BAB I PENDAHULUAN 1 1.1
Pendahuluan Latar Belakang Mountaineering atau kegiatan alam bebas yang berlokasi di wilayah
pegunungan merupakan salah satu bentuk ekowisata yang digemari di Indonesia. Salah satu jenis mountaineering yang sering dilakukan adalah pendakian gunung (mountain hiking) karena banyaknya gunung yang tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia (Wibowo dkk., 2013; Dephut, 1990; GunungBagging, 2013). Tujuan para pendaki mengadakan pendakian gunung beragam, seperti olahraga, hobi, penelitian flora dan fauna, maupun pemulihan ekosistem hutan. Pendakian gunung bisa dilakukan secara solo, namun hal itu tidak dianjurkan bagi para pendaki pemula karena tingkat kesulitan dan kebutuhan kerja tim yang tinggi (Davidson, 2006; Weber, 2001; Holzen, 2011). Selain itu, pendakian berkelompok memungkinkan para pendaki untuk berbagi biaya transportasi, akomodasi, dan logistik, serta dapat memperluas jaringan pertemanan sesama pendaki gunung. Oleh karena itu, umumnya pendakian dilakukan secara berkelompok. Para pendaki yang tergabung dalam organisasi pendakian
gunung,
seperti
organisasi
siswa/mahasiswa
pencinta
alam
(sispala/mapala) dan organisasi pendaki gunung lainnya (wanadri, kelompok pencinta alam/KPA, kelompok pendaki perkantoran, dsb) lebih mudah mencari teman pendakian dibandingkan para pendaki yang tidak tergabung dalam organisasi. Saat ini, proses pembentukan kelompok para pendaki dilakukan dengan menghubungi organisasi yang ada atau memanfaatkan media sosial, seperti grup/forum diskusi facebook, twitter dan kaskus, namun proses pengelompokan melalui media sosial tersebut dirasakan kurang efektif dan efisien. Selain harus memisahkan data kelompok secara manual dan proses komunikasi yang panjang untuk menyamakan kriteria-kriteria teman satu kelompok, pendaki juga membutuhkan waktu pemrosesan yang cukup lama sampai terbentuknya sebuah kelompok pendakian. Permasalahan yang ada ini juga diketahui dari hasil survei
1
2
yang pernah dilakukan pada tahun 2012. Survei tersebut bertujuan untuk mengetahui permasalahan para pendaki dalam mencari teman pendakian. Berdasarkan 120 responden, 85% setuju bahwa program aplikasi yang dapat mengelompokan data pendaki secara otomatis sangat dibutuhkan. Hasil survei tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Oleh karena itu, penelitian yang diusulkan ini berupaya membangun sebuah program aplikasi yang dapat memudahkan dan mengurangi kompleksitas yang dihadapi oleh para pendaki ketika mencari kelompok pendakian. Pertamatama para pendaki yang memiliki gunung tujuan, rute dan tanggal pendakian yang sama akan dikelompokkan terlebih dahulu, lalu dari kelompok yang memiliki kesamaan tersebut akan dikelompokkan lagi berdasarkan kemiripan kriteria, seperti usia, jenis kelamin, bahasa, pengalaman dan peralatan. Keluaran dari sistem ini adalah sebuah kelompok pendakian dengan kemiripan kriteria para pendaki. Keberagaman ini sangat penting karena tidak semua pendaki memiliki pengalaman dan peralatan. Tidak semua pendaki juga memiliki bahasa, usia dan jenis kelamin yang sama. Melalui keberagaman tersebut, para pendaki dapat saling berbagi dan melengkapi. Metoda pengelompokan berdasarkan kriteria tersebut (klastering) akan menggunakan algoritma K-means. Algoritma K-means sangat popular karena kemudahan dalam penggunaan serta kemampuannya dalam mengklaster data dalam jumlah kecil maupun besar. Algoritma K-means akan menerima masukan sejumlah data (data set) pendaki dan jumlah klaster yang akan dibentuk (K). Sebagai algoritma yang bersifat tanpa arahan (unsupervised), algoritma ini memiliki kemampuan untuk menentukan struktur klaster secara hakiki berdasarkan kesamaan atau perbedaannya (Cios dkk., 2007; Bramer, 2007). Keluaran dari proses klastering tersebut nantinya adalah terbentuknya klasterklaster yang memiliki kesamaan data. Meski demikian, algoritma K-means juga memiliki beberapa kekurangan, terutama dalam proses pengklasteran itu sendiri karena hanya dapat mengeksekusi satu baris data per satu waktu. Salah satu cara mengatasi kekurangan tersebut
