1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam kenyataannya, kebudayaan memang sifatnya kompleks. Wacana tentang kompleksnya kebudayaan dapat dideskripsikan sebagai keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 2004:9-10). Kebudayaan dapat dipilah-pilah menjadi tujuh unsur yang sangat kompleks, yaitu: sistem
bahasa,
sistem
pengetahuan,
sistem
sosial/kemasyarakatan,
sistem
peralatan/teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi/kepercayaan, dan kesenian (Koentjaraningrat, 2004:2-4). Selanjutnya,
(Koentjaraningrat,
2004:5-8)
membedakan
tiga
wujud
kebudayaan. Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks, ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan (ideas/mentifact). Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas tindakan yang berpola oleh manusia dalam masyarakat (activities/socifact). Ketiga, wujud nyata kebudayaan sebagai benda hasil karya cipta manusia disebut dengan artifacts. Ketiga wujud kebudayaan tersebut terkait satu dengan lainnya atau sebagai unsur yang terintegrasi, serta memiliki sifat universal, yang artinya berbagai unsur itu ada dan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan di dunia. Semua unsur itu dapat dipandang dari sudut ketiga wujud kebudayaan. Sistem bahasa misalnya, dalam hal 1
2 ini karya sastra baik lisan maupun tulisan, merupakan salah satu unsur kebudayaan dapat dipandang sebagai ide, gagasan atau nilai. Sebagai aktifitas tindakan yang berpola dan juga dapat berupa berbagai benda hasil karya manusia. Bahasa dan sastra, baik lisan maupun tulisan menjadi medium untuk menuangkan berbagai aspek kebudayaan sehingga menjadi kekayaan bagi pembaca dan penikmatnya. Masing-masing daerah, suku, atau komunitas dalam suatu wilayah memiliki pengetahuan tradisional. Secara empiris merupakan nilai yang diyakini oleh komunitasnya sebagai pengetahuan bersama dalam menjalin hubungan antara sesama dan lingkungan alamnya. Masyarakat Bali sebagai satu kesatuan geografis , suku, ras, dan agama, juga memiliki nilai kearifan lokal (local genius) yang telah teruji dan terbukti daya jelajah sosialnya dalam mengatasi berbagai problematika kehidupan. Nilai kearifan lokal yang berkembang dan diyakini sebagai perekat sosial tersebut dijadikan acuan dalam menata hubungan dan kerukunan antar sesama umat beragama di Provinsi Bali, di antaranya: nilai kearifan Tri Hita Karana, Tri Kaya Parisuda, Tatwam Asi, Salunglung Sabayantaka, Paras Paros Sarpanaya, Bhineka Tunggal Ika, Menyama Braya, Rwa Bhineda, dan ungkapan lainnya. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut akan bermakna bagi kehidupan sosial apabila dapat menjadi rujukan dan acuan dalam menjaga serta menciptakan relasi sosial yang harmonis. Sistem pengetahuan lokal tersebut dapat dipahami sebagai sistem pengetahuan yang dinamis dan berkembang terus secara kontekstual sejalan dengan tuntutan serta kebutuhan manusia yang semakin hiterogen dan kompleks (Wisnumurti, 2009:3).
3 Kekayaan, keberagaman kebudayaan daerah memiliki daya tarik untuk digali, diangkat dan dipromosikan menjadi salah satu bentuk karya yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat pada umumnya. Kearifan lokal yang dimaksud, merupakan pengetahuan lokal. Masyarakat dapat menggunakan pengetahuan lokal sebagai pedoman untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan, menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya, yang diekspresikan sebagai sebuah tradisi. Proses regenerasi kearifan lokal dapat dilakukan melalui pelestarian sastra dan tradisi lisan termasuk mitos, karya sastra sejarah, babad, ritual, atau dalam wujud ide/ gagasan, penghayatan (mentifact) serta wujud fisik (artifact). Nilai kearifan lokal juga dapat menjadi perekat bagi terwujudnya kerukunan umat beragama (Gunawan, 2008:2). Cassirer (1987:165-169) banyak mengupas kaitan mitos dengan religi. Antara mitos dan religi tidak ada perbedaan yang mendasar karena bersumber pada fenomena yang sama dan bersifat manusiawi. Sepanjang perjalanan sejarah, religi senantiasa berhubungan dan diresapi berbagai unsur mitos. Di lain pihak, Sumandiyo, (2006:45) menyatakan bahwa mitos dalam bentuk yang paling kasar dan sederhana pun mengandung beberapa motif dalam arti tertentu. Beberapa di antaranya merupakan fakta yang tidak perlu disangsikan. Dengan berbagai macam alasan manusia menganggapnya sebagai penampakan makna luhur, dari gejala alam semesta dan keutamaan kehidupan manusia. Roland Barthes dalam bukunya Mythologies (1985: 272) menyatakan bahwa di balik tanda-tanda dalam komunikasi sehari-hari baik tertulis maupun lisan terdapat makna misterius yang akhirnya dapat melahirkan sebuah mitos. Dalam mitos terdapat
4 pola tiga dimensi, yaitu: penanda, petanda, dan tanda. Sebagai sesuatu yang unik, mitos juga sebuah sistem pemaknaan tataran ke dua. Di dalam mitos, sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.
Oleh karena itu, mitos sebagai tuturan yang
mengandung pesan, banyak ditemukan di dalam kehidupan, sebagai sebuah kearifan tradisional yang dituturkan secara lisan (oral). Apabila dikaitkan dengan religi serta julukan Bali sebagai pulau Dewata, hampir setiap saat masyarakat melaksanakan ritual sesaji, baik untuk kepentingan rumah tangga maupun dilaksanakan pada tempat-tempat yang disakralkan. Dalam konsep Hindu hal itu merupakan implementasi dari sabda Weda yang berbunyi bahwa “Tuhan ada dimana-mana”. Wacana tentang mitos berasal dari berbagai ide atau gagasan, kisah, tindakan, serta merupakan hasil perpaduan tradisi budaya asli dengan budaya yang datang berikutnya pada saat Bali belum mengenal tulisan. Seiring dengan perjalanan waktu, ketika masyarakat Bali telah memiliki aksara, yaitu aksara Pallawa dan Dewa Nagari, akhirnya kearifan tradisional, khususnya cerita rakyat mulai dituliskan. Waktu terus berlanjut dari zaman kejayaan kerajaan Kediri, hingga runtuhnya kerajaan Majapahit dan memasuki zaman Republik, terjadi ekspansi besarbesaran terhadap ide-ide budaya baik dalam wujud mentifact dan artifact di Bali. Fenomena tentang keberagaman masyarakat Bali dewasa ini terlihat dari besarnya perhatian terhadap dunia spiritual, dengan mencari model-model kearifan lokal yang dirasakan mampu untuk mengatasi berbagai krisis sosial masyarakat modern. Masyarakat modern dirasakan seperti kehilangan makna hidup, tidak mengetahui bagaimana mempertahankan hubungan dengan Tuhan, dengan sesama,
5 dan dengan alam lingkungan secara tepat seperti yang tertuang dalam konsep Tri Hita Karana. Era globalisasi juga memunculkan berbagai gerakan spiritual sebagai reaksi terhadap dunia modern yang terlalu menekankan pada hal-hal yang bersifat profan. Fenomena ini merupakan respon dari paradigma modern yang dikenal dengan sebutan gerakan New-Age, yakni sebuah zaman yang ditandai dengan pengalihan perhatian terhadap berbagai macam dunia spiritual (Nida, 2007:4). Objek yang diteliti merupakan bagian dari sastra lisan, yakni mitos yang populer dan berkembang di Jawa, tentang penguasa laut Selatan yang dikenal dengan Ratu Kidul selanjutnya disingkat RK. Dalam budaya Jawa mitos tentang RK dipahami oleh masyarakat merupakan sistem kosmografi dan kosmogoni alam pulau Jawa dengan menjadikan RK sebagai ikon. Cerita tentang RK berkaitan erat dengan tradisi keraton Yogyakarta dan Surakarta. Seiring dengan perjalanan waktu mitos RK juga populer di Bali, bahkan telah diaktualisasikan dalam wujud artifact di beberapa tempat pemujaan sepanjang pesisir Bali Selatan. Nama yang dilabelkan sebagai RK berbeda-beda, akan tetapi secara umum mengarah kepada penguasa laut dan penguasa sumber mata air. Sebagian besar hotel yang berdiri menghadap ke laut Selatan secara khusus menyiapkan sebuah ruangan untuk tempat pemujaan RK. Perpaduan tradisi budaya luar Bali terutama tradisi budaya dari masyarakat Jawa dengan budaya asli Bali tanpa meninggalkan tradisi yang telah ada sebelumnya (akulturasi) telah terjadi di Bali. Kondisi seperti itu tidak dapat dibendung, apalagi Bali menjadi tujuan utama wisata dunia. Bali selalu menjadi tempat pilihan kegiatankegiatan yang bertaraf internasional, sehingga sastra dan budaya lisan Bali menjadi
6 efektif sebagai bahan promosi. Oleh karena itu, dituntut perhatian pemerintah daerah dalam pelestarian dan perlindungan terhadap kearifan lokal dengan berbagai tradisi lisannya, termasuk mitos-mitos yang ada maupun yang sedang berkembang dan berakulturasi. Pemilihan objek mitos RK didasarkan atas pandangan yang menyatakan bahwa sebuah mitos dapat muncul sebagai kearifan lokal, sedangkan kearifan lokal itu sendiri merupakan pengetahuan lokal (local wisdom) yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas tentang pengalaman hidup, yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Namun demikian, terdapat fenomena lain yang saat ini menjadi perhatian banyak kalangan masyarakat adalah menjadikan RK sebagai sasuhunan. Oleh karena itu, objek mitos RK yang diteliti merupakan bentuk sastra dan tradisi lisan. Wacana mitos tentang RK yang berkembang di Bali seolah-olah sengaja ‘dihidupkan’ karena dapat ‘menghidupi’. Sebuah mitos yang dikemas dalam bentuk ritual ber-yadnya untuk pelestarian laut. Mitos tentang Ratu Penguasa Laut Selatan memang melegenda. Hal ini dibuktikan bahwa wacananya sering diekspose melalui media elektronik maupun cetak, sehingga para peminat dan pendukungnya pun meluas ke segala profesi masyarakat. Mitos RK juga fenomenal, kontroversial, dan misteri. Peranan media terutama elektronik dan media sosial lainnya juga menentukan perkembangan wacana mitos RK di Bali. Pemilihan objek penelitian ini juga berawal dari emosional dan keingintahuan peneliti, lalu berkembang menjadi rasa simpati dan berupaya untuk menelusuri tentang fenomena yang terjadi.
