BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1.1.1
Pentingnya Pengetahuan Arsitektur Masa Lampau Rumah bangsawan Ternate merupakan bagian dari bangunan masa lampau
yang menjadi salah satu simbol warisan budaya yang mewakili suatu masa gaya dalam perkembangan arsitektur di Ternate. Menurut Tanudirdjo “warisan budaya perlu pelestarian, sebab warisan budaya menghadapi ancaman, padahal kita masih memerlukan dan wajib mewariskannya pada generasi mendatang karena mempunyai nilai penting”. Selain sebagai upaya pelestarian, yang lebih penting lagi adalah nilai-nilai positif yang dapat diambil dari mempelajari bangunan tersebut untuk dapat dijadikan masukan dalam perancangan bangunan di masa mendatang. Hal senada diungkapkan oleh Budiharjo (1997) dalam Hastati (2002) bahwa pemahaman terhadap karya arsitektur masa lampau dapat bermanfaat sebagai analisis pembanding terhadap karya-karya arsitektur masa kini, memahami dan menerapkan nilai-nilai dasar dari generasi ke generasi sehingga dapat menghasilkan transformasi yang harmonis dalam bentuk karya arsitektur. Diharapkan
dengan
adanya
pengkajian
tentang Arsitektur
Rumah
Bangsawan Ternate ini, dapat menghasilkan suatu pemahaman nilai dan karakteristik Arsitektur Rumah Bangsawan Ternate, selain itu juga sebagai upaya rekam data agar tidak kehilangan jejak sejarah perkembangan arsitektur lokal. 1.1.2
Struktur Masyarakat Adat Ternate dan Eksistensi Penggolongan Masyarakat yang Kian Memudar Kesultanan Ternate merupakan salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku
Utara. Di daerah Maluku Utara sebelum terbentuk kerajaan-kerajaan dalam abad ke-14, masyarakat sudah terorganisasi dalam kelompok-kelompok sosial yang genealogis teritorial. Kesatuan masyarakat terkecil disebut “Soa”, mereka ini mendiami suatu wilayah yang disebut Gam (Kampung). Kepala atau pimpinan dari soa disebut Fomanjira, yang artinya orang tua. Beberapa soa kemudian
1
membentuk suatu kampung yang dikepalai Kimelaha. Kimelaha kemudian membentuk persekutuan yang lebih besar lagi disebut Boldan. Boldan ini dikepalai oleh seorang Kolano. Kolano ini disebut juga dengan istilah Jou. Boldan dikatakan bentuk awal dari kerajaan di Maluku Utara. Sebutan Boldan dan kolano kemudian hilang dan diganti dengan sebutan “Sultan” setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam abad ke-14. Dalam menjalankan pemerintahan, sultan dibantu oleh aparat pemerintahan lainnya yaitu Jogugu, Kapita Lao dan Hukum. Selain itu terdapat pula suatu dewan bangsawan yang disebut “Soa-Sio”, pengangkatan sultan dan pejabat-pejabat tinggi adalah hak dewan ini. (Pattikayhatu, et al. 1998). Menurut Hasan, A.H. (2001:19), Ternate merupakan wilayah kesultanan dengan susunan organisasi kenegaraan yaitu pimpinan (Raja) dinamakan Kolano, dari kata Kokolanao yang artinya tegak di atas kekuasaan. Kekuatan dibawahnya terdiri atas lembaga kerajaan, dewan menteri, pemerintahan wilayah, dan angkatan bersenjata, yang meliputi : (1) Gam Raha = Empat Pilar Besar, sebagai dewan tertinggi yang memilih dan mengangkat kolano, serta menyatakan perang dan damai. Wakilnya terdiri dari pejabat perwakilan keempat wilayah yaitu: SoaSio, Sangaji, Heku dan Cim; (2) Bobato Nyagimoi se Tufkange = Dewan Delapan Belas; (3) Soa-Sio = Dewan Menteri; (4) Fala Raha = Dewan Pertimbangan Agung; (5) Sabua Raha = Mahkamah Agung; (6) Sangaji = Pemerintahan Wilayah; (7) Heku Cim = Angkatan Bersenjata; (8) Bala Kusu se Kano-kano = Rakyat. Sultan adalah kepala negara dan kepala pemerintahan. Ia dibantu oleh golongan
penguasa
yang
dinamakan
“Bobato”.
