BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Setiap bentuk media massa memiliki karakteristik khas dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Salah satunya televisi sebagai media yang memiliki kemampuan untuk memberikan nilai-nilai spektakuler dalam aspekaspek kehidupan. Media kontroversial ini menjadi media yang banyak dan sering dikonsumsi, karena disamping sifatnya yang audio-visual, dan kemampuannya untuk menyajikan hiburan yang lebih atraktif, juga biaya yang relative murah. Kebanyakan orang memanfaatkan berbagai alternatif acara yang ditayangkan televisi sebagai pelarian yang dapat memberikan hiburan maupun informasi. Sebagai media komunikasi massa, televisi mempunyai fungsi yaitu: memberikan informasi, mendidik, menghibur, dan memengaruhi. Namun dalam realitasnya, tayangan televisi semakin hari semakin miris, hampir sepanjang waktu kita disuguhi tayangan yang menampilkan kekerasan demi kekerasan. Mulai dari berita demonstrasi yang berahir dengan kerusuhan, bahkan drama dengan klimaks perkelahian, sehingga dikhawatirkan akan terbentuk sikap, karakter dan tingkah laku masyarakat yang meniru apa yang disaksikan. Hal ini semakin menguatkan pernyataan bahwa majunya perkembangan televisi, tidak diikuti oleh kualitas tayangan. Di sisi lain, anak-anak sekarang lebih suka menonton acara TV daripada membaca buku, bahkan anak Indonesia menonton TV jauh lebih lama dibanding dengan jam belajar mereka di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun 2006 mengenai jumlah jam menonton TV pada anak di Jakarta-Bandung yang menunjukan angka sekitar 30-35 jam seminggu, atau 4,5 jam dalam sehari sehingga dalam setahun mencapai sekitar 1600 jam. Sementara jumlah hari sekolah yang hanya sekitar 185 hari dalam setahun dengan 5 jam per hari untuk kelas tinggi dan 3 jam untuk kelas rendah, menghasilkan angka rata-rata anak belajar di sekolah dalam setahun hanya 740
1
jam. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa lamanya menonton televisi anak-anak Indonesia sangat tinggi (hard viewer). Hal ini juga membuktikan bahwa televisi telah memasuki segala lapisan masyarakat, terutama di kota-kota besar. Melalui berbagai program tayangannya, baik yang berdasarkan realitas maupun rekaan, televisi bisa menjadi wahana belajar bagi siapa saja; televisi telah menjadi second mother, anak belajar dari televisi. Seorang anak memukul dan menendang teman sebayanya setelah menonton seorang jagoan yang memukul dan menendang lawan mainnya pada sebuah tayangan televisi. Dalam kasus lain, seorang anak menyerahkan baju dan mainannya kepada korban banjir setelah melihat musibah itu di televisi. Tanpa mengabaikan dampak positif yang ditimbulkan televisi, banyak kalangan mencemaskan pengaruh negatif televisi terhadap perilaku khalayak, dan terlebih pada anak-anak. Banyaknya tayangantayangan kekerasan di televisi menyulut kembali efek media violence, hal ini bukan tanpa dasar, berikut hasil penelitian Amirudin pada tahun 1996 yang dikutip dalam jurnal Televisi dan Fenomena Kekerasan Perspektif Teori Kultivasi (2005: 160). “Sebanyak 33 anak dari 40 anak usia 5 tahun sampai 14 tahun di Semarang mengaku telah memperoleh pengetahuan kekerasan melalui televisi. Diantara mereka, 26 orang anak merasa terdorong dan ikut serta melakukan tindak kekerasan setelah mereka menikmati berbagai adegan kekerasan yang ditayangkan film-film di televisi.” Kendati bukan media interaktif bagi anak-anak, televisi termasuk medium yang sangat diminati. Hal ini karena televisi bersifat audio-visual, televisi mampu menghadirkan kejadian, peristiwa, atau khayalan yang tak terjangkau panca indera ke dalam ruangan, hingga kamar anak-anak. Terlalu banyak menonton televisi membuat anak-anak tidak bisa menikmati bagusnya buku yang baru terbit. Televisi tidak akan dapat menjadi pengganti yang layak untuk dunia petualang yang bisa di peroleh dari buku anak-anak. Bahkan televisi dapat menghambat intelektual seorang anak. Anak-anak menonton televisi untuk mencari jawaban
2