7 Kefenomenalan mitos RK dapat mempengaruhi keyakinan spiritual sebagian masyarakat di Bali hingga menyebar dalam wujud penghayatan dengan pendirian beberapa pelinggih (tempat pemujaan), kamar suci, patung, lukisan, gedong, dan memberikan ritual serta doa-doa sebagai ciri penanda keberadaannya di Bali Selatan. Keunikan mitos RK di Bali Selatan disebut-sebut berkaitan dengan sejarah kebesaran dan kejayaan leluhur Hindu di Nusantara serta keberadaan roh-roh orang suci, dewadewi atau malaikat (Jawa) yang selama ini diyakini oleh masyarakat Hindu di Bali sebagai penyelamat, pembawa berkah, kesejahteraan dan keharmonisan. Pemahaman masyarakat di Bali tentang mitos RK kini berkembang menjadi kearifan lokal dalam bentuk
aktivitas
ritual,
seperti:
meditasi,
malukat,
Mapakelem,
Melasti,
nglarung(labuhan), petik laut, dan lainnya yang aktualisasinya mewujud dalam ritual ber-yadnya terhadap laut. Fenomena tentang keunikan mitos RK yang membumi dan melegenda itulah menjadi dasar pertimbangan serta ketertarikan peneliti untuk menelitinya. Namun, rujukan teoretis untuk pengkajiannya terbatas, karena di Bali belum ada yang menelitinya. Oleh sebab itu, peneliti juga merasa perlu melakukan observasi dan mencari rujukan ke tempat asal mitos tersebut. Ini dilakukan karena di Jawa, mitos RK merupakan bagian dari tradisi sastra lisan yang disakralkan dalam bentuk kepercayaan khususnya
bagi Keraton Yogyakarta, Keraton Solo, dan menjadi
keyakinan masyarakat pesisir Selatan Jawa pada umumnya. Terjadinya berbagai masalah sosial saat ini, sudah melampaui batas etika, dan norma kehidupan, diduga masih ada kaitannya dengan pelaksanaan tradisi lisan dan
8 nilai-nilai yang terkandung dalam mitos RK. Hal ini mungkin merupakan implikasi dari tidak terkendalinya sikap serta perilaku (pikiran, perkataan, dan perbuatan) menurut konsep Hindu yang disebut Tri Kaya Parisuda. Konsep inilah yang perlu dipakai acuan bagi masyarakat multikultur. Ketika manusia tidak lagi menghiraukan etika dan norma yang berlaku secara turun temurun yang telah diwariskan oleh nenek moyang (leluhur), terjadilah degradasi moral dan kesenjangan antara apa yang menjadi harapan, cita-cita para leluhur di masa lalu, dengan apa yang dilakukan generasi penerus. Berdasarkan pola pikir tersebut dan dengan disertai penemuan berbagai fenomena terhadap objek penelitian, diduga bahwa fenomena wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan mengandung nasihat-nasihat yang bersifat implisit. Dalam hal ini, diperlukan pemahaman dan pemaknaan yang sedalam-dalamnya, sehingga semua menjadi jelas, dan dapat dipahami tidak saja oleh masyarakat penghayat, tetapi yang terpenting oleh generasi muda sebagai penerus kehidupan bangsa. Selama ini para generasi muda selalu menganggap bahwa mitos itu kuno, hanyalah ilusi, tahayul, dan tidak perlu diperhitungkan dalam kehidupan modern. Namun, sesungguhnya mereka berada, dikelilingi, bahkan melaksanakan berbagai macam mitos. Menindaklanjuti ketertarikan tersebut, peneliti telah melakukan observasi dan mewawancarai para informan tentang mitos RK di Bali Selatan melalui penelusuran 12-an (duabelasan) Pura yang berada di pesisir Bali Selatan tidak termasuk kamar suci yang ada di hotel Inna Grand Bali Beach Sanur. Peneliti juga mempunyai alasan dalam pemilihan objek dengan mendasarkan pada beberapa
9 fenomena yang telah ditemukan. Dari fenomena itulah terinspirasi judul disertasi: “Persepsi Masyarakat terhadap Mitos Ratu Kidul di Pesisir Bali Selatan: Kajian Wacana Naratif”. Bahwa informasi yang ada di masyarakat dalam bentuk wacana perlu dikritisi kembali sesuai situasi, kondisi, sudut pandang, dan interpretasi para penyimak, peminat serta penikmatnya. Temuan yang berupa fenomena itu dideskripsikan, dianalisis, sehingga dapat dipahami wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan yang dimaksudkan oleh masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan pragmatis yang mengarah pada wacana kritis, menjadi dasar kajian analisis wacana naratif. Hasilnya diharapkan dapat memberikan manfaat yang relevan bagi kehidupan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah Dalam
teori
kontemporer
disebutkan,
dominasi
pikiran
pun
harus
direkonstruksi, sehingga sistem simbol termasuk simbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Manusia adalah entitas historis, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling mempengaruhi, yaitu: hubungan manusia dengan alam sekitar, hubungan manusia dengan manusia lain, hubungan manusia dengan struktur dan institusi sosial, hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu tertentu, manusia dan hubungan timbal balik antara teori dan praktik, serta manusia dan kesadaran religius atau para religius (Ratna, 2010:351). Kaitannya dengan wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan, dengan latar ceritanya tergolong sastra yang bernuansa sejarah dan tidak asli dari daerah Bali,
10 bukan berarti diabaikan atau diremehkan kemunculannya. Justru yang diperlukan adalah gerakan cepat tanggap dari masyarakat untuk pemahaman dan penanganannya. Di zaman teknologi yang semakin canggih ini, ada kemungkinan mitos Ratu Penguasa Pantai Selatan sengaja dihidupkan (diwacanakan) oleh komunitas tertentu, dengan cara menampilkan kembali dalam wujud penghayatan yang disertai ritual. Wacana itu lalu difragmentasi dengan memberikan makna yang baru sesuai dengan situasi dan kondisi saat diwacanakan dan diteliti. Oleh karena itu, wacana mitos RK ‘dihidupkan’ karena ‘menghidupi’ masyarakat di tempat manapun wacana itu berkembang. Adapun rumusan masalah dari beberapa fenomena yang telah teridentifikasi, dan diteliti sebagai berikut. 1) Bagaimanakah Struktur Wacana Mitos RK di Pesisir Bali Selatan? 2) Bagaimanakah Fungsi Wacana Mitos RK di Pesisir Bali Selatan? 3) Apakah Makna Wacana Mitos RK di Pesisir Bali Selatan? 4) Bagaimanakah Persepsi Masyarakat dan Implikasi Wacana Mitos RK di Pesisir Bali Selatan?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian tentang wacana RK di Pesisir Bali Selatan merupakan penelitian lapangan. Oleh karena itu, secara ideal harus melalui tahapan kegiatan penelitian, seperti: pengumpulan data, pengolahan atau analisis data, dan penyajian hasil
11 penelitian. Dengan demikian, penelitian ini pun mempunyai tujuan, yaitu untuk menggali dan menemukan prinsip-prinsip serta pemahaman baru wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan. Penelitian ini juga bertujuan memberikan pemahaman analitis dari sudut pandang wacana naratif. Cara ini dapat menunjukkan dan memberikan penekanan bahwa di era modern ini keyakinan/kepercayaan terhadap mitos yang masih hidup dan berkembang perlu dilestarikan. Wacana mitos RK yang melegenda dan bernuansa mistik telah mendapat pengakuan kesakralannya dari komunitas tertentu. Hal ini dapat menambah khasanah perbendaharaan sastra dan tradisi budaya di Bali khususnya. Pemahaman semacam itu diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman antara pihak yang tidak melakukan penghayatan dengan pihak pendukung tradisi. Melalui pengungkapan fungsi dan makna wacana mitos RK bagi kehidupan spiritual, diharapkan agar berbagai pihak dapat memahami bahwa para pendukung telah merasakan ada kekuatan (energi) tertentu di balik ritual yang dilaksanakan atas nama mitos tersebut. Kekuatan-kekuatan itulah pada gilirannya menjadi aset yang berharga sebagai bentuk pola pikir masyarakat untuk tidak melupakan dan meninggalkan tradisi, sastra, dan sejarah. 1.3.2 Tujuan Khusus Dalam rangka mewujudkan tujuan umum seperti tersebut di atas, maka dipandang perlu untuk melakukan fokus tujuan melalui tahapan penelitian sesuai
12 rumusan masalah, menjadi tujuan khusus. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Mengidentifikasi, mentranskripsi, dan mendeskripsikan struktur wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan. 2) Mendeskripsikan, menganalisis, dan menginterpretasi fungsi wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan. 3) Menganalisis dan menginterpretasi makna wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan. 4) Memahami dan menginterpretasi persepsi masyarakat dan implikasi wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4. 1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan dunia ilmu wacana dan sastra, terutama tentang pemahaman tanda, petanda, dan penanda dalam mitos. Kemudian, diperoleh gambaran struktur, fungsi, dan makna terhadap fenomena yang terjadi dan dianggap masih misteri. Di samping itu, diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengembangan, perlindungan, dan revitalisasi/pemeliharaan tradisi sastra lisan nusantara. Akhirnya, dapat memperkaya khazanah perpustakaan bahasa, sastra, dan budaya. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti yang berminat melakukan kajian sejenis.
13 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini bermanfaat sebagai berikut. 1) Bermanfaat bagi perubahan sikap, prilaku, dan cara pandang masyarakat Bali pada umumnya dalam memahami wacana mitos RK sebagai konsep kearifan lokal tentang etika pengelolaan dan pelestarian sumber mata air, khususnya laut. Dengan demikian, segala bentuk ritual penghormatan terhadap unsurunsur alam, seperti: laut, gunung, dan darat menjadi semakin penting dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan makhluk hidup. 2) Hasil kajian ini diharapkan bermanfaat sebagai apresiasi bagi mahasiswa yang berminat meneliti wacana dan sastra lisan. 3) Manfaat lain juga diharapkan sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak terkait dalam mengambil strategi serta kebijakan tentang tradisi dan sastra lisan di Bali, melalui penyamaan persepsi, demi memahami keragaman budaya, kearifan lokal, sastra dan agama, sebagai ciri masyarakat yang hiterogen. 4) Dapat dijadikan bahan bacaan untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat pada umumnya yang gemar mempelajari tradisi dan sastra lisan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Setelah tujuan dan manfaat ditentukan, maka dilakukan pembatasan ruang lingkup penelitian. Hal ini penting agar kegiatan penelitian tidak melebar tanpa arah, karena dapat mengaburkan fokus penelitian. Mely G.Tan (dalam Bungin, 2003:36),
14 menyebutkan beberapa dasar pertimbangan untuk menentukan batasan ruang lingkup penelitian, seperti: maksud dan perhatian peneliti, bahan atau data yang ada tentang masalah dan fenomena, serta penelitian lapangan yang sudah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian tentang wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan, lokasi dan analisisnya juga dibatasi sesuai ruang lingkup wilayah pesisir Bali Selatan (pesisir Gilimanuk sampai Padangbai). Namun, tidak meliputi pulau-pulau di seberang laut Bali Selatan dengan rumusan masalah sebagaimana disebutkan di atas. Pemilihan lokasi penelitian lebih difokuskan pada wilayah pesisir Bali Selatan, dari ujung Timur (pesisir Selatan Kabupaten Karangasem), yaitu pantai Padangbai hingga ujung Barat (pesisir Selatan Kabupaten Jembrana), yaitu pantai Gilimanuk. Oleh karena keterbatasan waktu penelitian, sehingga tidak meneliti pulaupulau di seberang laut seperti Nusa Penida, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan, dan pulau Menjangan. Ada ± 12-an (duabelasan) lokasi atau wilayah pesisir yang mewacanakan RK dan berkaitan dengan ‘Pura’. Data yang tidak berkaitan dengan Pura adalah kamar suci 327 dan Cottages 2401 hotel Inna Grand Bali Beach Sanur selanjutnya, disingkat IGBB. Pengambilan data dimulai dari hotel IGBB Sanur dan sekitarnya. Dari pesisir Denpasar bagian Selatan, kemudian menuju pesisir Gianyar bagian Selatan, Klungkung, Karangasem, lalu kembali di pesisir Badung bagian Selatan, Tabanan, dan Jembrana. Dengan tidak disengaja peneliti mendapat informasi bahwa, wacana mitos RK juga ada pada perbatasan Kabupaten Buleleng dengan Jembrana, yakni pada areal hutan Pura Segara Rupek Desa Sumber Kelampok, Kecamatan Grokgak.
15 Waktu pengumpulan data penelitian dilakukan selama 6 (enam bulan), sejak Maret 2014 sampai Agustus 2014. Data yang telah terkumpul berupa informasi, diklasifikasi, diidentifikasi, ditranskripsi menjadi beberapa penggalan wacana. Kemudian, penggalan wacana yang berupa persepsi masyarakat itu difragmentasi, serta direkonstruksi menjadi teks/wacana yang utuh. Bentuk persepsi masyarakat dianalisis dan diinterpretasi sesuai permasalahan yang dikaji dengan menggunakan metode serta teori yang relevan untuk memperoleh temuan dan kesimpulan. Pada saat melakukan observasi dengan menyusuri pesisir Bali Selatan, peneliti mewawancarai beberapa nara sumber yakni; para pemangku Pura yang mengetahui tentang wacana mitos RK, beberapa paranormal di Bali dan masyarakat nelayan yang bermukim di pesisir Bali Selatan. Para informan dipandang mengetahui, dan memahami, sehingga dapat menjelaskan asal usul wacana mitos RK hingga menjadi kepercayaan di Bali. Sebelum memfokuskan penelitian di Bali, peneliti telah mencari informasi awal di beberapa pesisir Selatan Jawa, sebagai tempat asal mitos RK yang sudah melegenda seperti di daerah Sukabumi (pantai Pelabuhan Ratu), pantai Karang Hawu, pantai Parangtritis dan Cepuri Parang Kusumo (Yogyakarta Selatan), Keraton Yogyakarta dan Solo, (foto; 1,3,25,26,27,28) terlampir. Informasi yang diperoleh bervariasi, ada yang memitoskan sebagai putri raja, seorang penari kerajaan, bidadari, dan penguasa atau ratu makhluk halus, namun tidak membuatkan tempat pemujaan khusus seperti yang ditemukan di Bali.
16 BAB II KAJIAN PUSTAKA, DESKRIPSI KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Sejumlah pustaka yang berkaitan dengan wacana mitos RK sebagai objek bahasan sudah banyak beredar di Jawa. Terutama dalam bentuk buku yang isinya tentang RK baik berupa versi mitosnya maupun kaitannya dengan silsilah raja-raja penguasa tanah Jawa. Dari kerajaan Mataram Hindu, Pajajaran, Kediri, Majapahit, sampai berdirinya kerajaan Mataram Islam, bahkan hingga zaman Republik. Semua buku menceritakan RK di Jawa serta hubungannya dengan sejarah dan aktivitas para penguasa. Pustaka yang mengulas tentang asal usul cerita dan mitos RK di Bali tidak ditemukan, akan tetapi fenomenanya ada. Sebagai referensi ditemukan sebuah tulisan ilmiah
pada Fakultas Sastra
Universitas Udayana yang secara langsung masih berkaitan dan membicarakan tentang cerita mitos RK akan tetapi lokasi penelitiannya di Solo. Oleh karena itu, penelitian tentang wacana mitos RK yang dilakukan di Bali Selatan tergolong baru, sehingga kajian pustaka yang dipakai acuan pun masih memerlukan rujukan dari buku-buku sejarah peradaban Nusantara dan Bali masa lampau, terutama dalam pembahasan substansinya.
Beberapa pustaka yang menjadi acuan teoretis untuk
membahas wacana mitos RK di Bali Selatan adalah sebagai berikut.
16
17 Djoko Dwiyanto (2009) dalam bukunya Keraton Yogyakarta; ‘Sejarah, Nasionalisme dan Teladan Perjuangan’ pada intinya menguraikan tentang sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta yang telah berurat dan berakar dalam jiwa para pejuang, patriot dan pendiri negeri itu. Oleh karena itu, keagungan dan keanggunan istana dihormati dan dikagumi oleh siapa saja, termasuk rakyat yang tinggal di perkotaan, pedesaan dan pegunungan. Warisan agung itu pada kenyataannya bisa berperan dalam kancah tradisional dan internasional. Keteladanan dan keutamaan yang telah diwariskan kepada generasi muda tentu dapat digunakan sebagai sarana untuk memupuk semangat nasionalisme dewasa ini. Keselarasan antara nilai modern dengan tradisional dapat berjalan serasi dan seimbang demi kokohnya jati diri bangsa. Perjuangan raja Yogyakarta diuraikan secara kronologis disertai contoh-contoh perilaku luhur yang pantas dijadikan kaca benggala bagi bangsa. Dalam buku ini juga disinggung pengakuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang mengatakan setiap raja di Jawa sejak berdirinya kerajaan Mataran di bawah Panembahan Senopati dianggap sebagai ‘suami’ Kanjeng Ratu Kidul, dan Sri Sultan menyebutnya dengan Eyang Roro Kidul. Diakui pula, bahwa beliau pernah mendapat kesempatan berpuasa pada waktu bulan naik. Eyang Roro Kidul akan nampak sebagai gadis yang amat cantik. Sebaliknya, apabila bulan menurun beliau tampil sebagai wanita yang amat tua. Banyak hal yang sulit dipercayai oleh masyarakat awam, tetapi menurut Sultan keberadaannya nyata. Wacana yang terdapat dalam buku ini menunjukkan bahwa keyakinan masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta dan
18 Surakarta merupakan harga mati terhadap mitos tersebut. Persoalannya, apakah keyakinan seperti itu juga berlaku bagi masyarakat di Bali, sehingga relevansi buku dengan penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman sekaligus acuan untuk mengetahui dan memahami alasan berterimanya mitos RK di Bali Selatan. K.H. Muhammad Sholikhin (2009) dalam bukunya, Kanjeng Ratu Kidul Dalam Perspektif Islam Jawa, membahas tentang Ratu Kidul sebagai sosok yang kontroversial, misterius tetapi dicari-cari orang. Kontroversi ini disebabkan karena Ratu Kidul adalah makhluk halus yang hidup di alam gaib. Namun, bagi masyarakat Jawa sosok beliau merupakan simbol yang hidup di tengah-tengah budaya. Riwayat legendanya diteruskan dari generasi ke generasi seiring dengan perkembangan sejarah dan budaya Jawa, sehingga terjadilah banyak persepsi dan nama diberikan kepada tokoh RK yang umumnya diceritakan melalui cerita lisan. Di dalam buku ini mitos RK dikatakan masih kontroversi dan misteri, tetapi masyarakat pendukung di Bali memahami wacana mitos RK dalam bentuk keyakinan dengan melaksanakan berbagai ritual sesaji dan membuatkan tempat pemujaan. Hal ini, yang ditelusuri sehingga jelas fungsi dan makna implisit di balik kontroversinya keyakinan terhadap mitos RK tersebut. Kamajaya dan Hadidjaja (1979) dalam “Serat Centini” (Ensiklopedia Kebudayaan Jawa) dituturkan dalam bahasa Indonesia yang isinya 112 tembang, dan novel yang berjudul Centini sebanyak tiga jilid. Tembang 7 pada serat Centini secara singkat menuturkan intrik cinta bawah laut dari Sultan Agung (cucu Panembahan Senopati) pendiri kerajaan Mataram yang dikatakan mempunyai dua Keraton, yaitu:
19 Keraton Mataram dan Keraton Pantai Selatan Jawa. Penguasa Keraton Pantai Selatan Jawa bukan Sultan, tetapi seorang perawan Ratu Kerajaan Maya, yaitu Ratu Kidul. Beliau pernah bersumpah bahwa selaput daranya tidak akan robek sebelum dunia masuk ke zaman Kali Yuga. Beliau akan memilih pengganti, seorang raja Islam yang Agung dan tampan sebagai kekasihnya. Apabila kekasihnya itu meninggal nanti, ia akan mengangkat dan mendampingi semua raja Kali Yuga hingga akhir zaman. Siapa saja yang dimaksud raja-raja kali yuga? Sampai sekarang belum terjawab karena itu hanya sebuah ramalan dan penafsiran dari karya sastra yang berkepanjangan. Sudah tersurat bahwa raja-raja Kali Yuga itulah yang menjadi Sultan Wangsa Mataram. Dikatakan juga bahwa di antara para Sultan, tidak ada yang lebih tergilagila kepada Ratu Kidul selain Sultan Agung (cucu Panembahan Senopati). Akan tetapi, kisah cinta mereka begitu menyilaukan dan jarang terjadi karena Ratu Kidul ‘bersifat udara’, sedangkan Sultan Agung ‘bersifat tanah’ sehingga setiap asmara muncul harus disertai dengan perang. Wacana dalam serat Centini ini merupakan salah satu bentuk pemaknaan dari karya puisi. Di dalamnya terdapat banyak kata-kata dalam baris puisi yang perlu ditafsir karena dianggap mengandung pesan khusus. Serat Centini ini
relevan digunakan sebagai acuan dan pedoman untuk
pemahaman makna kata-kata kias dalam paragraf wacana mitos RK di Bali Selatan. Di samping itu perlu dilakukan pemahaman dari sisi filosofi dan teologi Hinduisme. Tanpa penafsiran dan pemaknaan penikmat terhadap karya secara terus-menerus, dikhawatirkan karya yang adiluhung pun menjadi tidak bemanfaat di masyarakat dan lama kelamaan menjadi punah.
