BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan
tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara bersama-sama (Keraf, 1984:23). Bahasa didefinisikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbiter, yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan dirinya. Bahasa sebagai alat komunikasi antarpenutur dengan pendengar berupa bunyibunyi bahasa yang demikian disebut bahasa lisan (Marsono, 2005:5). Indonesia memiliki bermacam-macam bahasa selain bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional. Ada lebih dari 400 bahasa daerah di Indonesia (Marsono, 1993:1). Di antara bahasa-bahasa yang merupakan identitas masing-masing suku yang memiliki jumlah penutur terbanyak adalah bahasa Jawa, sementara yang menempati urutan kedua dengan jumlah penutur terbanyak juga adalah bahasa Sunda (Kencana, 1999:3). Bahasa Jawa adalah bahasa ibu bagi penduduk di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta(Marsono,1999:44). Bahasa Jawa banyak digunakan oleh penuturnya di seluruh wilayah Indonesia. Bahasa Jawa mempunyai jumlah penutur lebih kurang 60 juta penutur (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2003:1). Adapun yang dimaksud dengan bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasi oleh manusia dari awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya
1
2
(Kridalaksana, 1983:19). Bahasa Jawa juga digunakan di beberapa daerah di Provinsi Jawa Barat, serta di daerah transmigrasi suku Jawa di luar pulau Jawa seperti di bagian Provinsi Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, bahkan di luar negara Indonesia seperti Suriname, Belanda, dan Malaysia (Marsono, 1997:1). Dengan banyaknya penutur bahasa Jawa yang tersebar di wilayah Indonesia, bukan hanya di pulau Jawa saja,ini menunjukan bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa terbesar di Indonesia. Bahasa Sunda merupakan bahasa terbesar kedua di Indonesia setelah bahasa Jawa (Kencana, 1999:3). Masyarakat Jawa banyak yang menggunakan bahasa Sunda terutama yang tinggal di bagian barat pulau Jawa. Sebagian besar dari penduduk Jawa bagian Barat itu terdiri atas kelompok etnis Sunda, dan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi adalah bahasa Sunda. Akan tetapi di luar Jawa Barat banyak pula daerah-daerah yang menggunakan bahasa Sunda seperti Brebes, Tegal, dan Banyumas, serta daerah transmigrasi seperti Lampung dan Sumara Selatan (Koentjaraningrat, 1971:307). Ada lebih kurang 25 juta orang Sunda yang dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa komunikasi sehari-hari (Sumardi et al., 1992:1). Pemakaian bahasa Sunda tidak hanya dipergunakan dalam komunikasi lisan saja, tetapi bahasa Sunda itu dapat dipergunakan dalam komunikasi tulisan. Bahasa Jawa dan bahasa Sunda merupakan bahasa yang berbeda, akan tetapi meskipun merupakan bahasa yang berbeda, keduanya merupakan satu rumpun bahasa yakni rumpun Austronesia (Lih. Keraf, 1984:25). Suatu bahasa dapat dikatakan serumpun apabila bahasa tersebut memiliki persamaan unsur-
3
unsur kebahasaan. Persamaan-persamaan tersebut dapat terletak pada fonemnya, morfemnya, katanya, maupun struktur pada kalimatnya. Persamaan maupun perbedaannya lah yang ingin diungkapkan dalam penelitian ini. Penelitian ini mengenai perbandingan bahasa atau dapat disebut juga dengan analisis kontrastif. Analisis kontrastif adalah metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan dalam masalah praktis, seperti pengajaran bahasa dan penerjemahan (Kridalaksana, 1993:13). Analisis
kontrastif
merupakan
analisis
yang
secara
sinkronis
