1
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang. Dalam banyak masyarakat, kepercayaan terfwdap mitos dan berbagai tabu masih tampak menggejala, hal iiu wajar karena hampir semua suku bangsa mengenal apa yang di sebut mitobgi, Namun anehnya , mengenai kebenaran tentang suatu mitologi (baca: mitos) itu sampai kini masih sulit di buktikan kebenarannya. Kendatipim mitos itu sulit dibuktikan kebenarannya, tetapi hingga kini nasih banyak anggota masyarakat tetap memiliki keyakirum yang sangat kuat akan kebenarannya itu, terlebih dalam masyarakat tradisional, maka wajarlah bila dalam masyarakat yang demikian itu masih ttunbuh subur sebagai mitos dan tabu dalam berbagai praktek kehidupan, Kendatipun demikian, haruslah diakui bahwa mitos dan tabu itu tidak hanya ada dadam kultur masycuakat tradisioneil (pedesaan) saja, kenyataan memmjukan masih banyak orang yang mengaku dirinya modem dan berpendidiksm mzisih juga menyakini akan adanya kebenaran dari suatu mitos. Selanjutnya bila kita membiceuakan mitos, paling tidak mitos itu sendiri memiliki pengertian yaitu dongeng sua yang menganduug kepercayaan terliadap asal niula suatu kejadian, baik kejadian terhadap suatu tempat (biasanya juga disebut legenda), cerita-cerita tentang ntahluk Italus dan berbagai" pertanda " lain yang di berikan oleh alam, hexvan dan diri manusia itu sendiri^. Dari model mitos itu sendiri sebenamya dapat diketahui berbagai anggapan dan kepercayaan suku-suku bangsa itu, bahwa segala sesuatu itu ' Disarikan dari Djumhur, PengantarKe Arab Antrc^logi Budaya, Penerbit Dirgantara Bandung, 1977.
2 tidaklah teijadi dengan sendirinya melainkan ada unsvir-imsur sebab musababnya. Bahkan menurut Sharifah, terkadang ~ sebenamya mitos itu banyak juga yang sengaja — dibuat oleh pihak penguasa tempo dulu yang memiliki berbagai kepentingan tintuk tetap melanggengkan kekuasaannya sekaligus sebagai kontrol sosial terhadap warganya^. Selain itu, mitos juga terkadang berfungsi sebagai kearifan tradisonal (local wisdom) masyarakat. Sebagai contoh, tentang perilaku ibu heuxislah berbuat baik selama hamil dan harus menghindari perbuatan dan perkataan yang buruk. Hal iiu sebeniuitya intinya untuk memberikan contoh — dan diharapkan akan membawa dampak — pada calon si jabang bayi untuk senantiasa berbuat baik bila kelak dewasa. Selain juga ada makna lain, bahwa melahirkan itu membawa pada situasi resiko kematian ibu, maka wajarlah bila menjelang detik-detik itu si ibu harus seiumtisa berbuat kebaikan dan menghindari keburakan untuk antisipasi hal-hal yang paling biuxik3. Sementara itu, kepercavaan terhadap mitos tentang adanva mahluk halus, berbagai pertanda dalam siklus hidup manusia divakini juga dapat berakibat positif maupun negatif. Oleh karenanya, bila sesuatu terjadi dan kemudian diyakini pertanda itu akan dapat berakibat negatif, maka seorang itu wajib memberikan sesaji, upacara dan skmatan. Ritual semacam inilah yang seringkaH diyakini sebagian orang sebageii bentuk tolak bala oleh masyar2ikat. Upacara model seperti ini dalam budaya kejawen seringkaH di kenal dengan upacara ruwatan. ^ Lebih jelas lihat tulisan Sharifah Maznah Syed Omar, Myths and The Malay Ruling Class, Time Academic Press, Singapore, 1993 Achmad Hidir, Morbiditas Balita di Sungar Pagar Kabttpaten Kampar Riau. Pusat Penelitian Kependudukan, Untversitas Riau, 2000, hal 29 (belum diterbitkan).