20 Djajeng Koesoema (1954), dalam “Serat Wedatama” yang berbentuk macapat (puisi) berbahasa Jawa Kuna, dibuat dalam bentuk yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anjar Ani (1985) dengan judul Menyingkap Serat Wedotomo terdiri atas 100 pada (bait). Namun, yang berkaitan dengan Ratu Kidul adalah pada (bait) 18/4S sampai bait 21/7S. Isinya pertemuan Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul di Kahyangan Dalepih saat melakukan tapa sebelum beliau dinobatkan menjadi raja Mataram. Berkat anugrah Tuhan, seolah-olah Panembahan Senopati dapat membaca dan memahami rahasia lautan. ‘Bahkan seluruhnya sudah diselidiki, dimasukkan kedalam sanubari’,
yang berarti
Panembahan Senopati benar-benar menguasai segalanya, pantaslah kemudian dapat berkuasa dan menjadi raja sampai ke anak cucu. Sementara itu, apa yang disebut dengan ‘Kanjeng Ratu Lautan Kidul datang menghadap’, karena ‘merasa kalah wibawa dibanding Panembahan Senopati’. Artinya, demikian hebat kekuasaan dan kekuatan Panembahan Senopati sehingga Ratu Kidul mohon untuk diangkat sebagai ‘teman’ atau pengikut di dalam dunia gaib, dan akan mengerjakan apa saja yang diperintahkan dan dibutuhkannya. Anugerah Tuhan demikian besarnya sehingga keturunan Panembahan Senopati semua menjadi pemimpin dan berwibawa, karena mengutamakan tiga syarat kehidupan, yaitu: kedudukan, harta dan kepandaian. Pernyataan di dalam serat Wedatama hampir dengan serat Centini, namun dalam serat Wedatama lebih menekankan pada aspek mental dan etika pengendalian diri, terutama sorotan terhadap prilaku kehidupan manusia pada zamannya. Relevansi
21 dengan penelitian ini bahwa, pesan dalam mitos RK bersifat implisit atau tersamar sehingga memerlukan penafsiran secara terus menerus dari zaman ke zaman untuk memahami makna yang tersirat. Semakin banyak penafsir pesan dalam mitos, semakin kaya makna mitos RK. Olthof,W.L. (2009) dalam Babad Tanah Jawa, diceritakan asal muasal tanah Jawa dengan memuat silsilah raja-raja Jawa, seperti Nabi Adam, Dewa-dewi dalam agama Hindu, tokoh-tokoh dalam Mahabharata, Cerita Panji masa Kediri, masa kerajaan Pajajaran, masa Majapahit, hingga masa Demak yang dilanjutkan dengan silsilah kerajaan Pajang, Mataram Islam, dan berakhir pada masa Kasunanan Kartasura. Naskah Babad Tanah Jawa inipun telah banyak diterbitkan dalam berbagai versi, namun peneliti merasa lebih cocok menggunakan karya Olthof yang terbaru, karena dalam editan dan bahasa yang digunakan bisa dimengerti oleh semua pembaca dari segala usia. Dalam episode yang membicarakan berdirinya kerajaan Mataram Islam, nama Rara Kidul, kadang juga disebut Nyai Kidul sebagai seseorang yang telah memberikan inspirasi dan kekuatan rokhani kepada Panembahan Senopati sebagai pendiri kerajaan Mataram Islam. Panembahan Senopati mengasingkan diri ke pantai Selatan bersemadi, untuk mengumpulkan
seluruh energinya dalam upaya
mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan Utara (Pajang). Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan beliau berjanji untuk membantunya. Selama tiga hari tiga malam beliau mempelajari rahasia perang dan pemerintahan serta intrik-intrik cinta di istana bawah laut. Akhirnya, muncul kembali dari laut
22 Parangkusumo (Yogyakarta Selatan). Sejak saat itulah, Ratu Kidul diinformasikan berhubungan erat dengan keturunan Senopati yang berkuasa dan sesajian dipersembahkan untuknya ditempat itu setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan Yogyakarta. Secara umum, buku Babad Tanah Jawa mengandung sejarah/silsilah raja-raja penguasa di tanah Jawa, diselingi oleh mitos-mitos yang mengandung nasihat tersamar. Kemudian, dikaitkan dengan ritual sesaji dan dikemas dalam bentuk cerita sehingga menarik untuk dibaca. Relevansi dengan penelitian ini, merupakan pemaknaan atas berbagai bentuk persepsi wacana RK di pesisir Bali selatan. Sesungguhnya
masyarakat diarahkan untuk selalu mengutamakan etika dalam
kehidupan, melakukan harmonisasi terhadap Tuhan sebagai pencipta, dengan alam lingkungan, dan sesama manusia agar tercapai keseimbangan rokhani dan jasmani. Untuk tujuan itulah, manusia mewujudkannya dalam berbagai bentuk ritual dan sesaji sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Peter Carey (2007), dalam bukunya The Power of Prophecy (kekuatan nujum), seorang peneliti dan dosen di Trinity College, Inggris. Buku ini memuat biografi lengkap dari Pangeran Diponegoro (1785-1855) dengan sumber naskah Babad Dipanagara (beraksara pegon) yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro di Manado. Dalam pandangan Carey, Pangeran Diponegoro adalah seorang muslim yang saleh, tetapi tetap dipengaruhi oleh kosmologi Jawa, sehingga mengobarkan “perang suci” melawan Belanda (1825-1830), yang dikenal dengan perang Jawa
23 karena melibatkan seluruh wilayah Jawa. Menurut Suryadi (Kompas, 27 Oktober 2008, dalam Carey, 2007:146) buku tersebut merupakan kajian lebih luas dari disertasi Carey, yang berjudul ”Pangeran Dipanegara and the Making of Java War, 1825-1830”, di Universitas Oxford pada November 1975, terdiri atas 12 bab. Untuk menyusun buku tersebut, Peter Carey melakukan banyak hal, termasuk napak tilas, mengikuti acara ritual mistis, bahkan melakukan meditasi, sehingga buku tersebut ditulis selama hampir 30 (tiga puluh) tahun. Isi buku itu tidak khusus menyoroti tentang kaitan Pangeran Diponegoro dengan Kanjeng Ratu Kidul. Dari 12 bab, hanya pada bab IV pembahasannya yang menarik terkait dengan Ratu Kidul. Carey, mendiskripsikan perjalanan fisik dan spiritual atau ziarah lelana Pangeran Diponegoro ke tempat tirakatnya di pantai Selatan. Dalam salah satu momen ziarah, Carey mencatat adanya “pertemuan” antara Pangeran Diponegoro dengan Kanjeng Ratu Kidul di Gua Langse. Di sanalah terdengar suara Sunan Kalijaga, konon mengingatkannya akan datang bencana yang menghancurkan Kasultanan Yogyakarta yang ditandai oleh kejatuhan tanah Jawa. Pangeran Diponegoro menerima sinyal-sinyal mistis menyangkut peran historis yang akan dilakoninya pada masa depan. Ketika melakukan perlawanan terhadap Belanda, Pangeran Diponegoro juga melakukan meditasi di Cepuri Parangkusumo. Pada kesempatan tersebut beliau memperoleh senjata berupa cundrik (keris kecil) dari Ratu Kidul, yang dikenal dengan sebutan ‘Keris Surotaman’ sebagai pelengkap senjatanya yang lain. Sebelum keris itu didapat terdengar suara tanpa wujud dari Kanjeng Ratu Kidul yang
24 mengingatkan agar Pangeran tidak menerima jabatan apapun dari Belanda. Setelah suara hilang, jatuhlah sinar putih dari langit di depan Pangeran dan sinar itulah yang membawa senjata cundrik tersebut. Pengakuan tersebut cukup mendasar karena dalam Babad Diponegoro, beliau mengakui laku mistiknya. Salah satu pertemuan spiritualnya dengan memohon restu dari Ratu Kidul dan Sultan Agung. Selanjutnya, dimungkinkan pula bahwa selama aksi melawan Belanda, Pangeran juga tetap berusaha menjalin kontak dengan Kanjeng Ratu kidul. Buku Carey ini secara terang-terangan menyatakan tentang eksistensi Kanjeng Ratu Kidul. Tetapi dalam penelitian ini lebih menekankan pada bentuk-bentuk wacana RK sebagai sebuah gagasan/ide masyarakat pesisir Bali Selatan dalam meramu antara mitos dengan fakta yang sedang terjadi. Hal ini memerlukan inspirasi agar pemaknaannya jelas dan interpretasinya mendalam sesuai situasi dan kondisi zaman. Bunga Perdana Putrianna Febrina (2012), dalam skripsinya yang berjudul, “Fungsi Tari Bedhayang Ketawang di Keraton Surakarta”, menyatakan kemunculan tari Bedhaya Ketawang yang dianggap ciptaan Kanjeng Ratu Kidul. Tarian mistis dan keramat ini sebagai suatu bentuk penghormatan terhadap Raja dengan Kanjeng Ratu Kidul Kencanasari yang mempunyai arti penting bagi Keraton Surakarta Hadiningrat, yaitu sebagai sarana legitimasi seorang raja. Tarian ini selalu dilaksanakan pada puncak acara dalam rangkaian upacara Tingalan Dalem Jumenengan (peringatan kenaikan tahta raja) sebagai tarian sakral yang merupakan pernyataan damai dan cinta kasih Panembahan Senopati dan keturunannya (Dinasti Mataram) dengan Kanjeng Ratu Kidul. Adapun fungsi tarian sakral tersebut antara lain sebagai sarana meditasi
25 Raja, lambang kebesaran Keraton Surakarta, legitimasi Raja, dan induk munculnya tari Bedhaya yang lain. Relevansi hasil penelitian Bunga, dengan penelitian ini adalah masyarakat di Jawa pada umumnya dan khususnya di Sukabumi (Pelabuhan Ratu),Yogyakarta dan Surakarta meyakini bahwa Kanjeng Ratu Kidul bukan tahayul, tetapi merupakan Ratu segala makhluk halus yang menguasai tanah Jawa sehingga dijadikan ikon karena membantu menjaga keselamatan raja, kerajaan dan keturunannya. Pemberian nama Kencanasari terhadap RK di Solo senada dengan wacana dari informan 1 (Wirya) bahwa RK sesungguhnya bernama asli Kanjeng Ratu Kidul Kencanasari Sekaring Jagat. Namun demikian, perbedaan penelitian ini, lebih memfokuskan pada aspek kesastraannya tentang struktur, fungsi dan makna serta resepsi masyarakat terhadap wacana mitos RK di Bali Selatan sudah menyatu dengan tradisi. Hal yang terpenting adalah dapat memahami makna serta implikasi dari wacana tersebut terhadap kehidupan masyarakat di Bali Selatan sebagai tempat tujuan penyebarannya.
