BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Dalam satu dasawarsa terakhir, HIV/AIDS telah menjadi pandemi1) yang
menyerang jutaan penduduk di dunia dari semua jenis kelamin dan kelompok umur. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat sekitar 30-40 juta orang yang terinfeksi virus HIV, sementara sebanyak 12-18 juta orang menderita penyakit yang gejalanya menunjukkan gejala-gejala penyakit AIDS. Pada sisi lain diperkirakan laju infeksi (infection rate) pada perempuan akan jauh lebih cepat dibandingkan dengan laki-laki. Apabila dilihat dari persebaran penderita infeksi HIV/AIDS, 90 persen penderita terdapat di negara berkembang, terutama di Asia (Wasisto (1994) dalam Saad, 2004). WHO melaporkan bahwa jumlah penderita AIDS di seluruh dunia tahun 1992 telah melebihi 350.000 dan pengidap HIV positif berjumlah 9,5 juta orang. Pada akhir 1994 GPA-WHO memperkirakan secara kumulatif sudah terdapat 20 juta orang yang terinfeksi HIV dengan 4,5 juta kasus AIDS dan sejumlah 2,5 juta kasus baru (Nugroho, 1995). Di Indonesia, penyebaran HIV/AIDS terjadi sangat cepat dibanding negaranegara Asia Tenggara lainnya. Bahkan hasil penelitian M. Linnan (1994) menunjukkan bahwa epidemi AIDS di Indonesia sudah pada fase eksponensial dengan pertambahan yang sangat cepat (Pusdiknakes, 1997). Menurut Laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI, pada tahun 2005 terdapat 859 pengidap HIV dan 255 pengidap AIDS terlapor sejak tahun 1987. Dalam kurun waktu 6 (enam) tahun berikutnya, yaitu tahun 2011, jumlah pengidap AIDS
1)
Pandemi adalah epidemi penyakit menular yang menyebar melalui populasi manusia di kawasan yang luas. Berbeda dengan endemi yang artinya penyakit yang umum terjadi pada laju konstan namun cukup tinggi pada suatu populasi dan hanya berlangsung dalam populasi tersebut serta tidak dipengaruhi oleh faktor di luar populasi tersebut.
1
telah mencapai 26.483 orang (grafik 1.1). Diperkirakan jumlah pengidap HIV dan AIDS yang sebenarnya lebih banyak dari data yang terlapor. Hal ini dikarenakan masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS dan kesadaran masyarakat untuk melakukan tes HIV masih sangat rendah.
Jumlah Kasus
(Tahun) Kumulatif Kasus AIDS
Jumlah Kasus Baru AIDS
Gambar 1.1 Jumlah Kasus Baru AIDS dan Kumulatif Kasus AIDS Menurut Tahun di Indonesia Sumber: Laporan Surveilans HIV/AIDS Kemenkes RI Tahun 2011 2)
2)
Surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistemik dan terus-menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk mengambil tindakan (WHO dalam Kemenkes RI, 2003). Yang dimaksud dengan Laporan Surveilans AIDS ialah laporan yang menyajikan data AIDS secara sistemik, laporan ini ditujukan dalam rangka analisis scara berkelanjutan dan sistematis terhadap AIDS dan faktor risiko AIDS untuk mendukung upaya pemberantasan AIDS. Laporan ini dilaksanakan setiap tiga bulan (triwulan) dimulai dari awal tahun dan dibuat rekapitulasinya setiap akhir tahun, sehingga terdapat Laporan Surveilans HIV/AIDS Triwulan I, II, III dan Laporan Surveilans HIV/AIDS Tahunan.
2
Menurut data BPS, semua provinsi di Indonesia terjangkit HIV, terkecuali Provinsi Sulawesi Barat. Hingga saat ini hanya Provinsi Sulawesi Barat yang belum melaporkan adanya kasus HIV maupun AIDS. Namun meskipun tidak ada laporan HIV/AIDS dari Provinsi Sulawesi Barat, tidak tertutup kemungkinan bahwa di provinsi tersebut pun terdapat penderita HIV yang tidak terdeteksi. Karena untuk mengumpulkan data penderita HIV sangat sulit. Apalagi mengingat bahwa tes HIV dilakukan dengan sukarela tanpa boleh ada paksaan dari pihak manapun. Selain itu penyakit ini tidak menunjukkan gejala yang jelas sehingga seseorang sangat mungkin untuk tidak tahu bahwa dirinya menderita HIV meskipun virus HIV telah bercokol pada tubuhnya. Ini sebabnya, pada kasus HIV/AIDS berlaku teori gunung es, jumlah penderita HIV yang sebenarnya jauh lebih banyak daripada data yang tercatat. HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang mendapatkan perhatian secara internasional dan termasuk dalam salah satu dari 8 (delapan) tujuan MDGs. Adapun 8 (delapan) tujuan MDGs yang diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 adalah: (1). Memberantas kemiskinan dan kelaparan, (2). Mewujudkan pendidikan dasar, (3). Meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4). Mengurangi AKB (Angka Kematian Bayi), (5). Meningkatkan kesehatan ibu, (6). Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, (7). Pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, dan (8). Mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan. Namun memerangi HIV/AIDS merupakan tujuan MDGs yang tidak akan tercapai pada tahun 2015. Hal ini dikarenakan jumlah kasus AIDS yang terus bertambah. Sejak tahun 2004 terlapor ribuan kasus baru setiap tahun. Pertambahan kasus baru AIDS dan kumulatif kasus AIDS di Indonesia dapat dilihat pada grafik 1.1. Ketua Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Sugiri Syarief, mengungkapkan bahwa epidemi HIV telah terjadi di Indonesia.
