BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Penelitian Mudharabah merupakan perjanjian bagi hasil antara pemilik modal (uang
atau barang) dengan pengusaha (enterpreneur) yang memiliki keahlian atau pengalaman dalam pengelolaan sebuah proyek. Di sini pemodal tidak diperbolehkan mengelola usaha namun sekedar pengusulan dan pengawasan. Bila usaha ini mengalami kerugian akan sepenuhnya ditanggung pemilik modal kecuali bila ada penyelewengan dari pengusaha. Produk pembiayaan Mudharabah Bank Syariah mempunyai spesifikasi khas, yaitu tidak didasarkan pada bunga tetapi menggunakan pola bagi hasil. Perjanjian bagi hasil dituangkan dalam proporsi yang disebut dengan nisbah, sebagai contoh 60% untuk nasabah dan 40% untuk bank. Mudharabah merupakan pola kerjasama ekonomi yang menjadi unggulan bank syariah. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak masyarakat yang mengidentifikasikan bank syariah sebagai “bank bagi hasil”. Bagi hasil pada pembiayaan Mudharabah berbeda dengan bunga pada pinjaman modal bank konvensional yang di anggap lebih mampu menjamin keadilan tersebut yang merupakan hakekat perekonomian Islam dan bebas dari ribawi.
Menurut Karim (2008) menyatakan: “Bahwa tahun 2008 benar-benar menjadi tahun istimewa bagi industri perbankan syariah Indonesia. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan di tujuh kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Makasar, dan Malang menunjukkan tingkat awareness yang sangat tinggi. Hampir seluruh responden (97,8%) pernah mendengar tentang bank syariah. Artinya, upaya sosialisasi selama ini membuahkan hasil yang optimal. Riset itu juga menunjukkan tingkat minat yang tinggi (71%) untuk menjadi nasabah bank syariah. Dan, yang paling menarik adalah dari nasabah yang belum menjadi nasabah bank syariah 62,5% berminat menjadi nasabah bank syariah.”
1
2
berdasarkan hasil riset tersebut tentunya kita dapat menyimpulkan bahwa sosialisasi bank syariah pada masyarakat pada tahun 2008 sepenuhnya dapat dikatakan berhasil. Bank syariah yang sesuai dengan syariat Islam tentunya dapat memenuhi kebutuhan dari sebagian penduduk Indonesia yang sebagian besar adalah pemeluk agama Islam, dimana bunga bank konvensional bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu kita tidak dapat menutup mata bahwa dalam Islam riba merupakan dosa besar yang banyak dikecam oleh Al-Quran maupun Sunnah. Bagi hasil juga dibuat sebagai akibat tidak sesuainya bunga dengan syariat Islam, sehingga perlu didirikan bank dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Seperti menurut Agustianto (2008) diungkapkan bahwa: “Al-Quran secara tegas mengancam perilaku riba dengan masuk neraka yang mereka kekal di dalamnya (2:275). Al-Quran juga secara ekplisit menyebutkan riba sebagai perbuatan yang zalim (QS.2:278 dan QS.4:160). Hadits Nabi yang tegas mengutuk pelaku riba, juru tulis dan para saksinya (H.R Muslim). Riba menurut Nabi Saw lebih besar dosanya dari 33 kali berzina. Bahkan dikatakan oleh Nabi Saw. Bahwa riba memiliki 73 tingkatan, yang paling ringan daripadanya ialah seperti seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri (Al-Hakim).” Berikut pendapat lain yang mengharamkan bunga bank: 1. Organisasi Konferensi Islam (OKI) Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi, Pakistan bulan Desember 1970 telah menyepakati: Praktek Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam, perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. 2. Mufti Negara Mesir Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan.
3
3. Konsul Kajian Islam Dunia Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Diantara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’, Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari amerika, eropa dan dunia Islam.