2.2 Deskripsi Konsep 2.2.1 Folklor, Tradisi Lisan, Kearifan Lokal dan Sastra Lisan Bouman (1992:29-30) mengatakan, bahwa folklor diadopsi dari bahasa Jerman (volkskunde). Namun, secara etimologis leksikal, folklor(folklore) dianggap berasal dari bahasa Inggris, dari akar kata folk (rakyat, bangsa, kolectivitas tertentu) dan lore (adat istiadat, kebiasaan), karenanya lore adalah keseluruhan aktivitas
26 kelisanan dari folk. Jadi, folklore adalah kelisanan (orality) yang dipertentangkan dengan keberaksaraan (literacy). Folklor dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) folklor lisan (verbal folklore); (2) folklor setengah lisan (partly verbal folklore); dan (3) folklor bukan lisan (nonverbal folklore). Ketiganya dapat dikenali melalui bentuk masing-masing, yaitu: oral (mentifact), sosial (socifact), dan material (artifact). Folklor lisan terdiri atas; ungkapan tradisional, nyanyian rakyat, bahasa rakyat, dan cerita rakyat (mite/mitos, legende, sage). Folklor setengah lisan di antaranya: drama rakyat, tarian , upacara, adapt-istiadat, pesta rakyat. Folklor bukan lisan di antaranya: material dan bukan material. Folklor meliputi ketiga bentuk budaya tersebut. Folklor lisan dalam kaitannya dengan mitos sebagai objek penelitian ini disamakan dengan sastra atau cerita lisan, sedangkan folklor setengah lisan dan bukan lisan termasuk tradisi lisan. Jadi, objek penelitian kelisanan berkaitan dengan sastra lisan dan tradisi lisan, bukan folklor, kecuali memang bermaksud melakukan penelitian terhadap keseluruhan aktivitas kelisanan tersebut (Ratna, 2011:104). Kearifan lokal (local genius/local wisdom), merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya, dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
27 Jadi, kearifan lokal merupakan kumpulan pengetahuan dan cara
berpikir yang
berakar dalam kebudayaan sebuah etnis, berisi gambaran tentang anggapan masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan kualitas lingkungan manusia serta hubungan manusia dengan lingkungan alamnya (Wisnumurti, 2009:2-3). Pembicaraan selanjutnya adalah tradisi lisan dan sastra lisan. Secara definitif tradisi lisan adalah berbagai kebiasaan yang dilakukan dan hidup dalam masyarakat secara lisan, sedangkan sastra lisan (oral literature) adalah berbagai bentuk sastra yang dikemukakan secara lisan. Tradisi lisan membicarakan tradisinya, sedangkan sastra lisan membicarakan masalah sastranya. Masyarakat lama sulit membedakan ciri-ciri di antara keduanya. Oleh karena itu, UNESCO memasukkan sastra lisan sebagai bagian tradisi lisan yang meliputi, antara lain: sastra lisan, teknologi tradisional, pengetahuan masyarakat di luar istana dan kota metropolitan. Unsur religi dan kepercayaan masyarakat di luar batas formal agama-agama besar, kesenian masyarakat di luar pusat istana dan kota metropolitan, dan berbagai bentuk peraturan, norma, dan hukum yang berfungsi untuk mengikat tradisi (Ratna:2011:105). Ciri khas kelisanan adalah penyebarannya yang dilakukan dari mulut ke mulut, sedangkan ciri lain di antaranya: (a) hidup dalam masyarakat tradisional; (b) dianggap sebagai milik bersama masyarakat; (c) seolah-olah tidak ada pengarang sehingga bebas disalin dan diresepsi; dan (d) umumnya terdiri atas beberapa versi. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dengan objek folklor akan termasuk di dalamnya unsur tradisi dan mitosnya.
28 Relevansi penelitian ini terhadap mitos RK, berpengaruh terhadap wilayah kajian yakni wacana sastra yang juga merupakan elemen dari budaya. Apabila dikaitkan dengan pendekatan yang digunakan, yakni pendekatan pragmatis, maka kajian ini lebih difokuskan pada bidang sastra lisan mitos yang didukung oleh tradisi lisan, seperti adanya artifact dan ritual. Dengan menggunakan pendekatan pragmatis, maka penekanan lebih terfokus pada peranan pembaca eksplisit, yaitu masyarakat yang multikultur maupun pembaca implisit yang turut serta mendukung pelaksanaan tradisi RK. 2.2.2 Konsep Persepsi Istilah persepsi sering disebut dengan pandangan, gambaran atau tanggapan, sebab dalam persepsi terdapat tanggapan seseorang mengenai suatu hal atau objek. Kata persepsi berasal dari kata bahasa Inggris perception artinya penglihatan, tanggapan daya memahami atau menanggapi sesuatu. Sedangkan dalam (KBBI) persepsi dikatakan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu serapan atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya. Para ahli dan ilmuan yang mengemukakan pengertian persepsi diantaranya: (a) Bimo Walgito tentang pengertian persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh pengindraan yaitu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera yang disebut sensoris; (b) Slamet (2010:102) menyatakan persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia sehingga melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya yakni, penglihatan,
29 pendengaran,
peraba,
perasa,
dan
pemciuman;
(c)
Robbins
(2003:97)
mendeskripsikan bahwa persepsi merupakan kesan yang diperoleh individu melalui pancaindera kemudian di analisa (diorganisir), diinterpretasi dan dievaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna. Pengertian dan pemahaman tentang persepsi tersebut di atas sangat jelas bahwa kata persepsi memiliki sifat subjektif karena tergantung pada kemampuan dan keadaan dari masing-masing individu, sehingga akan ditafsirkan berbeda oleh individu yang satu dengan lainnya. Faktor yang mempengaruhi persepsi pada dasarnya ada 2 yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah yang terdapat dalam diri individu mencakup beberapa hal, antara lain: fisiologis, perhatian, minat, kebutuhan yang searah, suasana hati, pengalaman dan ingatan. Sedangkan faktor eksternal merupakan karakterristik dari lingkungan dan objek-objek yang terlibat di dalamnya. Elemen-elemen tersebut dapat mengubah sudut pandang seseorang terhadap dunia sekitarnya dan mempengaruhi bagaimana seseorang merasakannya
atau
menerimanya.
Beberapa
faktor
eksternal
yang
dapat
mempengaruhi, antara lain: (a) ukuran dan penempatan dari objek atau stimulus; (b) warna dari objek-objek; (c) keunikan dan kekontrasan stimulus; (d) intensitas dan kekuatan dari stimulus; (e) motivasi atau gerakan. Diakses tanggal 29 November 2015 @belajarpsikologi.com.ads by Kliksaya.com ) oleh Haryanto, S.Pd via Twitternya tanggal 8 Pebruari 2015. Dengan demikian persepsi merupakan proses perlakuan individu yaitu pemberian tanggapan, arti, gambaran, atau penginterpretasian terhadap apa yang
30 dilihat, didengar, atau dirasakan oleh inderanya dalam bentuk sikap, pendapat, dan tingkah laku yang disebut sebagai perilaku individu. Persepsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu pendapat yang dilontarkan oleh masyarakat khususnya dari ketiga kelompok masyarakat dalam menilai, memahami tentang wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan. 2.2.3 Konsep Mitos Mitos merupakan istilah yang dapat digunakan dalam berbagai bidang ilmu dan dapat dijelaskan dengan menggunakan berbagai konsep yang berbeda-beda. Istilah mitos telah digunakan oleh para filsuf sejak zaman Yunani Kuno. Untuk mempermudah dalam uraian ini, mitos dibedakan menjadi dua jenis sesuai dengan akar katanya, yaitu mite (myth) dan mitos (mythos). Secara leksikal ‘mite’ berarti cerita tentang dewa, dan makhluk adikodrati lain yang di dalamnya terkandung berbagai penafsiran, bahkan juga alam gaib. Dalam hal ini mite biasanya dibedakan dengan fabel, dan legende (Danesi, 2012:167). Menurut Noth (dalam Ratna, 2011:110) secara etimologis ‘mitos’ berarti kata, ucapan, cerita tentang dewa-dewa. Namun, dalam perkembangan berikut mitos diartikan sebagai wacana fiksional, dipertentangkan dengan logos (wacana rasional). Pada zaman Yunani Kuno mitos dianggap sebagai cerita naratif yang dinamakan plot. Mitos adalah prinsip struktur dasar dalam sastra yang memungkinkan hubungan antara cerita dengan maknanya. Pada akhirnya, baik mite maupun mitos, sebagai ilmu pengetahuan sering disebut mitologi. Menurut Shipley (dalam Ratna, 2011:110) mitos lebih banyak
31 dibicarakan dalam bidang religi tetapi dibedakan dari masalah-masalah yang bukan dalam bentuk tindakan. Eliade (1975:2-4) mengatakan, sebagai gejala dasar kebudayaan, perubahan pandangan yang cukup mendasar terjadi sejak setengah abad terakhir, para sarjana mulai melihat mitos dari sudut pandang yang berbeda. Pada zaman pencerahan, mitos dianggap memiliki nilai negatif, tetapi sekarang mitos dianggap sebagai cerita yang sesungguhnya, cerita yang memiliki nilai-nilai sakral, patut dicontoh dan mengandung makna. Pengertian mitos di abad modern seolah-olah kembali ke dalam pengertian semula pada zaman Yunani Kuno. Mitos dipelajari karena gejala tersebut benar-benar ada dalam masyarakat dan masih hidup. Mitos merupakan model untuk bertindak, dan berfungsi memberikan makna dan nilai bagi kehidupan. Penafsiran modern terhadap mitos tidak memandangnya sebagai benar atau salah, tetapi sebagai sesuatu yang memiliki insight (pemahaman) puitis tentang realitas. Mitos juga dipandang dapat menyatakan simbolisme arketipe yang terus menerus berulang disebabkan ketidaksadaran kolektif umat manusia. Dengan kalimat lain, secara kosmogoni mitos selalu ingin membuktikan hubungannya
dengan realitas. Memahami mitos bukan semata-mata untuk
memahami sejarah masa lalu tetapi jauh lebih penting justru untuk memahami kategori kehidupan masa kini (Ratna, 2011:111). Mitos itu mulia, karena dapat membantu menentukan sikap, dihadapan semesta yang tidak berhingga. Mitos menjelaskan dari mana, hendak menuju ke mana eksistensi sebagai manusia, dan mitos juga dapat menjelaskan asal muasal peristiwa,
32 fenomena dunia serta dapat memandu kehidupan. Namun demikian, lahirnya modernitas ternyata menyudutkan pola berpikir mitologis dan menggantikannya dengan pola berpikir saintifik yang rindu akan penjelasan sebab akibat materialistik dan mekanistik (Beerling, 1994:18). Sesungguhnya modernitas itu kering, karena dapat mencabut manusia dari keberagamannya dengan mengganti cerita yang indah menjadi penjelasan yang menjemukan. Di dalam kekeringannya, modernitas kembali membutuhkan mitos, bahkan modernitas perlu menjadi mitos baru sehingga terus bisa ditanggapi secara kritis, karena mitos dapat memberikan sentuhan personal dan estetik pada sains dan modernitas (Herusatoto, 2011:3-4). Oleh karena itu, alangkah baiknya modernitas dengan sains dan rasionalitasnya perlu merangkul mitos secara sungguh-sungguh karena dapat membuat eksistensi manusia menjadi layak untuk dijalani (Susanto, 1987:19). Memahami mitos bukan semata-mata untuk memahami sejarah masa lalu, tetapi yang lebih penting justru untuk memahami kategori kehidupan masa kini yang dikaitkan dengan makna, teladan dan nilai-nilai secara keseluruhan yang dihasilkan. Pada dasarnya pengertian mite dan mitos hampir sama, karena masyarakat sehariharipun percaya bahwa berbagai bentuk dongeng dan kepercayaan dapat memberikan nilai-nilai pendidikan. Perbedaannya, fungsi mite terbatas pada bentuk pemahaman dalam kaitannya dengan cerita khayal sebagai akibat tidak langsung. Mitos memiliki akibat langsung terhadap keseluruhan tingkah laku individu dan masyarakat pendukungnya. Keragaman mitos, yakni mitos yang sifatnya positif
33 merupakan energi kehidupan. Alam semesta menurut Barthes (1985:109) dipenuhi oleh dugaan, saran, interpretasi, dalam pengertian yang lebih luas. Setiap objek, dalam posisi yang tertutup, dengan sengaja dirahasiakan dapat berubah ke dalam bentuk oral, kelisanan yang secara bebas dapat ditafsirkan sebab tidak ada hukum yang melarangnya. Pada dasarnya manusia hidup atas dasar mitos-mitos yang ada di sekelilingnya. Artinya, segala sesuatu adalah mitos, manusia hidup dalam alam mitos, bahkan dikendalikan oleh berbagai macam mitos. Dalam analisis Levi-Strauss (2007:276-277), cenderung memanfaatkan model bahasa seperti dikembangkan oleh Saussure, mitos sebagai langue (bahasa umum) dan parole (ucapan individual), termasuk model diakronis dan sinkronis, sintagmatis, dan paradigmatis. Mitos di abad ke-19 terbatas sebagai khayalan, sebagai langue dalam kerangka sejarah masa lampau (diakronis), dalam konteks horizontal (sintagmatis). Sebaliknya, dalam visi kontemporer mitos adalah langue sekaligus parole, bahwa mitos yang dikondisikan melalui institusi social, tetapi dipahami dalam kehidupan sekarang ini, bebas dari ikatan-ikatan masa lampau, lebih banyak bersifat sinkronis, dengan pemahaman dilakukan secara horizontal sekaligus vertikal (sintagmatis dan paradigmatis). Menurut Barthes (1985:109-115), mitos adalah bahasa yang tercuri (stolen language), teori dusta (lie theory), mitos adalah wacana bahasa yang digunakan. Mitos tidak didefinisikan oleh objek, atau pesan, tetapi dengan cara bagaimana pesan itu disampaikan atau diwacanakan. Oleh karena itu, mitos dianggap sebagai sistem
34 semiotik tingkat kedua sesudah bahasa, bahkan sebagai metabahasa. Akhirnya, Barthes mengakui bahwa mitos tidak perlu disembunyikan, mitos harus diungkapkan, sebagai demitologisasi sekaligus demitifikasi. Walaupun mitos RK disakralkan dengan berbagai ritual, namun masih perlu diungkap maknanya sehingga diketahui pesan apa yang ada di balik keyakinan dan pelaksanaan ritual serta pendirian tempat-tempat pemujaannya di pesisir Bali selatan. Tidak ada gejala alam yang tidak memerlukan interpretasi mitis, demikian juga mitos dapat memperkuat tradisi, bahkan merupakan motor dalam proses berpikir. Junus (1981:73-77), sesuai dengan kompleksitas kehidupan manusia, bentuk mitos bermacam-macam. Mitos menimbulkan kecurigaan, benci, irihati, dendam, juga sebaliknya cinta, percaya diri, bertanggung jawab, mempertebal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Mitos akan melahirkan mitos-mitos baru, petanda bahwa mitos tetap hidup dan dihidupkan oleh masyarakat pendukungnya. Banyaknya deskripsi tentang konsep mitos, dalam penelitian ini berpedoman kepada pengertian mitos Roland Barthes. Dengan demikian mitos RK di pesisir Bali Selatan, dapat dipahami sebagai model untuk bertindak, atau sistem semiotik tingkat kedua sesudah bahasa, sebab dalam implementasinya berfungsi menciptakan nilainilai kehidupan bagi masyarakat. Kaitannya dengan kompleksitas kehidupan masyarakat, diperlukan interpretasi terhadap wacana mitos RK di Bali Selatan. Artinya, dengan memahami makna mitos RK, timbul rasa percaya atau sebaliknya terhadap fenomena yang sedang dan akan terjadi.