3
Bahkan menurutnya, Indonesia merupakan negara dengan penularan HIV tercepat di Asia Tenggara. Di beberapa provinsi di Indonesia sudah terjadi epidemi yang terkonsentrasi, di mana kelompok populasi yang beresiko terkena HIV mencapai lebih dari 5 (lima) persen (http://www.news.viva.com, 2011). Di Indonesia, seperti halnya negara lain di Asia, yaitu India dan Thailand, penyebaran HIV/AIDS memungkinkan untuk berkembang dengan cepat. Hal ini disebabkan oleh: 1. Industri seks yang berkembang cepat di daerah perkotaan, baik secara terselubung maupun terbuka, 2. Pemakaian kondom yang rendah, 3. Urbanisasi dan migrasi penduduk yang tinggi, 4. Perubahan perilaku seksual ke arah yang lebih bebas, 5. Praktik-praktik infeksi dan sterilisasi alat kedokteran yang tidak memenuhi syarat, 6. Meningkatnya industri pariwisata dan lalu lintas ke luar negeri yang bebas (Gunawan, 1995 dalam Isna, 2005). Situasi ekonomi, politik, dan sosial di Indonesia pada tahun-tahun terakhir yang tidak menentu telah berpengaruh terhadap meningkatnya penyebaran HIV/AIDS. Penyebaran HIV/AIDS ini disebabkan oleh antara lain tingginya tingkat migrasi pria, semakin merebaknya prostitusi, tingginya angka PMS dan tidak adanya pendidikan seks untuk remaja. Berkembangnya tempat hiburan, narkotika, dan obat-obatan terlarang disinyalir menjadi sarang berkembangnya HIV (Permatasari, 2007). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data BPS tahun 2011 yang termuat dalam buku Statistik Indonesia 2012. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana persebaran kasus AIDS di provinsi-provinsi di Indonesia dan bagaimana kondisi ekonomi provinsi-provinsi tersebut.
4
1.2
Perumusan Masalah HIV/AIDS saat ini telah menjadi masalah besar di Indonesia, tidak hanya
menimbulkan masalah kesehatan, namun juga telah menimbulkan masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Saat ini Indonesia dapat dikategorikan telah memasuki tahap lanjut dari epidemi AIDS, terbukti dengan ditemukannya kasus HIV/AIDS yang tinggi pada beberapa kelompok masyarakat tertentu, yaitu pengguna narkotika dan pekerja seks (Permatasari, 2007). Bahkan penyebaran HIV/AIDS di Indonesia dinilai merupakan penyebaran HIV/AIDS tercepat di antara negaranegara Asia Tenggara. Apalagi dengan jumlah penduduk yang besar, penyebaran AIDS di Indonesia berpotensi lebih cepat. Sedangkan HIV/AIDS menyebabkan beban biaya pengeluaran yang ditanggung ODHA dan keluarganya bertambah. Karena itu dukungan finansial termasuk dari pemerintah juga diperlukan untuk meringankan beban mereka. Persebaran kasus AIDS di Indonesia antara satu provinsi dengan provinsi lainnya tidak sama. Hal ini dapat disebabkan oleh karakteristik wilayah yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian, muncul pertanyaan: 1. Bagaimana gambaran kondisi ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2011? 2. Bagaimana persebaran kasus AIDS di provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2011?
1.3
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran kondisi ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2011. 2. Mengetahui persebaran kasus AIDS antarprovinsi di Indonesia tahun 2011.
1.4
Kegunaan Penelitian 1. Penelitian ini sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
5
2. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan tambahan mengenai kasus HIV/AIDS di Indonesia bagi masyarakat umum, peneliti, maupun pihak-pihak yang terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS.
