BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Selama ini sektor publik tidak luput dari tudingan sebagai sarang korupsi,
kolusi, nepotisme, dan sumber pemborosan negara. Keluhan “birokrat tidak mampu berbisnis” ditujukan untuk mengkritik buruknya kinerja perusahaanperusahaan sektor publik. Pemerintah sebagai salah satu organisasi sektor publik pun tidak luput dari tudingan ini. Organisasi sektor publik pemerintah merupakan lembaga yang menjalankan roda pemerintahan yang sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada penyelenggara pemerintahan haruslah diimbangi dengan adanya pemerintahan yang bersih. (Sukanto, 2007) Kepercayaan
masyarakat
terhadap
suatu
profesi
ditentukan
oleh
keandalan, kecermatan, ketepatan waktu, dan mutu jasa atau pelayanan yang dapat diberikan oleh profesi yang bersangkutan. Kata “kepercayaan” demikian pentingnya karena tanpa kepercayaan masyarakat maka jasa profesi tersebut tidak akan diminati, yang kemudian pada gilirannya profesi tersebut akan punah. Untuk membangun kepercayaan perilaku para pelaku profesi perlu diatur dan kualitas hasil pekerjaannya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu dibutuhkan penetapan standar tertentu, sehingga masyarakat dapat meyakini kualitas pekerjaan seorang profesional. Terdapat tiga aspek utama yang mendukung terciptanya pemerintahan yang baik (good governance), yaitu pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Pengawasan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak di luar eksekutif, yaitu masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan. Pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif untuk menjamin bahwa sistem dan kebijakan manajemen dilaksanakan dengan baik sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Sedangkan pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa
apakah hasil kinerja pemerintah telah sesuai dengan standar yang ditetapkan. (Mardiasmo, 2005) Audit pemerintahan merupakan salah satu elemen penting dalam penegakan good government. Namun demikian, praktiknya sering jauh dari yang diharapkan. Terdapat beberapa kelemahan dalam audit pemerintahan di Indonesia, di antaranya tidak tersedianya indikator kinerja yang memadai sebagai dasar pengukur kinerja pemerintahan baik pemerintah pusat maupun daerah dan hal tersebut umum dialami oleh organisasi publik karena output yang dihasilkan yang berupa pelayanan publik tidak mudah diukur. Dengan kata lain, ukuran kualitas audit masih menjadi perdebatan. (Mardiasmo, 2000) Dalam melaksanakan audit di sektor publik (pemerintahan) perlu pembentukan suatu lembaga audit yang independen yang benar-benar mempunyai integritas yang bisa dipertanggungjawabkan kepada pihak publik. Oleh karenanya lembaga auditor tersebut setidak-tidaknya bernaung di bawah lembaga legislatif negara ataupun merupakan lembaga professional independen yang keberadaan mandiri, seperti akuntan publik. Di Indonesia yang melaksanakan fungsi pemeriksaan secara garis besar dipisahkan menjadi dua yaitu auditor eksternal dan auditor internal. Auditor eksternal pemerintah diimplementasikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dibentuk sebagai perwujudan pasal 23E UUD 1945. Auditor internal pemerintah
diimplemantasikan
oleh
Badan
Pengawasan
Keuangan
dan
Pembangunan (BPKP), Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota, dan Badan Pengawas Internal di setiap departemen yaitu Inspektorat Jendral (IRJEN). BPK merupakan suatu institusi yang dipercaya dapat mewujudkan good corporate & good governance dengan tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Saat ini keberadaan BPK ditetapkan dengan UU Nomor 15, Tahun 2006 tentang BPK menggantikan UU Nomor 5 Tahun 1973. Sejalan dengan ditetapkannya undang- undang tersebut, beban dan tanggung jawab yang dihadapi
