BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Sistem fotografi adalah satu sistem penginderaan jauh yang paling tua.
Hingga dasawarsa 1950-an, penginderaan jauh berarti penginderaan jauh sistem fotografi (Sutanto, 1987). Saat ini telah muncul berbagai sistem penginderaan jauh yang lain, namun eksistensi dari foto udara tidak tergantikan. Hal ini dikarenakan karakteristik yang khas dari sistem ini. Foto udara memiliki keunggulan terkait resolusi spasial yang sangat halus yang tidak dapat disamai oleh citra penginderaan jauh lainya. Selain itu, foto udara memiliki keunggulan dalam membentuk kenampakan stereoskopis. Hingga saat ini sistem fotografi masih digunakan dan terus dikembangkan untuk berbagai studi pemetaan mulai dari studi kekotaan, vegetasi, lingkungan, hingga perencanaan detail. Foto udara konvensional menggunakan sensor berupa film peka cahaya yang dipadukan dengan kamera metrik sebagai sistem perekamanya. Kamera metrik digunakan karena keunggulanya dalam stabilitas dimensional yang tinggi (Sutanto, 1987). Format foto udara yang populer digunakan adalah format 23 cm x 23 cm, atau sering disebut dengan foto format standar. Berdasarkan aspek ketergunaanya, spesifikasi foto yang dihasilkan dapat beragam berdasarkan jenis film, warna, dan luas liputan, sesuai dengan kebutuhan studi yang akan dilakukan. Misal untuk studi kesehatan tumbuhan, foto udara yang digunakan biasanya adalah foto udara inframerah berwarna. Kendati memiliki berbagai keunggulan dan keleluasaan pemanfaatan, foto udara konvensional memiliki kekurangan mendasar terkait dengan biaya yang harus dikeluarkan. Harga setiap satu kilometer persegi yang harus diliput dalam sekali pemotretan mencapai Rp 300.000.000 ,- / Km2 (www.petacitra.com/index.php). Prosedur teknis yang sulit dan mahal, mulai dari wahana (pesawat) yang digunakan, sistem kamera, hingga spesifikasi foto udara yang diinginkan berpengaruh terhadap besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Seiring dengan perjalananya, foto udara dikembangkan dengan
1
spesifikasi teknis yang terus dimodifikasi untuk meminimalisir kekurangan dari sistem dan memperbaiki kualitas data yang dihasilkan. Foto Udara Format Kecil (FUFK) muncul pada abad ke-19 dan menawarkan pemecahan permasalahan mahalnya sistem foto udara konvensional (Warner et. al, 1997). Sistem kamera yang biasa digunakan dalam FUFK adalah kamera handheld single lens reflect (SLR) yang biasa digunakan dalam fotografi estetik dengan format film 36 mm x 24 mm. Foto udara format kecil menjadi sistem penginderaan jauh paling ekonomis dan cocok untuk pemetaan skala besar (detail). Perbedaan mendasar dari sistem ini bila dibandingkan dengan sistem konvensional adalah format dari foto tersebut. Sebagai perbandingan, dengan kamera format kecil yang ringan, wahana yang digunakan untuk pemotretan dapat disesuaikan, misal menggunakan pesawat ultra ringan, trike, pesawat model, balon udara, bahkan layang-layang. Berbeda dengan sistem foto format kecil, dalam foto format standar, wahana yang digunakan biasanya adalah pesawat yang diterbangkan pada ketinggian lebih dari 1 km. Hal ini membawa konsekuensi pada citra yang dihasilkan dimana gangguan atmosfer akan semakin besar seiring meningkatnya ketinggian terbang wahana (jarak permotretan besar). Berbeda dengan sistem standar, dengan menggunakan foto udara format kecil, ketinggian terbang dapat wahana disesuaikan untuk meminimalisir efek dari gangguan atmosfer. Sekalipun demikian, sistem ini memiliki kekurangan dimensional dan geometris dari citra yang dihasilkan. Ketidakstabilan dimensional dan geometris dikarenakan kamera tidak didesain untuk kepentingan fotogrametrik ataupun metrik, namun lebih ke arah estetik (Warner et al, 1997). Dalam kamera SLR standar fotografi estetik, kecilnya diameter lensa menyebabkan besarnya nilai kecembungan lensa yang berimplikasi pada besarnya distorsi geometrik citra. Hal ini tentunya menjadi salah satu pertimbangan pembedaan penggunaan FUFK dengan foto udara konvensional format besar. Perkembangan teknologi yang pesat telah mengantarkan sistem foto udara format kecil ke era digital. Kamera mengalami satu evolusi penting dimana sensor film yang digunakan sebelumnya, digantikan oleh sensor digital berupa matriks
2
(area array) Charge Coupled Devices (CCDs). Sistem ini selanjutnya disebut dengan sistem Foto Udara Digital Format Kecil (FUDFK). Kodak dalam Jensen (2004) menjelaskan, CCD merupakan kumpulan dari ribuan photosites peka cahaya yang mengubah berbagai variasi gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh objek ke dalam sinyal elektrik. Sistem ini memungkinkan pengolahan, penyimpanan, serta analisis secara digital. Pengembangan teknologi kamera digital selanjutnya diarahkan pada sensor yang digunakan, khusunya untuk menyamai kapasitas film dengan memperluas julat spektral yang dapat diindera. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk memperluas bidang kajian yang dapat dilakukan dengan data yang dihasilkan. Tidaklah berlebihan saat FUDFK disebut sebagai sistem penginderaan jauh adopsi dari sistem non-fotografi multispektral pada tingkat paling sederhana. Seiring dengan kemajuan di bidang fotografi udara digital format kecil, trend penggunaan pesawat model dengan pengendali jarak jauh sebagai wahana alternatif
memperlihatkan
peningkatan.
Pesawat
aeromodelling
dengan
pengendali jarak jauh dipilih, sekali lagi dengan alasan investasi yang relatif murah. Berbagi jenis wahana “mini” pun digunakan mulai dari zipplein, pesawat fixed wing, helikopter model, hingga multikopter. Setiap wahana ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun secara umum, pesawat model memiliki keterbatasan ketinggian terbang. Satu hal yang menjadi keuntungan utama dari penggunaan pesawat model adalah wahana ini dikendalikan dari jarak jauh dan tidak berawak. Hal tentu saja menjadikan biaya pemotretan dapat ditekan hingga kurang dari Rp 30.000.0000,00 untuk investasi jangka panjang (Prabawa et. al., 2009). Namun perlu diperhatikan, wahana ini memiliki ketidakstabilan yang besar bila harus dibandingakan dengan wahana pesawat sesungguhnya. Hal ini dikarenakan sederhananya perangkat navigasi dan pengendalian jarak jauh yang digunakan. Semisal, balon udara, salah satu model aerostatis yang dikendalikan secara maunal memungkinkan penerbangan dari lokasi yang sempit dan memiliki kemudahan dalam pergerakan arah terbang, namun sangat rentan terhadap gangguan udara seperti angin dan terbulensi.