1.5
Tinjauan Pustaka HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut “sel T-4” atau “sel T-penolong” (T-helper), atau disebut juga sel “CD-4”. HIV tergolong dalam kelompok retrovirus, yaitu kelompok virus yang mempunyai kemampuan untuk “mengkopi-cetak” materi genetik diri di dalam materi genetik sel-sel yang ditumpanginya. Melalui proses ini HIV dapat mematikan sel-sel T-4 (Pusdiknakes, 1997). Artinya jika seseorang terinfeksi virus HIV, virus tersebut akan mengkopi-cetak materi genetiknya ke dalam materi genetik sel-sel orang tersebut. Sedangkan AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndromme merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV (Pusdiknakes, 1997). Untuk mengetahui apakah seseorang terinfeksi HIV atau tidak, dilakukan tes HIV dan konseling yang disebut VCT (Voluntary Counseling and Testing). Tes ini berupa tes darah untuk memastikan ada-tidaknya antibodi HIV dalam sampel darah. Selain VCT, dapat juga dilakukan tes cepat, yaitu tes usapan selaput lendir mulut atau oraquick. Tes-tes HIV tersebut bersifat sukarela dan rahasia. HIV pertama kali ditemukan oleh Dr. Luc Montagnier dkk dari Institut Pasteur Prancis pada bulan Januari tahun 1983. Virus tersebut diisolasi dari kelenjar getah bening yang membengkak pada tubuh ODHA sehingga pada awalnya virus ini diberi nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Selanjutnya pada bulan Juli tahun 1984 Dr. Robert Gallo dari National Institute of Cancer (NIC) di Amerika Serikat juga menyatakan bahwa dia menemukan virus
6
baru dari seorang ODHA dengan memberikan nama Human T-Lymphonic Virus type III (HTLV III). Seorang ilmuwan bernama J.Levy juga menemukan virus penyebab AIDS yang diberi nama AIDS Related Virus (ARV). Akhirnya pada bulan Mei tahun 1986 Komisi Taksonomi Internasional sepakat untuk menyebut nama virus penyebab AIDS ini Human Immunodeficiency Virus (HIV). Hingga saat ini belum diketahui secara pasti dari mana dan kapan tepatnya HIV atau AIDS muncul. Para ilmuwan memperkirakan HIV sudah berkembang dan meluas di wilayah sub sahara Afrika pada akhir tahun 1970-an. Perkiraan tersebut didasarkan pada catatan kasus-kasus penyakit yang ada di rumah sakit di beberapa negara Afrika pada saat itu. Dan hal ini diperkuat oleh data beberapa sampel darah yang mengandung HIV pada tahun 1950-an. Sampel darah tertua yang mengandung HIV di Amerika adalah darah yang disimpan tahun 1969, sedangkan penemuan kasus AIDS pertama di Amerika adalah pada tahun 1981. Artinya virus HIV telah masuk di Amerika sejak lama sebelum ditemukannya kasus AIDS. Sedangkan sampel darah tertua yang mengandung HIV di Afrika adalah darah yang disimpan tahun 1959. Karena itu, banyak orang yang mengatakan bahwa HIV berasal dari Afrika kemudian menyebar ke Amerika serta Eropa dan selanjutnya menyebar ke wilayah-wilayah lain. Diperkirakan kasus HIV dan AIDS terdapat pada 20 negara dan berjumlah sekitar 100.000 kasus pada tahun 1981. Namun pada akhir 1998 diperkirakan 33,4 juta orang dewasa dan anak-anak telah terinfeksi HIV/AIDS. Artinya, dalam kurun waktu 17 tahun kasus HIV/AIDS meningkat menjadi 330 kali lipat. Kasus HIV/AIDS ini jika kemudian berkembang di benua Asia maka akan menjadi ancaman besar bagi benua Asia. Hal ini dikarenakan benua Asia memiliki jumlah penduduk yang besar, sekitar 60% penduduk dunia berada di Asia. Dan Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk terbanyak ketiga di benua Asia dan terbanyak keempat di dunia (World Bank, 2010). Kasus AIDS pertama kali terdengar di Indonesia pada tahun 1983 saat sebuah berita menyebutkan adanya 3 (tiga) kasus AIDS di Jakarta. Namun secara resmi kasus AIDS yang dilaporkan pada tahun 1987. Kasus ini terjadi pada seorang turis asal Belanda yang saat itu sedang berada di Bali. Pada tahun tersebut
7
tercatat 2 (dua) kasus AIDS dan 4 (empat) kasus HIV. Sementara itu menurut World Health Organization (WHO), banyak negara yang belum melakukan tes HIV secara merata, termasuk Indonesia, dikarenakan tidak banyak orang yang bersedia secara sukarela melakukan tes HIV. Karenanya penemuan 1 (satu) kasus HIV/AIDS sebenarnya setara dengan 100 kasus yang tidak terdeteksi (Singarimbun (1997) dalam Isna, 2005). Inilah yang dikenal sebagai fenomena gunung es dalam kasus HIV/AIDS. Bagian es yang muncul hanyalah sebagian kecil yaitu puncak-puncak dari gunung es saja, sedangkan sebagian besar gunung es tidak terlihat dari permukaan melainkan berada di kedalaman. Sama dengan kasus HIV dan AIDS yang hanya muncul sebagian kecil saja dari keseluruhan jumlah kasus HIV dan AIDS yang sesungguhnya ada dalam masyarakat. Infeksi HIV tidak ditularkan melalui kontak sosial (berpelukan, berjabat tangan, memakai alat makan, pakaian atau handuk, menggunakan kamar mandi yang sama, dan kontak sosial lainnya), batuk, ciuman, atau gigitan nyamuk (KPAN (2005) dalam Astuti, 2007). Namun
