ABSTRACT
Development of national defense industry is a must in an effort to supply the needs of the means of defense. The existence of national defense industry support the independence of Indonesia in the field of defense. One indicator of self-reliance in defense technology is the procurement of propellant as rocket fuel. The constraint of rocket development is the availability of propellant. Propellant Industry is underdeveloped in Indonesia so that the propellant must be imported. Polyglicidyl nitrate (PGN) which can be used as a propellant binder can be made from glycerol obtained as a byproduct of the biodiesel industry. The glycerol that was produced needed alternative way to handling immediately so as to not become the waste that polluted the environment. The general aim of this study is to obtain design data and optimum conditions for plant design of PGN. The focus of this research are study each steps (nitration,ciclyzation and polymerization), develop kinetics model and get thermodynamics and kinetics data. Experiments were done for all steps of the reaction, was begun from nitration and was finished by polymerization. Before all experiments were done, the research about method of analysis was done. This experiments have to do to prove that qualitative analysis with gas chromatography can be used to quantitave analysis of all products of nitration. All experiments were run in reactor which has volume 5 mL and equipped with Hickman distillation head and nitrogen purge. Reactor was immersed in the cooling bath with cooling water temperature was set at the desired temperature of the nitration. Each sample was analyzed by gas chromatography to determine the composition of products. The research of nitration was carried out with variations mole ratio of nitric acid / glycerol 1/1 to 7/1, reaction temperature of 10 to 30°C and nitric acid concentration of 69%. Experimental data were used in simulations to get kinetics parameter. The variables of the cyclization are mole ratio of sodium hydroxide/glycerol of 1/1 to 1.5/1, reaction temperature of 10 to 20°C and sodium hydroxide concentration of 15 to 20%. The stirring time was also calculated for the cyclization. Polymerization was conducted using 1,4butanediol as initiator and boron trifluoride tetrahidrafuran (BF3.THF) as catalyst, the mole ratio of initiator and catalyst is 1/1, reaction temperature of 15 °C and reaction time is 2 hours. The recommended operating conditions for the production of PGN are: the nitration: the reaction temperature of 20°C, mole ratio of nitric acid/glycerol of 5/1 and the concentration of nitric acid of 69%. Cyclization: reaction temperature of 15°C, mole ratio of sodium hydroxide/glycerol of 1.5 /1 and the concentration of sodium hydroxide of 15%. Polymerization: use BF3.THF as catalyst, the reaction temperature of 13 to 15°C and the mole ratio of catalyst / initiator of 1/1. Glycidyl nitrate conversion by 96.04% and the yield of glycerol at 27.20 PGN% obtained for the reaction time of 2 hours. Nitration reaction consists of several series-parallel reactions. The conversion of 1,3-DNG from 1-MNG is the highest conversion compared to conversion of the other products. Kinetics modeling that was done adequately describe the kinetics of the nitration process. The seven controlling reactions
xxiii
model shows the reactivity difference between primary groups and secondary groups. The primary group is more reactive than the secondary group, seen from the rate constants of reactions involving primary group are larger than rate constants of reactions involving the secondary group. Among all the reactions involving the primary group, the formation of 1,2-DNG reaction from 2-MNG has the largest reaction rate constants. Formation of 1,3-DNG and 1,2-DNG takes place spontaneously, while the reaction of formation of 1-MNG, 2-MNG and TNG does not take place spontaneously. In the nitration products, the 1-MNG and 2MNG are the most stable while the TNG is most easily decomposed. The three controlling reactions model is more accurate in estimating the nitration experimental results than the seven controlling reactions model nitration reaction and easier to use for design the nitration reactors, but this model cannot predict all of the nitration products. Cyclization consists of nine parallel reactions, where the main reaction is the formation of glycidyl nitrate from 1,3-DNG. The reactions that occur in the cyclization of 1,3-DNG are in accordance with that predicted. Plant design of PGN from glycerol can be done using the three controlling reactions model for the nitration with thermodynamics data: first nitration reaction equilibrium constant (K1) of 0.2559, K2 of 9.0775, K3 of 0.0805 at 20oC temperature and mole ratio of nitric acid/glycerol 5; the reaction heat of nitration of glycerol is -22.8 kJ/mol, the reaction heat of polymerization of glycidyl nitrate is 603.7 kJ/ mol. Data kinetics: nitration reaction rate constant k 1 of 11.14 m3/(mol)(s), k2 of 131.31 m3/(mol)(s), k3 of 0.84 m3 /(mol)(s). The cyclization reaction is first order of 1,3-DNG and first order of the sodium hydroxide, with the reaction rate constant of 7.8744 m3/(mol)(s) at a temperature of 15oC and the mole ratio of sodium hydroxide /glycerol 1.5. Polymerization reaction is a second order reaction rate constants of 39.83 m3/ (mol)(s) at a temperature of 15oC and the mole ratio BF3.THF / 1,4-butanediol by 1. By obtaining the optimum conditions, the thermodynamics and kinetics data of all three reactions, plant design of PGN from glycerol design can be done.