membandingkan struktur dua bahasa untuk mengetahui perbedaan maupun persamaan yang terdapat di antara kedua bahasa yang diperbandingkan tersebut. Dalam penelitian ini yang akan dibahas yakni perbandingan bahasa Jawadan bahasa Sunda mengenai nama-nama peralatan rumah tangga berbahan bambu dan gerabah. Penelitian ini dianggap perlu untuk mengetahui sejauh mana ada perbedaan antara bahasa Jawa dan Sunda tentang nama peralatan rumah tangga berbahan bambu dan tembikar. 1.2
Rumusan Masalah Bahasa Sunda dan bahasa Jawa adalah bahasa daerah di Indonesia yang
memiliki jumlah penutur yang banyak. Jumlah penutur bahasa Jawa kurang lebih 60 juta (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2003:1), dan bahasa Sunda sebanyak lebih kurang 25 juta (Sumardi et al., 1992:1). Secara geografis letak pemakaian bahasa Jawa dan Sunda saling berdekatan, akan tetapi bahasa Jawa dan Sunda merupakan dua bahasa yang berbeda yang masing-masing mempunyai
4
kekhasan sendiri, dan hal ini tentunya juga terkait pada unsur-unsur kebahasaannya. Dengan kata lain karena wilayah pemakaian kedua bahasa saling berdekatan maka akan ada persamaan maupun perbedaan pada kedua bahasa khususnya dalam penyebutan nama-nama peralatan rumah tangga berbahan tradisional (bahan bambu dan gerabah). Maka dari itu perlu dilakukan perbandingan kedua bahasa dalam penyebutan nama peralatan rumah tangga berbahan bambu dan gerabah untuk mengetahui persamaan maupun perbedaan yang ada pada kedua bahasa. Dari permasalahan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bentuk satuan gramatik dan makna apa sajakah yang terdapat pada namanama peralatan rumah tangga berbahan bambu dan tembikar ? 2. Apa sajakah persamaan dan perbedaan nama peralatan rumah tangga berbahan tembikar dan bambu dalam bahasa Jawa dan Sunda berdasarkan analisis kontrastif ? 1.3
Tujuan Tujuan dari penelitian ini ada dua yakni : 1. Untuk mengetahui bentuk satuan gramatik dan makna yang terdapat pada nama-nama peralatan rumah tangga berbahan bambu dan tembikar. 2. Untuk mengetahui bentuk persamaan dan perbedaan nama-nama peralatan rumah tangga berbahan bambu dan tembikar dalam bahasa Jawa dan Sunda.
5
1.4
Ruang Lingkup Penelitian ini mengenai perbandingan dua bahasa yakni bahasa Jawa dan
bahasa Sunda dalam hal nama peralatan rumah tangga berbahan bambu dan tembikar. Penelitian ini bertumpu pada analisis kontrastif. Yakni perbandingan dua bahasa yang bertujuan untuk mencari persamaan maupun perbedaannya dalam hal nama-nama peralatan rumah tangga berbahan bambu dan tembikar. 1.5
Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai bahasa Sunda dan Jawa serta perbandingan bahasa
telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya : Sumardi et al. (1992) dalam bukunya yang berjudul Tata Bahasa Sundamembahas mengenai bahasa Sunda yang meliputi fonologi, morfologi, dansintaksis bahasa Sunda. Buku ini menjadi sumber acuan bagi peneliti pada saat melaksanakan penelitian analisis kontrastif atau perbandingan bahasa antara bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Adapula Kencana (1999) meneliti mengenai perbandingan bahasa Jawa dan Sunda. Penelitian tersebut mendeskripsikan mengenai perbandingan makna leksem bahasa Jawa dan bahasa Sunda berdasarkan tingkat tutur penutur bahasanya. Penelitian ini terfokus pada perbandingan tingkat tutur bahasanya. Hendrokumoro (2000) membahas mengenai perbandingan bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Penelitian tersebut mendeskripsikan mengenai perbandingan bahasa Sunda daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah (khususnya yang digunakan di daerah Ciamis), dengan bahasa Jawa di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Penelitian ini terfokus pada dialeknya.