HIV dapat menular melalui 4
(empat) jalur, yaitu: 1. Hubungan seksual dengan seseorang yang sudah terinfeksi HIV, 2. Transfusi darah yang mengandung HIV, 3. Pemakaian jarum suntik atau alat-alat semacamnya yang telah terkontaminasi virus HIV, dan 4. Penularan dari ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada janin yang dikandungnya atau dari ibu kepada bayi yang disusuinya (Pusdiknakes, 1997). Hubungan seksual yang paling berisiko menularkan HIV adalah hubungan seksual secara anal (lewat dubur). Hal ini dikarenakan epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih mudah terluka dibanding epitel mukosa vagina. Akibatnya virus HIV lebih mudah masuk ke dalam aliran darah. Sedangkan dalam hubungan seks vaginal, perempuan memiliki risiko tertular HIV lebih besar daripada laki-laki. Penyebabnya, selaput lendir vagina cukup rapuh. Selain itu laki-laki yang terinfeksi HIV lebih mudah menularkan HIV terhadap pasangan seks perempuan pada saat berhubungan seks vaginal tanpa kondom karena cairan sperma akan
8
menetap cukup lama di dalam vagina sehingga kesempatan HIV yang terdapat dalam air mani memiliki kesempatan untuk masuk ke aliran darah perempuan tersebut. Namun virus HIV hanya dapat menular jika mencapai jumlah tertentu. Apabila mencapai jumlah tersebut, virus HIV ini dapat ditemukan dalam darah, air mani, dan cairan vagina seorang pengidap HIV. Artinya seseorang yang terinfeksi virus HIV dalam jumlah sedikit maka virus HIV tidak dapat terdeteksi dalam darah, air mani, atau cairan vaginanya dan orang tersebut tidak dapat menularkan virus tersebut kepada orang lain. Hingga saat ini tidak pernah dilaporkan adanya kasus penularan HIV melalui air mata, keringat, air liur, dan air kencing. Sedangkan pada perempuan pengidap HIV, HIV yang terdapat pada cairan vagina dapat masuk ke dalam aliran darah pasangan seks laki-lakinya melalui saluran kencing laki-laki tersebut. Selain itu, diperlukan kondisi tertentu untuk penularan HIV, yaitu HIV harus masuk langsung ke dalam aliran darah. Virus HIV ini juga sangat rapuh dan cepat mati jika berada di luar tubuh manusia karena virus ini sensitif terhadap panas dan tidak kuat hidup pada lingkungan dengan suhu lebih dari 60 derajat Celcius. Dengan demikian, penularan HIV dapat terjadi apabila: 1. Virus HIV langsung masuk ke dalam aliran darah seseorang, 2. Virus HIV tidak berada pada lingkungan dengan suhu lebih dari 60 derajat Celcius, 3. HIV pada pengidap memiliki jumlah yang cukup untuk menginfeksi orang lain. Penularan melalui transfusi darah dapat dikarenakan peralatan transfusi yang terkontaminasi HIV atau darah pendonor memang terinfeksi HIV. Dalam hal ini dapat dipastikan bahwa penerima donor darah tersebut tertular HIV. Penggunaan jarum suntik atau peralatan semacamnya yang terkontaminasi virus HIV juga dapat dipastikan menularkan virus HIV karena virus HIV dapat langsung masuk ke dalam aliran darah. Namun dalam kasus ibu hamil yang terinfeksi HIV masih ada kemungkinan untuk tidak terjadi penularan HIV pada
9
janin yang dikandungnya. Tes untuk mengetahui apakah terjadi penularan dapat dilakukan pada saat bayi telah dilahirkan dan berumur 15-18 bulan. Masa inkubasi infeksi HIV sangat tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing pengidap, rata-rata sekitar 5-10 tahun. Selama masa inkubasi ini, seorang pengidap HIV tidak menunjukkan gejala khusus, kondisi ini disebut asimptomatik atau tanpa gejala. Namun dalam kondisi asimptomatik jika jumlah virus HIV pada tubuh seorang pengidap HIV telah mencapai jumlah tertentu maka virus ini tetap dapat menular kepada orang lain. Pada orang dewasa, seseorang mulai menampakkan gejala-gejala AIDS 5-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada saat sistem imun tubuh sudah dalam kondisi rusak parah maka ia akan mulai menampakkan gejala-gejala AIDS. Infeksi HIV/AIDS ini dapat dibagi dalam empat tahap atau stadium, yaitu: 1. Stadium pertama: HIV Dimulai dengan masuknya HIV yang kemudian diikuti perubahan serologik, yaitu perubahan yang terjadi pada antibodi seseorang. Yang dimaksud perubahan serologik pada seorang pengidap HIV ialah berubahnya antibodi pada pengidap HIV yang ditunjukkan dengan hasil positif ketika dilakukan tes antibodi terhadap HIV, pada orang yang tidak terinfeksi HIV, hasil tes antibodi menunjukkan hasil negatif. Pada stadium pertama ada periode jendela atau window period yaitu rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh hingga pada waktu ketika tes antibodi terhadap HIV dilakukan pada pengidap HIV menunjukkan hasil menjadi positif (selama periode ini jika tes antibodi dilakukan maka menunjukkan hasil negatif karena jumlah HIV dalam tubuh seseorang belum cukup banyak untuk dideteksi). Periode jendela ini dapat berlangsung antara 1 (satu) hingga 3 (tiga) bulan bahkan ada yang berlangsung hingga 6 (enam) bulan. Dalam hal ini tes antibodi terhadap HIV memiliki kesimpulan yang berbeda dengan tes antibodi terhadap penyakit lainnya. Lazimnya apabila tes antibodi terhadap suatu penyakit mnunjukkan positif maka artinya tubuh telah memiliki zat anti untuk melawan penyakit tersebut. Namun dalam kasus HIV, tes antibodi yang