3
Sisi Iain dari keyakinan masyarakat terhadap mitos itu yang nota bene selalu "dianggap sebagai kebenaran" dan mengandimg unsur keyakinan, kesucian, dan magis maka masyarakat seringkaH berupaya sedapat-dapatnya imtuk menghindari (berpantang) untuk hal-hal yang sekiranya akan berdampak negatif dan merugikan bagi dirinya, keluarganya maupun masyarakat secara umum. Untuk menghindari hal-hal yang sekiranya dapat menimbulkan kerugian itidah, maka seringkaH masyarakat menganggapnya sebagai suatu hal yang tabu imtuk melakukannya. Bentuk-bentuk tabu itu di dalam masyarakat seringkaH berkenaan dengan suatu tempat yang dianggap suci atau keramat, tabu terhadap makanan, dan juga perkataan dan perbuatan terhadap sesuatu hal yang justru bila melangamya akan berakjbat negatif bagi si pelakunya. Adalcih kenyataan ptda bahwa dcdam perjalanan kehidupem manusia sejak awal kejadiaimya hingga £ikhir hayatnya , manusia senantiasa mengalami berbagai cobaan hidup seperti mengalami rasa sakit, kegeHsahan, ketakutan, kegalauan dan lain sebagainya. Oleh karena adanya berbagai ragam rasa dan pengalaman seperti itu, manusia memerlukan wadal\ peUpur lara dan penyejuk jiwa. PeUpur lara dan penyejuk jiwa dapat diperoleh dari keyakinan reHgi yang mereka miUki*. Salah satu peristiwa dari rangkaian siklus hidup (Life circle) manusia, yang juga penuh dengan kegeHsahan, kecemasan, ketakutan dan juga penantian yang serba tidak pasti adalah proses kehamiian, melahirkan dan kematian. Maka untuk melalui rangkaian siklus hidup ini agar tidak terjadi sesuatu hal yang berakibat buruk manusia serigkaH melakukan berbagai upacara. Hertz " Agus Suprijono, Akik Dalam Kehidupan Masyarakat Akademik di Kota Surabaya. Tesis Program Pascasarjana Universitas Airiangga, SurabaN-a, 1988, hal 34.
4
menganggapnya sebagai bentuk upacara inisiasis Praktek kehamiian adalah saiah satu bentuk inisiasi, maka dari itu wajarlah bila dalam rangkaian kehamiian masyarakat itu jadi penuh dengan praktek ritual, sesaji dan pantangan-pantangan yang diyakini meisyarakat bila tidak dilaksanakan akan dapat berakibat buruk baik pada bayi yang akan di lahirkan dan juga bagi si ibimya sendiri. Maka dalam proses kehamiian ini seringkali muncul praktek ritual dan berbagai macam tabu dan larangan. Bentuk upacara-upacara seperti itu, menurut Van Gennep mungkin yang paling tua yang dilakukan dalam masyarakat dan kebudayaan manusia*. Maka tidaklah aneh bila dalam kehidupan manusia; yaitu dalam proses kehamiian banyeik sekali mitos dan tabu yang harus dijalani oleh sang ibu maupim suaminya. Padahal sebagaimana dinyatakan oleh Saptandari, bahwa bentuk-bentuk tabu bagi wanita hamil itu tidak selamanya kondusif bagi kesehatan, sebagai contoh; tabu vmtuk makan-makanan tertentu acapkali menyebabkan tmlnutrisi bagi diri si ibu maupun bayi yang dikandungnya. Berbagai tabu yang ada itu terkadang bila dicermati sebenamya merupakan rasionalisasi dari kondisi kemiskinan mereka". Sebab faktor kultur baik sosial, ekonomi, politik, dan proses budaya mempenganihi jenis pangan apa ymig dipilih orang; bagaimana mengolahnya; bagaimana cara mengkonsumsinya; kapan dan di mana mereka makan dan 73
' Hertz dalam Koentjaraningrat, Sejarah TeoriAntropologi, UI Press, Jakarta, 1982, hal
* Ibid, hal 75 ' Pinky Saptandari, Getukr dan Masalah Kesehatan Wanita, dalam Bagong Suyanto dan Emy Susanti Hendrarso (ed), Wanita: Dari Subordinasi dan Mca-ginalisasi Menuju Ke Pemberdayaan, Airiangga University Press, Surdwya. 1996 hal 95 Lihat juga Kartono Muhamad, Kontradiksi Dalam Kesehatan Reprodiiksi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998, hai 12.
