BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan akan menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan keaslian penelitian.
1.1
Latar Belakang Penelitian
1.1.1. Krisis energi dan pemanasan global Dari tahun ke tahun, jumlah konsumsi energi dunia tercatat semakin meningkat. Berdadsarkan analisis dari EIA (Energi Information Administration melalui website www.eia.gov), pada tahun 2035 konsumsi energi dunia diprediksi akan mencapai angka 739 quadrillion Btu, sehingga bila dibandingkan dengan jumlah konsumsi energi pada tahun 2007 sebesar 495 quadrillion Btu, berarti akan terjadi peningkatan konsumsi energi sebesar 70% (Syahrullah, 2013 :1). Tingginya kebutuhan dunia akan energi sayangnya tidak disertai oleh kemampuan produksi energi yang memadai. Masih menurut analisis dari EIA (Syahrullah, 2013:1), jumlah produksi energi dunia pada tahun 2007 hanya sebesar 475 quadrillion Btu, sementara jumlah konsumsi energinya mencapai 495 quadrillion Btu. Ini berarti produksi energi dunia hanya memenuhi sekitar 94% dari total keseluruhan kebutuhan konsumsi energi. Tingkat konsumsi energi yang terus meningkat berdampak pula terhadap munculnya permasalahan kerusakan lingkungan. Kegiatan exploitasi sumber energi fosil secara besar-besaran mengakibatkan kadar gas CO2 di udara menjadi sangat tinggi dan memicu terjadinya efek rumah kaca yang menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi. Rata-rata suhu udara global telah meningkat setidaknya 0,74 0C selama abad 20 (Data UNEP, 2007 dalam Meidayanti, 2010:1). Bila
1
kondisi ini dibiarkan berlanjut begitu saja tanpa adanya upaya penyelesaian yang tepat maka dalam 50 tahun ke depan jumlah kadar gas CO2 di atmosfer bumi akan meningkat sebesar dua kali lipat (Krishan, 2001:16). 1.1.2. Krisis energi nasional Menurut data dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), dalam rentang tahun 1999 hingga 2008 konsumsi energi Indonesia telah meningkat lebih dari 50%. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kemampuan produksi energi Indonesia yang justru tercatat semakin menurun setiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena tingkat produksi energi Indonesia hingga saat ini masih sangat bergantung pada ketersediaan sumber energi bumi (minyak bumi, batu bara, gas alam) yang merupakan sumber energi tak terbaharui. Indonesia yang sejak tahun 1962 telah menjadi anggota OPEC (Organization of The Petroleum Exporting Countrie), pada tahun 2004 harus menghentikan kegiatan ekspor minyaknya dan pada tahun 2009 Indonesia akhirnya harus keluar dari keanggotaan OPEC karena cadangan minyak bumi Indonesia tidak lagi surplus. Saat ini Indonesia bahkan harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan domestik yang sangat besar. 1.1.3. Penggunaan Energi dalam Bangunan Persoalan krisis energi dan pemanasan global sama-sama mendesak adanya upaya penghematan untuk menghindari dampak yang lebih buruk dari apa yang kita telah rasakan sekarang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu melalui pengembangan konsep arsitektur baru yang lebih sadar energi. Konsep bangunan hemat energi dinilai sangatlah penting kerena bila melihat pada penggunaan
2
energi secara global, sektor bangunan menyerap jumlah energi yang sangat besar yaitu sebesar 45% dari keseluruhan kebutuhan energi dunia (lihat gambar 1).