10
menunjukkan hasil positif mengindikasikan bahwa HIV telah masuk ke dalam tubuh seseorang. 2. Stadium kedua: Asimptomatik (tanpa gejala) Pada stadium ini seorang pengidap HIV tidak menunjukkan gejala sama sekali, namun telah dapat menularkan HIV melalui darah, air mani, atau cairan vaginanya. Kondisi ini dapat berlangsung skitar 5-10 tahun tergantung daya tahan tubuhnya. 3. Stadium ketiga: Pembesaran Kelenjar Limfa Pada stadium ini terjadi pembesaran kelenjar limfa secara permanen dan merata tidak hanya pada satu tempat. Kondisi ini dapat berlangsung lebih dari 1 (satu) bulan. 4. Stadium keempat: AIDS Pada stadium ini, seseorang disebut sebagai pengidap AIDS. Pengidap AIDS dapat dengan mudah terkena bermacam-macam penyakit karena konsentrasi sel T-4 dalam darahnya di bawah 200 per mikroliter (jumlah sel T-4 pada orang yang sehat umumnya berkisar antara 10002000 per mikroliter. Jika seseorang yang memiliki imun rendah terinfeksi HIV, maka pada saat jumlah sel T-4 pada tubuhnya di bawah 500 per mikroliter maka berbagai penyakit yang sebelumnya dapat diatasi oleh sistem imunnya akan lebih mudah berkembang cepat. Adapun gejala AIDS terbagi menjadi 2 (dua), yaitu gejala utama dan gejala minor. Gejala utama mencakup: a. Demam berkepanjangan lebih dari 3 (tiga) bulan, b. Diare kronis lebih dari 1 (satu) bulan, hal ini dapat terjadi secara berulang maupun terus menerus, c. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 (tiga) bulan. Sedangkan gejala minor mencakup: a. Batuk kronis selama lebih dari 1 (satu) bulan, b. Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur Candida albicans3), c. Pembengkakan kelenjar limfa yang permanen di seluruh tubuh,
11
d. Munculnya Herpes zoster 4) secara berulang, dan e. Bercak-bercak gatal di seluruh tubuh. Seorang pengidap AIDS biasanya mengalami 2 (dua) macam gejala utama serta 1 (satu) macam gejala minor. Ada beberapa kondisi yang dapat mempercepat seorang pengidap HIV menjadi pengidap AIDS, kondisi tersebut yaitu: 1. Semakin tua usia seorang pengidap HIV maka semakin cepat ia sampai ke stadium AIDS. 2. Bayi yang terinfeksi HIV lebih cepat mengalami stadium AIDS dibanding orang dewasa yang mengidap HIV. 3. Seorang pengidap HIV yang telah menunjukkan gejala minor pada waktu mulai tertular HIV akan mengalami stadium AIDS lebih cepat daripada pengidap HIV yang tidak menunjukkan gejala. Setiap orang yang terinfeksi HIV dipastikan cepat atau lambat akan mengalami AIDS. Selanjutnya pengidap AIDS tidak dapat bertahan hidup lama. Rata-rata mereka meninggal 3 (tiga) tahun setelah didiagnosa mengidap AIDS. Hingga 1996 HIV/AIDS dianggap penyakit mematikan yang tidak dapat disembuhkan. Namun pada tahun 1996 ditemukan obat-obatan untuk pengidap HIV/AIDS, obat-obatan ini disebut sebagai obat antriretroviral atau biasa disingkat menjadi ARV. Obat-obatan tersebut hingga sekarang masih terus dikembangkan. Penderita AIDS diterapi dengan kombinasi beberapa obat tersebut, umumnya dipakai 3 (tiga) macam obat atau lebih, yang disebut dengan terapi kombinasi. Akan tetapi pengkombinasian obat ini bervariasi, bisa jadi suatu kombinasi cocok dipakai seseorang tetapi tidak cocok dipakai oleh orang lain sehingga harus menggunakan kombinasi yang lain. 3)
4)
Candida albicans adalah jamur yang secara normal bermukim di rongga mulut, saluran pencernaan, dan vagina manusia. Selama sistem imun tubuh kita bekerja dengan baik, Candida albicans tidak akan menimbulkan gangguan. Namun pada saat sistem imun kita terganggu, menurun atau rusak, maka Candida albicans akan menimbulkan Candidiasis, yaitu penyakit jamur yang bersifat akut atau sub akut disebabkan oleh spesies Candida. Candidiasis dapat menyerang mukosa mulut (yang dikenal sebagai sariawan), vagina, kulit, kuku, bronki, atau paru-paru (kesehatan.kompasiana.com, 2010). Herpes Zoster sering disebut cacar ular atau cacar api, adalah penyakit pada kulit yang disebabkan oleh virus Varicella zoster. Penyakit ini ditandai dengan bintil-bintil kecil berwarna merah, berisi cairan, dan menggembung pada daerah sekitar kulit yang dilalui oleh virus tersebut. Penyakit ini cenderung menyerang orang lanjut usia dan penderita penyakit imun lemah seperti penderita AIDS (wikipedia.org, 2013).