3
Pengawinan antara sistem FUDFK dengan aeromodelling saat ini telah mencapai tahapan dimana pengujian data hasil menjadi satu kajian tersendiri. Berbagai perangkat penunjang ditambahkan untuk memperbaiki sistem, semisal gyrostabilizer, GPS, dan first person camera. Pemanfaatan sistem Foto Udara Digital Format Kecil dengan menggunakan wahana balon udara dapat menjadi alternatif sumber data penginderaan jauh yang murah, namun dengan catatan teknis yang panjang. Fenomena objek vegetasi merupakan salah satu kajian utama penginderaan jauh. Hal ini dikarenakan karakteristik dari vegetasi yang khas mencerminkan hubungan keruangan yang ada dalam biosfer. Oleh karena itu, kajian vegetasi juga memiliki nilai penting dalam pengujian data penginderaan jauh. Pembedaan karakteristik vegetasi dengan menggunakan citra penginderaan jauh adalah kajian paling sederhana yang dapat dijadikan sebagai dasar pengujian efektifitas dari satu sistem penginderaan jauh, termasuk foto udara. Salah satu kajian yang memungkinkan untuk dilakukan adalah pemetaan kondisi tanaman akibat serangan hama, misal serangan hama tikus sawah (Rattus argentiventer) pada tanaman padi (Oryza sativa). Setiap jenis vegetasi dalam kondisi tertentu, termasuk tanaman budidaya pertanian, memiliki ciri-ciri yang dapat dibedakan antara satu dengan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung dengan citra penginderaan jauh. Pembedaan kondisi vegetasi ditekankan pada pencarian pola distribusi, struktur, dan tipe spasial dari vegetasi itu sendiri (Lo, 1996). Lo lebih lanjut menjelaskan penggunaan foto udara inframerah dapat mencerminkan perbedaan-perbedaan ciri tanaman pertanian yang akan diamati, bahkan pada berbagai kondisi iklim yang beragam. Hal ini dikarenakan vegetasi memiliki karakteristik spektral yang khas, khususnya pada band inframerah (dekat). Goodman dalam Lo (1959) selajutnya menjelaskan kunci interpretasi utama yang digunakan dalam pembedaan tanaman pertanian, yaitu rona, tekstur, dan asosiasi. Kenyataanya, kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah (Rattus argentiventer) membentuk pola kerusakan yang khas akibat perubahan kondisi fisiologis terkait dengan struktur batang dan kanopi padi, yang tercermin dalam perubahan tegakan (Sudarmadji, 2005). Perbedaan kondisi akibat serangan ini
4
tentunya dapat direkam dan dianalisis dengan menggunakan Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil. Foto udara digital format kecil memiliki spesifikasi teknis yang berbeda dengan foto udara format standar, sekalipun secara konsep memiliki kesamaan. Sebagian besar kamera yang digunakan dalam standar fotografi estetik adalah kamera pankromatik. Sekalipun demikian, julat spektal yang dapat diindera sensor (CCD) masih memungkinkan untuk diperlebar hingga inframerah dekat sehingga memungkinkan untuk studi pemetaan kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus. Kekurangan FUDFK terkait kestabilan dimensional dan geometrik, karena sistem wahana dan kamera yang sederhana memberikan efek yang mungkin akan sangat terasa dalam pemetaan tematik skala besar (detail). Artinya, penggunaan Foto Udara Digital Inframerah Format Kecil mengindikasikan pengujian, sejauh mana sistem ini dapat digunakan untuk studi vegetasi, dalam hal ini untuk kondisi kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus. Penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan gambaran kelebihan dan kekurangan dari sistem Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil yang diterbangkan dengan wahana pesawat model aerostatis, berupa balon udara untuk pembedaan kondisi tanaman padi. Harapanya, pengembangan sistem ini untuk pemetaan tematik dapat diarahkan untuk menjawab kekurangan-kekurangan dari sistem fotografi udara secara umum, serta dapat menjadi salah satu alternatif data penginderaan jauh yang tidak hanya murah dan mudah, namun berkualitas.
1.2
Rumusan Masalah Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil memiliki potensi
untuk digunakan sebagai sumber data pemetaan kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus sawah (Rattus argentiventer). Asumsinya, dengan menggunakan kamera digital SLR inframerah, perbedaan pola pantulan gelombang inframerah dan karakteristik visual tanaman padi akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan tikus dapat diidentifikasi.
5
Foto udara diambil dengan menggunakan wahana balon udara yang dikendalikan dari jarak jauh mengindikasikan adanya perbedaan spesifikasi terkait kualitas hasil bila dibandingkan dengan foto udara standar. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian sejauh mana data yang dihasilkan dengan sistem ini dapat digunakan, khususnya untuk kajian kerusakan tanaman padi. Berdasarkan asumsi tersebut, diambil rumusan masalah sebagai berikut: 1. Sistem Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil dengan spesifikasi teknis yang “minimalis” membutuhkan pengujian terkait kemampuanya untuk digunakan sebagai sumber data pemetaan kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah (Rattus argentiventer). 2. Kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus akan menghasilkan perubahan kondisi fisiologi tumbuhan dan perubahan pantulan spektral yang dapat diidentifikasi secara visual dengan menggunakan Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil.
1.3
Pertanyaan Penelitian Fokus penelitian ini dititikberatkan pada pengkajian kemampuan sistem dan
metode dalam mengukur kemampuan sistem tersebut. Berdasarkan rumusan masalah yang tersebut, diambil pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Sejauh mana Sistem Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil dapat digunakan untuk pemetaan kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus sawah (Rattus argentiventer)? 2. Bagaimana pengenalan/identifikasi kerusakan tanaman padi secara visual dengan menggunakan Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil?
6
1.4
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menguji kemampuan Sistem Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil untuk pemetaan kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus sawah. 2. Membangun kunci interpretasi visual dalam identifikasi kondisi tanaman padi, dalam hal ini kerusakan yang ditimbulkan oleh hama tikus dengan menggunakan Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil.
1.5
Kegunaan Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan utama berupa pengujian sistem
untuk satu studi vegetasi, sehingga harapanya hasil dari penelitian dapat berdaya guna, antara lain: 1. Sebagai saran pengembangan Sistem Foto Udara Digital Inframerah Berwarna Format Kecil dengan wahana balon udara sebagai salah satu data altenatif penginderaan jauh untuk kajian kajian vegetasi, khususnya tanaman padi. 2. Sebagai dasar pijakan dalam identifikasi kondisi tanaman padi, khususnya kerusakan tanaman akibat serangan hama tikus sawah.
1.6
Tinjauan Pustaka
1.6.1 Penginderaan Jauh Sistem Fotografi Sistem penginderaan jauh fotografi adalah sistem penginderaan jauh yang merekam objek dengan menggunakan kamera sebagai sensor, film sebagai detektor dan menggunakan tenaga elektromagnetik yang berupa spektrum tampak dan perluasanya (Sutanto, 1994). Sutanto lebih dalam menjelaskan tentang unsurunsur yang ada dalam sistem fotografi sama dengan sistem penginderaan jauh yang lain. Unsur-unsur itu diantaranya:
7
1. Tenaga Sistem fotografi termasuk dalam sistem pasif dimana tenaga yang digunakan dalam sistem ini berasal dari matahari. Biasanya foto udara memiliki spesifikasi panjang gelombang yang dapat diindera mulai dari sebagian kecil spektrum ultraviolet hingga sebagian kecil inframerah dekat. Pemilihan julat yang dimungkinkan untuk diindera disesuaikan dengan studi yang akan dilakukan. 2. Objek dan Target Fenomena di permukaan bumi dapat diindera dengan fotografi biasanya merupakan objek tampak (Sutanto, 1987). Hal ini terkait dengan panjang gelombang yang dapat digunakan dalam sistem ini. 3. Sensor Sensor merupakan unsur yang membedakan sistem fotografi dengan sistem penginderaan jauh yang lain. Sensor yang digunakan dalam fotografi konvensional adalah film. Sensor fotografi
pada perkembanganya
digantikan oleh Charge Couple Devices (CCDs) yang artinya sistem fotografi telah masuk pada era digital (Warner et al,1997). 4. Output Output dari sistem fotografi udara konvensional berupa cira foto udara hard copy. Purwadhi (2001) menjelaskan citra hasil foto udara secara teoritis merupakan citra continue-continue dimana citra dihasilkan dari perekaman pada satu bidang secara langsung dan memiliki nilai yang tidak terhingga pada ronanya. Citra analog hanya dapat dianalisis secara visual. Perubahan sensor dari film ke sensor digital merubah sifat analsis data menjadi discrete (Levin, 1999). Citra yang dihasilkan dapat berupa foto hitam putih ataupun berwarna (warna asli atupun semu). Berdasakan spesifikasi teknisnya, Sutanto (1994) mengklasifikasikan foto udara menjadi 7 jenis, yaitu: 1. arah sumbu kamera 2. Panjang fokus dan sudut liputan
8
3. Spektrum elektromagnetik yang dapat diindera 4. Jenis kamera 5. Skala 6. Warna Berdasarkan arah sumbu kamera, foto udara dibagi menjadi foto udara vertikal dan condong. Warner et al. (1997) memperjelas batasan foto uadara vertikal adalah foto udara yang diambil dengan kemiringan sumbu 0° (tegak lurus) hingga maksimal 5°. Foto condong masih dapat dibagi lagi menjadi dua, foto agak condong dengan
nilai kecondongan lebih dari 5° dan foto sangat
condong dimana cakrawala terlihat dalam foto tersebut.
