BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian Aktivitas perdagangan merupakan salah satu cara manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya yang beranekaragam. Aktivitas perdagangan atau jual beli dilakukan di pasar. Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2008 menerangkan bahwa pasar adalah area tempat jual beli barang atau tempat bertemunya pedagang dan pembeli. Pasar tradisional adalah pasar dengan ciri utama terdapat tawar-menawar harga dalam proses jual beli, sedangkan pasar modern merupakan area jual beli yang memiliki harga yang pasti. Pasar modern dibedakan menjadi pusat perbelanjaan dan toko modern. Pusat perbelanjaan adalah suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang. Toko modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri yang menjual berbagai jenis barang secara eceran. Toko modern dibedakan menjadi minimarket, supermarket, hypermarket, department store dan perkulakan. Pembedaan toko modern tersebut didasarkan atas luas lantai dan variasi barang dagangan. Minimarket, supermarket dan hypermarket menjual barang konsumsi terutama produk makanan dan produk rumahtangga lainnya secara eceran. Department Store menjual barang konsumsi utamanya produk sandang dan perlengkapannya secara eceran. Perkulakan menjual secara grosir barang konsumsi. (Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2008) Minimarket memiliki luas lantai yang paling kecil di antara jenis-jenis toko modern, yaitu kurang dari 400 m2. Minimarket saat ini semakin marak di Indonesia, terlebih lagi dengan adanya jaringan minimarket dengan sistem franchise atau waralaba seperti Alfamart dan Indomaret. Investor lokal dapat dengan mudah mendirikan minimarket franchise karena modal yang dibutuhkan tidak terlalu besar. 1
Jaringan minimarket franchise seperti Alfamart dan Indomaret memiliki situs internet yang bisa diakses oleh semua orang dan memuat informasi tentang cara-cara mendirikan minimarket waralaba secara rinci. Gerai/outlet Indomaret disyaratkan berukuran 50 – 150 m2 sementara gerai/outlet Alfamart disyaratkan berukuran 150 250 m2. Ukuran ruang usaha yang tidak terlalu luas memungkinkan terbukanya peluang lebih besar untuk masuk dalam sistem waralaba (franchise) tersebut. Minat masyarakat untuk berbelanja di minimarket juga meningkat karena adanya pendapat bahwa pasar modern (termasuk minimarket) lebih rapi, bersih dan praktis daripada pasar tradisional, meskipun tak sedikit pula masyarakat yang memilih loyal terhadap pasar tradisional. Hal ini merupakan pergeseran dari kebutuhan fungsional menjadi kebutuhan psikologis, seperti dikatakan oleh Levy dan Weitz (2004) dalam Megawati (2006), kebutuhan fungsional (functional needs) adalah kebutuhan yang berhubungan langsung dengan bentuk atau penampilan (performance) dari produk, sedangkan kebutuhan psikologis (psychological needs) adalah kebutuhan yang diasosiasikan dengan kebutuhan yang bersifat mental dari konsumen yang dapat terpenuhi dengan berbelanja ataupun membeli sebuah produk Pertumbuhan ritel di Indonesia tercermin dengan pesatnya pertumbuhan minimarket sebagai salah satu pasar modern dan ritel di Indonesia. Pada kurun waktu 2002–2006, minimarket tumbuh rata-rata 29% per tahun. Gerai-gerai minimarket yang tadinya hanya berjumlah ratusan di tahun 2002 melonjak menjadi ribuan di tahun 2006. Hal ini jelas terlihat dengan bermunculannya gerai-gerai mini market dalam radius setidaknya 500 meter dan kini telah memasuki permukimanpermukiman padat bahkan kompleks-kompleks perumahan. (Megawati, 2006) Kecamatan Pacitan merupakan ibukota dari Kabupaten Pacitan, memiliki kepadatan penduduk tertinggi di antara kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Pacitan, yaitu 919 jiwa/ km2. Kecamatan Pacitan memiliki wilayah yang relatif datar dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Pacitan, sehingga kondisi jalannya relatif baik. Luas Kecamatan Pacitan adalah 77,11 km2, sementara luas 2
wilayah terkecil di Kabupaten Pacitan adalah Kecamatan Sudimoro (71,86 km2). Kecamatan Pacitan termasuk kota kecil bila dilihat dari jumlah penduduknya yang tidak mencapai 100.000 jiwa (Yunus, 2000). Fenomena yang terjadi adalah munculnya minimarket-minimarket franchise di Kecamatan Pacitan dalam kurun waktu 4 tahun terakhir.
