BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam pemerintahan Indonesia saat ini, korupsi (fraud) sudah menjadi hal yang sering terjadi. Hal ini dimungkinkan karena longgarnya pengawasan dari pihak yang lebih berwenang, atau dengan kata lain pendelegasian wewenang di dalam tubuh aparatur pemerintahan sudah sangat tidak efektif. Fraud dapat dilakukan oleh pihak yang berada di dalam maupun di luar lingkungan pemerintah. Namun pada umumnya dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan pemerintah, karena biasanya orang-orang tersebut memahami mengenai pengendalian internal (Internal control) yang ada di dalam lingkungannya, sehingga bukanlah hal yang sulit untuk melakukan sebuah kecurangan. Internal control bisa dikatakan sebagai kunci permasalahan dimana bisa terjadinya kecurangan, disamping orang tersebut mempunyai kesempatan dan mempunyai dorongan untuk melakukan kecurangan tersebut. Melihat keadaan ekonomi di Indonesia yang terkena krisis pada tahun 1998 dan terungkapnya kasus kasus korupsi, maka dapat dikatakan bahwa di negara kita praktek korupsi bukanlah hal yang tidak mungkin tidak terjadi. Dari informasi yang ada, terbukti bahwa praktik korupsi di Indonesia sudah melampaui batas dan termasuk tertinggi pada peringkat korupsi negara-negara di Asia, (misalnya di Kompas, Korupsi di Indonesia Paling Parah di Asia , Kamis 2 Maret 2000), bahkan di dunia, (Media Akuntansi, Juli 1999;16). Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2009 berada pada angka 2,8 (Transparency International Indonesia, 2009) meningkat 0,2 poin dari tahun 2008, menunjukan bahwa jumlah korupsi di Indonesia malah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Keuangan daerah merupakan sektor yang paling rawan dikorupsi dengan APBD sebagai objek korupsinya dan modus yang terjadi adalah modus penyalahgunaan anggaran (Indonesia Corruption Watch, 2010).
Melihat korupsi adalah salah satu bentuk kecurangan yang dinilai sebagai fenomena sosiologi dan dampaknya pada sendi-sendi sosial dan perekonomian secara makro, maka sangat dibutuhkan aspirasi dari masyarakat untuk dapat memberantas korupsi dan bentuk kecurangan lain yang pada prakteknya dengan tidak keluar dari jalur yang seharusnya yaitu dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta kepentingan masyarakat. Agar tindak pidana korupsi tidak meluas kemana-mana dan dapat sangat merugikan negara, Indonesia membentuk Komisi Pemberantas Korupsi atau sering disebut KPK. KPK tersebut merupakan badan khusus untuk memberantas korupsi. Dengan berdirinya KPK, merupakan bukti bahwa pemerintah sangat serius untuk memberantas korupsi. Meskipun kinerja KPK belum maksimal, tetapi setidaknya sedikit demi sedikit dapat diatasi. Hal ini dinilai wajar karena terdapat banyak kendala pada proses pengindikasian adanya suatu kejahatan. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dan pengadilan harus membuktikan kecurigaan mereka kepada seseorang tentang apakah dia melakukan korupsi atau tidak. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Peranan Metode Pemeriksaan Dokumen dalam Audit Investigatif untuk Mengungkap Adanya Kasus Korupsi
(Studi kasus pada POLDA
JABAR)
1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan permasalahan di atas, permasalahan yang diangkat adalah apakah seorang auditor investigatif dapat membantu pengungkapan kecurangan dalam kegiatan penggunaan dana bantuan tanggap darurat dan bencana alam pada APBN tahun anggaran 2004 di pemerintah kabupaten X.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana metode pemeriksaan dokumen dapat mempengaruhi audit investigatif untuk mengungkap kecurangan
(fraud) pada kegiatan penggunaan dana bantuan tanggap darurat dan bencana alam pada APBN tahun anggaran 2004 di pemerintah kabupaten X.