Gambar 1.1. Jenis foto udara berdasarkan sudut pengambilan (sumber: Warner, 1996)
Foto vertikal secara teknis memiliki nilai ketergunaan yang lebih tinggi daripada foto condong. Hal ini dikarenakan keunggulanya yang dijelaskan Paine dalam Sutanto (1983), yaitu: 1. Keseragaman skala dalam setiap tempat di dalam foto. 2. Penetuan arah lebih dapat dimungkinkan dengan mudah. 3. Dalam batas tertentu foto udara vertikal dapat digunakan sebagai pengganti peta.
9
4. Kemudahan untuk diinterpretasi dan karena keseragaman skala, semua objek tidak terlindung oleh objek lainya. Keunggulan ini menjadikan foto vertical dapat digunakan untuk berbagai studi pemetaan, baik tematik maupun metrik (fotorgametri). Pasangan foto udara vertikal dan agak condong yang diambil dalam satu jalur terbang yang berurutan, dapat menghasilkan pandangan stereoskopis. Pandangan stereoskopis menjadi salah satu keunggulan utama dari foto udara dimana nilai ketinggian dapat dihitung dan digunakan untuk membuat model tiga dimensi. Panjang fokus kamera dan sudut liputan kamera merupakan nilai yang berbanding secara terbalik dan bersifat linear. Semakin besar nilai panjang fokus kamera, makin kecil sudut liputan. Hal ini nantinya akan berpengaruh terhadap besar liputan foto udara pada jarak yang konstan. Panie (1983) menjelaskan, dalam foto udara kovensional, dikenal 4 jenis foto berdasarkan lensa, panjang fokus, dan luas liputan yang dimungkinkan seperti yang tersaji pada tabel 1.1.
Gambar 1.2. Hubungan antara panjang fokus dengan luas liputan citra (sumber: Warner,1996)
10
Tabel 1.1. Klasifikasi Foto Berdasarkan Panjang Fokus Lensa
Jenis kamera
Panjang fokus lensa (mm)
Sudut liputan (o)
Narrow angle
304, 8
60
Normal angle
209, 5
60-75
Wide
152, 4
75-100
Superwide
88, 9
>100
Sumber: Paine (1983)
Foto udara lazimnya memiliki kemampuan merekam objek pada panjang gelombang tamapak (0,4 mikron - 0, 7 mikron). Hal ini sangat dipengaruhi oleh kepekaan dari sensor yang digunakan, yaitu film. Namun untuk studi-studi tertentu, kepekaan ini ditambahkan hingga perluasan dari panjang gelombang tampak. Film
UV memiliki kepekaan pada gelombang UV, film inframerah
memiliki kepekaan pada gelombang inframerah dekat, film ortokromatik pada gelombang biru, dan sebagainya. Selain itu dikenal pula istilah foto multispektral. Istilah penginderaan jauh multipsektral menurut Rehder (1985) diartikan sebagai penginderaan jauh dengan menggunakan lebih dari satu spektrum elektomagnetik yang peginderaannya dilakukan dari tempat yang sama serta ketinggian yang sama. Selajutnya Sutanto (1994) menekankan foto multispektral dibuat dengan beberapa panjang gelombang namun terletak pada satu spektrum. Sebagai contoh, foto udara inframerah warna semu merupakan salah satu produk dari foto udara multispektral yang biasa digunakan untuk studi vegetasi dan penggunaan lahan. Skala foto udara secara sederhana diartikan sebagai perbandingan antara jarak yang di dalam foto dengan jarak di lapangan. Secara matematis, hubungan skala dengan ketiggian terbang dapat dihitung. Terdapat standar foto skala foto udara untuk kajian pemetaan. Skala foto disesuaikan dengan besar resolusi dan skala ini ditetapkan untuk kamera metrik dengan ketelitian mendekati 90%. Standar ketelitian skala foto untuk pemetaan mengikuti standar yang digunakan di Amerika Serikat.
11
Tabel 1.2. Standar Skala Foto Udara dan Resolusi spasial Skala foto
Resolusi (garis/mm)
1:1.000.000
250
1: 500.000
125
1: 250.000
63
1: 100.000
25
1: 50.000
12,5
1: 25.000
6,3 Sumber: Paine (1983)
Berdasarkan jenis kamera yang digunakan, Estes (1985) membatasi kamera menjadi kamera kerangka pemetaan, kamera kerangka untuk keperluan tinjau, kamera panoramik, kamera strip, dan kamera multispektral. Warner et al. (1996) membagi jenis kamera berdasarkan format yang digunakan. Format diartikan sebagai besar ukuran dari film yang digunakan. Film fomat besar adalah film dengan dimensi lebar 70 mm atau lebih besar dan tidak menggunakan perbesaran dalam proses reproduksinya. Format standar yang digunakan dalam survei udara adalah film dengan dimensi 23 cm x 23 cm. Foto format kecil berarti film yang digunakan berdimensi kurang dari 70 mm. Dimensi film yang lazim digunakan dalam foto udara format kecil adalah 35 cm x 24 cm.
1.6.2 Foto Udara Format Kecil (FUFK) Spesifikasi foto udara format standar (besar) menuntut pembiyaan yang sangat besar. Inovasi penggunaaan kamera format kecil muncul untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan. Penggunaan foto udara format kecil berkembang pesat dan menjadi trend baru dalam dunia fotografi udara. Adapun kamera yang digunakan adalah kamera format kecil standar fotografi estetik. Kamera yang lazim digunakan adalah kamera Single Lens Reflect (SLR) dengan format 35 mm. Jenis kamera ini memiliki spesifikasi teknis yang berbeda dengan kamera standar. Demikian pula dengan lensa yang digunakan. Unit Fotografi UGM (2007) mengkelaskan jenis lensa berdasarkan panjang fokus sebagai berikut:
12
Tabel 1.3. Klasifikasi Lensa pada Kamera SLR
Jenis lensa
Panjang fokus
Moderate Wide angle
24-35 mm
Extreme wide angle
14-20 mm
Normal (fix)
50 mm
Zoom
Bervariasi mulai dari 16-300 mm
tele
700-1200 mm Sumber: UFO (2007)
Perbedaan kelas kelas panjang fokus dan format ini berimplikasi pada luas liputan yang dapat dijangkau oleh kamera. Secara teoritis, hanya beberapa lensa saja yang dapat digunakan dalam pemotretan udara ideal. Lensa normal merupakan lensa yang paling cocok untuk pemotretan udara karena prespektif yang dihasilkan menyerupai pandangan manusia. Artinya, distrosi geometri yang terjadi bernilai minimal karena tidak ada perubahan panjang fokus dan besar sudut liputan tetap (fix). Berbeda dengan lensa normal, lensa fish eye merupakan lensa yang memiliki sudut liputan yang sangat besar hingga mencapai 180º. Namun, tentu saja hal ini berimplikasi pada distrosi geometri yang maksimal. Graham dan Read (1981) dalam Warner et al. (1996) menjelaskan perubahan trend penggunaan foto udara format kecil yang menggeser foto udara format standar didasari oleh : 1. Pengembangan penggunaan foto udara format kecil yang ditujukan untuk intensifikasi peta, khususnya pada daerah yang sempit dan skala yang besar (detail). 2. Pesatnya perkembangan Global Potitioning System (GPS) untuk menunjang akurasi survei udara dan navigasi. (Heimes et al., 1992) Selanjutnya Warner et al. (1996), menjelaskan keuntungan yang didapat dengan menggunakan data sistem foto udara format kecil yang tidak mungkin didapatkan pada foto udara format standar, diantaranya: 1. Jenis film yang tersedia dalam format kecil sangat beragam sehingga memungkinkan untuk pengembangan studi.