Tabel 1.1. Daftar Minimarket Franchise di Kecamatan Pacitan No.
Nama Waralaba
Desa/Kelurahan
Nama Pemilik
1
Alfamart
Bangunsari
Andon Swasono Putro
2
Alfamart
Tanjungsari
Andon Swasono Putro
3
Alfamart
Tanjungsari
Andon Swasono Putro
4
Alfamart
Arjowinangun
Andon Swasono Putro
5
Alfamart
Ploso
Andon Swasono Putro
6
Alfamart
Sidoharjo
Andon Swasono Putro
7
Indomaret
Arjowinangun
Tanti Hajuningtyas
8
Indomaret
Tanjungsari
Tanti Hajuningtyas
9
Indomaret
Pacitan
Tanti Hajuningtyas
10
Indomaret
Pacitan
Tanti Hajuningtyas
11
Indomaret
Baleharjo
Tanti Hajuningtyas
12
Indomaret
Ploso
Tanti Hajuningtyas
13
Indomaret
Ploso
Tanti Hajuningtyas
Sumber : Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Pacitan, 2014
Perkembangan minimarket franchise di Kecamatan Pacitan dimulai tahun 2010. Awalnya hanya ada 1 gerai Indomaret yang berdiri di Jl. A. Yani yang berada di tengah kota. Seiring berjalannya waktu, saat ini sudah ada 13 gerai minimarket franchise (7 gerai Indomaret dan 6 gerai Alfamart) di Kecamatan Pacitan, namun 3
gerai-gerai tersebut tidak merata di seluruh Kecamatan Pacitan, hanya di desa/kelurahan tertentu saja, seperti ditampilkan dalam tabel 1.1. Pemilihan lokasi untuk gerai termasuk dalam ketentuan mendirikan waralaba, di situs Indomaret disebutkan bahwa layak atau tidaknya lokasi untuk minimarket ditentukan oleh pihak pemberi waralaba setelah melakukan survei. Bintarto dan Hadisumarno (1979) menyatakan bahwa pendekatan keruangan dalam geografi menjelaskan bagaimana dan mengapa di suatu lokasi terdapat penggunaan ruang tertentu. Penggunaan ruang tersebut dapat berupa penggunaan ruang yang telah ada maupun penggunaan ruang yang dirancangkan (akan digunakan). Minimarket franchise merupakan suatu bentuk penggunaan ruang, dan hubungan minimarket franchise dengan penggunaan ruang yang fungsinya sejenis dapat dikaji dengan pendekatan keruangan. Penggunaan ruang yang fungsinya sejenis dengan minimarket franchise dalam penelitian ini adalah toko kelontong, yaitu penggunaan ruang yang sama-sama berupa aktivitas perdagangan yang menjual kebutuhan seharihari secara eceran/retail. Keberadaan minimarket franchise memang tidak lepas dari tuntutan hidup yang serba praktis dan modern, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada dampak yang berpotensi terjadi kepada pedagang kelontong di sekitarnya. Dampak ini dapat sama ataupun berbeda untuk masing-masing pedagang. Lokasi antara minimarket dengan toko tempat usaha pedagang bisa menjadi salah satu faktor yang membedakan dampak tersebut. Karakteristik pedagang sendiri pun juga menjadi salah satu faktor pembeda, misalnya dilihat dari pendidikan dan pendapatan dari perdagangan. Minimarket franchise sebagai bentuk perdagangan yang memiliki manajemen yang jelas seharusnya memperhatikan bentuk perdagangan lain yang lebih kecil dan bersifat lokal tersebut sehingga keberadaannya tidak berkembang menjadi ancaman.