kepada persoalan-persoalan yang ada dalam pikirannya, sebagai pengisi waktu luang, menghilangkan kebosanan, dan sebagainya. Salah satu bentuk tayangan televisi adalah serial film. Serial film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat. Berdasarkan pada pencapaiannya yang menggambarkan realitas, serial dapat memberikan imbas secara emosional dan popularitas. Kekuatan dan kemampuan sebuah serial film menjangkau banyak segmen sosial, membuatnya memiliki potensi untuk memengaruhi khalayak. Serial film tidak hanya mengandalkan tampilan audiovisual saja untuk menyampaikan pesan sebagai proses komunikasi. Namun melalui alur cerita dan karakter yang menarik, sebuah serial film mampu membuat penonton betah duduk selama berjam-jam untuk menonton. Serial film merupakan bagian kehidupan sehari-hari kita dalam banyak hal, segala bentuk aktivitas bahkan perasaan, pola pikir, dan perilaku serta sejumlah aspek lainnya dipengaruhi oleh metaforanya. Peningkatan adegan kekerasan di dalam serial film melebihi kekerasan dalam kehidupan nyata dan memengaruhi persepsi bahwa kekerasan adalah masalah sosial yang makin berkembang di kehidupan modern. Pengaruh serial film sebagai media maupun tayangan dalam program televisi tidak terjadi secara langsung, melainkan jika tayangan serial kekerasan tersebut setiap hari terakumulasi. Media televisi memberi berbagai macam dampak perilaku bagi penontonnya, terutama anak-anak yang belum bisa berpikir panjang untung ruginya. Dampak yang ditimbulkan dari tayangan televisi terhadap perilaku anak dapat bermacam-macam tergantung dari situasi dan kondisi disekitar tempat tinggal si anak, seperti lingkungan dirumah, disekolah dan peran orang tua dalam mengarahkan dan membimbing si anak dalam menonton tayangan yang disiarkan oleh televisi. Tayangan televisi untuk anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan serial film kartun, karena jenis film ini menarik di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini. Jika kita perhatikan, film kartun di Indonesia masih didominasi oleh produk impor. Tokoh seperti Batman,
3
Superman, Popeye, Tom and Jerry, Spongebob Squarepants, atau Woody Woodpecker begitu akrab di kalangan anak-anak. Begitu pula film kartun Jepang, seperti Doraemon, Naruto, Crayon Sinchan, Dragon Ball, atau film kartun India, seperti Bima Sakti dan Little Krishna yang sangat popular dan bahkan mendominasi tayangan stasiun televisi kita. Film kartun merupakan salah satu produk media massa elektronik. Kartun adalah sebuah gambar 3D yang diatur dengan menggunakan software-software dan membuat gambar tersebut seperti hidup, dengan demikian kartun sering disebut dengan gambar hidup, dan perusahaan yang terbesar pada saat ini adalah Walt Disney. Kartun sangat digemari oleh anak-anak maupun orang dewasa karena mudah diterima dan dalam film kartun juga dapat diselipkan mengenai pesan-pesan yang bersifat mendidik maupun bersifat politik dan sindiran kepada pemerintah atau orang-orang dan pihak-pihak tertentu. Produsen film kartun yang cukup besar berasal dari Jepang, perkembangan kartun di Jepang berawal dari komik dan dikembangkan lagi menjadi gambar hidup, sekarang ini kartun-kartun Jepang sudah banyak merambah ke seluruh dunia dan tidak hanya kartun-kartun yang berasal dari Jepang, saat ini kartun yang berasal dari India juga mulai merambah kesejumlah negara, salah satunya Indonesia. Perkembangan dunia teknologi informasi menciptakan banyaknya film animasi kartun asing di Indonesia, tidak hanya di televisi, tetapi juga dalam bentuk DVD, VCD, video streaming. Namun dengan maraknya film kartun Indonesia yang diimpor dari negara-negara lain ternyata tidak selalu membawa dampak positif, karena saat ini kehadiran film kartun tidak selalu menyajikan untuk anak-anak, ini dapat terlihat dalam tayangannya yang tidak hanya menyajikan hiburan lucu tetapi juga ada unsur-unsur berbahaya bagi anak-anak, misalnya kekerasan yang tersaji secara verbal maupun tindakan, sehingga dapat ditiru dan dipraktekan kepada orang lain. Berdasarkan rubric news pada situs kidia, ternyata sebanyak 84% tayangan film kartun anak yang sebagian besar diantaranya tidak layak dikonsumsi anak usia sekolah, telah mendominasi siaran televisi di Indonesia saat ini.
