakan adalah base flow separation dan analisis konstanta resesi, analisis kondisi hidrogeokimia, analisis hidrokemograf, indeks kejenuhan, serta analisis scatter plot guna mendeskripsikan korelasi keduanya. Hasil yang didapatkan berupa sifat aliran akuifer karst, variasi temporal kondisi hidrogeokimia, serta deskripsi karakteristik akuifer karst dari hubungan kedua variabel tersebut. Bahtiar pada tahun 2015 melakukan kajian karakterisasi akuifer karst tetapi dengan metode yang berbeda, dengan judul kajian respon debit Mataair Ngeleng terhadap curah hujan untuk karakterisasi akuifer karst. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi recharge yang berupa curah hujan
15
dengan discharge yang berupa debit mataair secara temporal, dan menganalisis komponen aliran mataair yang berkaitan dengan respon debit terhadap curah hujan guna mengetahui karakteristik akuifer karst Mataair Ngeleng. Metode yang digunakan adalah cross correlation, konstanta resesi, dan base flow separation. Hasil yang didapatkan adalah Mataair Ngeleng memiliki korelasi positif terhadap yang berbanding lurus dengan kenaikan debit mataair. Ramdhani pada tahun 2014 melakukan penelitian di mataair Ngeleng, dengan judul penelitian studi neraca air dalam menentukan daerah tangkapan air (DTA) mataair Ngeleng, Purwosari. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui luasan dan batasan DTA mataair Ngeleng serta mengetahui kondisi imbuhan DTA mataair Ngeleng. Adapun metodologi yang digunakan adalah melalui pendekatan neraca air. Pengumpulan data primer dari perhitungan neraca air dilakukan secara langsung selama 12 bulan. Hasil dari penelitian ini adalah luasan batas DTA mataair Ngeleng dan karakteristik imbuhan mataair Ngeleng. Samudra pada tahun 2010 melakukan penelitian dengan judul kajian geomorfologi Gua Greng dan Gua Seropan di kawasan karst Kabupaten Gunungkidul. Fokus pada peneliatian ini adalah menganalisis faktor pembentuk morfologi Gua Greng dan Gua Seropan. Metode yang digunakan dengan pendekatan geomorfologi berupa morfologi, morfoaransemen, dan morfogenesa. Hasil dari penelitian ini adalah peta Gua Greng dan Gua Seropan. Damayanti pada tahun 2010 melakukan kajian di Ledok Wonosari, fokus kajiannya pada morfologi karst di Ledok Wonosari. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji karakteristik morfologi di Ledok Wonosari yang mencirikan keterdapatan topografi karst, mengidentifikasi bentuklahan yang terdapat di Ledok Wonosari, menganalisis perkembangan morfologi karst di Ledok Wonosari. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dimana dilakukan zonasi terlebih dahulu dengan dasar kemiringan lerengnya. Dari zonasi tersebut dilakukan survey langsung guna membuktikan adanya bentukanbentukan karst. Peneliti kemudian mencatat posisi absolut dari setiap bentukan karst tersebut dan mengukurnya. Analisis yang dilakukan adalah deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Adapun hasil dari penelitian ini adalah
16
fisiografi Ledok Wonosari merupakan kawasan karst, terdapat bentukan doline, bukit karst, karren, goa, dan sistem pergoaan. Haryono pada tahun 2014 melakukan penelitian di Gua Pindul dengan fokus kajiannya pada speleogenesis Gua Pindul dan sekitarnya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pola morfologi pada sistem perguaan Pindul dan sekitarnya serta mengkaji proses perkembangan bentukan pada sistem perguaan Pindul dan sekitarnya. Hasil dari penelitian ini adalah daerah Pindul dan sekitarnya terdapat sistem aliran bawah tanah Pindul yang melewati beberapa gua yaitu Gua Asri , Gua Emas, Gua Greng, Gua Candi dan Gua Si Oyot dan bermuara di Sungai Oyo. Pola morfologi lorong yang berkembang pada sistem perguaan Pindul berupa curvilinear brancwork, yaitu sistem perguaan yang memiliki input dari beberapa mulut gua yang menjadi satu sistem perguaan dan berakhir pada outlet tunggal. Agniy pada tahun 2015 juga melakukan penelitian di Gua Pindul dan sekitarnya dengan judul penelitian kajian hidrogeologi karst Sistem Gua Pindul, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui sistem Pindul, mengetahui batas daerah tangkapan permukaan sistem Pindul, dan mengetahui karakteristik akuifer sistem Pindul. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder pemetaan Gua Pindul dan sekitarnya dari penelitain sebelumnya, uji perunutan untuk mengetahui konektivitas, observasi lapangan untuk penentuan daerah tangkapan permukaan, serta pengukuran debit pada percabangan sistem Pindul di zona akuifer conduit dan uji pompa untuk mengetahui kecepatan aliran yang melewati zona akuifer diffuse. Penelitian sebelumnya terkait karakteristik akuifer karst dirangkum dalam Tabel 1.2 berikut.