4
1.2.
Permasalahan Penelitian Penelitian yang dilakukan berangkat dari pengamatan terhadap menjamurnya
minimarket franchise di Kecamatan Pacitan dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Saat ini sudah ada 13 gerai minimarket franchise di Kecamatan Pacitan, terdiri dari 7 gerai Indomaret dan 6 gerai Alfamart di Kecamatan Pacitan, ada kemungkinan jumlah tersebut akan bertambah seiring berjalannya waktu. Pertumbuhan minimarket franchise ini sepertinya juga akan terjadi di Kecamatan lain mengingat saat ini saja sudah ada dua – tiga gerai minimarket franchise di Kecamatan Punung dan Ngadirojo. Ada banyak hal yang bisa dikaji dari fenomena menjamurnya minimarket franchise di Kecamatan Pacitan. Salah satunya adalah hubungan minimarket franchise dengan pedagang kelontong di sekitarnya. Penelitian yang ingin dilakukan berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut : 1.
Seperti apa distribusi minimarket franchise di Kecamatan Pacitan dan pedagang kelontong yang berpotensi terkena dampak di sekitarnya?
2.
Apa saja karakteristik pedagang kelontong yang ada di sekitar lokasi minimarket franchise di Kecamatan Pacitan ?
3.
Seperti apa pendapat pedagang kelontong di sekitar lokasi minimarket terhadap dampak berdirinya minimarket tersebut kepada usaha mereka?
1.3.
Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui distribusi minimarket franchise di Kecamatan Pacitan dan pedagang kelontong yang berpotensi terkena dampak berdirinya minimarket franchise tersebut
2.
Mengidentifikasi karakteristik pedagang kelontong yang yang ada di sekitar lokasi minimarket franchise di Kecamatan Pacitan
3.
Mengetahui pendapat pedagang kelontong di sekitar lokasi minimarket terhadap dampak berdirinya minimarket tersebut kepada usaha mereka 5
1.4.
Manfaat Penelitian 1.
Manfaat dari segi ilmu pengetahuan yaitu diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai asosiasi yang terjadi antara minimarket franchise dan pedagang kelontong di sekitarnya serta dapat menjelaskan dampak yang dirasakan pedagang kelontong dari keberadaan minimarket franchise di Kecamatan Pacitan
2.
Manfaat dari segi pembangunan yaitu diharapkan dapat melihat kesesuaian Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2012 dengan kondisi di lapangan sehingga memberikan kajian secara ilmiah mengenai dampak keberadaan minimarket franchise terhadap pedagang kelontong di Kecamatan Pacitan sebagai masukan kepada pemerintah daerah
1.5.
Keaslian Penelitian Penelitian mengenai dampak keberadaan minimarket franchise terhadap
pedagang kelontong sebenarnya telah beberapa kali dilakukan, karena fenomena menjamurnya minimarket franchise terjadi di banyak daerah di Indonesia. Penelitian mengenai
perkembangan
minimarket
yang
ada
di
Indonesia
umumnya
menghubungkan keberadaan minimarket dan dampaknya terhadap pasar tradisional baik itu berbentuk pasar (banyak penjual) maupun toko/warung (penjual tunggal). Meskipun demikian, fokus yang ingin diperoleh oleh masing-masing penelitian berbeda yang mengakibatkan variasi metode yang digunakan dalam penelitianpenelitian yang telah ada. Perbedaan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh Setyawarman (2009) adalah fokus penelitian yang meskipun sama-sama menyinggung mengenai minimarket franchise, dalam penelitiannya disebut retail modern, namun penelitian tersebut lebih membahas detail mengenai pola sebaran minimarket ditinjau dari faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi minimarket tersebut dan sama sekali tidak 6
