3.
1.1 1.1.1
BAB I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Spasial Kesehatan Perkotaan Terlampauinya kemampuan kota dalam mendukung fungsinya sendiri
menjadikan munculnya berbagai permasalahan kota. Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat mengakibatkan terbatasnya lahan untuk pemukiman, penurunan ketersediaan air bersih, pencemaran udara dari industri dan kendaraan bermotor serta peningkatan angka kemiskinan. Permasalahan kota yang tidak segera ditanggulangi akan menurunkan daya dukung kota sebagai tempat hidup yang layak bagi kehidupan manusia di berbagai bidang, termasuk kesehatan. Kesehatan sebagai salah satu elemen dalam indeks pembangunan manusia harus dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat diseluruh wilayah. Berdasarkan teori Blum (1974), derajat kesehatan masyarakat dengan indikatornya angka kematian (mortalitas) dengan angka kesakitan (morbiditas) sangat dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu faktor lingkungan (45%), perilaku (30%), pelayanan kesehatan (20%) dan hereditas / kependudukan (5%). Hal tersebut seiring paradigma sehat dimana paradigma sehat adalah sebagai cara pandang, pola pikir, atau model pembangunan kesehatan yang bersifat holistik. Kualitas lingkungan menjadi determinan penting terhadap kesehatan masyarakat sehingga jika terjadi penurunan kualitas akan sangat berperan dalam terjadinya penyakit.
2
Para Epidemiologist, secara perlahan telah menggunakan pendekatan spasial dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan. Peta sebaran geografis sangat berguna untuk mempelajari sebaran penyakit secara empirik dan bermanfaat untuk membantu mengimplementasikan rencana intervensi. Informasi sebaran wilayah rawan menurut tempat dan waktu diperlukan dalam menentukan wilayah prioritas pelaksanaan program antisipasi dan penanggulangan. Serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana kejadian luar biasa di suatu tempat oleh lembaga yang berwenang disebut dengan sistem peringatan dini (UU No.24 tahun 2007). Oleh karena itu dibutuhkan peta sebaran yang diharapkan mampu untuk menentukan wilayah prioritas pelaksanaan program antisipasi dan penanggulangan penyakit berbasis lingkungan. Kemudahan dalam penyampaian informasi melalui peta dapat dijadikan sebagai alat komunikasi antara pembuat peta dan penguna. Menurut Dickinson (1975) dalam Nurwinda (2011) ada beberapa alasan mengapa suatu data dipetakan, antara lain : 1 Melaui peta dapat menimbulkan daya tarik yang lebih besar terhadap objek yang ditampilkan. 2 Melalui peta dapat memperjelas, menyederhanakan dan menerangkan suatu aspek yang dipentingkan. 3 Melalui peta dapat menonjolkan pokok – pokok bahasan dalam tulisan atau pembicaraan. 4 Melalui peta dapat dipakai sebagai sumber data bagi yang berkepentingan
3
1.1.2
Perencanaan Wilayah Bidang Kesehatan Menurut Soekidjo (1999), perencanaan kesehatan adalah merupakan inti
kegiatan manajemen bidang kesehatan, karena semua kegiatan manajemen diatur dan diarahkan oleh perencanaan tersebut. Dengan perencanaan itu memungkinkan para pengambil keputusan atau manajer untuk menggunakan sumber daya mereka secara berhasil guna dan berdaya guna. Dari batasan-batasan yang telah ada dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perencanaan adalah suatu kegiatan atau proses penganalisaan dan pemahaman sistem, penyusunan konsep dan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan-tujuan demi masa depan yang baik. Dari batasan ini dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan antara lain : 1.
Perencanaan harus didasarkan kepada analisis dan pemahaman sistem dengan baik.
2.
Perencanaan pada hakekatnya menyusun konsep dan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan dan misi organisasi.
3.
Perencanaan secara implisit mengemban misi organisasi untuk mencapai hari depan yang lebih baik. Kejadian penyakit merupakan fenomena spasial yang pada dasarnya
adalah proses yang terjadi di atas muka bumi sejak ribuan tahun lalu (Fahmi,2009). Satu kejadian penyakit dipengaruhi oleh berbagai faktor ruang yang antara lain meliputi ketinggian permukaan tanah, jenis tanah, iklim, suhu, tanaman sekitar, kepadatan dan perilaku penduduk, bentuk rumah, budaya, arah dan kecepatan angin dan laijn sebagainya. Singkat kata, kejadian penyakit
4
merupakan fenomena yang bersandar pada basis wilayah yang mencakup ekosistem dalam dimensi ruang dan waktu yang di dalamnya termasuk variabel lingkungan, kependudukan dan wilayah administratif. Dalam konteks desentralisasi, komitmen global yang telah menjadi komitmen
nasional
harus
dapat
menjadi
komitmen
wilayah
otonom
kabupaten/kota. Mengingat kejadian penyakit bersifat spesifik lokal, setiap kabupaten seharusnya berwenang menetapkan prioritas masalah kesehatan sesuai dengan eviden yang bersifat spesifik dalam setiap kejadian penyakit. Oleh sebab itu perencanaan kesehatan harus komprehensif yang meliputi : (a) mendeteksi dan mengobati kasus secara adil, merata dan berkualitas. (b) mengidentifikasi faktor resiko berbagai penyakit dan berupaya mengeliminasi.
