BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“Slaves not supposed to have pleasurable feelings on their own; their bodies not supposed to be like that. But they have to have as many children as they can to please whoever owned them. Still, they were not supposed to have pleasure deep down…” (Morrison, 1987: 209)
Perempuan Afrika-Amerika adalah perempuan berdarah Afrika, Eropa dan Amerika asli yang nenek moyangnya dulu dibawa ke Amerika dalam kondisi sebagaian besar sebagai budak. Meski perbudakan telah dihapuskan sejak tahun 1863, namun perbedaan ras dan warna kulit nyatanya masih menimbulkan diskriminasi terhadap tubuh perempuan kulit hitam. Perempuan kulit hitam masih mengalami ketidaksetaraan baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. Saat ini perempuan kulit hitam masih mengalami kesulitan terutama di bidang sosial di mana akses pekerjaan dan kesehatan sulit diperoleh1. Ketimpangan semacam ini tidak lepas dari sejarah perbudakan pada abad ke-18 yang dialami oleh perempuan Afrika Amerika sebelumnya, di mana budak perempuan Afrika Amerika mengalami penjajahan atas tubuhnya. Pada saat 1
Diunduh dari http://www.wikipedia.com dengan judul pranala “Afrika Amerika”.
1
perbudakan terjadi, tubuh budak perempuan dan apapun yang ada di dalamnya (bekerja, seksualitas, dan reproduksi) telah secara terus menerus mengalami objektifikasi bahkan menjadi komoditas yang diperjualbelikan dengan bebas (Collins, 2004: 55). Dengan latar belakang sejarah semacam itu, perempuan kulit hitam saat ini secara tidak langsung mewarisi posisi yang kurang menguntungkan dalam relasi antar kelas. Jejak-jejak objektifikasi tubuh perempuan kulit hitam masih melekat di benak warga Amerika Serikat terutama warga keturunan Afrika Amerika yang secara otomatis mengkonstruksi pandangan masyarakat dan penguasa di Amerika Serikat terhadap tubuh perempuan kulit hitam. Pada masa perbudakan, budak perempuan Afrika Amerika tidak hanya harus memanfaatkan tangan dan kaki mereka untuk bekerja dengan beban kerja yang sama dengan budak laki-laki, seksualitas dan kemampuannya dalam bereproduksi memberikan keuntungan tersendiri kepada pemiliknya. Black women were workers like men, and they did hard manual labor. But because they were women, Black women’s sexuality and reproductive capacity presented opportunities for forms of sexual exploitation and sexual slavery –ultimate submission of the master/slave relationship (Collins, 2004: 55) [Perempuan kulit hitam adalah juga pekerja layaknya laki-laki kulit hitam, dan mereka melakukan pekerjaan yang kasar dan berat. Namun karena mereka adalah perempuan, kapasitas seksualitas dan reproduksinya memberikan peluang untuk menciptakan ekploitasi seksual dan perbudakan seksual –kepatuhan terhadap hubungan majikan dan budaknya.]
Perbudakan melegitimasi eksploitasi tangan, kaki, seksualitas dan reproduksi perempuan kulit hitam untuk kepentingan pihak yang berkuasa terutama dalam rangka mempertahankan status quo dan kekuasaan politik kelompok dominan
2
sekaligus mempertahankan praktik diskriminasi rasial, kelas dan gender. Omolode (1994: 7) menjelaskan bahwa pemilik budak perempuan mendefinisikan tubuh perempuan sebagai komoditas yang perasaan dan hak untuk memilih dianggap tidak ada; kepala dan hatinya terpisah dari tangan, dan mereka terbagi menjadi rahim dan vagina. Masing-masing bagian tubuh ini memiliki manfaat dan fungsinya sendiri-sendiri, jika rahim merupakan aset dalam reproduksi, maka vagina perempuan kulit hitam direferensikan kepada prostitusi; kemudian keduanya saling dikaitkan satu sama lain untuk membenarkan segala bentuk kontrol atas tubuh perempuan kulit hitam terutama rahim. Rahim adalah bagian yang paling disakralkan dari tubuh seorang perempuan sebagai jalan untuk meneruskan keturunan atau kelangsungan peradaban manusia. Menurut kamus kesehatan (www.kamuskesehatan.com), rahim yaitu organ yang melindungi dan mewadahi janin selama kehamilan; rahim tumbuh dan berkembang seiring pertumbuhan bayi. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id/rahim), rahim adalah kantong selaput di perut sebagai tempat janin atau disebut juga sebagai peranakan dan kandungan. Rahim ini merupakan organ yang menarik dan kompleks dari struktur reproduksi anatomi perempuan. Meksi rahim berukuran cukup kecil, namun organ ini bertanggungjawab atas aspek paling penting dalam kehidupan manusia yaitu kelangsungan spesies manusia2. Keberadaannya pada tubuh perempuan kulit hitam menjadi perhatian tersendiri bagi penguasa pada era perbudakan, terutama pemilik budak. Penguasa tahu betul bahwa rahim yang ada pada budak perempuan 2
Pengertian Uterus. www.idpengertian.com/2015/04/pengertian-uterus-rahim.html
3
kulit hitam dapat memberikan manfaat yang sangat luar biasa untuk kepentingan ekonomi bahkan politik mereka. Banyaknya budak yang dimiliki seseorang dapat meningkatkan status sosial pemilik budak tersebut di mata masyarakat. Dengan bekal posisi dan kekuasaan inilah, rezim dapat dengan mudah menindas dan mengeksploitasi tubuh budak perempuan kulit hitam termasuk meniadakan hak otonomi mereka atas rahimnya sendiri. Banyak budak perempuan kulit hitam yang dipaksa untuk melahirkan anak bahkan dalam jangka waktu yang dekat. Fenomena semacam ini menjadi penanda bahwa rahim budak perempuan kulit hitam telah mengalami kontrol; ada campur tangan pihak luar terhadap rahim perempuan kulit hitam. Kontrol terhadap rahim tersebut pada dasarnya bertujuan untuk mengeksploitasi tubuh budak perempuan kulit hitam yang dijadikan sebagai alat dalam rangka mendorong perkembangan kapitalisme di Amerika Serikat pada saat itu. Collins (2000:51) menyatakan ada upaya pemilik budak mengontrol seksualitas perempuan kulit hitam dengan cara mendorong perempuan kulit hitam untuk meningkatkan jumlah kelahiran anak dari rahimnya sehingga menambah jumlah kepemilikan atas budak serta sumber tenaga kerja. Untuk dapat melakukannya maka pihak penguasa melakukan berbagai macam strategi yang memungkinkan rahim budak perempuan kulit hitam dapat dimanfaatkan sebesarbesarnya. Foucault dalam Candraningrum (2014) menamakan kontrol semacam ini dengan terminologi yang lebih luas yaitu ‘bio-power,” sebuah istilah yang mengarahkan pranala pada modus negara untuk menguasai, mengeksploitasi, dan mengontrol seksualitas warga negaranya. Menurut Candraningrum (2014) ada
4
relevansi antara bio-power dengan teknologi politis yang diletakkan dalam rahim perempuan sebagai kalkulasi eksplisit untuk mendefinisikan populasi dan menjadikan kesehatan dan hak reproduksi serta seksualitas perempuan menjadi salah satu kepentingan negara. Dalam jurnalnya yang mengangkat tema politik rahim, Candraningrum (2014) mengambil konsep politik perut yang ditawarkan oleh Jean-Francois Bayart. Menurut Bayart politik diukur dari (1) apa yang masyarakat makan, dan (2) apa yang menguasai pangkal dari segala hajat reproduksi sebuah bangsa. Untuk yang pertama, politisi berusaha untuk berkuasa melalui sumber-sumber pangan primer sebuah negara di mana hirarki dan sejarah kekuasaan dapat dilacak dari bagaimana penguasaan atas bahan-bahan pokok dimainkan oleh politisi dan penguasa; sementara yang kedua lebih kepada penguasaan politis atas rahim yang dipercaya merupakan kunci kepada kekuasaan. Rahim merupakan metafora dari perut yang dianggap sebagai pangkal dari segala hajat reproduksi sebuah bangsa di mana kapasitas kekuasaan dilekatkan pada tubuh perempuan dan cakupan penguasaannya adalah kontrol negara atas organorgan reproduktif dan seksualitas perempuan (Candraningrum, 2014). Kontrol rahim dapat dilakukan salah satunya melalui kebijakan birth control (kontrol kelahiran) yaitu baik mendorong atau membatasi jumlah kelahiran. Dalam diskursus sosial, politik maupun kesehatan, pembahasan mengenai kontrol rahim ini tidak lepas dari diskusi mengenai hak reproduksi perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia dan isu gender. Dalam jurnalnya, Ratna Bantara Munti (2010: 3) memahami perlunya penghargaan, penghormatan dan pengakuan atas hak-hak asasi manusia terutama kepada
5
perempuan untuk mengembalikan kapasitas mereka dalam menikmati hak-hak fundamentalnya sebagai manusia yang otonom, dan memiliki kontrol penuh atas intergritas tubuh ataupun seksualitasnya. Regulasi berupa birth control tersebut dianggap telah membatasi kebebasan perempuan atas tubuhnya sendiri; karena perempuan juga memiliki hak untuk hamil atau terbebas dari kehamilan yang tidak diinginkannya, terhindar dari penyakit kelamin dan juga ancaman kematian. Melihat fakta seperti itu, maka kontrol rahim dapat dimasukkan sebagai bentuk kekerasan seksual di mana seksualitas perempuan difungsikan hanya sebatas kesuburan dan kemampuan untuk memberikan keturunan saja. Menurut Maria Mies (1986: 166) dalam buku Patriarchy and Accumulation on A World Scale: Women in The International Division of Labour kekerasan seksual masuk ke dalam kekerasan struktural dan hal ini memang dengan sengaja dipelihara dan terus direpetisi untuk melanggengkan sistem patriarki. Begitu juga dengan kontrol rahim perempuan yang terjadi secara sistematis di berbagai negara dewasa ini, tak terkecuali perempuan Afrika Amerika yang tinggal di Amerika Serikat, baik pada masa perbudakan maupun pasca perbudakan. Jika kontrol rahim pada masa perbudakan dilakukan dengan tindakan yang sangat opresif, terang-terangan bahkan tidak manusiawi; maka di masa sekarang kontrol rahim perempuan kulit hitam dilakukan secara lebih halus, besar-besaran dan sistemik. Secara umum, rahim perempuan kulit hitam sendiri telah mengalami kontrol dalam dua bentuk; yaitu melahirkan banyak anak di masa perbudakan dan membatasi jumah kelahiran di masa sekarang.