membahas mengenai dampak keberadaan minimarket tersebut terhadap pedagang kelontong. Hasil penelitian Setyawarman ini mengungkapkan bahwa pola sebaran retail modern cenderung mengelompok dan dipengaruhi oleh variabel demografi, sosio-ekonomi konsumen, psikografis, aksesibilitas, persaingan dan perubahan permintaan. Penelitian Wijayanti (2011) membahas lebih detail pada perubahan keuntungan pedagang. Penelitian ini dilakukan di Pedurungan, Semarang dengan hasil yang menunjukkan bahwa semakin besar perubahan omzet maka perubahan keuntungan juga semakin besar dan semakin dekat warung 1 meter dari minimarket akan menyebabkan penurunan keuntungan sebesar 0,02%. Selain itu, diversifikasi produk pada warung tradisional tidak berpengaruh terhadap perubahan keuntungan dalam jangka pendek, namun bisa berpengaruh dalam jangka panjang. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian dari Iffah, Sutikno dan Sari (2011) yang dilakukan di Kecamatan Blimbing, Kota Malang. Hasil penelitian Iffah menunjukkan bahwa semakin besar jangkauan pelayanan minimarket, maka akan semakin banyak toko yang terganggu dengan jangkauan pelayanannya. Satu minimarket berdampak terhadap 4 toko usaha kecil, dengan rata-rata friksi sebesar 57,29%. Fadhilah (2011) melakukan penelitian mengenai dampak pasar modern terhadap pasar tradisional di Pasar Ngaliyan, akan tetapi penelitian ini berbeda karena pedagang dalam penelitian Fadhilah berada dalam satu pasar, bukan pedagang kelontong yang terdistribusi di sekitar minimarket. Hasil penelitian Fadhilah mengungkapkan bahwa pasar modern di sekitar Pasar Ngaliyan memberikan dampak negatif terutama pada pedagang yang dagangannya disediakan di toko modern dan strategi yang bisa digunakan oleh pedagang-pedagang tersebut adalah memberikan pelayanan yang lebih baik, menyediakan barang yang berkualitas, memberikan kepuasan kepada konsumen dengan meningkatkan kemampuan secara teknik, sosial
7
dan perilaku, memperbaiki sarana prasarana dan meningkatkan keamanan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu dapat dilihat dalam tabel 1.2 berikut ini.
Tabel 1.2. Penelitian-Penelitian yang Terkait No
Nama Peneliti
1.
Adityo Setyawarman (2009)
Pola Sebaran dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Retail Modern (studi Kasus Kota Surakarta)
Pardiana Wijayanti (2011)
Analisis Pengaruh Perubahan Keuntungan Usaha Warung Tradisional dengan Munculnya Minimarket (Studi Kasus di Kecamatan Pedurungan Kota Semarang)
2.
Judul Penelitian
Metode Penelitian Analisis tetangga terdekat (nearest neighbour analysis), analisis faktor, analisis komprehensif
Pendekatan OLS (Ordinary Least Square)
Hasil Penelitian 1. Pola sebaran retail modern di Kota Surakarta cenderung mengelompok 2. Variabel yang berpengaruh terhadap pemilihan lokasi retail di Kota Surakarta adalah variabel demografi, sosio-ekonomi konsumen, psikografis, aksesibilitas, persaingan dan perubahan permintaan 3. Pola sektoral lebih menonjol dibandingkan dengan pola konsentris ataupun multiple nuclei. Struktur kota lebih digerakkan oleh elemen arah (directional element) daripada elemen jarak (distance element) 1. Semakin besar perubahan omzet penjualan yang disebabkan munculnya minimarket, semakin besar pula perubahan keuntungan yang diterima oleh pemilik warung tradisional 2. Jiarak warung lebih dekat 1 meter dari minimarket, menyebabkan penurunan keuntungan usaha sebesar 0,02% 3. Ada atau tidaknya diversifikasi produk pada warung tradisional tidak berpengaruh langsung terhadap besarnya perubahan keuntungan usaha yang diperoleh akibat munculnya minimarket pada jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang bisa berpengaruh
8
Lanjutan Tabel 1.2. Penelitian yang Terkait No
Nama Peneliti
Judul Penelitian
3.