35 2.2.4 Konsep Ratu Kidul Secara umum kata Ratu Kidul dipahami merupakan istilah yang diberikan kepada penguasa samudra Indonesia bagian Selatan. Namun, secara etimologis terdiri atas kata ‘Ratu dan Kidul’. Kata Ratu terbentuk dari ungkapan ‘tu’ yang bermakna zat kesaktian, memiliki awalan yang menunjukkan kemuliaan ‘ra’ di depannya. Dari perkataan tersebut muncul perkataan keratuan maksudnya keraton setelah mengalami hukum sandisuara. Berdasarkan mekanisme ke luarnya ejaan dalam lisan Jawa kata ratu memiliki asal yang sama dengan istilah datu, seperti ditunjukkan oleh kata kedaton untuk menunjuk salah satu lokasi dalam istana utama dari sebuah keraton (KBBI). Kata ratu-datu, kemudian disalin ke dalam huruf Pallawa dengan bahasa Sanskerta sebagaimana diaplikasikan dalam berbagai prasasti Jawa.
Kemudian,
didepan istilah ratu sering dilekatkan kata untuk memuliakan zat kesaktian yaitu Sang, atau Sang Sri
sehingga
memunculkan istilah Sang Ratu/sang sri ratu
(Sholikhin, 2009:77-78). Konsep ‘ratu’ dalam hal ini adalah sebuah jabatan semacam Presiden sehingga sang ratu tidak harus perempuan, terkadang laki-laki, hanya secara kebetulan kebanyakan perempuan. Selanjutnya, ‘Ratu’ berasal dari kata rat yang berarti bumi. Tempat tinggalnya disebut ke-rat-on atau keraton (Soerjadiningrat, 1997:37-40). Kata ‘ratu’juga diartikan sebagai raja yang berjenis kelamin perempuan (queen), sedangkan raja laki-laki disebut lord. Dalam bahasa Jawa Kuna ‘ratu’ berasal dari kata ra, artinya terhormat dan tu artinya seseorang atau orang. Jadi ratu artinya orang yang terhormat. Namun, dalam
36 falsafah Jawa pengertian ratu adalah orang yang memiliki kuasa mutlak, yang dalam dirinya terpusat bhuwana alit (mikrokosmos) dan bhuwana agung (makrokosmos). Ratu adalah sosok yang memusatkan kekuatan kosmis dalam dirinya. Kesakten sang ratu diukur dari besar kecilnya monopoli kekuasaan dan kekuatan gaib yang dimilikinya Mukhlisin dan Damarhuda (dalam Duija, 2004:53). Kata kidul menunjukkan sebuah arah mata angin yang berasal dari lisan Jawa artinya selatan. Istilah Ratu Kidul dalam khazanah tentang kekuasaan raja Jawa lebih mungkin mengambil bentuk kepatronan (pendamping spiritual, atau pendamping yang membantu secara sukarela dari alam halus). Seorang penguasa akan dapat menjalankan tugas dan amanatnya jika mendapatkan pendampingan dari RK. Dalam konsepsi spiritual Islam-Jawa termasuk dalam kelompok para malaikat dan roh penjaga, yang mendapat tugas dari Tuhan ditujukan kepada manusia terpilih yakni manusia yang dikehendaki Tuhan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab di bumi. Deskripsi tersebut merupakan pesan spiritual kepada para penguasa di tanah Jawa untuk senantiasa ngelmu (melaksanakan laku spiritual). Dalam mitos Jawa, RK misalnya dinarasikan sebagai istri/ratu dari dunia maya yang memberi kekuatan bagi raja-raja Mataram Islam mulai dari Panembahan Senapati sampai Sultan Hamengku Buwono X yang berkedudukan di laut khususnya bagian Selatan. Berbeda dengan di Bali, bahwa RK secara etimologi juga terdiri atas dua kata ‘ratu’ dan ‘kidul’. Oleh masyarakat di Bali, kata ratu dipahami sebagai sebutan untuk menghormati seseorang baik karena posisi, jabatan, maupun fungsi dan tugasnya.
37 Sebutan ‘ratu’ berkembang sesuai gender, maka muncul kata ‘raja’ sebagai pasangannya, sehingga ‘ratu’ diidentikkan dengan perempuan dan setiap perempuan akan dipanggil ibu. Bahwa kodrat seorang ibu mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk memelihara anak dan keluarganya bahkan efeknya menyejahterakan masyarakat. Dalam konsep Hindu dipahami sebagai Pradhana, maka munculah konsep Purusa-Pradhana dan dewa-dewi. Konsep purusa-pradhana dalam tradisi ber-yadnya diimplementasikan dengan ritual nyegara-gunung. Tradisi ritual Nyegara-Gunung, merupakan prosesi terakhir dari upacara ngaben. Gunung sebagai lambang purusa (laki-laki), sedangkan segara (laut) sebagai lambang pradhana (perempuan) sehingga perpaduan atau penyatuan keduanya menimbulkan
kehidupan
di
darat.
Oleh karena itulah,
konsep
‘ratu’dipahami sebagai perempuan. Sedangkan kata ‘kidul’ yang berasal dari lisan Jawa kuna, telah diadopsi menjadi kosa kata Bali yang juga berarti Selatan. Hasil rekonstruksi beberapa bentuk persepsi masyarakat terhadap wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan dapat dipahami sebagai ‘roh’ seseorang yang dihormati karena jasa, pengabdian, kekuasaan, pengetahuan dan kekuatan gaib yang dimilikinya. Roh-roh dimaksud telah mencapai alam sorga sehingga disebut sebagai ‘leluhur’. Kepada para leluhur itulah masyarakat mempercayakan diri, memohon keselamatan, berkah, dan solusi atas segala permasalahan hidup di dunia. Untuk memberikan penghormatan, roh-roh tersebut dibuatkan tempat pemujaan di Selatan dekat sumber-sumber mata air atau dekat dengan laut. Dengan demikian, konsep Ratu Kidul yang menjadi topik bahasan dalam penelitian ini adalah konsep kearifan lokal
38 masyarakat di Bali tentang kepercayaan terhadap adanya ‘roh’ penjaga dan penguasa lautan yang diyakini dapat membantu manusia dalam mengatasi serta mencarikan solusi atas segala permasalahan hidup yang dimuliakan dan dipuja di Selatan. Dari semua persepsi para informan ada perkecualian yakni informasi di hutan Pura Segara Rupek dalam bentuk ‘lingga’ juga diyakini sebagai wujud sakthi Dewa Siwa yaitu Dewi Parwati yang bereinkarnasi menjadi RK. 2.2.5 Konsep Wacana Naratif Secara etimologis wacana berasal dari vacana (Sanskerta), berarti kata-kata, cara berkata, ucapan, pembicaraan, perintah, dan nasihat. Secara kasar wacana disejajarkan dengan utterance dan speech, ujaran atau ucapan, sebagai bahasa yang sedang digunakan atau parole menurut pemahaman Saussure. Wacana selalu bersifat orisinalitas, tidak ada tata bahasa wacana. Definisi wacana hampir sama dengan teks, keduanya mempunyai ciri sebagai satuan bahasa terlengkap, satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Realisasinya berbentuk karangan yang utuh, seperti: paragraf, kalimat yang membawa makna lengkap, buku, artikel, dan genre sastra yang lain (Ratna, 2010:243). Dalam kehidupan praktis sehari-hari dan dalam ilmu sosial yang lebih dikenal adalah istilah wacana atau diskursus, demikian juga dalam ilmu bahasa, tetapi dalam ilmu sastra digunakan istilah teks. Dalam perkembangan teori sastra kontemporer, kedua istilah tersebut bersaing, namun yang lebih populer adalah wacana, karena dapat dimanifestasikan dalam keberagaman aktivitas sosial, baik dalam keadaan sehari-hari maupun dalam
39 kehidupan formal. Wacana berfungsi untuk menyampaikan berbagai bentuk informasi, membangun ilmu pengetahuan , meraih kekuasaan, alih teknologi, dan sebagainya. Wacana lahir dan dapat dimanfaatkan dalam masyarakat, ruang dan waktu yang berbeda. Oleh karena itu, sebagaimana sejarah, wacana tidak bersifat universal, doktrin yang dimanfaatkan oleh kelompok postrukturalisme untuk menolak narasi besar. Wacana sekaligus berfungsi untuk membentuk objek dan subjek sehingga diduga dalam perkembangan berikut istilah wacana akan mendominasi bukan saja dalam pengertian umum tetapi juga sastra. Sebagai satuan gramatikal tertinggi, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan syarat kewacaaan lainnya (Ratna, 2010:245). Wacana menurut tujuannya dibedakan atas wacana lisan dan wacana tulis. Di lihat dari penggunaan bahasanya, wacana dibedakan atas wacana prosa dan wacana puisi. Di lihat dari penyampaian isinya wacana dibedakan menjadi: wacana naratif, wacana eksposisi, wacana persuasif, dan wacana argumentasi. Di dalam penelitian ini, digunakan wacana naratif yang sifatnya menguraikan suatu rangkaian kejadian atau dengan cara menggambarkan peristiwa sehingga dapat mencerminkan topik yang dibahas. Naratif atau narasi merupakan rangkaian peristiwa, secara definitif dalam sebuah karya terkandung lebih dari satu peristiwa. Naratif memiliki dua ciri, yaitu: kehadiran cerita dan penceritaan. Dalam sastra oral, plot justru lahir pada saat diceritakan. Makna karya sastra dapat diungkapkan secara maksimal dengan cara menganalisis wacana atau teks sebagai reproduksi pementasan.
40 Dalam sastra oral karya sastra tidak bisa dipahami semata-mata melalui teks, atau melalui struktur naratif, sebab karya sastra selalu berubah setiap kali dipentaskan atau ditampilkan (Ruth Finnegan,1977:28). Sudaryat (2011:169) menyebutkan bahwa wacana naratif atau kisahan adalah wacana yang isinya memaparkan terjadinya suatu peristiwa, baik rekaan maupun kenyataan. Wacana narasi dapat bersifat faktual juga imajinatif. Dengan mempertimbangkan hakikat wacana yaitu bentuk bahasa yang sedang digunakan, maka penelitian pun dapat diperluas ke metode penelitian lapangan, seperti pada objek penelitian yang dilakukan tentang wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan. Mitos RK dapat dianalisis melalui kajian wacana naratif dari aspek struktur, fungsi, dan makna.
Hal ini dilakukan dengan pertimbangan
bahwa setiap unit
wacana, baik besar maupun kecil memiliki bentuk, sebagai struktur tertentu. Wacana diciptakan dengan tujuan tertentu, positif atau negatif sebagai fungsi. Akhirnya, wacana menampilkan makna sebagai hasil yang telah dicapai oleh bentuk dan fungsi. Apabila dikaitkan dengan sistem dasar komunikasi sastra, yaitu antara pengarang, karya sastra dan pembaca, maka bentuk digali melalui kompetensi pengarang, fungsi melalui karya, sedangkan makna melalui pembaca. Bentuk sebagai artifact adalah hak pengarang, wakil pengarang untuk menyampaikan pesanpesannya, yang secara keseluruhan berupa aspek-aspek kebudayaan. Pertemuan antara karya sastra dengan pembaca hingga pembaca dapat menghasilkan sesuatu yang baru disebut makna (Ratna, 2010:247).
41 Bagi Barthes, makna adalah writerly, wacana adalah untuk ditulis, bukan dibaca. Kaitannya dengan penelitian RK ini, maka konsep wacana naratif dimaksudkan sebagai satuan gramatikal terlengkap dan tertinggi dari persepsi masyarakat yang bersifat orisinil, dituliskan dan dinarasikan, sebab mempunyai bentuk, fungsi, dan makna sehingga dapat disejajarkan dengan teks dalam ilmu sastra. 2.2.6 Konsep Spiritualitas Pada dasarnya, spiritual mempunyai beberapa arti di luar dari konsep agama, tetapi lebih menunjukkan tingkah laku, bahkan sering dihubungkan dengan faktor kepribadian. Menurut kamus Webster (1963) kata ‘spirit’ berasal dari kata benda ‘spiritus’ (Latin) yang berarti nafas (breath) dan kata kerja ‘spirare’ yang berarti bernafas. Sesuatu yang hidup sudah pasti memiliki nafas, yang artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiawaan dibandingkan dengan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup, sehingga merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Dalam pengertian yang lebih luas, spiritual merupakan hal yang berhubungan dengan spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia dan bersifat duniawi atau sementara (KBBI). Di dalam spiritual terdapat kepercayaan terhadap kekuatan supernatural seperti halnya dalam agama, tetapi memiliki penekanan pada pengalaman pribadi.
42 Spiritual dapat merupakan ekspresi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup seseorang yang bersifat indrawi. Seseorang dapat diketahui menjadi spiritual karena memiliki arah tujuan dengan terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak. Tujuannya untuk mencapai hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam semesta serta menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang berasal dari alat indra yakni perasaan dan pikiran. Disebutkan pula bahwa aspek spiritual memiliki dua proses. Pertama, proses ke atas merupakan tumbuhnya kekuatan internal yang mengubah hubungan seseorang dengan Tuhan. Kedua, proses ke bawah yang ditandai dengan peningkatan realitas fisik seseorang akibat perubahan internal. Dalam konotasi lain, perubahan akan timbul pada diri seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri dan nilai-nilai ketuhanan akan termanifestasi ke luar melalui pengalaman dan kemajuan diri. Konsep spiritualitas dalam penelitian RK ini dipahami sebagai kesadaran diri dan kesadaran individu tentang asal, tujuan, dan nasib. Spiritual dapat memberikan jawaban siapa dan untuk apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran). Berbeda halnya dengan religiusitas (agama) memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (perilaku dan tindakan). Oleh karena itu, seseorang bisa saja mengikuti agama tertentu, namun harus tetap memiliki spiritualitas. Artinya, seseorang yang agamanya sama, namun belum tentu memiliki jalan atau tingkat spiritualitas yang sama. Demikian juga dengan keyakinan terhadap RK, khususnya bagi kelompok
43 paranormal dan penekun spiritual akan terjadi perbedaan pemahaman antara yang spiritualis dan yang religius.
2.3 Landasan Teori 2.3.1 Teori Wacana Naratologi Wacana merupakan konsep kunci dalam teori postmodernisme dan postrukturalisme. Wacana dimanifestasikan dalam keberagaman aktivitas sosial, baik dalam kehidupan praktis sehari-hari maupun kehidupan formal. Wacana adalah kumunikasi verbal, percakapan, satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan yang utuh, kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis, kemampuan atau proses memeberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat, pertukaran ide secara verbal (KBBI). Wacana juga diartikan sebagai cara tertentu untuk membicarakan dan memahami dunia (aspek dunia) ini (M.Jorgensen dan L.J Phillips).