BPK akan semakin besar. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sasaran utama pengelolaan sumber daya manusia tersebut adalah menciptakan sistem pemberdayaan personel yang dapat menampilkan kinerja yang produktif. Produktivitas kerja menunjukkan tingkat pegawai dalam mencapai hasil (output) terutama dilihat dari sisi kuantitasnya. Produktivitas ditentukan oleh dukungan semua sumber daya organisasi yang dapat diukur dari segi efektivitas dan efisiensi, yang difokuskan pada aspek-aspek (1) hasil akhir yang dicapai, kualitas dan kuantitasnya, (2) lamanya waktu yang digunakan untuk mencapai hasil akhir, dan (3) penggunaan sumber daya secara optimal. Keberhasilan BPK dalam mengemban misi pemeriksaan sangat tergantung dari upaya dan kualitas para auditornya. Auditor merupakan sebagai ujung tombak dari pelaksanaan kegiatan pemeriksaan semestinya di dukung dengan independensi, kemampuan, kemauan dan pengalaman kerja yang memadai dalam pemeriksaan, serta ditunjang dengan sensitivitas etika profesi auditor. Kemampuan, kemauan dan pengalaman kerja mencerminkan kompetensi auditor, yang selanjutnya disertai dengan kompetensi diharapkan dapat memberikan hasil kerja yang sesuai dengan misi yang diemban oleh BPK sebagai badan pemeriksa eksternal keuangan negara. Monika (2007) dalam penelitiannya mengatakan, kinerja auditor dipengaruhi oleh faktor-faktor teknis dan faktor-faktor nonteknis. Faktor yang bersifat teknis mungkin akan mudah dipecahkan bila berdasar pada program dan prosedur pemeriksaan yang ditetapkan sebelumnya. Namun untuk faktor nonteknis mungkin akan sulit untuk dipecahkan karena menyangkut masalah yang berkaitan dengan sikap mental, emosi, faktor psikologis, moral, karakter pada setiap situasi dan kondisi yang berbeda. Sarundajang (2004) mengatakan kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) pengawasan saat ini masih memprihatinkan. Khususnya pada Bawasda (Badan Pengawas Daerah) kabupaten dan kota. Pada masa lalu (Itwil Prop/Kab/Kota)
merupakan tempat pembinaan aparat-aparat yang bermasalah. Berdasarkan hasil survey tahun 2003 bahwa tenaga auditor yang berlatar belakang pendidikan akuntansi di Bawasda sedikit sekali (kurang dari 1%). Sementara Bawasda juga melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan di daerah dan hasilnya belum memenuhi prinsip akuntansi. Untuk mengatasi hal ini tentu ada program peningkatan sumber daya manusia dibidang akuntansi dan diperlukan rekrutmen tenaga baru untuk dijadikan auditor. Kualitas audit yang dilaksanakan oleh aparat Inspektorat Kota Bandung saat ini masih menjadi sorotan, karena masih banyaknya temuan audit yang tidak terdeteksi oleh aparat inspektorat sebagai auditor internal, akan tetapi ditemukan oleh auditor eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Badan Pemeriksa Keuangan (2008) menyebutkan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kota Bandung tahun anggaran 2007,
terdapat
8
(delapan)
temuan.
Temuan-temuan
tersebut
berupa
ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, kecurangan, serta ketidakpatuhan dalam pelaporan keuangan. Dengan adanya temuan BPK tersebut, berarti kualitas audit aparat inspektorat Kota Bandung masih relatif rendah. Kualitas audit yang dihasilkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lainnya juga tengah mendapat sorotan dari masyarakat banyak yakni kasus yang menimpa seorang auditor BPK yang diindikasikan telah melanggar rekonstruksi dugaan penyuapan auditor pemerintah, yaitu auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai tersangka karena diduga telah menerima suap dari mantan pejabat Depnakertrans sebesar Rp 650.000.000. (Kompas, 2009) Dalam fenomena di atas, memunculkan pertanyaan apakah auditor BPK telah melakukan kode etiknya dengan baik atau tidak. Tentu saja jika yang terjadi adalah auditor tidak mampu melakukan kode etik yang berlaku maka inti permasalahannya adalah independensi auditor tersebut. Auditor yang profesional juga harus memiliki etika perilaku dan etika profesi. Terkait dengan konteks inilah, muncul pertanyaan seberapa tinggi tingkat kompetensi dan independensi auditor saat ini dan apakah kompetensi dan independensi auditor tersebut berpengaruh terhadap kinerja audit yang dihasilkan oleh BPK RI.