Melita Iffah, Pengaruh Toko Fauzul Rizal Modern Terhadap Sutikno, Toko Usaha Kecil Nindya Sari Skala Lingkungan (2011) (Studi Kasus : Minimarket Kecapatan Blimbing, Kota Malang)
4.
Ani Fadhilah (2011)
5.
Jaziela Muslihatunnisa (2014)
Nur Dampak Minimarket Terhadap Pasar Tradisional (Studi Kasus di Ngaliyan)
Dampak Keberadaan Minimarket Franchise Terhadap Usaha Pedagang Kelontong di Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Analisis Importance Performance Analysis (IPA), tabulasi silang (cross tab), analisis pengaruh minimarket, analisis overlay jangkauan pelayanan Analisis kualitatif deskriptif
Semakin besar jangkauan pelayanan minimarket, maka akan semakin banyak toko yang terfriksi dengan jangkauan pelayanannya. Satu minimarket berdampak terhadap 4 toko usaha kecil, dengan rata-rata friksi sebesar 57,29%.
Analisis deskriptif
1. Keberadaaan pasar modern di sekitar pasar Ngaliyan memberikan dampak negatif terutama pada pedagang yang barang dagangannya juga disediakan di toko modern seperti kebutuhan pokok sehari-hari, makanan ringan dan roti 2. Strategi pedagang di pasar tradisional yaitu memberikan pelayanan yang lebih baik, menyediakan barang yang berkualitas, meningkatkan kemampuan teknik, social, perilaku, dan keamanan, serta memperbaiki sarana prasarana. 1. Semua minimarket franchise di Kecamatan Pacitan tidak sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan Nomor 6 Tahun 2012. 2. Karakteristik umum pedagang kelontong adalah didominasi jenis kelamin perempuan (82,1%), pendidikan terakhir SMA (61,5%), luas toko tidak lebih dari 42 m2, waktu pelayanan 12-17 jam (74,4%), banyak yang tidak memiliki pegawai, dan dijalankan dengan tujuan menambah pendapatan serta mengisi waktu luang.
9
Lanjutan Tabel 1.2. Penelitian yang Terkait No
Nama Peneliti
Judul Penelitian
4.
Jaziela Muslihatunnisa (2014)
Dampak Keberadaan Minimarket Franchise Terhadap Usaha Pedagang Kelontong di Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur
Metode Penelitian Analisis deskriptif
1.6.
Tinjauan Pustaka
1.6.1.
Pendekatan Keruangan dalam Geografi
Hasil Penelitian 3.
Sebagian besar pedagang kelontong (71,8%) merasakan dampak negatif keberadaan minimarket franchise berupa penurunan omzet, penurunan jumlah konsumen, dan keduaduanya, 28,2% sisanya tidak merasa minimarket franchise memberikan dampak terhadap usahanya. Meskipun begitu, lebih banyak pedagang (56,4%) yang tidak memiliki strategi untuk mempertahankan usahanya.
