BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Penelitian Indonesia terkenal dengan keragaman budayanya. Ragam budaya yang terdapat di
Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang tinggi di tiap-tiap penganutnya. Berbagai budaya tersebut lahir dan terbentuk serta diaplikasikan secara berbeda-beda menurut suku masing-masing masyarakat Indonesia. Manusia dan kebudayaan adalah satu hal yang tidak bisa di pisahkan karena di mana manusia itu hidup dan menetap pasti manusia akan hidup sesuai dengan kebudayaan yang ada di daerah yang di tinggalinya. Penting untuk kita saling mempelajari ragam budaya tersebut untuk menghindari kesalahpahaman baik komunikasi, perilaku dan sikap kita di dalam berinteraksi kepada sesama manusia. Seringkali kita menemukan aturan-aturan adat dari berbagai suku yang terkadang tidak masuk akal logika bagi kita yang tidak menjalaninya. Aturan-aturan adat tersebut dijalankan mengikuti kebiasaan leluhur terdahulu. Di dalam aturan tersebut pun terdapat hukuman adat bagi mereka yang tidak menjalankannya. Budaya merupakan sebuah kata yang umum dikenal orang, tetapi arti yang tepat mengenai kata ini sulit untuk dimengerti atau sulit untuk dipahami. Setiap orang memiliki dalam dirinya pola-pola berpikir, berperasaan dan bertindak secara potensial yang dipelajari sepanjang hidupnya. Kebanyakan hal tersebut telah diperolehnya sejak kecil, karena pada saat usia dini seseorang mudah terpengaruh untuk belajar dan berasimilasi. Begitu pola-pola tertentu mengenai berpikir, berperasaan dan bertindak telah terbentuk di dalam pikiran manusia, ia harus belajar melupakannya sebelum dapat belajar sesuatu yang berbeda dan belajar melupakan lebih sulit daripada belajar untuk pertama kalinya. (Budyatna, 2012:34). Manusia merupakan makhluk sosial yang berinteraksi satu sama lain dan setiap manusia juga memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, itu disebabkan mereka memiliki pergaulan sendiri di wilayahnya sehingga manusia di manapun memiliki kebudayaan berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan kebudayaan disebabkan karena perbedaan yang dimiliki oleh faktor lingkungan, faktor alam, manusia itu sendiri dan berbagai faktor lainnya yang menimbulkan keberagaman budaya tersebut. Bila menyertakan budaya sebagai variabel dalam proses abstrak, problemnya menjadi semakin rumit. Ketika seseorang berkomunikasi dengan orang yang memiliki budaya yang sama, proses abstraksi untuk mempresentasikan pengalaman tersebut akan lebih mudah, karena dalam suatu budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak
1
pengalaman berbeda dan konsekuensinya, proses abstraksi juga menyulitkan. (Mulyana, 2007:262). Mengenai tradisi dagang sapi di Minangkabau yaitu Marosok menjelaskan bahwa: “kesampingkan dulu segala pengetahuan tentang pasar-pasar yang umumnya ada di Indonesia ramai serta transaksi antara pedagang dan pembeli dilakukan secara terbuka. Soalnya, aktivitas di Pasar Ternak Koto Baru jauh dari keramaian dan keterbukaan. Sebaliknya, transaksi cukup dilakukan "berduaan" antara penjual dan pembeli dengan menggunakan bahasa isyarat. Tanpa omongan, pedagang-pembeli cukup bersalaman dan memainkan masing-masing jari tangan untuk bertransaksi”. (Liputan6.com, 17 Maret 2008). Dalam cakupan budaya Indonesia, budaya Marosok adalah proses transaksi jual beli sapi dengan menggunakan bahasa isyarat. Transaksi adalah persetujuan jual beli antara dua pihak atau lebih. Marosok berlangsung antara penjual-pembeli seperti orang bersalam-salaman. Tangan yang bersalaman itu selalu ditutupi benda lain, seperti sarung, baju atau topi agar proses transaksinya tidak diketahui oleh orang lain. Setiap jari melambangkan nilai uang. Meskipun