Gambar 1. Komposisi penggunaan energi menurut sektor kegiatan Sumber : Krishan, Arvin Dkk, 2001
Menurut Mintorogo (1999 dalam Meidayanti, 2010: 2), konsumsi energi terbesar dalam bangunan baik berfungsi sebagai hunian ataupun perkantoran adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik yang digunakan untuk pencahayaan, pendinginan dan pemanasan ruangan. Komposisi konsumsi energi antara kedua fungsi tersebut berbeda, namun yang terbesar tetap untuk kebutuhan listrik. Berdasarkan pada studi yang dilakukan oleh Sugijanto (1989, dalam Stephanus, 2006:1) diketahui komposisi energi yang digunakan pada bangunan perkantoran di Asia yaitu sebagai berikut : AC Fans/pump Light Elevators Equipment
: 42.5% : 18.6% : 20.9% : 5.9% :12.1%
Sementara itu, Suprapto (1996 dalam Susanto, 2009:2) mengatakan bahwa berdasarkan pada hasil-hasil studi dan kegiatan audit energi yang telah dilakukan
3
oleh berbagai instansi terkait di Indonesai, diperoleh rentang distribusi pemakaian energi spesifik sesuai dengan jenis penggunaan bangunan yaitu sebagai berikut : Sistem tata udara Sistem tata cahaya Lift dan escalator Peralatan lainnya
: 55% -65%, : 12%-17% : 10%-15% : 9%-13%.
Terlihat bahwa konsumsi energi listrik terbesar dalam bangunan adalah sisitem pendinginan. Oleh karena itu sasaran utama penghematan energi dalam bangunan seharusnya ditujukan pada sistem pendinginan. Effisiensi sistem pendingin udara dapat dilakukan antara lain dengan cara memperkecil beban pendinginan serta pemilihan sistem pendingin udara yang tepat. 1.1.4. Beban pendinginan dan selubung bangunan Sumber perolehan panas yang menjadi beban pendinginan pada sistem AC dapat dibedakan menjad dua yaitu perolehan panas internal (internal heat gain) dan perolehan panas eksternal (external heat gain). Pengurangan beban panas internal umumnya sulit dilakukan karena berkaitan dengan metabolisme tubuh dan tuntutan fungsi. Perolehan panas internal tidak dipengaruhi oleh desain dan konstruksi bangunan, melainkan lebih dipengaruhi oleh tipe bangunan dan manajemen operasionalnya. Sementara untuk mengurangi beban panas eksternal dapat dilakukan melalui perancangan desain selubung bangunan yang bersifat isolatif terhadap perolehan panas eksternal. Selubung bangunan memiliki peran penting dalam menekan konsumsi energi dalam bangunan karena bila dirancang dengan baik akan secara signifikan mengurangi perolehan panas eksternal yang menjadi penyumbang panas terbesar pada beban pendinginan. Ada dua faktor dominan yang berpengaruh terhadap 4
perolehan panas eksternal melalui selubung bangunan yaitu Window to Wall Ratio atau rasio bidang kaca terhadap bidang dinding dan Shading Coefficient (SC) atau koefisien penedu. Pada kondisi tidak berpembayang, nilai SC sepenuhnya berasal dari SC kaca, dan bisa dinyatakan ke dalam nilai SHGC (Solar Heat Gain Coefficient) dengan faktor pembagi 0,86. Perhatian perlu diarahkan pada kedua faktor tersebut karena sumbangan panas dari radiasi sinar matahari memberikan pengaruh yang lebih dominan terhadap perolehan panas eksternal.
Beban pendinginan Konsumsi energi HVAC Sistem pendingin
Beban panas eksternal
Selubung bangunan
Beban panas internal
WWR, SHGC, Elemen pembayang
Okupansi, lampu, peralatan
Kondisi Iklim
Gambar 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi energi HVAC Sumber : Gulati, 2012: 14
Terkait dengan upaya untuk memperoleh desain selubung bangunan yang dapat
mengurangi beban panas eksternal sehingga menurunkan beban
pendinginan, di banyak negara telah ditentukan sebuah aturan mengenai batas perolehan panas eksternal melalui selubung bangunan yang diijinkan pada sebuah bangunan berpendingin udara yang dikenal dengan istilah OTTV (Overall Thermal Transfer Value). Pemerintah Indonesia sendiri melalui Badan Standarisasi Nasional Indonesia menentukan nilai OTTV maksimal yang diijinkan untuk sebuah bangunan berpendingin udara yaitu sebesar 35 Watt/m2.