5 sebagainya^. Maka jadi wajarlah bila banyak kaiun wanita tanpa rasional dan akal sehatnya beiuir-benar meyakini kebenaran mitos dan tabu itu. Apalagi dalam kultur wanita pedesaan yang nota bene mereka masih miskin dan berpendidikan rendah. Hasil penelitian Sianipar (1992) dan juga Simaitjuntak (2X)00) menemukan banyak kaum wanita yang masih benar-benar meyakini kebenaran pada hal-hal yang berbau klenik dan supranatural (perdukunan)^ Apakah ini juga merupakan suatu indikasi bahwa kaum wanita memang lebih percaya pada halhal yang bersifat tahayul dan berbau mitos?. Hal inilah yang perhi dikaji lebih jauh dalam berbagai penelitian. Namun diakui atau tidak, bukti-bukti menui^ukkan sebagaimana dilaporkan Yusuf (1992) dalam penelitianya tentang dukun bayi di daerah Aceh, ia melaporkan bahwa seringkali kaum wanita yang sedang hamil merasa terjadi kelainan terhadap kehamilanya, kelaiiian itu disebabkan paling tidak oleh dua hal: (1) karena kesibukanya, sehinga menyebabkan kelelahan, dan (2) berhubungan dengan kepercayaan dengan dimia gaib. Masih menurut Yusuf (1992) para wanita hamU itu kemudian imtuk menghindari dari pengaruh dunia gaib mereka melakukan perawatan preventif yang di tempuh oleh mereka melalui 2 cara pula, yaitu: (1) kenduri kehamilem, dan (2) meninggalkan pantangan tertentu'". Hal ini sejalan dengan komenteu' Kartini Kartono, yang Suhardjo, Sosiobudaya Gizi, Depdikbud. Ditjen E>ikti PAU Pangan dan Gizi IPB, 1989, hal 1.
T Sianipar, Peranan Dukun Dalam Masyarakat Bugis Makasar, dalam Alwisol, Sianipar dan Munawir Yusuf, Dukun, Mantra cktti Kepercayaan Masyarakat, Penerbit PT. Grafika Jaya, Jakarta, 1992. Lihat juga Harapan Simanjuntak dan Achmad Hidh", Wanita dan Perdukunan di Daerah Riau, Laporan Penelitian DP3 M Ditjen Dikti, Depdikbud, Jakarta, 2000. '° Munawir Yusuf, Duktm Bayi di Pedesaan Gayo, dalam AJwisol, Sianipar dan Munawir Yusuf,/A/J, 1992 hal 220
6 mei^elaskan juga, bahwa kehamiian mau tidak mau banyak diwamai oleh kepercayaan dan keyakinan tradisional daerah masing-masing. Namun elemen pokok yang umum adalah setiap waiuta hamil selalu merasa ketakutan dan percaya pada hal-hal taha5rul, Sedang bagi wanita terpelajar dalam kebudayaan modem, masih banyak juga yang mengalami ketakutan (dalam masa kehamilannya), yang bersumber dari rasa-rasa bersalah dan berdosa yang banyak bersemayam dalam alam ketidak sadaran mereka. Bahkan banyak juga wanita terpelajar yang biasanya sama sekali tidak percaya pada tahayul, justru setelah dirinya hamil lalu ikut-ikutan mengembangkanya". Berdasarkan uraian diatas dan beberapa temuan awal para peneliti terdahidu, maka atas dasar ittdah, paiulis ingin mengetahui apresiasi, prefensi dan resistensi apa yang menyebabkan bemyaknya kaum wanita meyakini mitos dan tabu dalam masa kehamiian. Sementara itu, hams diakui bahwa tulisan dan hasil penelitiem yang khusus mengambii topik berkaitan dengan mitos dan tabu hanxil dirasakan masih sedikit, kalaupun ada masih mempakan cuplikan dari berbagai hasil penelitian dan tulisan lain yang tidak benar-benar meu\fokuskan pada masalah yang dimaksud, sebutlah misalnya Sianipar (1992) Saptandari, (1996), Lola Wagner dan Yatim (1997), Hidir (2000), serta Simanjuntak (2000), Tulis-tulisan itu lebih memfokuskan pada seksuahtas, peran dukun bayi, kesehatan reproduksi, dan perdukunan. Penelitian-penelitian itu tidak benarbenar memfokuskan pada kajian mitos dan tabu pada masyarakat.