1.4 Kegunaan Penelitian 1. Bagi Penulis, Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam hal auditing, khususnya audit investigatif untuk membandingkan dengan teori yang pernah diperoleh dibangku kuliah, serta sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Ekonomi Program Studi Akuntansi S1 di Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. 2. Bagi masyarakat akademik umumnya, dan mahasiswa khususnya yang tertarik untuk meneruskan penelitian ini. 3. Bagi POLDA (Kepolisian Daerah) Jawa Barat, dengan dilakukannya penelitian ini dapat meningkatkan kerja sama dengan auditor investigatif dalam rangka pemberantasan korupsi.
1.5 Kerangka Pemikiran Saat ini tindak kejahatan seperti bukan hal yang tabu lagi bagi pelaku kejahatan, terutama kejahatan berjenis kerah putih (White collar crime). Salah satu kejahatan kerah putih yang paling banyak terjadi adalah kejahatan dibidang ekonomi itu sendiri lebih dikenal dengan sebutan kecurangan (fraud). Fraud termasuk dalam kategori penipuan, seperti yang dijelaskan oleh G. Jack Bologna, Robert J. Lindquist dan Joseph T. Welss (1993,3) dinyatakan bahwa Fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver , yang terjemahannya berbunyi, kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan kepada si penipu. Sedangkan menurut Theodorus M. Tuanakotta (2006;96), Fraud menyangkut kesalahan disengaja yang dapat diklasifikasi kedalam tiga tipe : 1. Fraudulent financial reporting, yang meliputi manipulasi, pemalsuan, atau alteration catatan akuntansi atau dokumen pendukung dari laporan keuangan yang disusun, tidak menyajikan atau sengaja menghilangkan
kejadian, transaksi, dan informasi penting dari laporan keuangan dan sengaja menerapkan prinsip akuntansi yang salah. 2. Misappropriation of asset, yang meliputi penggelapan penerimaan kas, pencurian aktiva dan hal-hal yang menyebabkan suatu entitas membayar untuk barang atau jasa yang diterimanya. 3. Corruption, yang meliputi Conflict of interest, bribery, illegal gratuities dan economic extortion. Korupsi, yang pengertiannya tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, secara umum dapat dibagi menjadi tujuh kelompok, yakni : 1. Kerugian keuangan negara. 2. Suap menyuap. 3. Penggelapan dalam jabatan. 4. Pemerasan. 5. Perbuatan curang. 6. Benturan kepentingan dalam pengadaan. 7. Gratifikasi atau pemberian hadiah. Beberapa Pengertian Korupsi berdasarkan United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006: a. Penyuapan, janji, tawaran, atau pemberian kepada pejabat publik/swasta, permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik/swasta/internasional, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya untuk pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain yang ditujukan agar pejabat itu bertindak atau berhenti bertindak dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka untuk memperoleh keuntungan dari tindakan tersebut. b. Penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat publik/swasta/internasional. c. Memperkaya diri sendiri dengan tidak sah. Menurut the Institute of Internal Auditor di Amerika, kecurangan mencakup ketidakberesan dan tindakan ilegal yang berartikan penipuan
yang disengaja. Ia dapat dilakukan untuk manfaat dan atau kerugian organisasi atau orang di luar organisasi. Berdasarkan pengertian diatas kecurangan mengarah kepada empat unsur penting, yaitu : 1. Ketidakberesan dan tindakan ilegal. 2. Penipuan yang disengaja. 3. Dilakukan untuk manfaat atau kerugian organisasi. 4. Dilakukan orang dalam atau luar organisasi. Biasanya kecurangan tidak bisa dilakukan oleh seseorang melainkan dilakukan secara bersama-sama (kolusi), agar kecurangan tersebut bisa ditutupi. Kata kolusi berarti persekongkolan (collusion) atau mufakat jahat untuk melakukan suatu kejahatan yang menimbulkan kerugian pada pihak tertentu. Sebagian besar kecurangan ditemukan dengan tidak sengaja atau kebetulan, melalui informan atau selama audit. Karena sifatnya yang tersembunyi, maka cukup susah untuk medeteksi apakah terjadi suatu kecurangan. Bisa juga kecurangan terungkap dengan timbulnya pengaduan atau adanya Whistleblower. Secara umum pengertian Whistleblower adalah orang-orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik, maladministrasi maupun korupsi. Whistle blowing adalah tindakan seorang pekerja yang memutuskan untuk melapor kepada media, kekuasaan internal atau eksternal tentang hal-hal ilegal dan tidak etis yang terjadi di lingkungan kerja. Dalam prakteknya dibedakan antara whistleblower dengan para pelapor dan informan. Namun perbedaan utamanya adalah para whistleblower tidak akan memberikan kesaksiannya langsung di muka persidangan (peradilan), jadi jika ia memberikan kesaksiannya ke muka persidangan, maka statusnya kemudian menjadi saksi. Para whistleblower ini sangat rentan akan intimidasi dan ancaman karena status hukumnya (di Indonesia) tidak diakui. Dalam kasus pidana korupsi, mereka biasanya disebut sebagai para pelapor (dikategorikan saja secara sederhana berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) ).
