BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. Laporan terbaru United Nation Development Programme (UNDP) tahun 2013 menyatakan, “Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2012 menduduki peringkat 121 dari 187 negara dengan skor 0,629”. Laporan tersebut juga menyebutkan, di antara negara ASEAN, IPM Indonesia masih di bawah Malaysia yang menempati peringkat 64 dengan skor 0,769; Singapura 18 (0,895); Thailand 103 (0,690); atau Brunei Darussalam yang berada di posisi 30 (0,855). Begitu pula jika dibandingkan IPM negara
berkembang
lainnya,
seperti
China
yang
menduduki peringkat 101 dengan skor 0,699; Meksiko di 61 (0,755); Korea di 12 (0,909); Turki di 90 (0,7222); Kolumbia di 91 (0,719); dan Mesir di 112 (0,662) (Whisnu, 2013: 1). Masih rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia
dibanding
dengan
negara-negara
ASEAN tersebut menunjukkan bahwa tingkat kualitas pendidikan di Indonesia belum juga menuju perbaikan yang signifikan. Berbagai masalah pendidikan berkaitan dengan masih rendahnya mutu pembelajaran yang dilaksanakan, baik mengenai kualitas pengajaran 1
guru, kompetensi guru, output yang dihasilkan, kurikulum yang digunakan, bahkan mengenai kepemimpinan kepala sekolah masih menjadi sorotan utama. Kritik mengenai kualitas pendidikan di Indonesia banyak dikemukakan oleh para pakar pendidikan, peneliti bidang pendidikan, dan pemerhati pendidikan. Tilaar (2006:5-6) mengemukakan bahwa, kemerosotan mutu
pendidikan
nasional
tidak
terletak
kepada kemampuan intelegensi para siswa Indonesia, tetapi disebabkan oleh kesempatan yang tidak merata dalam memperoleh pendidikan yang baik pada anak-anak bangsa ini. Selain itu, kualitas pembinaan para guru, kesempatan belajar yang tersedia di dalam lingkungan sekolah dan masyarakat, serta biaya-biaya yang dibutuhkan di dalam pendidikan berkualitas rupa-rupanya belum secara merata dapat dinikmati oleh anak-anak bangsa. Sebagaimana telah diketahui bahwa kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh kurikulum (standar isi), tetapi juga oleh faktorfaktor lain seperti: penguasaan para siswa terhadap isi yang telah digariskan di dalam kurikulum serta tersedianya sumber-sumber belajar yang memadai. Hasairin (2008: 10) menyatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dari negaranegara di dunia tetangga dan tidak terlepas dari tanggung jawab seluruh komponen bangsa Indonesia. Komponen yang harus bertanggung jawab adalah semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam dunia pendidikan, baik guru, orang tua siswa, Dinas 2
Pendidikan, Departemen Agama, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), maupun DPR yang membawahi bidang pendidikan. Umaedi (1999: 1) juga menyebutkan bahwa mutu pendidikan selama ini kurang berhasil disebab-kan strategi dan pengelolaannya tidak tepat sasaran. Pertama,
strategi
pembangunan
pendidikan
selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih
bersandar kepada asumsi bahwa
bilamana semua input pendidikan (penyediaan bukubuku/materi ajar, alat-alat belajar, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya telah dipenuhi, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah) melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Secara singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitas cakupan permasalahan pendidikan seringkali
3
tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. Dalam upaya peningkatan mutu sumber daya manusia
melalui
peningkatan
mutu
pendidikan,
bangsa Indonesia secara nyata telah melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk perbaikan mutu pendidikan. Kondisi nyata dari usaha perbaikan mutu sumber daya manusia melalui peningkatan mutu pendidikan dapat kita lihat dalam bentuk program wajib belajar 9 tahun (6 tahun pada jenjang Sekolah Dasar dan 3 tahun pada jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Upaya ini lebih jauh dilakukan melalui berbagai cara seperti peningkatan sarana prasarana, perbaikan kualitas tenaga kependidikan,
penyempurnaan
kurikulum,
peningkatan
manajemen, anggaran,
pembaharuan dan
lain-lain.