17
Tabel 1.2 Penelitian terdahulu terkait karakteristik akuifer karst No
Penelitian
Raesi dan Karami (1997), 1.
Hydrochemographs of Berghan Karst Spring as Indicators of Aquifer Characteristics
Tujuan Utama
Metode
Hasil
Identifikasi karakteristik akuifer dengan analisis hidrokemograf
Analisis temporal hidrokemograf dan pemisahan aliran dasar (baseflow)
Daerah tangkapan Mataair Berghan didominasi tipe aliran diffuse dengan imbuhan bertipe autogenik
2.
Adji, T. N dan Sudarmadji (2006), “The Distribution of Flood Hydrograph Recession Constant of Bribin River For Gunung Sewu Karst Aquifer Characterization”
Mengidentifikasi konstanta resesi hidrograf untuk Mengkarakterisasi sifat akuifer karst SBT Bribin
Pemisahan aliran dengan konstanta resesi hidrograf
Gua Bribin dan Gua Ngreneng didominasi sifat aliran diffuse, sedangkan Gua Gilap memiliki respon aliran yang paling cepat atas keberadaan input air dari sinkhole
3.
Adji T.N (2009) “Variasi Spasial-Temporal Hidrogeokimia dan Sifat Aliran Untuk Karakterisasi Sistem Karst Dinamis di Sungai bawah Tanah Bribin, Kabupaten Gunungkidul DIY
Menganalisis variasi spasial temporal persentase aliran dasar, kondisi hidrogeokimia, dan kondisi SKD Sungai Bawah Tanah Bribin, DIY
Pemisahan aliran dasar dengan konstanta resesi, scatter plot analysis kondisi hidrogeokimia, analisis hubungan antar variabel sistem karst dinamis
Terdapat pola variasi spasial temporal pada hubungan antara karakteristik aliran, kondisi hidrogeokimia, dan karakter sistem karst dinamis di SBT Bribin
18
No
4.
Penelitian M. Misqi (2010), “Analisis Konstanta Resesi Sungai Bawah Tanah Untuk Karakterisasi Pelepasan Komponen Akuifer Karst (Studi Kasus: Mataair Beton, Sungai Bawah Tanah Seropan, dan Sungai Bawah Tanah Bribin, Kab. Gunungkidul, Provinsi DIY)”
Tujuan Utama
Metode
Hasil
Mengetahui karakteristik aliran akuifer karst dalam melepaskan komponen simpanannya dengan perhitungan konstanta resesi
Analisis konstanta resesi pada tiga objek yang berbeda (Mataair Beton, SBT Seropan, dan SBT Bribin)
Pelepasan komponen aliran yang bervariasi pada ketiga objek penelitian
Mendeskripsikan karakter akuifer karst dengan analisis variasi temporal sifat aliran, kondisi hidrogeokimia serta hubungan keduanya
Base flow separation dan analisis konstanta resesi, analisis kondisi hidrogeokimia, analisis hidrokemograf, indeks kejenuhan, serta analisis scatter plot guna mendeskripsikan korelasi keduanya
Sifat aliran akuifer karst, variasi temporal kondisi hidrogeokimia, serta deskripsi karakteristik akuifer karst dari hubungan kedua variabel tersebut.
cross correlation, konstanta resesi, dan base flow separation.