13
2. Sebagian besar film mudah untuk didapatkan dan tidak memerlukan biaya yang besar dapat mendapatkanya. 3. Mudah dan murahnya pemrosesan kamera, sebagai contoh, pemrosesan film format 35 mm dapat dilakukan pada lab mini dalam waktu kurang dari setengah jam saja. 4. Beberapa kamera format kecil apat dirakit menjadi satu sistem untuk menunjang foto multispektral (Graham, 1980) 5. Kemudahan untuk kalibrasi foto udara yang dihasilkan, bahkan oleh pengguna sendiri. 6. Memungkinkan kecepatan bukaan lensa hingga 1/8000 dan kamera yang digunakan biasanya memiliki panel pengaturan bukaan (aperture) dan kecepatan bukaan. 7. Kemudahan perakitan lensa yang dipakai. Variasi lensa yang akan digunakan sangat banyak beredar di pasaran dan mudah untuk dimodifikasi dan disesuaikan dengan sistem kamera, tentunya dengan kualitas yang baik. 8. Kebanyakan kamera dapat dirakit dengan magasin film yang besar dan dapat dioperasikan secara penuh dengan panel kontrol elektronik. 9. Untuk tujuan fotogrametri dan pengukuran, banyak tersedia stasiun untuk pemrosesan tahapa akhir dalam skala kecil (desktop). Keunggulan-keunggulan tersebut tentu saja berimplikasi pada biaya yang harus dikeluarkan. Sistem yang harus dibangun relatif lebih sederhana dan murah. Investasi yang harus dikeluarkan utuk pemotretan udara format kecil rata-rata sebesar $ 14000, termasuk di dalamnya biaya sewa wahana, pemrosesan, serta kalibarsi data. Bandingkan dengan besar biaya yang dikeluarkan untuk format besar yang berkisar antara $ 100,000 hingga $ 300,000 (Warner et al.,1996). Wahana yang beragam dan mudah untuk dibuat sendiri telah menambah keekonomisan dari sistem FUFK. Wahana yang dapat digunakan diantaranya balon udara, baik balon gas maupun udara panas (Marzloff dan Ries,1997 dalam Aber,2002), pesawat model, microlight aircraft, pesawat mesin tunggal, dan
14
pesawat mesin ganda (Quilter dan Anderson, 2000 dalam Aber et al.,2002,Warner et al. 1996). Bahkan, Aber, James S, Aber Susan W, Pavri Firooza ,(2002) melakukan pemetaan tematik menggunakan wahana Layang-layang pada ketinggian terbang 150 meter dari permukaan tanah. Secara umum, sistem FUFK lebih banyak digunakan untuk pemetaan tematik dengan skala besar (Bauer et al., 1997, Light, 2001, dalam Aber, 2002). 1.6.3 Foto Udara Digital Format Kecil Era fotografi digital dimulai tahun 80-an. Untuk pertama kali diperkenalkan sistem sesor pengganti film emulsi yang digunakan dalam kamera konvensional. Kamera Mavica buatan SONY lahir dengan sensor berupa pita magnetik (UFO, 2007). Selanjuntya muncul kamera hybrid yang dibuat oleh Kodak dengan sensor Carge Coupled Device (CCD). Sejak saat itu, perkembangan fotografi digital menjadi sangat pesat, khusunya untuk fotografi estetik. CCD merupakan sekumpulan sensor berupa photossites yang peka cahaya dan berkerja serentak dalam satu bidang dimensi atau sering desebut dengan area array . Jensen (2005), menjelaskan prinsip kerja CCD adalah merubah energi elektromagnetik (cahaya) yang mengenai sensor menjadi arus listrik yang selanjutnya dikodekan lagi menjadi citra digital. Hal ini mirip dengan prinsip dari panel surya (Mulyanto, 2007). Perkembanganya, citra yang dihasilkan dapat ditampilkan langsung dalam layar sebagai citra digital ataupun dicetak. Mulyanto (2007),
selajutnya
menjelaskan
keuntungan
menggunakan
foto
dgital
dibandingkan dengan sistem analog. Khususnya untuk fotografi estetik, keuntungan yang didapat antara lain: 1. Ramah lingkungan karena tidak menggunakan cairan kimia yang berbahaya 2. Percetakan foto yang mudah 3. Preview citra secar instan Penggunaan kamera Digital Single Lens Reflect (DSLR) untuk pemotretan udara memerlukan catatan khusus. Spesifikasi kamera standar estetik terkadang
15
memiliki ketidaksejalanan dengan kebutuhan survei udara. Warner et al. (1996) menjelaskan keuntungan spesifik menggunakan kamera digital dengan sensor digital untuk survei udara adalah pada dimungkinkanya analisis digital. Prinsipprinsip yang harus diperhatikan dalam foto udara digital antara lain: 1. Resolusi spasial ditentukan oleh banyaknya piksel dalam sensor dan dipengaruhi oleh ketinggian terbang. 2. Kemugkinan gangguan digital yang tidak ada dalam kamera analog seperti noise piksel dan kegagalan scanning. 3. Resolusi radiometrik dari citra yang dihasilkan ditentukan oleh skala keabuan yang bersifat discrete. 4. Format data dan ekstensi file digital memungkinkan adanya kompresi data berarti mereduksi kualitasnya. 5. Spesifikasi sensor yang digunakan, memiliki kemampuan mengindera panjang gelombang tertentu. 6. Aspek geometri citra akan spesifik karena penggunaan lensa non metrik.
1.6.4 Sensor Kamera Digital Sensor utama fotografi digital adalah Charge Coupled Device (CCD) dan Complementary Metal Oxides Semiconductor (CMOS) yang memiliki prisip kerja yang sama (Mulyanto, 2007). Berdasakan dimensinya, sensor kamera digital dapat dibagi menjadi full frame camera dan half frame camera (Mulyanto, 2007). Kamera fullframe adalah kamera dengan besar sensor sama dengan format film format kecil (24 x 36 mm). Sensor kamera half frame memiliki dimensi lebar separuh dari kamera full frame, yaitu 22 x 14 mm. Perbedaan ini memberikan efek yang berbeda pada citra secara geometris. Citra full frame akan memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan half frame pada panjang fokus dan jarak objek yang sama. Distorsi geometris pada kamera full frame akan lebih besar akibat cakupan yang luas. Sensor yang digunakan menangkap setiap gelombang secara monokrom dengan memecah spektrum yang luas ke dalam tiga layer hijau,
16
biru, dan merah. Ketiga layer ini kemudian dikalkulasi dengan algoritma khusus untuk mendapatkan warna sesuai dengan warna sebenarnya. Prinsip ini disebut dengan komposit warna dan sistem ini berlaku pada kamera single chip technology (Jensen, 2005). Jensen (2005) menjelaskan teknologi yang digunakan dalam sensor digital dikembangkan untuk menerima spektrum tampak dan menghasilkan citra pankromatik. Oleh karena itu, dilakukan penapisan pada panjang gelombang lain yang dapat memberikan efek negatif seperti haze yang mengurangi kualitas visual citra. Hal ini berkaitan dengan kemampuan sensor dalam menyerap julat panjang gelombang yang besar. Sandidge (2009) memberikan argumen yang berbeda dengan Jensen (2005) dimana kemampuan sensor dalam menyerap panjang gelombang tidak terbatas pada panjang gelombang tampak saja.
Gambar 1.3. Respon sensor terhadap gelombang elektromagnetik (sumber: Sadidge, 2009)
Lebih lanjut Sadidge (2009) menjelaskan pada dasarnya sesor kamera digital, baik CCD maupun CMOS memiliki kisaran serapan rata-rata panjang gelombang mulai 300 nm-1000 nm atau dengan kata lain, mulai dari gelombang inframerah UV hingga perluasan inframerah dekat. Citra pankromatik (warna asli) didapatkan dengan membatasi serapan pada gelombang tampak saja. Teknologi yang
17
digunakan untuk menapis panjang gelombang yang diinginkan adalah filter. Filter yang biasa digunakan dimaksudkan menghilangkan efek gelombang UV dan panjang gelombang diatas panjang gelombang tampak. Filter dalam sistem kamera dibagi menjadi dua , yaitu filter optik yang dipasang pada lensa dan filter hot mirror yang dipasang didepan sensor. Melepas filter akan memperbesar cakupan spektrum gelombang elektromagnetik yang dapat diindera. Wrotniak (2008), mengemukakan penggunaan filter hot mirror yang dipasang didepan sensor dikhususkan untuk menapis efek gelombang inframerah dekat. Untuk tujuan fotografi inframerah, kemampuan sensor harus diperluas hingga panjang gelombang inframerah yang artinya menghilangkan filter hot mirror.