5
1.1.5. Elemen pembayang sebagai salah satu strategi pasif desain Salah satu strategi pasif desain yang bisa diaplikasikan guna mengurangi jumlah perolehan radiasi sinar matahari melalui bidang kaca adalah dengan menggunakan elemen pembayang (Shading Device), baik pembayang internal ataupun eksternal. Penggunaan elemen pembayang akan menurunkan nilai SC (Shading Coefficient) sehingga jumlah perolehan radiasi panas sinar matahari yang menjadi beban pendinginan menjadi lebih kacil. Ditinjau dari kinerjanya, pembayang eksternal memiliki kemampuan lebih baik dalam mengurangi perolehan panas dari radiasi sinar matahari dibandingkan pembayang internal karena menghalau radiasi panas matahari sebelum menerpa bidang kaca. Ragam bentuk dari pembayang eksternal sangatlah banyak, namun semuanya sesungguhnya merupakan pengembangan dari pembayang Overhang, Side fin maupun Eggcrate (kombinasi dari Overhang dan Side fin). Overhang dan Side fin memiliki karakteristik dan kemampuan yang berbeda dalam menghalau radiasi panas sinar matahari. Pembayang Overhang sangat efektif untuk menghalau penyinaran dengan sudut datang yang tinggi. Sementara untuk menghalau sudut penyinaran yang rendah, pembayang Side fin akan memberikan efek pembayangan yang lebih baik, khususnya ketika kedudukan matahari berada di samping dari pembayang Side fin. Kemampuan dari pembayang Overhang dan Side fin dalam menghalau radiasi panas sinar matahari juga sangat dipengaruhi oleh besarnya sudut bayangan yang dibentuk pada bidang kaca. Sudut bayangan yang dibentuk oleh pembayang Overhang disebut sudut bayangan vertikal (VSA), sedangkan oleh
6
Side fin disebut sudut bayangan horisontal (HSA). Semakin kecil sudut bayangan yang dibentuk, maka jumlah radiasi panas yang dapat dihalau akan semakin besar. 1.1.6. Mengapa gedung perkantoran berlantai banyak Luas permukaan bidang selubung bangunan dan rasio luas bidang kaca terhadap bidang dinding (WWR) merupakan dua faktor yang mempengaruhi besarnya perolehan panas eksternal pada suatu bangunan. Semakin luas permukaan bidang selubung bangunan dan semakin besar rasio bidang kaca terhadap bidang dinding, jumlah perolehan panas eksternalnya akan semakin besar pula. Hal ini disebabkan karena semakin luas permukaan selubung bangunan, berarti semakin luas area penerimaan panasnya. Sementara itu, oleh karena bidang kaca merupakan faktor yang lebih dominan dibandingkan bidang dinding dalam hal perolehan panas maka pada luasan dinding selubung yang sama, bangunan dengan nilai WWR lebih besar akan memperoleh jumlah panas eksternal yang lebih besar pula. Pada bangunan gedung berlantai banyak, perolehan panas eksternal akan lebih dominan masuk melalui bidang dinding dibandingkan melalui bidang atap karena gedung berlantai banyak umumnya memiliki luas selubung dinding yang lebih besar dibandingkan luas selubung atapnya. Sementara itu, pada luasan bidang selubung (atap dan dinding)
yang sama, gedung perkantoran akan
memiliki kerentanan lebih besar terhadap perolehan panas eksternal dibandingkan dengan gedung dengan fungsi lainnya, karena gedung perkantoran memiliki kecendrungan lebih besar dalam penggunaan bidang kaca untuk bagian fasad