secara teoritis komunikasi nonverbal dapat dipisahkan dari komunikasi verbal, dalam kenyataannya kedua jenis komunikasi itu jalin menjalin dalam komunikasi tatap-muka sehari-hari. Sebagian ahli berpendapat, terlalu mengada-ngada membedakan kedua jenis komunikasi ini. Dalam komunikasi ujaran, rangsangan verbal dan rangsangan nonverbal itu hampir selalu berlangsung bersama-sama dalam kombinasi. Kedua jenis rangsangan itu diinterpretasikan bersama-sama oleh penerima pesan. (Mulyana, 2007:347-349). Komunikasi nonverbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbol-simbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi dan gaya berbicara. (Morrisan dan Wardhany, 92:2009). Kode nonverbal memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi Semantik, Sintaktik dan Pragmatik. Semantik, yaitu dimensi yang mengacu pada makna dari suatu tanda. Misalnya, seorang ibu dengan wajah cemberut meletakkan jari telunjuknya didepan bibirnya meminta orang yang sedang ngobrol untuk berhenti bicara karena anak bayinya sedang tidur. Sintaktik, yaitu dimensi yang mengacu pada cara tanda disusun atau diorganisir dengan tanda lainnya didalam sistem. Misalnya, orang yang meletakkan jari
2
telunjuk didepan bibirnya itu tidak menunjukkan wajah cemberut, tetapi malah tersenyum sambil berkata dengan suara lembut, “maaf, ada bayi yang sedang tidur.” Di sini, gerak tubuh, tanda vokal (suara yang lembut), ekspresi wajah dan bahasa menyatu untuk menciptakan makna keseluruhan. Pragmatik, yaitu dimensi yang mengacu pada efek atau perilaku yang ditunjukkan oleh tanda, sebagaimana contoh orang yang meminta orang lain untuk diam, namun yang pertama diterima menunjukkan sikap tidak suka (antipati) orang tersebut, sedangkan yang lainnya diterima sebagai sikap yang ramah atau bersahabat. (Morrisan dan Wardhany, 92-93:2009). Sebagai suatu komponen budaya, ekspresi nonverbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Karena kebanyakan komunikasi nonverbal berlandaskan budaya, apa yang dilambangkannya seringkali merupakan hal yang telah budaya sebarkan kepada anggota-anggotanya. Lambang-lambang nonverbal dan respons-respons yang ditimbulkan lambang-lambang tersebut merupakan bagian dari pengalaman budaya. Apa yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Setiap lambang memiliki makna karena orang mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut. Budaya mempengaruhi dan mengarahkan pengalaman-pengalaman itu dan oleh karenanya budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan kita. Bagaimana kita mengirim, menerima dan merespons lambang-lambang nonverbal tersebut. (Mulyana-Rakhmat, 2009: 32). Budaya Marosok dan komunikasi non verbal adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam proses transaksi dalam budaya Marosok tersebut menggunakan tangan untuk bersalaman antara penjual dan pembeli. Dalam komunikasi non verbal budaya Marosok menggunakan bahasa tubuh, bahasa isyarat dan sentuhan. Di harapkan dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap tahap tahap pengaplikasian dalam proses budaya Marosok tersebut. Penulis tertarik untuk membahas salah satu budaya dari suku Minang ini karena sampai saat ini masih jarang di ketahui oleh masyarakat Indonesia yang bukan bersuku Minang. Penulis sebelumnya juga pernah melihat proses transaksi tersebut di kota Pariaman dan ingin menjadikan hal ini sebagai bahan penelitian. Marosok ini berkaitan erat dengan proses komunikasi karena pada pengaplikasiannya, Marosok menggunakan komunikasi nonverbal pada saat transaksi jual beli. Oleh karena itu penulis memilih judul „Komunikasi Nonverbal Dalam Pekan Ternak Budaya “Marosok” Di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat‟.