Gambar 1. 4. Efek penggunaan sensor digital inframerah (sumber: Wrotniak,2005)
Seberapa jauh gelombang inframerah yang dapat diindera dapat diatur dengan memodifikasi kepekaan sensor itu sendiri. Pada sensor fotografi estetik, sensor ang lazim digunakan merupakan sensor dengan teknologi single chip yang memecah setiap panjang gelombang ke dalam tiga layer, yaitu layer merah, hijau dan biru. Saat filter inframerah dilepas, maka efek dari panjang gelombang inframerah akan tercampur dalam setiap layer dan saat digabungkan, warna objek yang dihasilkan akan berbeda dengan kenampakan asli. Perbedaan
rona dan
warna yang dihasilkan memberikan gambaran respon spektral objek terhadap setiap panjang gelombang, termasuk gelombang inframerah.
18
1.6.5 Wahana Pesawat Model dengan Pengendali Jarak Jauh Pemotretan
udara
format
kecil
pada
umumnya
dilakukan
dengan
menggunakan wahana berupa pesawat yang kecil, misal microlite (Graham,1996). Namun, beberapa ahli telah memulai mengembangkan emotretan udara dengan menggunakan wahana yang lebih kecil dan sederhana, mulai dari pesawat model hingga yang lebih ekstrim seperti layang-layang. Pesawat model berkembang dengan baik dan memiliki kans yang besar untuk pemotretan udara format kecil, tidak terkecuali di Indonesia. Indonesia mulai memperkenalkan pesawat model secara resmi pada tahun 1962 dengan didirikanya Federasi Aeromodeling Seluruh Indonesia (FASI). Selanjutnya, muncul berbgai organisasi yang menaungi pemanfaatan pesawat model, utamanya untuk alasan olaraga (Azwar, 2006) Menurut Prabawa et. al. (2009), Pesawat model merupakan pesawat tiruan dari pesawat udara yang diskalakan dengan ukuran lebih kecil. Ukuran yang kecil memungkinkan pengoperasian pesawat ini dilakukan tanpa awak. Bentuk dan desain pesawat model dapat sangat beragam, namun secara umum dapat dibagi menjadi desain yang menyerupai dengan bentuk aslinya ataupun desain konseptual. Azwar (2006) menjelaskan klasifikasi pesawat model berdasarkan beberapa kesamaan fisik dan konsep yang disadur dari Federation Aeronatique Internationale (FAI). Secara umum pesawat dibedakan menjadi pesawat aerodinamis dan aerostatis. Pesawat aerodinamis adalah pesawat yang memiliki berat lebih besar dari udara (heavier than air). Sedangkan pesawat aerostatis merupaka pesawat yang lebih ringan dari udara (lighter than air). Pesawat aerodinamis terdiri dari pesawat bermotor dan tidak bermotor. Lebih lanjut Azwar menjelaskan, pesawat bermotor dapat dibagi menjadi pesawat sayap tetap (fixed wing) dan pesawat sayap berputar (rotary wing) atau yang lazim dikenal sebagai dengan helicopter. Pesawat jenis ini menggunakan tenaga yang diperoleh dari motor atau daya dorong untuk menggerakkan pesawat ke arah depan, sedangkan untuk daya angkat dapat menggunakan motor atau tekanan udara panas (thermal). Berbeda dengan pesawat aerodinamis, pesawat aerostatis lebih populer dikenal sebagai pesawat yang menggunakan udara sebagi daya angkat, misal balon udara.
19
Pesawat model menurut FAI dalam Azwar (2006), dibagi menjadi menjadi lima kelas, diataranya kelas F1, F2, F3, F4 dan F5. Setiap kelas memiliki sepsifikasi desain dan teknis yang berbeda satu sama lain terkait dengan nilai fungsional dari setiap kelas. 1. Kelas F1(Free Flight) Pesawat model kelas free flight sesuai namanya merupakan kelas pesawat model yang sama sekali tidak menggunakan mekanisme mesin atau eletrik untuk penerbanganya. Penerbang (operator) tidak menggunakan perangkat apapun untuk mengendalikan laju dan pergerakan dari pesawat. Pesawat ini mengandalkan ketepatan desain aerodinamis untuk mempertahankanya pada kondisi terbang bebas dalam waktu yang lama. Salah satu model yang terkenal dari kelas ini adalah On Hand Lauch Glider (OHLG). Pesawat model ini diterbangkan dengan melemparakanya ke udara. Presisi desain aerodinamis dan kontrol penerbang pada saat peluncuran menjadi kunci keberhasilan penerbangan model ini. Pesawat model F1 jarang digunakan untuk kebutuhan fotografi udara karena tidak memiliki sistem kendali. 2. Kelas F2 (Control Line) Pesawat model control line memiliki kesamaan dalam prisip peluncuran dimana pesawat tidak menggunakan kekuatan dorongan dari mesin. Namun model ini dikendalikan dengan sepasang tali atau kawat khusus oleh penerbang. Panjang tali kendali (control line) maksimal mencapai 21 m. tali terebut dipegang oleh operator untuk mengendalikan pesawat secara berputar (sentrifugal). Operator menjadi poros dari perputaran pesawat model. Kelas pesawat model ini sama sekali tidak pernah digunakan untuk kepentingan pemotretan udara. Hal ini dikarenakan ketangkasan penerbang yang menjadi titik berat dari pengendalian pesawat dan sistem penerbangan membatasi jarak penerbangan. 3. Kelas F3 (Radio Control) Radio-control secara terminology diartikan sebagai sebuah alat yang digunkan untuk mengendalikan suatu alat dengan menggunakan
20
gelombang radio sebagai sinyal pengirim kendali (Prabawa et. al., 2009). Kelas F3 memanfaatkan radio remote control untuk mengendalikan pesawat dari jarak yang jauh. Sama sekali tidak ada kontak langsung dari operator terhadap model kecuali lewat remote control tersebut. Model radio control dapat berupa pesawat fixed wing maupun rotary wing. Desain yang biasa digunakan pun beragam mulai dari pesawat hingga helicopter, bahkan hingga desain konseptual seperti tetracopter hingga hexacopter. Pesawat biasa menggunakan motor untuk tanaga pendorong penerbanganya. Menurut Azwar (2006), ada tiga komponen utama dalam model sistem kendali pesawat model ini, yaitu transmitter, receiver, dan servo. Gelombang radio yang dihasilakn oleh radio control dipancarakan melalui transmitter. Selanjutnya sinyal diterima oleh receiver yang ada pada pesawat yang selanjutnya diolah sebagai perintah kendali oleh servo. Pesawat model ini sangat populer digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari olahraga, bidang perfilman, hingga militer. kendali yang relatif simpel menjadikan kelas model ini menjadi salah satu pilihan yang cocok untuk pemotretan udara. 4. Kelas F4 (Scale Model) Satu-satunya pesawat model yang memiliki kekhususan sebagai replika adalah kelas scale model. Model ini lebih lazim untuk hobby dan bukan untuk diterbangkan. Detail desain menyerupai desain asli menjadi point of interest dari model ini. Model ini biasa dibuat dengan menggunakan bahan dasar kayu dan Styrofoam. Biasanya model ini diproduksi masal sebagai pajangan, khusunya untuk memanjakan hobiis kedirgantaraan. Karena tidak memiliki tujuan untuk penerbangan, maka spesifikasi dari model hanya dibatasi pada kesan estetik dan tidak memiliki kemampuan fungisonal seperti yang dimiliki model pada kelas lain. 5. Kelas F5 (Electric Model) Kelas model F5 merupakan model dengan teknologi paling tinggi. Sesuai dengan namanya, pesawat model ini menggunakan mesin eletrik dengan menggunakan baterai sebagai catu dayanya. Baterai yang biasa digunakan
21
merupakan baterai litium sel kering (dry cell) dengan kisaran tegangan 42 V. karena menggunakan mesin elektrik, performa pesawat ini dianggap lebih baik dari pesawat dengan mesin berbahan bakar cair. Hal ini dikarenakan perputaran mesin dan torsi yang dihasilkan motor tidak tergantung oleh komposisi bahan bakar. Selain itu, tidak ada reduksi tenaga oleh sistem mekanik yang biasa ditemui pada pesawat dengan mesin berbahan bakar minyak. Desain model ini sangat beragam, baik fixed wing ataupun rotary wing. Pesawat kalas ini relatif mudah dibuat dengan peralatan sederhana dan mudah di dapat di pasar bebas. Namun, karena dibuat dengan bahan yang ringan, model ini memiliki payload yang sangat kecil. Model ini terkadang digunakan untuk pemotretan udara dan videografi udara dengan menggunakan kamera mini (spycam).