Tetapi faktanya, semua bank syariah di Indonesia sekarang ini menetapkan nisbah bagi hasil secara ex-rate, bagi pembiayaan Mudharabah. Artinya dalam praktek, bank syariah sebenarnya menerapkan mekanisme yang tidak jauh berbeda dengan bank konvensional yang berdasarkan bunga. Untuk pembiayaan Mudharabah, beberapa bank syariah tidak hanya menentukan nisbah yang ditetapkan sebelumnya, tapi nilainya bahkan bisa lebih tinggi dari bunga pinjaman konvensional. Itu terjadi setelah adanya berbagai biaya dan fee tambahan. Fenomena ini menyebabkan timbulnya persepsi bahwa sistem bagi hasil bank syariah lebih mencekik daripada sistem bunga bank konvensional, dimana sistem bunga bank konvensional dapat memberikan keuntungan lebih tinggi daripada bank syariah. Berikut disajikan beberapa contoh yang menurut penulis terkait dengan fenomena persepsi negatif atas bagi hasil pembiayaan Mudharabah, adalah sebagai berikut: a. Seorang pengusaha meminjam pada bank syariah untuk urusan properti 20 milyar. Kemudian pengusaha tersebut memberikan presentasi bahwa properti itu bisa mendapatkan keuntungan, contoh 100 juta/bulan. Bank syariah mandiri tidak mematok persentase keuntungan seperti yang seharusnya, dia mematok angka nominal, misal 30 juta/bulan (tanpa cicilan). 30 juta ini harus dibayar per bulan tanpa peduli keuntungan yang diperoleh, walaupun hasil tersebut fluktuatif contoh 100 juta, 10 juta, atau bahkan rugi 40 juta sekalipun
4
tetap harus membayar 30 juta pada bank syariah mandiri tersebut. Kemudian setelah diakumulasikan pembayaran dan pengembalian modal kepada bank syariah mandiri ternyata lebih banyak 4 milyar daripada bank konvensional. b. Seorang nasabah meminjam pada salah satu bank syariah yang ada di kotanya. Anehnya sistem bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah tersebut tidak memakai persentase. Bank syariah tersebut memakai sistem bagi hasil nominal, sehingga jika nasabah tersebut mendapat hasil yang fluktuatif bahkan rugi maka harus membayar sebesar nominal tersebut, hal ini menimbulkan persepsi bahwa sistem bagi hasil lebih rentenir daripada sistem bunga. Dari kedua contoh dapat disimpulkan, bahwa beberapa nasabah memiliki persepsi yang cenderung kecewa dengan sistem bagi hasil bank syariah, dimana prinsip-prinsip bagi hasil yang semestinya dipakai tidak dijalankan. Terlebih bagi hasil yang memiliki keuntungan lebih rendah daripada sistem bunga, tentunya sangat mengecewakan nasabah. Maka dari itu merujuk pada hasil contoh tersebut dan juga fenomena mengenai persepsi atas bagi hasil pembiayaan Mudharabah, peneliti tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai persepsi atas bagi hasil pembiayaan Mudharabah terhadap minat masyarakat menjadi nasabah bank syariah. Dengan melakukan penelitian dengan topik “Hubungan Persepsi Atas Bagi Hasil Pembiayaan Mudharabah terhadap Minat Mahasiswa menjadi Nasabah Bank Syariah.”
1.2
Identifikasi Masalah Perkembangan perbankan syariah sangat prospektif dengan melihat
Indonesia yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia, kekayaan alamnya mendukung stabilitas pertumbuhan ekonomi dan keuangan, serta budaya sosial di negeri ini tentang bagi hasil sangat sejalan dengan prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah. Hal tersebut memberikan harapan besar serta diprediksi akan menciptakan persaingan sengit pada lahan keuangan syariah itu sendiri dalam beberapa tahun ke depan. Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian di atas maka yang menjadi permasalahannya adalah apakah persepsi atas bagi hasil
5
pembiayaan Mudharabah dapat mempengaruhi minat mahasiswa untuk menjadi nasabah Bank Syariah.
