BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hutan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat melimpah. Salah satu potensi sumberdaya hutan Indonesia yang sangat besar adalah hutan mangrove. Potensi hutan mangrove yang ada di Indonesia cukup besar dan mempunyai luas hutan yang terbesar di dunia. Luas hutan mangrove di Indonesia sebesar 75% dari total mangrove yang ada di Asia Tenggara dan sekitar 27% dari total mangrove yang ada di dunia. (Kusmana dalam Frananda 2011) Hutan mangrove yang ada di Indonesia pada tahun 1982 memiliki luas sekitar 5.209.543 ha dan dalam periode sebelas tahun telah turun menjadi 2.496.185 ha pada tahun 1993. Penurunan luasan hutan mangrove ini menunjukkan telah terjadi alih fungsi lahan sebesar 52,08% atau diperkirakan telah terjadi kerusakan hutan mangrove di Indonesia yang mencapai 200.000 ha/tahun. Kerusakan hutan mangrove yang terjadi ini tidak dibarengi dengan kemampuan merehabilitasinya sehingga kerusakan ini akan terus berlangsung cepat dan meluas Dahuri et al. (2001). Aktifitas manusia yang terlalu mengekploitasi hutan mangrove ini mengakibatkan kerusakan ekologi dan
lingkungan. Secara ekologi, hutan mangrove berfungsi
sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi beranekaragam biota perairan seperti ikan, udang, dan kepiting. Dari segi ekologi dan lingkungan, hilangnya kawasan hutan ini menyebabkan berkurang pula nutrien yang memberi asupan pada biota laut lainnya. Perputaran bahan bahan organik seperti karbon, nitrogen, sulfur tidak berjalan dengan sempurna. Hilangnya vegetasi hutan mangrove ini menyebabkan beberapa spesies ikan (seperti ikan pesut), kerang dan udang terganggu daur hidupnya karena tidak mendapatkan tempat untuk berkembang biak. Sedangkan dilihat dari segi ekonomi, hutan mangrove bisa menyediakan kayu sebagai bahan pembuatan arang, bahan bangunan, sebagai sarana rekreasi dan pariwisata, dan sebagai sarana pendidikan dan penelitian. 1
Adanya perubahan alih fungsi hutan mangrove akibat dari eksploitasi menyebabkan semakin berkurangnya luasan hutan mangrove dan apabila hal ini terus terjadi maka hutan mangrove akan mengalami ganguan pada strata pertumbuhan dan mengakibatkan kendala pada proses regrenerasi pohon mangrove dimasa yang akan datang (Bengen, 2001). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pengurangan area mangrove menurut (Kusmana, 1997) yaitu : a. Konversi mangrove menjadi bentuk penggunaan lain seperti pemukiman, pertanian, industri, pertambangan dan lain-lain. b. Kegiatan eksplorasi hutan oleh perusahaan HPH serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lainnya. c. Polusi di perairan estuaria, pantai dan lokasi-lokasi perairan lainnya dimana tumbuh mangrove. d. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan abrasi yang tidak terkendali. Salah satu hutan mangrove yang terdapat di Provinsi Riau yang mengalami perubahan luasan adalah hutan mangrove di Kabupaten Bengkalis. Hasil interpretrasi tutupan lahan di Pulau Bengkalis berdasarkan pengamatan pada citra satelit Landsat 5 TM tahun 1992 dan Landsat 7 ETM + path/row 126/59 tahun 2002 menunjukkan bahwa total sebaran mangrove di Pulau Bengkalis pada tahun 1992 yaitu 8.182 Ha yang tersebar di Kecamatan Bengkalis dan Kecamatan Bantan sedangkan untuk tahun 2002 terlihat perubahan luas menjadi 6.115 Ha artinya dalam jangka waktu 10 tahun terjadi pengurangan mangrove sebesar 2.012 Ha. Rata-rata penurunan luas mangrove setiap tahunnya adalah 2.012 Ha/tahun (Fikri, 2006). Perubahan luasan hutan mangrove yang terjadi terus menerus ini harus diambil tindakan melalui kegiatan monitoring dengan menggunakan aplikasi teknologi penginderaan jauh
yang di ambil dari jangka waktu beberapa tahun dengan
spesifikasi jenis sensor yang berbeda. Aplikasi penginderaan jauh diharapkan nantinya dapat mengetahui kecenderungan perubahan mangrove dan digunakan untuk mencari solusi guna mendapatkan bentuk pengelolaan hutan mangrove beserta 2