1.6.6 Pola Pantulan Spektral Objek Vegetasi Vegetasi adalah salah satu objek yang unik dalam penginderaan jauh. Hal ini dikarenakan pola pantulan spektral yang khas dan secara umum, keberaan vegetasi mencirikan objek-objek lain di permukaan bumi. Vegetasi memilik nilai pantulan yang kuat pada band hijau dan inframerah dekat .
Gambar 1. 5. Pola pantulan objek (sumber: Wrotniak, 2005)
Loveless (1991) menjelaskan pengaruh karakteristik vegetasi terhadap pola pantulan yang dihasilkan. Pada dasarnya vegetasi memiliki kemampuan untuk melakuan fotosistesis. proses ini melibatkan pigmen-pigmen daun berupa klorofil
22
a, b, xantofil, dan karoten. Untuk melangsungkan foto sintesis, keempat pigmen ini meyerap secara intensif panjang gelombang biru hingga merah dengan sedikit perluasnaya (mulai dari 3,9 mikron hingga 7,6 mikron). Namun gelombang hijau tidak digunakan dan dipantulkan sehingga secara umum vegetasi memiliki warna hijau. Hal ini juga terjadi pada panjang gelombang inframerah. Inframerah dipantulkan kuat oleh jaringan spongi daun dan sama sekali tidak digunakan dalam proses fotositesis. Perbedaan karakter vegetasi padi (Oryza sativa) dapat didasarkan pada logika-logika tersebut. Saat terjadi kerusakan pada jaringan akibat faktor eksternal, misal serangan hama, maka akan terjadi perubahan kemapuan dalam proses metabolisme. Hal-hal yang dapat digunakan untuk pencirian kesehatan tanaman padi diantaranya lengas daun dan struktur vegetasi padi.
Saat lengas daun berkurang karena faktor eksternal, maka pantulan
gelombang biru akan berkurang seiring berkurangnya suplai air (Loveless, 1991). Pantulan gelombang merah akan semakin besar dan menjadikan padi berwarna kekuningan. Serangan hama akan menghasilkan kerusakan pada jaringan yang tercermin pada struktur dan anatomi tumbuhan, sehingga pantulan total akan berubah. 1.6.7 Tanaman Padi (Oryza sativa) Padi (Oryza sativa) adalah vegetasi berbiji belah satu (monokotil) dan termasuk dalam famili Poaceae dan genus Oryzae (Anonim, 2011). Oryza sativa merupakan salah satu species padi dengan persebaran yang luas di Asia tenggara, termasuk di Indonesia. Secara morfologis, tanaman ini merupakan tanaman tipe rumput-rumputan dengan akar serabut. Tanaman padi pada dasarnya merupakan tanaman tropis dan dapat tumbuh pada ketinggian 0 mdpal hingga 3000 mdpal. Daerah yang memiliki penggenangan berkala merupakan habitat terbaik bagi tumbuhan padi. Sekalipun termasuk dalam tanaman tropis, persebaran tanaman padi di seluruh dunia tergolong sangat luas, Tercatat, padi dapat tumbuh mulai 35º LS hingga 50º LU. Total lahan pertanian padi mencapai 10 % dari lahan pertanian tanaman pangan di seluruh dunia atau sekitar 144 juta hektar. Laporan The Office of Gene Technology Regulator (2006) menyebutkan, keseluruhan luas lahan
23
pertanaian padi di seluruh dunia terdiri dari tiga satuan habitat padi, yaitu padi dataran tinggi (10% dari luas total), padi dataran rendah (75 %) dan padi perairan (15%). Padi memiliki daya tumbuh dan adaptasi yang baik terhadap berbagai jenis tanah. Berdasrakan viariasi ekologi yang ada, tanaman ini dapat dibagi menjadi padi Indica, Japonica, dan Javanica dimana padi Javanica hanya hidup di Indonesia. Tanaman padi di Indonesia dapat tumbuh dengan baik karena kondisi iklim yang mendukung. Suhu optimum yang mendukung pertumbuhan padi adalah 23° Celcius atau lebih. Indonesia memiliki fluktuasi sihu yang kecil di setiap tahunya dan hal ini menjadikan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik (Suprayono dan Soetoyo dalam Anonim, 1993). Selain itu curah hujan rata-rata untuk setiap tahun di Indonesia relatif cocok dengan syarat tumbuh tanaman padi, yaitu berkisar antara 1500-2000 mm ( Sugeng, 2002). Tidak heran jika tanaman padi menjadi salah satu komoditas tanaman pangan utama di Indonesia, salah satunya Pulau Jawa. Menurut Sugeng (2002), Pulau Jawa memiliki 96% lahan yang cocok untuk padi terkait kondisi fisiknya. Hal inilah yang menjadikan pulau terpadat di Indonesia ini diberi nama “Jawa” yang berasal dari bahasa sangsekserta “Jawawut” yang berarti otek atau padi-padian (famili Graminaceae). Tanaman padi memiliki tiga fase pertumbuhan yaitu fase vegetatif, reproduktif dan generatif. Setiap fase pertumbuhan diindikasikan dengan perkembangan jaringan dan struktur tumbuhan tersebut. 1. Fase Vegetatif Fase vegetatif adalah fase awal tumbuhan padi dimana fase ini dimulai dari perkecambahan hingga tanaman muncul ke permukan tanah. Fase vegetatif memliki tiga tahapan, yaitu perkecambahan, pertunasan, pembentukan anakan dan pemanjangan batang. Setiap tahapan ini terjadi sepenuhnya oleh proses pembelahan sel dan tidak melewati proses pembuahan. Rata-rata, tanaman padi pada daerah tropis seperti Indonesia membutuhkan waktu sekitar 45-65 hari untuk fase vegetative atau sekitar
24
50% hingga 60% dari umur padi. Terdapat hama tanaman padi yang muncul pada fase ini dintaranya anjing tanah (Gryllotapa sp.) dan ulat penggerek batang ( Chilo polychrysus) 2. Fase Reproduktif Tahapan pertumbuhan reproduktif memerlukan waktu setidaknya 35 hari. Fase ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tumbuhnya malai hingga bunting, keluarnya malai, dan pembungaan (pembuahan). Menurut Suastika (1996), tahap keluarnya malai ditunjukkan dengan kemunculan tunas bunga pada pelepah utama. Selanjutnya, tunas ini akan berkembang sehingga pelpah akan membengkak atau disebut dengan bunting. Setelah melewati masa bunting, bunga akan muncul atau disebut dengan pembungaan. Fase pembungaan (pembuahan) merupakan tahapan yang mencirikan fase generative dimana terjadi proses pembuahan oleh sebuk sari pada putik bunga. Hama tikus ( Rattus losea, Rattus colori, Bandicota indica dan Rattus argentiventer) merupakan hama spesifik yang muncul pada fase ini, utamanya pada tahap bunting. 3. Fase Generatif Pembuahan yang terjadi pada fase reproduktif menghasilkan embrio padi. Embrio yang tebuahi akan berkembang menjadi bulir padi pada fase ini. Tiga tahapan dalam fase ini adalah matang susu, matang adonan, dan matang penuh. Tahapan matang susu ditandai dengan munculnya padi yang masih berupa cairan putih kental seperti susu. Hama walang sangit (Leptocorosia sp.) biasa muncul pada fase ini (Kalshover,1981). Setelah melewati tahap matang susu, cairan padi mengeras dan memasuki tahap matang adonan dan diakhiri dengan pematangan sempurna (siap panen).
