1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Penelitian Indonesia saat ini sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai
sektor khususnya sektor ekonomi. Naiknya harga minyak dunia, tingginya tingkat inflasi, naiknya harga barang-barang dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika serta turunnya daya beli masyarakat telah menjadi masalah yang sangat rumit yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Untuk tetap dapat bertahan dan memperbaiki kondisi ekonomi yang ada, pemerintah harus mengupayakan semua potensi penerimaan yang ada. Pada saat ini tengah digali berbagai macam potensi untuk meningkatkan penerimaan negara, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun seiring dengan berkembangnya kemampuan analisis para praktisi ekonomi yang menyatakan bahwa mengandalkan pinjaman dari luar negeri sebagai salah satu sumber penerimaan negara hanya akan menjadi bumerang dikemudian hari, potensi penerimaan dari pinjaman luar negeri akan semakin dikurangi. Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia akan
berusaha
untuk
lebih meningkatkan potensi penerimaan
negara dari dalam negeri, dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pajak telah memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan Negara. Salah satu sumber pendapatan Negara adalah dari pajak, menurut UUD 1945 pasal 23 ayat (2) disebutkan segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan UUD. UU Pajak adalah UU yang mengatur para wajib pajak dan fiskus untuk melakukan kewajibannya. Sesuai dengan namanya PPN hanya dikenakan atas Pertambahan Nilai yang timbul pada setiap penyerahan barang atau jasa pada suatu mata rantai produksi (Geruh : 2013). Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, pajak adalah salah satu primadona penerimaan Negara yang paling potensial, selanjutnya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana kepentingan umum (public utilities). Dengan
2
kata lain, pendapatan Negara dari sektor pajak merupakan motor penggerak kehidupan ekonomi masyarakat yang merupakan sarana nyata bagi pemerintah untuk mampu
menyediakan
berbagai
prasarana
ekonomi
yang
ditujukan
untuk
kesejahteraan masyarakat. Karena itu, nyatalah bagi kita bahwa pajak secara langsung dapat meningkatkan pertumbuhn ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (Suyanto : 2012). Penerimaan dari sektor pajak terbagi menjadi dua golongan, yaitu dari pajak langsung contohnya pajak penghasilan dan dari pajak tidak langsung contohnya pajak pertambahan nilai, bea materai, bea balik nama. Memang, dilihat dari segi penerimaan, Pajak Panghasilan dapat membantu
negara
dalam
membiayai
pengeluaran, namun tidak semua orang dapat dikenakan PPh. Pajak Penghasilan hanya dapat dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang telah berpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), karena pajak tersebut dapat dilimpahkan kepada orang lain sehingga memungkinkan semua orang dapat dikenakan PPN. Dan juga seperti yang kita ketahui bahwa hampir seluruh barang-barang kebutuhan hidup rakyat Indonesia merupakan hasil produksi yang terkena PPN. Dengan kata lain, hampir semua transaksi di bidang perdagangan, industri dan jasa yang termasuk dalam golongan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak pada prinsipnya terkena PPN. Oleh karena itu walaupun seseorang belum memiliki NPWP namun ia tetap terkena PPN namun dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak sebagai pihak yang berhak memungut PPN yang nantinya PPN yang dipungut tersebut akan disetorkan ke kas Negara. Dalam melakukan pemungutan pajak tersebut Indonesia menganut tiga sistem, Official Assessment System, Self Assessment System, dan Withholding System. Ketiga sistem diatas mempunyai keistimewaan masing-masing. Namun yang memiliki peranan yang lebih dominan adalah pada self assessment system karena diterapkan pada sistem pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta sebagian pada Pajak Bumi dan Bangunan.
3
Sistem self assessment umumnya diterapkan pada jenis pajak yang dimanawajib pajak tersebut cukup mampu untuk diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan utang pajaknya sendiri. Dalam hal ini dikenal sebagai 5 M, yakni mendaftarkan diri ke KPP (Kantor Pelayanan Pajak) untuk mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), menghitung dan memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang terutang, menyetor pajak tersebut ke Bank Persepsi /Kantor Giro Pos dan melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak, serta terutama menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) dengan baik dan benar. Peranan fiskus dalam hal ini yakni mengamati dan mengawasi pelaksanaannya dan melakukan pemeriksaan dan mengenakan sanksi perpajakan sesuai peraturan perundangan perpajakan yang berlaku (Nursanti dan Padmono : 2013). Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pajak telah memberikan kontribusi cukup tinggi dalam penerimaan Negara. Dalam struktur penerimaan APBN, kita mengenal dua pos penerimaan Negara bukan pajak. Penerimaan Negara Negara tahun 20092013 dari sektor perpajakan berasal dari : 1.