Mataair Ngeleng memiliki korelasi positif terhadap yang berbanding lurus dengan kenaikan debit mataair, dimana respon kenaikan debit tersebut tergolong cepat dengan time lag 2 jam dari awal kejadian hujan. Respon kenaikan debit yang cepat tersebut menandakan akuifer karst daerah kajian sudah berkembang, dengan adanya komponen cepat aliran fissure dan conduit.
5
Oktama,R (2014) Karakterisasi akuifer karst Mataair Ngeleng dengan pendekatan variasi sifat aliran dan hidrogeokimia
6
Mengetahui korelasi recharge yang berupa curah hujan dengan discharge yang berupa debit mataair secara Bahtiar I.Y (2014) Kajian temporal, dan menganalisis respon debit Mataair Ngeleng komponen aliran mataair terhadap curah hujan untuk yang berkaitan dengan karakterisasi akuifer karst. respon debit terhadap curah hujan guna mengetahui karakteristik akuifer karst Mataair Ngeleng.
19
7
8
9
Samudra W.B (2010) Kajian geomorfologi Gua Greng dan Gua Seropan di kawasan karst Kabupaten Gunungkidul.
Menganalisis faktor pembentuk morfologi Gua Greng dan Gua Seropan.
Pendekatan geomorfologi berupa morfologi, morfoaransemen, dan morfogenesa
Peta Gua Greng dan Gua Seropan.
Damayanti, S (2010) Kajian morfologi karst di Ledok Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, D.I.Y
Mengkaji karakteristik morfologi di Ledok Wonosari yang mencirikan keterdapatan topografi karst, Mengidentifikasi bentuklahan yang terdapat di Ledok Wonosari, Menganalisis perkembangan morfologi karst di Ledok Wonosari.
Purposive sampling Analisis deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif
Fisiografi Ledok Wonosari merupakan kawasan karst, Terdapat bentukan doline, bukit karst, karren, goa, dan sistem pergoaan
Survey lapangan
Sistem aliran bawah tanah Pindul yang melewati beberapa gua yaitu Gua Asri , Gua Emas, Gua Greng, Gua Candi dan Gua Si Oyot dan bermuara di Sungai Oyo. Pola morfologi lorong yang berkembang pada sistem perguaan Pindul berupa curvilinear brancwork, yaitu sistem perguaan yang memiliki input dari beberapa mulut gua yang menjadi satu sistem perguaan dan berakhir pada satu outlet.
Haryono, E (2014) Speleogenesis Gua Pindul dan sekitarnya
Mengetahui pola morfologi pada sistem perguaan Pindul dan sekitarnya serta mengkaji proses perkembangan bentukan pada sistem perguaan Pindul dan sekitarnya.
20
10
11
Ramdhani, A.A. (2010). Studi neraca air dalam menentukan daerah tangkapan air (DTA) mataair Ngeleng, Purwosari
mengetahui luasan dan batasan DTA mataair Ngeleng serta mengetahui kondisi imbuhan DTA mataair Ngeleng
Agniy, R.F. (2015) Kajian hidrogeologi karst sistem Gua Pindul, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul
Mengetahui sistem Gua Pindul, mengetahui batas daerah tangkapan permukaan sistem Gua Pindul, dan mengetahui karakteristik akuifer.
Pendekatan topografi dan neraca air
luasan batas DTA mataair Ngeleng dan karakteristik imbuhan mataair Ngeleng
Pemetaan gua, uji perunutan, observasi lapangan, pengukuran debit, uji pompa
Sistem aliran bawah tanah Pindul yang melewati beberapa gua yaitu Gua Asri , Gua Emas, Gua Greng, Gua Candi dan Gua Si Oyot dan bermuara di Sungai Oyo. Cakupan daerah tangkapan permukaan sistem Pindul. Debit pada percabangan sistem Pindul dan nilai konduktivitas hidraulik.