xxiv
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Perubahan politik dunia yang terjadi di era globalisasi menyebabkan terjadinya perubahan pada situasi keamanan dunia, terjadi perebutan pengaruh yang cukup ketat, baik global, regional maupun nasional (Dephan RI, 2003). Sejumlah isu berimplikasi terhadap kehidupan nasional. Kepentingan negaranegara besar di kawasan Asia Pasifik mendorong timbulnya hubungan timbal balik antara permasalahan dalam negeri dan luar negeri yang memiliki kepentingan bersama. Berkaitan dengan isu keamanan, ancaman yang berasal dari luar dan ancaman yang timbul di dalam negeri selalu memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi, sehingga sulit untuk dapat dipisahkan. Oleh karena itu pemerintah melaksanakan fungsi pertahanan dalam rangka penegakan kedaulatan nasional, menjaga keutuhan wilayah NKRI dan melindungi bangsa dari setiap ancaman (Dephan RI, 2008). Di
bidang
pertahanan
dan
keamanan,
perkembangan
mempengaruhi karakteristik ancaman dengan munculnya baru
yang
memerlukan
penanganan
dengan
global
isu-isu keamanan
pendekatan
yang
lebih
komprehensif dan integratif. Isu-isu keamanan tersebut antara lain adalah terorisme, ancaman keamanan lintas negara, dan proliferasi senjata pemusnah massal (Dephan RI, 2008).
Pola dan bentuk ancaman terhadap kedaulatan
negara yang semula bersifat konvensional (fisik), saat ini berkembang menjadi multidimensional (fisik dan non fisik), baik yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri (Menristek, 2010). Indonesia merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia dengan
cakupan wilayah terbentang dari Sabang sampai Merauke. Indonesia memiliki lebih dari 13 ribu pulau dengan perairan yang luas, penyebaran penduduk yang tidak merata dan sumber daya alam melimpah. Letak Indonesia sangat strategis karena berada di antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia serta berada di antara dua samudera, samudera Pasifik dan dan samudera Hindia. Posisi itu menempatkan Indonesia berbatasan langsung di darat dan laut dengan sepuluh Negara. Sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki tiga ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dan beberapa choke points yang strategis bagi kepentingan global, seperti di Selat 1
2
Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar. Karakteristik negara kepulauan berdampak pada kerawanan keamanan yang multi dimensi, terdapat berbagai isu yang menonjol di antaranya adalah isu perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar, separatisme, radikalisme dan bencana alam. Keadaan ini menjadikan Indonesia rentan terhadap sengketa perbatasan dan ancaman keamanan yang menyebabkan instabilitas dalam negeri dan di kawasan ASEAN. Kondisi geografis Indonesia sangat strategis sekaligus memberikan tantangan untuk menyusun strategi pertahanan yang tepat untuk mengamankannya (Dephan RI, 2003; Dephan RI, 2008; Menristek, 2010). Untuk menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah diperlukan pertahanan negara yang tangguh (Menristek, 2010). Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 menyatakan upaya pertahanan negara bagi Bangsa Indonesia merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Menguatnya kemampuan militer negara tetangga signifkan
melebihi
kemampuan
yang
secara
pertahanan Republik Indonesia telah
melemahkan posisi tawar dalam ajang diplomasi internasional.
