BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kabupaten Bantul merupakan salah satu dari lima wilayah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas wilayah 506,85 km2 (15,90% dari luas wilayah Provinsi DIY) dengan topografi sebagai dataran rendah 40% dan lebih dari separuhnya (60%) daerah perbukitan. Bagian Barat adalah daerah landai serta perbukitan yang membujur dari Utara ke Selatan seluas 89,86 km2 (17,73%). Bagian Tengah adalah daerah datar dan landai yang merupakan daerah pertanian yang subur seluas 210,94 km2 (41,62%). Bagian Timur adalah daerah yang landai, miring dan terjal seluas 206,05 km2 (40,65%). Sedangkan di bagian Selatan merupakan bagian dari bagian Tengah dengan keadaan alamnya yang berpasir dan sedikit berlagun, terbentang di Pantai Selatan dari Kecamatan Srandakan, Sanden dan Kretek. Wilayah Pantai Selatan (pesisir) Kabupaten Bantul berhadapan langsung dengan Samudera Hindia dicirikan oleh daerah berpasir yang merupakan salah satu aset pembangunan di Kabupaten Bantul yang diharapkan dapat memberikan kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDRB) wilayah. Hal ini disebabkan karena wilayah ini memiliki sumberdaya alam yang kaya dan beragam. Disamping itu juga memiliki aksesibilitas yang baik untuk tumbuh dan berkembangnya kegiatan ekonomi, seperti transportasi, industri, permukiman dan pariwisata.
1
2
Salah satu kegiatan yang dikembangkan di wilayah pesisir Kabupaten Bantul adalah kegiatan perikanan. Kegiatan ini berupa perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Perikanan tangkap tersebar di wilayah pesisir Kabupaten Bantul. Lokasi yang dikembangkan meliputi Pantai Depok, Samas, Kuwaru dan Pantai Pandansimo. Pemanfaatan sumberdaya ikan di Pantai Selatan Kabupaten Bantul mulai berkembang tahun 1996 (Asyiawat dan Rustijarno, 2002). Munculnya Undang-Undang no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil membuka peluang untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan setelah keluarnya undang-undang tersebut membuat program-program skala besar untuk mendorong tumbuhnya ekonomi di wilayah pesisir salah satunya bagi nelayan dan petani budidaya wilayah pesisir. Hal ini juga mendorong pemerintah kabupaten/ kota dan propinsi yang mempunyai wilayah pesisir untuk ikut mengembangkan potensi ekonomi wilayah pesisir. Pemerintah DIY, terutama Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) berencana untuk mengembangkan potensi kawasan pesisir yang berada di wilayah administrasinya. Wilayah yang akan dikembangkan tersebut meliputi: Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunungkidul. Kawasan pesisir yang meliputi tiga kabupaten tersebut akan dikembangkan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Untuk perikanan budidaya meliputi budidaya air tawar dan air payau. Salah satu komoditi budidaya air payau yang akan dikembangkan di Kabupaten Bantul adalah udang. Udang merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Selain untuk kebutuhan dalam negeri, juga mempunyai
3
peluang ekspor yang tinggi. Hal ini tidak disia-siakan oleh PT. Indokor Bangun Desa yang telah lebih dulu bergerak di bidang pembudidayaan udang air payau di pesisir selatan Kabupaten Bantul sejak tahun 2000. Rencana pengembangan budidaya udang air payau di Kabupaten Bantul oleh DKP Provinsi DIY telah dimulai sejak keluarnya Undang-undang no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada akhir tahun 2007 tersebut DKP Provinsi telah berupaya untuk menjalin kerjasama dengan Pemkab Bantul untuk mengembangkan tambak udang di sekitar PT. Indokor Bangun Desa melalui program pengentasan kemiskinan. Namun rencana ini gagal karena tidak mendapat dukungan dari masyarakat. Pada tahun 2009 DKP Provinsi bekerjasama dengan swasta melakukan ujicoba budidaya udang vanamei di kolam milik Pemprov yang berada di barat menara suar Pantai Patehan, Gadingsari, Sanden, Bantul.
Usaha tersebut
sukses,sehingga semakin mendorong untuk mengembangkan budidaya air payau khususnya udang vanamei di pesisir Kabupaten Bantul. Upaya dari segi legal formal juga ditempuh untuk mendukung program pengembangan budidaya air payau di pesisir Kabupaten Bantul. Upaya ini tertuang dalam Perda DIY No. 16 Tahun 2011 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011-2030. Didalam pasal 56 menyebutkan bahwa arahan pengembangan zona perikanan budidaya dengan mengembangkan perikanan budidaya air payau di kecamatan Temon dan Galur Kulon Progo, Kecamatan Kretek, Sanden dan Srandakan Kabupaten Bantul, di Kecamatan Tepus Gunungkidul.