" Kartini Kartono, Psikologi Wanita: Wanita Sebagai Ibu dan Nenek, PT Alumni Bandung, 1986, hal 110-11}
7
2, Rumusan masaJah. Dari alasan pemilihan masalah dan latar belakaixg sebagaimana diuraikan di atas, nyatalah bahwa penelitian ini khusus mengkap masalah mitos dan tabu dalam masyarakat berkaitan dengan kehamiian wanita. Maka kajian utama dari pertanyaan penelitian, adalah: 1. Sejauhmana apresiasi kaum waiuta (ibu hamil) dalam memaknai mitos dan tabu hamil yang masih diyakini dan dipraktekkan masyarakat ?. Serta apa sebenamya makna kearifan tradisional (local wisdom) yang melat£u-belakangi motif mitos dan tabu itu terdpta dalam masyarakat Melayu ?. 2. Apakah ada perbedaan status sosial dalam bentuk preferensi dan resistensi pelaksancian kearifan lokal (bail wisdom) itu dikalangem wanita (ibu hamil) masyarakat Melayu ?. 3. Sejauhmana keyakinan mitos dan tabu itu kondusif tmtuk kesehatan ibu hamil ?. Dan bagaimana pula peran relasi jender (suami istri) dan intervensi keluarga (orang tua/mertua) turut memberi apresiasi dan resistensi tentang hal-hal seprti itu ?. 3. Tinjauan Pustaka. Sebagaimana dijelaskan oleh Kartini Kartono (1986), bahwa dalam pcritwa hamil ada teori yang berpendapat, bahwa calon ibu yang sedang hamil sering dihinggapi keinginan dan kebiasaan aneh. Malahan ada yang memiliki keinginan yang irasiomi Peristiwa ini sering disebut juga dengan istilah ngidam dengan dibarengi emosi-emosi yang kuat. Selain itu, acapkali juga peristiwa kehamiian ini disertai dengan fantasi si ibu dengan harapan semoga si jabang bayi diberkahi dengan macam-macam kelebihan dan keistimewaan. Namun
8 sebaliknya, ilusi yang positif seringkali juga dibarengi dengan kecemasankecemasan kemungkinan bayinya akan lahir dengan cacat'^. Oleh karena itu, situasi seperti inilah di mana kehamiian selalu dianggap penuh ketidakpastian, kekuatiran, dan kecemasan, maka tidak aneh untuk kemudian peran religi demikian kentai nuansanya dalam praktek kehamiian wanita, termasuk keyakinan pada beit>agai mitos dan tabu. Lebih jauh lagi, praktek mitos dan tabu ini tidak selamanya kondusif untuk kesehatan dan gizi masyarakat (tennasuk ibu hamil). Maka dalam prakteknya, banyak sekali temuan para peneliti yang menyatakan bahwa faktor budaya sangat berperan penting dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara. Terkadang unsur-unsur budaya memang mampu menciptakan suatu kebiasaan penduduk yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Sebagai ilustrasi misalnya: dalam masalah pangan ada sementara budaya yang memprioritaskan anggota keluarga tertentu saja yang layak mengkonsumsi hJdangan keluarga yang telah disiapkan. Frevileg,e semacam ini biasanya ditunjukan untuk kepala keluarga dan anak laki-lakinya untuk kemudian barulah anggota keluarga lainya. Apabila hal ini masih dipertahankan maka dikuatirkan akan terjadi malnutrisi dan matdistribusi diantara sesama anggota keluarga'-. Selain itu, berbagai mitos lain tentang keyakinan terhadap ibu hamil agar mudah melahirkan sering kali juga tidak kondusif untuk kesehatan ibu hamil, ada keyakinan bagi si ibu untuk diwajibkan bekerja berat terutama menjelang hari Hnya, dengan anggapan agar mudah melahirican. Namun kemudian kepercayaan ini sering disalah artikan oleh sebagian masyarakat, di mana kemudian banyak kaum Kartini Kartono, Ibid, 1986 hal 102-103 dan 121 ''Disarikan dari Suhardjo, Opcit, 1989, hal 15 dan Pinky Saptandari. O/x//. 1996. hal 97
9