Pengertian
wacana yang disampaikan M.Jorgensen, dapat digunakan sebagai pedoman untuk menganalisis berbagai fenomena tentang wacana mitos RK yang terjadi di Bali Selatan, seperti: adanya lukisan, patung, ‘palinggih’, artifact, doa/mantra dan dipuja sebagai sasuhunan. Wacana berfungsi untuk menyampaikan berbagai bentuk informasi, membangun ilmu pengetahuan, meraih kekuasaan, alih teknologi dan sebagainya. Wacana sekaligus berfungsi untuk membentuk objek dan subjek. Wacana lahir dan dimanfaatkan dalam masyarakat, ruang dan waktu yang berbeda. Sejajar dengan
44 pendapat tersebut, Genett (1972:26-27) menjelaskan perbedaan antara wacana dengan teks semata-mata sebagai perbedaan pragmatis, penggunaan secara luas disebut wacana, sedangkan penggunaan secara sempit, dalam sastra disebut teks. Istilah wacana naratif dengan pemahaman bahwa di dalamnya sudah termasuk teks naratif. Shlomith Rimmon-Kenan (1983:1-5) menjelaskan bahwa wacana naratif meliputi keseluruhan kehidupan manusia. Dalam hal ini akan lebih difokuskan pada wacana naratif fiksi. Narasi fiksi mensyaratkan: (a) proses komunikasi, proses naratif sebagai pesan yang ditransmisikan oleh pengirim kepada penerima; (b) struktur verbal medium yang digunakan untuk mentransmisikan pesan. Bertolak dari pemahaman Genette tentang perbedaan wacana dan teks, maka R. Kenan, membedakan antara story, text dan narration. Story menunjuk pada peristiwa-peristiwa
yang
diabstraksikan
dari
disposisinya
dalam
teks
dan
direkonstruksikan dalam orde kronologisnya bersama-sama dengan partisipan dalam peristiwa tersebut (urutan kejadian). Untuk merekonstruksi wacana mitos RK diurut berdasarkan ketuaan teks. Text, adalah wacana yang diucapkan atau ditulis. Oleh karena itu, peristiwanya tidak kronologis atau seluruh narasi berada dalam perspektif fokalisasi yang terlihat dari wacana masing-masing informan. Narration, adalah tindak atau proses produksi yang mengimplikasikan seseorang baik dengan fakta maupun fiksi yang mengucapkan atau menulis wacana (narrator). Tergantung sudut pandang para informan dalam mengalurkan wacana RK. Setiap unit wacana, baik besar maupun kecil memiliki bentuk sebagai struktur tertentu. Wacana diciptakan dengan tujuan tertentu, positif atau negatif sebagai
45 fungsi. Wacana menampilkan makna sebagai hasil yang telah dicapai oleh bentuk dan fungsi. Oleh karena itu, struktur naratif meliputi lisan dan tulisan, sastra dan non sastra (Ratna, 2010:244). Wacana dibicarakan dalam struktur naratif secara keseluruhan melalui analisis dari keempat permasalahan wacana mitos RK, sedang teks dibicarakan dalam struktur naratif teks meliputi; unsur instrinsik dan ekstrinsik. Oleh sebab itu, teori wacana naratologi menjadi payung dan pedoman dalam menganalisis keempat rumusan masalah penelitian ini. 2.3.2 Teori Semiotika. Kelahiran strukturalisme yang kemudian disusul oleh semiotika sebagai akibat stagnasi strukturalisme. Semiotika merupakan akibat langsung formalisme dan strukturalisme. Hubungan keduanya bersifat kompleks sekaligus ambigu (Ratna, 2010:96). Strukturalisme dan semiotika sesungguhnya merupakan dua teori yang identik. Strukturalisme memusatkan perhatian pada karya, sedang semiotika pada tanda, namun dapat dioperasikan secara bersama-sama. Semiotika melalui intensitas sistem tanda memberikan keseimbangan antara struktur instrinsik dan ekstrinsik. Semiotika berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda, proses kehidupan menjadi lebih efisien. Manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Manusia adalah homo semioticus.
46 Semiotika sebagai ilmu berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia baik tanda verbal maupun non verbal. Meskipun demikian, untuk kepentingan praktis di satu pihak, dan hubungan yang erat antara strukturalisme dan semiotika di pihak lain (Ratna, 2010:163). Dua ahli yang hidup pada zaman yang sama, dengan konsep dan paradigma yang hampir sama, tetapi tidak saling mengenal, adalah Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Sassure ahli bahasa, sedangkan Peirce ahli filsafat dan logika yang juga menekuni bidang kealaman dan agama. Saussure menggunakan istilah semiologi, Peirce menggunakan istilah semiotika, dan dalam perkembangan selanjutnya istilah semiotika yang lebih populer (Ratna, 2010:98). Konsep-konsep Saussure terdiri atas pasangan beroposisi, tanda yang memiliki dua sisi sebagai dikotomi, seperti: penanda dan petanda, parole dan langue, sintagmatis dan paradigmatis, diakronik dan sinkronik. Konsep Saussure, bersisi ganda yang ditandai oleh ciri-ciri kesatuan internal, sedangkan konsep Peirce, bersisi tiga sebagai triadik, ditandai oleh dinamisme internal. Dari segi cara kerjanya terdapat: (a) sintaksis semiotika; (b) semantik semiotika; (c) pragmatik semiotika. Apabila dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda dibedakan sebagai berikut: 1) Representamen, ground, tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum, terdiri atas: (a) qualisigns, (b) sinsigns, tokens, (c) legisigns, types. 2) Object, yaitu apa yang diacu, terdiri atas : (a) ikon, (b) indeks, (c) simbol. 3) Interpretant, yaitu tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima terdiri atas: (a) rheme, (b) dicisigns, dicent signs, (c) argument.
47 Dari ketiga faktor di atas yang paling menonjol dalam ulasan disertasi ini adalah object, dan di antara elemen object yang terpenting ikon, sebab segala sesuatu merupakan ikon dan segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Artinya, ikonisitas selalu melibatkan indesikalitas dan simbolisasi dengan mengutamakan dominasinya dalam sebuah teks sastra. Ciri-ciri ikonisitas, yaitu persamaan dan kemiripan ternyata memberikan rasa aman dan dengan sendirinya menimbulkan daya tarik (Ratna, 2010:101). Menurut Aart van Zoest (1993:5-7) dikaitkan dengan bidang yang dikaji, semiotika dibedakan menjadi tiga aliran, yaitu: aliran semiotika komunikasi (Umberto Eco), aliran semiotika konotatif (Roland Barthes), aliran semiotika ekspansif (Julia Kristeva). Penggunaan teori semiotika dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah semiotika konotatif yang dipelopori oleh Roland Barthes, atas dasar ciri-ciri denotasi dari mitos RK. Kemudian, diperoleh makna konotasinya, yaitu arti pada bahasa sebagai model kedua. Tanda-tanda tanpa maksud langsung, tetapi dikomunikasikan dan dimaknai, seperti contoh: terjadi tsunami, kerauhan, orang hilang atau tenggelam terseret ombak, dinyatakan sebagai pertanda bahwa RK rawuh (datang) merupakan salah satu bentuk indeks (hubungan tanda dan objek karena sebab akibat) pada wacana mitos RK di pesisir Bali selatan. Tanda dalam pengertian ini, yaitu object tentang apa yang diacu utamanya menggunakan tanda yang berupa ikon (hubungan tanda dan objek karena serupa). Misalnya, beredarnya foto atau lukisan RK ke luar dari ombak yang menggulung. sedangkan berupa simbol (hubungan tanda dan objek karena kesepakatan), adanya
48 simbol negara melalui pemasangan bendera merah putih pada cotages 2401 Inna Grand Bali Beach Sanur, tentu atas dasar kesepakatan manajemen hotel. Teori semiotika dapat digunakan untuk menginterpretasi tanda, melalui pemaknaan simbol-simbol, indeks dan ikon yang terdapat dalam wacana mitos RK. Semiotika memberikan jalan ke luar dengan cara mengembalikan objek sekaligus pada pengarang dan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Argumentasi yang dikemukakan dalam teori semiotika adalah asumsi bahwa karya seni merupakan proses komunikasi, karya seni dapat dipahami semata-mata dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima. Makna tanda-tanda bukanlah milik dirinya sendiri, tetapi berasal dari konteks di mana tanda diciptakan dan tertanam. Sebuah tanda bisa memiliki arti sangat banyak, atau sama sekali tidak berarti. Inilah kemudian disebut semiotika sosial. Menurut salah seorang pelopor semiotika sosial Halliday (dalam Ratna, 2010:118119) semiotika diberikan penjelasan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai makrostruktur. Semiotika sosial mencoba memberikan penilaian pada gejala di balik objek. Dalam hubungan ini istilah sosial disejajarkan dengan kebudayaan. Implikasi pada hakikat teks sebagai gejala yang dinamis, dan ilmu tanda dalam kaitannya dengan konteks, tanda tersebut difungsikan. Implikasi lebih jauh, semiotika sosial sebagai ilmu, sedangkan teks dan konteks sebagai metode yang harus dilakukan dalam proses analisis dan pemahaman. Halliday, juga mendeskripsikan tiga model hubungan teks, yaitu: (a) medan, sebagai ciri-ciri semantik teks; (b) pelaku, yaitu orang-orang yang terlibat; (c) sarana, yaitu ciri-ciri yang diperankan oleh
49 bahasa. Pendapat Halliday, inilah kemudian disejajarkan dengan model lain, yaitu: bentuk, fungsi, dan makna, dengan catatan bahwa, bentuk sejajar dengan sarana, fungsi sejajar dengan pelaku, dan makna sejajar dengan medan teks. Secara analogi teks bermakna dalam konteks sosial tertentu, konteks mendahului teks, reproduksi makna bersifat sosial. Dalam interaksi sosial pertukaran makna terlihat jelas, sebab dilakukan sekaligus melalui tanda-tanda verbal dan nonverbal. Oleh karena itu, sesuai rumusan masalah yang dikaji mengenai struktur dan fungsi wacana mitos RK di Bali Selatan lebih tepat menggunakan teori semiotika sosial yang didukung oleh semiotika konotatif. Sehingga pemahaman ikon, indeks, dan simbol yang muncul dari wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan dapat berimplikasi terhadap masyarakat pendukung. 2.3.3 Teori Mitos/Mitologi. Roland Barthes, adalah penganut strukturalis dan pasca strukturalisme. Salah satu bukunya Mythologies (1985) menguraikan model pemikiran Barthes. Teori mitos yang dikembangkan oleh Roland Barthes untuk melakukan kritik atas ideologi budaya massa. Dalam buku tersebut Barthes membuat satu analisis dari fenomenafenomena budaya umum pada masyarakat. Mitos pada dasarnya ‘mendistorsi ‘ makna dari sistem semiotik pertama sehingga makna itu tidak lagi menunjuk pada realita sebenarnya. Menurut Barthes, mitos bersamaan dengan ideologi karena bekerja dengan menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara ideologis. Mitos menjadikan yang historis menjadi natural, sesuatu yang alamiah. Buku tersebut
50 merupakan satu bentuk praktek dalam bidang budaya dan kesusastraan dengan menggunakan konsep semiotik konotatif untuk mencari makna teks yang tersembunyi, dimana lingkungan dari konotasi itu adalah ideologi (Susanto, 2011:103). Pengertian mitos tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari seperti cerita tradisional, melainkan sebuah cara pemaknaan yang dalam bahasa Barthes, disebut ‘ tipe wicara’. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos. Satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain, digantikan oleh berbagai mitos yang lain pula. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain. Kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (mitos diperlawankan dengan kebenaran). Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada di sekelilingnya. Melalui mitos sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa tetapi mungkin tidak untuk masa yang lain (Sobur, 2006:109). Menurut Barthes, ada empat ciri mitos, antara lain: (1) distorsif, dimana hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan deformatif. Concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya (laut disimbolkan sebagai ibu); (2) intensional, artinya mitos tidak ada begitu saja, tetapi sengaja diciptakan, dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu (wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan); (3) statement of fact, artinya mitos menaturalisasikan
51 pesan sehingga diterima sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi, sebagai sesuatu yang ada secara alami dalam nalar awam (RK adalah penguasa lautan); (4) motivasional, artinya bahwa bentuk mitos mengandung motivasi, misalnya mengaitkan RK dengan tsunami dapat memotivasi masyarakat yang berada di pesisir selalu waspada. Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai kemungkinan konsep yang akan digunakan berdasarkan sistem semiotik tingkat pertamanya (Barthes,1985: 99). Tanda-tanda tidak dipandang sebagai sesuatu yang polos dan murni tetapi merupakan sesuatu yang rumit dalam satu usaha memeroses atau mereproduksi ideologi. Dengan demikian, Barthes dapat dipandang sebagai seorang strukturalis dengan menerapkan dan mengadopsi pemikiran dari Ferdinand de Saussure yang ditarik ke persoalan semiologi, atau dipandang sebagai semiotik (Barthes,1985:109115). Pemikiran Barthes tentang mitos tampaknya masih melanjutkan sesuatu yang diandaikan oleh Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dengan petanda. Akan tetapi, yang dilakukan Barthes oleh sesungguhnya melampaui apa yang dilakukan oleh Saussure. Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Saussure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, maka Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu yang dinyatakan sebagai mitos dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Tanda konotatif
52 tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan konsep ini merupakan sumbangan Barthes yang berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Saussure yang hanya berhenti pada penandaan lapis pertama atau pada tataran denotatif semata (Ratna, 2011:112). Untuk menginterpretasi makna wacana mitos RK di Bali Selatan digunakan teori mitologi Roland Barthes sebagai pendukung teori semiotika dengan pemahaman, untuk mencari makna teks harus melalui identifikasi, dan interpretasi bentuk wacana mitos RK dari masing-masing informan. Berbagai persepsi wacana para informan itu direkonstruksi, kemudian dilakukan interpretasi dan pemahaman untuk mengetahui makna wacana RK di pesisir Bali Selatan. 2.3.4 Teori Resepsi Teori semiotika dan resepsi berkembang pesat sesudah strukturalisme mencapai klimaks sekaligus stagnasi, bahkan sebagai involusi. Perbedaannya, teori semiotika melalui intensitas sistem tanda memeberikan keseimbangan antara struktur instrinsik dan ekstrinsik, sedang teori resepsi memberikan perhatian kepada pembaca. Secara definitif resepsi berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris) diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan. Dalam arti luas didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga terjadi respons dari pembaca (Ratna, 2010:165-167). Pengertian resepsi sangat dekat dengan konsep persepsi. Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian sastra naratif maka teori
53 resepsi lebih tepat digunakan. Pemahaman individu terhadap sesuatu hal melalui persepsi terlebih dahulu kemudian diinterpretasi agar dapat diresepsi. Teori resepsi relevan dengan paradigma pascastrukturalis. Adanya keterlibatan pembaca, hakikat multikultural dapat digali secara maksimal. Salah seorang tokoh teori resepsi adalah Jausz. Ia murid dari Mukarovsky dan Felix Vodicka memberikan argumentasi secara lebih mendalam dengan cara mengaitkannya pada unsur sejarah. Menurut Jausz, nilai karya sastra terkandung dalam pertemuan antara masa lampau karya sastra dengan kekinian masing-masing peneliti. Perhatian ditujukan pada
penerimaan
pembaca
sekaligus
dengan
aspek
estetika
dan
proses
kesejarahannya. Istilah yang populer menurut Jausz sehubungan dengan resepsi sastra adalah “horison harapan”. Jausz juga mempopulerkan ke dalam pemahaman pembaca, pemahaman baru yang berbeda atas dasar pemahaman sebelumnya. Jausz mencoba menghapus kelemahan formalisme yang mengabaikan sejarah, kelemahan teori-teori berorientasi masyarakat yang mengabaikan peranan teks. Oleh karena itu sejarah sastra bukanlah akumulasi periode, aliran, karya sastra, dan pengarang, tetapi merupakan rangkaian tanggapan pembaca. Nilai karya sastra tidak tetap, tidak universal, melainkan selalu berubah. Berbeda dengan Jausz, pembaca yang dimaksudkan oleh Iser bukanlah pembaca nyata melainkan pembaca implisit, instansi pembaca yang diciptakan oleh teks. Pembaca implisit seolah-olah merupakan model untuk menentukan sikap dalam menghadapi suatu teks tertentu melalui pembaca yang sesungguhnya. Iser juga mengintroduksi konsep ruang kosong, ruang yang disediakan oleh penulis, pembaca
54 secara kreatif, secara bebas dapat mengisinya. Jausz berbeda dengan Iser yang memberi perhatian pada hubungan antara teks dengan pembaca, dalam hubungannya dengan kekuatan karya untuk memberikan efek kepada pembaca. Konsep ruang kosong mengandaikan teks bersifat terbuka (pembaca diarahkan oleh teks). Menurut Culler, meskipun pembaca berbeda-beda, tetapi konvensi yang sama memungkinkan untuk mengarahkan pada penafsiran yang relatif sama dan untuk memahaminya dilakukan dengan cara mengembalikan pada keadaan yang disebut naturalisasi. Dengan demikian, teori resepsi yang relevan digunakan untuk menganalisis permasalahan nomor 4 (empat) adalah gabungan teori yang dikemukakan oleh Jausz dan Iser bahwa, dengan mempersepsi dan meresepsi wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan dapat memberikan efek kepada masyarakat (pembaca implisit). Setelah mitos RK dipersepsi dan diresepsi maka terjadi pemahaman baru yang berbeda dari pemahaman sebelumnya. Persepsi itulah yang diistilahkan sebagai ‘Horison Harapan’ oleh Jausz. Sedangkan Iser, mengintroduksi ‘konsep ruang kosong’ yang secara sengaja diciptakan bagi pembaca yang kreatif, oleh karena itu lebih menekankan pada masyarakat pembaca yang implisit.