Pada tahun 2010 ditemukan fenomena yang terjadi terkait dengan kode etik yaitu, auditor BPK tertangkap menerima uang suap dari penjabat pemerintah Kota Bekasi untuk mengeluarkan Opini Wajar tanpa Pendapat terkait Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Pemkot Bekasi Tahun 2009. Pimpinan BPK juga mengingatkan kepada seluruh jajaran BPK untuk memegang teguh kode etik. Pihak yang tengah di audit BPK juga dihimbau untuk tak menjanjikan apapun pada pemeriksa dari BPK. (Republika, 2010) Terkait dengan kualitas kerja, Sukriah dkk. (2009) menguji tentang pengaruh pengalaman kerja, independensi, obyektifitas, integritas, dan kompetensi terhadap kualitas hasil pemeriksaan. Responden penelitiannya adalah auditor internal pemerintah yang bekerja di Inspektorat se-Pulau Lombok. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengalaman kerja, obyektifitas dan kompetensi berpengaruh positif terhadap kualitas hasil pemeriksaan. Dengan demikian, semakin banyak pengalaman kerja, semakin obyektif auditor melakukan pemeriksaan dan semakin tinggi tingkat kompetensi yang dimiliki auditor, maka semakin meningkat atau semakin baik kualitas hasil pemeriksaan yang dilakukannya. Kinerja auditor merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan yang telah diselesaikan oleh auditor dalam kurun waktu tertentu. Pengertian kinerja auditor adalah akuntan yang melaksanakan penugasan pemeriksaan (examination) secara obyektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan. (Mulyadi, 2002) Ada beberapa hal yang menyebabkan meningkatnya kinerja auditor, namun peneliti mencoba mengkaji masalah mengenai kode etik auditor, yang dipersepsikan merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja auditor dalam menjalankan tugas profesinya. Masyarakat yakin akan independensi dan kompetensi auditor sehingga mempercayai laporan-laporan yang dihasilkannya walaupun masyarakat tidak dapat menilai tiap-tiap pelaksanaan audit yang terjadi.
Hal ini bertujuan untuk dapat menjaga mutu dan kualitas auditor yang mewujudkan standar kerja dan perilaku yang tinggi. Prinsip etika profesi akuntan menyebutkan bahwa seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri melebihi yang disyaratkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi. Auditor yang berpengalaman juga mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari. Kemudian Tubbs (1990) berhasil menunjukkan bahwa semakin berpengalamannya auditor, mereka semakin peka dengan kesalahan penyajian laporan keuangan dan semakin memahami hal-hal yang terkait dengan kesalahan yang ditemukan tersebut. (Kusharyanti 2003) Hal ini menunjukan bahwa suatu profesi harus dapat bersikap profesional. Auditor harus menjunjung tinggi integritas, objektivitas, dan independensi. Auditor juga harus bersikap tegas dalam mengambil keputusan yang konsisten dengan kepentingan publik dalam melakukan suatu pemeriksaan. Dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya, auditor mungkin menghadapi tekanan dan atau konflik dari manajemen entitas yang diperiksa, berbagai tingkat jabatan pemerintah, dan pihak lainnya yang dapat mempengaruhi objektivitas dan independensi auditor. Dalam menghadapi tekanan atau konflik tersebut, auditor harus profesional, objektif, berdasarkan fakta, dan tidak berpihak. Auditor harus bersikap jujur dan terbuka kepada entitas yang diperiksa dan para pengguna laporan hasil pemeriksaan dalam melaksanakan pemeriksaannya dengan tetap memperhatikan batasan kerahasiaan yang dimuat dalam ketentuan perundangundangan. (BPK, 2007) Etika auditor merupakan ilmu tentang penilaian hal yang baik dan hal yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Guna meningkatkan kinerja auditor, maka auditor dituntut untuk selalu menjaga standar perilaku etis. Kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis berhubungan dengan adanya