Pendekatan keruangan tidak lain merupakan suatu metoda analisis yang menekankan analisisnya pada eksistensi ruang (space) yang berfungsi untuk mengakomodasikan kegiatan manusia. Oleh karena obyek studi geografi adalah geospheric phenomena, maka segala sesuatu yang terkait dengan obyek dalam ruang dapat disoroti dari berbagai matra antara lain pola (pattern); stuktur (structure); proses (process); interaksi (interaction); organisasi dalam sistem (organisation within the system); asosiasi (association); dan tendensi atau kecenderungan (tendency or trends). Dengan demikian, menurut Yunus (2004) minimal ada 7 tema analisis dalam spatial approach dalam geografi, yaitu : 1. spatial pattern analysis; 2. spatial structure analysis; 3. spatial process analysis; 4. spatial inter-action analysis; 5. spatial association analysis; 6. spatial organisation analysis; 10
7. spatial tendency/trends analysis Penelitian ini secara umum menggunakan analisis asosiasi atau spatial association analysis. Spatial Association Analysis bertujuan untuk mengungkapkan terjadinya asosiasi keruangan antara berbagai kenampakan pada sesuatu ruang. Contohnya, apakah ada keterkaitan fungsional atas sebaran keruangan atau gejala dengan sebaran keruangan gejala yang lain? Apakah ada hubungan antara hilangnya lahan pertanian dengan makin banyaknya pendatang-pendatang di suatu daerah? Apakah ada asosiasi keruangan antara kepadatan penduduk dengan peningkatan tindak kriminal di beberapa tempat di kota? (Yunus, 2004) Analisa keruangan mempelajari perbedaan lokasi mengenai sifat-sifat penting atau seri sifat-sifat penting. Ahli geografi akan bertanya faktor-faktor apakah yang menguasai pola penyebaran dan bagaimanakah pola tersebut dapat diubah agar penyebarannya menjadi lebih efisien dan lebih wajar. Dengan kata lain dapat diutarakan bahwa dalam analisa keruangan yang harus diperhatikan adalah pertama, penyebaran penggunaan ruang yang telah ada dan kedua, penyediaan ruang yang akan digunakan untuk pelbagai kegunaan yang dirancangkan
(Bintarto dan
Hadisumarno, 1979). Beberapa tema analisis keruangan yang dijelaskan di atas dapat berdiri sendiri-sendiri maupun dapat merupakan gabungan dari beberapa tema analisis tergantung daripada tujuan dan kemendalaman pengetahuan yang akan dicapai peneliti. Sebagai contoh upaya analisis kecenderungan keruangan mungkin dapat dimulai dari identifikasi pola sebaran atau struktur tentang fenomena geosfera yang akan diteliti dan kemudian dilanjutkan dengan analisis proses keruangan. Apabila diperlukan dapat pula analisis interaksi dan asosiasi keruangannya dan akhirnya baru dianalisis kecenderungan keruangan yang terjadi berdasarkan fakta empirisnya (Yunus, 2004).
11
1.6.2.
Minimarket Franchise Minimarket adalah sarana atau tempat usaha untuk melakukan penjualan
barang-barang kebutuhan sehari-hari secara eceran langsung kepada konsumen dengan cara pelayanan mandiri (swalayan) (Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 3 Tahun 2008). Minimarket merupakan pasar swalayan yang hanya memiliki satu atau dua mesin register saja atau sering disebut juga mesin kasir dan hanya menjual produk-produk kebutuhan dasar rumah tangga (basic necessities) yang telah dipilih terlebih dahulu (Megawati, 2006). Minimarket memiliki luas lantai kurang dari 400 m2 dan boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan (Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007). Jalan lingkungan adalah merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, low average (Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007). Adanya peraturan tentang luas lantai dan lokasi yang diperbolehkan ini merupakan salah satu sebab menjamurnya minimarket di Indonesia, karena memungkinkan untuk mendirikan minimarket di dekat perumahan dan jalan-jalan yang relatif kecil, kecuali ada peraturan daerah yang mengatur lebih lanjut mengenai hal ini. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Pacitan No. 6 Tahun 2012, minimarket berdasarkan sistem manajemennya dikelompokkan menjadi minimarket berjaringan dan minimarket tidak berjaringan. Minimarket berjaringan atau jaringan minimarket adalah yang dimaksud sebagai minimarket franchise dalam penelitian ini. Jaringan minimarket adalah pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha dibidang minimarket melalui satu kesatuan manajemen dan sistem pendistribusian barang ke outlet yang merupakan jaringannya (Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 3 Tahun 2008). Franchise atau waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat 12
dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan Perjanjian Waralaba. Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba. Penerima Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba. Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba untuk jenis usaha Toko Modern dapat mengembangkan kegiatan usahanya melalui pendirian outlet/gerai yang : a. Dimiliki dan dikelola sendiri (company owned outlet); dan b. Diwaralabakan (Peraturan Menteri Perdagangan No. 68/M-DAG/PER/10/2012).