12
HIV Medicine edisi 22 November 2012 juga memuat sebuah meta analisis yang lain yang menunjukkan bahwa orang yang memulai terapi antiretroviral (ART) ketika tingkat viral load di bawah 100.000 memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mencapai viral load yang tidak terdeteksi selama satu tahun pertama pengobatan. Para peneliti merekomendasikan penggunaan obat antiretroviral ini karena terapi ARV dianggap menurunkan angka kematian dan kesakitan, dan meningkatkan kualitas hidup ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). WHO merekomendasikan pengobatan antiretroviral untuk perempuan dengan HIV setelah persalinan. ARV hendaknya tetap digunakan pasca persalinan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke janin pada kehamilan yang selanjutnya. ART juga bermanfaat untuk mencegah penularan HIV secara seksual pada pasangannya. Apabila pemakaian ART ini sempat terhenti kemudian digunakan lagi maka harus dengan metode yang benar, jika tidak maka justru akan timbul resistensi tubuh terhadap obat tersebut. Di Indonesia, lebih dari 9.000 ODHA pernah mulai terapi antiretroviral pada Juni 2007, dengan obat yang disediakan dengan subsidi penuh oleh pemerintah melalui Departemen Kesehatan. Pada awal obat tersedia di 25 rumah sakit di 17 kota, tetapi jumlah rumah sakit rujukan AIDS itu sudah ditambah menjadi lebih dari 237 di 33 provinsi. Saat ini, 5 (lima) jenis obat dari dua golongan antiretroviral tersedia sebagai rejimen lini pertama, sementara ada 3 (tiga) jenis obat lagi tersedia sebagai rejimen lini kedua, untuk mereka yang mengalami kegagalan pada rejimen lini pertama. Walau begitu, lebih dari 2.000 Odha sudah meninggal dunia setelah mulai ART, dan lebih dari 1.200 ODHA lain kehilangan atau berhenti penggunaannya (http://spiritia.co.id, 2013). Bersumber dari
healthkompas.com,
pemerintah
Indonesia
telah
menyediakan
obat
antiretroviral dengan subsidi sejak tahun 2005. Pemerintah tahun 2012 menyediakan anggaran sekitar Rp 180 miliar untuk penanggulangan AIDS di Indonesia, termasuk untuk pengadaan obat ARV. Pada tahun 2001 harga obat antiretroviral di Indonesia berkisar jutaan rupiah untuk konsumsi obat tersebut per bulan, yang menyebabkan bertambahnya beban pengeluaran keluarga ODHA, namun kemudian pemerintah membatalkan
13
hak paten obat antiretroviral di Indonesia dan memilih untuk memproduksi obat generik di dalam negeri. Sehingga harga obat ARV paten yang mencapai sekitar 1.000 dolar AS setiap bulan dapat diproduksi dalam bentuk generik dengan harga sekitar Rp 400.000 sebulan, yang diproduksi oleh salah satu pabrik obat terkemuka di Indonesia. Obat tersebut sampai sekarang digunakan oleh sekitar 23.000 orang di negeri kita. Jumlah tersebut sedikit dibanding jumlah pengidap HIV terlapor di Indonesia hingga Desember 2012 telah mencapai 98.390 orang. Hingga akhir tahun 2009 diperkirakan terdapat 186.257 ODHA di Indonesia berumur 15--49 tahun dan pada tahun 2014 diperkirakan Indonesia akan memiliki hampir 3 (tiga) kali jumlah ODHA yaitu sebanyak 541.700 orang. Meskipun
obat-obatan
ARV
belum mampu menyembuhkan
HIV/AIDS karena obat ini hanya bersifat menekan jumlah HIV dalam aliran darah seseorang, namun ARV mampu membuat kondisi kesehatan ODHA lebih baik. Sebagian ODHA memilih untuk menjalani terapi ARV, namun sebagian ODHA lainnya memilih untuk tidak menjalani terapi ARV. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, pertama ketersediaan ARV di suatu wilayah, kedua masalah kemampuan finansial ODHA dan subsidi pemerintah, ketiga faktor psikis (kekhawatiran akan diskriminasi dalam masyarakat) yang membuat ODHA takut untuk mendaftarkan diri dalam perawatan dan pengobatan ODHA. Selain itu, meskipun pemerintah telah mensubsidi ARV bagi ODHA, namun menurut Suryanto (Laporan Pertemuan Nasional AIDS, 2011), biaya laboratorium, konsultasi kesehatan, dan biaya obat di luar HIV dibebankan kepada ODHA. Perawatan dan pengobatan ODHA selain meliputi terapi ARV juga termasuk penjagaan kualitas hidup ODHA, yaitu dengan melakukan pola hidup sehat. Pola hidup sehat meliputi pola makan atau nutrisi yang terjaga, terutama konsumsi zat-zat yang dapat meningkatkan sistem imun, pola hidup bersih (menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal ODHA), dan kehidupan seks yang sehat dan aman. Apabila kondisi kesehatan ODHA tak terjaga maka akan lebih banyak penyakit yang dapat menyerang ODHA. Itu sebabnya, beban biaya pengeluaran untuk perawatan dan pengobatan ODHA tidak sedikit. Apalagi jika
14