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian Dari perumusan masalah yang telah dipaparkan oleh penulis, dapat
dikemukakan bahwa maksud dan tujuan penelitian ini adalah mengetahui Hubungan Persepsi Atas Bagi Hasil Pembiayaan Mudharabah terhadap Minat Mahasiswa menjadi Nasabah Bank Syariah.
1.4
Kegunaan Penelitian Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan wawasan dan
memberikan gambaran secara nyata mengenai bagaimana mekanisme bagi hasil pembiayaan Mudharabah yang terjadi dan minat mahasiswa menjadi nasabah Bank Syariah. Dan sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana Ekonomi jurusan Akuntansi S-1 fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. Bagi Bank Syariah Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan mengenai bagaimana tindak lanjut dari fenomena persepsi atas bagi hasil pembiayaan Mudharabah
yang terjadi, sehingga dapat meluruskan fenomena tersebut
berdasarkan kejadian sebenarnya yang terjadi pada bank syariah. Masyarakat Umum Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai bagi hasil pada pembiayaan Mudharabah sehingga dapat membantu masyarkat dalam menentukan keputusannya untuk menjadi nasabah bank syariah atau tidak. Bagi Peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya yang lebih spesifik mengenai hal-hal yang berkaitan.
6
1.5
Kerangka Pemikiran Pengertian Mudharabah menurut PSAK 59 tentang Akuntansi
Perbankan Syariah “Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka.”
Menurut Hosen (2008) Mudharabah adalah: “Suatu perjanjian atau akad kerjasama usaha/bisnis antara pemilik modal atau yang disebut Rabb al-mal dengan pengelolanya yaitu yang disebut sebagai Mudharib.” Tidak terbatas pada dua orang, Akad pembiayaan Mudharabah ini dapat dilakukan oleh beberapa Rabb al-mal dan beberapa Mudharib. Meskipun Akad pembiayaan Mudharabah dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan, sangat dianjurkan untuk menuangkan Akad ini dalam perjanjian tertulis dengan menghadirkan saksi-saksi untuk menghindari kesalahpahaman dan persengketaan di kemudian hari. Pembiayaan Mudharabah dapat dilakukan secara terbuka maupun secara terbatas. Dalam Mudharabah terbuka, kerjasama tidak dibatasi waktu, tempat, jenis usaha, jenis industri, pasar, konsumen, suppliers, dan lain sebagainya. Apabila ada satu saja pembatas, maka Mudharabah yang demikian disebut sebagai Mudharabah terbatas. Dalam hal Mudharabah dilakukan secara terbatas maka mudharib harus mematuhi batasan-batasan yang disepakatinya dengan rabb al-mal. Pada perjanjian pembiayaan Mudharabah ini, rabb al-mal menyetorkan modal usaha yang akan dikelola oleh mudharib dan hasil keuntungannya di bagi sesuai dengan kesepakatan bersama kedua belah pihak dalam persentase: 50%:50%, 60%:40%, 70%:30%, 80%:20%, dari laba atau pendapatan yang akan diperoleh. Bagi hasil bisa dibagi dalam pendapatan (profit sharing) atau bagi laba (profit sharing). Pada akhir bulan, setelah perhitungan pendapatan dari
7
pembiayaan didapatkan, bank syariah akan membagi keuntungan sesuai proporsi dana nasabah dan nisbah bagi hasilnya. Pada prinsip bagi hasil ini, 100% modal berasal dari rabb al maal dan 100% pengelola bisnisnya dilakukan oleh mudharib. Kalau nantinya dari usaha tersebut menghasilkan keuntungan, maka keuntungannya di bagi antara rabb almal dengan mudharib, kalau hasil usahanya merugi, maka kerugian separuhnya di tanggung oleh rabb al-mal, sementara mudharib akan mengalami rugi waktu dan tenaga, tetapi apabila kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaian dari mudharib maka sudah sepatutnya mudharib bertanggung jawab juga atas terjadinya kerugian pada usaha tersebut.