sumberdayanya secara tepat dan berkelanjutan agar sumberdaya hutan mangrove dapat selayaknya dijaga untuk kepentingan kini dan masa depan, karena sebagaimana yang diketahui hutan mangrove yang dimiliki oleh Pulau Bengkalis ini sangat berpotensi besar untuk menjadi sumberdaya alam yang nantinya akan menjadi sumber modal utama dalam pembangunan. Aplikasi penginderaan jauh ini nantinya mampu untuk memberikan informasi mengenai perubahan luasan hutan mangrove yang terjadi dari tahun ke tahun. Selain informasi mengenai luasan, teknologi ini juga mampu memberikan informasi tentang jenis perubahan yang terjadi didaerah kajian dengan menggunakan pendekatan analisis spasial-temporal, dimana analisis ini adalah analisis yang mengabungkan antara analisis keruangan dan multiwaktu. 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang ada di Kabupaten Bengkalis terkait dengan hutan mangrove adalah adanya kerusakan hutan mangrove yang diakibat oleh alih fungsi lahan. Dimana peralihan fungsi lahan ini disebabkan oleh aktifitas manusia yang cenderung membuka lahan mangrove demi usaha tambak dan pengeksploitasian sumberdaya alam hutan mangrove untuk keperluan bahan bakar kayu (arang), bahan bangunan (teki). Salah satu contoh kasus daerah yang mengalami permasalahan ini adalah Sungai Jangkang yang terdapat di Pulau Bangkalis. Hutan mangrove yang terdapat disungai ini berada di sepanjang daerah sungai. Dari pengamatan lapangan yang dilakukan pada waktu survey lokasi, terjadi perubahan pada area mangrove yang berada di sepanjang Sungai Jangkang yang dulunya adalah hutan mangrove dibuka menjadi kebun, lahan terbuka dan tambak. Terjadinya alih fungsi lahan ini baik itu pembangunan tambak, perkebunan dan pembangunan infrastruktur lainnya serta pengeksploitasian sumberdaya alam hutan mangrove mengakibatkan terjadinya perubahan garis pantai/abrasi di daerah yang berhadapan langsung dengan perairan Selat Malaka. Maka dari itu diperlukan monitoring hutan mangrove dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dimana teknologi ini sangat membantu dalam penyadapan informasi mengenai perubahan dan pengidentifikasian hutan mangrove. Dengan begitu nantinya 3
diharapkan agar penelitian ini bisa menjaga kelestarian hutan mangrove di Pulau Bengkalis. Berdasarkan uraian diatas terdapat beberapa rumusan masalah yang ada yaitu: 1.
Pada saat ini tersedia berbagai macam citra penginderaan jauh seperti Alos dan RadipEye yang belum banyak dimanfaatkan untuk pemetaan tutupan hutan mangrove, khususnya di wilayah penelitian Sungai Jangkang.
2.
Berdasarkan data yang ada, di daerah penelitian terjadi perubahan hutan mangrove, sehingga perlu dilakukan upaya pemetaan perubahan tersebut. Namun demikian pemetaan hutan mangrove secara terestris sulit, sehingga perlu dilakukan dengan bantuan penginderaan jauh. Oleh karena itu kemampuan citra tersebut belum teruji untuk pemetaan hutan mangrove.
3.
Perlu diketahui penyebab di perubahan hutan mangrove yang terjadi di daerah penelitian.
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Memetakan tutupan lahan mangrove tahun 2009 dengan menggunakan citra Alos dan tahun 2011 dengan menggunakan citra RapidEye.
2.
Menguji ketelitian peta tutupan lahan mangrove tahun 2009 dengan menggunakan citra Alos dan tahun 2011 dengan menggunakan citra RapidEye.
3.
Menganalisis perubahan lahan mangrove Sungai Jangkang dari tahun 2009 – 2011.
4.
Menganalisis penyebab perubahan lahan mangrove Sungai Jangkang dari tahun 2009 – 2011
1.4 Hasil Penelitian Beberapa hasil penelitian yang diharapkan antara lain adalah: 1.
Mengetahui karakteristik sensor satelit penginderaan jauh yang lebih peka terhadap hutan mangrove. 4
2.
Tersedianya informasi luasan hutan mangrove di Kabupaten Bengkalis
3.
Tersedianya informasi mengenai kawasan hutan mangrove yang mengalami perubahan.