Menurut
undang-undang
kepemilikan
waralaba
minimarket harus dari pihak lokal (Dewan Koperasi Indonesia). Minimarket franchise yang saat ini berdiri di Kecamatan Pacitan adalah Indomaret dan Alfamart. Indomaret memiliki 7 gerai/outlet sedangkan Alfamart memiliki 6 gerai/outlet, sehingga total terdapat 13 outlet minimarket franchise di Kecamatan Pacitan. Alfamart merupakan salah satu jaringan minimarket yang tercepat pertumbuhannya di Indonesia. Berdiri pada 27 Juni 1999 oleh PT Alfa Mitramart Utama, dengan minimarket pertama beroperasi Karawaci, Tangerang, Banten, Oktober 1999. Pada awal 2003, diambil alih oleh PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk yang berafiliasi pada Carrefour (Perancis). Pada 2011 gerai Alfamart sudah mencapai sekitar 5.500 unit, tersebar di seluruh indonesia mulai dari kota-kota besar, kabupaten, sampai Kecamatan. Tahun ini, siap megoperarasikan 900 gerai baru. Indomaret merupakan pesaing terdekat Alfamart, dan berdiri setahun lebih awal, yaitu pada 1988. Pada akhir 2011, Indomaret sudah mengoperasikan 6.003 gerai, dengan angka penjualan mencapai Rp 18 triliun. Tahun ini, jaringan minimarket yang dikelola oleh PT Indomarco Prismatama ini menargetkan menambah 1.000 gerai baru, dengan menggelontorkan investasi Rp 500 miliar. Jika rencana ini direalisasikan, penjualan Indomaret diproyeksikan bakal terdongkrak menjadi Rp 23,04 triliun (Dewan Koperasi Indonesia). 13
1.6.3.
Pedagang Kelontong Pedagang kelontong yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pedagang
kelontong di sekitar minimarket dan memiliki toko yang tetap. Toko adalah bangunan gedung dengan fungsi usaha yang digunakan untuk menjual barang dan terdiri hanya satu penjual (Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007). Istilah pedagang kelontong sendiri tidak ditemukan dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Klasifikasi yang sesuai dengan pedagang kelontong yang penulis maksud adalah perdagangan eceran. Minimarket maupun pedagang kelontong bisa masuk dalam kategori ini, karena penggunaan ruang keduanya memang sama. Perdagangan eceran adalah penjualan kembali (tanpa perubahan teknis), baik barang baru maupun bekas, utamanya kepada masyarakat umum untuk konsumsi atau penggunaan perorangan maupun rumahtangga, melalui toko, departement store, kios, mail-order houses, penjual dari pintu ke pintu, pedagang keliling, koperasi konsumsi, rumah pelelangan, dan lain-lain. Pada umumnya pedagang pengecer memperoleh hak atas barang-barang yang dijualnya, tetapi beberapa pedagang pengecer bertindak sebagai agen, dan menjual atas dasar konsinyasi atau komisi. (BPS, 2009) Toko kelontong bisa disebut convenience store yaitu toko yang menjual segala macam keperluan sehari-hari, mulai dari peralatan mandi, peralatan makan, peralatan dapur, peralatan tulis sampai makanan ringan (Kusno, 2012). Kata „kelontong‟ memang memiliki sejarah yang cukup tua. Kata ini merujuk kepada alat bunyi-bunyian yang selalu dibawa oleh pedagang keliling Tionghoa di saat menjajakan barang dagangannya tempo dulu. Kelontong ini berbentuk tambur (rebana) mini bertangkai dan di kedua sisinya diberi tali pendek dengan biji bulat di ujungnya. Tambur mini ini bisa terbuat dari kaleng, kulit samak, atau kertas semen. Dengan digerak-gerakkan ke kiri dan ke kanan pada tangkainya, maka biji bulat ini akan „menabuh‟ tambur ini dengan suara kelontong-kelontong. Orang di dalam rumah akan segera tahu bahwa penjaja barang keliling sedang lewat di rumahnya mendengar 14
suara kelontong yang khas ini. Di zaman itu si penjaja (pedlar) ini disebut dengan „tjina klontong‟ (Kusno, 2012). Meskipun bisa disebut convenience store, namun sebenarnya toko kelontong berbeda dengan convenience store yang ada di luar negeri. Convenience store di luar negeri justru seperti minimarket, sementara toko kelontong tidak menerapkan sistem swalayan tetapi dilayani oleh penjual/pemilik toko. Oleh karena itu, perbedaan mencolok antara toko kelontong dengan minimarket adalah terjadinya interaksi antara penjual dengan pembeli, karena pembeli di toko kelontong tidak mengambil barang sendiri melainkan menyebutkan apa yang akan dibeli untuk kemudian diambilkan oleh penjualnya.