Namun hingga saat ini mutu pendidikan di Indonesia belum menunjukkan
adanya perkembangan
yang
signifikan. Mutu pendidikan sendiri pada dasarnya dapat dilihat dari aspek proses pendidikan, outcome pendidikan, dan isi atau konten pendidikan (Hamzah, 2006: 14). Ketiganya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Bila proses pendidikan berkaitan dengan bagaimana pendidikan itu berlangsung dengan mengikutsertakan segenap potensi dan sumberdaya yang tersedia maka outcome pendidikan lebih mencerminkan apa yang sudah dicapai oleh proses tersebut. Proses pendidikan menentukan kualitas hasil pendi4
dikan yang akan diperoleh, sedangkan kualitas hasil pendidikan menjadi indikator dan feedback bagi perbaikan mutu pendidikan yang akan dilaksanakan selanjutnya. Standar
mutu
bagi
pelanggan
memberikan
jaminan produk atau jasa yang dihasilkan pemasok secara konsisten sesuai dengan mutu yang telah ditetapkan. Dalam ISO 9001: 2001, ada delapan elemen persyaratan, yaitu fokus pelanggan, kepemimpinan, partisipasi karyawan, pendekatan proses, pendekatan sistem, perbaikan terus-menerus, pendekatan faktual dalam pengambilan keputusan dan hubungan timbal baik yang menguntungkan dengan pemasok. Di sini terlihat, filosofi mendasar standar mutu ISO adalah menekankan pencegahan daripada pengobatan, sedangkan landasan konsepnya adalah Plan, Do, Check, dan Action. Berdasarkan konsepsi mutu dan standar mutu di atas, dalam upaya mewujudkan pendidikan yang bermutu, kebutuhan akan pengelolaan atau manajemen yang memiliki fokus terhadap mutu menjadi suatu keharusan. Manajemen Mutu Terpadu (MMT) merupakan jawaban atas kebutuhan di atas. MMT merupakan proses kontinyu yang melibatkan segenap pegawai melalui organisasi dalam pemecahan masalah secara kreatif untuk meningkatkan kualitas atau mutu atas output dan proses. Ada tiga karakteristik utama dalam MMT yaitu customer focus, commitment to 5
increment improvement dan emphasis on problem solving. Ada lima aspek yang menjadi tolok ukur penerapan MMT dalam pendidikan yaitu: fokus pelanggan internal maupun eksternal, adanya keterlibatan total, standar baku mutu lulusan, komitmen, dan perbaikan yang berkelanjutan. Usaha untuk mengimplementasikan MMT pendidikan pada sekolah-sekolah perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain: kepemimpinan, pendidikan dan pelatihan, budaya (iklim organisasi), fokus pelanggan, metode ilmiah dan alat-alatnya, datadata yang bermakna, serta tim penyelesaian masalah (Syafarudin 2002: 57). Pendidikan dimaksudkan untuk meningkatan mutu Sumber Daya Manusia. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Bab II Pasal 3 dijelaskan bahwa: Tujuan diselenggarakannya pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Ini berari bahwa melalui pendidikan setiap orang akan dapat meningkatkan pengetahuan, penguasan nilainilai dan keterampilan. Mutu menjadi penting dalam rancangan pendidikan sekolah oleh karena output yang dipersiapkan adalah sumberdaya manusia yang 6
memiliki kemampuan memecahkan masalah. Sekolah merupakan satuan pendidikan formal yang berfungsi sebagai
organisasi
jasa
kemanusiaan
(pembinaan
potensi peserta didik) melalui berbagai kegiatan di sekolah sehingga akan meningkat pengetahuan, nilainilai kehidupan, dan keterampilan yang bermanfaat dalam hidupnya. Studi pendahuluan di SD Negeri Peterongan Semarang
berdasarkan
data
yang
diperoleh
dari
sekolah, mengenai latar belakang kondisi pendidikan dan pekerjaan orangtua peserta didik dari tahun pelajaran 2010/2011 sampai dengan tahun pelajaran 2014/2015 dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 1.1 Kondisi Pendidikan dan Pekerjaan Orangtua Peserta Didik Empat Tahun Terakhir Tahun Pelajaran
Kondisi Pendidikan Orangtua Siswa
Kondisi Pekerjaan orang tua siswa KaryaBuruh Dagang wan PNS
Jml
DO
SD
SMP
SLA
PT
2011/2012
36
102
239
112
6
113
246
89
47
495
2012/2013
28
109
273
117
6
109
258
131
35
533
2013/2014
24
98
233
96
5
94
240
98
24
456
2014/2015
18
92
235
148
7
103
242
101
54
500
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas siswa berasal dari masyarakat dengan latar belakang pendidikan, dan ekonomi orangtua tergolong kelas bawah. Menurut Kepala Sekolah hal tersebut mempengaruhi tingkat perhatian terhadap belajar 7
anak kurang intensif sehingga perhatian terhadap belajar anak cenderung rendah. Mereka menyerahkan pendidikan
anak-anak
mereka
kepada
sekolah.