Sumber : Telaah pustaka oleh peneliti
21
1.7.
Kerangka Pemikiran Akuifer karst disusun oleh tipe aliran diffuse, fissure, dan conduit. Tipe
aliran diffuse merupakan aliran yang sifatnya laminar dikarenakan belum berkembangnya sistem pelorongan. Aliran sistem diffuse berasal dari sisa presipitasi yang tidak mengalami penguapan kemudian turun perlahan-lahan secara gravitatif. Aliran sistem diffuse ini memiliki karakteristik dalam melepaskan aliran tergolong lambat karena sistem diffuse berupa rembesan yang mengindikasikan perkembangan karst yang belum berkembang. Aliran sistem fissure merupakan perkembangan dari sistem diffuse. Sistem fissure ini berupa percelahan, sehingga dalam melepaskan aliran lebih cepat daripada
sistem
diffuse.
Sistem
fissure
mengindikasikan
tahap
transisi
perkembangan suatu kawasan karst. Aliran sistem conduit merupakan tahap akhir dari suatu perkembangan kawasan karst. Aliran conduit ini berasal dari presipitasi yang membuat kondisi tanah menjadi jenuh sehingga timbul run off, kemudian aliran permukaan ini masuk melalui ponor ataupun sinkhole yang mengikis dan melarutkan batugamping sehingga membentuk sistem pelorongan atau conduit. Karakteristik sistem conduit tergolong cepat dalam merespon hujan dan melepaskan aliran. Aliran sistem diffuse, fissure, dan conduit disuplai oleh 4 komponen utama akuifer karst yakni allogenic recharge, internal runoff, diffuse infiltration, dan imbuhan dari akuifer bertengger. Allogenic recharge merupakan imbuhan yang berasal dari aliran yang masuk ke cekungan karst melalui ponor-ponor. Internal runoff merupakan air hujan yang langsung masuk melewati ponor dan menjadi aliran bawah permukaan. Diffuse infiltration merupakan aliran air hujan yang jatuh di epikarst kemudian turun perlahan-lahan menuju water table. Imbuhan dari akuifer bertengger adalah aliran yang berasal dari akuifer bertengger diatas akuifer karst kemudian turun menuju water table dengan melalui rekahanrakahan. Poin pertama dalam penelitian ini adalah, material penyusun akuifer dapat diketahui dari formasi batuan yang dapat diperoleh dari data bor, peta geologi, dan peta hidrogeologi. Karakteristik akuifer berupa permeabilitas dilakukan uji pompa guna memperoleh nilai konduktivitas hidraulik (K) aktual.
22
Nilai konduktivitas hidraulik ini menunjukkan kecepatan aliran yang melalui media diffuse, sedangkan untuk media conduit dilakukan pengukuran debit sungai bawah tanah. Survey tinggi muka air (TMA) dan pembuatan peta arah aliran airtanah (flownet) juga diperlukan guna mengetahui arah aliran airtanah yang melewati media diffuse. Komponen yang dilepaskan oleh akuifer karst terbagi menjadi aliran diffuse, aliran fissure, dan aliran conduit. Ketiga komponen aliran tersebut dilepaskan dangan cara yang berbeda-beda terkait dengan karakter akuifer yang lebih dominan berkembang, yaitu berupa rembesan, rekahan, maupun pelorongan. Perbedaan dalam pelepasan komponen aliran pada akuifer karst kemudian menjadi poin kedua dalam penelitian ini. Sistem hidrogeologi karst yang termasuk di dalamnya mengetahui hubungan antar gua-gua lainnya disekitar SBT Pindul menjadi poin ketiga dalam penelitian ini. Poin keempat adalah mengetahui batasan secara spasial daerah penelitian yakni batas daerah tangkapan SBT Pindul. Empat poin utama yang telah dijabarkan sebelumnya, yakni mengenai kondisi hidrogeologi dan sifat aliran, pemetaan conduit, dan batas daerah tangkapan Berdasarkan keempat poin tersebut digunakan dasar dalam penelitian mengenai kajian hidrogeologi karst di daerah penelitian. Secara sistematis, kerangka pemikiran yang dibangun untuk penelititian ini tersaji pada Gambar 1.9.