4
Temuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat bahwa film kartun bertemakan kepahlawanan lebih banyak menampilkan adegan antisosial (63,51%) daripada adegan pro-sosial (36,49%). Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak menjadi lebih agresif yang dikategorikan anti-sosial setelah menonton film kartun, terlebih anak-anak cenderung berperilaku imitatif. Selain itu kemampuan berpikir mereka masih relatif sederhana, mereka cenderung menganggap apa yang ditampilkan televisi sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan nilai dan norma dan kepribadian bangsa. Adegan kekerasan, kejahatan, konsumtif, mistik termasuk perilaku seksual di layar televisi Temuan ini semakin diperkuat dengan adanya Siaran Pers No. 2208/K/KPI/09/14 yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengenai “Bahaya Tayangan Anak & Kartun”. Berdasarkan kajian dan hasil pemantauan yang telah dilakukan secara intensif terhadap tayangan anak dan kartun yang disiarkan stasiun televisi, KPI memutuskan terdapat beberapa tayangan anak dan kartun berbahaya dan tidak layak di tonton anak-anak. Tayangan tersebut penuh dengan muatan-muatan yang berdampak buruk bagi perkembangan fisik dan mental anak, yaitu: 1) kekerasan fisik (mencekik, menonjok, menjambak, menendang, menusuk, dan memukul); 2) kekerasan terhadap hewan; 3) penggunaan senjata tajam dan benda keras untuk menyakiti dan melukai seperti pisau, balok, dan benda-benda lainnya; 4) kata-kata kasar; 5) adegan-adegan berbahaya; 6) perilaku yang tidak pantas seperti membuka celana dan memperlihatkan ke teman-teman dan merusak benda-benda, 7) sifat-sifat negatif (emosional, serakah, pelit, rakus, dendam, iri, malas, dan jahil); 8) muatan porno; 9) unsur-unsur mistis. Dalam memberikan penilaian terhadap tayangan anak dan kartun, KPI telah meminta pandangan dari pakar dan pemerhati anak yang memiliki kompetensi dalam bidangnya. Para pakar dan pemerhati anak sepakat bahwa tayangan anak dan kartun di Indonesia telah melampaui batas-batas kewajaran. Maraknya muatan-muatan kekersan dan berbahaya dalam tayangan anak serta film kartun jelas membuat sejumlah pihak merasa prihatin, mengingat pula anak-
5
anak belum memiliki daya filter yang baik terhadap apa yang dilihat dan didengarnya dari televisi. Terlebih terdapat program kartun dengan kekerasan yang eksplisit dan massif ditayangkan setiap hari dengan frekuensi 2 kali sehari. Hal ini tentu saja akan mendorong daya imitasi yang berpengaruh terhadap sikap, pola pikir dan kepribadian anak-anak Indonesia. Salah satu tayangan anak dan kartun yang dinilai berbahaya oleh KPI adalah Little Krishna. Little Krishna adalah serial animasi komputer 3D (tiga dimensi) yang merupakan kreasi bersama antara BIG Animation dan The Heritage Foundation India. Cerita dalam serial animasi ini berputar di sekitar Little Krishna, tanah Vrindavan dan kehidupan penduduk desa di sana. Serial ini ditulis oleh pemenang Emmy Award Jeffrey Scott dan merupakan hasil riset beberapa tahun yang kemudian menghasilkan cerita yang epik serta animasi yang bagus. Meskipun episode dalam tayangan ini diputar berulang-ulang beberapa tahun belakangan, namun tayangan ini tetap menarik untuk ditonton. Gambar 1.1 Cover Little Krishna
Sumber: www.relianceanimation.com Little Krishna kental akan nilai-nilai kebajikan, keagamaan, dan kebudayaan negara asalnya, India. Namun, disamping itu serial atau film kartun ini juga banyak menampilkan adegan-adegan kekerasan dalam penyelesaian konflik, yang dapat berdampak kurang baik bagi anak-anak yang merupakan pemirsa Little Krishna. Oleh karena itu, KPI memberi teguran atas tayangan Little Krishna dengan menyoroti siaran pada 5 September 2014 dengan pelangaran yang
6
memperlihatkan adegan Krishna menarik ekor kerbau dan memutar-mutar tubuh binatang tersebut hingga terpelanting ke tanah dari ketinggian. Gambar 1.1 Potongan Adegan dalam Serial Little Krishna