3
adalah dengan menggunakan agen cerdas sebagai teknologi komunikasi yang memungkinkan terjadinya koordinasi antar-agen. Agen cerdas menurut Wooldridge dan Jennings (1995) memiliki kelebihan dalam hal kemampuannya yang otonomi, reaktif, proaktif dan mampu bersosialisasi, misalkan memiliki kemampuan reaktif dalam menangani tugas klastering dan mampu memberikan hasil ketika diminta; kemampuan proaktif membuat agen dapat meramalkan permintaan yang mungkin terjadi; sedangkan kemampuan bersosialisasi memungkinkan agen untuk saling bekomunikasi dan bernegosiasi satu sama lainnya, bertukar informasi, berbagi keahlian dan sumber daya. Menurut hasil penelitian Chaimontree dkk. (2011a), gabungan agen-agen tersebut akan membentuk multiagen yang dapat melakukan negosiasi antar-agen (intra-agent negotiation) sehingga mampu meningkatkan hasil klastering. Multiagen
yang akan dibangun terdiri dari agen user, agen klastering, agen
basisdata dan agen validasi. Keempat agen tersebut akan berkolaborasi menghasilkan klaster terbaik dalam 2 proses. Proses pertama menghasilkan susunan inisial klaster yang baru, sedangkan proses kedua akan melakukan validasi terhadap hasil yang diperoleh dari proses pertama. Metoda validasi dilakukan dengan menghitung nilai kepadatan antar-obyek dalam klaster (cohesion value) dan jarak pemisah antar-klaster (separation value), yaitu dengan menggunakan metrik Within Group Average Distance (WGAD) dan Between Group Average Distance (BGAD). Multiagen akan dimodelkan dengan menggunakan AUML (Agent Unified Modeling Language) yang sudah menjadi standar FIPA karena kemampuan komunikasinya yang sangat baik. Dua diagram yang dibuat sesuai dengan standar FIPA tersebut adalah sequence diagrams yang menggambarkan interaksi antaragen dan agent class diagrams yang menggambarkan detail agen dan arsitektur agen (Huget, 2004). Bahasa
FIPA
ACL
(Agent
Communication
Language)
akan
diimplementasikan dalam platform JADE karena JADE memungkinkan komunikasi antar platform dengan mengaplikasikan MTPs (Message Transport
4
Protocols) yang sudah ditetapkan oleh FIPA (Bellifemine dkk., 2007). Pengiriman pesan dalam komunikasi JADE bersifat asinkronisasi sehingga pengolahan data akan jauh lebih cepat dibandingkan tanpa agen, begitu pula dengan pemrosesan data yang akan diklaster dengan algoritma K-means. Data-data akan diproses sekaligus secara multithread. Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas hasil klastering dan dapat diterapkan dalam dunia pendakian secara nyata, serta dapat diimplementasikan pada kasus pengklasteran serupa.
1.2
Perumusan Masalah Masalah yang akan diselesaikan dalam penelitian ini, yaitu:
1.
Bagaimana cara mengklaster para pendaki berdasarkan kriteria-kriteria tertentu?
2.
Bagaimana membangun model multiagen menggunakan algoritma K-means untuk pengelompokan para pendaki?
3.
1.3
Bagaimana memvalidasi model agen dan hasil klastering yang diperoleh?
Batasan Masalah Batasan masalah sebagai fokus penelitian, yaitu:
1.
Sistem multiagen yang dibangun akan melakukan tugas klastering (Multiagent Based Clustering) dengan mengimplementasikan 4 agen dalam platform Jade dan bahasa FIPA ACL.
2.
Perhitungan jarak dalam K-means menggunakan euclidean distances.
3.
Perancangan sistem menggunakan pemodelan yang disediakan oleh AUML.
4.
Metrik evaluasi yang digunakan adalah WGAD dan BGAD.
5.
Ujicoba data yang digunakan sebanyak 10, 100 dan 200 data.
6.
Database yang digunakan terpusat/tidak tersebar.
7.
Implementasi antarmuka menggunakan JSP dan Servlets
5
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
1.
Memperoleh hasil pengklasteran berdasarkan kriteria-kriteria tertentu dari para pendaki.
2.
Memperoleh
pemodelan
agen
yang
dibutuhkan
untuk
melakukan
pengklasteran para pendaki dengan mengimplementasikan algoritma Kmeans. 3.
Mengetahui kualitas hasil pengklasteran dengan menghitung nilai kepadatan antar-obyek dalam klaster dengan metrik WGAD dan jarak pemisah antarklaster dengan metrik BGAD.
1.5
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah memperoleh aplikasi pengklasteran data para
pendaki berdasarkan tujuan dengan pendekatan sistem multiagen sehingga memudahkan para pendaki individu untuk mendapatkan teman perjalanan dengan lingkaran pertemanan yang baru. Bagi peneliti di bidang intelligent software agent, penggunaan multiagen dapat memperbaiki hasil yang diperoleh dari algoritma klastering K-means biasa, sehingga penelitian ini dapat menjadi acuan pustaka pada penerapan kasus pengklasteran yang serupa.
1.6
Metodologi Penelitian Beberapa tahap dilakukan sehingga penelitian berlangsung dengan baik.
Tahapan-tahapan tersebut diantaranya adalah: 1.
Studi kepustakaan dengan mengumpulkan berbagai macam bahan referensi, seperti jurnal penelitian, tesis, disertasi, buku-buku teori dan sumber-sumber lain termasuk informasi yang diperoleh dari internet sebagai sumber data sekunder dan informasi yang berkenaan dengan teknologi agen cerdas, metodologi AUML, platform JADE, algoritma K-means, dan pendakian gunung.
6
2.
Survei terhadap 120 responden (para pendaki) untuk mengetahui apakah aplikasi pengklasteran yang akan dibuat nantinya dapat bermanfaat dan menjawab kebutuhan para pendaki.
3.
Merancang sistem dengan metodologi pengembangan perangkat lunak berorientasi agen atau Agents Oriented Software Engineering (AOSE), yaitu memodelkan agen-agen dengan AUML.
4.
Implementasi agen dengan menggunakan bahasa pemrograman/platform JADE dan bahasa FIPA ACL, sedangkan implementasi antarmuka menggunakan Java (JSP dan Servlets).
5.
Tahapan pengujian yang dilakukan, yaitu pengujian terhadap agen dan efektivitas hasil pengklasteran.
1.7
Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini terdiri atas tujuh bab. Bab pertama berisi pendahuluan
yang membahas latar belakang, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua memuat studi pustaka dari penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan sistem multiagen dan algoritma klastering. Sejumlah literatur dan publikasi ilmiah yang berhasil dikumpulkan tersebut dibahas untuk menunjukkan kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan pemodelan agen yang dibuat untuk kasus pengklasteran pendaki yang dibangun dalam penelitian ini. Bab ketiga berupa landasan teori yang mencakupi teori agen cerdas dan sistem multiagen, behaviour agen-agen, bahasa komunikasi agen FIPA ACL, JADE Gateway, teknik negosiasi dalam agen, algoritma K-means, algoritma klastering berbasis multiagen, AUML, teori ekowisata dan pendakian gunung. Bab keempat berisi hasil analisis dan rancangan sistem yang terdiri dari lima bagian, yaitu analisis kebutuhan, deskripsi sistem secara umum, analisis dan rancangan agen berdasarkan metodologi AUML, rancangan basisdata, dan rancangan antarmuka pengguna.
7
Bab kelima memuat implementasi agen menggunakan JADE yang dibuat berdasarkan hasil rancangan pada bab sebelumnya dan implementasi antarmuka dengan JSP dan Servlets. Bab keenam adalah hasil akhir dari sistem yang dibangun, disertai pembahasan dan pengujian. Bab ketujuh berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran penelitian di masa mendatang.