23
Gambar 1.9 Kerangka Pemikiran
1.8.
Batasan Operasional
a. Akuifer karst adalah lapisan berbahan material karbonat yang mampu menyimpan dan mengalirkan airtanah dalam jumlah yang cukup dengan spesifikasi kondisi sistem aliran bawah permukaan tersendiri (Ford and Williams, 1989) b. Aliran conduit adalah tipe aliran bawah tanah karst yang berupa lorong-lorong dengan bentuk menyerupai pipa dengan diameter hingga beberapa meter yang terbentuk dari pelebaran rekahan dan bidang perlapisan batuan karena proses pelarutan, pada aliran ini distribusi airtanah karst dikontrol oleh persebaran dan arah lorong-lorong tersebut (White, 1988) c. Aliran diffuse adalah tipe aliran bawah tanah karst yang berada pada rekahanrekahan kecil pada batuan yang menunjukan sedikit sekali hasil dari proses pelarutan. Keluaran air dari aliran ini biasanya hanya memiliki debit yang kecil dengan fluktuasi yang hampir seragam (White, 1988)
24
d. Aliran fissure, aliran air pada sistem drainase karst yang melewati percelahan batuan menuju zona epikarst dan menerus sampai pada sistem pipaan yang mempunyai durasi pengatusan lebih lambat dibanding aliran conduit (Ford dan William, 2007) e. Catchment area atau daerah tangkapan air adalah suatu daerah yang dibatasi oleh pembatas topografi berupa punggung-punggung bukit atau gunung yang menampung air hujan yang jatuh di atasnya dan kemudian mengalirkannya melalui anak sungai dan sungai ke laut atau ke danau (Anonim, 2013) f. Debit adalah laju aliran air dalam bentuk volume air yang melewati suatu penampang melintang per satuan waktu (Asdak, 2007) g. Epikarst adalah zona teratas dari daerah karst yang memiliki permeabilitas dan porositas yang lebih besar dibanding zona dibawahnya karena proses pelebaran celah atau rekahan oleh proses solusional. (Haryono, 2001). h. Heterogen Anisotropis-akuifer, akuifer yang mempunyai porositas atau permeabilitas tidak sama/beraturan ke segala arah (Fetter, 1994) i. Karst merupakan medan dengan sistem hidrologinya yang khusus dan bentukanbentukannya yang timbul dari sebuah kombinasi antara batuan yang memiliki daya larut tinggi dan porositas sekunder yang berkembang dengan baik (Ford and Williams, 1989) j. Karstifikasi adalah salah satu bagian siklus pada karbon, air, kalsium yang terdapat pada batas antar fase hubungan litosfer, hidrosfer, atmosfer, dan biosfer (Daoxian, 2002) k. Konduktivitas hidraulik adalah kecepatan kemampuan suatu material batuan dalam meloloskan cairan. (Purnama, 2010) l. Uji Pompa atau pumping test adalah suatu metode yang dapat dipercaya keandalannya dalam menentukan nilai konduktivitas hidraulik suatu akuifer secara langsung di lapangan. (Purnama, 2010) m. Slug test adalah metode uji pompa yang digunakan untuk menentukan nilai konduktivitas hidraulik secara langsung di lapangan, yang memiliki beberapa kelebihan antara lain biaya yang lebih murah dibandingkan metode uji pompa lainnya, waktu yang diperlukan serta durasi pemompaan yang relatif lebih singkat, dan tidak memerlukan sumur pengamat. (Neven Kresic, 2007).
25
n. Uji Perunutan adalah suatu metode untuk mengetahui karakteristik akuifer dan sungai bawah tanah di daerah karst. Uji perunutan juga bertujuan menentukan arah dan kecepatan aliran airtanah di daerah karst. Pewarna fluorescent merupakan zat yang sering digunakan karena beberapa alasan diantaranya konservatif, murah, aman, dan mudah terdeteksi. (Benischke et al., 2007)
26