Anggaran
pertahanan Indonesia hanya 0,6% PDB (Pendapatan Domestik Bruto), jauh lebih kecil daripada Pilipina (1,1% PDB), Thailand (1,9% PDB), Malaysia (2,2% PDB), Myanmar (6% PDB), Vietnam (6,3% PDB) dan Singapura (7,6% PDB). Oleh karena itu, salah satu tantangan utama pembangunan kemampuan pertahanan negara
yang harus dihadapi pada masa akan datang
adalah
membangun kekuatan pertahanan di atas kekuatan pertahanan minimal sehingga
memiliki
efek
penangkalan
di
kawasan regional maupun
internasional (Dephan RI, 2008). Pembangunan industri pertahanan nasional merupakan hal yang vital dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana pertahanan yang mampu dioperasionalkan secara maksimal dalam penyelenggaraan pertahanan. Dalam bidang
pertahanan, pembangunan
teknologi
pertahanan ditujukan
untuk
mewujudkan daya tangkal bangsa, yakni kemampuan untuk memproduksi sendiri kebutuhan pertahanan yang meliputi persenjataan, amunisi dan propelan,
alat
komunikasi
pertahanan,
serta
bidang
otomotif
dengan
memproduksi mesin-mesin kendaraan taktis hingga kendaraan tempur berat. Keberadaan industri pertahanan nasional menopang kemandirian Indonesia di bidang pertahanan. Kebutuhan akan industri pertahanan nasional semakin mendesak mengingat kebutuhan untuk memodernkan alutsista sangat rentan
3
terhadap isu-isu politik yang berdampak terhadap pemberlakuan embargo oleh suatu negara produsen peralatan militer (Dephan RI, 2008). Pembangunan industri strategis, termasuk industri pertahanan, diawali dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1983.
Keppres
tersebut membidani lahirnya PT IPTN (yang saat ini menjadi PTDI), yang membidangi membidangi
industri industri
pertahanan
bidang
kemaritiman,
PT
kedirgantaraan, PT PINDAD
PAL
yang
yang membidangi
persenjataan dan amunisi, PT DAHANA yang membidangi bahan peledak, dan PT LEN yang membidangi alat-alat elektronika dan komunikasi pertahanan (Dephan RI, 2008). Pendirian beberapa industri pertahanan tersebut ternyata belum mampu menyediakan alat peralatan pertahanan dan keamanan secara optimal sehingga menyebabkan ketergantungan alat peralatan pertahanan dan keamanan dari luar negeri. Selanjutnya pemerintah dan DPR mengesahkan UU nomor 16 tahun 2012 tentang industri pertahanan. Undang-undang tersebut memberikan jaminan pembelian alutsista oleh pemerintah. Pemerintah juga berkewajiban menyuntikkan dana kepada industri pertahanan milik negara jika industri tersebut memiliki kendala finansial. Undang-undang baru tersebut diharapkan mampu mempercepat perkembangan industri pertahanan dalam negeri. Salah satu prioritas utama kegiatan penelitian dan pengembangan iptek teknologi hankam adalah kemampuan memproduksi propelan secara mandiri (Menristek, 2010). Propelan yang sedang dikembangkan di Indonesia adalah propelan homogen. Kebutuhan bahan baku propelan homogen untuk seluruh lembaga penelitian dan pengguna roket adalah 400-600 ton/tahun (Wibowo, 2007). Program roket nasional dimulai pada tahun 2005. Konsorsium roket terdiri dari PT Pindad, PT Dahana, PT Dirgantara Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan berbagai universitas seperti UGM, ITB dan ITS. Teknologi roket dibangun dari empat kemampuan yakni teknologi material, teknologi sistem kontrol, teknologi eksplosif dan propulsi serta teknologi mekatronik (Antara, 2012b). Hambatan pengembangan roket selama ini ada pada ketersediaan bahan bakar propelan. Industri propelan belum berkembang
di
Indonesia
sehingga
propelan
harus
diimpor.