tuntutan masyarakat terhadap peran profesi akuntan, khususnya atas kinerja akuntan publik. Masyarakat sebagai pengguna jasa profesi membutuhkan akuntan professional. Label profesional disini mengisyaratkan suatu kebanggaan, komitmen pada kualitas, dedikasi pada kepentingan klien dan keinginan tulus dalam membantu permasalahan yang dihadapi klien sehingga profesi tersebut dapat menjadi kepercayaan masyarakat. Pernyataan Standar Umum Kedua dalam SPKN menjelaskan bahwa dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa harus bebas dari sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya. Sehubungan dengan pernyataan standar umum kedua ini, organisasi pemeriksa dan
para
pemeriksanya
bertanggung
jawab
untuk
mempertahankan
independensinya sedemikian rupa. Tujuannya adalah agar pendapat, simpulan, pertimbangan atau rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak mana pun. (BPK, 2007) Dengan adanya kode etik, masyarakat akan dapat menilai sejauh mana seorang auditor telah bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh profesinya (Trianingsih,2007; Sukriah dkk., 2009). Dengan demikian, semakin banyak pengalaman kerja, semakin objektif auditor melakukan pemeriksaan dan semakin tinggi tingkat kompetensi yang dimiliki auditor, maka semakin meningkat kualitas hasil pemeriksaan yang dilakukan. (Arini, 2010) Penelitian berbeda dari penelitian sebelumnya. Dalam penelitian ini akan menguji pengaruh persepsi auditor eksternal atas kode etik terhadap kinerja auditor eksternal. Penulis melakukan penelitian pada auditor eksternal pemerintah yang disebut Pemeriksa yaitu di Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan fenomena diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Persepsi Auditor Eksternal Atas Kode Etik Terhadap Kinerja Auditor Eksternal: Studi survei pada Auditor Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Jawa Barat”.
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian di atas penulis dapat mengidentifikasi masalah-
masalah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam skripsi ini, yaitu : 1. Bagaimanakah persepsi auditor eksternal atas kode etik di Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Jawa Barat? 2. Bagaimanakah kinerja yang dilakukan oleh auditor eksternal di Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Jawa Barat? 3. Bagaimanakah pengaruh persepsi auditor eksternal atas kode etik terhadap kinerja auditor eksternal di Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Jawa Barat?
1.3
Tujuan Penelitian Beberapa tujuan yang ingin dicapai Penulis dalam penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui persepsi auditor eksternal atas kode etik di Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Jawa Barat. 2. Untuk mengetahui kinerja yang dilakukan oleh auditor eksternal di Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Jawa Barat. 3. Untuk mengetahui pengaruh persepsi auditor eksternal atas kode etik terhadap kinerja auditor eksternal di Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Jawa Barat.
1.4
Kegunaan Penelitian Penulis harapkan kegunaan dari hasil penelitian ini mudah-mudahan dapat
bermanfaat bagi :
1. Bagi Penulis Dari penelitian ini dapat menambah wawasan, pengetahuan, pengalaman, serta memahami penerapan teori-teori yang didapat selama masa perkuliahan, terutama yang berkaitan dengan judul yang dipilih. 2. Bagi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Jawa Barat Penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk digunakan sebagai masukan dan saran-saran serta dapat digunakan sebagau salah satu sarana dalam meningkatkan akuntabilitas publik di waktu yang akan datang. 3. Bagi Pemerintah Penelitian ini memberikan informasi yang berguna untuk pengembangan kualitas aparat pemerintah terkait dengan profesionalisme pegawai dalam bekerja sehingga kinerja aparat pemerintah seperti yang diharapkan dapat tercapai dan melalui reformasi borikrasi, pada akhirnya tujuan dapat terwujud. 4. Disamping itu juga penulisan skripsi ini juga ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian Sarjana Ekonomi Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi di Universitas Widyatama Bandung.