Penerimaan pajak dari dalam negeri berasal dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan cukai.
2.
Penerimaan pajak perdagangan international yang berasal dari bea masuk, pajak atas impor.
Berikut ini disajikan tabel perkembangan pendapatan Negara tahun 2009-2013 Tabel 1.1 Perkembangan Pendapatan Negara Tahun 2009-2013 (triliun rupiah) Uraian 2009 2010 2011 2012 I. Penerimaan Dalam Negeri 847,1 992,2 1.205,3 1.332,3 1. Penerimaan Perpajakan 619,9 723,3 873,9 980,5 a. Pajak Dalam Negeri 601,3 694,4 819,8 930,9 1) Pajak Penghasilan 317,6 357,0 431,1 465,1 a) Migas 50,0 58,9 73,1 83,5
2013 1.432,1 1.007,3 1.029,9 506,4 88,7
4
b) Nonmigas 267,6 298,2 358,0 381,6 417,7 2) Pajak Pertambahan Nilai 193,1 230,6 277,8 337,6 384,7 3) Pajak Bumi dan Bangunan 24,3 28,6 29,9 29,0 25,3 4) BPHTB 6,5 8,0 (0,7) 5) Cukai 56,7 66,2 77,0 95,0 108,5 6) Pajak Lainnya 3,1 4,0 4,0 4,2 4,9 b. Pajak Perdagangan International 18,7 28,9 54,1 49,7 47,5 1) Bea Masuk 18,1 20,0 25,7 28,4 31,6 2) Bea Keluar 0,6 8,9 28,9 21,2 15,8 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 227,2 268,9 331,5 351,8 354,8 a. Penerimaan SDA 139,0 168,8 213,8 225,8 226,4 1) SDA Migas 125,8 152,7 193,5 205,8 203,6 a) Minyak bumi 90,1 111,8 141,3 144,7 135,3 b) Gas alam 35,7 40,9 52,2 61,1 68,3 2) SDA Non Migas 13,2 16,1 20,3 20,0 22,8 a) Pertambangan Umum 10,4 12,6 16,4 15,9 18,6 b) Kehutanan 2,3 3,0 3,2 3,2 3,1 c) Perikanan 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 d) Panas Bumi 0,4 0,3 0,6 0,7 0,9 b. Bagian Laba BUMN 26,0 30,1 28,2 30,8 34,0 c. PNBP Lainnya 53,8 59,4 69,4 73,5 69,7 d. Pendapatan BLU 8,4 10,6 20,1 21,7 24,6 II. Penerimaan Hibah 1,7 3,0 5,3 5,8 6,8 Jumlah 848,8 995,3 1.210,6 1.338,1 1.438,9 Sumber : www.kemenkeu.go.id : Kementerian Keuangan Nota Keuangan dan RAPBN-P 2015 Berdasarkan tabel 1.1 di atas menunjukkan bahwa di dalam Perkembangan Pendapatan Negara dari tahun 2009-2013, peran pajak sangat besar untuk pendapatan Negara. Pajak yang berasal dari dalam negeri lebih besar dari pada, baik pajak perdagangan internasional maupun penerimaan Negara bukan pajak. Hal ini terlihat jelas bahwa pajak sangat berpengaruh untuk sumber Penerimaan Negara. Kita sering berbicara mengenai kesejahteraan dan kemandirian bangsa dalam berbagai aspek kehidupan, dan membicarakan hal tersebut maka tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai sumber pendapatan Negara. Maka dari itu, Indonesia akan berusaha untuk lebih meningkatkan potensi penerimaan Negara dari dalam negeri, dan tidak dapat
5
dipungkiri lagi bahwa pajak telah memberikan kontribusi cukup tinggi dalam Penerimaan Negara. Penerimaan pajak sangat berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pendapatan masyarakat, agar masyarakat mempunyai kemampuan secara finansial untuk membayar pajak. Selain itu besarnya pemungutan pajak, penambahan pajak, dan optimalisasi penggalian sumber pajak melalui objek pajak juga berperan dalam meningkatkan penerimaan dari pajak. Pada tahun 2015, jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP) menurun sebanyak 1013 PKP dari total 1272 PKP. Hal ini dikarenakan PKP tidak bisa mematuhi kewajiban perpajakannya. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kepatuhannya belum optimal. Berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan, Negara Indonesia akan menghadapi kendala terutama masalah kemauan masyarakat untuk membayar pajak. Hal ini akan muncul perilaku penghindaran pajak (tax avoidance) dari masyarakat sebagai wujud dari ketidakannya dalam membayar pajak yang dibebankan oleh Negara. Upaya dalam meningkatkan penerimaan pajak harus dihadapkan pada kondisi masih belum optimalnya sistem perpajakan yang dijalankan. Sesuai dengan prinsip perpajakan di Indonesia yang menganut Self Assessment System, maka setiap wajib pajak harus menghitung dan menyetor pajaknya sendiri tanpa menunggu Surat Ketetapan Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak. Prinsip tersebut membayar pajak sendiri tanpa menguntungkan adanya ketetapan pajak ini sesuai dengan pasal 12 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000 dan berdasarkan UU RI No. 28 tahun 2007 pasal 2 ayat 1 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan bahwa setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktoral Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak kepadanya dan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