Istilah
Bobato
dapat
diterjemahkan sebagai “Pengatur” dan mengandung arti penguasa (Van Fraasen dalam Pattikayhatu, et al. 1998). Para Bobato ini berfungsi membantu sultan dalam mengatur soal-soal pemerintahan dan soal-soal keagamaan. Yang mengatur soal-soal pemerintahan (eksekutif maupun legislatif) disebut sebagai “Bobato Dunia” sedangkan yang mengatur soal-soal keagamaan disebut sebagai “Bobato Akhirat”. Golongan Bobato dunia dapat dikenal dari gelar yang disandangnya,
2
yaitu “Sangadji, Kimelaha dan Fanyira”. Dasar legalitas Bobato Dunia adalah sultan pula, sekalipun mereka berasal dari keluarga-keluarga tertentu yang menonjol (bangsawan). (Pattikayhatu, et al. 1998:31). Dibawah sultan terdapat lembaga eksekutif yang disebut “Bobato Madopolo” (pemimpin yang mengatur), yaitu suatu badan pembantu sultan yang anggota-anggotanya terdiri dari Jogugu, Tuli Lamo, Hukum Soa-Sio dan Hukum Sangaji. Dibawah Bobato Madopolo terdapat dewan bangsawan yang menjalankan tugas legislatif yaitu Bobato Nyagimoi se Tufkange, disebut pula dengan nama dewan delapan belas karena beranggotakan 18 orang (9 orang dari marga Soa-Sio dan 9 orang lainnya dari marga Sangaji). Mereka yang berhak menjadi anggota dewan ini adalah para Kimelaha (sebanyak 5 orang) dan Fanyira (4 orang) dari marga Soa-Sio, dan 9 orang Sangaji dari marga Sangaji. Kimelaha dan Sangaji adalah wakil sultan yang memerintah di daerah-daerah, wilayah pemerintahan ini dapat disamakan dengan distrik atau kecamatan. Dalam tradisi adat para Sangaji digelari dengan sebutan Jikoma Kolano atau Wakil Kolano di wilayah kerjanya. Sedangkan Fanyira (Fomanjira) adalah gelar bagi Kepala Soa. Dewan tersebut diatas berfungsi meletakkan adat istiadat dan aturan dalam tata kehidupan masyarakat. Selain marga Soa-Sio dan marga Sangaji yang membidangi pemerintahan dengan jumlah soa 18, terdapat dua marga yang membidangi kemiliteran yaitu marga Heku dengan 12 Soa dan marga Cim dengan 11 Soa. Dengan demikian kelompok kekerabatan dalam soa atau marga yang berdasarkan kekerabatan murni, membagi seluruh masyarakat Ternate atas 41 kelompok kekerabatan. (Pattikayhatu, et al. 1998:33). Menurut Pattikayhatu, et al. (1998:45), dari uraian tentang struktur dan sistem pemerintahan kesultanan di atas, dapat dikemukakan bahwa berkaitan dengan hal itu terlihat adanya dua macam marga, yaitu marga bangsawan dan marga biasa bukan bangsawan. Marga bangsawan inilah (Soa-Sio dan Sangaji) yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan. Jabatan-jabatan tertentu dalam struktur pemerintahan secara turun-temurun dijabat pula oleh marga atau soa tertentu.