Penjelasan diatas didukung dengan
pendapat
Muchtasib (2008)
mengenai sistem bagi hasil: “Di dalam perbankan syari’ah Indonesia sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah sistem bagi hasil dengan berlandaskan pada sistem revenue sharing. Bank syari’ah dapat berperan sebagai pengelola maupun sebagai pemilik dana, ketika bank berperan sebagai pengelola maka biaya tersebut akan ditanggung oleh bank, begitu pula sebaliknya jika bank berperan sebagai pemilik dana akan membebankan biaya tersebut pada pihak nasabah pengelola dana.” Manfaat pembiayaan Mudharabah ini bagi perusahaan atau nasabah akan dapat mengurangi biaya tetap yang dikeluarkannya. Tidak sebagaimana dalam pola pembiayaan dengan bunga yang akan menambah biaya tetap, karena adanya kewajiban nasabah untuk membayar bunga dalam prosentase tertentu dalam kondisi apapun, sehingga akan menurunkan kemampuan nasabah untuk bersaing dari sisi harga dengan pesaingnya. Disamping dari segi manfaat juga terdapat kerugian seperti fenomena persepsi atas bagi hasil pada pembiayaan Mudharabah dimana nilainya lebih tinggi daripada bunga, berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa nisbah bagi hasil dilaksanakan secara ex-rate. Artinya dalam praktek, bank syariah sebenarnya menerapkan mekanisme yang tidak jauh berbeda dengan bank konvensional yang berdasarkan bunga (tidak berdasarkan prinsip syariah). Untuk pembiayaan
8
Mudharabah, beberapa bank syariah tidak hanya menentukan nisbah yang ditetapkan sebelumnya, tapi nilainya bahkan bisa lebih tinggi dari bunga pinjaman konvensional. Itu terjadi setelah adanya berbagai biaya dan fee tambahan. Hal ini tentunya dapat memberikan persepsi negatif pada mahasiswa sehingga akan menurunkan minat mahasiswa untuk menjadi nasabah bank syariah. Sebagai proses pengambilan keputusan, perilaku konsumen untuk menjadi nasabah sangat dipengaruhi oleh faktor intern, seperti sikap, persepsi, motivasi, dan faktor ekstern, seperti pengaruh kelompok referensi, pendidikan, kondisi sosial dan keluarga. Disamping itu dari pihak bank ada beberapa akibat maupun faktor yang dapat mempengaruhi minat nasabah untuk menjadi nasabah di suatu bank. Seperti lokasi Bank di kawasan strategis, segala sarana dan prasarana yang eksklusif yang memberikan kenyamanan, pelayanan yang cepat dan ramah, keamanan berinvestasi serta keuntungan yang
akan diberikan. Dengan
mengetahui alasan nasabah memutuskan untuk menjadi nasabah bank, pihak bank akan mendapat gambaran mengenai siapa nasabahnya, untuk keperluan apa, maupun siapa mereka.