ibu bekerja hanya untuk sekedar melaksanakan keyakinan itu, sehingga seringkali mereka mengalami anemia dan kelelahan fisik yang berakibat pada keguguran dan berbagai resiko lainya". Sebenamya praktek-praktek diskriminasi yang diarahkan pada kaum wanita sejak perjalanan hidupnya yang dibungkus mitos dan tabu sangat banyak sekali yang terkadang irasional dan merugikan kaum wanita itu sendiri, ambil contoh misalnya: seorang gadis Indian diharuskan mengasingkan diri ke dalam hutan selama 4 tahun setelah menstniasi pertama. Selama pengasingan itu penduduk tidak boleh bertatap muka dengan gadis tersebut, karena diyakini akan membawa bencana'^. Satu ilustrasi lain, nusalnya hasil penelitian lain yang dilakukan Lola Wagner dan Yatim (1997) di pulau Batam-Riau, menemukan cukup banyak mitos yang hidup dalam masyarakat. Mitos ini mengajarkan nilainilai penting yang sebenamya saat ini perlu dipertanyakan kembali kaitanya dengan fakta yang terjadi'*. Beberapa penjelasan mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam mitos sesungguhnya sangat erat kaitanya dengan konstruksi sosial yang diciptakan oleh penguasa pada masa lalu'". Siapa yang melan^ar tabu akan mendapat hukuman, namun sebenamya tidak semua mitos dan tabu rasional dan masuk akal'^. Namun selanjumya, keyakinan akan kebenaran mitos dan tabu itu mengalami berbagai perubahan dan tersosialisasikan sedemikian rupa, sehingga akhimya kebenaran mitos dan tabu itu seolah-olah tak tertmntahkan. Segala sesuatu yang diyakini " Achmad Hidir, Opcii. 2000. hal 30 " Lihat tulisan Richard VaAer, Bodies. Pleasures and Passions: Sexual Culture in Contemporary, Beacon Pressm Boston, 1991 Lola Wagner dan Danny Irawan Yatinu Seksualitas di Pulau Batam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hal 54. " Terence Hull, dalam Lola Wagner dan Yatim, Ibid, hal 55 Suhardjo. Opcit. 1989, hal 7
10
akan berdampak buruk pada masyarakat dicarikan jalan fceiumya dengan berbagai bentuk ritual dan slametan sebagai penentraman emosional dan psikologis. Untuk pencarian ketentraman emosional ini diperankan oleh dukun (terutama dukun bayi) yai^ sangat penting dalam proses persalinan. Karena praktek dukun itu tidak hanya menolong secara teknis medis persalinan sematamata, melainkan juga karena kemampuannya imtuk membuat ramuan, upacara sedekah dan negosiasi dengan alam supranatural*. Demikian juga apa yang dilaporkan Yusuf (1992) tentang peranan dukun bayi pada masyarakat Gayo di Aceh, di mana dukun bayi mampu memberikan azimat dan tangkal yang mampu mengusir mahluk halus yang menggangu wanita hamil dan bayinya. Sementara itu tentang tabu dalam masyarakat Aceh, mereka beranggapan seseorang yang sedang hamil dilarang melakukan perbuat^m tertentu yang dianggap dapat menimbulkan bencana bagi keselamatannya^o. Diakui memcing bahwa mitos dan tabu itu tidakkh pula kelim seluruhnya, karena ada beberapa mitos dan tabu itu memang sejalan dengan kesehatan dan pola hidup masyarakat. Namun untuk berbagai mitos dan tabu yang tidak relevan dan tidak kondusif dengan kesehatan reproduksi ibu hamil apakah masih perlu untuk dipertahankem ?. Untuk ini Suhardjo (1989) menjelaskan, bcihwa sebaiknya kita harus membedakan antara tabu (temteuna tabu makan) yang berdasarkan agama dan yang berdasarkan budaya. Tabu yang berdasarkan agama memang bersifat absolut dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, sedangkan tabu karena budaya " Hasil Penelitian Tim PKBI dan PIS UI, dalam Muhamad Sobary, Fenomem Dukun Dalam Budaya Kita, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997, hal 138 Alwisol, Sianipar dan Muhamad Yusuf, Opcit, 1992, hal 221,
11
masih trisa diubah dan dihilangkan. Namxm orang yang menganut suatu tabu, biasanya percaya bahwa bila melanggamya akan berakibat buruk dandianggapnya sebagai suatu hukuman. Pada hal kenyataaimya, dampak burxik dan hukuman itu tidak selalu terjadi. Oleh karenya, menurut Suhardjo (1989), tabu makan kareiui agama jangan sekali-kali dicoba untuk diubah, karena ini bersifat absolut dan akan banyak tentangan dari masyarakat, tetapi tabu karena budaya kita coba untuk merubahnya sepaiqang sudah tidak relevan lagi. Untuk perubahan tabu makan seperti itu, Suhardjo (1989) memberikan altematif sebagai berikut: 1. Tabu yang jelas merugikan gizi dan kesehatan sebaiknya dicoba untuk dihapuskan. 2. Tabu yang menguntungkan keadaan gizi dan kesehatan sebaiknya dipertahankan dan dilestarikan. 3. Tabu yang tidak jelas akibatnya terhadap gizi dan kesehatan dapat dibiarkan dianut oleh masyarakat.^' Satu contoh, jenis tabu yang kurang kondusif untuk kesehatan reproduksi wanita adalah mengenai tabu haid di kalangan masyarakat. Menurut GottHeb (1988) menimjukkan ada tiga temuan berkeiitan dengan tabu haid, yakni; (1) subordinasi terhadap wanita, (2) memberikan akses pada kekuatan ritual eksklusif secara jender dan (3) ambivalensi secara bersama-sama; tabu haid dapat menambah maupvin mengurangi kekuatan wanita^^. Nyatalah dengan demikian, bahwa mitos dan tabu itu tidak selamanya mengxmtungkan kaum wanita. Apalagi sekarang dunia kedokteran sudah " Pinky Saptandari, Tabu Haid di Kalangan Wanita Desa Nelayan, dalam Bagong Suyanto dan Emy Susanti Hendrarso, Opcit, 1996, hal 107
12
demikian maju,, pendidikan kaum wanita juga sudah demikian ada peningkatan, apakah mereka masih demikian percaya terhadap berbagai jenis mitos dan tabu demikian itu? Apakah bentuk kepercayaan seperti ini masih membabi-buta ataukah sudah mengalanu erosi? Untuk menjawab pertanyaan itu, maka langkah pertama yang perhi diambil adalah mengidentifikasi dan melakukan penelitian terhadap masalah di maksud. 4. Tujuan Penelitian. Dari masalah dan uraian di atas, nyatalah bahwa penelitian ini sebenamya hendak menjawab: 1. Mengetahui apresiasi katun waiuta (ibu hamil) dalam memaknai mitos dan tabu hamil yang masih ada dan dipraktekkan oleh sebagian masyarakat Melayu di daerah Riau. 2. Melihat perbedaan status sosial wanita dalam bentuk preferensi dan resistensi pelaksanaan keguifan lokal (local wisdom) dalam praktek tabu kehamilaii masyarakat Mela\ii. 3. Mengidentifikasi mitos dan tabu yang kondusif dan yang tidak untuk kesehatan reproduksi wanita. 4. Mengidentifikasi dan mengetahui peran relasi jender (suami-istri) dan intervensi keluarga (orang tua-mertua) yang tiurut mewamai apresiasi dan resistensi wanita dalam praktek kehamiian ibu. 5. Kontribusi Penelitian. Dari tujuan penelitian yang dirincikan di atas, maka kontribusi penelitian ini diharapkan imtuk:
13
1. Pengembar^an ilmu pengetahuan dalam khasanah ilmu sosial khususnya masalah-masalah kesehatan reproduksi wanita, terutama masalah mitos dan tabu yang belum ada/banyak ditmgkap oleh para peneliti lain. 2. Input bagi pihak yang berkompeten dalam menangani masalahmasalah pembangunan kesehatan masyarakat pedesaan dan masyarakat seara umum, terutfuna masakih kesehatan reproduksi wanita. 6. Metode Penelitian. 6.1. Desain dan Lokasi Penelitian. Penelitian ini lebih merupakan kajian sosio-antropologis yang menggtinakan pendekatan kualitatif ycmg memfokuskan pada anaUsa pemahaman (empati). Upaya yang dilakukan adalah berusaha memahami makna mitos dan tabu serta bentuk intervensi dan relasi jender serta keluarga dalam memahami dan menjalankan berbagai mitos dan tabu hamil wanita. Dengan demikian, data yang dihasilkan berupa data deskriptif yang berasal dari subyek yang diteliti (emic), dengem tujuan untuk menemukan dan memerikan sistem pengetahuan dan sistem perilaku berdasarkan ukuran dan persepsi mereka sendiri dalam memaknai, meyeikini dan menjalankan berbagai mitos dan tabu hamil. Untuk kemudian akan dilakukan interpretasi oleh peneliti (etic) imtuk ditugmgkan dalam penulisan laporan. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive di
desa Koto Baru