1.1.3
Sebaran Penyakit Menular Penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Dalam daftar Standard Pelayanan Minimal (SPM) dari SK Menteri Kesehatan
No.
1457/2003,
penanggulangan
penyakit
menular
wajib
diselenggarakan di daerah, kecuali terbukti masalah tersebut tidak ditemukan dalam satu wilayah. Kejadian penyakit menular merupakan outcome dari hubungan interaktif antara dua kelompok faktor resiko penyakit, yakni variabel lingkungan dan variabel kependudukan. Menurut Ustun dan Corvalan (2006), diperkirakan 24% dari beban penyakit global dan 23% dari seluruh kematian berkaitan dengan faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran
5
penyakit menular sehingga meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya epidemic adalah penyediaan air bersih, fasilitas sanitasi, makanan dan iklim. Penyakit berbasis lingkungan merupakan jenis penyakit menular yang penularannya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Data Kementrian Kesehatan menyatakan bahwa penyakit berbasis lingkungan menempati posisi teratas dalam 10 (sepuluh) besar penyakit di Indonesia. Penyakit berbasis lingkungan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) atau pneumonia dan diare. Dalam buletin kesehatan dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang dipublikasikan pada 10 Februari 2014, pneumonia adalah penyakit infeksi menular yang merupakan penyebab utama kematian pada balita di dunia. Data WHO tahun 2005 menyatakan bahwa proporsi kematian balita karena saluran pernapasan di dunia adalah sebesar 19 – 26%. Pada tahun 2007 diperkirakan terdapat 1,8 juta kematian akibat pneumonia atau sekitar 20% dari total 9 juta kematian pada anak. Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, pneumonia adalah penyebab kematian kedua pada balita setelah diare dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan. Selanjutnya dalam buletin ini pun dinyatakan bahwa diare merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitasnya (angka kematian) masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Sub Direktorat Diare, Kementrian Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada
6
tahun 2000, incidence rate (IR) penyakit diare 301/1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian luar biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan case fatality rate (CFR) atau angka kematian akibat kasus masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,49%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 kecamatan dengan jumlah kasus 5756 dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74%).
1.2
Rumusan Masalah Penelitian Angka kesakitan akibat penyakit menular di Indonesia terus meningkat.
Di Kabupaten Subang, data kejadian penyakit ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) atau pneumonia dan diare menempati urutan 1 (satu) dan 2 (dua) dalam 10 (sepuluh) besar penyakit rawat jalan yang ada di puskesmas dengan persentase total 45,7% (2010); 46,2 % (2011); 48,3% (2012) dan 49,7% (2013) . Trend persentase penyakit tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga perlu diupayakan upaya sistematis untuk memutus mata rantai persebaran penyakit berbasis lingkungan tersebut. Dengan memperhatikan mobilitas penduduk yang tinggi, pola perilaku masyarakat, kepadatan penduduk yang tinggi, khususnya di perkotaan, maka di tahun mendatang keadaan penyakit menular masih akan menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang akhirnya dapat mempengaruhi derajat kesehatan
7
masyarakat di Kabupaten Subang. Dalam rangka menanggulangi masalah tersebut maka program pemberantasan penyakit menular sangat dibutuhkan di dalam upaya pembangunan kesehatan masyarakat di Kabupaten Subang. Sebaran kasus penyakit berbasis lingkungan sebagai penyakit menular harus dapat dipetakan agar pola sebaran dapat dideteksi. Kepemilikan dan penggunaan sarana sanitasi dasar belum seluruhnya mencakup masyarakat di Kabupaten Subang sehingga hal ini memungkinkan sebaran kasus penyakit berbasis lingkungan sulit untuk diberantas, terlebih beberapa kecamatan belum mendeklarasikan sebagai kecamatan bebas buang air besar sembarangan atau ODF (open defecation free). Penelitian ini diharapkan mampu menjawab beberapa permasalahan kesehatan terkait penyakit berbasis lingkungan yaitu tentang gambaran distribusi spasial, hubungan distribusi spasial penyakit dengan kondisi sanitasi dasar dan tingkat kerentanan penyakit.
1.3
Pertanyaan Penelitian Dalam penelitian ini, yang menjadi pertanyaanya adalah :
1. Bagaimana gambaran pola distribusi penyakit berbasis lingkungan di Kabupaten Subang ? 2. Bagaimana hubungan distribusi penyakit berbasis lingkungan dengan kondisi sanitasi dasar di Kabupaten Subang ? 3.
Bagaiman tingkat kerentanan penyakit berbasis lingkungan di Kabupaten Subang ?
8
1.4 1.4.1
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini adalah mencoba menggambarkan secara spasial
penyakit berbasis lingkungan di Kabupaten Subang tahun 2013 1.4.2
Tujuan Khusus 1.