6
Siregar (2002) melakukan analisis komparatif fono-leksikal antara bahasa Jawa dan bahasa Minangkabau. Penelitian ini membahas perbandingan fonologi antara bahasa Jawa dan bahasa Minangkabau. Pembahasan ini dibatasi pada pembahasan mengenai fonem segmental dan distribusi fonem segmental. Penulis juga membandingkan kosakata bahasa Jawa dengan bahasa Minangkabau dari sisi fono-leksikalnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suherman. Suherman (2005) meneliti tingkat tutur Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa menggunakan Analisis Kontrastif. Penelitian tersebut membahas mengenai tingkat tutur antara bahasa Jawa dengan bahasa Jepang berdasarkan kajian sosiolinguistik dan kontrastif. Dharbiningsih (2009) meneliti nama-nama peralatan rumah tangga berupa wadah berbahan baku bambu, analisis morfo-semantis. Penelitian inimenjabarkan nama-nama peralatan rumah tangga berbahan baku bambu, yang berfungsi sebagai tempat menyimpan atau menaruh sesuatu dan menganalisis nama-nama tersebut secara morfo-semantis. Arafah (2009) menganalisis secara komparatif fono-leksikal pada bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Penelitian ini mendeskripsikan mengenai perbandingan bahasa Jawa dan bahasa Sunda berdasarkan fonologi dan leksikalnya, yang dibatasi mengenai fonem segmental yang meliputi fonem vokal dan konsonan serta membandingkan
bentuk alofon yang terdapat pada kedua bahasa dan
distribusinya dalam kata. Demikian sejauh pengetahuan penulis, dari penelitian-penelitian di atas tidak terdapat satupun yang membahas mengenai perbandingan bahasa Jawa dan
7
bahasa Sunda mengenai nama-nama peralatan rumah tangga berbahan tradisional bambu dan tembikar. 1.6
Landasan Teori Dalam suatu penelitian, seorang peneliti tidak akan dapat dipisahkan dari
teori. Karena dengan adanya teori lah suatu penelitian dapat dilakukan. Hal ini dikarenakan teori merupakan hal yang melandasi proses analisis data. Bertumpu pada batasan-batasan penelitian terlihat bahwa penelitian ini mencangkup masalah analisis kontrastif atau perbandingan dari dua bahasa atau lebih. Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa teori yang berhubungan dengan analisis kontrastif. Untuk itu peneliti akan memberikan batasan mengenai teori morfologi yang meliputi kata monomorfemis, kata polimorfemis yang terbagi menjadi kata berafiks, kata majemuk, kata reduplikasi (pengulangan), dan kata gabungan afiks dengan reduplikasi, teori semantik yang meliputi teori sintaksis khususnya frase, dan teori kontrastif. Morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan dan mempelajari bentuk kata dan pengaruh perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata (Ramlan, 1983:16-17). Kata ialah satuan bebas yang paling kecil, atau dengan kata lain setiap satuan bebas merupakan kata (Ramlan, 1983:28). Kata dapat terdiri dari satu morfem atau lebih. Kata yang terdiri dari satu morfem disebut monomorfemis, sedangkan kata yang terdiri dari dua atau lebih morfem disebut polimorfemis (Sudaryanto, 1981:15). Proses morfologi menggunakan alat yang disesuaikan dengan perubahan sebuah kata. Alat yang dipakai dalam proses morfologi antara lain: (1) pengafiksasian, (2) pengklitikan, (3) pemajemukan, dan
8
(4) reduplikasi (Verhaar, 2001:98).
Morfem adalah bentuk yang sama yang
terdapat berulang-ulang dalam satuan bentuk yang lain (Chaer, 2003:149). Morfem dapat dibedakan menjadi dua, yatu morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas yakni morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan, sedangkan morfem terikat yakni morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan (Chaer, 1994:151152). Penelitian ini akan mengelompokkan data berdasarkan jumlah morfem, sehingga dapat diketahui termasuk kata monomorfemis atau kata polimorfemis. Kata monomorfemis merupakan kata yang terdiri dari satu morfem, sedangkan kata polimorfemis merupakan kata yang terdiri dari dua morfem atau lebih. Kata polimorfemis dikelompokkan atas kata berafiks, kata majemuk, kata reduplikasi, dan kata gabungan afiks dengan reduplikasi. Kata berafiks yakni adanya penambahan afiks pada bentuk dasarnya. Afiksasi adalah salah satu proses pembentukan kata dengan pembubuhan afiks pada bentuk dasar kata. Afiks dibedakan atas prefiks, infiks, dan sufiks. Kata majemuk adalah gabungan dua buah morfem dasar atau lebih yang mengandung satu pengertian baru. Kata majemuk tidak menonjolkan arti tiap kata. tetapi gabungan kata itu secara bersama-sama membentuk suatu makna atau arti baru. Kata majemuk memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata, (2) unsur-unsurnya tidak mungkin dipisahkan, atau tidak mungkin diubah strukturnya (Ramlan, 2005:140). Menurut Poejosoedarmo (1979:153) kata majemuk memiliki ciri-ciri : (1) terdiri atas dua kata atau lebih, (2) kata majemuk memiliki arti baru, (3) kata majemuk tidak