ODHA terserang penyakit-penyakit lain, maka beban biaya tersebut bertambah karena harus mengeluarkan biaya untuk perawatan penyakit yang menyerang ODHA. Semakin banyak penyakit yang menyerang ODHA, maka akan semakin bertambah beban biaya yang ditanggung ODHA dan keluarganya. Beban biaya ini akan bertambah berat dikarenakan ODHA tidak dapat memiliki produktivitas layaknya jika kondisinya sehat. Terlebih, ODHA di Indonesia didominasi oleh kelompok umur produktif. Kasus HIV/AIDS yang terjadi di Indonesia antara satu provinsi dengan provinsi lainnya tidak sama. Hal ini dikarenakan karakteristik wilayah yang berbeda-beda (penjelasan dalam bab IV Hasil dan Pembahasan). Kondisi sosial – budaya serta ekonomi dapat berpengaruh terhadap kasus AIDS yang terjadi. Untuk menilai kondisi ekonomi suatu wilayah dapat digunakan pedoman dari BPS. Keadaan ekonomi suatu provinsi dapat dilihat dari besarnya angka PDRB. Karena PDRB merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Produk Domestik Bruto (PDB) pada tingkat nasional serta Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat regional (provinsi) menggambarkan kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan output (nilai tambah) pada suatu waktu tertentu. Untuk menyusun PDB maupun PDRB digunakan dua pendekatan yaitu sektoral dan penggunaan. Keduanya menyajikan komposisi data nilai tambah yang dirinci menurut
sumber
kegiatan
ekonomi
(sektoral)
dan
menurut
komponen
penggunaannya (BPS, 2012). Produk Domestik Bruto maupun agregat turunannya disajikan dalam 2 (dua) versi penilaian, yaitu atas dasar “harga berlaku” dan atas dasar “harga konstan”. Disebut sebagai harga berlaku karena seluruh agregat dinilai dengan menggunakan harga pada tahun berjalan, sedangkan harga konstan penilaiannya didasarkan kepada harga satu tahun dasar tertentu. Dalam publikasi di sini digunakan harga tahun 2000 sebagai dasar penilaian (BPS, 2012). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah/ wilayah dalam suatu
15
periode tertentu. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit kegiatan ekonomi dalam suatu daerah/ wilayah. Secara kuantitatif PDRB merupakan nilai barang dan jasa, oleh karena itu PDRB dihitung atas dasar harga berlaku (at current price) dan PDRB atas harga konstan (at constant price). PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat perubahan struktur ekonomi, sedangkan PDRB atas harga konstan digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi riil (BPS, 2007). Selanjutnya, PDRB disebut juga sebagai suatu neraca regional di mana muatannya dapat dipisahkan sebagai PDRB sektoral pada sisi kiri dan PDRB menurut penggunaan pada sisi kanan. Dari sisi pemanfaatannya, PDRB digunakan sebagai dasar penghitungan ramalan, berbagai macam rasio, dan ukuran disparitas regional. Kemampuan pengelolaan unit ekonomi yang tinggi di suatu daerah/wilayah akan berdampak pada kemakmuran masyarakat di wilayahnya, oleh karena itu angka PDRB juga digunakan sebagai alat pembanding tingkat kemakmuran antardaerah/wilayah (BPS, 2007). Dalam pengertian lain, data PDRB menggambarkan kemampuan suatu daerah/wilayah dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Oleh karena itu, nilai PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing daerah/wilayah sangat tergantung pada potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi (faktor produksi) di daerah/wilayah tersebut. Kondisi terbatasnya sumber daya alam dan penyediaan faktor-faktor produksi tersebut menyebabkan besaran PDRB bervariasi antardaerah/wilayah (BPS, 2007). Kebijakan ekonomi, biasanya disusun dengan menggunakan berbagai macam indikator makro seperti PDRB, Inflasi, Investasi, Ekspor-Impor dan lainlain yang sesuai dengan sifatnya ditujukan untuk memberikan “warning” (BPS, 2007). Menurut BPS (2007), PDRB per kapita dapat digunakan sebagai salah satu indikator tingkat kemakmuran penduduk suatu daerah/wilayah. PDRB per kapita diperoleh dari hasil bagi antara nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh sektor ekonomi di suatu wilayah (PDRB) dengan jumlah penduduk.
16
Perkembangan PDRB atas dasar harga berlaku dari tahun ke tahun menggambarkan perkembangan yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam volume produksi barang dan jasa yang dihasilkan dan perubahan dalam tingkat harganya. Sedangkan untuk dapat mengukur perubahan volume produksi atau perkembangan produktivitas secara nyata, faktor pengaruh atas perubahan harga perlu dihilangkan dengan cara menghitung PDRB atas dasar harga konstan. Penghitungan PDRB atas dasar harga konstan ini berguna dalam perencanaan ekonomi, proyeksi, dan untuk menilai pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral. Produk riil per kapita biasanya juga dipakai sebagai indikator untuk menggambarkan perubahan tingkat kemakmuran ekonomi dari tahun ke tahun. Secara konsep, nilai atas dasar harga konstan dapat juga mencerminkan kuantum produksi pada tahun yang berjalan yang dinilai atas dasar harga pada tahun dasar. Dari segi metode statistik, suatu nilai atas dasar harga konstan dapat diperoleh dengan cara: (a). Revaluasi atas kuantum pada tahun berjalan dengan harga tahun dasar. Cara ini adalah dengan mengalikan kuantum pada tahun berjalan dengan harga tahun dasar. Hasilnya adalah nilai atas dasar harga konstan. (b). Ekstrapolasi atas nilai tahun dasar dengan suatu indeks kuantum. Cara ini mengalikan nilai tahun dasar dengan suatu indeks kuantum dibagi 100. (c). Deflasi atas suatu nilai pada tahun berjalan dengan suatu indeks harga. Cara ini adalah membagi nilai tahun berjalan dengan suatu indeks harga dibagi 100 (BPS, 2008). Nilai PDRB per kapita diperoleh dari nilai PDRB dibagi dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun hasil Sensus Penduduk tahun 2010 dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2005 beserta proyeksinya.