Mengetahui pola distribusi (lokasi, bentuk dan besaran daerah) penyakit berbasis lingkungan
2.
Mendeteksi
distribusi
penyakit
berbasis
lingkungan
dan
keterhubungan dengan kondisi sanitasi dasar 3.
Menentukan tingkat kerentanan penyakit berbasis lingkungan di Kabupaten Subang.
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain :
1.
Pemerintah Daerah Kabupaten Subang a. Sebagai bahan perencanaan program bidang kesehatan terutama dalam penanggulangan penyakit berpotensi kejadian luar biasa (KLB) b. Sebagai bahan evaluasi keberhasilan program penanggulangan penyakit
2.
Dinas Kesehatan Kabupaten Subang a. Sebagai informasi kewaspadaan dini terhadap penyakit yang berpotensi kejadian luar biasa (KLB)
9
b. Sebagai bahan perencanaan intervensi program pemberantasan penyakit menular c. Sebagai bahan evaluasi sistem pelaporan puskesmas terkait penyehatan lingkungan pemukiman dan penyediaan air minum 3.
Masyarakat dapat menjadikannya bahan acuan perubahan perilaku terkait dengan pola sebaran penyakit berbasis lingkungan
4.
Keilmuan perencanaan kota dan daerah dapat menjadikannya sebagai bahan dalam rangka penyempurnaan penelitian berikutnya
10
1.6
Keaslian Penelitian Penelitian ini berfokus pada pemetaan pola distribusi penyakit berbasis
lingkungan (ISPA dan diare) berdasarkan kondisi sanitasi dasar yang meliputi cakupan jamban, sarana pembuangan air limbah. Faktor perilaku yang diukur dalam penelitian ini adalah persentase kecamatan yang desanya telah terbebas dari perilaku buang air besar sembarangan (ODF/open defecation free). Beberapa penelitian terkait dengan penelitian ini di tampilkan pada tabel di bawah ini. Tabel 3.1 Keaslian Penelitian Judul Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare Pada Anak Balita (1996)
Peneliti Joko Irianto et al (Badan Litbang Kesehatan,Jakarta)
Lokus Nasional
Spatial Pattern Analysis Penyakit Demam Berdarah Dengue untun Informasi Early Warning Bencana di Kota Surabaya (2010)
Arrowiyah, Sutikno (ITS Surabaya)
Kota Surabaya
Kajian Spasial Kualitas Kesehatan Lingkungan Perumahan (2004)
Martono, Sutjahjo, Kota Wiradisatra, Bekasi Rustiadi, Ardiansyah (LAPAN,IPB)
Fokus Mengetahui : Distribusi kejadian diare pada balita di kota dan desa Pengaruh dan besarnya resiko faktor sosio demografi dan lingkungan pada anak balita Menyusun peta rawan persebaran kejadian demam berdarah dengue dengan spatial pattern analysis (Moran’s I dan Geary’s C) Karakteristik spasial kawasan perumahan
11
Judul Gambaran Spasial Diare untuk Upaya Sistem Kewaspadaan Dini Kota Tangerang (2009) Pemetaan Penyebaran Penyakit dengan Metode Kriging Pemetaan Penyakit Demam Berdarah Dengue Dengan Analisis Pola Spasial Di Kabupaten Pekalongan (2011) Pemetaan Penderita Pneumonia dengan Menggunakan Geostatistik (2010) Sistem Informasi Geografis Guna Pemetaan Data Kejadian Penyakit Untuk Keperluan Surveilens dan Kewaspadaan Dini Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Semarang (2011) Analisis Distribusi Penyakit Diare Dan Faktor Resiko Tahun 2011 Dengan Pemetaan
Peneliti Yunita,Susana (UI Depok)
Lokus Kota Tangerang
Fokus Mengetahui tingkat kerawanan berdasarkan fasilitas air bersih, rumah tangga sehat, TPUM dan pelanan kesehatan Peta penyebaran penyakit dan tingkat ketahanan pasien
Rostianingsih et al (Universitas Kristen Petra)
RSUD dr. Sutomo Surabaya
Hasbi Yasin (UNDIP)
Kabupaten Spatial pattern dan Pekalongan Moran’s Index
Hartanto et al (ITS Surabaya)
RSUD dr. Sutomo Surabaya
Pemetaan daerah rawan penumonia
Arif Kurniadi (Universitas Dian Nuswantoro Semarang)
Kota Semarang
Pemetaan insiden penyakit untuk surveilens dan sistem kewaspadaan
Dimaz Puji Santoso (Universitas Dian Nuswantoro)
Wilayah Puskesmas Kagok Semarang
Distribusi penyakit diare dan faktor resiko
12
Judul Wilayah Di Puskesmas Kagok Semarang (2011) Pemetaan Data Penyakit Menular Di Kota Semarang (2010)
Peneliti
Nurwinda et al (UGM Yogyakarta)
Lokus
Kota Semarang
Fokus
Penyakit menular dan kerentanan wilayah