7
bangunannya. Dengan demikian, pada gedung perkantoran berlantai banyak, desain selubung dinding bangunan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan karena menjadi penyumbang panas signifikan pada beban pendinginan. Itu berarti penggunaan elemen pembayang pada gedung perkantoran berlantai banyak merupakan upaya yang sangat relevan untuk dilakukan, terkait dengan besarnya sumbangan panas melalui selubung dinding bangunan. 1.1.7. Mengapa dimulai di Jakarta Upaya penghematan melalui pengembangan bangunan berefisiensi energi akan sangat tepat dilakukan di kota Jakarta. Hal ini disebabkan karena yang pertama, kota Jakarta merupakan salah satu pengkonsumsi energi listrik terbesar di Indonesia. Menurut data tahun 2008, kota Jakarta mengkonsumsi energi listrik sebesar 29.605 GWH atau sebesar 23% dari total konsumsi listrik Indonesia, dan sebesar 63% dari total konsumsi listrik kota Jakarta diserap oleh sektor bangunan. Sementara alasan yang kedua, sebagai pusat perekonomian di Indonesia, pertumbuhan sektor properti di kota Jakarta baik itu perkantoran, apartemen ataupun perumahan yang sudah barang tentu mengkonsumsi energi listrik yang sangat besar, berlangsung jauh lebih pesat dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Bila kondisi tersebut tidak dibarengi oleh adanya upaya penghematan maka akan berpotensi besar menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap ketersediaan energi listrik nasional. Berangkat dari kedua alasan itulah, upaya penghematan energi pada sektor bangunan di Jakarta melalui perancangan desain selubung yang tanggap tanggap terhadap kondisi iklim memang sangat dibutuhkan.
8
1.1.8. Pernyataan masalah Selubung bangunan memegang peranan penting dalam menekan jumlah konsumsi energi pada sistem penghawaan yang menjadi pengguna energi terbesar dalam bangunan. Hal ini karena desain selubung bangunan akan berpengaruh langsung terhadap jumlah perolehan panas eksternal yang menjadi faktor dominan terhadap beban pendinginan. Berangkat dari kondisi tersebut, Badan Standarisasi Nasional Indonesia telah menentukan kriteria desain selubung bangunan yang dinyatakan dalam Harga Alih Termal Menyeluruh (Overall Thermal Transfer Value, OTTV) sebesar ≤ 35 W/m2. Ketentuan ini berlaku untuk bangunan yang dikondisikan dan dimaksudkan untuk memperoleh desain selubung bangunan yang mampu mengurangi jumlah perolehan panas eksternal sehingga beban pendinginan menjadi lebih kecil. Ada dua faktor signifikan yang berpengaruh terhadap perolehan panas eksternal melalui selubung bangunan yaitu nilai WWR (Window to Wall Ratio) atau rasio bidang kaca terhadap bidang dinding dan nilai SC (Shading Coefficient). Perhatian perlu diarahkan pada kedua faktor tersebut karena sumbangan panas dari radiasi sinar matahari memberikan pengaruh yang lebih dominan terhadap perolehan panas eksternal. Kenaikan nilai WWR dan nilai SC berarti peningkatan kemampuan bidang kaca untuk meneruskan radiasi sinar matahari ke dalam bangunan. Pada kondisi tidak berpembayang, nilai SC sepenuhnya berasal dari SC kaca, dan bisa dinyatakan ke dalam nilai SHGC (Solar Heat Gain Coefficient) dengan faktor pembagi 0,86.