17
1.6 Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang HIV/AIDS yang memiliki korelasi dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Penelitian Prof. Dr. dr. Alimin Maidin, M.PH tahun 2011 yang berjudul Kerugian Ekonomi Akibat HIV-AIDS dan Rokok. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengidap HIV/AIDS tidak hanya mengalami kerugian dalam hal kesehatan tubuh, namun mereka juga mengalami kerugian ekonomi karena biaya perawatan dan pengobatan yang mahal, selain biaya terapi ARV mereka juga harus mengeluarkan biaya perwatan dan pengobatan untuk penyakit-penyakit penerta (penyakitpenyakit yang menyerang mereka akibat rusaknya sistem imun tubuh). Kerugian ekonomi ini dikarenakan beban biaya tersebut langsung ditanggung
oleh
pengidap
HIV/AIDS
dan
keluarganya.
Kerugian ekonomi lainnya ialah menurunnya produktivitas kerja dan meningkatnya angka kematian usia produktif akibat AIDS, karena pengidap AIDS didominasi oleh kelompok usia produktif. Hasilnya keluarga dan masyarakat miskin menjadi lebih miskin akibat penderitaan yang timbul akibat HIV/AIDS. 2. Penelitian Pramadita Rulianthina tahun 2008 yang berjudul Strategi Adaptasi Psikososial dan Ekonomi pada Keluarga ODHA Karena Penggunaan Narkoba dengan Jarum Suntik. Hasil penelitian ini di antaranya bahwa masalah ekonomi kerap terjadi dalam keluarga ODHA. Hal ini dikarenakan sebagian besar di antaranya merupakan keluarga miskin dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah, di mana keluarga-keluarga tersebut sering mengalami kesulitan dalam hal biaya pengobatan maupun perawatan ODHA.
18
1.7
Kerangka Pemikiran
Masalah Sosial Ekonomi
Penggunaan Narkoba Suntik
Prostitusi
Penularan HIV
Melalui jarum suntik yang tidak steril
Melalui hubungan seksual
Dari ibu hamil kepada janinnya, atau melalui ASI (air susu ibu)
Pertambahan Kasus HIV/AIDS
Masalah Sosial
Timbul Masalah Baru Bagi ODHA
Masalah Ekonomi
Diskriminasi Sosial
Produktivitas/ Penghasilan Menurun
Beban biaya kesehatan meningkat
Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran
19
Masalah sosial ekonomi dapat mengakibatkan seseorang terjebak dalam penggunaan narkoba dan pelacuran. Seseorang yang depresi dan mengalami masalah sosial apabila menemukan komunitas pengguna narkoba maka dapat ikut terjerumus dan ikut menggunakan narkoba suntik. Sedangkan masalah kekurangan finansial akan dapat menjerumuskan seseorang dalam prostitusi. Sedangkan penggunaan narkoba suntik dan prostitusi merupakan perilaku berisiko tinggi untuk tertular HIV, yaitu melalui jarum suntik yang telah terkontaminasi HIV, melalui cairan vagina atau air mani, dan dari seorang ibu yang terinfeksi HIV menularkan HIV kepada janin yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya. Hal ini berdampak pada bertambahnya kasus HIV dan nantinya akan menambah kasus AIDS. Selanjutnya ODHA akan memiliki masalah baru, yaitu masalah sosial dan ekonomi akibat statusnya sebagai pengidap HIV dan beban biaya kesehatan yang harus ditanggungnya serta produktivitasnya yang menurun.
1.8
Batasan Istilah
(1).
Pengidap HIV ialah seseorang yang telah terinfeksi HIV.
(2).
Pengidap AIDS ialah pengidap HIV yang telah sampai pada stadium AIDS, di mana sistem imun tubuhnya bebar-benar telah rusak.
(3).
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) meliputi pengidap HIV dan pengidap AIDS.
(4).
Perilaku Berisiko Tinggi adalah perilaku yang dapat menyebabkan penularan HIV.
(5).
Rate Kumulatif Kasus AIDS adalah angka yang menunjukkan jumlah kumulatif kasus AIDS dibagi jumlah penduduk dikali 100.000 (BPS, 2012). Rate Kumulatif Kasus AIDS menunjukkan banyaknya kasus AIDS yang terjadi per 100.000 penduduk di suatu wilayah.
20