Sumber: www.youtube.com Sebagai tayangan yang diperuntukkan kepada anak-anak, Little Krishna juga dinilai mengandung muatan-muatan yang terlalu berat, dihiasi oleh filosofifilosofi moral yang tidak mungkin dicerna anak. Filosofi berat ini tersaji dalam bentuk dialog, narasi, maupun adegan di dalamnya. Diceritakan masa kecil Krishna yang nakal dan usil, namun tetap disanjung dan dicintai oleh siapa saja, karena Krishna mempunyai kekuatan “istimewa”. Dalam tayangan ini, Krishna juga senang mencuri susu dan mentega yang akan dijadikan sesajen di kuil. Tayangan ini mengusung budaya tradisional negara asalnya, India. Hal-hal seperti ini dianggap sulit dicerna anak-anak, disamping itu juga akan membawa dampak yang kurang baik dalam perkembangan anak-anak, khususnya di Indonesia. Nilai-nilai kekerasan dalam serial film kartun Little Krishna tersebut merupakan bentuk realitas sosial yang kemudian dikonstruksi oleh media massa. Dalam penelitian ini, hal tersebut dianalisis menggunakan semiotika, yaitu metode analisis yang mengkaji tanda. Sedangkan film merupakan karya cipta yang terdapat banyak tanda di dalamnya. Sehingga untuk menganalisis tanda dalam serial film, peneliti merasa tepat menggunakan analisis semiotika. Analisis semiotika yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah analisis semiotika Charles Sanders Peirce. Semiotika Peirce ini mengarahkan konsepnya ke arah pragmatisme. Ia disebut juga sebagai pendiri pragmatisme
7
dunia. Semiotika menurut Peirce merupakan tanda yang memiliki hubungan antara ground, object, dan interpretant secara triadic. Menurut Peirce tanda tidak dapat berdiri sendiri. Peirce membagi tanda didasarkan pada ground, object, interpretant. Konsep Peirce ini merupakan pemikiran pragmatisme yang menggunakan pendekatan logika. Selain itu, keunggulan semiotika Peirce apabila dibandingkan dengan semiotika lainnya adalah karena Peirce tidak hanya memandang semiotika sebagai satu bentuk yang statis. Semiotika Peirce melihat tanda sebagai satu bentuk yang tersistem, namun dapat dianalisis menjadi masing-masing bagian tanpa menghilangkan makna dari tanda tersebut. Hal ini dikarenakan analisis semiotika Peirce menggunakan tiga tanda utama yang lazim digunakan dalam penelitian, yaitu icon, index, dan symbol. Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul “Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce atas Presentasi Kekerasan dalam Serial Film Kartun Little Krishna Episode 5 September 2014”.
1.2 Rumusan Masalah Peneliti memaparkan rumusan masalah pada penelitian ini yaitu, Bagaimana analisis semiotika Charles Sanders Peirce dalam mengkaji nilai-nilai kekerasan yang dikonstruksi dalam serial film kartun Little Krishna, yang di kreasi bersama antara BIG Animation dan The Heritage Foundation India (dipromosikan oleh ISKCON, Bangalore).
1.2.1 Fokus Penelitian Aspek-aspek yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana konstruksi terhadap ikon kekerasan yang tampak dalam dialog dan adegan serial film kartun Little Krishna? 2. Bagaimana konstruksi terhadap indeks kekerasan yang tampak dalam dialog dan adegan serial film kartun Little Krishna?
8
3. Bagaimana konstruksi terhadap simbol kekerasan yang dimunculkan dalam dialog dan adegan serial film kartun Little Krishna?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan keilmuan dan manfaat praktis dari masalah yang diteliti. Tujuan dari penelitian ini dapat peneliti sebutkan sebagai berikut: 1. Untuk menjelaskan konstruksi terhadap ikon kekerasan yang tampak dalam dialog dan adegan serial film kartun Little Krishna. 2. Untuk menjelaskan konstruksi terhadap indeks kekerasan yang tampak dalam dialog dan adegan serial film kartun Little Krishna. 3. Untuk
menjelaskan
konstruksi
terhadap
simbol
kekerasan
yang
dimunculkan dalam dialog dan adegan serial film kartun Little Krishna.
1.4 Kegunaan Penelitian Terdapat segi kegunaan yang peneliti gunakan sebagai pertimbangan dalam melakukan penelitian. Kegunaan yang peneliti harapkan dari penelitian ini mencakup tiga aspek, yaitu aspek teoritis, aspek praktis, dan aspek sosial.