9
dapat diberi sisipan kata apapun, (4) jika mendapat imbuhan diterapkan pada awal atau akhir kata majemuk seluruhnya, jika diduplikasi harus pula diulang, (5) secara sintaksis diperlakukan sebagai sebuah kata. Kata gabungan afiks dengan reduplikasi yakni kata yang mengalami penambahan afiks disertai dengan adanya perulangan pada kata dasarnya. Kata bereduplikasi ialah kata yang mengalami perulangan pada bentuk dasar kata tersebut. Analisis kedua yang digunakan yakni analisis semantik. Analisis semantik yaitu pemikiran sistematik tentang sifat dasar makna (Leech, 2003:11). Makna bukanlah berwujud dalam sesuatu, melainkan ada dalam pikiran si pemakai simbol yaitu makna leksikal, makna gramatikal, dan makna kontekstual (Alwasilah, 1985:144). Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun. Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada jika terjadi proses gramatikal sepertiafiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks (Chaer, 2003:289-290). Makna yang digunakan pada penelitian ini yakni makna leksikal dan makna gramatikal karena adanya proses gramatikal seperti afiksasi dan reduplikasi. Analisis selanjutnya yang digunakan pula yakni analisis sintaksis. Istilah sintaksis berasal dari bahasa Belanda yakni syntaxis. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah syntax. Sintaksis ialah bagian atau cabang ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase, berbeda dengan morfologi yang membicarakan seluk beluk kata dan morfem (Ramlan, 2005:18).
10
Karena yang dibahas pada penelitian ini adalah nama-nama peralatan rumah tangga, nama-nama tersebut dapat berupa kata akan tetapi dapat pula berupa frase. Frase adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 2005:138). Sepertinya yang telah diuraikan mengenai frase, dari penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa frase mempunyai dua sifat yaitu : (1) frase merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih, (2) frase merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, maksudnya frase itu selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa, yaitu S, P, O, PEL, atau KET (Ramlan, 2005:139). Frase dapat disisipi, misal dengan kata penghubung dan, atau, yang, untuk, serta dari. Frase yang memiliki distribusi yang sama dengan unsurnya, baik semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya, disebut frase endosentrik, dan frase yang tidak demikian, maksudnya tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya, disebut frase eksosentrik (Ramlan, 2005:142). Frase endosentrik dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu : (1) frase endosentrik yang koordinatif, (2) frase endosentrik yang atributif, dan (3) frase endosentrik yang apositif (Ramlan, 2005:142). Frase endosentrik yang koordinatif terdiri dari unsur-unsur yang setara, kesetaraannya dapat dilihat dari kemungkinan unsur-unsur itu dihubungkan dengan kata penghubung dan atau atau, misalnya suami dan istri, ayah dan ibu, belajar atau bekerja (Ramlan, 2005:142). Frase endosentrik yang atributif berbeda dengan frase endosentrik yang koordinatif, frase golongan ini terdiri dari unsurunsur yang tidak setara. Frase endosentris atributif hanya mengandung satu inti,
11
yang dapat didahului atau diikuti oleh medifikator. Baik inti maupun modifikator dapat terdiri dari salah satu kelas kata, seperti nomina, verba, , numeralia, ajektiva, atau adverbia (Ba’dulu, 2005:58). Contohnya, sekolah inpres, buku baru,sedang belajar, kata yang dicetak miring dalam frase ini yakni sekolah, buku, belajar, merupakan unsur pusat (UP), yaitu unsur yang secara distribusional sama dengan seluruh frase dan secara semantik merupakan unsur yang terpenting, sedangkan unsur lainnya merupakan atribut (Art). Frase endosentrik yang apositif memiliki sifat yang berbeda dengan frase endosentrik koordinatif atau pun frase endosentrik atributif. Frasa endosentris apositif merupakan frasa yang berinti dua dan kedua inti itu tidak mempunyai referen yang sama, sehingga kedua inti tersebut tidak dapat dihubungkan oleh konektor (Ba’dulu 2005:59). Analisis terakhir yakni analisis kontrastif. Lahirnya istilah analisis kontrastif bermula dari sebuah buku yang ditulis oleh Robert Lado (1957) melalui Syurfah (2003:23) yang berjudul Linguistic Across Culture, buku ini berisikan penjelasan tentang cara-cara mengkontraskan dua bahasa yang dilakukan terhadap kosa kata, sistem tulisan, fonologi, serta struktur gramatik. Latar belakang Lado menulis buku tersebut dikarenakan adanya problem linguistik dalam pelajaran bahasa asing. Lado dalam studinya menyimpulkan bahwa elemen-elemen bahasa yang sama dengan bahasanya sendiri akan mudah dipelajari sedangkan elemenelemen bahasa yang berbeda akan sukar dipelajari. Perbedaan dan persamaan bahasa asal dan bahasa sasaran dapat diidentifikasikan dan diseleksi melalui analisis kontrastif.