6
Peneliti menemukan bahwa isu tentang kontrol rahim semacam ini terdapat di dalam karya Toni Morrison yang berjudul Beloved. Adalah Sethe, seorang budak perempuan yang harus berjuang dan bertahan dalam situasi perbudakan maupun pasca perbudakan yang pada waktu itu sarat dengan kekerasan fisik maupun non fisik, diskriminasi dan perampasan hak-hak hidup. Dia harus menghadapi perampasan hak atas tubuhnya sendiri, atas rahimnya dan atas rasa yang wajarnya dimiliki oleh setiap ibu terhadap anak-anaknya bahkan atas identitas dirinya sebagai manusia. Sethe adalah budak yang melarikan diri dari Sweet Home, rumah majikannya, dan menyelamatkan diri ke Cincinniti, Ohio untuk tinggal bersama mertuanya. Dalam kondisi perut yang membesar karena saat itu tengah mengandung anaknya yang ke-empat, dia berlari sendirian menembus hutan pinus setelah sebelumnya mengirimkan ketiga anaknya terlebih dahulu ke rumah mertuanya secara sembunyi-sembunyi. Dalam perjalanan ia melahirkan bayinya dibantu oleh seorang budak kulit putih di tepian sungai Ohio dan sehari setelahnya mendapat tumpangan dari Stamp Paid, seorang penyeberang sungai, dan dengan selamat sampai di rumah mertuanya, Baby Suggs. Pelariannya ini merupakan upaya untuk melepaskan diri dari belenggu perbudakan atas tubuhnya terutama rahim dan apa yang ada di dalam rahimnya. Setelah duapuluh delapan hari menikmati kebebasan, petugas polisi dan Schoolteacher yang telah mengetahui keberadaannya datang untuk mengambilnya kembali beserta anakanak yang mereka klaim sebagai hak milik. Namun Sethe tidak diam begitu saja, dia melakukan perlawanan untuk mempertahankan haknya atas anak-anak yang telah dikandung dalam rahimnya.
7
Kontrol rahim juga terjadi kepada tokoh budak perempuan lainnya seperti Baby Suggs dan menurut peneliti ini menarik untuk dikaji karena kenyataannya kontrol rahim terhadap perempuan kulit hitam tidak saja terjadi pada masa perbudakan saja namun terjadi juga hingga sekarang meski dalam bentuk yang lain. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya wacana yang membahas tentang hakhak reproduksi perempuan kulit hitam di Amerika Serikat baik tentang hak kesehatan reproduksi maupun hak aborsi oleh feminis kulit hitam3. Langgengnya kontrol terhadap rahim perempuan kulit hitam menurut pandangan peneliti tidak lepas dari strategi-strategi yang pernah dilakukan oleh pihak yang berkuasa pada masa perbudakan yaitu strategi ideologis. Sementara itu di sisi lain kontrol semacam ini juga memunculkan perlawanan dari pihak perempuan kulit hitam baik pada masa perbudakan maupun masa sekarang. Dari penjelasan di atas maka penelitian ini mencoba untuk menjawab bagaimana strategi penguasa dalam upaya mengontrol rahim budak perempuan kulit hitam di dalam novel Beloved dan bagaimana perempuan kulit hitam dalam hal ini penulis bereaksi atas kontrol tersebut. Penelitian ini juga akan membahas bentuk kontrol rahim di masa sekarang dan upaya dalam menghadapinya. Untuk dapat menjelaskan permasalahan tersebut, maka peneliti menggunakan kerangka berfikir feminisme kulit hitam dari Patricia Hill Collins tentang opresi ideologis dan self-consciousness perempuan kulit hitam atas tubuh.
3
Seperti artikel maupun buku yang ditulis oleh Toni M. Bond (2001) dengan judul Barriers Between Black Women and the Reproductive Rights Movement dan Angela Davis (1983) dengan judul Women, Race and Class. dll
8
1.2 Rumusan Masalah Ideologi yang diusung Amerika Serikat untuk kesatuan bangsa adalah bahwa Amerika merupakan milik warganya dan dalam konteks nasional, mereka harus mengagungkan nilai-nilai patriotisme melampaui apa yang disebut sebagai diskriminasi. Namun nyatanya perbedaan ras, kelas dan gender justru menimbulkan diskriminasi terutama kepada perempuan Afrika-Amerika yang dilakukan secara sistematis dalam kurun waktu yang sangat lama sejak masa perbudakan hingga sekarang. Tubuh perempuan kulit hitam didefinisikan sesuai dengan kepentingan pihak dominan dan kontrol atasnya menjadi penanda bahwa perempuan kulit hitam rentan kehilangan otonomi atas tubuhnya sendiri. Salah satu bentuk kontrol tubuh tersebut yaitu kontrol rahim. Namun demikian terdapat perlawanan yang dilakukan oleh perempuan kulit hitam salah satunya melalui karya sastra. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1) Bagaimana strategi penguasa dalam mengontrol rahim perempuan kulit hitam di dalam Beloved? 2) Bagaimana bentuk perlawanan dan strategi perempuan kulit hitam dalam hal ini adalah pengarang untuk melepaskan rahim perempuan kulit hitam dari kontrol sang penguasa?
1.3 Objek Penelitian Objek material yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel karya Toni Morrison yang berjudul Beloved diterbitkan pada tahun 1987, sementara objek
9
formal yang digunakan adalah teori feminisme hitam yang diformulasikan Patricia Hill Collins terutama tentang opresi ideologis dan self-consiousness perempuan kulit hitam atas tubuh.
1.4 Tujuan Penelitian Mengetahui memang ada upaya-upaya perlawanan yang dilakukan oleh budak perempuan kulit hitam dalam hal ini melalui produk intelektual berupa tulisan berbentuk karya sastra sebagai respon terhadap strategi dan upaya rezim penguasa dalam melanggengkan kontrol tubuh perempuan kulit hitam terutama kontrol terhadap rahim.