4
Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah DIY no. 16 tahun 2011 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DIY Tahun 2011-2030 , maka terjadi dualisme antara dua lembaga dalam hal kewenangan pengaturan kawasan pesisir. Karena sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Bantul telah memiliki Perda no. 4 tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Bantul tahun 2010-2030. Di dalam perda kabupaten tersebut juga mengatur arahan tata ruang kawasan pesisir. Arahan utama di ketiga kecamatan pesisir tersebut untuk kegiatan pariwisata dan pertanian. Hal ini berpotensi memicu timbulnya konflik guna lahan di kemudian hari apabila kedua perda tersebut tidak sinkron/ harmonis. Ternyata hal yang dikhawatirkan terjadi. Pada akhir tahun 2013 sampai awal tahun 2014 terjadi perkembangan tambak udang besar-besaran di seluruh kawasan pesisir Kabupaten Bantul. Ratusan tambak rakyat terbangun tidak terkendali. Salah satu yang menjadi dasar hukum para pelaku tambak untuk mendukung usahanya adalah Perda RZWP3K provinsi tersebut. Hingga akhirnya menimbulkan berbagai macam konflik guna lahan di pesisir Pantai Selatan Kabupaten Bantul. Hal ini yang menjadi ketertarikan peneliti untuk mengetahui proses dan resolusi konflik guna lahan tambak udang dengan guna lahan lainnya yang terjadi di pesisir Pantai Selatan Kabupaten Bantul.
1.2 Rumusan Masalah Kegiatan tambak udang di pesisir pantai selatan Kabupaten Bantul yang meningkat dan tidak terkendali menimbulkan berbagai macam konflik guna lahan. Dampak yang nyata terhadap lingkungan adalah berkurangnya vegetasi
5
tanaman pantai akibat pembukaan lahan untuk area tambak udang serta potensi terjadinya pencemaran pada guna lahan lain. Selain itu, lokasi tambak banyak yang melanggar aturan tata ruang yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah Kabupaten Bantul sudah berupaya mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Sampai saat ini, resolusi konflik tambak udang secara keseluruhan sudah pada tahap rencana penetapan lokasi yang akan diarahkan untuk kawasan tambak udang. Penanganannya dilakukan oleh provinsi. Berdasarkan permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan penelitian: 1.
Bagaimana proses konflik guna lahan tambak udang dengan guna lahan lainnya di Pesisir Pantai Selatan Kabupaten Bantul?
2.
Bagaimana resolusi konflik guna lahan tambak udang dengan guna lahan lainnya di Pesisir Pantai Selatan Kabupaten Bantul?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian ini, yaitu: 1.
Mendeskripsikan perkembangan tambak udang di Pesisir Pantai Selatan Kabupaten Bantul.
2.
Mengidentifikasi konflik guna lahan tambak udang dengan guna lahan lainnya di Pesisir Pantai Selatan Kabupaten Bantul.
3.
Mengidentifikasi resolusi yang digunakan dalam mengatasi konflik guna lahan tambak udang dengan guna lahan lainnya di Pesisir Pantai Selatan Kabupaten Bantul.
6
1.4 Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, penelitian mengenai “Proses dan Resolusi Konflik Guna Lahan Tambak Udang dengan Guna Lahan Lainnya di Pesisir Pantai Selatan Kabupaten Bantul” belum pernah dilakukan. Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan peneliti sebelumnya yaitu perbedaan lokasi, fokus penelitian, dan waktu penelitian. Beberapa penelitian serupa yang pernah dilakukan tercantum pada tabel 1.1.
7 Tabel 1.1 Matrik keaslian penelitian No. 1.
Peneliti Bambang Susilo (2008)
Judul Konflik antar Stakeholders dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir Kabupaten Kulonprogo
Fokus Penelitian - Menelusuri ragam dan relasi konflik antar pihak yang terlibat dalam pemanfaatan lingkungan pesisir Kulonprogo
Metode Penelitian Kualitatif deskriptifeksploratif
Hasil Tipologi Konflik yang terjadi di wilayah pesisir Kulonprogo: konflik sesama masyarakat, masyarakat dengan swasta, masyarakat dengan pemerintah, dan swasta dengan pemerintah. Penyebab konflik: masyarakat takut kehilangan lahan, perbedaan status kepemilikan lahan, pemerintah kurang optimal dalam pengelolaan, dan adanya kerusakan lingkungan. Langkah resolusi konflik: negosiasi & musyawarah, pemberian kapling tanah, pemberian pupuk kandang gratis, kompensasi ganti rugi dan pelaksanaan pilot project.