55 Bagan:1 2.4 Model Penelitian PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP MITOS RATU KIDUL DI PESISIR BALI SELATAN, KAJIAN WACANA NARATIF Budaya Bali dan Jawa
Deskripsi Konsep
Mitos Ratu Kidul di Pesisir Bali Selatan
Metode dan Teknik
Struktur wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan
Fungsi wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan
Makna wacana mitos RK di Bali FFung Selatan
Pendekatan Pragmatis IPOLEKSOSBUD
Persepsi masyarakat dan implikasi Wacana Mitos RK di pesisir Bali Selatan
T. W.Naratologi T. Semiotika T. Mitologi T. Resepsi
Temuan
56 Keterangan Model Penelitian: Persepsi Masyarakat terhadap mitos RK di Pesisir Bali Selatan, Kajian Wacana Naratif Keterangan Tanda-tanda: = hubungan searah, sebagai bagian dari struktur yang lebih luas. = hubungan dwiarah , menunjukkan saling mempengaruhi. Penjelasan Bagan: (1) Cassirer (1987:109), menyatakan kebudayaan adalah manifestasi fungsi simbolis. Ia hidup dalam universum simbol yang mencakup penguasaan batas-batas ruang dan waktu, seperti: bahasa, seni, religi, dan teknologi sebagai sistem simbol. Pola pikir peneliti terhadap objek penelitian ini berawal dari konsep folklore sebagai bentuk kelisanan yang merupakan sebagian kebudayaan kolektif termasuk di dalamnya kearifan lokal, tradisi lisan dan sastra lisan. Sebagai bentuk kelisanan, folklor tersebar dan diwariskan turun temurun secara tradisional dengan versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh berupa benda hasil karya sebagai bukti dan alat bantu pengingat. Dalam kaitannya dengan penelitian ini walau difokuskan pada sastra lisan berupa wacana mitos, tetapi tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan masalah karya lainnya berupa benda (artifact). Objek penelitian berupa tradisi dan sastra lisan diletakkan dalam suatu konteks sosial budaya. Pedoman Dikti tentang (KTL, 2009-2014), tradisi sastra lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau sebagai bentuk kebudayaan yang diciptakan kembali untuk dimanfaatkan, direvitalisasi, atau karena alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya.
57 (2) Dari sekian banyak tradisi dan sastra lisan yang tersebar di Bali baik yang berupa legenda, fabel, dongeng, mitos dan lain-lain, maka pada kesempatan ini peneliti mencoba mengkaji wacana mitos RK yang awalnya merupakan mitos asli dari pulau Jawa. Setiap mitos merupakan cetusan kearifan lokal masyarakat pada zamannya dari sebuah bentuk kelisanan. Dalam perjalanan waktu, mitos RK dapat berubah menjadi keyakinan dari masyarakat di pesisir Bali Selatan. Mitos RK selalu berkaitan dengan religi atau upacara ritual, dan pada akhirnya dapat menjadi ideologi. (3) Wacana mitos RK pada saat ini telah membumi, dan sering dibahas serta dipromosikan melalui media elektronik, difilmkan dan beberapa kali diteliti di Jawa serta dibukukan. Namun, untuk penelitian ini dibatasi hanya pada permasalahan yang terkait dan terjadi di Bali. Pada saat meneliti wacana mitos RK di Bali Selatan ada tiga faktor penting dan berpengaruh terhadap bentuk wacana yang harus dapat diungkap, yaitu: faktor ontologis, mengapa mitos RK menyebar dan berpengaruh di Bali. Faktor epistemologis, yaitu mempersempit jarak subjek dan obyek untuk mendeskripsikan dan memahami struktur, fungsi, dan makna wacana mitos RK di Bali Selatan. Faktor aksiologis, dengan penilaian (evaluasi) seberapa besar manfaat dan pengaruh yang ditemukan atas objek, dan implikasinya terhadap masyarakat di Bali, dalam kaitannya dengan keyakinan dan ritual yang dilaksanakan. (4) Keempat permasalahan yang telah ditetapkan dikaji dengan menggunakan rancangan dan metode kualitatif dan pendekatan pragmatis. Teori yang
58 digunakan adalah teori-teori yang telah teruji kesahihannya, seperti: teori resepsi dan teori postruktural antara lain; teori wacana naratologi, teori mitologi dan teori semiotika khususnya semiotika sosial dan semiotika konotatif yang berkaitan dengan objek penelitian. Teori mitos/mitologi Roland Barthes, digunakan sebagai pedoman untuk memahami makna wacana mitos RK secara lebih dominan sehingga dapat digunakan sebagai pendukung teori semiotika. Dalam bahasa yang disampaikan berbentuk wacana, sering ditemukan berbagai makna/pesan yang tersembunyi (bersifat konotatif). (5) Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif-naratif, yang dimulai dari pengolahan data, yakni: transkripsi, klasifikasi, reduksi, dan interpretasi. Penyajian hasil dilakukan dengan cara informal, didukung oleh cara formal sehingga data yang telah diolah dapat disajikan dan menghasilkan pemahaman baru atau temuan.
59 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Dalam merancang sebuah penelitian yang pertama ditentukan adalah paradigma. Secara umum paradigma didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan mendasar, pandangan dunia yang berfungsi untuk menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama, baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam penelitian ilmiah. Paradigma dan metodelogi dianggap sebagai komponen-komponen yang secara inklusif mempengaruhi dan mengarahkan peneliti pada suatu kesadaran tertentu sehingga berbeda dengan peneliti lain (Ratna, 2010:21). Jadi, paradigma dan metodelogis merupakan jiwa dan semangat penelitian yang diarahkan oleh teori dengan mempertimbangkan cara-cara yang sudah disepakati, yaitu metode dan teknik. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan secara filosofis
ada
empat
faktor
yang
mempengaruhi,
yaitu:
faktor
ontologis,
epistemologis, aksiologis, dan faktor metodelogis (Ratna, 2010:31). Metode kualitatif memberi perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Dalam hubungan ini metode kualitatif
dianggap sama dengan
metode pemahaman atau verstehen dan sesuai dengan namanya metode kualitatif lebih mempertahankan hakikat nilai.
59
60 Selain itu aspek sosio kultural berperan dalam menentukan perkembangan bentuk bahasa, maupun perubahan maknanya. Dalam menentukan fungsi ada tiga faktor yang terkait, yakni: (1) ideasional, isi pesan yang ingin disampaikan; (2) interpersonal, makna yang hadir dalam peristiwa tuturan; dan (3) tekstual, bentuk kebahasaan serta konteks tuturan yang merepresentasikan makna tuturan (Halliday, 1978:111). Dalam hubungannya dengan kesastraan, bahwa sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni menggunakan bahasa sebagai pemaparannya. Berbeda dengan bahasa keseharian, bahasa dalam sastra memiliki kekhasan yang merupakan salah satu bentuk idiosyncratic, yakni tebaran kata yang digunakan merupakan hasil olahan dan ekspresi individual pengarangnya. Karya sastra dapat kehilangan identitas sumber tuturan, kepastian referen yang diacu, konteks tuturan yang secara pasti menunjang pesan dan keterbatasan tulisan yang mewakili bunyi ujaran. Lapis atau strata makna dalam sastra mencakup: (a) unit makna literal (tersurat); (b) dunia rekaan pengarang; (c) dunia dari titik pandang tertentu dan pesan yang bersifat metafisis (Sudaryat, 2011:8). Model penelitian yang bermaksud mengeksplorasi dan mengklasifikasi secara cermat dan sistematis terhadap fenomena atau fakta sosial tertentu, yaitu dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang diamati terutama berupa informasi (Bungin, 2003:79). Ciri terpenting metode kualitatif, antara lain: (1) memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek; (2) lebih mengutamakan proses dibanding dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah; (3) tidak ada jarak
61 antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrument utama, sehingga terjadi interaksi langsung; (4) desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka; (5) penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing (Ratna, 2010:46-48). Pendekatan yang dipandang relevan adalah pendekatan pragmatis, yaitu pendekatan tentang struktur pesan dalam suatu komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi bahasa. Melalui analisis wacana tidak hanya diketahui isi teks yang terdapat pada wacana tetapi juga memahami pesan yang ingin disampaikan, mengapa harus disampaikan, dan bagaimana pesan-pesan itu tersusun serta dipahami. Dalam analisis wacana memungkinkan untuk memperlihatkan motivasi yang tersembunyi di balik teks atau di balik pilihan metode penelitian tertentu untuk menafsirkan teks. Wacana juga memiliki kesatuan dan konteks yang eksis dalam kehidupan sehari-hari contohnya, rekaman percakapan yang telah dinaskahkan. Oleh karena itu analisis wacana pada dasarnya merupakan analisis terhadap hubungan antara kontekskonteks yang terdapat dalam teks dan bertujuan menjelaskan hubungan antara kalimat atau ujaran yang membentuk wacana tersebut. Wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan, apabila dipandang atas dasar kepercayaan masyarakat pendukung terhadap makna keberadaan laut tepat menggunakan pendekatan pragmatis. Namun, wacana mitos RK dengan versi-versinya yang disampaikan oleh para informan dalam penelitian ini lebih tepat dianalisis dengan model wacana naratif terutama dalam menganalisis struktur instrinsik dan ekstrinsik guna menemukan fungsi pada setiap wacana.
62 3.2 Lokasi Penelitian Penelitian terhadap wacana mitos RK di Bali Selatan merupakan penelitian lapangan. Lokasi penelitian adalah pesisir pulau Bali bagian Selatan, dimulai dari hotel Inna Grand Bali Beach (selanjutnya disingkat IGBB) Sanur dan sekitarnya. Semula, hotel tersebut bernama Bali Beach (disingkat BB) merupakan hotel berbintang dan tertua di Bali yang dibangun dari hasil pampasan perang Jepang sebagai lokasi awal ditemukannya wacana mitos RK. Lokasi penelitian ini termasuk wilayah Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Pesisir Bali Selatan yang dimaksud adalah pesisir pantai dari Gilimanuk sampai pesisir pantai Padangbai, akan tetapi tidak meliputi wilayah pesisir pulau di seberang laut seperti Nusa Penida, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan dan pulau Menjangan. Sedangkan data yang diperoleh secara kebetulan di hutan Pura Segara Rupek sebenarnya tidak dapat dimasukkan dalam penelitian ini, karena masalah lokasi, akan tetapi data tersebut juga menyinggung tentang RK. Sebagaimana alasan pemilihan objek penelitian, demikian juga alasan pemilihan lokasi penelitian ini tidak terlepas dari sumber data pertama yang ditemukan, tentang wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan. Alasan pemilihan lokasi penelitian semata-mata ditentukan oleh keterbatasan waktu, selain jarak lokasi mudah dijangkau, juga data primer yang ditemukan lengkap (dapat mewakili). Data yang diperlukan sesuai dengan permasalahan yang menjadi fokus kajian. Kronologis penyebaran mitos RK dapat berkaitan dengan sejarah, maupun aspek lain dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Pengambilan data dimulai dari hotel IGBB, tepatnya pada lantai III kamar
63 327 dan Cottages kamar 2401. Di tempat ini diperoleh data dan informasi awal, baru kemudian dilanjutkan pada wilayah pesisir Bali bagian Selatan, yaitu dari pesisir pantai Gilimanuk sampai pesisir pantai Padangbai. Penetapan lokasi ini bertujuan untuk menemukan berbagai versi wacana RK. Bentuk-bentuk wacana RK yang ditemukan dapat mewakili setiap kabupaten yang wilayahnya memiliki pesisir Selatan. Hal penting juga dilakukan sebagai pembanding adalah perolehan informasi dari tempat asal mitos RK, yakni pantai Pelabuhan Ratu, pantai Karang Hawu, Parangtritis, Parang Kusumo, Keraton Yogyakarta dan Solo. Model seperti ini didasari atas dugaan bahwa wacana mitos RK di Bali Selatan juga memiliki versi berbeda bagi setiap penutur. Penentuan cara seperti ini berdasarkan pertimbangan bahwa salah satu bukti tentang wacana mitos RK di pesisir Bali bagian Selatan sesuai dengan nama tokoh yang dimitoskan, sama seperti di Jawa. Penelitian ini dilaksanakan secara resmi setelah proposal disetujui, disertai dengan surat ijin yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Udayana. Namun demikian, observasi dan pencarian informasi awal telah dilakukan sebelumnya sebagai ciri penelitian lapangan.