1.5 Tinjauan Pustaka Untuk penelitian yang dilakukan terhadap novel Beloved, peneliti mencoba mengkategorikan penelitian dengan fokus tema tertentu dan membaginya menjadi penelitian yang berkaitan dengan (1) identitas sebagai perlawanan, (2) Beloved sebagai sejarah, dan (3) perlawanan dilihat dari aspek yang lain. Pertama adalah penelitian yang berkaitan dengan identitas sebagai perlawanan, yaitu tesis yang ditulis oleh Virginia Castello dari Universitas Montana pada tahun 1993 yang berjudul “Creation of Self and Personalism in Tony Morrison’s The Bluest Eye and Beloved”. Tesis ini fokus pada aspek personalisme yang dimunculkan oleh karakter-karakter perempuan. Castello menggunakan interpretasi filosofi Emmanuel Mounier tentang personalisme sebagai lensa yang digunakan untuk meneliti dan menginterpretasikan karakter
10
perempuan di dalam novel Toni Morrison yaitu The Bluest Eye dan Beloved. Hasil penelitian menunjukkan bahwa personalisme mengharuskan individu untuk bertanggungjawab terhadap perilaku mereka dan juga kekejaman dunia semampu mereka. Sebelum karakter-karakter tersebut mencapai personalismenya, mereka menciptakan diri mereka sendiri yaitu dengan bertanggungjawab atas diri, perilaku dan perkembangannya sendiri. Wacana pengasingan dijadikan pilihan oleh karakter di dalam kedua novel karena merasa tidak memenuhi standar yang ditawarkan oleh masyarakat kulit putih (The Bluest Eyes) dan perlawanan terhadap kekejaman perbudakan yang meninggalkan masa lalu dan trauma fisik juga psikologis (Beloved). Mereka berjuang, gagal, dan menarik diri mereka ke dalam pengasingan. Namun demikian, pada akhirnya seluruh karakter dapat menciptakan diri mereka sendiri dan meyakini banyak nilai-nilai yang bersifat personal. Langkah-langkah menuju penciptaan diri secara tak disadari ternyata membentuk personalisme. Selanjutnya adalah tesis yang ditulis oleh Kristin Sue Daniel dari Universitas Iowa (2010) yang berjudul Power and Its price: Female Roles and the consequences of gaining agency in Toni Morrison’s Beloved and Jane Smiley’s A Thousand Acres. Penelitian ini membahas kesamaan antara karakter protagonist perempuan yang ada di dalam Beloved dan A Thousand Acres karya Toni Morrison dan Smiley. Kedua karakter tersebut, meski ditulis oleh penulis dengan latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda ternyata sama-sama menampilkan bahwa keduanya terbelenggu dalam sistem budaya patriarki yang sangat ketat. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kedua perempuan ini pada akhirnya dapat
11
menemukan identitas diri mereka. Ada kesadaran (consciousness) yang timbul dalam diri mereka bahwa keberadaan dirinya memberikan peranan penting untuk merawat dan melindungi orang-orang yang mereka sayangi. Peranan ini muncul sebagai identitas dan perlahan menjadi sumber kekuatan mereka sebagai agen perjuangan pembebasan perempuan kulit hitam. Disertasi yang ditulis oleh Rhonda Jackson White pada tahun 1999 mengangkat masalah self-identity sebagai yang dicari di dalam Beloved dengan judul “You are Your Own Best Thing: African American College Women Responding to Their Lives by Way of Toni Morrison’s Beloved.” Penelitian ini mencoba untuk menemukan pengaruh Beloved terhadap pembacanya. Peneliti berasumsi bahwa Beloved dapat membantu perempuan Afrika Amerika untuk memahami kehidupan mereka sendiri, dengan metode wawancara dan diskusi dengan mereka yang tidak membaca Beloved dan didukung oleh teori pedagogis milik Maxine Green maka diperoleh hasil bahwa jika remaja Afrika Amerika diberikan ruang imajinasi yang lebih luas melalui sastra Afrika Amerika maka mereka akan lebih memahami makna kehidupan mereka sendiri dan menjadi agen demokrasi yang jauh lebih baik. Penelitian yang melihat Beloved sebagai sejarah atau memori Afrika Amerika antara lain disertasi yang ditulis oleh Kathleen Kelly Marks pada tahun 2000 dengan berjudul “The Seeds of Memory: The Apotropaic in Toni Morrison’s Beloved”. Tulisannya mengkaitkan nilai historis yang ada di dalam Beloved dengan ritual apotropaik yaitu sebuah praktik yang mengangkat memori tentang penderitaan masa lalu. Apotropaik merupakan ritual membebasan iblis dari neraka
12
yang memberikan kekuatan negatif dan di dalam Beloved hal ini digambarkan sebagai hantu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sethe adalah hero yang memancarkan energi positif sebagai resistensi terhadap apotropaik tersebut. Karena tidak semua yang berasal dari masa lalu itu perlu untuk hadir, maka beberapa hal harus dihindari dan ditolak. Penolakan ini menciptakan paradigma memori baru di mana mereka enggan mengingat atau bahkan ditelan oleh masalalu. Dibantu dengan teori Augustine yaitu Mitos Persephone, dan juga sumber lainnya, penelitian ini menegaskan bahwa apotropaik meski bersifat jelek, mengerikan dan fantastis namun sangat bermanfaat untuk menggambarkan masa lalu dan juga restrukturisasi masa depan. Pada tahun 2013, Nidhi Khatana dari Universitas Amity India melakukan penelitian yang juga memfokuskan diri pada aspek sejarah di dalam Beloved dengan judul “Toni Morrison’s Beloved: Rediscovering History.” Hasil penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar karya Morrison merefleksikan sejarah Afrika Amerika. Sebagai tokoh pelopor renaisans keturunan Afrika Amerika, Morrison menjadikan sejarah sebagai isu yang penting untuk disajikan baik itu sejarah masa kini, masa lalu maupun yang akan datang. Dengan karyanya ia mencoba untuk membentuk kembali wacana tentang perbudakan. Novel-novelnya merefleksikan hasratnya dalam menggambarkan orang-orang, tempat, bahasa, nilai, tradisi budaya dan politik yang juga telah membentuk kehidupannya sendiri juga orang-orang Afrika Amerika. Gagasan yang paling sering ditanamkan dalam narasi fiksi Toni Morrison adalah posisi orang kulit hitam di dalam masyarakat Amerika, baik itu di masa kini maupun masa lalu. Karyanya sangat erat dengan
13
kisah leluhurnya dan merupakan upaya untuk menempatkan kembali segalanya di tempat dan konteksnya semula, karyanya dianggap sangat penting baik secara artistik,
sejarah,
dan
politik.
Menurut
penelitian
ini
Beloved
(1987)
menegosiasikan sejarah sebagai narasi konkrit atas keberadaan manusia dan abstrak atas hubungan antar manusia. Karyanya adalah sebuah sejarah dan sebuah representasi kompleksitas atas cinta dan daya tarik seksual. Karya itu melatari kecenderungan memori atau ingatan yang dialogis dan kapasitas imaginatifnya untuk mengkonstruksi sekaligus merekonstruksi pentingnya masa lalu. “White Ink”: The Body And Ecriture Feminine In Toni Morrison’s Beloved” (2013) adalah penelitian Kate Emilee Hoctor dari Universitas DePaul yang juga melihat karya Morrison sebagai sebuah sejarah yang terlupakan, disembunyikan atau bahkan dihilangkan dari sejarah perbudakan di Amerika Serikat. Morrison tidak sedang menceritakan pengalamannya sendiri, namun dia sedang mengemas kisah pengalaman orang lain yang dihilangkan dari penceritaan saat perbudakan maupun pasca perbudakan. Yang menjadi penekanannya adalah bukan jumlah dan statistik yang menunjukkan perbudakan, namun kehidupan personal sehari-hari yang dialami oleh budak-budak yang tak dikenal dan juga bekas budak. Menurut penelitian ini, medan yang tak pernah diteliti yaitu menceritakan kisah yang tak pernah dikisahkan. Kisah tentang kaum buta aksara, yang dipinggirkan, yang hilang, yang ditinggalkan, yang dibunuh, dan dilupakan. Dengan memilih perempuan sebagai pusat cerita, Morrison menggunakan tubuh mereka untuk menceritakan apa yang dunia tak dapat ceritakan. Menurut peneliti, saat membaca novel ini, kita tidak bisa lepas dari wacana tubuh dalam novel itu
14
sendiri. Dan jika mau, kita bisa mengeksplor teori tentang tubuh. Dengan menggunakan teori ecritune feminine milik Helene Cixous, peneliti mengeksplor pemanfaatan tubuh dalam novel Morrison mencoba menjawab mengapa tubuh digunakan. Dengan demikian menurutnya tradisi penulisan yang bersifat palogosentrik dapat ditentang yaitu melalui tulisan semacam ini yang menjadikan tubuh sebagai agensi ide. Tidak hanya itu melalui kreasi penulisan dalam bentuk baru maka juga dapat menentang metode konvensional dalam hal linearitas, kosakata, struktur alur, repetisi, dan waktu. dengan demikian, kita bisa mulai berjalan menyusuri jalan yang membuka akses kisah orang-orang yang dimarginalkan baik perempuan ataupun orang-orang dari etnik dan budaya tertentu. Dari lingkungan Universitas Gadjah Mada sendiri, Beloved telah diteliti oleh Sri Herminingrum (2010) melalui disertasinya yang berjudul Pembentukan Karakter Budaya Amerika Melalui Perempuan Afrika Amerika: Kajian Novel Novel Toni Morrison. Dia menganalisis delapan novel sebagai objek material yaitu The Bluest Eyes (1970) Sula (1973) Song of Solomon (1977) Tar Baby (1981) Beloved (1987) Jazz (1992) Paradise (1997) dan Love (2003). Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap data yang ada di dalam dan di luar objek material itu, menghasilkan kesimpulan bahwa ada empat kelompok perempuan Afrika Amerika yang tercermin dari novel tersebut. Secara lebih spesifik, karakter karakter perempuan yang ada di dalam Beloved mencerminkan tipe kelompok tersendiri, yakni kelompok perempuan yang menjadi korban kemanusiaan perbudakan. Perempuan digambarkan sebagai korban eksploitasi, serta menjadi
15
subjek segregrasi dan stereotip. Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Niko yang berjudul “Realisme Magis dalam novel Beloved karya Toni Morrison” pada tahun 2014. Peneliti menggunakan teori naratif realisme magis yang diformulasikan oleh Wendy B. Faris merupakan cara pandang untuk melihat gejala mitos wilayah periferal sebagai dunia magis dalam pengaruh modernitas. Hal yang pertama yang dilakukan dengan teori ini adalah melihat kadar realisme magis dalam novel ini dengan melihat kelima elemen realisme magis, lalu melihat relasi antar elemen itu dan menemukan fungsi struktur elemen tersebut selanjutnya adalah menentukan kadar realisme magis pada novel Beloved ini. Setelah kadar itu telah diidentifikasi, selanjutnya adalah melihat konteks sosial, ideologis, dan diskursif untuk melihat hubungan Beloved dengan konteksnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengarang mengakui keberadaan dunia magis dalam dunia rill namun menempatkan magis pada posisi tak tentu, yang ada namun tak terlihat. Pengarang beranggapan bahwa dunia magis merupakan ancaman atas dunia riil. Penggabungan antara dunia magis dan dunia riil dalam novel ini mengategorikan novel ini sebagai karya realisme magis. Penelitian di luar objek yang mengangkat masalah perbudakan juga dirasa penting untuk dijadikan sebagai tinjauan pustaka. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Surianata (2002) dengan judul “The Role of Slave Labor in The Southern States Agriculturism During 1820-1890”. Penelitian ini melihat peranan penting budak pekerja terhadap kemajuan pertanian di wilayah selatan Amerika selama tahun tersebut. Dengan menjadikan orang Negro sebagai budak pada tahun 1700 di Virginia, Maryland dan Carolina Selatan, maka seiring dengan
16
itu budak negro dijadikan property atau barang yang bisa diperjualbelikan. Penelitian ini memberi informasi bagaimana budak buruh dimanfaatkan untuk kepentingan industri yang pada saat itu berkembang pesat. Kelebihan kekebalan tubuh budak dirasa memberikan keuntungan tersendiri bagi penguasa untuk mengembangkan usaha pertanian mereka dengan mengandalkan tubuh dan tenaga budak. Hasil penelitian menujukkan bahwa ternyata mereka memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap kekayaan majikannya, bahkan perekonomian negara bagian selatan mengalami kemajuan. Selain melihat sisi itu, penelitian juga mengungkap dampak perbudakan dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya. Penelitian selanjutnya yang memfokuskan diri pada perlawanan budak perempuan Afrika Amerika terhadap diskriminasi dilakukan oleh Nurnaningsih (2008) dengan judul “African American Struggle Againts Discrimination in the US: Condoleeza Rice Case.” Tesis ini membahas tentang pengalamanpengalaman
dan
pencapaian-pencapaian
yang
didapatkan
oleh
karakter
perempuan Afrika Amerika, Condoleezza Rice, dalam usahanya untuk menghapuskan diskriminasi. Penelitian ini dilakukan dengan memakai cara pandang kajian Amerika dan menerapkan interdisiplin yang menggunakan aspek sejarah, sosiologi dan pengkajian wanita. Metode yang digunakan adalah penelitian pustaka. Hasil penelitian menyatakan bahwa kehidupan Rice mempunyai kontribusi dalam penguatan terhadap wanita. Rice dapat mengabaikan diskriminasi yang terjadi pada dirinya, ia mendapatkan kesuksesan melalui pendidikan dan karirnya.