Muncul
kecenderungan pengawasan yang ketat dan pencegahan alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang (Wibowo, 2007). Salah satu contoh bahan
4
baku propelan yang dikembangkan Lapan adalah ammonium perklorat yang berfungsi sebagai oksidator. Bahan baku pembuatan ammonium perklorat diimpor dari berbagai negara seperti Perancis, India dan Cina. Pemenuhan kebutuhan bahan baku tersebut mengalami berbagai kendala karena harus dipengaruhi kebijakan negara lain (Setyaningsih, 2010). Pembelian propelan sering diembargo oleh negara maju (Lapan, 2007). Propelan merupakan bahan bakar pada suatu roket. Propelan padat terdiri dari dua macam yaitu propelan homogen dan propelan heterogen. Ada tiga jenis propelan homogen yaitu propelan berbasis satu komponen (single base propellant), berbasis dua komponen (double base propellant) dan berbasis tiga komponen (tripple base propellant). Propelan berbasis satu komponen hanya terdiri dari nitro selulosa. Propelan berbasis dua komponen merupakan suatu bentuk koloid campuran nitrogliserin dan selulosa. Sedangkan propelan berbasis tiga komponen mengandung komponen oksidator, binder (pengikat) dan bahan tambahan (Thakre dan Yang, 2010). Propelan yang berkembang saat ini adalah propelan berbasis tiga komponen karena kemudahan penanganan, sifat balistik dan energetik yang lebih baik (Provatas, 2000). Propelan yang dikembangkan di Indonesia adalah propelan homogen. Kebutuhan bahan baku propelan untuk seluruh lembaga penelitian dan pengguna roket untuk propelan homogen adalah 400 sampai 600 ton/tahun (Wibowo, 2007). Salah satu bahan baku propelan yang dikembangkan Lapan adalah ammonium perklorat yang berfungsi sebagai oksidator. Bahan baku pembuatan ammonium perklorat diimpor dari berbagai negara seperti Perancis, India dan Cina. Pemenuhan kebutuhan bahan baku tersebut mengalami berbagai kendala karena harus dipengaruhi kebijakan negara lain (Setyaningsih, 2010). Suplai propelan tergantung dari negara lain.
Tidak semua negara
produsen propelan mau menjual propelannya. Pembelian propelan juga sering diembargo oleh negara maju (Lapan, 2007). Oleh karena itu perlu pendirian pabrik propelan. Keberadaan pabrik ini akan melepaskan negara dari ketergantungan impor propelan dan mendukung kemandirian negara di bidang penguasaan
teknologi
pertahanan.
Departemen
Pertahanan
berencana
membangun pabrik propelan. PT Dahana sebagai BUMN industri strategi pertahanan yang memproduksi bahan peledak komersial dan amunisi bahan
5
peledak militer dilibatkan dalam rencana pembangunan propelan ini (Antara, 2012a). Binder propelan terdiri dari dua macam yaitu polimer non energetik dan polimer energetik. Contoh polimer non energetik adalah poli kaprolaktan, poli etilen glikol dan poli butadiena. Polimer energetik berupa nitroselulosa, PGN (poliglisidil nitrat), poli-NIMMO (poli (3-nitrato-metil-3-metilloksetan)), GAP (glycidyl acid polymer), 9DT-NIDA (diethylene glycol-triethylene glycol-nitramino diacetic acid terpolymer), poli-BAMO (poly bis azido methyl oxetane), poliAMMO (poly azido methyl-methyl oxetane) dan poli-NAMMO (poly nitramino methyl-methyl oxetane) (Highsmith dkk., 2002b). Provatas (2000) menyatakan bahwa polimer yang paling energetik adalah PGN. Willer dan McGrath (1998) menggunakan binder propelan sebanyak 12% sampai 60% dari berat propelan. Oleh karena itu diperkirakan kebutuhan PGN di Indonesia sebanyak 48 ton sampai 360 ton/tahun. PGN merupakan hasil dari reaksi polimerisasi dengan monomer berupa glisidil nitrat. Glisidil nitrat dihasilkan dari berbagai proses. Willer dkk (1992b) membuat glisidil nitrat dari glisidil tosilat.Glisidil nitrat dapat juga dihasilkan dari glisidol dan nitrogen pentoksida (Millar dkk, 1992; Paul dkk, 1992). Cheun dkk (1997) membuat glisidil nitrat dari epikhlorohidrin, campuran larutan HNO3 60% dan KNO3 serta larutan NaOH 20%. Proses-proses tersebut secara ekonomi tidak layak untuk produksi komersial skala besar dan merupakan proses yang berbahaya.