3
Seiring dengan perkembangan zaman saat ini, eksistensi dari penggolongan stratifikasi sosial dalam masyarakat Ternate dari waktu ke waktu kian memudar, fenomena ini terjadi karena tuntutan zaman yang mau tidak mau menggiring pandangan masyarakat Ternate modern ke arah persamaan hak dan derajat. Seperti halnya daerah lain di Nusantara yang notabene bekas suatu kerajaan/kesultanan, masyarakat Ternate modern juga berpandangan bahwa status sosial seseorang bukan lagi ditentukan oleh faktor genealogis, melainkan dari aspek SDM-nya. Namun demikian, stratifikasi sosial tradisional Ternate masih tetap eksis di kalangan tertentu (khususnya masyarakat adat) yang hingga saat ini masih tetap setia dengan kebesaran dan kejayaan Kesultanan Ternate pada masa lampau. Pembagian kelompok kekerabatan murni yang terdiri dari 41 kelompok kekerabatan seperti yang diuraikan di atas, hingga saat ini masih dipertahankan oleh sebagian kalangan dan dalam bentuk kesatuan masyarakat (eksistensi nama sebuah desa maupun nama klan/marga). 1.1.3
Rumah Bangsawan Ternate sebagai Perwujudan Arsitektur Lokal yang Terikat Aspek Budaya, Sosial hingga Ekonomi Rumah-rumah tradisional di Indonesia selalu memiliki lokalitas tertentu
yang dipengaruhi faktor sosio-kultural dan lingkungan di daerahnya. Rumah dalam arti fisik merupakan suatu yang sangat kompleks, yaitu sebagai tempat sebagian besar kegiatan domestik dilakukan, termasuk cara mengkomunikasikan gagasan atau ekspresi diri penghuni yang terikat budaya, aspek sosial hingga ekonomi. Rumah hanya salah satu cara yang nyata untuk mewujudkan upaya menghuni suatu tempat, yang terdiri dari struktur bangunan fisik yang memuat satuan simbolis, sosial dan praktis (Santosa, 2000). Berdasarkan hal tersebut, maka wujud fisik rumah tinggal bangsawan Ternate juga tentu mengandung nilai budaya lokal di dalamnya karena merupakan pencerminan dari ide-ide atau gagasan masyarakat setempat yaitu penghuni dalam hal ini golongan bangsawan Ternate yang cenderung memegang jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Kesultanan Ternate, selain itu merupakan wujud aktivitas dan tuntutan kebutuhan berkaitan profesi yang dijalankan.
4
1.1.4
Adanya Unsur Kebudayaan Luar yang Tampak pada Bangunan Rumah Tinggal Bangsawan di Ternate Kajian mengenai bangunan masa lalu mencakup juga aspek sejarah dan
budaya, Ternate memiliki peran penting di kawasan Timur nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17 sebagai salah satu pusat perdagangan rempah-rempah, kekayaan alamnya yang berupa cengkih dan pala menjadi incaran dan menarik kedatangan bangsa-bangsa penguasa besar seperti Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda. Jauh sebelum itu, para pedagang dari Cina dan Arab sudah berdatangan untuk
membeli
rempah-rempah tersebut
sebagai
bagian dari komoditi
perdagangan di jalur sutera. Kedatangan beberapa negara asing ke Ternate yang kemudian tinggal dan menetap dalam waktu yang cukup lama mengakibatkan adanya pengaruh budaya luar pada bangunan. Bentuk nyata dari hal tersebut dapat dilihat pada beberapa bangunan tua yang masih ada hingga saat ini diantaranya bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial Belanda dalam kawasan Benteng Oranje, Masjid Sultan dan rumah ibadah Tapikong. Berdasarkan uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa jabatan-jabatan penting dalam lembaga Kesultanan Ternate dipilih atau diangkat dari golongan bangsawan, para pejabat tinggi Kesultanan Ternate ini kebanyakan memiliki rumah yang secara visual memiliki style yang berbeda dengan rumah rakyat biasa di perkampungan sekitar pada umumnya, serta rumah dari para pendatang asing yang telah menetap di Ternate (Cina, Arab dan Melayu). Rumah bangsawan Ternate diduga merupakan salah satu bentuk dari arsitektur dengan gaya campuran, antara pengaruh gaya arsitektur Indis dan arsitektur vernakular lokal yang disesuaikan dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya Ternate, hal ini ditandai dengan bentuk rumah bangsawan Ternate yang memiliki teras depan dan belakang yang luas, pada batas teras terdapat barisan kolom-kolom besar, penggunaan plafon yang tinggi serta penggunaan dinding tembok tebal pada bangunan. Dengan demikian, perlu adanya penelitian yang lebih spesifik dari aspek fungsi, ruang, teknik dan bentuk pada rumah-rumah bangsawan Ternate guna merumuskan karakteristik atau ciri khas yang ada pada rumah-rumah
5
tersebut sehingga menjadi jelas dan bisa dibedakan dengan rumah tradisional lainnya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Dalam perkembangannya, rumah bangsawan Ternate secara fisik sebagian besar telah mengalami perubahan bentuk bahkan musnah karena diganti dengan yang baru, begitu pula dengan eksistensi golongan bangsawan Ternate yang semakin hari kian memudar akibat pembauran dan beragam pendapat yang terjadi. Atas hal tersebut, maka ditakutkan lambat laun bentuk asli dari rumah-rumah bangsawan Ternate akan hilang dan tidak terdeteksi keberadaannya. 2. Belum adanya penelitian khusus mengenai rumah bangsawan Ternate, sehingga perlu adanya upaya pengkajian mengenai arsitektur rumah bangsawan Ternate untuk menghasilkan suatu pemahaman nilai dan karakteristik Arsitektur Rumah Bangsawan Ternate sebagai suatu warisan budaya serta karya arsitektur masa lampau yang perlu untuk diketahui dan dilestarikan. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian dan rumusan masalah yang telah dijabarkan, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1
Bagaimanakah karakteristik arsitektur rumah bangsawan Ternate dilihat dari aspek fungsi, ruang, teknik dan bentuk?