Ketiadaan peraturan yang mengatur perlindungan terhadap saksi ini secara lengkap dan jelas menyebabkan kehadiaran UU perlindungan saksi. Dengan adanya UU khusus yang mengatur tentang perlindungan saksi diharapkan dapat memberikan titik terang bagi keamanan dan hak asasi orang yang menjadi saksi. Selain itu UU ini dapat menjadi payung bagi saksi, sehingga permasalahanpermasalahan tentang perlindungan saksi
baik dalam tindak pidana umum
maupun tindak pidana khusus dapat terakomodir oleh UU ini. Tindak lanjut yang harus dilakukan dengan timbulnya pengaduan adalah dengan melaksanakan audit investigatif. Audit investigatif adalah salah satu aktivitas dalam rangka implementasi upaya strategi memerangi korupsi dengan pendekatan investigatif. Ditinjau dari profesi auditor atau bidang auditing, audit investigatif merupakan perkembangan atau spesialisasi dari auditing dengan tujuan tertentu (spesial audit). Dengan maraknya masalah kecurangan (fraud), yang di Indonesia kita kenal dengan istilah korupsi, berkembanglah audit yang berkaitan dengan kecurangan tersebut menjadi suatu spesialisasi dengan istilah audit investigatif,
forensic
audit, fraud audit. Namun demikian hingga saat ini belum ada batasan yang jelas tentang ruang lingkup istilah-istilah tersebut. Untuk keperluan praktis, audit investigatif didefinisikan menurut G. Jack Bologna dan Robert J. Lindquist (1993:3)
Investigatife Auditing involves
reviewing financial documentation for a specific purpose, which could relate to litigation support and insurance claims, as well as criminal matters , yang terjemahannya berbunyi, audit investigatif mencakup review dokumentasi keuangan untuk tujuan tertentu yang mungkin saja berhubungan dengan masalah pidana. Dari uraian di muka, ketertarikan penulis akan audit investigatif dan keinginan untuk menganalisis lebih lanjut tentang manfaat metode pemeriksaan dokumen dalam audit investigatif untuk mengungkap adanya kecurangan (fraud) pada penggunaan dana bantuan tanggap darurat dan bencana alam dalam APBN tahun anggaran 2004 di pemerintah kabupaten X, mengantarkan penulis sampai
pada hipotesis bahwa
Metode Pemeriksaan Dokumen dalam Audit
Investigatif Bermanfaat untuk Mengungkap Adanya Korupsi. Dalam audit investigatif, auditor bekerja atas nama penyidik. Prosedur audit yang digunakan di samping standar auditing, juga menggunakan wewenang penyidik yang sangat luas. Ruang lingkup audit lebih luas sesuai kewenangan penyidik. Laporan audit yang sering dilakukan berupa keterangan ahli dan di samping itu auditor juga di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai saksi ahli dan selanjutnya menjadi saksi ahli di sidang pengadilan. Garis besar proses pemeriksaan investigatif secara keseluruhan dari awal sampai dengan akhir dapat dipilah-pilah sebagai berikut : 1. Penelaahan informasi awal. Pada proses ini pemeriksa melakukan pengumpulan informasi tambahan, penyusunan fakta dan proses kejadian, penetapan dan penghitungan tentatif kerugian keuangan, penetapan tentatif penyimpangan, dan penyusunan hipotesa awal. 2. Perencanaan pemeriksaan investigatif. Pada tahapan perencanaan dilakukan pengujian hipotesa awal, identifikasi bukti-bukti, menentukan tempat/sumber bukti, analisa hubungan bukti dengan pihak terkait, dan penyusunan program pemeriksaan investigatif. 3. Pelaksanaan. Pada tahapan pelaksanaan dilakukan pengumpulan bukti-bukti, pengujian fisik, konfirmasi, observasi, analisa dan pengujian dokumen, interview, penyempurnaan hipotesa dan review kertas kerja. 4. Pelaporan. Fase terakhir, dengan isi laporan hasil pemeriksaan Investigatif kurang lebih memuat unsur-unsur melawan hukum, fakta dan proses kejadian, dampak kerugian keuangan akibat penyimpangan/tindakan melawan hukum, sebab-sebab terjadinya tindakan melawan hukum, pihak-pihak yang terkait dalam penyimpangan/tindakan melawan hukum yang terjadi dan
bentuk
kerja
sama
pihak-pihak
yang
terkait
dalam
penyimpangan/tindakan melawan hukum. Khusus untuk Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) proses penyusunan laporan ini terdiri dari beberapa kegiatan sampai disetujui oleh BPK untuk disampaikan kepada KPK atau kepada Kejaksaan Agung, yang fasenya sebagai berikut : 1. Penyusunan konsep awal laporan. 2. Presentasi hasil pemeriksaan investigatif di BPK. 3. Melengkapi bukti-bukti terakhir. 4. Finalisasi laporan. 5. Penggandaan laporan. 5. Tindak lanjut Pada tahapan tindak lanjut ini, proses sudah diserahkan dari tim audit kepada pimpinan organisasi dan secara formal selanjutnya diserahkan kepada penegak hukum. Penyampaian laporan hasil audit investigatif kepada pengguna laporan diharapkan sudah memasuki pada tahap penyidikan. Berkaitan dengan kesaksian dalam proses lanjutan dalam peradilan, tim audit investigatif dapat ditunjuk oleh organisasi untuk memberikan keterangan ahli jika diperlukan.
1.5.1 Review penelitian terdahulu Penelitian terdahulu dilakukan oleh Arly Sapardiansyah mahasiswa Universitas Widyatama pada tahun 2009 dengan objek penelitian pada kecurangan (fraud) dalam institusi pendidikan, dengan judul Metode Pemeriksaan Dokumen dalam Audit Investigatif Bermanfaat untuk Mengungkap Adanya Kecurangan (Fraud) dalam Institusi Pendidikan. Di dalam penelitian sebelumnya di simpulkan bahwa audit investigatif ikut berperan dalam mengungkap kecurangan (fraud). Perbedaan dengan penelitian yang akan dilaksanakan oleh penulis yaitu dari objek yang diteliti, dimana objek yang diteliti dalam penelitian sebelumnya adalah penelitian pada kecurangan (fraud) dana bantuan departemen pendidikan nasional pada institusi pendidikan X, sedangkan objek yang diteliti oleh penulis adalah penelitian pada kecurangan
(fraud) dalam dana bantuan tanggap darurat dan bencana alam pada APBN tahun anggaran 2004 di pemerintah kabupaten X, dengan judul : Peranan Metode Pemeriksaan Dokumen dalam Audit Investigatif untuk Mengungkap Adanaya Kasus Korupsi
1.6 Metodologi Penelitian Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan metode eksploratif, yaitu penelitian dengan tujuan menemukan masalah-masalah baru. Menurut Husein Umar (2003:62), penelitian eksploratif merupakan penelitian yang sifatnya hanya melakukan eksplorasi, yaitu berusaha mencari ide-ide atau hubunganhubungan yang baru sehingga dapat dikatakan penelitian ini bertitik tolak dari variabel bukan dari fakta. Adapun cara pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah : 1. Penelitian kepustakaan (Library research), dengan cara mempelajari bukubuku yang mempunyai hubungan dengan masalah yang diteliti. 2. Penelitian lapangan (Field research), dengan cara melakukan penelitian langsung ke kantor untuk memperoleh data.
1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di POLDA JABAR Jl. Soekarno-Hatta Nomor 748 Bandung pada bulan November 2009 sampai dengan selesai.