2.
Wahyu Hernowo (2010)
Resolusi Konflik dalam Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat di Kabupaten Magelang
- Isu-isu terkait dengan konflik penggunaan air dalam sistem penyediaan air berbasis masyarakat.
Kualitatif
Resolusi konflik berupa 5 langkah penyelesaian: perbaikan strategi membangun SPAM, peningkatan kapasitas pemerintah desa, upaya pemberdayaan masyarakat, penguatan komitmen pengelolaan sumber daya air eksekutif-legislatif, dan peningkatan kompleksitas perda pengelolaan sumber daya air.
3.
Esty (2011)
Konflik dalam Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa Tambak
- memetakan persepsi dan mengidentifikasi bentuk respon masyarakat
Induktif Kualitatif Fenomenologi
Penelitian ini menemukan tiga kategori persepsi masyarakat di sekitar lokasi mengenai pembangunan Rusunawa Tambak: nilai lokasi, proses pembangunan, dampak rusunawa. Penyebab konflik adalah perbedaan persepsi atas nilai lokasi, proses pembangunan dan dampak rusunawa, kurangnya informasi, perbedaan kelas sosial ekonomi masyarakat, perbedaan nilai dan kebutuhan antar anggota masyarakat. Penyelesaian konflik didominasi dengan pendekatan kekuasaan.
bersambung ...
8
Lanjutan Tabel 1.1 4.
Dien Fahriyandy (2013)
Negosiasi sebagai Proses - fokus pada konflik Penyelesaian Konflik: hutan dimana Studi Kasus dalam kesepakatan tercapai. Sengketa Lahan Hutan di - menunjukkan Indonesia kesuksesan dari negosiasi sebagai resolusi konflik
Deskriptifdeduktif
Kesuksesan suatu negosiasi tergantung pada tahaptahap yang dilakukan dalam proses negosiasi dengan mengoptimalkan faktor-faktor yang berpengaruh di dalamnya. Proses ini harus didukung oleh kesediaan semua pihak untuk berpartisipasi dan berkomitmen dalam melaksanakan kesepakatan.
5.
Fitrianto Noorcahyo (2014)
Resolusi Konflik Penggunaan Air Selokan Van Der Wijck antara Aktivitas Perikanan dan Pertanian
Deskriptif Kualitatif
Resolusi konflik yang ditemukan: penutupan sadap liar dan anggelan, droping air, bantuan pompa, sosialisasi pola tanam, PLTMH, SPAM, revitalisasi embung, pengurangan jumlah kolam udang galah dan sistem perkolaman yang baik.
- resolusi konflik secara menyeluruh di sepanjang Selokan Van Der Wijck Kabupaten Sleman
9
Penelitian yang dilakukan oleh Bambang Susilo (2008) dengan judul: “Konflik antar Stakeholders dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir Kabupaten Kulonprogo” mendeskripsikan tentang berbagai macam konflik yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Kulonprogo. Tipologi Konflik yang terjadi di wilayah pesisir Kulonprogo: konflik sesama masyarakat, masyarakat dengan swasta, masyarakat dengan pemerintah, dan swasta dengan pemerintah. Penyebab konflik: masyarakat takut kehilangan lahan, perbedaan status kepemilikan lahan, pemerintah kurang optimal dalam pengelolaan, dan adanya kerusakan lingkungan. Langkah resolusi konflik: negosiasi & musyawarah, pemberian kapling tanah, pemberian pupuk kandang gratis, kompensasi ganti rugi dan pelaksanaan pilot project. Penelitian ini memfokuskan pada satu masalah yaitu tambak udang. Dalam penelitian ini membahas tentang proses dan resolusi konflik guna lahan tambak udang dengan guna lahan lainnya di pesisir Pantai Selatan Kabupaten Bantul. Dengan demikian penelitian ini layak untuk dilakukan
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang proses dan resolusi konflik guna lahan tambak udang dengan guna lahan lainnya di pesisir pantai selatan Kabupaten Bantul.
2.
Sebagai pemberi informasi bagi Pemda Kabupaten Bantul tentang penyelesaian konflik guna lahan khususnya guna lahan tambak udang dengan guna lahan lainnya di pesisir Pantai Selatan Kabupaten Bantul.