2
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pembentukan karakteristik arsitektur rumah bangsawan Ternate dilihat dari pengaruh nilai budaya masyarakat Ternate?
1.4 Tujuan dan Sasaran Penelitian a. Tujuan Penelitian 6
1. Untuk mendapatkan rumusan karakteristik ruang, teknik dan bentuk dari arsitektur rumah bangsawan Ternate. 2. Untuk mendapatkan gambaran dari faktor-faktor yang berpengaruh pada pembentukan karakteristik arsitektur rumah bangsawan Ternate dilihat dari nilai budaya masyarakat Ternate. b. Sasaran Penelitian 1. Mengidentifikasi karakteristik arsitektur pada rumah bangsawan Ternate dilihat dari aspek fungsi, ruang, teknik dan bentuk, melalui identifikasi terhadap denah, tampak, potongan, dimensi dan bahan bangunan yang digunakan. 2. Mencari bukti-bukti sejarah berupa gambar, foto, arsip dan deskripsi lisan yang berhubungan dengan rumah-rumah bangsawan Ternate. 3. Mengidentifikasi nilai-nilai budaya yang melekat pada ruang, teknik dan bentuk rumah bangsawan Ternate sehingga bisa dibedakan dengan rumah tradisional lainnya. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini bermanfaat untuk memperluas wawasan arsitektural tentang keanekaragaman bentuk bangunan masa lampau di Indonesia, khususnya bentuk rumah tinggal bangsawan di Ternate dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap wujud bangunan rumah tinggal tersebut. 2. Bagi pemerintah dan praktisi, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan landasan konseptual pembangunan rumah bangsawan Ternate sebagai aset budaya wisata untuk kepentingan konservasi. 1.6 Keaslian Penelitian Penelitian tentang karakteristik arsitektur rumah bangsawan di Ternate belum ditemukan. Dengan demikian, keaslian penelitian ini terletak pada fokus dan lokus penelitian. Lokus penelitian ini adalah rumah-rumah peninggalan 7
bangsawan Ternate yang ada di Ternate, Maluku Utara. Sedang fokus penelitian ini adalah mengkaji karakteristik fungsi, ruang, teknik dan bentuk yang terdapat pada rumah-rumah peninggalan bangsawan tersebut, serta faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap pembentukan karakteristik arsitekturnya dilihat dari nilai budaya masyarakat Ternate. Meski berbeda lokus dan fokus, penelitian ini sejenis dengan penelitian lain yang menggali karakter sebuah bangunan. Hal ini penting diungkapkan untuk mengambil pelajaran dari masalah, teori, metode yang dipakai dan hasil yang diperoleh untuk penggalian karakter bangunan. Berikut adalah perbandingan penelitian ini dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti lain: Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Andi Muhammad Akbar (2007) Judul Lokus Fokus
Metode Hasil
Perbedaan
Faktor Pembentuk Karakter Arsitektur Rumah Tradisional Bangsawan Bugis di Sulawesi Selatan Rumah tradisional bangsawan Bugis di Sulawesi Selatan Faktor-faktor pembentuk yang berpengaruh terhadap karakter arsitektur rumah tradisional bangsawan Bugis di Sulawesi Selatan, yang ditinjau berdasarkan Sistem spasial, sistem fisik dan sistem bentuk. Rasionalistik kualitatif Faktor pembentuk karakter arsitektur rumah tradisional bangsawan Bugis secara spasial, sistem fisik yaitu konstruksi dan bahan bangunan yang digunakan, serta tatanan komposisi fasad dan elemen-elemen bentuk fasad setiap bangunan, dimana lingkup atau konteks yang dipaparkan memunculkan karakter arsitektur budaya setempat. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada lokus dan fokus penelitian yang digunakan.
