BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulid Tak Ingin Pergi Ke Malaysia merupakan novel karya Mahfud Ikhwan yang diterbitkan oleh Jogja Bangkit pada tahun 2009. Kemudian pada tahun 2012 novel tersebut sempat diikutkan sayembara penulisan novel yang diadakan oleh DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), tetapi novel tersebut tidak bernasib sama seperti novel karya Mahfud Ikhwan lainnya, yakni Kambing dan Hujan (2014) yang menjadi juara pertama dalam sayembara tersebut. Pada penerbitan awal novel Ulid Tak Ingin Pergi Ke Malaysia (selanjutnya disingkat UTIM) karya Mahfud Ikhwan mengalami masamasa yang sulit. Selain tifan berhasil meraih juara dalam sayembara penulisan novel yang di adakan DKJ, masalah lain juga berasal dari penerbit JB (Jogja Bangkit) yang menggarap novel ini tidak serius. Penerbit tersebut melakukan kesalahan yang mendasar dalam masalah menerbitkan, pertama, adalah maslaah sampul da yang kedua, adalah masalah editor kebahasaan. Mengenai novel UTIM (2009) secara historis sebagai novel yang gagal dalam penerbitan dan marketing, menjadikan novel tersebut tidak banyak dikenal seperti halnya novel Laskar Pelangi (2007) dan Kinanthi (2012). 1
Menurut Katrin Bandel dalam sebuah diskusi di kafe Lidah Ibu,mengatakan bahwa novel UTIM (2009) sebagai novel yang menceritakan tentang ora-orang desa. Di mana, novel tersebut tersebut tidaklah mengekor dengan tren novel 2000-an pada saat itu, yakni, novel yang bercerita tentang etnisitas, seksualitas, dan pendidikan. Pada tahun 2000-an, banyak diwarnai dengan cerita bertemakan seksual seperti halnya, pengarang Ayu Utami dengan karyanta Saman dan Seri Bilangan Fu, atau etnisitas yang diangkat oleh Lan Fang, serta tema pendidikan oleh Andrea Hirata dalam trilogi Laskar Pelangi. UTIM (2009) menawarkan cerita mengenai orang-orang desa yang terpinggirkan oleh industrialisasi. Formula cerita tersebut juga terdapat dalam novel Andrea Hirata, yakni Laskar Pelangi (2009). Setelah membaca novel UTIM (2009), sekilas akan mengingat novel ini sebagai novel Laskar Pelangi (2009), yakni, novel yang bercerita mengenai orang desa, kemiskinan yang terpinggirkan oleh industrialisasi. Begitu juga padaKinanthi (2012), merupakannovel yang bercerita tentang tenaga kerja Indonesia waita yang bekerja di luar negri. Kinanthi adalah seorang anak perempuan yang dijual ayahnya dengan ditukar sekarung beras. Kemudian Kinanthi dijual kembali untuk menjadi tenaga kerja wanita di Arab. Dalam perjalanan ceritaya Kinanthi memiliki banyak siksaan oleh majikannya.
2
Cerita yang sama yakni kemiskinan yang terdapat dalam Laskar Pelangi (2007) dan UTIM (2009) sebagai novel yang menceritakan keterpinggiran orang-orang desa dengan ditandai dengan kemiskinan. Kemudian pada cerita mengenai Kinanthi yang ditukar dengan beras 50kg oleh bapaknya dan kemudian menjadi TKW yang mendapatkan siksaan dapat melarikan diri ke Amerika dan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di New York University.Setelah mendapatkan pendidikan dari universitas tersebut Kinanthi berubah menjadi perempuan yang tangguh. Dengan menjadikan seorang professor dibidang kedokteran di Queen Of New York University, Kinanthi-pun memiliki karya yang menggegerkan dunia. Hal tersebutlah yang menjadi perubahan terhadap status sosial dari tokoh Kinanthi dalam novel Kinanthi (2012). Dalam menolak krisis yang terjadi dalam kehidupa tokoh-tokoh terhadap ke tiga novel tersebut, mereka melakukan keluar dari desanya dan ke luar dari negaranya. Ulid yang ke Malaysia, Kinanthi ke Amerika, dan Ikal ke Paris, akan tetapi novel UTIM (2009) tidak mengikuti narasi dari novelLaskar Pelangi (2007) maupun Kinanthi (2012), yang memberikan mitos mengenai pendidikan yang mampu menyelesaikan persoalan krisisi dalam kehidupan. Akan tetapi, dalam UTIM (2009)menbalikkan narasi mitos pendidikan sebagai alat untuk merubah kehidupan menjadi lebih baik, dengan cara menaikan strata sosial sebagai intelektual yang terdidik. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Katrin Bandel pada waktu itu, yakni, 3
novel UTIM (2009) sama sekali tidak merayakan tema pendidikan di dalamnya. Untuk itulah pada tesis ini selanjutnya, menguraiakan permasalahan yang terdapat dalam novel Ulid Tak Ingin Pergi Ke Malaysia (2009) karya Mahfud Ikhwan. Permasalahan tersebut tentang orang-orang desa yang megalami perubahan sosial sebagai akibat dari industrialisasi yang menjadi penyebab terpinggirkannya pekerjaan-pekerjaan orang desa sebagai petani bengkuang dan pembuat gamping. Pada tesis ini selanjutnya, menggunakan konsep dari Antonio Gramsci, mengenai State and Civil Societysebagai cara untuk melihat kekuasaan yang digunakan kelas dominan untuk membantu kelas penguasa sebagai kelas yang mensubordinasi orang-orang desa dalam novel Ulid Tak Ingin Pergi Ke Malaysia (2009). 1.2 Rumusan Masalah Setelah dijelaskan latar belakang masalah, baik kaitannya dengan objek formal dan objek matrial, maka dalam bagian ini menyebutkan permasalahan utama dari penelitian, yakni : Rumusan masalah yang utama adalah mengenai relasi negara dengan masyarakat sipil yang terdapat dalam novel Ulid Tak Ingin Pergi ke Malaysia karya Mahfud Ikhwan. Permasalahan tersebut berkaitan dengan peran
kelas
domian
dalam
membantu
kelas
penguasa
dalam
mensubordinasi orang-orang desa dalam novel UTIM (2009).
4
1.3 Pertanyaan Penelitian Bagaimanakah Relasi Negara dengan Masyarakat sipil yang terdapat dalam novel Ulid Tak Ingin Pergi Ke Malaysia karya Mahfud Ikhwan. 1.4 Manfaat dan Tujuan Penelitian Bagian ini menguraikan manfaat dan tujuan, sebagai kontinuitas dari penelitian inidiharapkan memberikan manfaat dan tujuan secara signifikan terutama untuk kajian sastra. 1.4.1 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terpisah menjadi dua. Manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Diharapkan tesis ini mampu memberikan informasi kepada khalayak khususnya akademisi sastra sebagai bahan penelitian UTIM selanjutnya. 2. Manfaat yang kedua adalah memberikan sajian mengenai novel UTIM karya Mahfud Ikhwan dalam bentuk pembacaan kritis yang tersajikan dalam tesis. 3. Hasil penelitian ini juga dharapkan memiliki manfaat sebagai bentuk apresiasi peneliti terhadap karya pengarang. 4. Manfaat secara teoritis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
infomasi mengenai teori Hegemoni Gramsci secara
praktis..
5
1.4.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah 1. Tujuan yang pertama adalah Mengungkapkan dari hasil penelitian ini yakni mengenai relasi negara dengan masyarakat sipil, hubungan negara dengan negara lain yang ternarasikan dalam cerita Ulid dan warga Lerok yang tersubordinasi, hingga menjadi TKI di Malaysia. 2. Tujuan kedua adalah Membuktikan secara estetis mengenai novel Ulid Tak Ingin Pergi Ke Malaysia, yang mengungkapkan relasi kekuasaan. 3. Tujuan penelitian ini juga Memberikan informasi bagi seluruh peneliti bahwa penelitian ini tidak dimulai dari teori, namun dimulai dari masalah yang sederhana dalam teks, dimulai dari masalah itulah kemudian menentukan teori apakah yang cocok untuk Mebuka permasalahan dalam teks. 4. Tujuan berikutnya adalah Memberikan peluang bagi peneliti berikutnya untuk mendalami permasalahan penelitian terlebih dahulu, sebelum menentukan teori, sehingga tidak tampak memaksakan objek dengan postulat yang ada dalam teori. 5. Tujuan terakhir adalah, Menunjukan bahwa penelitian ini memiliki kontinuitas dan ketersambungan dengan fenomena sastra Indonesia yang sdang terjadi. Sehingga dalam pemilihan karya sastra tidak sekedar menjadikannya sebagai objek, dimana peneliti hanya berhenti
6
pada pemanfaatan objek (karya sastra). Dalam penelitian terdapat simbiosis mutualisme dengan karya yang dijadikan objek.
1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Studi-studi terdahulu Penelitian mengenai novel Ulid Tak Ingin Pergi Ke Malaysia (2009) karya Mahfud Ikhwan belum ada yang melakukannya, akan tetapi kajian mengenai
Hegemoni
Antonio
Gramsci
sudah
banyak
yang
mengaplikasikannya dalam penelitian sastra. Pertama, tesis yang berjudul “Iblis Tidak Pernah Mati : Karya Seno Gumira Aji Darma: Analisis Hegemoni Gramsci” yang diajukan oleh Nurhadi pada tahun 2004. Dalam tesis ini, formasi ideologi menjadi permasalahannya. Diantaranya adalah bagaimana formasi ideologi dalam novel, bagaimana persamaan formasi ideologi novel dengan masyarakat, ketiga bagaimana negosiasi ideologi yang terjadi dalam masyarakat (khususnya ORBA) dalam tesis ini menggunakan metode sosiologi Gramsci, matrealisme historis, sebagai perspektif untuk menciptakan masyarakat baru dalam konteks dialektika antara kekuatan masyarakat dengan kekuatan ideologi. Kesimpulan dari tesis ini adalah novel tersebut mengisahkan seputar kerusuhan Mei 98 di jakarta dan sejumlah peristiwa yang memiliki keterkaitan dengan hal tersebut baik secara langsug
7
maupun tidak langsung, kelompok dominan berideologi kapitalisme (totalitarianisme). Kedua, tesis yang berjudul “Student Hijo Karya Marco Kartodikromi: Analisis Hegemoni Grammscian” yang ditulis oleh Harjito, dalam tesis ini permasalahan yang diangkat adalah bagaimana hubungan persamaan formasi ideologi dalam novel tersebut dengan masyarakat, bagaimana historis novel tersebut sebagai bagian dari negosiasi yang terjadi dalam masyarakat. tersebut
Penemuan dalam tesis ini adalah, bahwa dalam novel
mengandung
liberalisme,
ideologi
demokrasi,
kolonialise,
feodalisme,
kapitalisme,
humanisme,
realisme,
agama,
dan
nasionalisme. Tesis yang menggunakan teori Hegemoni Gramsci berikutnya dengan judul “Ideologi Tokoh Utama dalam Novel Rihlah Ila Allah Karya Najib Al Kailaniy: Analisis Hegemoni Gramsci” (2013) yang ditulis oleh Farida Rahmawati. Permasalahan di dalamnya adalah sejauhmana novel Rihlah Ila Allah terlibat dalam pertarungan dan negosiasi antara Islam dan sekularisme dari tokoh utama. Penemuan dalam tesis tersebut adalah novel tersebut menunjukan pertentangan Islam dan sekularisme yang terjadi di Mesir sebagai pusat kajian Islam, novel tersebut terlibat pertarungan dan negosiasi antara islam dan sekularisme yang terlihat pada tokoh utama. dari ketiga tesis tersebut mengangkat ideologi novel dengan hubungannya dalam ideologi dalam masyarakat menggunakan teori Gramsci.
8
Dalam tesis pertama, gejala yang ditimbulkan oleh krisis dalam sebuah negara mempengaruhi novel tersebut, begitu juga dalam tesis kedua, novel tersebut lahir pada saat masa kolonialisme dan menjadi alat untuk menceritakan kembali dalam sebuah fiksi. Novel ketiga, juga merupakan pengaruh dari pertentangan nilai antara Islam dan sekularisme. Ketiga penelitian diatas mengindikasikan bahwa karya sastra tersebut hadir sebagai kekuatan sosial, politik dan kultural yang berdiri sendiri dan mempunyai sistem sendiri yang terhubung dengan infrastruktur. Jadi, sastra dianggap mampu mengontrol, membentuk dan memelihara masyarakat dalam proses pencapaian hegemoni. Sastra dipahami sebagai institusi hegemoni. Pada tataran ideologi, sebuah karya sastra dimaksudkan sebagai hegemoni tandingan terhadap hegemoni penguasa, hal ini masih menjadi tanda tanya besar seberapa berpengaruhnya sebuah karya mampu memberikan pelajaran dan pengaruh
terhadap
masyarakat.
Yang
menjadi
kendala
adalah
penerjemahan pembacaan dan peminatan karya sastra, atau melalui para kritikus, pengaruh tersebut dapat menginternalissi ideologi terhadap pembacanya. Namun di lain pihak, teks sastra merupakan sebuah usaha penulis untuk mencncapai hegemonik sebagai tempat pertarungan ideologi-ideologi. adapun kritik berikutnya dari penelitian sebelumnya ini adalah pertama dalam menyusun landasan teori ketiganya memiliki gaya penulisan yang mengulas teori Gramsci secara keseluruhan dalam kaitanya dalam Hegemoni Gramsci.
9
Pada permasalahan yang terdapat dalam tiga tesis tersebut, yakni mengenai relasi ideologi novel, ideologi novel dengan ideologi masyarakat, dan ideologi novel dengan pengarang, maka, dalam permasaahan ketiga tesis tersebut adalah mengenai ideologi. Hal ini berkaitan dengan fungsi karya sebagai suprastruktur. Jika permasalahanya tersebut adalah relasi ideologi novel dengan ideologi masyarakatnya, maka dalam ketiga tesis yang menggunakan Gramsci hanya melihat bagaimana ideologi dalam karya tersebut. Sedangkan konsep Gramsci mengenai kekuasaan yang menggunkan legitimasi kepemimpinan moral dan intelektual adalah cara untuk melegalkan kekuasaan tanpa kekerasan dan koersi. Dalam hal ini munculnya ideologi sebagai alat suprastruktur adalah karena krisis atau subordinasi. Kritik untuk pnelitian sebelumnya mengenai penggunaan kutipan Grmasci adalah, Dari dua dari tesis tersebut menggunakan buku Sugiono sebagai acuan, yang menyebutkan beberapa fase hegemonik, namun yang menjadi kritik penulisan berikutnya adalah, formulasi terori Gramsci tidak diterjemahkan begitu saja, terdpat pembaca Gramsci seperti Simon dalam bukunya yang memiliki catatan fase-fase tersebut yang mirip secara kebahasaan dengan yang di tulis oleh Sugiono. Saran sederhana berikutnya adalah, walaupun pembacaan Sugiono merupakan pembaca kedua dari Gramsci, seharusnya dicantumkan juga pembaca Gramsci yang pertama untuk melengkapi pustaka. Dan yang terakhir adalah, Dari tesis10
tesis tersebut merefrensikan bahwa Gramsci sebagai pengikut Marx, hal ini tidak bisa dibenarkan dengan tepat. Gramsci bukan menolak Marx, namun terdapat perbedaan pandangan antara Gramsci dan Marx, jika dalam Marx karya sastra merupakan gejala dari masyarakat, maka dalam Gramsci karya sastra adalah gejala tingkat kdua. Jika dalam Marx mengatakan masyarakat adaah struktur, Gramsci berpendapat berbeda, bahwasanya masyarakat adalah suprastruktur yang juga memiliki posisi sasma seperti karya sastra.
11
1.6 Kerangka Teori Pada tesis ini difokuskan pada permasalahan mengenai relasi negara dengan masyarakat sipil yang terdapat dalam novel Ulid Tak Ingin Pergi Ke Malaysia (2009) karya Mahfud Ikhwan. Maka pada tesis ini selanjutnya akan memanfaatkan konsep Gramsci mengenai negara dan masyarakat sipil. 1.6.1 Hegemoni : Negara dan Mayarakat Sipil Antonio Gramsci lahir pada 22 januari 1891, di Ales, Sardinia, dan meninggal di Roma, 27 April 1937, dari keluarga kelas bawah di pulau Sardania, Italia. Gramsci memiliki latar belakan pedidikan di perguruan tinggi setelah memperoleh beasiswa universitas Turin, tahun1911. Gramsci meyebut bahwa kunci dari konsep pemikirannya adalah civil society. Bobbio juga menambahkan, bahwa civil society bergerak pada
momen
suprastruktur,
bukan
struktural.
Hal
inilah
yang
membedakan dengan tradisi Marxs. Yang mengatakan bahwa civil society berada pada momen struktural. What we can do, for the moment, is to fix two major superstructural'levels': the one that can be called 'civil society', that is the ensembleof organisms commonly called 'private', and that of 'political society'or 'the State' These two levels correspond on the one hand to thefundion of 'hegemony' which the dominant group exercisesthroughout society and on the other hand to that of'directdomination'
12
or command exercised 'juridical'government.1
through
the
State
and
Pada penjelasan kutipan di atas menyatakan, terdapat dua mayor level dari suprastruktur: pertama, disebut dengan ‘civil society’, yakni, sekelompok organisme yang tergabung dalam kelompok ‘private’, dan yang ke dua, ‘political society’ atau ‘The State’. pada dua kelompok ini di satu sisi merupakan funding dari hegemoni yangmana dilakukan oleh kelompok dominan terhadap masyarakat. Dan disisi lain mengikuti dominasi atau melakukan komando dari negara dan perundang-undangan pemerintah. Civil society dan political society digunakan oleh Gramsci sebagai pengkategorian kelas dominan. hal ini dipelajarinya melalui pandangan Marx dan Hegel. In a passage from Pas! and Presenl, Gramsci speaks of civilsociety 'as Hegel understands it, and in the way in which it is often usedin these notes', and he immediately explains that be means civil society'as thepolitical and cultural hegemony of a social group on the whole ofsociety, as ethical content of the State. (Bobio, 1979 : 31)
Dalam
menjelaskan
konsep
‘civil
society’
secara
genealogis,Gramsci mengambil konsep dari Hegel. Konsep tersebut dipahami sebagai kelompok yang melakukan politik dan hegemoni kultural dan merupakan konten etika dari negara. 1
English translation in &ff'ct;o"s/rofll ,lie Prjs,,,, NQtebooks, cd. and trans.Hoare and NoweU Smith, l..ondon,
Lawrence &Wishart, 1971. p. 12.
13
Akan tetapi, hal ini menjadi kontras pemahaman, Marx juga menyebut ‘civil society’ dari Hegel, namun dalam pandanganya tersebut, Marx menjelaskannya melalui hubungan ekonomik, di mana, ‘cvil scoeity’ merupakan momen struktural. Hal ini berbeda dengan yang telah disimpulkan Gramsci, bahwa ‘civil society’ berada pada momen suprastruktur. Dalam Marx memang dapat di jelaskan melalui penjelasan surat Engels, bahwasanya ‘civil society’ berasal dari buger society atau yang disebut degan kelompok borjuis. Hal ini dapat di jelaskan melalui hubungan ekonomi Marx mengenai, kaum borjuis sebagai kelas yag menguasai alat-alat produksi2. Pada setiap pendekatan mengenai kelas penguasa disebutkan sebagai penguasa ide, hal ini kelas tersebut sebagai kekuatan matrial penguasa dari masyarakat atau sama sebagai ‘rulling intellectual power’ yang menguasai kekuatan inteletual. Kelas memiliki matrial produksi, juga sebagai kontrol (Femia, 1981:32). Pendapat tersebut oleh Femia sebagai penegasan, bahwa Gramsci menghubungkan terhadap buku the German Ideology yang mana telah mendeklarasikan pendapat dari Marx dan Engels. Jika melihat kembali pemahaman ‘civil society’ oleh Gramsci diambil dari konsep Marx dan Hegel, dan yang kedua, sebagai bagian dari
14
momen suprastruktur, maka hal ini berlawanan dengan apa yang terdapat pada tradisi Marxis, Bobbio (1979 : 31 ) menyebutkan, bahwa tradisi Marxis lebih memilih ‘civil society’ dalam momen struktural. Perbedaan tersebut dapat dijawab dengan cara melihat zaman yang menaungi Gramsci pada waktu itu. jika dibandingkan dengan Marx, peran dari ‘civil society’ cenderung pasif sebagai bagian kelas dominan. kelas tersebut seperti yang telah dijelaskan oleh Femia dalam bukunya, bahwa kelas dominan memiliki power untuk melakukan pemasukan pengaruh terhadap kelas subordinatnya, dalam kaitanya dengan tradisi Marx, yakni hubungan kelas borjuis dengan kelas pekerja. Akan tetapi, Gramsci melihatnya berbeda. Gramsci melihat hal tersebut melalui kondisi pecahnya Italia menjadi dua, yakni, Italia selatan dan utara. Italia selatan digambarkan sebagai pecahan negara yang inferior (lemah) sedangkan Itaia Utara menjadi negara yang mendominasi. Berangkat dari situlah, Gramsci dapat merumuskan konsep ‘civil society’. Konsep civil society yang telah dipelajarinya melalui permasalahan Italia sebagai bagian yang dapat berperan aktif. sebagaimana Bobbio mengatakan bahwa (1979 : 38) Gramsci pada akhirnya mengambil antitesisnya, yakni, menempatkan antara political society dan civil society ke dalam suprastruktur. Hal ini lah yang mnejadi perbedaan dari tradisi Marx yang menganggap bahwa kedua kelas dominan tersebut berada pada momen struktural.
15
Konsep Hegemoni Dalam kaitanya dengan hubungan negara dan ‘civil society’, Gramsci membuat konsep kepemimpinan. Dalam hal ini dia menemukan konsep tersebut dari Lenin3. (ibid,1979: 41), Lenin menggunakan kata kepemimpinan (rukovodstvo) dan pemimpin (rukovoditel). Dan kata kepemimpinan lebih dekat dengan kata hegemoni (gegemonia). Hegemoni adalah satu cara yang digunakan kelas dominan sebagai satu cara penundukan (Femia, 1981). Dengan cara paksaan (coersion) atau persetujuan (consent) kelas penguasa dapat melanggengkan kekuasaanya. Dapat dijelaskan bahwa seuah kelas dominan menggunakan kepemimpinan
moral
dan
intelektual
untuk
menundukan
kelas
subordinatnya, melalui persetujuan kelompok lain. Kelas dominan ini dapat diuraikan menjadi subjek-subjek dalam negara dan masyarakat sipil. Menurut Gramsci hegemoni didefinisikan sebagai kepemimpinan moral dan intelektual, yang mana pada prinsipnya terdapat dua elemen yakni consent (persetujuan) dan bujuk persuasion (bujukan)4.
Hegemoni adalah kendaran bagi kelas dominan untuk tercapainya persetujuan. Bentuk persetujuan tersebut di lakukan oleh kelompok privat
3 4
Ibid. Bobbio. Hlm.41 Bennedeto Fontana. Hegemony and Power. Hlm. 104
16
dalam masyarakat dengan menyepakati konsep yang telah dilegitimasi oleh pelaku negara atau masyarakat politik (political society). The supremacy of a social group is manifested in two ways: as "domination"and as"intellectual and moral leadership." A social group is dominant overthose antagonistic groups it wants to "liquidate" or to subdue even witharmed force, and it is leading with respect to those groups that areassociated and allied with it. (Gramsci :_:Fontana:141) (supremasi pada kelompok sosial dimanifestasikan dengan dua cara, yakni “Dominasi” dan “kepemimpinan intelektual dan moral”. Kelompok sosial adalah dominan melalui kelompok antagonistik, yang mana kelompok tersebut “memusnahkan” atau menundukan dengan kekuatan militer (Gramsci:Fontana,__:141)). Pada kutipan di atas Gramsci juga menjelaskan mengenai dominasi. Dominasi adalah salah satu manifestasi dari supremasi kelompok sosial selain hegemoni. Dapat dijelaskan kembali, kelompok dominan menggunakan kekuasaan melalui kelompok antagonistik dengan kekuatan militer sebagai cara untuk ‘liqudate’ atau memusnahkan serta menundukan dengan menggunakankekuatan militernya. Dalam hal ini kekuasaan yang dominatif dalam novel UTIM dapat digambarkan dalam kekuasaan negara melalui sinder sebagai kekuatan militer yang mengawasi orang-orang desa pencari kayu. Kelompok militer atau disebut oleh Gramsci sebagai kelompok yang antagonis yang menjalankan eksekusi dari negara. Dalam kutipan di atas menyebutkan bahwa kekuatan militer hanya digunakan oleh negara untuk menyempurnakan kepemimpinnya. Negara bertindak sebagai aktor-
17
aktor politik yang memiliki kekuasaan dan di lindungi oleh persetujuan kelompok serja kekuatan dari kelas militer. Lebih lanjut, Grmasci mengatakan penjelasan mengenai supremasi kelompok masyarakat menunjukan eksistensinya melalui dua cara yakni melalui dominance dan kepemimpinan intelektual (direction). Hal ini dapat dijelaskan bahwa kelompok masyarakat yakni political society dan civil society melakukan kontestasi satu sama lain. Jika dalam novel UTIM (2009) dapat dijeaskan posisi domianasi dan kepemimpinan berlangsung di dalamnya, maka dapat disebutkan beberapa aktor-aktor kelas dominan, yakni negara yang menggunakan kepemimpinannya melalui kelompok privat (masjid, sekolah, organisasi masyarakat), di sisi lain negara yang memiliki subjek politik seperti aparatus negara dan kebijakan. Akan tetapi, negara juga memiliki kelompok antagonis, seperti yang telah dijelaskan Gramsci dalam buku Fontana (ibid,141), kelompok tersebut disebut sebagai kelompok antagonis atau militer yang juga merupakan bagian dari aparatnegara. Dalam supremasi kelompok sosial, dapat dijelaskan kembali bagaimana negara melibatkan elemen civil society (dalam artian negara adalah political society +civil society’, dengan kata lain adalah hegemoni yang disenjatai dengan ‘coercion’)5. Negara menggunakan sinder untuk menundukkan orang-orang desa. Dalam kasus pencurian kayu, yang terdapat dalam novel tersebut dapat dijelaskan bahwa tindakan state 5
Gramsci. SPN. ibid. Hlm.263
18
aparatus atau sinder menjalankan tugasnya untuk mengangkut orangorang desa yang terbukti mencuri kayu untuk dibawa ke penjara. the State is the entire complex of practical and theoretical activities withwhich the ruling class not only justifies and maintains its dominance, butmanages to win the active consent of those over whom it rules ( Thomas :138) (negara merupakan dari praktik dan aktivitas teorikal komplek yang dilakukan oleh kelas penguasa yang tidak haya membenarkan dan menegakkan kekuasaan, tapi juga mengatur untuk kemenangan the active consent dari pihak yang dikuasai atau yang subordinat melalui siapa saja yang membuat peraturan) Dalam kutipan di atas dapat dijelaskan, bahwa negara tak hanya melakukan aktivitasnya bersama kelas penguasa, akan tetapi negara juga mengatur dan memastikan kekuasaan telah mendapatkan persetujuan oleh kelompok dominan untuk kelas yang dikuasai (kelas subordinatnya).
1.6.2 Empasis Tugas Civil society dan Political Society Dalam menentukan hubungan antara kelas, Gramsci melihat hubungan tersebut dalam sosial politik, hal ini berbeda dengan cara pandang Marx yang melihat hubungan kelas yang ditentukan pada produksi, yakni antara kelas pemilik modal dengan kelas pekerja. Sehingga dapat disimpulkan di sini, keberadaan civil society menurut Gramsci bukan lagi berada pada struktur. Akan tetapi, menurut Bobio ‘Civil Society’ berada pada tingkat suprastruktur.6
6
Bobbio. 1979.”Gramsci and The Conception of Civil Society”, in Chantal Mouffe, ed., Gramscu and Marxis Theory, London: Routledge and Kengan Paul Ltd, 21‐47 Hlm.30‐34
19
Suprastruktur dari ‘civil society’ adalah seperti sistem perlindungan dari perang moderen. pada perang terkadang terdapat tembakan dari militer untuk memusnahkan pertahanan musuh. Bagaimanapun pada kenyataanya hanya dengan memusnahkan garis pertahanan musuh, dan pada momen penyerangan terjadi konfrontasi pada garis pertahanan yang mana masih efektif. Hal ini sama saja dengan apa yang terjadi pada politik, selama krisis ekonomi.7 Dalam Selection Prisson Notebook, Gramsci menjelaskan bahwa ‘Civil Society’ merupakan sekelompok organisme yang dibagi menjadi kelompok privat dan ‘political society’ (masyarakat politik atau negara). dapat dijelaskan bahwa dua kelompok dominan tersebut antara ‘civil society’ dan ‘political society’ dijelaskan memiliki fungsi dari ‘hegemony’ yang mana kelompok dominan tersebut melakukan kepemimpinan moral dan intelektual terhadap masyarakat, dan di sisi lain ‘direct domination’ atau mengkomandoi kepemimpinan melalui negara dan undang-undang pemerintahan. Kelompok dominan, yakni masyarakat politik dan masyarakat sipil melakukan persetujuan sebagaimana yang telah dikonsepkan oleh negara. negara melakukan kesepakatan dengan kelas penguasa sebagai alat kekuasaan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan kelas penguasa. Negara dalam UTIM (2009), dapat dipahami sebagai negara yang menjalankan kekuasaannya. tidak hanya melalui aparatus negara, yakni seperangkat
negara
yang
dipilih
melalui
pemilu,
namun
juga
7
37
20
menggunakan
kelompok-kelompok
privat
yang
terdapat
dalam
masyarakat. Peran kelompok masyarakat inilah yang tergabung dalam organisasi privat dalam lingkup ‘civil society’, yakni (sekolah, masjid, pasar, Dharmawanita, Kelompok Tani) yang terdapat dalam novel. kemudian dijelaskan kembali oleh Gramsci sebagai kelompok yang telah melakukan persetujuan, kemudian menjalankan kepemimpinan sesuai dengan konsep-konsep negara. misalnya saja, dalam kelompok tani yang terdapat dalam UTIM (2009), menjalankan program pemerintah terkait dengan pembangunan desa, yakni, mengatur pupuk yang digunakan untuk pertanian. Juga terdapat kelompok Dharmawanita, kelompok ini juga seperti kelompok tani yang memiliki intelektual yang dapat menggiring masyarakat untuk mnejalankan program dari pemerintah, misalnya dalam novel UTIM (2009) kelompok tersebut mensosialisasikan program keluarga berencana. Posisi kepemimpinan tersebut, yakni, peran aktor intelektual yang menjadi penyambung konsep negara. sehingga di dalam lingkaran kekuasaan tersebut, kepentingan negara dapat terlaksankan. Akan
tetapi,
hubungan
kekuasaan
antara
negara
dengan
masyarakat sipil yang telah di jelaskan sebagai hubungan yang dikelilingi kekuatan sosial baik politik maupun ekonomi, oleh Gramsci, hubungan tersebut dinamakanhistorical bloc (blok historis). Yang mana, blok historis merupakan hubungan yang menciptakan hegemoni.
21
1.6.2Kontra-Hegemoni Kontra hegemoni merupakan hasil dari aktivitas intelektual8. Aktivitas tersebut merupakan bagian dari respon terhadap blok historis. Dalam hal ini, dapat di analogikakan dalam sebuah contoh dalam Prisson Notebook mengenai hegemoni dan kontra hegemoni. jika, dalam sejarah fasisme di Italia menyebabkan ketertindasan, yang mana hal ini merupakan hasil dari aktivitas blok historis (hubungan kekuatan sosial yang berulang) yang mengakibatkan represi terhadap kelas subordinatnya. Hubungan tersebut dinamakan sebagai hegemoni. Untuk itulah terdapat respon dari kelompok yang tertindas untuk melakukan kontra hegemoni. Mengenai pengalaman Gramsci tentang bagaimana tindakan kontra hegemoni dilakukan. Hal ini dapat dijelaskan menggunakan keadaan di rusia, di mana para buruh dan petani di bawah dominasi atau penaklukan yang disertai kepemimpinan intelektual dan moral oleh kelas dominan. dengan alasan itulah para intelektual melakukan kontra hegemoni yang mendasari mereka untuk memimpin para kaum buruh dan pekerja untuk melakukan revolusi. Blok historis adalah peran yang dijalankan oleh kelompok untuk melakukan penundukan melalui kekuatan sosial. Dalam hal ini sebuah kelompok membutuhkan ide sebagai bagian dari kekuatan sosial yang
8
RenateHolub.1992. Antonio Gramsci: Beyond Marxis and Postmoderenisme. London: Routledge. Hlm.5
22
digunakan untuk penaklukan. Oleh Gramsci, ide dapat menjadi ideology untuk memperkuat blok histors yang dilakukan kelompok dominan. Akan tetapi, Mouffe (1979) menjelaskan bahwa, ideologi yang dikatakan oleh Althusser sebagai produsen subjek, sebenarnya hanya menjadi elemen saja. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kemunculan ideologi mengembalikan pada konsep Marxisme yang mengambil dari Hegel secara historis. Jadi, sebelum Althusser merumuskan mengenai apakah itu ideologi sebagai praktik yang memproduksi subjek, pada tradisi Marx telah di jelaskan, sebagaimana hubungan ekonomik antara kelas penguasa dengan kelas pekerja, sebagai hubungan historis yang menimbulkan kesadaran palsu. Menurut Mouffe (1979) Gramsci, sendiri tidak membahas ideologi secara keseluruhan seperti halnya Althusser yang memformulasikan ideologi setelah Gramsci. Idelogi yang terdapat dalam Gramsci merupakan sebuah hasil yang masih berkiblat pada tradisi Marx. Hal ini dibuktikan dengan penjelasan mengenai relasi masyarakat sipil yang sama halnya dengan relasi antara kelas penguasa dengan kelas pekerja. Dapat disimpulkan, bahwa Gramsci selain mengedepankan suprastruktur ( sebagai hasil penolakannya terhadap konsep Mrarx mengenai posisi ‘civil society’ sebagai struktur), sebenarnya Gramsci melihat cara pandang Marx lama yang menggunakan hubungan kelas
23
penguasa dengan pekerja sebagai model untuk melihat kontestasi antar kelompok. Jadi, kontestasi antar kelompok, yakni yang hegemonik ataupun yang kontra hegemoni, didasari oleh dorongan. a class is dominant in two ways, that is, it is “leading” and “dominant”…. one should not count solely on the power and material force which such a position gives in order to exercise political leadership or hegemony’ (Gramsci, 1929: 41 via Fusaro, 2011). (kelas dominan dapat digunakan dengan dua jalan, yakni “kepemimpinan” dan “dominasi”... satuhal tidak sematamata termasuk pada kekuatan dan matrial perlawanan yang mana posisi sebenarnya memberikan pilihan sebagai kepemimpinan politik atau hegemoni)
Dalam kutipan di atas menegaskan mengenai strategi Gramsci dalam melakukan gagasannya mengenai hegemoni. Gramsci tidak menekankan sama sekali, bahwa ideologi itu hadir sebagai ideologi dalam Althusser. Namun dalam melihat dorongan apakah yang menghadirkan hegemoni sebagai suatu strategi kelompok dominan, maka yang muncul gejala dalam relasi kelas dominan terhadap kelas subordinatnya. Begitu juga kontra hegemoni sebagaimana bagian dari respon kelompok subordinasi dalam melakukan perlawanan terhadap kelas penguasanya yang telah menggunakan hegemoni sebagai satu praktik untuk memelihara kekuasaan negara, maka dalam kontra hegemoni juga terdapat dorongan, hal ini jika menggunkaan konsep Althusser, dorongan tersebut bagian dari kontestasi ideologi, yakni, ideologi baru yang kontra terhadap ideologi penguasa.