1.5
Kerangka Pemikiran Dalam setiap badan usaha pasti dituntut untuk memiliki kinerja yang baik.
Keberhasilan suatu organisasi baik besar maupun kecil bukan hanya ditentukan oleh sumber daya alam yang tersedia, akan tetapi banyak ditentukan oleh sumber daya manusia yang berperan merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan organisasi yang bersangkutan. Sumber daya manusia tersebut harus berkualitas dan professional dalam bidangnya, akan menghasilkan suatu sistem yang efektif bagi suatu badan usaha. Arens et al. (2006) mengemukakan pengertian auditing adalah sebagai berikut: “Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent independent person.”
Dengan demikian auditing adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Salah satu jenis auditor pemerintah adalah auditor eksternal pemerintah yang dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai perwujudan dari Pasal 23 ayat 5 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang pengaturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil Pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Badan Pemeriksa Keuangan merupakan badan yang tidak tunduk kepada pemerintah, sehingga diharapkan dapat bersikap independen. Menurut Chasin, et al (1988) yang dikutip oleh Enjel (2006), mendefinisikan kode etik professional sebagai berikut: “Code of professional ethics is guide to accountant conduct in fulfilling the professional obligations and in activities, affect the public’s view of the profesions”. Dengan demikian dapat disimpulkan, kode etik professional adalah pernyataan-pernyataan
yang
digunakan
sebagai
haluan
perilaku
dalam
melaksanakan tanggung jawab profesinya. Menurut Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia adalah: Kode Etik BPK, yang selanjutnya disebut Kode Etik, adalah norma-norma yang harus dipatuhi oleh setiap Anggota BPK, Pemeriksa, dan Pelaksanan BPK lainnya selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK. Menurut Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011, yaitu:
1. Integritas Auditor harus memiliki kepribadian yang dilandasi oleh unsur jujur, berani, bijaksana, dan bertanggung jawab untuk membangun kepercayaan guna memberikan dasar bagi pengambilan keputusan yang andal. 2. Obyektivitas Auditor harus menjunjung tinggi ketidakberpihakan profesional dalam mengumpulkan, mengevaluasi, dan memproses data/informasi auditee. Auditor membuat penilaian seimbang atas semua situasi yang relevan dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan sendiri atau orang lain dalam mengambil keputusan. 3. Kerahasiaan Auditor harus menghargai nilai dan kepemilikan informasi yang diterimanya dan tidak mengungkapkan informasi tersebut tanpa otorisasi yang memadai, kecuali diharuskan oleh peraturan perundang-undangan. 4. Kompetensi Auditor harus memiliki pengetahuan, keahlian, pengalaman dan keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas. Menurut Trisnaningsih (2007), secara etimologis, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance). Istilah kinerja sendiri berasal dari kata job performance yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. (Mangkunegara, 2005:67) Menurut Tantina (2004), kinerja diukur dengan instrumen yang dapat dikembangkan dalam studi yang tergabung dalam ukuran kinerja secara umum, selanjutnya diterjemahkan kedalam penilaian prilaku secara mendasar, meliputi: (I) kualitas kerja, (II) kuantitas kerja, (III) pengetahuan tentang pekerjaan, (IV) pendapat atau pernyataan yang disimpulkan, (V) perencanaan kerja. Dari definisi di atas, yang dimaksud kinerja dalam penelitian ini adalah kinerja individu auditor internal. Pengertian kinerja mengacu pada pengertian Mangkunegara (2005:67) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Kinerja auditor dipengaruhi oleh faktor-faktor teknis dan faktor-faktor nonteknis (Monica, 2007). Faktor-faktor teknis berkaitan dengan program dan prosedur audit. Sedangkan faktor-faktor nonteknis meliputi seperti masalahmasalah yang berkaitan dengan sikap, mental, emosi, faktor psikologis, moral, karakter, dan hal-hal lain yang satu sama lainnya akan mengalami perubahanperubahan pada setiap situasi dan kondisi yang berbeda. Lebih lanjut, Monica (2007) berpendapat bahwa untuk kelancaran tugas dan kualitas kerja, diperlukan suatu ketentuan yang mengatur sikap mental dan moral auditor. Hal tersebut diperlukan guna mempertahankan kualitas yang tinggi mengenai kecakapan teknis, moralitas, dan integritas. Ketentuan yang mengatur sikap mental dan moral auditor disebut kode etik. Kode etik profesi ditetapkan secara bersama-sama untuk untuk mencapai keseragaman ukuran perilaku, apakah suatu tindakan etis atau tidak etis (BPKP, 2008). Tugiman (1997) mengungkapkan bahwa kode etik diperlukan untuk mengatur tingkah laku individu agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan adanya kode etik, masyarakat akan dapat menilai sejauh mana seorang auditor telah bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh profesinya (Trisnaningsih, 2007; Sukriah dkk., 2009). Lebih lanjut, kode etik profesi merupakan salah satu upaya dari suatu asosiasi profesi untuk menjaga integritas profesi tersebut agar mampu menghadapi tekanan yang dapat muncul dari dirinya sendiri atau pihak luar (Rustiana dan Indri dalam Retnowati, 2003). Bagi sebagian besar pemakai jasa tidaklah penting untuk mengevaluasi mutu kinerja jasa profesional karena kompleksitas jasa itu. Seorang pemakai laporan keuangan tidak dapat diharapkan untuk mengevaluasi kinerja audit. Sebagian besar pemakai jasa tidak memiliki kompetensi maupun waktu untuk melakukan evaluasi semacam itu. Arens, et al (2006) mengatakan bahwa, kepercayaan masyarakat atas kualitas jasa profesional akan semakin besar bisa profesi mendorong standar kinerja dan perilaku yang tinggi di pihak seluruh praktisi. Kinerja auditor dipengaruhi oleh faktor-faktor teknis dan faktor-faktor
nonteknis (Monica, 2007). Faktor-faktor teknis berkaitan dengan program dan prosedur audit. Sedangkan faktor-faktor nonteknis meliputi seperti masalahmasalah yang berkaitan dengan sikap, mental, emosi, faktor psikologis, moral, karakter, dan hal-hal lain yang satu sama lainnya akan mengalami perubahanperubahan pada setiap situasi dan kondisi yang berbeda. Sukriah dkk. (2009) menguji tentang pengaruh pengalaman kerja, independensi, obyektifitas, integritas, dan kompetensi terhadap kualitas hasil pemeriksaan. Responden penelitiannya adalah auditor internal pemerintah yang bekerja di Inspektorat se-Pulau Lombok. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengalaman kerja, obyektifitas dan kompetensi berpengaruh positif terhadap kualitas hasil pemeriksaan. Dengan demikian, semakin banyak pengalaman kerja, semakin obyektif auditor melakukan pemeriksaan dan semakin tinggi tingkat kompetensi yang dimiliki auditor, maka semakin meningkat atau semakin baik kualitas hasil pemeriksaan yang dilakukannya. Hasil pengujian yang dilakukan Arini (2010) pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Jawa Tengah, menunjukkan bahwa persepsi auditor internal atas kode etik yang terdiri atas integritas, obyektivitas, kerahasiaan, dan kompetensi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor internal. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka penulis menentukan hipotesis sebagai berikut: “Terdapat Pengaruh Antara Persepsi Auditor Eksternal Atas Kode Etik Dengan Kinerja Auditor Eksternal”.
1.6
Lokasi dan Waktu Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis melakukan penelitian pada Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Jawa Barat, Jl. Moch. Toha No.164 Bandung – Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2011.