Hasil penelitian Naser dkk. (1999) mengungkapkan: ”Penelitian terhadap sampel sebanyak 206 nasabah bank syariah di Yordania, meneliti bagaimana kesadaran dan kepuasan nasabah terhadap produk dan fasilitas bank syariah. Hasilnya menunjukkan meskipun nasabah sadar akan produk dan fasilitas yang ditawarkan bank syariah seperti mudharabah, namun tanggapan nasabah mengindikasikan belum puas atas produk dan fasilitas yang tersedia. Kemudian, faktor yang mendorong nasabah memilih bank syariah adalah faktor reputasi bank, alasan agama, prinsip syariah yang digunakan, kemampuan bank menjaga kerahasiaan, alasan agama, dan alasan keuntungan.” Sementara itu, Gerrad dan Cunningham (1997: 3) melalui studi empirisnya di Singapura, menghasilkan kesimpulan: ”Dengan menggunakan 190 responden menemukan bahwa sikap muslim dan non muslim dalam memilih bank syariah secara signifikan tidak berbeda. Yang mendorong mereka memilih bank syariah adalah pelayanan yang cepat dan efisien, keuntungan, kerahasiaan bank, reputasi dan citra bank, ringannya biaya cek, dan tersedianya tempat parkir. Disimpulkan
9
bahwa mereka memilih bank syariah didasarkan pada faktor ekonomis dan agama.” Hasil penelitian kerjasama Bank Indonesia dan Institut Pertanian Bogor (2000: 3) tentang bank syariah di wilayah Jawa Barat menunjukkan: ”Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat menggunakan jasa bank syariah adalah lokasi/akses, bagi hasil, pelayanan, kredibilitas, fasilitas, status, dan pengetahuan nasabah tentang bank syariah. Kesimpulan umum dari riset ini adalah bahwa masyarakat memilih dan menggunakan produk bank syariah lebih karena faktor ekonomis dan keuntungan.” Berdasarkan beberapa penelitian di atas kita dapat menyimpulkan, setelah selama ini berhasil memberikan keuntungan emosional, sekarang praktisi perbankan syariah perlu lebih agresif dalam meningkatkan keuntungankeuntungan fungsional (ekonomis) yang dituntut oleh nasabah. Karena saat ini bank sudah memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan hampir setiap orang. Bukan hanya sebagai tempat menyimpan uang, tetapi juga sebagai intermediator dalam transaksi bisnis, pembayaran gaji, dan semua aktivitas yang membutuhkan layanan cepat dan memudahkan. Alhasil, masyarakat memiliki persepsi positif mengenai bagi hasil pembiayaan mudharabah dan minat mahasiswa akan meningkat serta memilih bank syariah. Kemudian banyak nasabah perbankan konvensional yang kemungkinan akan beralih ke perbankan syariah. Hal ini dikarenakan perbankan syariah berhasil memberikan keuntungan emosional sekaligus keuntungan fungsional kepada seluruh nasabahnya. Kemudian dikarenakan tidak adanya penelitian mengenai pengaruh persepsi atas bagi hasil pembiayaan mudharabah sebelumnya, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: ”Hubungan persepsi atas bagi hasil pembiayaan Mudharabah terhadap minat mahasiswa untuk menjadi nasabah bank syariah."
10
1.6
Metodologi Penelitian Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dengan menggunakan pendekatan survei dimana suatu prosedur penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, menyusun, menganalisa dan menginterpretasikan data sehingga dapat memberikan gambaran keadaan yang terjadi secara nyata untuk kemudian ditarik kesimpulan yang dapat dijadikan dasar untuk memberikan saran. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Penelitian Lapangan (Field Research) Yaitu penelitian untuk mendapatkan data primer dengan mengadakan peninjauan langsung terhadap perusahaan yang dipilih menjadi objek penelitian dengan maksud untuk mendapatkan data yang berhubungan dengan hal yang akan diteliti agar lebih meyakinkan dan lebih akurat. 2. Pendekatan Kepustakaan (Library Research) Yaitu penelitian sebagai usaha memperoleh keterangan dan data dengan membaca dan mempelajari bahan-bahan teoritis dan buku-buku literatur dan catatan-catatan kuliah serta sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, agar diperoleh suatu pemahaman yang mendalam serta menunjang proses pembahasan mengenai masalahmasalah yang diidentifikasi.
1.7
Lokasi dan Waktu Penelitian Adapun lokasi penelitian dilakukan kepada mahasiswa yang sudah
menempuh mata kuliah topik khusus dalam akuntansi di Universitas Widyatama. Sedangkan
waktu
penelitian
(penyebaran
dan
pengumpulan
berlangsung pada bulan September 2011 sampai dengan selesei.
kuesioner)
11
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran