BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Kedudukan hukum jaminan dalam transaksi bisnis sangatlah penting, begitu juga dengan perkreditan sebagai sumber pembiayaan yang berfungsi menunjang transaksi bisnis, sangat bergantung pada eksistensi lembaga jaminan yang akan melindugi atau menjamin pengembalian dana pinjaman yang disalurkan. Salah satu masalah hukum yang belum tuntas penanganannya adalah di bidang hukum jaminan, sehingga masih memerlukan pemikiran yang serius. Hukum jaminan, memiliki kaitan yang erat dengan bidang hukum benda dan bidang hukum Perbankan. Dalam bidang Perbankan kaitan ini terletak pada fungsi Perbankan sebagai penghimpun dana dan penyalur dana masyarakat, di mana salah satu usahanya adalah memberikan kredit. Kredit merupakan tulang punggung bagi pembangunan ekonomi masyarakat dan pembangunan ekonomi negara. Dan ini berarti bahwa perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan seperti bidang perdagangan, perumahan, perindustrian, dan sebagainya. Sektor perkreditan merupakan salah satu sarana pemupukan modal bagi pebisnis. Bagi pengusaha mengambil uang dalam bentuk kredit atau pinjaman merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bisnis.
1
2
Bagi dunia Perbankan setiap pemberian kredit yang disalurkan kepada pengusaha (debitur) selalu mengandung resiko. Oleh karena itu untuk mengamankan
pengembalian
dana yang
disalurkan
dilakukan
dengan
pengikatan jaminan. Sehubungan dengan hal tersebut dalam Hukum Perdata dikenal dua jenis hak kebendaan berdasarkan sifatnya, yaitu hak kebendaan yang memberikan kenikmatan dan hak kebendaan yang memberikan jaminan. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan ini senantiasa tertuju pada benda orang lain, baik benda bergerak atau benda tidak bergerak.1 Hukum jaminan berdasarkan sumbernya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : (1) Jaminan umum yang bersumber dari undang-undang, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang kaidahnya berbunyi : segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan-perikatan perseorangan (Pasal 1131), dalam ketentuan Pasal 1132 ditentukan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutang padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masingmasing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
1
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2000, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, h. 96 (selanjutnya disebut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I), h. 96.
3
(2) Jaminan khusus berdasarkan perjanjian, yaitu hipotek, gadai, fiducia dan penanggungan atau jaminan pribadi.2 Sistem hukum jaminan yang baik adalah hukum jaminan yang mengatur asas-asas dan norma-norma hukum yang tidak tumpang tindih (overlapping) satu sama lainnya. Asas hukum dalam hukum jaminan harus berjalan secara harmonis dengan asas hukum yang ada pada bidang hukum jaminan kebendaan lainnya. Oleh karena ketidaksinkronan pengaturan asas-asas hukum dalam hukum jaminan akan dapat menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan hukum jaminan tersebut, terutama apabila berkaitan dengan pembebanan atas benda jaminan oleh debitur sebagai jaminan benda bergerak dalam bentuk saham, yang dapat dibebankan baik dengan gadai saham, maupun dengan fidusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Lembaga jaminan umum yang bersumber dari Undang-Undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata mempunyai kelemahan yang bersifat mendasar dalam keandalannya untuk melunasi hutang debitur (si berhutang) apabila yang bersangkutan wanprestasi. Dalam jaminan umum ini terjadi karena jaminan tersebut diletakkan pada segenap harta debitur tidak mencukupi untuk melunasi hutangnya sangat besar, sehingga
untuk
mengantisipasi
permasalahan
tersebut
alternatif
yang
dipergunakan adalah jaminan khusus, di mana obyeknya benda milik debitur
2
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, BPHN dan Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan II), h. 43-46.
4
yang telah ditunjuk secara tertentu dan diperuntukkan bagi kreditur tertentu pula berdasarkan perpanjangan.3 Sebagaimana ketentuan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), hak jaminan yang dimiliki kreditur bersifat sebagai hak kebendaan, karena lahir bukan dari perjanjian obligator, melainkan dari perjanjian kebendaan. Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak untuk melahirkan, mengubah atau meniadakan hak kebendaan. Sebagai perjanjian kebendaan, maka kreditur sebagai pemegang hak jaminan, akan memiliki hak-hak kebendaan dengan ciri yang sangat istimewa yaitu : hak kebendaan bersifat mutlak, ada droit de suite, dan preferensi, dan ada prioritas.4 Di dalam Perseroan Terbatas, modal perseroan berasal dari sahamsaham para pendirinya yang dikenal dengan saham atas nama pemilik. Saham merupakan benda bergerak yang tidak berwujud dan dapat dialihkan, sehingga saham bisa dijadikan sebagai obyek jaminan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menentukan : ”Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
3
Moch. Isnaeni, 1996, Hipotek Pesawat Udara di Indonesia, Dharma Muda, Surabaya, h. 33. 4
Ibid, h. 45.
5
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.” Melihat peran sentral dari Perseroan Terbatas dalam tata ekonomi, baik nasional maupun internasional maka saham sebagai modal dasar dari Perseroan Terbatas, juga mempunyai faedah ekonomi yang sangat besar. Kedudukan yuridis saham dalam konfigurasi hukum benda, di dalam menentukan bentuk saham maka konsep yuridis benda sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 499 KUH Perdata, kaidahnya berbunyi ”menurut paham Undang-Undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiaptiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik”. Tafsiran dari kaidah tersebut menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, kata kebendaan atau zaak dipergunakan dalam 2 (dua) arti yaitu barang berwujud dan bagian dari harta kekayaan sebagai barang tidak berwujud.5 Secara garis besar jenis-jenis benda yang dikenal dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata adalah : a. Benda berwujud dan benda tidak berwujud (Pasal 503) b. Benda bergerak dan benda tidak bergerak (Pasal 504) c. Benda habis pakai dan benda tidak habis pakai (Pasal 505) d. Benda dalam perdagangan dan benda di luar perdagangan (Pasal 1332) e. Benda yang sudah ada dan benda yang masih akan ada (Pasal 1334) f. Benda yang dapat dibagi-bagi dan benda yang tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 1163) g. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat diganti (Pasal 1694)
5
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I, Op. Cit, h. 14.
6
Dari jenis-jenis benda yang dikenal dalam KUH Perdata, pada prinsipnya pembedaan benda yang paling umum diterima adalah benda bergerak dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu : karena sifatnya (Pasal 506 KUH Perdata), dan karena peruntukannya atau tujuannya (Pasal 507 KUH Perdata), dan karena ketentuan Undang-Undang (Pasal 508 KUH Perdata). Sementara untuk benda bergerak ada dua golongan yaitu : karena sifatnya (pasal 509 KUH Perdata), dan karena ketentuan Undang-Undang (pasal 511 KUH Perdata).6 Prinsip pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak tersebut selanjutnya mendasari 5 (lima) bidang penting lainnya yakni : kedudukan berkuasa atau bezit, penyerahan atau levering, daluwarsa atau verjaring, jaminan atau bezwaring dan sita atau beslag.7 Lembaga gadai, fidusia, hipotek dan hak tanggungan adalah merupakan konsekuensi yuridis dari pembedaan jenis-jenis benda, incasu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Konstruksi saham sebagai benda bergerak apabila dilihat dari Pasal 511 Ayat (4) KUH Perdata, ”sebagai kebendaan bergerak karena ketentuan Undang-Undang harus dianggap ………… sero-sero atau andil-andil dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan dagang atau persekutuan perusahaan, sekalipun benda-benda persekutuan yang bersangkutan dan perusahaan itu adalah kebendaan tidak bergerak.”
6
Moch. Isnaeni, Op. Cit, h. 62.
7
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan II, Op. Cit, h. 49.
7
Atas dasar ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa, saham adalah termasuk kategori benda bergerak dan tidak berwujud karena ketentuan Undang-Undang yang berdasarkan cara penerbitannya berbentuk saham. Sementara itu, menurut Pasal 60 UU No. 40 Tahun 2007 menentukan bahwa : “Saham merupakan benda bergerak dan dapat memberikan hak kepemilikan kepada pemegangnya.” Sebagaimana ditentukan dalam penjelasan pasal yang sama disebutkan ”kepemilikan atas saham sebagai benda bergerak memberikan hak kebendaan terhadap pemegangnya, hak tersebut dapat dipertahankan
terhadap
setiap
orang.”
Begitu
juga
Schilf
Gaarde
mengemukakan bahwa saham merupakan suatu hak terhadap harta kekayaan Perseroan.8 Karena saham tergolong sebagai benda bergerak dari kekayaan suatu Perseroan, maka saham dapat dipakai sebagai jaminan kebendaan. Dimana pada prinsipnya sistem hukum jaminan terdiri dari jaminan kebendaan (zakelijke zekerheids) dan jaminan perorangan (persoonlijke zekerheids). Menurut M. Bahsan, jaminan adalah segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat.9 Lembaga jaminan ini diberikan untuk kepentingan kreditur guna menjamin dananya melalui suatu perikatan yang dilakukan oleh debitur dengan kreditur, untuk memberikan kepastian hukum bahwa debitur akan mengembalikan dana
8
Nindyo Pramono, 2001, Bunga Rampai Aktual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Nindyo Pramono I), h. 80. 9
M. Bahsan, 2002, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung, Jakarta, h. 148.
8
yang telah diterimanya dari kreditur sesuai dengan perjanjian dalam pengikatan jaminannya. Perjanjian jaminan yang dibuat antara kreditur (bank) dengan debitur atau pihak ketiga yang membuat suatu janji dengan mengikatkan benda tertentu atau kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan memberikan keamanan dan kepastian hukum pengembalian kredit atau pelaksnaaan perjanjian pokok.10 Lahirnya bentuk-bentuk lembaga jaminan merupakan salah satu konsekuensi yuridis dari pembebanan jenis benda, dalam hal ini benda bergerak dan benda tidak bergerak. Saham termasuk benda bergerak dan tidak berwujud, sebagai benda, saham dapat dialihkan atau dijaminkan, karena saham terkategorisasi sebagai benda bergerak. Dalam perjanjian kredit bank dalam merealisasikan pemberian kredit kepada debitur selain didasarkan adanya keyakinan atas kemampuan debitur juga disandarkan kepada adanya agunan atau jaminan yang berupa fisik (collateral) sebagai jaminan tambahan. Hal ini terkait dalam rangka sistem kehati-hatian perbankan, sehingga kredit yang disalurkan oleh bank dapat dipertanggungjawabkan apabila debitur wanprestasi. Agunan sebagai jaminan tambahan ini dimaksudkan untuk memudahkan kreditur apabila debitur wanprestasi, bank segera dapat menerima pelunasan utangnya melalui cara pelelangan atas agunan tersebut.11
10
Mariam Darus Badrulzaman, 2000, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Hukum Bisnis, Vol. II, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), h. 12. 11
Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 382.
9
Sebagai benda bergerak saham dapat dialihkan menurut Pasal 60 UU No. 40 Tahun 2007, dalam Ayat (2)nya menentukan ”saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia sepanjang tidak ditentukan lain dalam anggaran dasar”. Ketentuan tersebut proposisinya masih tentatif sifatnya, sehingga perlu ditelusuri konstruksi yuridis normatifnya berdasarkan kaidahkaidah atau norma-norma hukum positif yang mengatur tentang gadai maupun fidusia. Gadai saham di dalam kaidah-kaidah dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tertuang di dalam : - Pasal 60 Ayat (2) menentukan saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia, sepanjang tidak ditentukan lain dalam anggaran dasar. - Pasal 60 Ayat (3) menentukan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang telah didaftarkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dicatat dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus serbagaimana dimaksud dalam Pasal 50. - Pasal 60 Ayat (4) menentukan hak suara atas saham yang diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia tetap berada pada pemegang saham. - Penjelasan Pasal 60 Ayat (3), menyebutkan ketentuan ini dimaksudkan agar Perseroan atau pihak lain yang berkepentingan dapat mengetahui mengenai status saham tersebut. - Penjelasan Pasal 60 Ayat (4) menegaskan kembali asas hukum yang tidak memungkinkan pengalihan hak suara terlepas dari kepemilikan atas saham. Sedangkan hak lain di luar hak suara dapat diperjanjikan sesuai dengan kesepakatan di antara pemegangs aham dan pemegang agunan. - Pasal 50 huruf d, menentukan Direksi Perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar pemegang saham, yang memuat sekurang-kurangnya nama dan alamat dari orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai hak gadai atas saham atau sebagai penerima jaminan fidusia saham dan tanggal perolehan hak gadai atau tanggal pendaftaran jaminan fidusia tersebut. Berdasarkan atas kaidah-kaidah hukum tersebut di atas, maka tidak ada lagi keragu-raguan yang timbul tentang status saham sebagai benda obyek hak jaminan dalam hal ini gadai. Namun secara teoritis terdapat beberapa hal yang
10
cukup penting menyangkut gadai saham ini, yaitu menyangkut saham atas nama dari debitur pemberi gadai ke dalam kekuasaan kreditur penerima gadai. Dengan mengacu kepada KUH Perdata yang berpedoman bahwa gadai saham atas nama dilakukan dengan memberitahukannya kepada siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan, sesuai pasal 1153 KUH Perdata. Karena penyerahan saham atas nama dilakukan dengan pembuatan akta, dan dengan memberitahukan akta peralihannya secara tertulis oleh Perseroan yang bersangkutan, maka pemberitahuan gadai dilakukan dengan pemberitahuan kepada Perseroan yang bersangkutan disertai penyerahan surat sahamnya. 12 Dengan berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 terdapat kaidah khusus tentang pencatatan gadai saham dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus yang ada pada Perseroan yang bersangkutan, sehingga dengan demikian ketentuan Pasal 1153 KUH Perdata tidak berlaku untuk gadai saham. Sedangkan kaidah dalam Pasal 60 Ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 menentukan, bahwa saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia sepanjang tidak ditentukan lain dalam anggaran dasar. Secara acontrario kaidah ini dapat diartikan saham tidak dapat digadaikan jika anggaran dasar Perseroan melarangnya. Mengingat tujuan jaminan pada dasarnya untuk memberi keyakinan bagi kreditur bahwa piutangnya akan dapat dilunasi dari jaminan yang diberikan oleh debitur dalam hal ini berupa saham, secara yuridis pembebanan jaminan atas saham memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana 12
J. Satrio, 1991, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 120.
11
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Di samping itu juga saham mempunyai nilai ekonomis karena saham tersebut dapat diperjualbelikan, dan sebagai benda bergerak saham tersebut juga dapat dipakai sebagai jaminan oleh pemiliknya baik secara gadai maupun fidusia. Berdasarkan cara penerbitan saham sebagai benda bergerak dalam Pasal 48 UU No. 40 Tahun 2007, saham dikeluarkan atas nama pemiliknya. Saham sebagai benda bergerak dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia, dalam realisasi penjaminan atas saham tersebut dalam gadai saham sebagaimana ketentuan Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata penerima gadai mempunyai hak penguasaan benda gadai, dan bila debitur wanprestasi, penerima gadai dapat menjual dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi) sehingga hak untuk penjualan benda gadai tidak diperlukan adanya title eksekutorial. Penerima gadai dapat melaksanakan penjualan tanpa adanya penetapan pengadilan, tanpa perlu adanya juru sita, atau tanpa perlu adanya penyitaan terlebih dahulu atas benda yang digadaikan. Bila dibandingkan dengan saham yang diagunkan dengan jaminan fidusia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 UU Nomor 42 Tahun 1999, sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila debitur cidera janji (wanprestasi), penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri, karena dalam sertifikat jaminan fidusia terdapat title eksekutorial.
12
Atas dasar itu saham sebagai bukti kepemilikan atas sejumlah modal dalam suatu Perseroan Terbatas sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 51 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan saham sebagai suatu hak kebendaan yang dapat dikuasai dengan hak milik sebagaimana diatur dalam Pasal 511 Ayat (4) KUH Perdata, maka saham sebagai benda bergerak dapat dijadikan sebagai jaminan utang baik dengan gadai atau dengan jaminan fidusia sebagai lembaga jaminannya, hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 60 UU No. 40 Tahun 2007. Kedudukan pemegang gadai berbeda dengan pemegang fidusia, karena benda jaminan berada dalam penguasaan pemegang gadai selaku kreditur. Dalam gadai benda jaminan sama sekali tidak boleh berada dalam penguasaan pemberi gadai, beda dengan pemberi fidusia benda jaminan tetap berada di tangan pemberi fidusia. Dalam gadai kreditur selaku penerima gadai sedapat mungkin akan terhindar dari ikhtikad jahat pemberi gadai yang bisa merugikannya. Berdasarkan atas hal tersebut akan dapat menimbulkan permasalahan di dalam
menentukan
adanya
dua
lembaga
jaminan
atas
saham
yang
diperbolehkan untuk dilakukan, sehingga tidak adanya kepastian hukum dari UU No. 40 Tahun 2007 dalam pembebanan jaminan atas saham Perseroan Terbatas dan kurang memberikan kepastian hukum atas saham yang dapat digadaikan ataupun difidusiakan. Hal ini menyebabkan kekaburan atas ketentuan tersebut di dalam memberikan perlindungan hukum atas saham yang dibebankan jaminan.
13
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan atas uraian dari latar belakang masalah tersebut di atas, saham sebagai modal Perseroan yang dapat dikuasai oleh hak milik, dan bila dilihat dari hukum benda saham tergolong sebagai benda bergerak yang tidak berwujud, sehingga saham dapat dipakai sebagai obyek jaminan atas hutang. Saham dari segi ekonomis mempunyai nilai yang sangat menjanjikan bagi pemiliknya, karena saham dapat dialihkan, baik dengan dijual, dihibahkan, diwariskan, sehingga saham memberikan keuntungan bagi pemiliknya, dan di samping itu juga saham dapat dibebankan dengan jaminan, sehingga pembebanan saham sebagai jaminan akan menimbulkan permasalahan hukum yang dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kriteria saham yang dapat dibebani dengan jaminan gadai ? 2. Bagaimanakah pembebanan atas saham Perseroan Terbatas dengan jaminan gadai ?
1.3 Ruang Lingkup Agar suatu masalah tidak keluar dari pokok permasalahan, maka dalam penulisan tesis ini ruang lingkup masalahnya hanya dibatasi pada : 1.
Klasifikasi saham Perseroan Terbatas dan kriteria
saham yangd apat dipahami dengan gadai. 2.
Jenis-jenis lembaga jaminan, syarat-syarat dan
prosedur dalam penggadaian saham Perseroan Terbatas.
14
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Secara umum yang menjadi tujuan dari penelitian ini, bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma ”science as a process” (ilmu sebagai proses), dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannya atas kebenarannya di bidang obyeknya masingmasing. 13 Dalam hal ini yang menjadi obyek yang terkait mengenai pembebanan jaminan atas saham perseroan terbatas. 1.4.2 Tujuan Khusus Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik diharapkan mampu : 1. Mengkaji katagori saham sebagai benda dalam perspektif KUH Perdata dan UU No. 40 Tahun 2007. 2. Untuk mengkaji permasalahan yuridis yang timbul berkaitan dengan penjaminan saham, antara lain menyangkut : pihak yang berwenang menjaminkan, pemenuhan hak-hak yang berkaitan dengan saham yang dijaminkan, hak dan kewajiban para pihak (kreditur dan debitur).
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk : 1.5.1 Manfaat Teoritis
13
Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Thesis Hukum Normatif, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, h. 10.
15
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum, terutama mengenai saham Perseroan Terbatas dalam kedudukannya sebagai benda bergerak tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis yang dapat dipakai sebagai jaminan dalam kegiatan bisnis terutama dalam pemberian kredit. 1.5.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi hukum positif dan memberikan pemikiran untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi lembaga keuangan Perbankan maupun lembaga gadai dan fidusia dalam berperan sebagai penerima gadai maupun fidusia untuk jaminan atas saham Perseroan Terbatas.
1.6 Landasan Teoritis Perseroan Terbatas (PT) sebagai badan usaha mempunyai misi yang sangat sentral dalam mengemban peran sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi Indonesia sebagaimana penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa ”pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi
yang
berkeadilan,
berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.” Pemerintah menginginkan dari Perseroan Terbatas tersebut adanya dua kemanfaatan yaitu : sebagai alat pemerataan pendapatan masyarakat supaya
16
keuntungan yang diperoleh dari Perseroan Terbatas-Perseroan Terbatas yang ada tidak menumpuk hanya pada beberapa gelintir orang, dan agar dana-dana yang ada dalam masyarakat dapat dihimpun atau diarahkan penggunaannya secara produktif dengan investasi melalui pembelian saham Perseroan Terbatas yang go public.14 Dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 menentukan : “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.” Melihat peran sentral dari Perseroan Terbatas dalam tata ekonomi, baik nasional maupun internasional maka saham sebagai modal dasar dari Perseroan Terbatas, juga mempunyai faedah ekonomi yang sangat besar, dimana hal ini tergantung pada kinerja dari Perseroan Terbatas-Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Begitu juga sesungguhnya peranan hukum sangat penting dalam pembangunan ekonomi, di mana hukum dapat mengatur segala aspek-aspek hukum yang sifatnya hampir tak terbatas, segala aspek dari ekonomi dapat diatur oleh hukum. Menurut W. Freidmann menyebutkan ada tiga type pengaturan hukum yang paling representatif terhadap pengaturan ekonomi yaitu : 14
Rudhi Prasetya, 2001, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 240-241.
17
1. Pembatasan-pembatasan hukum terhadap kebebasan berkontrak. 2. Pengendalian hukum yang bertujuan mengurangi dampak negatif oleh terjadinya kekuatan ekonomi. 3. Pengendalian hukum yang ditujukan dalam rangka perlindungan perekonomian nasional melalui pengaturan lalu lintas uang dan barang antara ekonomi nasional dengan dunia luar.15 Saham sebagai modal dasar dalam pendirian Perseroan Terbatas, adalah merupakan salah satu dari lembaga bisnis yang berperan dalam pembangunan ekonomi. Dimana lembaga bisnis adalah merupakan badan usaha atau perusahaan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, ada yang berbentuk Persekutuan Perdata, Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, dan Perseroan Terbatas. Persekutuan tersebut ada diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sebagaimana diketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari 4 (empat) buku, yaitu : 1. Buku I mengatur mengenai Hukum Orang. 2. Buku II mengatur mengenai Hukum Kebendaan. 3. Buku III mengatur mengenai Hukum Perikatan. 4. Buku IV mengatur mengenai Hukum Pembuktian dan Daluwarsa.
15
Gunarto Suhardi, 2002, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, h. 27.
18
Sistem pengaturan hukum benda dalam Buku II KUH Perdata adalah bersifat tertutup, di dalam hukum benda ada 3 (tiga) hal penting yang diatur masingmasing meliputi : pengertian dari benda, pembedaan macam-macam benda, dan macam-macam hak kebendaan.16 Mengenai kedudukan yuridis saham dalam konfigurasi hukum benda sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata maka sebelum membahas prinsip pembedaan benda dan melakukan katagorisasi untuk menentukan bentuk saham dalam sistem hukum benda, terlebih dahulu akan dibahas tentang konsep yuridis benda. Definisi yuridis normatif konsep benda terdapat dalam Pasal 499 KUH Perdata, dimana kaidahnya berbunyi : ”menurut paham Undang-Undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiaptiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik”. Tafsiran dari kaidah ini kata kebendaan atau zaak dipergunakan dalam 2 (dua) arti, barang berwujud dan bagian dari harta kekayaan sebagai barang yang tidak berwujud. 17 Prinsip pembedaan antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak sangat berkaitan dengan kedudukan berkuasa atas suatu benda sehingga nantinya benda tersebut dapat memberikan hak kepada pemiliknya atau pemegangnya. Gadai sebagaimana diatur dalam Buku II Bab XX Pasal 1150-1160 KUH Perdata, menurut Pasal 1150 KUH Perdata gadai adalah : ”Suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang (kreditur) atas suatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang (debitur) atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan 16
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I, Op. Cit, h. 12.
17
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I, Loc. Cit.
19
biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”. Menurut Pasal 1151 KUH Perdata, ”persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat bukti yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokoknya”. Maksud dari kaidah ini, gadai terjadi dengan memperjanjikannya. Oleh karena itu, agar persetujuan pemberian gadai sah, harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUH Perdata. Namun untuk sahnya perjanjian gadai tidak disyaratkan bentuk tertentu, apakah tertulis (otentik atau di bawah tangan) atau lisan.18 Dalam gadai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1150 Jo pasal 1151 Ayat (1) KUH Perdata, dipersyaratkan untuk sahnya, bahwa benda gadai harus diletakkan di bawah kekuasaan kreditur atau pihak ketiga yang telah disetujui para pihak. Sementara yang dimaksud sebagai pihak ketiga menurut Pasal 1152 Ayat (1) KUH Perdata adalah pemegang (houder) untuk kreditur tapi dengan kedudukan yang mandiri, yaitu bukan kuasa (last hebber) dari kreditur, dan karenanya tidak tunduk kepada perintah-perintah kreditur, tetapi ia berkewajiban agar maksud perjanjian gadai terlaksana dengan semestinya dan harus
menyerahkan
barang
tersebut
untuk
dieksekusi
jika
debitur
wanprestasi.19 Rasio dari penguasaan ini adalah sebagai publikasi untuk umum bahwa hak kebendaan (jaminan) atas jaminan benda bergerak itu ada pada kreditur
18
J. Satrio, 1991, Op. Cit, h. 109-110.
19
J. Satrio, 1991, Op. Cit, h. 104-105.
20
pemegang gadai atau inbezit stelling.20 Menurut J. Satrio, hal itu bertujuan untuk melindungi kreditur dengan melepas kekuasaan debitur untuk memindahtangankan benda gadai.21 Berdasarkan teori, perjanjian pemberian gadai terjadi pada saat penyerahan benda gadai ke dalam kekuasaan penerima gadai. Penyerahan merupakan perjanjian kebendaan yang merupakan unsur sahnya gadai.22 Penyerahan benda gadai, bergerak bertubuh atau bergerak tidak bertubuh berupa tagihan atas tunjuk (aan toonder), dengan penyerahan nyata sesuai Pasal 1150 Jo Pasal 1153 KUH Perdata. Untuk benda bergerak tidak berwujud berupa tagihan (aan order) di samping penyerahan nyata juga diikuti dengan endorsment sesuai dengan Pasal 1152 bis KUH Perdata. Untuk tagihan atas nama (op naam) untuk penyerahannya tidak disyaratkan adanya cessie. Menurut Pasal 1153 KUH Perdata, gadai akan terlaksana sesudah diberitahukan kreditur pemberi gadai kepada debiturnya. Hal ini didukung oleh HR 27-2-1914. Pemberitahuan oleh kreditur pemberi gadai kepada debiturnya, bahwa tagihan terhadap dia digadaikan kepada pihak ketiga, dianggap sama dengan melepaskan benda jaminan dari kekuasaan pemberi gadai. Artinya dengan pemberitahuan tersebut, debitur pemberi gadai sudah dianggap ”melepaskan hak tagihnya dari kekuasaannya” atau sama dengan barang gadai sudah keluar dari kekuasaan pemberi gadai. 23 Penyerahan di sini bukan 20
Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), h. 93. 21
J. Satrio, Op. Cit, h. 102-103.
22
Mariam Darus Badrulzaman II, Op.Cit, h. 94.
23
J. Satrio, Op. Cit, h. 102, 118-119.
21
merupakan penyerahan yuridis, yaitu penyerahan yang mengakibatkan si penerima menjadi pemilik, melainkan penerima sebagai pemegang, yang tidak sebagai ”bezitter” atau ”burgerlijk bezit” melainkan ”pand bezit”.24 Dari uraian tentang gadai di atas, menurut J. Satrio, menyebutkan bahwa pembentuk Undang-Undang (dalam hal ini KUH Perdata), pada waktu mengatur tentang gadai benda-benda bergerak tidak bertubuh rupanya hanya mengingat kepada surat-surat tagihan saja, sehingga tidak ada kaidah yang mengatur penggadaian surat-surat saham dan hak-hak lain yang mempunyai nilai uang / ekonomis.25 Secara lahiriah antara saham dan surat-surat piutang atau tagihan terdapat perbedaan, dimana piutang adalah hak menagih prestasi oleh seorang kreditur terhadap debitur tertentu berdasarkan suatu perikatan, dan biasanya prestasi itu berupa pemenuhan sejumlah uang. Sementara saham adalah bukti penyertaan pada suatu Perseroan Terbatas. Menurut Mariam Darus Badrulzaman secara hakiki antara saham dan surat-surat piutang keduanya pada tataran abstraksi adalah sama, sehingga karena Buku II Bab XX KUH Perdata hanya eksplisit mengatur tentang gadai surat piutang atau tagihan, akan tetapi kaidah-kaidahnya tetap dapat diterapkan untuk gadai saham. 26 Kehadiran lembaga jaminan fidusia pada mulanya diakomodasi oleh yurisprudensi di Belanda, dengan Bierbrouwerij Arrest 25-1-1929, dan di Indonesia dengan putusan Hooggerechtshop 18-8-1932 dalam perkara BPM 24
J. Satrio, Op. Cit, h. 102.
25
J. Satrio, Op. Cit, h. 119-120.
26
Mariam Darus Badrulzaman II, Op. Cit, h. 97.
22
melawan Clignet. 27 Figur lembaga fidusia ini menyimpangi lembaga gadai karena alasan / pertimbangan praktis. Adanya keharusan menurut undangundang agar benda gadai dikeluarkan dari kekuasan pemberi gadai adakalanya mempersulit bagi yang membutuhkan benda jaminan untuk suatu hutang, sementara satu-satunya benda yang dimiliki dan dapat dijaminkan adalah benda bergerak yang kebetulan justru sangat dibutuhkan untuk menjalankan usahanya. Pengaturan tentang lembaga jaminan fidusia di Indonesia telah dikuatkan dengan Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggal 30 September 1999. Berdasarkan kaidah Pasal 1 Ayat (4), Pasal 10, dan Pasal 20 UU No. 42 Tahun 1999, benda-benda yang dapat menjadi obyek jaminan fidusia adalah : - Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum. - Benda berwujud, benda tidak berwujud termasuk piutang. - Benda bergerak, benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotik. - Benda yang sudah ada dan benda yang akan diperoleh kemudian. - Satu-satuan atau jenis benda. - Lebih dari satu-satuan atau jenis benda. - Hasil dari benda yang telah menjadi obyek fidusia. - Hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. - Benda persediaan.28 Mengenai obyek dari jaminan fidusia, dalam teori dikenal pendapat ”Veenhoven” yang menyatakan, pada asasnya semua benda baik benda
27
J. Satrio, Op.Cit, h. 169-174.
28
Munir Fuady, 1999, Jaminan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 22-23.
23
bergerak maupun benda tetap/tidak bergerak, yang secara yuridis dapat diserahkan hak miliknya atas kepercayaan sebagai jaminan.29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia secara tersirat memberikan kemungkinan dibebaninya saham dengan jaminan fidusia di dalam penjelasan Pasal 6 huruf c dan Pasal 31 yaitu : - ”Dalam hal benda yang menjadi obyek fidusia merupakan benda dalam persediaan (inventory stock), bahan baku, barang jadi atau portofolio perusahaan efek, maka dalam akta jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari benda tersebut” (Pasal 6 huruf c dan penjelasannya). - ”Dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan” (Pasal 31). Dengan demikian alasan dapat difidusiakannya saham yaitu, secara teoritis sebagaimana pendapat Veenhoven, bahwa pada asasnya semua benda baik bergerak maupun benda tidak bergerak yang secara yuridis dapat diserahkan hak miliknya, juga dapat dipakai sebagai jaminan secara kepercayaan atas obyek jaminan fidusia. Sedangkan secara yuridis kaidah dalam Pasal 60 UU No. 40 Tahun 2007 bersifat fakultatif atau opsional (Regelem Recht), dan tidak ada kaidah yang melarang dijadikannya saham sebagai obyek jaminan fidusia, karena saham dapat menjadi obyek hak milik, mempunyai nilai ekonomis, serta dapat dipindahtangankan. Landasan filosofis saham sebagaimana dikemukakan secara hakiki antara saham dan surat-surat piutang keduanya ada pada tataran abstraksi
29
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1977, Beberapa Masalah Pelaksanaan Jaminan Khususnya Fidusia di Dalam Praktik dan Pelaksanaannya di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan III), h. 36.
24
adalah sama, sehingga karena Buku II Bab XX KUH Perdata hanya eksplisit mengatur tentang gadai surat piutang atau tagihan, akan tetapi kaidahkaidahnya tetap dapat diterapkan untuk gadai saham.30 Landasan yuridis saham, dalam konfigurasi hukum benda kedudukan yuridis saham termasuk ke dalam kategori surat berharga. Sebagai surat berharga saham dapat dialihkan karena saham mempunyai nilai ekonomis. Dikaitkan dengan konsep yuridis normatif benda sebagaimana ketentuan Pasal 499 KUH Perdata, ”kebendaan adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik”. Benda dapat diartikan sebagai barang yang tidak berwujud dan dalam prinsip pembedaan benda yang paling umum diterima adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak. Berdasarkan atas uraian tersebut di atas, permasalahan-permasalahan yang timbul terkait dengan pembebanan jaminan atas saham Perseroan Terbatas digunakan teori perjanjian (overeenkomst theorie) yang dikemukakan oleh Thol, teori tentang tanggung jawab (responsibility theory), serta teori ligitimasi yaitu teori hukum surat-surat berharga. Dari teori-teori tersebut di atas dapat dijadikan sebagai landasan filosofis dari keberadaan saham sebagai benda bergerak yang dapat dipindah tangankan oleh pemilik atau pemegangnya di dalam kehidupan masyarakat. Teori perjanjian (overeenkomst theorie) yang dikemukakan oleh Thol dalam bukunya ”Das Handsrech” mengatakan; yang menjadi dasar hukum mengikatnya adalah suatu perjanjian, yang merupakan perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau 30
Mariam Darus Badrulzaman II, Op. Cit, h. 97.
25
lebih sesuai dengan pengertian dari Pasal 1313 KUH Perdata tentang perjanjian. Perjanjian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan perundangundangan, artinya perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan mengikat mereka sebagai Undang-Undang apabila perjanjian yang dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa ”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”, Ayat (2) : ”perjanjianperjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu”, Ayat (3) ”perjanjian-perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik”.31 Makna yang terkandung dari Pasal 1338 Ayat (1) dari kalimat ”semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan asas kebebasan berkontrak, pada kalimat ”bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas personalitas. Prinsip pacta sunt servanda, para pelaku harus melaksanakan kesepakatankesepakatan yang telah disepakatinya dan dituangkan dalam kontrak.32 Teori tanggung jawab (responsibility theory), berdasarkan teori ini, tanggung jawab dilihat dari hubungan hukum para pihak di dalam perjanjian, dimana dalam setiap hubungan hukum antara para pihak diawali dengan suatu 31
Ahmadi Miru, Sakka Pat, 2008, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna pasal 1233 sampai 1456 BW, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 78. 32
Adolf Huala, 2006, Dasar-dasarHukum Kontrak Internasional, PT. Rafika Aditama, Bandung, h. 23.
26
perikatan atau perjanjian yang berakibat adanya tanggung jawab masingmasing atas perjanjian pembebanan jaminan atas saham apabila debitur wanprestasi, debitur dianggap wanprestasi apabila dia tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilaksanakan sebagai kewajibannya untuk memenuhi prestasinya. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan, melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, atau melakukan sesuatu yang menurut kontrak atau perjanjian tidak boleh dilakukan. Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan resiko, maupun membayar biaya perkara.33 Dalam hubungan hukum para pihak akan menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak dan juga timbul tanggung jawab masingmasing. Pada umumnya setiap orang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan demikian bertanggung jawab dalam pengertian hukum, berarti adanya keterikatan, ini berarti tanggung jawab hukum (legal responsibility) dimaksudkan sebagai keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum, dalam hal ini keterikatan saham Perseroan Terbatas yang dibebankan jaminan gadai. Teori legitimasi (teori hukum surat-surat berharga) menyebutkan, seseorang yang secara nyata memegang sepucuk saham atas tunjuk atau saham blanko dengan itikad baik, maka ia dilegitimasi oleh hukum bahwa ia adalah orang yang berhak atas saham tersebut. Berdasarkan teori legitimasi, maka 33
Rasyid Abdul Salimah dkk, 2007, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 52.
27
dengan legitimasi ia dinyatakan sebagai ”eigenaar” dari saham dimana sebelumnya ia hanyalah ”houder”. Houder menurut Nindyo Pramono diterjemahkan sebagai pemegang saham, serta menurut Algra dan Gokkel dikenal tiga istilah yang erat kaitannya dengan persoalan pemilikan atau penguasaan suatu benda, yaitu Houder, Bezitten, dan Eigendom. Houder artinya sebagai pemegang benda secara nyata, apabila memegang benda secara nyata dengan maksud untuk memiliki, maka ia dikatakan sebagai bezitten (menguasai).34 Menurut Pasal 60 UU No. 40 Tahun 2007 saham dikategorikan sebagai benda bergerak dan dapat memberikan hak kepemilikan kepada pemegangnya. Berdasarkan teori legitimasi tersebut di atas saham sebagai benda bergerak, maka saham memberikan hak kepada pemiliknya/pemegangnya baik untuk mengalihkan maupun melakukan hal-hal yang diperbolehkan undangundang secara legitimasi bahwa dialah yang berhak.
1.7 Metode Penelitian Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja ilmuan yang salah satunya ditandai dengan penggunaan metode (Inggris method, Latin methodus, Yunani methodos, meta berarti di atas, sedangkan thodos berarti suatu jalan, suatu cara). Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi
34
Nindyo Pramono, 2001, Sertifikasi Saham PT Go Public dan Hukum Pasar Modal di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Nindyo Pramono II), h. 84-85.
28
penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu. 35 Metode atau cara pengkajian dilakukan secara deskriptif analitik yaitu menguraikan kaidah-kaidah dalam aturan hukum yang berhubungan dengan saham dan hukum jaminan dengan jalan deskripsi atau paparan sesuai pokok permasalahan dan dengan ”examining the nature of authoritative legal material” untuk clarity dan consistency, yaitu ”to make legal terms and legal conceptions as clear as possible so that ambiguities lurking in them may be cleared up”36 sehingga tidak ada kontradiksi dalam kaidah-kaidah hukum yang ada. 1.7.1 Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam penulisan thesis ini, merupakan penelitian hukum normatif. Sebagai penelitian hukum yang bersifat akademis berkaitan dengan upaya untuk memberikan sumbangan yang berharga bagi perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum jaminan bagi saham Perseroan Terbatas. Sebagai penelitian hukum dalam kegiatan akademis, dimaksudkan untuk membedakan dengan penelitian hukum dalam kaitannya dengan kegiatan yang bersifat praktis yang lebih diarahkan untuk memecahkan masalah-masalah praktis.37 Bidang ilmu hukum memiliki karakter yang khas yakni dengan sifatnya yang normatif. Sifat khas (sui generis), ilmu hukum tersebut bercirikan : (a) bersifat empiris analitis yakni memaparkan dan 35
Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang, h. 26. 36
A. Thomas Cowan, 1956, The American Jurisprudence Reader, New York, Oceana Publications, h. 102. 37 Peter Mahmud Marzuki, 2001, Penelitian Hukum, Vol. 16 No. 1, Maret-April, Yuridika, Surabaya, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), h. 103-126.
29
menganalitis terhadap isi dan struktur hukum; (b) sistimatisasi gejala hukum; (c) melakukan interpretasi terhadap substansi hukum yang berlaku; (d) menilai hukum yang berlaku; serta (e) arti praktis ilmu hukum berkaitan erat dengan dimensi normatifnya. 38 Menurut Bambang Sunggono, penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis atau dogmatik, karena tidak mengkaji pelaksanaan atau implementasi hukum, penemuan hukum dalam perkara pidana ataupun perdata, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.39 Dalam thesis ini yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah penelitian hukum yang bersifat akademis yang di dalamnya terkandung sifat normatif dan doktrinal untuk menjawab berbagai permasalahan yang diajukan. 1.7.2 Jenis Pendekatan Di dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan, yaitu : pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analisis (analitical approach), pendekatan perbandingan
(comperative
approach),
pendekatan
sejarah
(historical
approach), pendekatan filsafat (rhilosophical approach), dan pendekatan kasus (case approach).40 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian untuk 38
Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Laks. Bank Pressindo, Yogyakarta, h. 27. 39
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 83-102. 40 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), h. 93-137.
30
penulisan thesis ini digunakan pendekatan perundang-undangan (sttaute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Mengenai pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai saham dalam perkembangannya sampai dengan berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya mengenai pengalihan saham sebagai jaminan hutang. Hal ini dikarenakan adanya kekaburan hukum dalam tata cara pengalihan saham perseroan terbatas yang dibebankan sebagai jaminan. Pendekatan konseptual (conseptual approach) dilakukan untuk menelusuri pengertian pengalihan saham sebagai benda bergerak tidak berwujud menurut Undang-Undang ataupun menurut ahli, yang dimungkinkan adanya perkembangan mengenai konsep pembebanan atas lembaga jaminan atas saham yang dipakai sebagai agunan. 1.7.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakan (library research). Penelitian kepustakaan adalah menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, contohnya berbagai Peraturan Perundang-undangan; putusan Pengadilan; traktat. Dan sumber bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang isinya membahas bahan hukum primer, contohnya buku; artikel, serta bahan hukum tertier adalah bahan-bahan hukum yang bersifat menunjang
31
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya kamus, buku pegangan.41 Dalam penelitian ini sumber bahan hukum yang dimaksudkan adalah sebagai berikut : 1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu : a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata/Boergelijk Wetbook. b. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. d. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. e. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang meliputi antara lain : bukubuku (literature), artikel, makalah, thesis, skripsi dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu berupa kamus hukum dan Kamus Bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan sebagainya. 1.7.4 Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan
bahan-bahan
hukum
diawali
dengan
kegiatan
inventarisasi, dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hukum 41
103-104.
Ashshofa Burhan, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Reneka Cipta, Jakarta, h.
32
ke dalam suatu sistem informasi, sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum tersebut. Bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap sumber-sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, selanjutnya dilakukan inventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara pencatatan atau pengutipan dengan menggunakan sistem kartu. Masing-masing kartu diberikan identitas sumber bahan hukum yang dikutip dan halaman dari sumber kutipan. Di samping itu, diklasifikasikan menurut sistematika rencana thesis, sehingga ada kartu untuk bahan-bahan Bab I, Bab II, dan seterusnya, kecuali untuk bagian penutup. Kemudian dilakukan kualifikasi fakta dan hukum. 42 Selanjutnya akan dilakukan penelusuran melalui kepustakaan yang berkaitan dengan aspek pembebanan atas saham tanpa nilai nominal dari Perseroan Terbatas dengan jaminan gadai.
1.7.5 Teknis Analisis Bahan Hukum Analisis bahan-bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan secara analisis kualitatif dan komprehensif. Analisis kualitatif artinya, menguraikan bahan-bahan hukum secara bermutu dengan bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis dan tidak tumpang tindih serta efektif, sehingga memudahkan interpretasi bahan-bahan hukum dan pemahaman hasil analisa. Komprehensif artinya, analisa dilakukan secara mendalam dan dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Analisis bahan hukum dalam penelitian ini 42
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad 20, Alumni, Bandung, h. 150.
Ke-
33
dilakukan dengan teknik deskriptif, mendiskripsikan bahan-bahan dengan cara mengkonstruksikan hukum dan argumentasi, yang selanjutnya dilakukan penilaian berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum, yakni dengan mengemukakan doktrin dan asas-asas yang ada terkait dengan permasalahan.