17
Dari semua tinjauan pustaka yang ditemukan peneliti, meski dengan objek material yang sama belum ada satupun yang mengangkat masalah kontrol tubuh yang mengerucut pada kontrol rahim sebagai bentuk opresi terhadap perempuan kulit hitam baik di masa perbudakan maupun sekarang. Dengan bantuan kerangka teoritis dari Patricia Hill Collins mengenai opresi ideologis terhadap tubuh budak perempuan kulit hitam dan self-consiousness perempuan kulit hitam terhadap tubuhnya, maka penelitian ini mencoba untuk menganalisa strategi kontrol rahim perempuan kulit hitam dan bagaimana resistensi mereka terhadapnya.
1.6 Landasan Teori Untuk memahami bagaimana kontrol atas rahim budak perempuan kulit hitam dilakukan oleh pihak penguasa dan bagaimana perlawanan budak perempuan terhadap kontrol tersebut, maka peneliti membagi landasan teori menjadi dua bagian penting, (1) Strategi pihak penguasa dalam mengontrol rahim budak perempuan kulit hitam yaitu melalui opresi ideologis berupa pemberian imej negatif terhadap tubuh perempuan kulit hitam, dan (2) strategi perempuan kulit hitam dalam melakukan perlawanan dalam bentuk kesadaran diri (selfconsiousness), tulisan sebagai produk intelektual dan juga politik seksual perempuan kulit hitam yang menciptakan gerakan-gerakan hak reproduksi perempuan kulit hitam. 1.6.1
Opresi Ideologis Tubuh Perempuan Kulit Hitam Menurut Collins (2000: 4) ada tiga dimensi opresi yang saling terkait satu
sama lain; (1) opresi ekonomi yaitu melalui eksploitasi perempuan kulit hitam
18
sebagai budak yang sangat dimanfaatkan kinerjanya dalam perkembangan kapitalisme Amerika Serikat, (2) opresi politik di mana hak perempuan kulit hitam untuk setara dengan laki-laki kulit putih ditolak dan (3) opresi ideologis yang dilakukan melalui pemberian imej kepada tubuh perempuan kulit hitam. Menurut Collins (2000:4) opresi ekonomi ditandai dengan kemiskinan yang dialami oleh perempuan kulit hitam. Konstruksi wilayah pekerjaan perempuan kulit hitam yang lekat dengan wilayah domestik juga menjadi salah satu faktor kemiskinan perempuan kulit hitam. Menurutnya pekerjaan yang menyita waktu semacam itu tentu tidak memberikan ruang bagi budak perempuan kulit hitam untuk berfikir secara intelektual. Beban kerja yang sangat berat sebagai buruh perkebunan juga disinyalir sebagai bentuk opresi ekonomi terhadap tubuh budak perempuan kulit hitam. Kondisi tersebut mengakibatkan mereka tetap menempati posisi terendah dalam struktur hirarki sosial. Sementara itu opresi politik ditandai dengan hilangnya hak perempuan kulit hitam dalam bidang politik. Mereka dilarang untuk memberikan suara sehingga hak perempuan kulit hitam untuk terlibat dalam ruang publik dirampas dan ditiadakan. Tentu hal ini mengakibatkan perempuan terus dalam keadaan terbelakang (Collins, 2000: 4). Jika opresi ekonomi dan politik dilakukan melalui perlakuan yang berat sebelah, maka opresi ideologi dilakukan lebih kepada penanaman ideologi di dalam masyarakat Amerika Serikat mengenai perempuan kulit hitam. Menurut Collins (2000:5) dimensi ideologis ini jauh lebih kuat dan lebih sulit untuk dihilangkan dibandingkan dengan kedua dimensi opresi yang lain. Ideologi
19
tentang tubuh perempuan kulit hitam yang digambarkan melalui imej negatif disebarkan perlahan-lahan dan semakin mengakar di dalam budaya maupun sosial masyarakat Amerika Serikat pada masa perbudakan. Collins (2000: 5) menyatakan definisi ideologi dalam hal ini adalah pemberian ide terhadap tubuh yang pada akhirnya merefleksikan identitas komunitas tertentu. Menurut Collins (2000: 72) pemberian ide semacam ini merupakan kontrol terhadap tubuh perempuan kulit hitam. Perbudakan sendiri pada dasarnya sudah dijadikan pembenaran oleh pemilik budak untuk mengontrol dan mengekploitasi tubuh perempuan kulit hitam, namun untuk semakin memperkuat praktik itu maka opresi ideologi berupa imej negatif diciptakan (Collins, 2000: 69). Sebagai bagian dari ideologi kelompok dominan, maka imej negatif tersebut memberikan manfaat yang besar bagi kelompok dominan, yaitu untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki wewenang dan kekuasaan dalam memanipulasi imej perempuan kulit hitam (Collins, 2000: 69). Merekalah yang mempunyai kendali atas tubuh perempuan kulit hitam. Meskipun katakanlah imej tersebut tidak lagi digunakan di masa sekarang, namun kenyataannya pengaruh dari imej tersebut sangat besar; yang mana fungsinya tidak saja hanya untuk menundukkan perempuan kulit hitam namun juga sebagai usaha mempertahankan opresi (Mulling, 1997: 109) Ada empat jenis imej negatif yang disematkan kepada budak perempuan kulit hitam, antara lain (1) mammy, (2) matriarch, (3) breeder woman dan welfare mother serta (4) jezebel (Collins: 2000: 72-81). Masing-masing imej pada hakikatnya berfungsi untuk meregulasi, mengontrol sekaligus mengkonstruksi
20
tubuh perempuan kulit hitam sedemikian rupa sehingga dapat diambil kemanfaatannya sekaligus dibatasi ruang geraknya. Namun dari keempat imej tersebut, menurut peneliti imej mammy, breeder woman dan jezebel adalah yang paling erat kaitannya dengan wacana kontrol rahim budak perempuan kulit hitam. 1. Perempuan kulit hitam sebagai mammy Imej mammy diasosiasikan sebagai pelayan yang setia, dapat dipercaya dan patuh. Stereotip semacam ini menjadi pembenaran terhadap ekploitasi ekonomi tubuh budak perempuan kulit hitam –terutama tangan dan kakinya– sekaligus menjaga kelestarian ruang domestik perempuan kulit hitam, bahkan menjadi aturan yang mengontrol tindakan perempuan kulit hitam baik di wilayah domestik maupun publik. Jika mereka melanggar imej tersebut, maka mereka dihukumi secara sosial dengan stereotip negatif seperti “perempuan kulit hitam yang bodoh, pelayan yang tidak tahu diri” dan seterusnya (Collins: 2000: 72). Imej mammy akan mempengaruhi perilaku maternal perempuan kulit hitam; di mana perilaku maternal perempuan kulit hitam nantinya terbagi menjadi dua yaitu perilaku maternal individual dan komunal (Collins, 2000: 73). Imej negatif ini nantinya dapat diwariskan kepada anak-anak kulit hitam melalui peranan maternal ibu sehingga secara otomatis mereka mengetahui posisinya di dalam struktur kekuasaan kulit putih. Perempuan kulit hitam yang disebut mammy diharapkan menjadi kanal yang efektif untuk mengabadikan opresi rasial. Imej ini juga berperan penting dalam melanggengkan opresi gender dan seksualitas (Collins, 2000: 74).
21
Imej mammy sebagai yang liyan menandakan oposisi antara pikiran dan tubuh, budaya dan alam dan pemikiran ini dimanfaatkan untuk membedakan perempuan kulit hitam dengan yang di luar dirinya. Imej ini menopang ideologi perempuan sejati yang memusatkan diri pada seksualitas dan juga kesuburan perempuan. Jika Ibu kulit putih diharapkan untuk menolak seksualitas keperempuanan mereka, maka mammy adalah makhluk aseksual di mana mereka benar-benar harus berkomitmen dengan pekerjaan mereka. (Collins: 2000: 73) Gambaran sosok mammy menurut Christian (1980: 12-13) dianggap mampu mewakili bentuk tubuh budak perempuan kulit hitam yang memiliki buah dada yang besar sehingga dianggap mampu menyusui seluruh bayi di dunia ini. Ciri fisik tubuhnya yang kekar dianggap kuat sehingga mereka dianggap mampu melakukan apapun pekerjaan yang diperintahkan oleh majikannya. Gambaran ini pada akhirnya merujuk pada image breeder woman yaitu perempuan yang melahirkan banyak anak yang menginiasi adanya kontrol atas rahim budak perempuan kulit hitam. 2. Perempuan kulit hitam sebagai breeder women Imej breeder women ditujukan kepada perempuan yang memiliki kesuburan dan kemampuan untuk melahirkan banyak anak. Menurut Collins (2000: 78) imej ini menjadi pembenaran ideologis atas pemanfaatan kesuburan perempuan atau rahim perempuan untuk merubah situasi sosial dan politik. Selama masa perbudakan, imej breeder women dianggap lebih cocok diberikan kepada perempuan kulit hitam dibandingkan dengan perempuan kulit putih. Mereka mengklaim bahwa
22
perempuan kulit hitam lebih mudah dalam mereproduksi anak sama halnya seperti hewan. Pandangan semacam ini tentu merefleksikan adanya campur tangan pihak tertentu dalam urusan reproduksi budak perempuan kulit hitam. Pemilik budak perempuan menginginkan budaknya untuk melahirkan lebih banyak anak karena setiap anak yang terlahir akan menjadi perangkat properti yang bernilai –yaitu perangkat kerja yang baru. Jika yang dilahirkan berjenis kelamin perempuan maka secara otomatis ia akan menjadi prospek mesin reproduksi untuk meningkatkan jumlah budak (Collins, 2000: 78). Menurut King (1973) imej breeder women menjadi pembenaran terhadap campur tangan pemilik budak mengenai keputusan dan otonomi perempuan kulit hitam terhadap rahimnya sendiri. Imej breeder woman menurut Collins (2004: 56) juga menjadi pembenaran atas kebijakan reproduksi yang mendorong budak perempuan kulit hitam untuk memiliki banyak anak. Seksualitas dan kesuburan menurut pemilik budak tidaklah ada untuk kepentingan perempuan kulit hitam itu sendiri melainkan sebagai sistem profit. Collins (2000: 51) menambahkan bahwa kontrol atas rahim budak perempuan kulit hitam sangat penting untuk melanggengkan relasi kelas kapitalis. Perbudakan sangat disukai kaum kapitalis karena dapat digunakan untuk memperalat segmen penduduk tertentu dengan cara mengeksploitasi tubuh mereka dan warga keturunan Afrika Amerika adalah yang paling tepat untuk dijadikan komoditas terutama perempuan. Kondisi miskin dan tanpa kekuasaan politik menjadikan perempuan kulit hitam rentan terhadap segala bentuk penindasan seperti perbudakan.
23
Pasca perbudakan, akses perempuan kulit hitam mulai meluas ke wilayah publik dan mereka mendapatkan akses ekonomi yang jauh lebih baik, namun tampaknya keadaan semacam ini merisaukan kaum elit. Menurut Collins (2000:80) mereka mulai menciptakan imej baru kepada perempuan kulit hitam sebagai welfare mother yang dianggap terlalu sering melahirkan anak sehingga dianggap menimbulkan masalah sosial dan politik. Jika pada masa perbudakan perempuan kulit hitam harus melahirkan banyak anak untuk kepentingan kuantitas budak, maka di era pasca perbudakan mereka dipaksa untuk mengurangi jumlah kelahiran. Welfare mother ditujukan kepada perempuan kulit hitam yang dianggap terlalu sering berada di luar rumah untuk bekerja dan dituduh telah melahirkan anak-anak yang tidak produktif. Sehingga untuk mengontrol rahim mereka, imej ini diciptakan. Dalam perjalanannya konsep welfare mother sudah tidak lagi digunakan namun diganti dengan strategi kebijakan lain yang juga berfungsi untuk mengatur atau mengontrol rahim perempuan kulit hitam. Sterilisasi, aborsi, prostitusi menjadi bagian dari upaya politik pihak dominan untuk terus mengontrol rahim perempuan kulit hitam sedemikian rupa. 3. Perempuan Kulit Hitam Sebagai Jezebel Menurut Collins (2000: 81) karena budak perempuan dianggap memiliki agresifitas seksual, maka mereka mulai disebut disebut sebagai hoochie atau Jezebel atau perempuan sundal. Keagresifitasan ini sendiri jika diruntut ke belakang ternyata berasal dari imej sebelumnya yaitu breeder woman yang mengharuskan perempuan kulit hitam untuk melahirkan banyak anak. Selanjutnya
24
untuk tetap
mengontrol tubuh budak perempuan kulit hitam maka imej ini
dimunculkan di tengah-tengah situasi perbudakan. Tuntutan majikan terhadap budak perempuan kulit hitam untuk melahirkan banyak anak dari rahimnya sementara pernikahan tidak lazim terjadi, tentu menjadikan budak perempuan kulit hitam terbiasa dengan praktik prostitusi. Sementara kelompok dominan di sisi lain menekan pengasuhan dilakukan oleh ibu kandung terhadap anak-anaknya karena ketakutan mereka akan terbentuknya jaringan keluarga kulit hitam yang kuat. Inilah yang melahirkan peranan maternal komunal ketimbang peranan maternal individu. Mereka menciptakan jarak antara ibu dan anak melalui waktu kerja yang padat bagi sang ibu dan menggantikan peran maternal mereka dengan peran maternal dari budak perempuan lainnya yang tidak memiliki hubungan darah dengan anak-anak tersebut (Collins, 2000: 82). Caroline M. West dalam bukunya Mammy, Jezebel, Sapphire and Their Homegirls (2012: 294) menyatakan bahwa imej jezebel berasal dari rentannya budak perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Mereka yang dianggap memiliki kapasitas reproduksi yang sangat baik biasanya lebih diinginkan untuk dibeli dan setelah itu tubuh mereka diperlakukan semena-mena secara seksual oleh majikannya. Mereka dipaksa, dirayu, dan diperintahkan untuk melakukan hubungan seksual dengan majikannya, anak-anak laki-lakinya, rekan-rekan lakilakinya, dan para mandor (pengawasnya). Menurut West (2012: 294) perempuan kulit hitam tidak bisa menamai dirinya sebagai korban perkosaan karena imej
25
jezebel yang melekat pada tubuh mereka ini yang mengidentifikasi perempuan kulit hitam sebagai makhluk yang memiliki hasrat seksual tinggi. Pasca perbudakan imej jezebel membuat perempuan kulit hitam kesulitan dalam mengakses pekerjaan. Perlakuan ini tentu berbeda jauh dari perempuan kulit putih yang lebih leluasa dalam memilih jenis pekerjaan. Tidak ada pilihan lain bagi perempuan kulit hitam selain bekerja di tempat bordir atau menjadi pelayan pada orang kulit putih; pekerjaan semacam ini dianggap bersifat lebih tinggi jika dibandingkan menjadi seorang budak. Kondisi prostitusi yang semakin merebak menjadi perhatian serius dan menganggap bahwa perempuan kulit hitam tidak mampu mengontrol seksualitas diri mereka sendiri (Collins, 2000: 81). Kesimpulannya, kontrol imej tersebut membentuk sebuah jaringan yang saling terkait satu sama lain yaitu bekerjasama untuk mengatur tubuh perempuan kulit hitam, meregulasi tubuh perempuan kulit hitam; imej mammy yang pada dasarnya adalah untuk mengekploitasi tangan dan kaki perempuan sebagai pekerja toh pada akhirnya menjadi pemicu dari imej perempuan kulit hitam sebagai breeder woman. Seorang mammy yang baik adalah dia yang patuh terhadap majikannya; selain tangan dan kakinya, rahimnya juga harus tunduk pada kontrol majikannya. Sementara itu imej jezebel ini pada gilirannya melegitimasi perempuan kulit hitam sebagai breeder women baik dengan keluarga ataupun tanpa keluarga. Dengan demikian seluruh rangkaian kontrol imej ini menjadi konsep opresi ideologis terhadap tubuh perempuan kulit hitam terutama otonomi atas rahim dan hak reproduksinya sendiri.
26
1.6.2
Definisi Diri Perempuan Kulit Hitam
Meski perempuan kulit hitam terlihat pasif dalam menerima perlakuan tidak adil, namun justru mereka dipercaya memiliki kekuatan dan daya tahan serta potensi yang luar biasa. Wiliam (1987: 151) melihat perempuan kulit hitam sebagai sosok yang tidak mudah untuk ditekan. Mereka sering mengalami sakit hati tapi tetap menengadahkan kepalanya; mereka dicemooh tapi dengan bangga menuntut rasa hormat; menurutnya perempuan paling hebat di negara itu adalah perempuan berkulit hitam. Collins (2000: 98) menyatakan sikap diam tidak bisa diinterpretasikan sebagai ketertundukan namun justru sebagai kesadaran untuk mendefinisikan diri. Kaum intelektual kulit hitam sudah sejak lama memperhatikan ruang privat yang sangat tersembunyi ini, yaitu sebuah ide “terdalam” yang menjadikan perempuan kulit hitam mampu menghadapi dan melampaui batasan-batasan yang terdapat pada opresi ras, kelas, gender, dan seksualitas. Pertanyaannya adalah bagaimana kemudian perempuan-perempuan di dalam kelompok dapat melawan objetifikasi tubuhnya sebagai mammy, breeder woman, dan jezebel bagaimana suara-suara intelektual perempuan kulit hitam dalam karyanya mewakili resistensi? Suarasuara mereka bukanlah suara sebagai korban melainkan sebagai survivor (yang bertahan). Keberadaan definisi diri inilah yang sangat substansial dalam pertahanan perempuan kulit hitam. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan kesadaran perempuan kulit hitam sebagai jalan pembebasan diri perempuan kulit hitam atas kontrol terhadap rahimnya. Peneliti merumuskan beberapa kata kunci
27
yang ditawarkan Collins (2000: 112- 121) dalam upaya pembebasan rahim perempuan kulit hitam dari belenggu melalui kesadaran diri (Self-Consciousness). Kesadaran ini menurut Collins akan sangat membantu perempuan kulit hitam dalam setiap upaya resistensinya terhadap opresi terutama yang berkaitan dengan opresi ideologi atas tubuh mereka. Definisi diri merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam selfconsciousness yang dididalamnya mencakup nilai diri dan kehormatan, kepercayaan diri dan kebebasan dan diri, perubahan dan pemberdayaan pribadi. Ketiganya bekerja saling melengkapi satu sama lain dan melebur untuk membentuk sebuah definisi diri sebagai hasil dari proses kesadaran diri (selfconsciousness). Banyak penulis kulit hitam di Amerika Serikat yang mulai mengangkat wacana perjalanan perempuan kulit hitam dari opresi menuju kebebasan dalam mendefinisikan diri. Muncul eksplorasi besar-besaran yang dilakukan oleh pengarang kulit hitam ditujukan secara langsung kepada pihak tertentu, komunitas, bangsa bahkan dunia. Seperti yang dikutip Collins dari Alexis DeVeaux (2000: 112) bahwa untuk dapat memahami pihak di luar diri, maka sangat perlu untuk bisa menempatkan diri sebagai sentra analisis. Dengan kata lain, seseorang harus memahami posisinya sebagai individu terlebih dahulu sebelum dapat memahami kelompok yang jauh lebih kompleks dan luas. Selama ini identitas individu perempuan kulit hitam di masa perbudakan dikonstruksi oleh pihak di luar dirinya sehingga tugas perempuan kulit hitam adalah untuk mengenal realitas individunya sendiri. Daripada melakukan
28
perlawanan secara langsung terhadap kebijakan-kebijakan yang diberikan pihak dominan, akan lebih baik bagi perempuan kulit hitam untuk mengenali dirinya sendiri dan mulai menempatkan diri sebagai sentra analisis. Praktik semacam ini menggambarkan perempuan kulit hitam yang tengah melakukan transformasi dari opresi menuju kebebasan. Lorde (1984: 40) menyatakan perjalanan perempuan kulit hitam ini berupa transformasi dari keadaan bungkam menuju suara baik berupa bahasa maupun aksi. Perempuan kulit hitam yang selama ini digambarkan tidak bisa lepas dari karakter domestifikasinya mulai digambarkan berbeda di dalam beberapa karya yang ditulis sebelum tahun 1990an. Kehidupan mereka tidak lagi sekedar berkutat di seputar anak-anak dan komunitasnya namun mulai digambarkan aktif mencari identitas diri di dalam batasan-batasan geografis. Meski secara fisik mereka terbatasi ruang, perempuan-perempuan kulit hitam ini menemukan sebuah area atau wilayah tertentu, yaitu relasi personal yang kompleks sebagai identitas yang menggantikan luas geografis wilayah tertentu. Untuk menemukan definisi diri dan kebebasan berfikir, perempuan kulit hitam tetap dalam kondisi tenang di luar namun tidak di dalam. Dalam rangka definisi diri, jalur tranformasi yang harus dilakukan oleh perempuan kulit hitam adalah dari ‘diri pribadi’ untuk ‘diri komunitas’. Karena ruang gerak perempuan kulit hitam dibatasi secara fisik, maka menurut Collins (2000: 113) konseptualisasi diri sebagai bagian dari definisi diri dilakukan secara berbeda. Diri tidak diartikan sebagai otonomi yang diperoleh dengan cara memisahkan diri dari yang lain melainkan ditemukan dalam konteks keluarga dan
29
juga komunitas. Collins (2000: 113) sependapat dengan Tate (1983) bahwa dengan bertanggungjawab terhadap orang lain, perempuan Afrika Amerika berkembang menjadi manusia yang seutuhnya, menjadi diri yang tidak lagi diobjekkan. Untuk mendapati “diri pribadi” maka perempuan kulit hitam harus bergerak dari keadaan masa lalu karena ada ‘diri’ yang jauh lebih besar dan harus diperjuangkan setelah diri pribadi yaitu ‘diri komunitas kulit hitam’. Dengan kata lain untuk dapat mendefinisikan diri maka lebih baik menjalin keterikatan dan keterkaitan antar orang kulit hitam daripada harus berdiri melawan oposisinya. Hal ini jauh lebih dapat memberikan makna yang dalam untuk definisi diri perempuan kulit hitam. Definisi diri menurut Collins (2000: 113) memiliki fungsi politik dan sebagai perlawanan terhadap kontrol imej perempuan kulit hitam. Identitas itu sendiri bukanlah sebuah tujuan, tapi merupakan langkah awal dalam proses pendefinisian diri. Di dalam proses ini, perempuan kulit hitam berusaha untuk memahami bagaimana kehidupan pribadi perempuan kulit hitam secara fundamental dibentuk dalam perlintasan opresi terhadap ras, gender, seksualitas, dan kelas. Definisi diri pada akhirnya juga melawan imej negatif yang selama ini disematkan pada perempuan kulit hitam. Untuk dapat merubah imej negatif menjadi positif maka perempuan kulit hitam perlu benar-benar memahami fungsi stereotip masing-masing imej. Fonow (1991: 37) menyatakan bahwa definisi diri bermakna penolakan terhadap stereotip/imej negatif yang selama perbudakan diberikan kepada tubuh mereka. Dengan demikian, melalui definisi diri inilah maka perempuan kulit
30
hitam mulai bisa menolak asumsi-asumsi yang selama ini menguntungkan pihak penguasa sehingga mereka mulai bisa mengenali dirinya sebagai manusia dan subjek. Elemen-elemen yang membentuk definisi diri adalah: 1. Nilai Diri dan Kehormatan Jika definisi diri lebih banyak berbicara mengenai dinamika kekuasaan yang meliputi perlawanan terhadap imej perempuan kulit hitam, maka nilai diri lebih kepada muatan dalam definisi diri itu sendiri. Imej negatif yang selama ini disematkan kepada perempuan kulit hitam banyak yang diputarbalikkan terutama berkaitan dengan perilaku yang dianggap mengancam susunan kekuasaan (Collins, 2000: 115). Senada, Fonow (1991: 37) menyatakan bahwa di dalam definisi diri tersebut terdapat nilai diri yang berarti kemampuan untuk mengganti imej yang diberikan oleh pihak luar kepada realitas diri perempuan kulit hitam. Menurutnya definisi diri yang mencakupi nilai diri ini sangat penting untuk menolak imej-imej negatif yang meniadakan sisi kemanusiaan perempuan kulit hitam dan juga eksploitasi tubuhnya. Perempuan
kulit
hitam
mulai
menilai
bahwa
aspek-aspek
keperempuanannya selama ini telah distereotipkan, dicemooh, dan difitnah baik dalam ranah ilmu pengetahuan maupun media populer. Penekanan terhadap kehormatan diri inilah yang kemudian mengilustrasikan makna nilai diri. Jika selama ini perempuan kulit hitam tidak diwajibkan untuk dihormati dalam lingkungan sosial, maka di sini mereka justru mulai mengajarkan satu sama lain
31
akan pentingnya kehormatan diri sehingga mereka juga harus menuntut kehormatan diri dari pihak lain (Collins; 2000: 115) Seperti yang diformulasikan oleh Collins (2000: 132) dari Katie G. Cannon (1998) ada tiga dimensi kualitas nilai diri dan juga kehormatan diri yang harus dipahami perempuan kulit hitam yaitu martabat yang tak tampak, keanggunan yang tenang, dan keberanian yang tak ditampakkan. Pada dasarnya, untuk menghadirkan nilai diri dan kehormatan diri maka harus dimulai dengan memperlakukan orang lain dengan penuh rasa hormat. 2. Kepercayaan Diri dan Kebebasan Tidak hanya mendorong perempuan kulit hitam untuk memiliki definisi diri dan nilai diri saja, namun menurut feminis hitam Maria Stewart (Collins, 2000: 116) kepercayaan diri juga sangat penting kaitannya dengan wacana pertahanan. Meskipun perempuan kulit hitam tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan talenta mereka sehingga dunia menganggap mereka tidak tahu apa-apa maka mereka harus memiliki semangat kebebasan. Jika orang Amerika dapat memiliki semangat itu, maka perempuan kulit hitam ini juga harus memilikinya. Walker-Barner (2014: 29) mengatakan bahwa kebebasan memiliki nilai budaya yang tinggi di kalangan perempuan kulit hitam. Kebebasan dalam hal ini dikaitkan dengan kepercayaan diri (self-reliance) dan beberapa ilmuan sosial menemukan bahwa kepercayaan diri dan kebebasan merupakan elemen yang penting dalam upaya pendefinisian diri. Seperti yang dikatakan oleh Collins (2000: 116-117) seiring berjalan waktu, baik karena pilihan ataupun lingkungan maka perempuan Afrika Amerika
32
mulai memiliki semangat kebebasan, mandiri, dan mendorong satu sama lain untuk menghargai visi keperempuanan yang bersifat menentang gagasan feminisme yang selama ini sudah mapan. Keyakinan ini mulai berkembang dan didukung di kalangan perempuan Afrika Amerika itu sendiri. Banyak perempuan kulit hitam yang mengagumi sosok-sosok di antara mereka yang dapat bertahan dalam kondisi opresi yang berat. Selain itu kemampuan perempuan kulit hitam untuk dapat bergantung pada dirinya sendiri juga menjadi bukti bahwa perempuan kulit hitam mulai menyadari keberadaan dirinya sebagai makhluk yang mempunyai hak kebebasan. 3. Diri, Perubahan dan Pemberdayaan Pribadi Lorde (1984: 112) menunjukkan bagaimana definisi diri memberi kekuatan kepada perempuan kulit hitam untuk melakukan perubahan sosial. Dengan memperjuangkan perspektif
definisi diri yang menolak imej yang diberikan
majikan atau penguasa, maka perempuan Afrika Amerika merubah dirinya sendiri. Kritik masa mengenai individu dengan kesadaran yang berbeda dapat mendorong
pemberdayaan
perempuan
secara
kolektif.
Kesadaran
akan
mendorong orang melakukan perubahan terhadap keadaan kehidupannya. Collins (2000:117) mengambil penjelasan Nikki Giovanni terhadap keterkaitan antara diri, perubahan dan pemberdayaan pribadi. Seberapapun ketatnya larangan dan peraturan yang diberikan, pada dasarnya setiap orang memiliki kesadaran bahwa mereka hidup di dunia yang nyata. Jika mereka tidak menyukai dunia di mana mereka hidup sekarang, maka mereka harus mengubah
33
dunia itu. Dan jika mereka tak mampu mengubahnya maka diri mereka sendirilah yang harus berubah. Perubahan juga dapat terjadi di wilayah privat yaitu kesadaran yang ada di dalam ruang pribadi masing masing individu perempuan kulit hitam. Perubahan jenis ini sama pentingnya dan bertujuan untuk memberdayakan diri. Siapapun perempuan kulit hitam yang dipaksa untuk tetap dalam keadaan diam maka mereka dapat mengembangkan kemampuan diri mereka sebagai bentuk kesadaran diri untuk perubahan menuju kebebasan (Collins, 2000: 117). Perempuan kulit hitam dituntut untuk memiliki kewenangan atau otonomi atas diri melalui pengetahuan yang ada pada diri meski dengan kondisi yang membatasi kemampuan seseorang untuk bertindak. Gilligan, Rogers & Deborah (1991: 96) berpendapat bahwa seharusnya perempuan kulit hitam mulai berani untuk membentuk sikap dan tindakan resistensi dengan melibatkan kebebasan dan pemberdayaan dirinya untuk membuat keputusan tanpa bersandar pada bantuan luar yang bersifat sementara. Dengan begitu mereka akan mudah mengidentifikasi segala gejala sosial dan kemudian melakukan perubahan positif dalam menghadapinya. Dengan memahami elemen-elemen definisi diri inilah, maka perempuan kulit hitam baik budak maupun keturunannya, dapat menentukan tindakan seperti apa yang bisa dilakukan untuk melepaskan diri dari imej-imej negatif yang selama ini membelenggu sehingga merugikan tubuhnya terutama rahim. Secara garis besar, untuk dapat melepaskan diri dari kontrol rahim, perempuan kulit hitam harus mulai menyadari bahwa ternyata tubuhnya selama ini tidaklah bebas atau
34
netral melainkan telah dikonstruksi sedemikian rupa melalui imej-imej negatif yang diberikan oleh pihak-pihak tertentu sebagai bagian dari opresi ideologis dan tugas mereka adalah untuk membangun definisi diri baru yang sesuai dengan realitas mereka sebenarnya.
1.6.3
Tulisan Sebagai Ruang Ideologis Perempuan Kulit Hitam Banyak tulisan perempuan Afrika Amerika yang menggambarkan
bagaimana perempuan kulit hitam secara individu berubah menjadi diri yang memiliki kewenangan melalui kesadaran akan perubahan. Menurut beberapa penulis perempuan Afrika Amerika, tak perduli seberapa besar opresi yang dialami oleh seorang perempuan kulit hitam, kekuatan untuk melindungi diri terletak pada diri pribadi. Perempuan kulit hitam lain mungkin akan berusaha membantu perempuan kulit hitam lainnya yang masih dalam perjalanan menemukan kewenangan pribadi ini, namun tanggungjawab utama dari definisi diri terletak pada masing-masing individu perempuan itu sendiri. Seorang perempuan dapat saja menggunakan strategi yang bermacam-macam untuk memenuhi kebutuhannya akan pengetahuan untuk mencapai kebebasan. Menurut Collins (2000: 94-96) ada beberapa ciri-ciri konsep tulisan perempuan kulit hitam yang terangkum dalam tiga karakteristik besar; di antaranya adalah (1) upaya perempuan kulit hitam dalam melepaskan diri dari pandangan dunia yang mendeskritkan tubuh perempuan kulit hitam; mereka berusaha melampaui batasan dan muncul menjadi karakter yang tidak biasa; (2) penolakan perempuan kulit hitam terhadap imej buruk dan juga situasi yang
35
mengikutinya, dan (3) tidak hanya menyajikan bagaimana perempuan kulit hitam secara individu merespon objektifikasinya sebagai Liyan, namun karya juga mendokumentasikan pertumbuhan personal individu menuju definisi diri yang positif yang pada akhirnya menunjukkan adanya resitensi terhadap labelisasi tubuh. Karya sastra yang dihasilkan oleh penulis Afrika Amerika (Collins, 2000: 95) menyodorkan pandangan yang cukup komprehensif mengenai perjuangan perempuan kulit hitam dalam melawan imej negatif yang ada tak terkecuali karyakarya yang ditulis oleh Morrison. Perempuan kulit hitam di dalam narasi dengan sendirinya menciptakan definisi diri yang positif untuk menolak imej negatif keperempuanan perempuan kulit hitam. Tema semacam ini mulai banyak dijadikan inspirasi dalam membuat karya, mereka menggambarkan berbagai macam pengalaman dan perilaku perempuan kulit hitam dalam menghadapi opresi.
Di dalam karya-karya tersebut pengalaman pahit yang dialami oleh
perempuan kulit hitam baik itu berupa rasa sakit, kekerasan, dan kematian dijadikan esensi kehidupan perempuan kulit hitam (Collins, 2000: 93). Upstone (2009: 41) melihat novel Morrison terutama Beloved (1987) Paradise (1997) dan Love (2003) merupakan upaya untuk mendorong penilaian kembali sejarah Amerika tentang kekerasan dan dekonstruksi mitos bangsa Amerika. Perbudakan sebagai praktik yang dibawa ke Amerika melalui kolonialisme menurut Upstone berkaitan erat dengan mitos bangsa Amerika yang menciptakan negosiasi ruang nation dan mengidentifikasikan Morrison dalam kritik poskolonial. Namun menurut Upstone, dalam kritiknya Morrison tidak
36
bersentuhan langsung dengan insitusi politik, melainkan menampilkan skala lain sebagai referensi. Morrison memfokuskan diri pada kisah-kisah kehidupan personal tokoh-tokoh di dalam novelnya seperti Sethe, Baby Suggs, Paul D, dan Denver. Kisah-kisah individual tersebut pada dasarnya merepresentasikan isu nasional di Amerika sendiri.
1.6.4
Politik Seksual Perempuan Kulit Hitam Kontrol tubuh perempuan kulit hitam berperan sangat penting dalam relasi
kelas kapitalis di Amerika Serikat. Jika dikaitkan dengan pengalaman perempuan kulit hitam di Amerika Serikat, menurut Collins (2000: 132) ada dua ciri kapitalisme yang penting. Pertama, tubuh perempuan kulit hitam telah diobjektifikasi dan dikomodifikasikan di dalam relasi kelas kapitalis Amerika Serikat. Objektifikasi terhadap tubuh perempuan kulit hitam dan komodifikasi terhadap tubuh tersebut saling terkait
satu sama
lain, yaitu dengan
mengobjektifikasikan tubuh perempuan kulit hitam maka itu sekaligus menjadikan mereka barang komoditas yang dapat diperjualbelikan atau ditukar secara bebas. Menurutnya tubuh yang terkomodifikasi menjadi penanda status perempuan kulit hitam di dalam hirarki kelas yang berlandaskan ras dan gender. Ciri kedua dari relasi kelas kapitalis di Amerika Serikat adalah bagaimana tubuh perempuan kulit hitam dieksploitasi. Eksploitasi dilakukan melalui mekanisme diskriminasi ketenagakerjaan, mempertahankan imej perempuan kulit hitam sebagai mule atau objek kepuasan, mendorong reproduksi perempuan kulit hitam dengan campur tangan berupa kebijakan, regulasi ketenagakerjaan
37
perempuan kulit hitam, dan eksploitasi seksualitas dan rahim perempuan kulit hitam (Collins, 2000: 123) Seksualitas perempuan kulit hitam seperti yang dirangkum Collins (2000: 123) dari Hammond sering dikiaskan sebagai kebisuan, jarak, atau bayangan; sebagai ruang kosong yang secara terus menerus dapat sekaligus ditampakkan dan ditiadakan; di mana tubuh perempuan kulit hitam telah mengalami penjajahan. Dalam menanggapi definisi semacam ini, kebanyakan perempuan kulit hitam tetap diam, hal ini karena kurangnya akses kekuasaan dalam lembaga-lembaga sosial di Amerika Serikat. Kelompok yang mengontrol sekolah, media masa, gereja, dan pemerintahan seolah-olah bekerja sama untuk meredam suara-suara kolektif perempuan kulit hitam. Kajian kritis terhadap seksualitas perempuan kulit hitam menurut Collins (1998: 83) mulai dilakukan melalui seperangkat asumsi di mana seksualitas perempuan kulit hitam telah diabaikan sekaligus dimasukkan ke dalam isu lakilaki Afrika Amerika. Dalam kritiknya, perjuangan perempuan kulit hitam atas opresi gender mulai terdengar lantang, namun analisis teoritis terhadap seksualitas masih jarang terdengar. Kajian-kajian ilmiah tentang perempuan agaknya gemar menempatkan perempuan kulit hitam dalam kerangka komparatif. Mereka tertarik membangun koalisi antar perempuan dari ras yang berbeda, sehingga para ahli teori ini sekedar hanya menambahkan perempuan kulit hitam ke dalam kerangka feminis yang sudah ada sebelumnya. Semakin banyak orang berbicara mengenai perempuan kulit hitam, maka semakin sulit bagi intelektual perempuan kulit hitam sendiri untuk berbicara tentang perempuan kulit hitam.
38
Topik tentang seksualitas di anggap tabu untuk dibicarakan dan wacana mengenai seksualitas diyakini tidak bisa dimediasikan dengan masalah seputar rasisme. Membicarakan konstruksi rasisme kulit putih terhadap seksualitas perempuan kulit hitam justru diperbolehkan namun mengembangkannya menjadi sebuah analisis seksualitas yang melibatkan laki-laki kulit hitam tidak dilakukan karena itu dianggap melanggar norma solidaritas sosial (Collins, 2000: 124). Norma solidaritas sosial menurut Emile Durkheim adalah pemahaman norma dan kepercayaan kolektif yang ada pada masyarakat tertentu. Kesadaran ini ditopang oleh solidaritas mekanik di mana kesadaran kolektif melingkupi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya. Kepercayaan ini begitu mendarah daging dan isinya biasanya bersifat religius (George Ritzer dan Dougles J. Goodman, 2008: 90-92) Namun begitu, konstruksi sosial terhadap seksualitas perempuan kulit hitam kini mulai menjadi fokus pemikiran feminisme kulit hitam (Collins, 2000: 127). Dengan mengikuti pola-pola yang dibangun dalam kajian feminis hitam mengenai buruh, keluarga, kontrol imej, dan tema lainnya, kebanyakan analisisnya adalah pada konteks seksualitas perempuan kulit hitam di dalam struktur relasi kekuasaan. Dengan lebih memperlakukan ras, kelas, gender dan seksualitas sebagai sistem dominasi daripada atribut personal sehingga setiap individu dapat mengkonstruksi identitas uniknya, feminis kulit hitam terus mengkaji opresi seksualitas yang beragam sebagai inti kajian. Perempuan kulit hitam mulai menyadari bahwa pada dasarnya seksualitas mereka telah mengalami regulasi yang bagi kelompok dominan harus terus
39
dilakukan untuk mempertahankan wacana dan praktik rasisme (Colins; 2000: 133). Oleh karena isu ras ini terkonstruksi oleh kondisi biologis, maka mengontrol seksualitas perempuan seperti mengontrol rahim merupakan upaya untuk mempertahankan jurang antar ras. Selain itu (Collins, 2000: 134) mengatakan bahwa mengontrol seksualitas perempuan dalam bentuk kontrol rahim merupakan bentuk dari opresi gender. Maka dengan begitu, kontrol tersebut berfungsi pada dasarnya sebagai sistem opresi terhadap ras, kelas, bangsa, dan gender. Salah satu yang menjadi kajian dalam opresi seksualitas yang sangat penting adalah hak reproduksi perempuan kulit hitam. Mereka mulai mempertanyakan akses informasi terhadap seksualitas dan kontrol kelahiran, perjuangan hak-hak aborsi, dan pola sterilisasi yang dipaksakan terhadap perempuan kulit hitam (Collins, 2000: 127). Feminisme kulit hitam melihat kontrol terhadap seksualitas perempuan kulit hitam dilakukan melalui kebijakankebijakan
pemerintah
pusat
sehingga
perhatian
mereka
saat
mencoba
menyelesaikan masalah kontrol seksualitas ini diarahkan kepada kebijakankebijakan bangsa dan negara yang memberikan campur tangan terhadap reproduksi perempuan.
1.7 Metode Penelitian Penelitian dilakukan melalui dua langkah utama yaitu pengumpulan data dan pengolahan/analisis data.
40
1.7.1
Pengumpulan Data Data-data yang terkait dengan pertanyaan penelitian adalah berupa teks
yang ada di dalam novel Beloved. Data ini disebut data primer, yang terdiri dari teks-teks yang diklasifikasikan dalam dua kategori besar yaitu (1) Strategi pemilik budak dalam mengontrol rahim budak perempuan kulit hitam dan (2) Strategi budak perempuan kulit hitam dalam melawan kontrol atas rahimnya. Masingmasing kategori diklasifikasikan juga sesuai dengan jenis strategi kontrol maupun strategi pembebasan. Untuk dapat mengelaborasikan dan menjawab pertanyaan penelitian, peneliti juga mengumpulkan data lain di luar teks Beloved, yaitu teks-teks yang mempunyai keterkaitan dengan konteks opresi budak perempuan kulit hitam, perbudakan, perlawanan, serta ideologi Morrison. Data-data tersebut kemudian termasuk ke dalam data sekunder. 1.7.2
Analisis Data Setelah seluruh data dikumpulkan dan diklasifikasikan sesuai dengan
kategorinya masing-masing, langkah yang dilakukan selanjutnya adalah analisis terhadap data-data tersebut. Setelah memastikan masing-masing data berada pada kategorinya, kemudian dicarilah kaitan dan hubungan dari data-data tersebut sesuai dengan konteks kontrol rahim budak perempuan kulit hitam dan perlawanan perempuan kulit hitam terhadapnya.
41
1.8 Sistematika Penyajian Dalam penyajiannya, tesis ini dibagi menjadi empat bagian yaitu Bab I, Bab II, Bab III, dan Bab IV. Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, objek penelitian, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penelitian. Bab II merupakan pembahasan tentang strategi ideologis dalam upaya untuk mengontrol rahim budak perempuan kulit hitam. Bab III membahas strategi pembebasan budak perempuan kulit hitam atas kontrol rahim. Bab IV berisi kesimpulan mengenai penelitian yang telah dilakukan.
42