1.6.8 Hama Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Tikus merupakan salah satu hama tanaman pertanian utama di seluruh dunia. Menurut Tristiani et. al. (2000), Tikus utamanya menyerang tanaman pertanian kelapa sawit, tebu, singkong, ubi, kedelai, kacang tanah, kelapa, kentang dan
25
tentunya padi. Kerusakan tanaman padi yang dihasilkan berkisar dari 5-15 % dari keseluruhan lahan pertanian produktif setiap tahunya. Sebagai contoh aktual, laporan dari Singleton dalam Sudarmadji (2003) menyebutkan, kehilangan hasil padi mencapai 10% atau sekitar 60 ton dalam satu tahun di Asia. Nilai tersebut setara dengan kebutuhan 180 juta orang selama 2 tahun. Indonesia termasuk negara dengan nilai kerusakan yang besar pada komoditas padi yang disebabkan oleh serangan tikus dengan kisaran 17% dari keseluruhan produksi padi (Geddes dalam Tristiani, 1992). Ada beberapa species tikus yang menyerang tanaman pertnaian, yaitu tikus sawah (Rattus Argentiventer), tikus hutan (Rattus koratensis), tikus wirog (Bandicota Indica) dan tikus rumah (Rattus norvegicus, Rattus flavipectus dan Rattus exulans). Tercatat jenis tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan species yang memiliki rerpustasi paling besar terkait serangannya terhadap tanaman padi, baik secara kualitas, maupun kuantitas dengan dominasi kasus mencapai 98,6 %. (FAO, 2010). Rattus argentiventer merupaka species tikus sawah dari ordo Rodentia dan famili Muridae. Species ini memiliki pola perkembangbiakan yang cepat dan sangat terkontrol oleh keberadaan sumber pakan. Fase perkembangbiakan tikus sawah dapat terjadi dua kali pada daerah dengan dua kali musim tanam padi dan mampu beregenerasi sepanjang tahun saat padi selalu terseida. Habitat utama tikus sawah adalah ekosistem sawah irigasi. Tikus biasa tinggal dalam liang yang dibuat pada pematang sawah atau tanggul tanah yang kering. Ada tiga faktor yang mendorong pergerakan tikus yaitu kebutuhan pakan, kompetisi, dan kondisi yang tidak sesuai seperti banjir. Utamanya untuk pergerakan karena kebutuhan pakan, jarak maksimal tikus tidak akan terlalu besar, berkisar antara 100 hingga 200 meter (FAO,2011). Rochman dan Sukarna (1990) memberikan pendapat lain, saat makanan sulit didapat, pergerakan tikus dapat mencapai 700 meter. Sekalipun demikian tikus memiliki pola pergerakan teratur setiap harinya untuk mencari makan. Brown et al. (2001) menyebutkan, rata-rata daya jelajah tikus sawah adalah 3, 01 hektar untuk tikus jantan dan 1,97 hektar
26
untuk betina. Tristiani (2003) menambahkan bahwasanya 63% pergerakan tikus sawah terlokalisir pada area pertanaman padi selama musin tanam. Tikus sawah merupakan hewan omnivora. Tikus sawah menyerang tanaman padi pada berbagai fase mulai dari persemaian hingga padi siap panen. Puncak kerusakan tanaman padi terjadi pada fase bunting dimana air sudah dikurangi dan padi telah mengandung malai (Rochman, 1992). Hal ini dikaitkan dengan preferensi tikus pada padi fase bunting. Rochman dan Toto (1976) menjelaskan, tikus sawah tidak mengkonsumsi keseluruhan dari padi yang dirusak. Rata-rata tikus sawah hanya mengkonsumsi padi seberat 10% dari berat tubuhnya dan kerusakan non-konsumsinya mencapai 500% atau lima kali dari nilai konsumsi tersebut (Anggara,2009). Tikus aktif di malam hari dan setiap individu mengerat rata-rata 12 batang setiap malamya. Tikus mengerat tanaman padi pada fase anakan hingga tercerabut. Sekalipun demikian pada fase ini, tanaman padi masih dapat bertahan hingga fase berikutnya. Berbeda dengan fase anakan, pada fase vegetatif dan generatif dimana tanaman telah tumbuh dengan pesat, tikus memotong pangkal batang. Setelah tanamn padi berbunga dan berbuah, tikus mengerat tangkai bunga dan memakan bulir beras yang ada. Penelitian yang dilakukan Triastiani et al. (2000) menjelaskan pola spasial serangan tikus sangat khas untuk setiap fase padi. Pola serangan bersifat random pada fase vegetatif. Fase generatif yang ditandai dengan fase bunting mengidikasikan homogenitas pakan dan habitat bagi tikus sehingga pola kerusakan tikus akan teragregasi, khususnya terjadi pada tengah petak. Gejala akan membentuk pola radial dimulai dari pusat petak. Sekalipun dapat dilihat secara kasat mata, serangan tikus pada skala kecil terkadang terlihat seperti padi yang terserang penyakit karena kakurangan suplai air. Namun saat serangan menjadi masif, tanda kerusakan akan nampak nyata karena tanaman padi terpotong dan terserak.
27
1.6.9 Pemetaan Kondisi Vegetasi Pemetaan vegetasi merupakan salah satu studi yang dimunginkan dengan data foto udara inframerah digital, demikian pula untuk pengenalan kondisi tanaman pertanian. Pengenalan karakter objek tanaman budidaya pertanian, misal padi, menurut Goodman (1987) dalam Lo (1996) dapat secara sederhana dilakukan dengan menggunakan analisis visual dengan kunci interpretasi rona, tekstur, dan asosiasi. Penggunaan kunci intepretasi ini memiliki keunggulan tidak tebatasnya dearah kajian, terkait dengan iklim yang ada. Sekalipun demikian, analisis digital dapat dilakukan dengan melihat pola-pola nilai piksel dalam citra karena data yang digunakan memungkinkan. Analisis spektral didasarkan pada pola pantulan yang dihasilkan dari dari setiap karakter padi, dalam hal ini tingkat kerusakan dan kesehatan. Kesehatan dan tingkat kerusakan tanaman padi nantinya akan membentuk pola spasial yang dapat dikenali dengan pendekatan visual. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait objek yang akan dikaji, diantaraya: 1. Batasan kelas kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus. 2. Umur dan kondisi kesehatan yang pada dasarnya akan mempengaruhi karakter visual (Lo,1996). 3. Varietas tanaman yang dikaji pada detail tertentu akan memperlihatkan perbedaan yang nyata. 4. Skala pemetaan memberikan pengaruh tehadap analisis data dan kelas jenis yang akan dipetakan. Kraak dan Ormeling (2003) menjelaskan desain simbol kategoris untuk menggambarkan karakter objek vegetasi, khususnya kelas kerusakan tanaman padi dapat dimungkinkan karena skala data jenis adalah ordinal. Pemetaan dapat dilakukan dengan menggunakan simbol tingkatan warna (color ramp). Peta hasil interpetasi merupakan peta tentatif dan harus melewati pengujian untuk menjamin kualitas peta yang dibuat. Guptill et. al. (1995) menjelaskan ketelitian pemetaan dilakukan untuk menjamin kebaikan dari hasil dengan memperhatikan aspekaspek kualitas data sapsial, dintaranya:
28
1. Riwayat data peta yang diturunkan dari data foto udara inframerah format kecil. Hal ini mengindikasikan pentingnya kualitas sumber data pemetaan, yaitu foto udara digital. 2. Akurasi posisi dan geometri mutlak dicek untuk madapatkan akurasi pemetaan. 3. Akurasi aribut terkait kerusakan padi harus dipastikan untuk medapatkan gambaran sejauh mana sistem dapat digunakan. 4. Kelengkapan data, meliputi data sampling dan data kondisi saat perekaman yang dipetakan. 5. Asumsi yang digunakan dalam pemetaan haruslah konsisten dengan tema dan mengacu pada analisis yang sudah ditetapkan dalam metode. 6. Nilai akurasi tematik menjadi nilai paling penting, karena pemetaan jenis tanaman pertanaian merupakan pemetaan tematik murni dan apa yang dihasilkan harus merepresentasikan kebutuhan tematik yang diinginkan. Perilaku hama tikus dalam konsumsinya terhadap tanaman padi membentuk pola yang tercermin secara spasial (Tristiani et. al., 2000). Perbedaan kondisi tanaman yang terjadi pada dasarnya adalah perubahan fisiologis tanaman. Polapola tersebut dapat disadap dengan sistem foto udara format kecil yang diintegrasikan dengan pesawat model tanpa awak. Keunggulan sistem kamera dengan kemampuanya merekam gelombang inframerah menjadikan nilai lebih dalam analisis kondisi tanaman yang diinginkan.