3
1.2
Fokus Penelitian Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah “bagaimana proses komunikasi
nonverbal yang terjadi pada masyarakat Minag di daerah Pariaman?”. Adapun permasalahan yang ingin di angkat oleh peneliti adalah: 1. Bagaimana proses komunikasi nonverbal kegiatan Marosok pada masyarakat Minang di daerah Payakumbuh? 1.3
Tujuan Penelitian Pada penelitian ini penulis memiliki beberapa tujuan yang ingin di capai,
diantaranya: 1. Untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi nonverbal kegiatan Marosok yang terjadi pada masyarakat Minang di daerah Payakumbuh. 1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan untuk penelitian di bidang komunikasi non verbal dan komunikasi antar budaya khususnya yang berkaitan dengan kebudayaan Minang di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran mengenai kebudayaan suku Minang di lingkungan Universitas Telkom. 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi masyarakat Minang, baik yang tinggal di wilayah desa maupun kota besar. Terutama bagi masyarakat Minang generasi muda agar dapat mempelajari serta mengaplikasikan adat dan kebudayaan yang berlaku di dalam budayanya sendiri. 1.5
Tahapan Penelitian Dalam penelitian ini, penulis melalui beberapa tahap di dalam proses penelitian.
Tahap-tahap tersebut adalah: 1. Tahap Perencanaan a. Menjelaskan Latar belakang penelitian. b. Menelaah dokumen yang menyangkut tinjauan integratif, tinjauan teori, tinjauan metodologi penelitian dan tinjauan tematik.
4
c. Memilih
informan
menggambarkan
yang
mengalami
fenomena
yang
langsung
dialami,
situasi,
bersedia
mampu
terlibatdan
diwawancarai serta memberikan persetujuan untuk mempublikasikan hasil penelitian. 2. Tahap Pengumpulan Data Pada
tahap
pengumpulan
data,
peneiliti
mengamati
kegiatan
dan
mewawancarai informan terkait dengan topik penelitian. Selain itu juga melakukan observasi partisipatif yaitu observasi dengan mengikuti kegiatan sehari-hari orang atau lembaga yang sedang sedang diamati. Jenis ini menunujukkan bahwa dalam observasi ini peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan oleh narasumber namun belum sepenuhnya lengkap. Selain itu ada kegiatan dokumentasi selama kegiatan penelitian. 3. Tahap Analisis Data Pada tahap ini, peneliti melakukan analisis serta menyusun teknis analisis dari data yang didapatkan selama penelitian. 4. Tahap Membuat Simpulan, Dampak dan Manfaat Penelitian a. Membuat ringkasan dan ikhtisiar dari keseluruhan penelitian. b. Menegaskan hasil penelitian dengan mengemukakan perbedaan dari hasil penelitian yang pernah dilkaukan sebelumnya. c. Menghubungkan hasil penelitian dengan kegunaan penelitian. d. Menghubungkan hasil penelitian dengan profesi peneliti. Dimana dalam penelitian yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. e. Menghubungkan hasil penelitian dengan makna-makna dan relevansi sosial. Yakni berkaitan dengan realitas yang ada dan sesuai pengalaman individu. f.
Menutup penjelasan dengan menawarkan tujuan dan arah penelitian selanjutnya.
1.6
Lokasi dan Waktu Penelitian
1.6.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di kota Payakumbuh, Provinsi Sumatera Barat.
5
1.6.2 Waktu Penenlitian Penulis akan melakukan penelitian ini selama 6 bulan, terhitung mulai Juli 2014 sampai dengan Januari 2015. Untuk rincian dari waktu penelitian dapat dilihat dari tabel 1.1 berikut ini:
Tabel 1.1 Waktu Penelitian Kegiatan
Bulan Ke 1
3
2
Pencarian Informasi wawancara Narasumber Pengolahan Data Penyusunan Laporan Permohonan Sidang Skripsi Sidang Skripsi
Sumber : Olahan Penulis
6
4
5
6
7