24
Akan tetapi, jika dikembalikan pada dasar pemikiran Gramsci mengenai penjelasanya tentang proses blok historis, yang memunculkan hegemoni, makan kontestasi mengenai ideologi, dilihat sebagai kontestasi yang membentuk gagasan tersebut, yakni, sebuah keadaan (krisis) yang diakibatkan oleh kelas dominan, di mana keadaan tersebut memicu sebuah respon perlawanan dari kelompok yang tertindas. Kesimpulan dari pernyataan mengenai perang posisi antara kelompok dominan dengan kelompok lain, Gramsci tidak sekedar melihatnya terdapat ideologi yang mendasarinya. Akan tetapi juga terdapat proses historis yang membentuk gagasan atau dalam era Althusser disebut sebagai ideologi. Dalam novel UTIM (2009), tindakan hegemoni ditunjukan oleh orang-orang desa yang
melakukan tawar menawar dengan kelompok
dominan. Hal ini dapat dilihat dari kelompok privat yang terdapat dalam novel, tetapi hubungan tersebut tidak selalu stabil. Dalam artian, hubungan antara kelompok dominan yang membentuk kekuatan sosial baik dalam pendidikan ataupun di dalam khutbah di masjid, masih dalam tahap tawar menawar, yakni, “berhasil atau tidak berhasil”.
25
1.7 Metode Penelitian Bagian ini akan menguraikan bagaimana proses menentukan dan mendapatkan sumber data untuk penelitian. Selanjutnya, bagian ini juga mengemukakan bagaimana sumber data itu akan dianalisis dan disajikan. Objek materi yang digunakan adalah novel Ulid Tak Ingin Pergi Ke Malaysia (UTIM) karya Mahfud Ikhwan yang terbit pada tahun 2009. Adapun sumber data yang diperoleh adalah : 1. Sumber data mengenai negara dan masyarakat sipil yang terdapat dalam dalam novel UTIM karya Mahfud Ikhwan. 2. Sumber data mengenai relasi negara dengan masyarakat sipil yang terdapat dalam novl UTIM karya Mahfud Ikhwan. 3. Sumber data mengenai kelas penguasa dengan kelas dominan yang terdapat dalam novel sebagai proses mengetahui bentuk dominasi dan kepemimpinan dari negara yang terdapat dalam novel UTIM karya Mahfud Ikhwan. 4. Sumber data mengenai bentuk perlawanan dari hegemoni kelas dominan yang tedapat dalam novel UTIM (2009) karya Mahfud Ikhwan. Dari sumber data yang diambil, kemudian data-data tersebut dikumpulkan dan diklasifikasikan sesuai kebutuhan dan keterkaitan dengan masalah yang dibahas. Adapun pengumpulan data dabuat diuraikan sebagai berikut:
26
1. Data mengenai dominasi dan kepemimpinan dari negara terhadap masyarakat sipil yang terdapat dalam novel dikumpulkan dalam bentuk kutipan. 2. Data mengenai dominasi dan kepemimpinan negara terhadap masyarakat sipil
dikumpulkan dalam bentuk hasil identivikasi
mengenai kelas dominan (civil society + political society) yang terdapat dalam novel UTIM dan menyajikannya dalam bentuk kutipan Dari sumber data yang dikumpulkan dan diklasifikasikan tersebut, maka proses analisis data dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Proses analisis pertama adalah mencari hubungan kekuasaan antara kelas penguasa dan kelas dominan (State, political society + civil society) terhadap kelas subordinat, baik dalam bentuk domianasi maupun kepemimpinan yang terdapat dalam novel UTIM. Proses tersebut menggunakan konsep pemikiran Antonio Gramsci mengenai konsep negara dan civil society,
dalam bentuk pernyataan yang
berupa kutipan paragraf, frasa, serta percakapan. 2. Proses berikutnya adalah mengidentifikasi kelas dominan yang melakukan penklukan melalui dominasi maupun kepemimpinan terhadap kelas subordinat dalam novel UTIM (2009), dalam bentuk pernyataan yang berupa kutipan paragraf, frasa, dan percakapan. 3. Proses berikutnya adalah menguraikan hasil relasi negara dan masyarakat sipil yang terdapat dalam novel UTIM (2009), dalam 27
bentuk
pernyataan
yang
berupakutipan,
paragraf,
frasa,
dan
percakapan. 4. Proses berikutnya adalah menguraikan perlawanan terhadap yang terdapat dalam novel UTIM (2009), dalam bentuk pernyataan yang berupa kutipan paragraf, frasa, dan percakapan. 1.8 Sistematika Penyajian Tesis ini terdiri dari empat bab, yakni, Bab I adalah Pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab II Relasi negara dan masyarakat sipil yang terdapat dalam novel Ulid Tak Ingin Pergi Ke Malaysia, pada bab ini akan menguraikan mengenai hubungan kekuasaan antara rulling class dengan kelas dominan (negara) dalam melakukan penguasaan terhadap kelas subordinat (orangorang desa), penguasaan yang dilakukan dengan cara dominasi dan kepemimpina. kemudian, Bab III Kontra-Hegemoni, menguraikan mengenai perlawanan kelas subordinasi (orang-orang desa) terhadap hegemoni dari kelas penguasa (rulling class) dan kelas dominan (dominan class)serta kontra hegemoni dalam novel UTIM (2009) sebagai kritik sosial.dan Bab IV adalah Kesisimpulan.
28