1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai acuan bagi instansi – instansi terkait seperti instansi pemerintah daerah dan swasta dalam mengambil langkah untuk melakukan kebijakan, pengembangan dan pengelolaan yang sesuai dengan hutan mangrove di Kabupaten Bengkalis. Serta bermanfaat bagi masyarakat dalam menggali potensi sumberdaya alam hutan mangrove dan menjaga kelestarian hutan mangrove. Adapun manfaat ilmiah yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bisa diketahui citra satelit penginderaan jauh mana yang lebih efisen dan tepat guna dalam memetakan hutan mangrove dan menguji apakah metode yang dipakai dalam penelitian bisa membantu pendeteksian perubahan hutan mangrove dengan baik.
1.6 Tinjauan Pustaka 1.6.1 Penginderaan Jauh Dalam pemanfaatan penginderaan jauh untuk identifikasi dan pemetaan permukaan bumi, digunakan anggapan bahwa kenampakan – kenampakan yang berbeda terpisah secara spektral. Pada kenyataannya asumsi ini benar dan sebagian besar kenampakan permukaan bumi dapat dikenali dan dipetakan berdasarkan sifat spektralnya, walaupun ada kenampakan yang tidak dapat dipisahkan dan dikenali secara spektral, contohnya penampakan sungai dan danau akan sulit dibedakan. Oleh karena itu pengenalan secara menyeluruh mengenai sifat – sifat spektral dan penggunaan elemen interpretasi dalam mengenali penampakan air di permukaan bumi perlu dikuasai seorang interpreter (Meinardy, 2001). Permanfaatan data satelit dalam mendeteksi land use dan land cover didasari pemikiran bahwa tipe – tipe lahan yang ada dapat dibedakan dengan memanfaatkan spektral pada citra multisaluran. Teknik ini juga merupakan cara yang paling praktis unutk meliputi perubahan di suatu lahan secara cepat dan mencakup wilayah yang 5
luas. Dengan pemanfaatan teknik penginderaan jauh, usaha memetakan tata guna lahan sangat mudah di lakukan. Lahan sangat mudah diamati dan diklasifikasikan melalui citra penginderaan jauh. Batasan – batasan akan muncul jika kelas- kelas lahan tersebut sangat intensif dan resolusi spasial dari citra satelit tidak mencukupi. Beberapa faktor yang menguntungkan jika menggunakan metode penginderaan jauh dalam pemantauan lahan (Meinardy, 2001): 1.
Biaya yang relative murah dan cepat dalam mengumpulkan informasi terkini meliputi wilayah geografi yang luas.
2.
Satu – satunya cara yang praktis untuk mengumpulkan data dari daerah yang sulit dijangkau.
3.
Pada skala kecil, fenomena regional yang tidak terlihat dari daratan dapat terlihat jelas.
4.
Metode yang murah dan cepat dalam membuat peta dasar (base map) untuk menutupi kekurangan dalam survey lapangan.
5.
Mudah dimanipulasi dengan computer, dan dapat dikombinasikan dengan perangkat lain dalam GIS (Geographical Information System). Lebih lanjut dijelaskan oleh (Yuniar, 2000 ) bahwa informasi yang dapat
diperoleh dari penginderaan jauh untuk studi ekosistem mangrove adalah: 1.
Identifikasi dan kuantifikasi hutan mangrove.
2.
Identifikasi kenampakan zona (tipe – tipe vegetasi) di daerah mangrove.
3.
Identifikasi keberadaan dan profile dataran berlumpur dan dakat zona – zona subtidal.
4.
Monitoring proses – proses dinamis (akresi, erosi) dilingkungan mangrove.
5.
Monitoring sedimentasi laut lepas, ekspor bahan organik dan system aliran.
6.
Identifikasi tipe tanah.
7.
Monitoring karakteristik air di daerah mangrove.
8.
Monitoring tata guna lahan mangrove.
9.
Monitoring perubahan aktifitas penggunaan lahan di daerah mangrove. Akan tetapi teknologi penginderaan jauh tersebut juga mempunyai kelemahan
– kelemahan (Wedastra, 2000) yaitu: 6
1. Data citra satelit tidak seakurat dengan data yang dikumpulkan kapal penelitian atau survey lapangan. 2. Radiasi elektromagnetik yang dipergunakan sensor tidak dapat menembus permukaan laut kecuali sinar tampak, sehingga tidak dapat mendeteksi fenomena yang terjadi di bawah permukaan laut. 3. Waktu pengukuraan satelit terbatas hanya pada satelit melintas di atas daerah penelitian. 4. Kondisi awan yang menutupi lokasi penelitian akan berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh. Kekurangan atau kelemahan tersebut tidak berarti teknologi penginderaan jauh tidak digunakan, karena kekurangan tersebut dapat diatasi dan lebih banyak keuntungannya dari pada kerugian.
1.6.2
Karakteristik Citra Satelit
1.6.2.1 ALOS AVNIR-2 Advanced Vicible and Near-Infrared Radiometer Type-2 (AVNIR) merupakan instrument pada satelit Alos yang dilengkapi kanal multispektral untuk pengamatan permukaan daratan dan wilayah pesisir. Sensor ini digunakan untuk tujuan pemetaan dan klasifikasi penutup/penggunaan lahan skala regional, dengan memiliki kemampuan cross track pointing untuk pemantauan sumberdaya alam. AVNIR-2 merupakan salah satu citra optik yang termasuk kedalam penginderaan jauh pasif dengan sensor High Resolution Optical.
Citra ALOS
AVNIR-2 terdiri dari 4 band, 3 band reflectance visible dan 1 band inframerah dekat. Keempat band ini memiliki panjang gelombang yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Band inframerah dekat pada citra ALOS AVNIR-2 sangat baik untuk mengidentifikasi vegetasi dan mengetahui keadaan tanah sehingga citra ini dapat digunakan untuk memetakan vegetasi mangrove. Resolusi radiometrik citra AVNIR2 adalah 8 bit dengan rentang digital berkisar antara 0-225 sedangkan resolusi spasialnya adalah 10 m (Jaxa 2011).
7
Table 1.1. Karakteristik citra ALOS AVNIR-2 Karakteristik Citra ALOS AVNIR-2 No Parameter Karakteristik 1 Jumlah Band 4 Band 2 Panjang Gelombang Band 1 : 420-500 nm Band 2 : 520-600 nm Band 3 : 610-690 nm Band 4 : 760-890 nm 3 Resolusi Spasial 10 Meter 4 Lebar Sapuan 70 Km 5 Panjang Bit 8 Bit
Sumber : Jaxa 2011 1.6.2.2 Karakteristik Citra Satelit RapidEye RapidEye merupakan sebuah satelit penginderaan jauh multispektral yang dirancang dan diimplementasikan oleh MacDonald Dettwiler (MDA) of Richmond, Kanada. Sensor yang terdapat pada satelit ini ada 5 band, termasuk 3 band standar (R, G, B) dalam spektrum terlihat serta 2 band
tambahan yang berguna dalam
pemantauan vegetasi, Near Infrared dan band Edge Merah yang sensitif terhadap perubahan kandungan klorofil. Menurut RapidEye (2011), studi awal menunjukkan bahwa band ini dapat membantu dalam pemantauan kesehatan vegetasi, meningkatkan pemisahan spesies dan membantu dalam mengukur kadar protein dan nitrogen dalam biomassa. Tabel 1.2: Karakteristik citra RapidEye Karekteristik Citra RapidEye No Parameter 1 Jumlah Band 2 Panjang Gelombang
3 4 5
Resolusi Spasial Lebar Sapuan Panjang Bit
Karakteristik 5 Band Band 1 : 440-510 nm Band 2 : 520-590 nm Band 3 : 630-685 nm Band 4 : 690-730 nm Band 5 : 760-850 nm 5 Meter 77 Km 12 Bit
Sumber : RapidEye, 2011 8
1.7 Penginderaan Jauh untuk Mangrove Teknik penginderaan jauh merupakan suatu cara untuk mendapatkan atau mengumpulkan informasi mengenai suatu objek dengan dasar pengukuran dilakukan pada jarak tertentu dari objek dengan dasar pengukuran dilakukan pada jarak tertentu dari objek atau kejadian tersebut tanpa menyentuh atau melakukan kontak fisik langsung dengan objek yang sedang diamati (Nurhapy, 2000) Pemantauan vegetasi mangrove menggunakan teknologi inderaja pada dasarnya dengan mengamati karakteristik reflektan objek. Pada panjang gelombang inframerah dekat, nilai reflektan dari objek vegetasi tinggi, sedangkan pada selang panjang gelombang merah nilai reflektan sedikit menurun, sehingga bila kedua kanal ini dikombinasikan akan dihasilkan data yang memiliki reflektan yang sensitif terhadap kehijauan vegetasi (Nugraha, 2006) Penginderaan jauh vegetasi mangrove didasarkan pada dua sifat penting, yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun (klorofil) dan mangrove tumbuh di pesisir. Sifat optik klorofil sangat khas, yaitu klorofil menyerap spectrum sinar merah dan memantulkan dengan kuat spektrum inframerah. Klorofil fitoplankton yang berada di air laut dapat dibedakan dari klorofil mangrove, karena sifat air yang sangat kuat menyerap spektrum inframerah. Tanah, pasir dan batuan juga memantulkan inframerah tetapi tidak menyerap spektrum sinar merah sehingga tanah dan mangrove secara optik dapat dibedakan. Vegetasi mangrove dan vegetasi teresial yang lain mempunyai sifat optik yang hampir sama dan sulit dibedakan, tetapi karena mangrove hidup di pinggir pantai (dekat air laut) maka biasanya dapat dipisahkan dengan memperhitungkan jarak pengaruh air laut, atau terpisah oleh lahan terbuka, padang rumput, daerah pertambakan atau permukiman (Nurhapy, 2000). Terdapat banyak komposit dalam pengidentifikasian objek perekaman pada citra satelit. Dari banyak objek yang terekam untuk memisahkan mangrove dengan jenis objek yang lainnya dapat digunakan komposit warna semu (false colour composite) dengan cara mengabungkan beberapa jenis kanal yang ada sehingga bisa menghasilkan suatu citra yang lebih ekspresif.
9
Aplikasi yang lebih baru dari penginderaan jauh multispektral telah menitik beratkan pada estimasi jumlah dan distribusi vegetasi. Estimasi didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi. Intensitas pantulan tergantung pada panjang yang digunakan dalam tiga komponen vegetasi yaitu, daun, substrat dan bayangan. Pantulan daun lemah pada panjang gelombang biru dan merah, namun memantulkan kuat pada panjang gelombang inframerah dekat. Daun memiliki karakteristik warna hijau, dimana klorofil mengabsorbsi spectrum radiasi merah dan biru serta memantulkan spectrum radiasi hijau (Yuniar, 2000)
1.8
Pra Pengolahan Data Penginderaan Jauh Pengolahan citra digital adalah kegiatan manipulasi dan menganalisis atau
menginterpretasi citra digital dengan bantuan komputer. Pengolahan ini terdiri dari beberapa langkah yaitu pengolahan data awal, dengan mengkalisikasikan citra digital dan pengujian ketelitian klasifikasi. Kemudian dilanjutkan dengan pengolahan unutk memperoleh perubahan kondisi hutan mangrove (Nurhapy, 2000) Terdapat dua cara dalam menginterpretasi citra menurut Lo (1995) yaitu: 1. Interpretasi cara manual (visual) 2. Interpretasi menggunakan alat bantu perangkat lunak computer (digital) Tetapi terdapat beberapa kelemahan jika menggunkan interpretasi manual (visual) Jensen, (1986) antara lain: a. Sulit dalam membedakan warna, terutama pada warna abu – abu. b. Interpretasi visual ini tidak bisa dilakukan dalam waktu yang relative singkat dan berulang – ulang. c. Tidak mampu
menyimpan data dalam jumlah yang besar jika dilakukan
secara visual. Data yang terekam oleh satelit secara tidak langsung mengalami distorsi, baik itu radiometrik maupun geometrik. Selain mengalami gangguan yang telah disebutkan tadi hasil perekaman terkadang juga mengalami gangguan seperti terdapat beberapa masalah tutuapan awan yang berada dilokasi penelitian. Untuk meminilisir masalah gangguan ini maka ada beberapa hal yang harus dilakukan agar citra tersebut bisa 10
digunakan dan bermanfaat banyak untuk pemetaan sumberdaya. Salah satunya adalah pegolahan (pre – processing) atau retorasi citra.
1.9 Mangrove 1.9.1 Definisi Mangrove Istilah mangrove berasal dari kata mangro yaitu nama yang biasa digunakan untuk
tumbuhan
Rhizophora
mangle di
Suriname. Kata mangrove merupakan
perpaduan antara kata mangal dari bahasa Portugis dan kata grove dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu-individu jenis mangrove tersebut. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove dipergunakan baik untuk komunitas pohon-pohon atau rumput-rumput maupun semak belukar yang tumbuh di laut maupun untuk individu jenis tumbuhan lain yang berasosiasi dengannya. Kata mangrove digunakan untuk jenis-jenis pohon atau semak yang tumbuh di antara batas air tertinggi saat pasang naik dan batas terendah saat surut mendekati rata-rata permukaan laut, dan menggunakan kata mangal bila berhubungan dengan komunitas hutan (Suhaima, 2010) Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut dan pantai berlumpur (Wicaksono, 2006). Karakteristik hutan mangrove antara lain: - Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir. - Dapat tumbuh di daerah tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan kompisisi vegetasi hutan mangrove. - Menerima pasukan air tawar dari darat - Melindungi pantai dari gelombang dan arus pasang surut. Mampu hidup pada air bersalinitas payau (2-22%) hingga asin (38%).
11
- Banyak ditemukan di pantai –pantai teluk yang dangkal, esturi, delta dan daerah pantai yang terlindung. Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang/surut di wilayah pesisir, pantai, atau pulau-pulau kecil dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terjadinya kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarikan dan melakukan pengelolaannya (Waryono dan Yulianto, 2002). Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liama, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Hutan mangrove di Indonesia pada umumnya didominasi oleh empat family, yaitu Rhizophoraceae, Avicenniaceae, Meliaceae dan Sonneritia (Wicaksono, 2006).
1.9.2
Karakteristik Mangrove Mangrove umumnya tumbuh dengan rimbun dan sering membentuk hutan
mangrove di lahan basah di sekitar muara atau rawa pasang/surut di pinggir laut yang tenang. Endapan lumpur yang yang di hanyutkan oleh air dari daratan merupakan substrat tempat tumbuh yang sangat cocok bagi tanaman ini. Di dunia ada sekitar 60 spesies tanaman mangrove, dan 40 spesie diantaranya terdapat di Asia Tenggara. Setiap spesies mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda – beda dalam beradaptasi dengan lingkungannnya. Seperti spesies Rhizophora mucronata mampu hidup di di endapan lumpur yang terendam secara permanen, Avicennia sp., Sonneratia griffithii dan Rhizophora mampu hidup di lingkungan endapan lumpur yang terendam secara periodik yaitu ketika air pasang ukuran menengah. Khusus untuk Rhizophora terdapat di pinggiran air. Di lingkungan endapan lumpur yang selalunya di banjiri oleh pasang besar normal spesies yang paling mendominasi adalah Rhizophora. Tetapi di alam yang dibanjiri oleh air pasang bulan purnama atau bulan gelap, spesies yang paling utama terdapat adalah Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera cylindrical, dan Ceriops sp. Spesies Bruguiera gymophora hidup di 12
lingkungan yang di banjiri oleh air pasang yang tinggi sekali ketika bersamaan dengan banjir dari hulu. (Khiatuddin, 2003) Menurut (Kusmana, 1996), terdapat tujuh persyaratan utama yang diperlukan untuk pertumbuhan mangrove yang baik yaitu : 1. Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5 derajat Celcius dan suhu udara rata – rata dibulan terdingin lebih dari 20 derajat celcius. 2. Arus laut yang tidak terlalu kuat. 3. Tempat – tempat yang terlindungi dari angina kencang dan gempuran ombak yang kuat, misalnya eustaria, teluk, laguna, delta dll. 4. Topografi pantai yang datar/landai. 5. Keberadaan air laut. 6. Fluktuasi pasang – surut yang cukup besar yang berasosiasi dengan pantai yang bertopografi landau dan 7. Keberadaan lumpur dan tanah vulkanik. Pada umumnya mangrove tumbuh dalam empat zona (Noor, 1999) yaitu: 1. Zona Mangrove Terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Komposisi flora dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada substratnya. Contoh adalah Avicennia alba yang mendominasi daerah berpasir, sementara
Avicennia
marina
dan
Rhizophora
mucronata
cenderung
mendominasi daerah berlumpur. 2. Zona Mangrove Tengah, terletak di belakang mangrove zona terbuka. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora sp. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan adalah Bruguiera eriopetala, B. gymnorrhiza, Excoecaria agallocha Rhizophora mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis. 3. Zona Mangrove Payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri dari Cerbera sp, Gluta renghas, Stenochlaena palustris, dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai campuran komunitas Sonneratia dan Nypa lebih sering ditemukan. 13
4. Zona Mangrove Daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove sebenarnya. Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, F. retusa, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Lumnitzera racemoza, Pandanus sp
dan Xylocarpus
moluccensis. Kemampuan mangrove dalam beradaptasi dalam lingkungan ekstrim seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil merupakan bentuk dari sifat mangrove yang menentukan tipe vegetasi mangrove di suatu wilayah. Menghadapi lingkungan yang ekstrim, khususnya kadar oksigen, mangrove membangun sistem keseimbangan melalui perakaran yang khas seperti cakar ayam yang memiliki pneumatofora untuk mengambil oksigen dari udara, dan sebagian berbentuk penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel. Sedangkan terhadap kadar garam,
mangrove memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk
menyimpan garam, berdaun tebal dan kuat yang banyak mengandung air untuk mengatur kesetimbangan garam. Selanjutnya, daun mangrove memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan (Bengen, 2001). Dalam menghadapi struktur tanah yang kurang stabil dan pasang surut, mangrove mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Di samping itu untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Tumbuhan mangrove memang dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang ekstrim, akan tetapi setiap jenis tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik-kimia di lingkungannya. Ada empat faktor utama yang menentukan penyebaran tumbuhan mangrove, yaitu (a) frekuensi arus pasang surut, (b) salinitas tanah, (c) air tanah, dan (d) suhu air (Supriharyono, 2000).
14
1.9.3
Manfaat Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove dapat dimanfaatkan dengan mengambil produk
(ekstraktif), misalnya kayu untuk bahan bangunan, bahan bakar, maupun untuk serat dan tannin. Selain itu mangrove dapat pula dimanfaatkan untuk budidaya perikanan seperti pemijahan bibit ikan, kepiting, dan udang. Namun tak kalah pentingnya, konstribusi yang paling penting dari ekosistem hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah detritus. Bahan ini merupakan sumber organik penting dalam peristiwa rantai makanan akuatik. Hutan mangrove memiliki beberapa fungsi bio-ekologis dan sosio-ekologis (Khairuddin, 2003), yaitu: 1.
Fungsi perlindungan terhadap abrasi laut Sistem perakaran mangrove, yang rapat dan terpancang seperti jangkar, dapat berfungsi meredam gempuran gelombang laut. Cengkraman akar yang menancap pada tanah dapat pula menahan lepasnya partikel-partikel tanah. Dengan demikian abrasi atau erosi oleh gelombang laut dapat dicegah.
2.
Fungsi menangkap sedimen Sistem perakaran mangrove juga efektif dalam menangkap partikel-partikel tanah yang berasal dari hasil erosi di daerah hulu. Perakaran mangrove menangkap partikel-partikel tanah tersebut dan mengendapkannya.
3.
Fungsi sebagai daerah penghasil makanan Mangrove merupakan penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi hewan pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral–mineral hara yang berperan dalam menyuburkan perairan.
4.
Sebagai daerah pemijahan (spawning ground), asuhan (nursery ground), dan daerah mencari makanan (feeding ground). Kehadiran sistem perakaran mangrove yang sangat efektif dalam meredam gelombang laut, membuat lingkungan ekosistem mangrove relatif tenang, dan menjadi tempat terjadinya pembuahan telur ikan yang berlangsung di luar tubuh induknya. Selanjutnya sistem perakaran mangrove akan menahan telur 15
ikan yang telah dibuahi dari kemungkinan hanyut ke laut, hingga menetas. Daerah ini merupakan daerah perlindungan yang baik untuk anak-anak ikan dari serangan predator, serta merupakan wilayah yang kaya akan sumber makanan, sehingga ikan-ikan kecil dapat tumbuh menjadi ikan dewasa. Kemudian serasah daun mangrove diuraikan oleh mikroorganisme (terutama kepiting) dan mikroorganisme pengurai menjadi detritus, sebagai makanan utama plankton. Selanjutnya plankton dimakan oleh binatang laut tingkat yang lebih tinggi. 5.
Sebagai daerah bersarang burung Mangrove dengan tajuknya yang rata dan rapat serta selalu hijau, merupakan tempat yang disukai oleh burung-burung besar untuk membuat sarang dan bertelur. Dengan berkembangbiaknya burung, maka dapat menghambat perkembangbiakan nyamuk malaria karena nyamuk tersebut dikonsumsi oleh burung yang berkembangbiak dan bersarang di tajuk mangrove tersebut.
6.
Habitat alami yang membentuk keseimbangan ekologis Dalam lingkungan ekosistem mangrove
terdapat berbagai aneka macam
biota. Dalam keadaan alami keragaman biota tersebut membentuk suatu keseimbangan, terutama keseimbangan antara biota yang dimangsa (prey) dengan biota pemangsa (predator), atau terjadi simbiosis mutualisme. 7.
Fungsi mencegah terjadinya keasaman tanah Di dalam dasar lumpur pantai sering terjadi penimbunan pyrite. Kehadiran tegakan hutan mangrove dapat mencegah pembongkaran sedimen yang kaya akan kandungan pyrite, sehingga tidak memungkinkan terjadinya oksidasi dengan udara yang dapat bereaksi menjadi asam sulfat. Dengan demikian proses pengasaman lahan dapat dicegah.
8.
Fungsi perlindungan pemukiman dari bahaya angin laut Jajaran tegakan mangrove yang tumbuh di pantai dapat melindungi pemukiman di belakangnya (ke arah daratan) dari hembusan angin laut yang kencang. Angin laut, yang bertiup kencang ke arah daratan, ditahan oleh mangrove dan dibelokkan ke arah atas. Dengan demikian pemukiman di 16
belakangnya menjadi terletak di belakang bayangan angin, sehingga suasana kehidupan menjadi lebih nyaman. 9.
Fungsi menghambat intrusi air laut Kehadiran ekosistem hutan mangrove di pantai menjadi wilayah penyangga terhadap rembesan air laut ke daratan.
10. Daerah penghasil kayu Pohon jenis Rhizopora Spp. Merupakan bahan dasar untuk pembuatan kayu arang dan untuk bahan bangunan (teki). 11. Daerah penghasil ikan Daerah/wilayah yang memiliki kawasan hutan mangrove yang luas merupakan wilayah penghasil ikan yang cukup produktif. Hal ini dikaitkan sebagai wilayah spawning ground dan kaya akan makanan alami. 12. Daerah pariwisata Pada beberapa kawasan, hutan mangrove merupakan daerah yang potensi untuk dikembangkan kegiatan pariwisata. Kawasan yang telah dikembangkan dan cukup menarik sebagai kawasan pariwisata yaitu kawasan hutan mangrove Cilacap.
1.9.4
Ekosistem Mangrove Tumbuhan mangrove dapat ditemukan di seluruh wilayah kepulauan
Indonesia. Dari data hasil pemetaan Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL) – Bakosurtanal dengan hasil analisis citra Landsat ETM dari tahun 2006200 dengan 190 scenes citra yang digunakan, dinyatakan bahwa mangrove yang terluas berada di Pulau Irian dengan luas 1,63 juta hektar dan di Provinsi Riau hanya sekitar 206.292 ha. Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada zona pasang – surut di sepanjang garis pantai daerah tropis seperti laguna, rawa, delta dan muara sungai. Ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis tetapi labil. Kompleks, karena didalam ekosistem mangrove dan perairan maupun tanah dibawahnya merupakan habitat berbagai jenis satwa daratan dan biota perairan. Dinamis, karena ekosistem mangrove 17
dapat terus tumbuh dan berkembang serta mengalami suksei serta perubahan zonasi sesuai dengan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan sulit unutk pulih kembali (Kusmana, 1995). Dikarenakan kondisi hutan mangrove yang digenangi oleh air laut secara periodik dan mempunyai salinitas yang tinggi, dapat memberikan dampak terhadap keberadaan jenisnya. Oleh sebab itu keragaman jenis hutan mangrove secara umum relative rendah jika dibandingkan dengan tipe hutan alam lainnya. Halofit adalah salah satu jenis tumbuhan yang dapat tumbuh pada ekosistem mangrove. Halofit adalah jenis tegakan yang mampu bertahan pada tanah yang mengandung garam dari genangan air laut. Dalam menentukan Zonasi, mangrove ditentukan oleh tanah, salinitas penggenangan, laju pasang-surut, pengendapan dan pengikisan serta ketinggian nisbi darat dari air. Zonasi juga menggambarkan tahapan suksesi yang sejalan dengan perubahan tempat tumbuh. Secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam 4 zona (White et al. 1989), dimana : 1. Daerah terbuka, mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. 2. Daerah tengah, mangrove zona ini terletak dibelakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizhopora. 3. Daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. 4. Daerah yang mengarah kearah daratan yang memiliki air tawar.
18