6
Lalu pada ayat 2 juga disebutkan bahwa setiap wajib pajak sebagai pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai tahun 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (Nursanti dan Padmono : 2013). Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Nursanti dan Padmono (2013) bertujuan untuk menguji apakah PKP yang terdaftar, SPT masa PPN, SSP PPN (sarana dan wujud nyata dari Self Assessment System) dan STP PPN berpengaruh terhadap penerimaan PPN secara simultan dan parsial. Sedangkan Geruh (2013) menggunakan penelitian penerapan akuntansi terhadap PPN. Dan Suyanto (2012) dalam jurnalnya menggunakan variabel kepuasan wajib pajak dan pemahaman atas sistem self assessment. Berkaitan dengan permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai : “PENGARUH SELF ASSESSMENT SYSTEM DAN SURAT
TAGIHAN
PAJAK
TERHADAP
PENERIMAAN
PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI PADA PENGUSAHA KENA PAJAK (Studi Kasus pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung)”. 1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, penulis mengidentifikasikan
masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana penerapan Self Assessment System terhadap Pajak Pertambahan Nilai pada Pengusaha Kena Pajak di KPP Madya Bandung tahun 2009 - 2013. 2. Bagaimana Surat Tagihan Pajak terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai pada Pengusaha Kena Pajak di KPP Madya Bandung tahun 2009 – 2013. 3. Bagaimana realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai pada Pengusaha Kena Pajak di KPP Madya Bandung tahun 2009 – 2013.
7
4. Seberapa besar pengaruh penerapan Self Assessment System dan Surat Tagihan Pajak terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai pada Pengusaha Kena Pajak di KPP Madya Bandung tahun 2009-2013. 1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk mengetahui penerapan Self Assessment System dan Surat Tagihan Pajak terhadap Pajak Pertambahan Nilai pada Pengusaha Kena Pajak di KPP Madya Bandung tahun 2009 -2013. 2. Untuk mengetahui Surat Tagihan Pajak terhadap Pajak Pertambahan Nilai pada Pengusaha Kena Pajak di KPP Madya Bandung tahun 2013-2014. 3. Untuk mengetahui penerimaan Pajak Pertambahan Nilai pada Pengusaha Kena Pajak di KPP Madya Bandung tahun 2009 -2013. 4. Untuk mengetahui besarnya pengaruh penerapan Self Assessment System dan Surat Tagihan Pajak terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai pada Pengusaha Kena Pajak di KPP Madya Bandung tahun 2009 -2013.
1.4
Kegunaan Penelitian
1.
Bagi penulis Penelitian ini merupakan pengalaman berharga dimana penulis dapat memperoleh gambaran yang nyata mengenai bagaimana penerapan teori-teori yang telah dipelajari di bangku kuliah terutama dalam meningkatkan pemahaman dan wawasan keilmuan di Bidang Perpajakan khususnya tentang Self Assessment System dan Surat Tagihan Pajak terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai
2.
Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan dokumentasi untuk melengkapi sarana yang dibutuhkan dalam penyediaan bahan studi bagi pihak
8
yang membutuhkan dan menjadi sumber informasi dan referensi dalam penelitian yang sejenis. 1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya
Bandung Jl. Asia Afrika No.114 Bandung. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2015 sampai dengan bulan Juli 2015.