1.7.
Kerangka Pemikiran Perkembangan gaya hidup modern yang menuntut kepraktisan menjadikan
toko modern dengan berbagai jenisnya mendapatkan tempat tersendiri untuk berkembang di Indonesia. Kemunculan toko modern khususnya jenis minimarket telah menjangkau kota-kota kecil karena peraturan perundangan juga menyatakan bahwa minimarket boleh beroperasi di semua sistem jaringan jalan termasuk jalan lingkungan. Kecamatan Pacitan termasuk kota kecil dengan penduduk kurang dari 100.000 jiwa namun juga tidak lepas dari berkembangnya minimarket khususnya minimarket franchise. Penelitian mengenai dampak kegiatan ekonomi berupa minimarket franchise terhadap kegiatan ekonomi lain berupa perdagangan kelontong dilakukan seperti gambar 1.1. di bawah ini.
15
Minimarket Franchise di Kecamatan Pacitan
Pedagang Kelontong di sekitar minimarket
Spatial Analysis
Distribusi minimarket dan pedagang kelontong
- Titik lokasi minimarket franchise - Titik lokasi pedagang kelontong (toko)
Karakteristik pedagang kelontong
Pendapat pedagang kelontong mengenai dampak minimarket
Umur Pendidikan Jenis Kelamin Besar ruang usaha (toko) - Karakteristik lain
- Perubahan omzet - Perubahan konsumen - Strategi untuk bertahan
-
Dampak minimarket franchise terhadap usaha pedagang kelontong di Kecamatan Pacitan
Gambar 1.1 . Diagram Alir Kerangka Pemikiran
Ada dua franchise yang mengembangkan gerainya di Kecamatan Pacitan, yaitu Indomaret dan Alfamart. Meskipun begitu, sejak dulu di Kecamatan Pacitan telah ada pedagang-pedagang kelontong yang menjalankan usaha secara individu karena Kecamatan Pacitan memang merupakan Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi di kabupaten Pacitan. Minimarket franchise dan perdagangan kelontong merupakan dua jenis kegiatan ekonomi yang bergerak dalam penjualan barang kebutuhan sehari-hari secara eceran.
16
Analisis dan kajian spasial menggunakan pendekatan keruangan bisa memilih salah satu atau beberapa tema dari tujuh tema yang ada, tentunya sesuai dengan tujuan dan kebutuhan dalam penelitian. Penelitian ini secara garis besar mengambil tema asosiasi (association), yaitu asosiasi minimarket franchise dengan pedagang kelontong di sekitarnya. Spatial association analysis dalam penelitian ini menganalisis bagaimana pedagang kelontong dalam jarak tertentu dari minimarket franchise menanggapi asosiasi atau hubungan yang terjadi antara minimarket franchise tersebut dengan usaha toko kelontongnya, karena keduanya memiliki penggunaan ruang yang sama sebagai aktivitas perdagangan secara eceran. Asosiasi ini didasarkan pada lokasi minimarket franchise terhadap toko kelontong. Hubungan ini juga diperdalam dengan pendapat pedagang di toko kelontong karena keberadaan minimarket franchise akan berpotensi memberikan dampak terhadap pedagang di lingkungan sekitar minimarket.
17