Berbicara mutu pendidikan bagi orangtua adalah jika anak-anak mereka telah lulus dan dapat diterima di sekolah lanjutan sesuai dengan harapan. Tetapi jika tidak dapat diterima di sekolah yang mereka inginkan berarti sekolah tidak bermutu. Kepala sekolah menangkap peluang kepercayaan orangtua sebagai potensi yang harus dimanfaat dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada mereka, agar sekolah tidak kehilangan pelanggan. Upaya
kepala
sekolah
untuk
mewujudkan
harapan pelanggan merupakan bagian dari tugas dan fungsinya sebagaimana disebutkan pada pasal 12 ayat 1 PP 28 Tahun 2009 bahwa: Kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana.
Tugas dan tanggungjawab kepala sekolah sebagaimana kutipan di atas, sebagai penyelenggara pendidikan di sekolah memiliki peran dan fungsi selain sebagai Manajer, seorang kepala sekolah juga sebagai Leader (pemmpin), Educator (Pendidik), Inovator, dan Motivator. Untuk menjalankan peran dan fungsinya diperlukan suatu sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada 8
kepuasan
pelanggan
dengan
melibatkan
seluruh
anggota organisasi atau Manajemen Mutu Terpadu. Melalui Manajemen Mutu Terpadu pada institusi pendidikan diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Manajemen Mutu Terpadu (MMT) di SD Negeri Peterongan Semarang”.
1.2 Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus penelitian ini adalah bagaimana penerapan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) SD Negeri Peterongan Semarang. Fokus penelitian ini dijabarkan dalam rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Penerapan Manajemen Mutu Terpadu (MMT) SD Negeri Peterongan Semarang? 2. Bagaimana Peran Kepala Sekolah dalam Penerapan Manajemen
Mutu
Terpadu
(MMT)
SD
Negeri
Peterongan Semarang? 3. Bagaimana hambatan yang dihadapi pada penerapan
Manajemen
Mutu
Terpadu
SD
Negeri
Peterongan Semarang?
9
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan tentang penerapan Manajemen Mutu Terpadu di SD Negeri Peterongan. Adapun tujuan tersebut dijabarkan menjadi tiga tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, yaitu: 1. Mengetahui Penerapan Manajemen Mutu Terpadu di SD Negeri Peterongan Semarang; 2. Mengetahui peran Kepala Sekolah dalam Penerapan Manajemen Mutu Terpadu di SD Negeri Peterongan Semarang; 3. Mengetahui hambatan yang dihadapi pada penerapan Manajemen Mutu Terpadu di SD Negeri Peterongan Semarang.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam ilmu pengelolaan pendidikan, Manajemen Mutu Terpadu di sekolah dasar. 2. Manfat Praktis a. Bagi Guru SD Negeri Peterongan. Hasil penelitian untuk
memotivasi guru agar terus meningkatkan
kemampuan sebagai agen pembelajaran; 10
b. Bagi Kepala sekolah SD Negeri Peterongan. Memberikan satu pemikiran yang dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan sebuah pengelolaan pendidikan yang lebih berkualitas melalui MMT dalam pendidikan; c. Bagi Komite Sekolah SD Negeri Peterongan. Memberikan motivasi komite sekolah dalam membantu menentukan suatu program yang berkaitan dengan penerapan MMT di sekolah.
11