3.3 Jenis dan Sumber Data 3.3.1 Jenis Data Bungin (2003:18) menyebutkan bahwa jenis data terdiri atas data yang bersifat kualitatif dan data yang bersifat kuantitatif. Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan bersifat kualitatif yaitu berupa narasi, deskripsi, dari elemen-elemen
64 wacana terkait dengan permasalahan, antara lain: struktur, fungsi serta makna juga persepsi masyarakat dan implikasi wacana mitos RK di Bali Selatan terhadap masyarakat. Jadi, data kualitatif yang dimaksud adalah data yang diperoleh di lapangan meliputi data verbal dan nonverbal melalui wawancara, dan observasi. Data verbal berupa rangkaian kata, frase, kalimat, bahkan paragraf yang diinformasikan oleh para informan dapat membentuk wacana/teks. Data nonverbal berupa foto lukisan, kamar suci, palinggih, ritual, artifact dan atribut ritual lainnya juga dideskripsikan atau dinarasikan sehingga membentuk wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan. 3.3.2 Sumber Data Sumber data penelitian ini ada dua jenis, yakni: data primer dan data sekunder. Sumber data primer berupa wacana mitos RK dengan versi dan persepsi yang diinformasikan dan diceritakan oleh para penutur (verbal) dan non verbal (lukisan, patung, lingga, palinggih, gedong/kamar suci, ritual, dan atribut RK lainnya). Nara sumber atau informan adalah masyarakat penutur yang informasinya didapat secara langsung melalui wawancara yakni, para pamangku dan nara sumber lain di beberapa Pura pesisir Bali Selatan, dari berbagai profesi, seperti: nelayan, paranormal, ilmuan, dan masyarakat umum yang dianggap memiliki pengetahuan tentang wacana mitos RK di pesisir Bali bagian Selatan. Pengetahuan yang dimaksud antara lain tentang cara pemahaman dan persepsi atas wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan. Jadi, sumber data primer (utama) adalah wacana-wacana atau tuturan yang sifatnya sepenggal-sepenggal,
65 disusun dan difragmentasi menjadi ‘teks’ yang diapresiasi oleh masyarakat pendukung. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk pengetahuan teoretis dan empiris melalui studi kepustakaan yang masih relevan dengan permasalahan penelitian, di antaranya berupa
dokumen, buku, karya ilmiah dan
sebagainya. Selain buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian, juga mengambil data dari sumber internet karena seringkali lebih variatif, asalkan dapat memilah mana yang ilmiah dan mana yang tidak ilmiah.
3.4 Teknik Penentuan Informan Informan sebagai sumber data primer dalam penelitian ini ditentukan melalui teknik snowball sampling. Artinya, gumpalan bola salju yang menggelinding dan bertambah dengan cepat (KBBI). Informan dipilih atas pertimbangan memiliki pengetahuan dan pengalaman spiritual berkaitan dengan topik dan permasalahan yang dikaji. Sebagai informan kunci, yakni Mangku Made Wirya adalah seorang pensiunan hotel IGBB sekaligus mantan ‘Pamangku’ pada kamar 327 dan Cottages 2401. Dari informan kunci ini ditemukan para informan lainnya dengan alamat tersebar di Bali. Penentuan informan berikutnya melalui teknik purposive sampling. Kata purposive berasal dari kata purposive (Inggris) yang berarti sengaja (Anggono dalam Bungin, 2003:27). Informan dengan sengaja dipilih atas dasar informasi dari informan pertama, karena dipandang mengetahui dan memahami informasi yang
66 diperlukan. Informan yang terpilih tidak terbatas sampai informasinya mencapai titik jenuh. Para informan dimaksud dapat dilihat pada daftar terlampir. Prinsif yang digunakan sehubungan dengan teknik tersebut adalah semakin banyak informasi di lapangan, semakin banyak data yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan pandangan Koentjaraningrat (1990:89) yang menyatakan bahwa penentuan besarnya jumlah subjek dalam penelitian kualitatif tidak mutlak, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan di lapangan. Cara ini dipilih karena penelitian kualitatif lebih mengarah pada penelitian proses daripada hasil. Adapun penetapan informan dilakukan berdasarkan kriteria umum sebagai berikut. 1) Anggota masyarakat pendukung mitos RK di pesisir Bali Selatan, tersebar tidak hanya masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dengan profesi sebagai nelayan, akan tetapi juga masyarakat umum dari profesi lain terutama paranormal. 2) Memiliki wawasan yang memadai tentang wacana mitos RK sehingga dapat memberi informasi sesuai pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. 3) Dapat memberikan informasi sesuai kemampuan dan pengetahuan serta pengalaman yang memadai dalam mengapresiasi wacana mitos RK. 4) Bersifat kooperatif sehingga dapat dijadikan mitra kerja di lapangan.
3.5 Instrumen Penelitian Penetapan instrumen sebagai alat penjaringan data perlu dipersiapkan untuk memudahkan proses pemerolehan data lapangan. Istrumen penelitian pada prinsifnya disesuaikan dengan teknik pengumpulan data (data collection technique) yang
67 diterapkan di lapangan. Selanjutnya, data-data yang diperoleh peneliti dari melihat, mendengar, bertanya, serta membaca, mengharuskan peneliti tanggap dan jeli terhadap situasi serta kondisi lingkungan, mudah menyesuaikan diri, mendasarkan diri atas pengalaman dan kemampuan yang dimiliki sehingga dapat memeroses data dengan lebih cepat dan tepat. Sebagai penunjang kegiatan penelitian diperlukan pula instrumen penelitian yang lain seperti voice recorder, untuk merekam uraian verbal para informan terpilih, HP (081558549902) untuk wawancara singkat jarak jauh dengan para informan, camera digital untuk mendokumentasikan benda atau artifact dan kegiatan ritual terkait dengan mitos RK. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah laptop untuk operasional penelitian dan CD untuk menyimpan dokumen penelitian serta alat tulis menulis untuk mencatat data yang diperoleh dari studi lapangan.
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Setelah dilakukan penentuan informan, semua informasi (data) yang diperoleh dalam bentuk persepsi dikumpulkan untuk dipilah dan ditranskripsi. Data dikumpulkan dengan tiga teknik secara terpadu sebagai berikut. 1) Metode dan teknik wawancara mendalam (deep interview). Peneliti dan informan sama-sama mengetahui (dalam batas-batas tertentu) tentang objek yang dibicarakan dan tujuan wawancara pun dikemukakan. Wawancara dilakukan terhadap lebih kurang dua puluhan informan (nara sumber) dari berbagai profesi terutama para ‘pemangku’ maupun paranormal. Pelaksanaan
68 wawancara dilakukan setelah terlebih dahulu mengikuti persembahyangan yang dipimpin oleh para ‘pemangku’ pada setiap Pura. Informan dari paranormal
dan
profesi
lain
diwawancarai
setelah
terlebih
dahulu
mengkonfirmasi kesiapan para nara sumber dan tujuan kedatangan peneliti. Peneliti
mengadakan
dialog,
bercakap-cakap
secara
natural,
mendiskusikan masalah yang relevan dengan penelitian. Peneliti bertindak sebagai instrumen yang aktif dengan bekal pertanyaan substantif berupa persoalan yang khas dan pertanyaan teoretis berkaitan dengan struktur, fungsi, makna serta implikasi wacana mitos RK di Bali Selatan. Artinya kepada, informan
diajukan
tiga
topik
pertanyaan
yang
bersifat
ontologis,
epistemologis dan aksiologis. Pedoman wawancara (daftar pertanyaan) hanya sebagai rancangan awal dan bersifat terbuka serta dinamis karena peneliti dapat memodifikasi pertanyaan-pertanyaan yang relevan sesuai dengan kondisi informan dan situasi setempat. Tujuannya, untuk menggali pemikiran konstruktif para informan yang menyangkut peristiwa, perhatian, peran serta, kesan, yang terkait dengan wacana mitos RK juga aktivitas ritual, sehingga dapat menggali dan mengungkapkan proyeksi pemikiran informan tentang kemungkinan ada atau tidaknya pergeseran budaya miliknya di masa mendatang. 2) Metode dan teknik observasi partisipasi (participant observation), yaitu suatu penyelidikan secara sistematis dengan menggunakan kemampuan indera manusia, melalui pengamatan yang dilakukan terhadap artifact yang berkaitan
69 dengan mitos RK di pesisir Bali Selatan, terutama pada saat dilaksanakannya aktivitas ritual tertentu. Pengamat atau peneliti berperan serta, artinya peneliti lebih sering terlibat baik pasif maupun aktif dalam aktivitas ritual. Misalnya, pada saat pelaksanaan ritual ‘larung’ 1 Suro di kamar suci 2401, juga pada saat dilakukan ritual ‘Petik Laut’ di pantai Pengambengan, peneliti ikut bergabung untuk mendapatkan informasi. Peneliti sengaja masuk ke dalam wilayah penelitian dengan sikap dan perilaku yang simpatik, walaupun pada akhirnya membawa sesaji dan mengikuti ritual khusus seperti ‘sungkeman’ demi mendapatkan informasi. Peneliti seakan-akan belum memahami, namun dengan sikap reflektif berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki berusaha masuk secara berulang kali ke dalam aktivitas ritual. Dengan cara ini peneliti berharap dapat menggali, menghayati dan mengkaji nomena dari fenomena tentang mitos RK secara lebih mendalam. 3) Metode studi kepustakaan, yaitu melakukan pengumpulan data dan informasi melalui beberapa perpustakaan untuk mendapatkan buku-buku, artikel, dan dokumen terkait dengan penelitian yang dilakukan terutama tentang teori wacana. Selain itu, data yang berasal dari internet juga membantu sebagai data pendukung. Metode studi kepustakaan ini dilakukan, di toko buku maupun perpustakaan formal guna mendapatkan buku-buku referensi yang masih relevan dan berkaitan dengan objek penelitian. Pustaka-pustaka yang sifatnya teoretis seperti yang disebutkan dalam tinjauan pustaka dan daftar pustaka membantu dalam uraian dan analisis data.
70 Selain ketiga metode tersebut di atas juga digunakan metode atau teknik rekam dan catat.Teknik rekam (recording) dilakukan untuk merekam data berupa wacana dan informasi tentang mitos RK di Bali Selatan yang dituturkan oleh para informan pada saat wawancara. Sesungguhnya, teknik rekam dan catat sudah termasuk dalam teknik sebelumnya yaitu wawancara, observasi, dan studi kepustakaan. Namun demikian, teknik ini juga diterapkan pada saat mengambil data
pada pelaksanaan upacara/ritual ruwatan
(malukat), labuhan, dan ritual lainnya yang masih berkaitan dengan wacana mitos RK. Teknik catat diaplikasikan apabila peneliti menemukan data yang relevan secara spontan dalam interaksi dengan masyarakat, sebagai informasi tambahan selain yang ditargetkan sebelumnya pada saat berada di lapangan.
3.7 Metode dan Teknik Analisis Data Setelah sumber data primer dan sekunder terkumpul melalui wawancara, observasi, studi kepustakaan dipandang cukup, langkah selanjutnya dilakukan pemilihan, pemilahan dan pengolahan data. Data yang telah terkumpul, lalu dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif-interpretatif dan analisis wacana naratif (Catatan perkuliahan tahun 2013). Teknik analisis data di atas dapat digunakan secara simultan atau yang satu mendahului yang lain dalam konteks triangulasi agar kesahihan data menjadi lebih terjamin. Pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini, terdiri atas tiga kegiatan utama, yakni: penyajian data, reduksi data, verifikasi atau penarikan kesimpulan
71 merupakan rangkaian kegiatan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya, prosesnya berbentuk siklus bukan linier. Adapun urutan tahapan pelaksanaan secara keseluruhan dalam menganalisis data dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Transkripsi data, yaitu data ditranskripsi dari bahasa lisan ke bahasa tulis. Data yang sepenggal-sepenggal diperoleh dari informan berupa, kata, kalimat, dan paragraf diidentifikasi, dan ditranskripsikan. 2) Translasi data, yaitu menerjemahkan data yang berupa kalimat ataupun paragraf dari bahasa Bali (bahasa sumber) ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran) dan dilanjutkan dengan kegiatan memfragmentasi data. 3) Klasifikasi
data,
yaitu
mengelompokkan
data
menurut
jenis
dan
karakteristiknya. Wacana mitos RK yang terdiri atas beberapa bentuk persepsi dan telah difragmentasi lalu diklasifikasi sehingga menjadi 2 (dua) versi. Versi yang berkaitan dengan pemujaan RK sebagai reinkarnasi dewa-dewi penjaga sumber mata air dan tradisi ritual untuk pelestarian dan perlindungan terhadap air khususnya laut dan versi Kejawen di Bali. 4) Reduksi dan formulasi data, yaitu pemilahan dan pemilihan data dengan menggabungkan kedua versi di atas, menghilangkan satu atau lebih data yang sama jenis dan karakternya, sehingga menjadi teks mitos RK yang utuh. 5) Pemaknaan data secara komprehensif, tentang wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan yang sudah direduksi lalu dimaknai sesuai sudut pandang dan pemahaman peneliti berdasarkan teori-teori yang relevan.
72 6) Interpretasi data, yaitu penafsiran terhadap data yang telah dimaknai. Data yang telah dimaknai, lalu diinterpretasi untuk menemukan makna baru. 7) Deskripsi atau pemerian dan penjelasan hasil analisis data. Setelah data diolah, diinterpretasi dan dimaknai, selanjutnya data itu dideskripsikan secara naratif.
3.8 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Penelitian Sesuai dengan jenis data yang diteliti yakni data kualitatif, maka kajian dalam penelitian ini disajikan secara deskriptif naratif berupa uraian verbal yang telah ditranskripsikan. Kemudian, disusun secara sistematis bersama pemilahan bab per bab, didasarkan atas urutan permasalahan yang diajukan. Masing-masing bab dalam penelitian ini memiliki hubungan substansial. Artinya, hubungan satu bab dengan bab lainnya adalah hubungan yang saling membangun. Penyajian hasil penelitian dilakukan dengan menggabungkan teknik formal dan teknik informal. Teknik informal adalah penyajian hasil analisis data secara deskriptif naratif. Penyajian hasil analisis data dibagi menjadi delapan sampai sembilan bab dengan berpedoman pada teknik penulisan karya ilmiah yang lazim berlaku di kalangan akademik. Teknik formal adalah penyajian hasil analisis data dalam bentuk gambar, bagan, diagram, foto-foto dan sejenisnya. Teknik penyajian secara formal ini sebagai pendukung teknik penyajian secara informal.