Fauza Hastati (2003) Judul Lokus Fokus
Karakteristik Arsitektural Bangunan Indis pada Perumahan Pegawai PJKA Pengok Blok A dan Blok B di Yogyakarta Perumahan pegawai PJKA di Pengok Yogyakarta Karakteristik arsitektural bangunan Indis pada perumahan PJKA
8
Metode Hasil
Perbedaan
Pengok blok A dan blok B di Yogyakarta serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tampilan karakteristik arsitektural tersebut. Rasionalistik kualitatif Perumahan PJKA Pengok blok A dan blok B ini mendapat pengaruh style arsitektur dari dua masa perkembangan arsitektur Indis di Indonesia yaitu pertama, masa perkembangan arsitektur tahun 1800 sampai tahun 1902 (the Empire Style) dan kedua, masa perkembangan arsitektur Indis tahun 1902 sampai tahun 1920. Karakteristik arsitektural perumahan PJKA Pengok blok A dan blok B di Yogyakarta sebagian besar dipengaruhi oleh faktor status sosial yang tercermin dalam tampilan fisik bangunan. Selain itu faktor lainnya yang juga berpengaruh adalah iklim lokal yang menyebabkan bangunan perumahan tersebut tampil dalam ciri rumah tropis, serta faktor percampuran wujud bangunan Belanda dan bangunan tradisional setempat (Jawa) yang juga mempengaruhi tampilan arsitektur pada perumahan ini. Pengaruh terlihat pada tata masa, pola ruang, bentuk bangunan, dan elemenelemen bangunan lainnya. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada lokus dan fokus penelitian yang digunakan.
Mustamin Rahim (2010) Judul Lokus Fokus Metode Hasil
Identifikasi Bentuk Arsitektur Tradisional Moloku Kie Raha Rumah-rumah tradisional di setiap wilayah Maluku Utara Meneliti bentuk, karakteristik, dan filosofi arsitektur tradisional Moloku Kie Raha di wilayah Maluku Utara. Analisis kualitatif melalui pendekatan arsitektural dan historis Studi ini menunjukkan bahwa ada perbedaan bentuk dan karakteristik rumah-rumah tradisional di setiap wilayah Maluku Utara. Namun demikian, rumah-rumah tradisional ini memiliki persamaan diantaranya yaitu arsitektur tradisional Moloku Kie Raha menggunakan analogi tubuh manusia sebagai filosofi bangunan yang terdiri atas tiga bagian utama yaitu kaki, badan, dan kepala, serta menggunakan anatomi tubuh manusia dewasa sebagai satuan ukuran seperti tapak kaki, jengkal, depa dan tinggi badan. Sistem konstruksi bangunan menggunakan konstruksi sederhana berupa pondasi sengkedan dan kayu diatas umpak batu, dinding menggunakan rangka (skeleton) dan sistem knock-down, sedangkan sistem sambungannya menggunakan pasak atau ikatan
9
Perbedaan
tali ijuk. Bahan bangunan menggunakan bahan alami yang mudah didapatkan dari lingkungan sekitarnya seperti kayu, bambu, daun rumbia atau sagu, tali ijuk, batu kali, pasir, dan kalero. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada lokus dan fokus penelitiannya, selain itu terdapat perbedaan dalam pendekatan teori dan metode penelitian yang digunakan.
Naimatul Aufa (2009) Judul Lokus Fokus Metode Hasil
Perbedaan
Karakteristik Masjid Berbasis Budaya Lokal di Kalimantan Selatan Masjid-masjid tradisional di Kalimantan Selatan Penggalian karakteristik masjid berdasarkan nilai budaya suku Banjar Rasionalistik kualitatif Adanya ciri-ciri khas masjid tradisional di Kalimantan Selatan yang berbasis budaya lokal. Masjid tradisional Kalimantan Selatan memiliki karakteristik wujud dan karakteristik hirarki ruang. Unsur budaya yang paling mempengaruhi pembentukkan kedua karakteristik tersebut adalah unsur sistem simbol dan unsur organisasi sosial. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada lokus dan fokus penelitian yang digunakan.
Hardin (2016) Judul Lokus Fokus
Metode Hasil
Karakteristik Arsitektur Masjid-Masjid Kesultanan di Maluku Utara (Pendekatan Tapak dan Bentuk) Empat Masjid Kesultanan di Maluku Utara, yaitu di Kota Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan. Penggalian karakteristik arsitektur dari empat Masjid Kesultanan di Maluku Utara dengan penekanan pada setting dan bentuk, serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi karakteristik tersebut. Rasionalistik kualitatif Adanya ciri khas Masjid-Masjid Kesultanan di Maluku Utara terutama pada setting fisik (tapak), yaitu tata letak dari Masjid Kesultanan dipengaruhi oleh istana atau wilayah kerajaan sehingga menjadikan masjid sebagai salah satu elemen pembentuk kota kerajaan. Selain itu, bentuk dari Masjid-Masjid Kesultanan tersebut mencerminkan nilai-nilai keislaman yang dipadukan dengan nilai kebudayaan Maluku Utara. Karakteristik
10
Perbedaan
arsitektur Masjid Kesultanan di Maluku Utara dipengaruhi oleh aspek aktivitas, sosial budaya dan kesenian. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada lokus dan fokus penelitian yang digunakan.
1.7 Batasan Penelitian Batasan penelitian ini dijabarkan agar objek penelitian lebih terfokus. Penelitian yang akan dilakukan dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Objek penelitian merupakan bangunan peninggalan rumah tinggal bangsawan Ternate. Rumah-rumah ini milik golongan bangsawan yang meskipun di dalam bangsawan Ternate terdiri dari beberapa golongan, yaitu bangsawan yang berasal dari golongan raja/sultan dan keturunannya (keluarga raja/sultan), serta golongan bangsawan dari para pejabat tinggi Kesultanan Ternate, tetapi perbedaan tersebut ternyata tidak signifikan terkorelasi pada perbedaan aspek-aspek rumah. Sehingga berdasarkan kondisi yang ada, rumah yang dijadikan objek penelitian terdiri dari 8 rumah tinggal, rumah-rumah tersebut adalah rumah yang masih relatif asli dan belum banyak mengalami perubahan, kalaupun ada perubahan, perubahan tersebut masih teridentifikasi. b. Fokus penelitian adalah pada aspek fungsi, ruang, teknik dan bentuk dari rumah-rumah bangsawan Ternate yang membentuk karakteristik arsitektur rumah bangsawan tersebut serta faktor-faktor apa yang mempengaruhinya dilihat dari pengaruh nilai budaya masyarakat Ternate. Faktor-faktor lain diluar arsitektur yang berpengaruh terhadap pembentukan karakteristik ruang, teknik dan bentuk pada bangunan hanya akan dibahas sebagai pendukung yang memperkaya isi penelitian. Selanjutnya aspek fungsi, ruang, teknik dan bentuk tersebut dikategorikan persamaan dan perbedaannya yang kemudian dikaitkan dengan ide-ide atau nilai-nilai budaya masyarakat Ternate dalam hal ini diantaranya faktor pengetahuan masyarakat akan tradisi/kebiasaan masyarakat Ternate dalam membangun rumah, pengetahuan tentang kondisi lingkungan setempat (letak jalan,
11
orientasi matahari, style bangunan di lingkungan sekitarnya, dan penggunaan/pemanfaatan material lokal sebagai bahan bangunan), kondisi sosial dan ekonomi pemilik, serta teknologi pada waktu pendirian bangunan sehingga diketahui apa yang mempengaruhi munculnya karakteristik arsitektur dari rumah bangsawan Ternate. c. Lokasi penelitian yang dipilih berada di sepanjang jalan utama Kelurahan Kampung Makassar dan Kelurahan Soa Sio, yaitu terletak di Jl. Sultan Khairun, Jl. Sultan Babullah dan Jl. Manggis. Alasan pemilihan lokasi tersebut disebabkan rumah bangsawan Ternate saat ini sudah sulit diketemukan, sementara pada lokasi yang di masa lalu menjadi area pusat pemerintahan Kesultanan Ternate ini masih terdapat beberapa peninggalan bangunan rumah tinggal bangsawan Ternate dengan informasi yang layak kaji, rumah-rumah tersebut dahulu merupakan milik pejabat-pejabat tinggi Kesultanan Ternate yang saat ini telah diwariskan dan dihuni oleh keturunan-keturunannya. Melihat kondisi ini maka lokasi yang dipilih merupakan lokasi yang relevan untuk diteliti.
12