Keccunatan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi Riau. Dengan asumsi, desa ini mayoritasnya suku Melayu dan termasuk daerah sub urban dari hasil pemekaran Kabupaten hidragiri Hulu dan kini merupakan hititerlaud bagi Kota
14
Talxik Kuantan Ibukota Kabupaten Kuantan Singingi Selain itu diyakini masyarakatnya kini tengah mengalami transisi antara nilai tradisional ke arah modem. Sisi lain, daerah iiu dikenal sebagai daerah asal penghasil" orang-orang sukses " di Pekanbam, baik di kalangan birokrat, akademis, maupun swasta. Maka atas dasar ini, ingin dflihat sejauhmana nilai tradisional ada agama mengalami stagnasi atau erosi akibat intervensi dan aglomerasi dari ams pembahan dan migrasi ulang-alik {commuting) masyarakatnya. 6JL Sumber Data dan Penentuan Subyek Penelitian. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan para wanita hamil dan pemah hamil (yang kini masih punya anak balita). Selanjutnya dalam usaha mencari dan mengumpulkcm data dilakukan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Mengadakan pengamatan, orientasi dan wawancara tak berstruktur dengan Kepala Desa, Paramedis Puskesmas, Bidan desa, dan Kader Posycmdu untuk memahami berbagai budaya yang tumbuh di dalam masyarakat sekaligus mencari jumlah wanita hamil yang berkimjung ke Puskesmas, Posyandu/Bidan desa dem Polindes serta jumlah wanita pemilik balita yang mtin ke Posyandu. Pada tahap ini sekaligus digunakan vmtuk pencatatan data sekunder yang relevan. Selain itu, mereka yang terkait dalam pelacakan data sekunder (seperti disebutkan di atas) nantinya akan dijadikan kxy infortnan selain beberapa tokoh masyarakat. Dengan alasan mereka cukup memahami dan mengetahui budaya dalam praktek kehamiian di dalam masyarakatnya.
2. Melakukan penjajakan dan penseleksian calon subyek penelitian yang akan diwawancarai. Fokus penelitian diarahkan pada wanita hamil terutama hamil anak pertama dan wanita pemilik bayi dan balita anak pertama. Dengan asumsi mereka masih ingat dan masih menjalani berbagai ritual mitos dan tatm kehamiian. 3. Setelah kriteria subyek penelitian ditetapkan kemudian akan diwawancarai secara mendalam. Pelaksanaan wawancarai langsiu^ dan mendalam dengan subyek penelitian
akan disesuaikan
waktunya dengan keadaan dan kesediaan mereka di lapangan. Oleh karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka jumlah subyek penelitian tidak dapat ditentukan sejak awaL Terlebih dalam penelitian kualitatif jumJah subyek bxikan merupakan syarat utama. Semufmya berjalan secara alami mengikuti prinsip bola salju. 6.3. Instrumen Penelitian dan Analisis Data. Sebagaimana sifat penehtian kualitatif yang lebih mengedepankan proses penelitian, maka instrumen penehtian adalah peneUti sendiri. Dengan demikian, peneKti seleuna jalannya penehtian aikan selalu berusaha mengorek informasi sebanyak-banyaknya dengan cara mengembangkan pertanyacuipertanyaan ke arah yang lebih terfokus dengan tujuan penehtian. Selanjutnya di dalam anaUsa data eikan digunakan pendekatan dialogical ittterpretation, yaitu suatu dialog antara pemahaman emic dengan pemcihaman etic imtuk memahami gejala yang ditemui di lapangan. Dari dialog itu akan dihasilkan negotiate meaning untuk kemudian dituangkan dalam bentuk laporan. Teknik analisis data menggunakan teknik aiwlisa mengalir {floio model of analysis).
7. Jadwal Pelaksanaan. Penelitian dilakukan memakan waktu 8 Imlan dengan rincian sebagai berikut: No. Jenis Kegiatan Orientasi dan Eksplorasi Penelitian lapangan Triangulasi dan Penulisan laporan sementara Revisi dan Penulisan Laporan akhir 8. Personalia 1. Ketua Peneliti: 1.1. Nama Lengkap 1.2. Golongan 1.3. Fakultas/Prodi 1.4. Keahlian
Fisip/ Adm Negara Kajian Wanita
2. Anggota Peneliti: 2.1. Nama Lengkap 2.2. Golongan 1.3. Fakultas/Prodi 1.4. Keahlian
Drs. Achmad Hidir, Msi III. c Fisip/Sosiologi Sosiologi-Antropologi
Dra, Nur'aini Wisnu rvb