9
Salah satu strategi pasif desain yang dapat dilakukan guna mengurangi jumlah perolehan radiasi panas sinar matahari melalui bidang kaca adalah melalui pengaplikasian elemen pembayang eksternal. Ragam bentuk dari pembayang ekternal sangatlah banyak, namun sesungguhnya bentuk-bentuk tersebut merupakan pengembangan dari dua bentuk dasar yaitu Overhang dan Side fin. Keberadaan elemen pembayang akan menurunkan nilai SC sehingga jumlah perolehan panas eksternanya menjadi lebih kecil. Adapun kemampuan dari elemen pembayang baik itu Overhang ataupun Side fin untuk menurunkan nilai SC sangat dipengaruhi oleh besarnya sudut bayangan yang dibentuk pada bidang kaca. Pada pembayang Overhang, sudut bayangan yang terbentuk disebut VSA (Vertical Shadow Angle), sedangkan pada pembayang Side fin disebut HSA (Horizontal Shadow Angle). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penggunaan elemen pembayang terhadap perolehan panas eksternal (OTTV) pada bangunan perkantoran berlantai banyak di Jakarta. Dalam penelitian ini, elemen pembayang juga akan dikonfigurasikan bersama beberapa varian SHGC dan WWR, dengan maksud untuk memperoleh sejumlah alternatif konfigurasi yang bisa dijadikan acuan dalam merancang desain selubung bangunan yang mampu memenuhi ketentuan nilai OTTV maksimal sebesar ≤ 35 W/m2, baik secara total ataupun parsial (8 orientasi utama). Sudah ada beberapa penelitian yang bertujuan untuk memperoleh alternatif desain selubung bangunan yang mampu memenuhi ketentuan nilai OTTV maksimal antara lain dilakukan oleh Loekita (2005), Setiawan (2006), Kurniawan
10
(2006), Prasetyo (2008), Susanto (2009) dan Saud (2013). Hanya saja dalam penelitian-penelitian tersebut, elemen pembayang belum dijadikan sebagai salah satu variabel yang diperhitungkan, padahal elemen pembayang sendiri berperan dalam menurunkan nilai SC (Shading Coefficient) yang menjadi faktor penting terhadap perolehan panas eksternal melalui bidang kaca. Dengan demikian hal tersebut menjadi salah satu celah (gap) yang akan diisi melalui penelitian ini. Bisa dikatakan penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang diharapkan mampu menyempurnakan kelemahan dari penelitian sebelumnya, dan sekaligus memperkaya informasi mengenai altenatif desain selubung bangunan yang bisa direkomendasikan terkait dengan ketentuan nilai OTTV. Pemilihan gedung berlantai banyak didasarkan pada alasan, jumlah panas eksternal yang masuk melalui bidang dinding selubung bangunan lebih dominan dibandingkan yang masuk melalui bidang atap, sehingga upaya untuk meningkatkan kinerja termal selubung bangunan melalui pengaplikasian elemen pembayang memang relevan untuk dilakukan. Sementara itu, Kota Jakarta dipilih sebagai lokasi penelitian karena pertumbuhan bangunan tinggi di kota Jakarta dipandang masih cukup
pesat dibandingkan kota-kota lainnya di Indonesia,
sehingga hasil penelitian ini nantinya akan memiliki peluang yang lebih besar untuk diaplikasikan.
11
1.1.9. Pertanyaan penelitian Berdasarkan pada uraian di atas, maka pertanyaan penelitian yang dirumuskan yaitu sebagai berikut : 1.
Seberapa besar pengaruh penerapan elemen pembayang pada selubung bangunan terhadap perolehan nilai OTTV ?
2.
Bagaimanakah konfigurasi antara bentuk pembayang, Solar Heat Gain Coefficient, dan Window to Wall Ratio yang mampu memenuhi ketentuan nilai OTTV maksimal sebesar 35 W/m2 ?
1.1.10. Tujuan penelitian Adapun tujuan penelitian berdasarkan pada uraian latar belakang dan rumusan masalah yaitu sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui seberapa besar penurunan nilai OTTV yang diperoleh melalui penerapan elemen pembayang pada selubung bangunan.
2.
Untuk mengetahui kombinasi antara bentuk pembayang, Solar Heat Gain Coefficient, dan Window to Wall Ratio yang mampu memenuhi ketentuan nilai OTTV maksimal sebesar 35 W/m2.
1.2
Manfaat Penelitian
Bagi Pemerintah Di tengah krisis energi yang tengah melanda dunia termasuk Indonesia,
hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung program pemerintah untuk mengurangi penggunaan energi dalam bangunan khususnya pada bangunan berlantai banyak. Bila kita mampu menekan penggunaan energi dalam bangunan
12
maka secara tidak langsung kita akan mengurangi beban pemerintah dalam menyediakan sumber energi untuk masyarakat.