1.4.1 Aspek Teoritis Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sebagai bahan rujukan dalam penelitian di bidang Ilmu Komunikasi khususnya yang berkaitan dengan riset media, kajian semiotika, kajian tentang film, televisi dan audience.
1.4.2 Aspek Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan masukan kepada masyarakat, khususnya pembaca tentang realitas sosial yang dapat direkonstruksi oleh media massa. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan dapat memberikan saran bagi para pembuat film
9
kartun agar mampu mengembangkan kualitas film kartun sehingga dapat menjadi media pembelajaran bagi masyarakat luas, terutama dalam menunjang perkembangan anak-anak.
1.4.3 Aspek Sosial Dalam penelitian ini diharapkan masyarakat sadar bahwa film kartun tidak sekedar sebagai media hiburan, namun juga dapat menggambarkan pesan yang di dalamnya terdapat hal-hal yang sebaiknya tidak dikonsumsi anak-anak. Dengan demikian masyarakat terutama orang tua, menjadi lebih selektif dalam memilih tayangan yang tepat untuk ditonton oleh anak-anak.
1.5 Pembatasan Masalah Pembatasan masalah peneliti adalah serial film kartun Little Krishna yang di kreasi bersama antara BIG Animation dan The Heritage Foundation India (dipromosikan oleh ISKCON, Bangalore). Batasan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Hal-hal yang diteliti adalah nilai-nilai kekerasan yang terdapat di dalam serial film kartun Little Krishna yang dibagi menjadi dua macam, yaitu secara fisik dan secara verbal. 2. Untuk pembatasan masalah, peneliti memilih episode-episode serial kartun secara sengaja yaitu pada Episode 5 September 2014 dengan mengambil sampel sub-cerita yang di dalamnya terdapat unsur-unsur kekerasan. 3. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitiatif dengan metode penelitian semiotika Peircean. Paradigma dalam penelitian ini menggunakan konstruktivis.
1.6 Pengertian Istilah dalam Penelitian
1. Konstruksi merupakan suatu proses sosial
yang mana individu
menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif (Bungin, 2006: 193).
10
2. Kekerasan
merupakan
sebuah
istilah
yang
digunakan
untuk
menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Santoso, 2002: 11). 3. Kartun merupakan sebuah gambar yang bersifat representasi atau simbolik. Sebuah kartun dapat dijabarkan sebagai sebuah cerita panjang. Kartun memiliki potensi yang setara dengan sejuta kata-kata. Sebuah kartun lahir dari beribu-ribu pikiran yang terpendam (Kusnadi dalam Martina, 2009: 34). 4. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Pada dasarnya semiotika mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things) (Sobur, 2013: 15).
1.7 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian berguna agar penelitian berjalan sistematis. Sehingga peneliti dapat menentukan langkah yang tepat untuk melakukan penelitian. Tahapan penelitian dapat peneliti gambarkan melalui gambar berikut.
11
Gambar 1.7 Tahapan Penelitian
Telaah paradigma dan mengkaji isu – isu empirik
Menetapkan topik Studi pustaka
Menentukan fokus
Prasurvey
Mengembangkan unit analisis / sub unit analisis
Mengembangkan teori yang relevan
Mengumpulkan data
Berada dilapangan
Pengolahan data
Deskripsi dan pembahasan
Periksa keabsahan data
Laporan penelitian
Sumber: Olahan peneliti, 2014
12
1.8 Sistematika Penulisan Skripsi Sistematika penulisan skripsi ini disusun untuk memberikan gambaran umum tentang penelitian yang dilakukan:
Pertama, bab I pendahuluan Pada bab ini berisikan uraian mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pembatasan masalah penelitian, pengertian istilah, tahapan penelitian serta sistematika penulisan.
Kedua, bab II tinjauan pustaka Pada bab ini berisikan mengenai teori-teori yang menjadi landasan pokok permasalahan pada penyusunan skripsi.
Ketiga, bab III metode penelitian Pada bab ini berisikan mengenai paradigma penelitian, pendekatan penelitian, metode penelitian, unit analisis, metode pengumpulan data, teknik keabsahan data serta teknik analisis data.
Keempat, bab IV hasil penelitian Pada bab ini berisikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan.
Kelima, bab V penutup Pada bab ini berisikan mengenai simpulan dan saran hasil analisis.
Daftar Pustaka
Lampiran
13