29
1.7. Penelitian Sebelumnya Penelitian yang dirujuk sebagai pembanding merupakan penelitian mengarah pada penelitian terapan untuk objek vegetasi tanaman pertanian, diantaranya dengan fokus pada kesehatan tanaman. Wahana yang digunakan lazimnya adalah pesawat ringan namun pada beberapa penelitian juga menggunakan wahana sederhana, yaitu layang-layang. Metode interpretasi visual umum digunakan sekalipun data yang dihasilkan dari pemotretan adalah data foto udara digital.
No
1
2
3
Peneliti
Dirk Wundram, Jorg Loffler
Luis Martin et. al.
Reginal S. Fletcher et.al.
Lokasi Penelitian
Tahun
Judul
2007
Kite Aerial Photography in High Mountain Ecosystem
Geiranger Fjord, Norwegia
2001
Small Aerial Photography to Asses Chestnut Ink Disease
Soutos da Padrela, Portugal
2007
Surveiing Thermally Defoilated Cotton Plots with Color Infrared Photography
Kika de la Graza, Amerika Serikat
Relevansi dengan Penelitian Penulis Penggunaan foto udara Pengujian Foto udara format digital kecil format kecil untuk untuk kajian detail pemetaan ekosistem dengan wahana pegunungan skala detail sederhana (layanglayang) Identifikasi penyakit Pemanfaatan Foto bercak daun pada Udara Format Kecil tanaman Chestnut untuk identifikasi dengan Foto Udara kesehatan tanaman Format Kecil Pendugaan tanaman kapas siap panen Pemetaan karakteristik menggunakan foto tanaman homogen udara inframerah dengan foto udara infra berwarna dengan merah pendekatan “thermally Fokus Kajian
Persamaan Tujuan penelitian menitikberatkan pada analisis kualitas citra foto yang dihasilkan
Perbedaan Wahana yang digunakan dalam pemotretan
Metode interpretasi yang digunakan dalam pembedaan objek
Kesehatan tanaman menjadi objek penelitian
Aspek fisiologis tanaman digunakan sebagai dasar pembeda dalam pembedaan kondisi vegetasi
Pendekatan yang digunakan dalam pembedaan objek tidak hanya secara visual
30
defoliated”
4
5
James S Aber, Susan Aber, Firoza Pavri
Harintaka, Christine Nugraha Kartini
2002
2004
Unmanned SmallFormat Aerial Photography From Kites For Acquiring Large-Scale, HighResolution, Multiview-Angle Imagery Pemanfaatan teknologi Small Format Aerial Photograph untuk Keperluan Pembangunan Daerah (Studi Kasus : Aplikasi Bidang Pertanian)
Pemetaan biofisik lahan detail dengan foto Männikjärve udara format kecil Bog, inframerah dengan Estonia wahana layang-layang
Penggunaan foto udara inframerah berwarna format kecil untuk pemetaan kondisi biofisik lahan skala detail
Metode pemrosesan citra sederhana dan menggunakan interpretasi visual
Wahana yang digunakan dalam pemotretan
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Pembedaan lahan pertanian berdasarakan jenis tanaman pertanian yang ditanam dengan interpretasi visual foto udara format kecil
Metode interpretasi yang digunakan dalam pembedaan objek
Wahana dan sistem kamera yang digunakan dalam pemotretan
Pemanfaatan Foto Udara Format kecil untuk pemetaan lahan pertanian
31
3.8. Kerangka Penelitian Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji kemampuan sistem Foto Udara Digital Inframerah dalam merekam fenomena pada objek vegetasi. Secara umum peneliti membagi kajian menjadi kajian primer (utama) dan sekunder. Kajian primer merupakan fokus analisis yang mendasari tujuan penelitian, yaitu perekaman fenomena kondisi tanaman padi. Perekaman dilakukan dengan menggunakan sistem yang dirancang sedemikan rupa sehingga mampu menyokong kebutuhan pemetaan kondisi tanaman padi.
Gambar 1.6. Kerangka pemikiran (sumber: Penulis, 2011)
32
Kajian sekunder merupakan analisis yang difokuskan pada hal-hal yang berhubungan dengan fenomena yang terjadi pada objek, yaitu kerusakan tanaman padi kerena serangan tikus yang diasumsikan akan membentuk kenampakan dalam citra. Fokus kajian primer ada pada analisis sistem foto udara yang digunakan. Peneliti merasa perlu mengkaji hal tersebut karena sistem foto yang nantinya digunakan merupakan sistem “costumized”. Kajian primer dapat dibagi lima aspek yaitu pra-akuisisi data, akuisisi, proses, pengujian (check), dan hasil (output). Praakusisi adalah tahapan yang terdiri dari perancangan sistem fotografi udara ideal dan perencanaan pemotretan. Perancangan wahana dan sistem foto udara dilakukan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Sistem foto udara yang dibangun setidaknya memiliki spesifikasi teknis yang menunjang pemotretan vertikal dan dapat diatur ketinggan terbangnya sesuai dengan luas cakupan area penelitian. Selain itu sistem harus memiliki sensor inframerah dengan julat yang sesuai dengan kebutuhan perekaman fenomena kondisi tanaman padi yang akan dikaji. Selanjutnya, perencanaan pemotretan dilakukan dengan menyesuaikan waktu dan tempat pemotretan. Selain itu, wahana yang digunakan pun merupakan wahana pesawat model hand-made. Hal ini tentu memerlukan penyesuaian untuk menjamin foto udara yang dhasilkan ideal untuk pemetaan. Akusisi merupakan proses perekaman fenomena kerusakan tanaman padi dengan sistem foto udara digital. Proses meliputi proses pengolahan citra dan analisis visual (interpretasi). Inti dari penelitian ada pada aspek pengujian (check) dimana jawaban dari pertanyaan penelitian didapatkan dari pengujian ketelitian interpretasi dengan kenyataan di lapangan. Hasil yang diharapkan adalah Peta Kerusakan Tanaman Padi Akibat Serangan Hama Tikus Sawah. Kajian Sekunder merupakan kajian terkait dengan kondisi objek. Pengertian objek dibatasi pada objek sistem foto udara, yaitu tanaman padi yang mengalami perubahan kondisi akibat serangan hama tikus sawah. Kajian sekunder didasarkan
33
pada asumsi tanaman padi (Oryza sativa) memiliki karakter vegetasi yang khas yang dicerminkan oleh kenampakan visualnya. Hal ini berubungan dengan aspek fisiologis tumbuhan padi seperti kanopi dan ukuran daun yang berimplikasi pada pantulan spektral tumbuhan tersebut. Saat terjadi serangan hama tikus, terjadi perubahan dalam aspek fisiologis tersebut. Foto Udara Digital Inframerah Format Kecil dapat digunakan untuk merekam fenomena perubahan kondisi tersebut. Hasil pengujian interpretasi selanjutnya dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan dari peta hasil.
3.9.Batasan Istilah Foto Udara Format Kecil Sistem Penginderaan Jauh yang menggunakan kamera “handheld” sebagai sistem perekaman dan film ukuran 35 mm sebagai sensor. Sensor film saat ini sudah beralih dari film ke CCD/ CMOS. (Graham dengan modifikasi, 1996). Hama Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Hama pengerat (Rodentia) utama tanaman padi dari golongan mamalia (Nugroho, 2009) Inframerah Dekat Spektrum gelombang elektromagnetik yang memiliki kisaran panjang gelombang dari 0,7 µm hingga 1,1 µm (Levin,1999). Padi (Oryza sativa) Tanaman budidaya pertanian penghasil beras dari Famili Poaceae (FAO, 2009) Pesawat Model Pesawat model merupakan pesawat tiruan dari pesawat udara yang diskalakan dengan ukuran lebih kecil (Prabawa, 2009) Balon Udara Pesawat aerostatis yang terbang berkonsep linghter than air dengan menggunakan balon yang diisi gas atau udara panas (Azwar, 2006)
34
Sensor Bagian dari sistem penginderaan jauh yang berfungsi sebagai perekam gelombang elektromagnetik (Sutanto dalam Anonim, 1987).
Tipe Data Ordinal Tipe data yang mempunyai urutan atau bisa diurutkan berdasarkan jenjang atau atribut tertentu (Murtiyasa, 2011) Wahana Sarana untuk menyimpan dan membawa sistem sensor penginderaan jauh (Soemantri, 2009)
35