Bagi Masyarakat dan Ilmu Pengetahuan Bagi masyarkat umum khususnya yang berprofesi sebagai arsitek, selain
dapat menambah wawasan dalam bidang keilmuan, hasil penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi acuan dalam proses perancangan sebuah bangunan yang hemat energi dan sekaligus tanggap terhadap keadaan iklim.
1.3
Keaslian Penelitian
Untuk menghindari duplikasi penelitian dan menambah wawasan peneliti mengenai topik penelitian yang akan dilakukan, maka terlebih dahulu dilakukan tinjauan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan selubung bangunan dan penerimaan panas eksternal. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari penerapan elemen pembayang terhadap kinerja termal selubung bangunan (nilai OTTV), dan juga untuk menemukan beberapa alternatif konfigurasi
antara
bentuk
pembayang,
SHGC
dan
WWR
yang
bisa
direkomendasikan untuk memenuhi ketentuan nilai OTTV sebesar ≤ 35 W/m2, baik secara total ataupun parsial. Penelitian ini bisa dikatakan sebagai kelanjutan dari penelitian-penelitian mengenai kinerja termal selubung bangunan sebelumnya yang belum menjadikan elemen pembayang sebagai salah satu variabel yang diperhitungkan terhadap perolehan nilai OTTV, sehingga penelitian ini diharapkan mampu menyempurnakan kelemahan dari penelitian sebelumnya, dan sekaligus bisa menjadi acuan
dalam proses perancangan desain selubung
13
bangunan. Berikut adalah beberapa penelitian mengenai selubung bangunan yang pernah dilakukan sebelumnya yang disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 1. Penelitian – penelitian terkait dengan perolehan panas eksternal melalui selubung bangunan No. 1
2
3
Judul Penelitian
Peneliti
Fokus
Konsekuensi Energi Akibat Pemakaian Bidang Kaca Pada Bangunan Tinggi di Daerah Tropis Lembap
Anik Juniwati Santoso & I Gusti Ngurah Antartayama (2005) Deddy Ardiansyah Baftim (2006)
Melihatn pengaruh bidang kaca terhadap perolehan panas eksternal dan pemanfaatan cahaya alami Melihat pengaruh luas permukaan masif dan transparan yang dipengaruhi bentuk bangunan terhadap perolehan radiasi matahari Mengungkap pengaruh kinerja elemen pembayang dalam menghalau radiasi panas matahari dan pemanfaatan pencahayaan alami Untuk mengetahui pada WWR berapa selubung bangunan akan memperoleh nilai OTTV yang sesuai dengan persyaratan Untuk mengetahui hubungan bentuk bangunan dengan orientas terhadap kinerja termal selubung bangunan Untuk mengetahui hubungan bentuk bangunan dengan rasio antara dinding dan bidang kaca (WWR) terhadap kinerja termal selubung
Pengaruh Rasio Luas Selubung Masif dan Transparan Terhadap Radiasi Matahari Pada Penggunaan Energi Penyejukan Udara Buatan
Pengaruh Elemen Pembayang Terhadap Iluminasi dan Radiasi Mtahari Pada Ruang Dalam
Murwantoro Panghargiyo (2007)
4
Analisis Konservasi Energi Melalui Selubung Bangunan Pada Bangunan Gedung Perkantoran di Jakarta
Sandra Loekita (2005)
5
Analisa Bentuk dan Orientasi Bangunan Ditinjau Dari Kriteria Konservasi Energi Pada Bangunan Bertingkat Tinggi di Indonesia
B. Dicky Aries Setiawan (2006)
6
Analisa Konservasi Energi Ditinjau Dari Bentuk dan Rasio Dinding dan Bidang Kaca Pada Bangunan Bertingkat Tinggi di Indonesia
Deddy Kurniawan (2006)
Objek Penelitian Bangunan Eksisting (berlokasi di Surabaya) simulasi
Acuan yang Digunakan
-
Bangunan Hipotetik (simulasi) -
Model Hipotetik (simulasi) -
Bangunan Eksisting (menggunakan rumus matematis)
SNI-03-6389-2000 SNI-03-6390-2000
Bangunan Hipotetik (menggunakan rumus matematis)
SNI-03-6389-2000 SNI-03-6390-2000
Bangunan Hipotetik (menggunakan rumus matematis)
SNI-03-6389-2000 SNI-03-6390-2000
14
7
Analisa Konservasi Energi Ditinjau Dari Bentuk dan Material Dinding – Kaca Pada Bangunan Bertingkat Tinggi di Indonesia
Rony Prasetyo (2008)
8
Analisa Konservasi Energi Ditinjau Dari Orientasi Delapan Arah Mata Angin Pada Bangunan Kembar Hipotetis Yang Berbentuk Elips dan Jajaran Genjang Dengan Orientasi Sumbu Gedung Utara - Selatan
Wendi Rachman Susanto (2009)
9
Pengaruh Konfigurasi Window to Wall Ratio, Solar Heat Gain Coefficient dan Orientasi Bangunan Terhadap Kinerja Termal Selubung Bangunan
Mohammad Ibnu Saud (2012)
1.4
banguanan Melihat pengaruh variasi material dinding dan kaca terhadap kinerja termal selubung bangunan (OTTV) pada delapan bentuk bangunan Mengetahui pengaruh arah orientasi terhadap perolehan panas eksternal (OTTV) pada bangunan kembar dengan bentuk penampang jajaran genjang dan elips Menguraikan hubungan kombinasi variasi WWR dan SHGC pada 8 orientasi utama bangunan untuk memperoleh sejumlah pilihan kondisi kinerja selubung bangunan
Bangunan Hipotetik (menggunakan rumus matematis)
SNI-03-6389-2000 SNI-03-6390-2000
Bangunan Hipotetik (mengacu pada Handbook on Energy Conservation in Building and Building Service 1979)
SNI-03-6389-2000
Bangunan Hipotetik (Simulasi)
SNI-03-6389-2000
Batasan Penelitian
Dengan adanya batasan-batasan tersebut, diharapkan penelitian ini akan lebih terfokus dan menghasilkan temuan-temuan yang diharapkan sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu, dengan adanya batasan-batasan ini diharapkan dapat sekaligus menyamakan atau menyatukan persepsi antara peneliti dan pembaca mengenai hal-hal yang akan diteliti. Batasan-batasan dalam penelitian ini yaitu: Penelitian dibatasi hanya pada analisa terhadap pengaruh pengaplikasian pembayang overhang, side fin dan eggcrate terhadap penurunan nilai OTTV, pengaruh kemiringan terhadap penurunan OTTV oleh pembayang Overhang dan Side fin, dan pengaruh konfigurasi pembayang overhang dan side fin
15
dengan tujuh varian SHGC terhadap perolehan nilai OTTV pada enam varian WWR. Elemen pembayang yang akan diteliti merupakan pembayang eksternal antara lain yaitu overhang, side fin, slanted overhang, slanted side fin dan eggcrate. Sementar itu, model jendela yang digunakan merupakan model jendela menerus (continuous) ke arah horisontal. Dengan demikian, masingmasing nilai WWR memiliki dimensi lebar yang berbeda, namun dimensi panjang yang sama Bangunan yang digunakan sebagai objek peneltian berlokasi di Jakarta, dengan koordinat lokasi pada garis lintang 6,2040LS dan garis bujur 106,8210BT dengan ketinggian 10 meter di atas permukaan laut (berdasarkan pada data iklim yang digunakan). Data iklim yang digunakan merupakan kompilasi data iklim dalam rentang 30 tahun (1980-2008) yang disebut sebagai data set TMY (Typical Meteorological Year). Penggunaan data iklim yang memuat pola tipikal jangka panjang dinilai akan memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan bila menggunakan data iklim spesifik satu tahun. Berdasarkan data iklim Jakarta yang digunakan, suhu udara rata-rata bulanan berada dalam rentang 280C – 290C dengan kelembaban rata-rata bulanan antara 65% hingga 78%. Rata-rata radiasi sinar matahari perjam berada dalam rentang 443 Wh/m2 – 669 Wh/m2, yang mana rata-rata rendah diperoleh pada bulan Januari, sedangkan yang tertinggi diperoleh pada bulan Agustus. Bangunan merupakan gedung berlantai banyak (11 lantai tipikal) dengan tinggi antar lantai adalah 4,2 m sehingga tinggi total adalah 46,2 m. Penggunaan bangunan berlantai banyak didasarkan pada alasan, luas selubung bangunan
16
harus lebih besar dibandingkan luas atap, sehingga panas yang masuk melalui selubung bangunan akan lebih dominan dibandingkan dari atap. Bangunan berfungsi sebagai perkantoran dan beroperasi mulai pukul 08.00 hingga pukul 18.00. Pemilihan fungsi perkantoran didasarkan pada alasan yaitu: yang pertama, bangunan dengan fungsi kantor rentan terhadap perolehan panas eksternal (umumnya menggunakan bidang kaca yang besar); yang kedua, waktu penggunaan relatif konstan dengan waktu kerja tertentu dan memiliki aktifitas yang homogen (duduk, mengetik, menulis dsb). Dengan demikian lama waktu penggunaan AC akan relatif konstan dan besar beban panas internal seperti dari okupansi, lampu dan peralatan lain lebih mudah untuk diasumsikan. Mengacu pada SNI dan Kepmen PU,beban internal pada bangunan dengan fungsi kantor antara lain yaitu : Okupansi, berdasarkan Keputusan Menteri PU No 441 Tahun 1998 kepadatan okupansi ditetapkan sebesar 0,1 orang/m2. Suhu pendinginan ruang ditetapkan 250C dengan kelembaban relatif 60% sesuai dengan ketentuan SNI 03-6390-2010. Pencahayaan Buatan, set point iluminasi ruangan ditetapkan sebesar 350 lux dengan daya listrik maksimum sebesar 15 W/m2 sesuai dengan ketentuan SNI 03-6197-2010 Peralatan lain, daya listrik maksimum untuk peralatan kantor ditetapkan sebesar 10 W/m2 dengan nilai fraksi radian (radiant fraction) sebesar 0,2. Bangunan menggunakan bentuk dasar kotak dengan ukuran denah 36m x 36m. Lantai tipikal dibagi menjadi lima zona yaitu satu zona core pada tengahtengah bangunan (tidak
berpendingin udara), dan empat zona aktifitas
perkantoran (berpendingin udara) yang terletak sesuai dengan arah mata angin.
17
Zona core memiliki ukuran 14m x 14m yang sesuai dengan ketentuan tidak melebihi 20% dari luas lantai tipikal (Juwana, 2005). Dengan demikian, masing-masing zona aktifitas memiliki kedalaman ruang 11m yang dimaksudkan agar tidak terjadi dominasi perolehan panas eksternal ataupun perolehan panas internal. Pemilihan bentuk dasar kotak didasarkan pada beberapa alasan yaitu: yang pertama, merupakan bentuk dasar yang banyak diaplikasikan pada bangunan tinggi; yang kedua, memiliki empat sisi bangunan yang sama sehingga dari hasil simulasi ketika menggunakan orientasi 00 dan 450 bisa langsung diketahui bagaimana kinerja pembayang pada kedelapan arah orientasi; yang ketiga,
merupakan bentuk dasar dan lebih mudah
dimodifikasi dalam bentuk lain sehingga hasil penelitian nanti berpeluang lebih besar untuk digunakan sebagai pendekatan untuk model-model modifikasi lainnya. Konstruksi dinding eksterior terdiri dari tiga lapisan (layer) yaitu plaster, beton ringan aerasi blok hebel, plaster (dari luar ke dalam). Lapisan plaster memiliki ketebalan 15 mm sedangkan lapisan beton aerasi memiliki ketebalan 100 mm. Kombinasi dari ketiga lapisan material tersebut memperoleh nilai U-Value sebesar 1,231 (W/m2-K)4. Sementara itu, konstruksi kaca yang digunakan dalam penelitian ini hanya terdiri dari satu layer (Glass-single).
18