12
Sementara Fisiak (1981:1) mengutarakan bahwa analisis kontrastif adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji perbandingan dua bahasa atau lebih atau subsistem bahasa-bahasa dengan tujuan menemukan perbedaan-perbedaan di antara bahasa-bahasa tersebut. Marsono (1993:20) berpendapat bukan hanya perbedaan-perbedaannya
akan
tetapi
persamaan-persamaannya
juga
akan
dijadikan objek untuk dibandingkan di antara bahasa yang dibandingkan. Ellis (via Tuan, 2004:16) berpendapat ada empat tahapan yang harus ditempuh dalam membandingkan dua bahasa pada kajian kontrastif, yakni: a. Tahap deskriptif yaitu pemilihan bahasa-bahasa yang dibandingkan. b. Tahap seleksi yaitu menyeleksi unsur-unsur tertentu yang akan dibandingkan. c. Tahap analisis yaitu mengidentifikasikan perbedaan dan persamaan di antara bahasa yang dibandingkan, dan d. Tahap prediksi yaitu memprediksikan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kesulitan-kesulitan dalam pembelajaran bahasa. Pada penelitian ini tahapan yang digunakan yakni tahap deskriptif pemilihan bahasa yang dibandingkan, tahap seleksi menyeleksi unsur yang akan dibandingkan, serta tahap analisis untuk menemukan persamaan maupun perbedaan bahasa yang dibandingkan. 1.7
Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan dalam melakukan dan
melaksanakan penelitian ini meliputi tiga tahap yakni metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian data.
13
1.7.1
Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa daftar kosa kata nama
peralatan rumah tangga berbahan bambu dan tembikar yang diperoleh dengan metode wawancara kepada para pedagang peralatan rumah tangga berbahan bambu dan tembikar. Peneliti mengumpulkan data nama-nama peralatan rumah tangga berbahan bambu dan tembikar dari para pedagang yang menjual peralatan rumah tangga berbahan bambu dan tembikar di pasar-pasar yang berada di wilayah Sleman dan Yogyakarta, seperti pasar Bringharjo, pasar Kranggan, pasar Kasongan, pasar Colombo, dan pasar Karangwaru. Data yang terkumpul dicatat dan diambil gambarnya. 1.7.2
Metode Analisis Data Setelah data yang diperoleh terkumpul semua, tahap selanjutnya yang
dilakukan peneliti adalah menyusun data nama-nama peralatan rumah tangga berbahan bambu dan tembikar dalam bentuk tabel, dan dikelompokan berdasarkan bahasa Jawa atau bahasa Sunda. Data kemudian dianalisis secara kontrastif guna menemukan persamaan maupun perbedaan pada nama peralatan rumah tangga berbahan bambu dan tembikar yang telah disusun. Metode yang digunakan adalah metode translasional yaitu memadankan bahasa Jawa dan Sunda. 1.7.3
Metode Penyajian Data Setelah data tersebut dianalisis, hasilnya disajikan dalam bentuk bab-bab
sebagai berikut. BAB 1 adalah Pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian.
14
BAB II Analisis Bentuk dan Makna Nama-Nama Peralatan Rumah Tangga Berbahan Bambu dan Tembikar dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Pada bab ini akan dibahas mengenai analisis bentuk dan makna nama-nama peralatan rumah tangga bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Nama peralatan tersebut dikelompokan kosa kata yang termasuk kata monomorfemis, kata polimorfemis dan frase. BAB III Analisis Kontrastif Nama-Nama Peralatan Rumah Tangga Berbahan Bambu dan Tembikar dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Pada bab ini dibahas mengenai analisis kontrastif nama-nama peralatan rumah tangga berbahan bambu dan tembikar dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. BAB IV Pada bagian akhir disajikan penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan kesimpulan dari seluruh uraian-uraian yang ada pada pembahasan serta saran penulis.