Selanjutnya Higsmith dkk (2002a) mengajukan rute baru untuk
mendapatkan PGN. Mereka mereaksikan gliserol dengan asam nitrat dan natrium hidroksida untuk mendapatkan glisidil nitrat. Proses ini berbiaya rendah dan merupakan rute yang aman untuk menghasilkan glisidil nitrat dengan kemurnian cukup tinggi. Pembuatan PGN dari gliserol meliputi 3 tahap reaksi yaitu nitrasi, siklisasi dan polimerisasi. Tahap pertama yaitu nitrasi gliserol dengan asam nitrat menghasilkan 1,3-dinitrogliserin (1,3-DNG). Nitrasi dapat dijalankan dalam proses batch maupun proses kontinyu. Highsmith dkk (2002a) serta Sanderson dan Martins (2004) melakukan nitrasi secara batch, sedangkan Highsmith dan Johnston (2005) melakukannya secara kontinyu. Tahap kedua yaitu siklisasi 1,3 dinitrogliserin menjadi glisidil nitrat. Siklisasi dijalankan dalam hidroksida anorganik seperti sodium hidroksida, potassium hidroksida dan litium hidroksida (Sanderson dan Martins, 2004). Tahap ketiga adalah polimerisasi dari glisidil
6
nitrat membentuk poliglisidil nitrat. Reaksi yang terjadi termasuk jenis polimerisasi kation dengan inisiator poliol dan katalis asam (Higsmith dkk, 2002a). Gliserol sebagai bahan baku pembuatan PGN merupakan hasil samping industri biodiesel. Biodiesel merupakan salah satu energi terbarukan yang sangat menjanjikan (Atadashi dkk, 2013; Leung dkk, 2010) dan dihasilkan dari berbagai minyak nabati seperti minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak pagar dan minyak biji kapok randu, lemak hewan dan minyak goreng bekas (Demirbas, 2005; Dube´ dkk, 2007; da Silva dkk, 2008; Chongkhong dkk, 2007; Noiroj dkk, 2009). Lebih dari 30 macam tumbuh-tumbuhan di Indonesia mempunyai potensi untuk dijadikan bahan baku biodiesel. Industri biodiesel mulai bangkit
pada
tahun 2006, ditandai dengan banyaknya investor yang membangun pabrik biodiesel.
Maraknya investasi di sektor industri biodisel tersebut karena
didorong oleh keluarnya Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 2006
tentang
Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain. Instruksi Presiden tersebut dilatarbelakangi permasalahan energi yang dihadapi Indonesia, antara lain menurunnya tingkat produksi minyak bumi, kelangkaan energi di beberapa daerah dan penggunaan energi masih boros. Permasalahan energi jangka pendek diselesaikan dengan menyiapkan sumber energi nasional selain BBM untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri nasional (Menristek, 2010).
Pada tahun 2012 kapasitas produksi pabrik
biodiesel di Indonesia mencapai 3,4 juta ton dengan bahan baku minyak sawit dan minyak jarak pagar. Biodiesel termasuk dalam kategori biofuel. Di dalam industri biodiesel selain dihasilkan biodiesel sebagai produk utama juga dihasilkan gliserol sebagai produk samping. Gliserol sebanyak sekitar 10% berat biodiesel diperoleh sebagai hasil samping industri biodiesel (Ayoub dan Abdullah, 2012). Gliserol yang diperoleh biasanya memiliki kemurnian sekitar 80 sampai 88 % dan dapat dijual sebagai gliserol kotor (Haryanto, 2002). Pemurnian gliserol kotor akan menghasilkan gliserol dengan kemurnian sampai 99,9% (Kiss dan Ignat, 2012). Road map sektor biodiesel yang dikeluarkan Departemen Riset dan Teknologi menyatakan perkiraan pasar biodiesel pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 sekitar 3 juta kL/tahun dan 6,4 juta kL/tahun untuk tahun 2016 sampai dengan tahun 2025. Oleh karena itu gliserol yang dihasilkan dari
7
industri biodiesel sebanyak 300 ribu kL/tahun untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 dan 640 ribu kL/tahun untuk tahun 2016 sampai dengan tahun 2025. Gliserol dari industri biodiesel yang tersedia melimpah dan perlu dimanfaatkan sehingga tidak menjadi limbah yang mencemari lingkungan. Gliserol tersebut dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku produk lain seperti propilen glikol (Dasari dkk., 2005), gliserol monooleat (Pardi, 2005), poli gliserol (Sailah, 2007), etilen glikol dan propilen glikol (Marris dkk., 2007), 1,3 propanadiol (Kurosaka dkk., 2008), bahan peledak (Villamagna dan Hall, 2008), triasetin (Melero dkk., 2007), bahan obat-obatan, poli eter, makanan, triasetin, resin, deterjen, bahan peledak dan lain-lain (Galan dkk., 2009). Salah satu cara pemanfaatan gliserol adalah menjadi bahan baku pembuatan PGN. PGN dapat digunakan sebagai binder propelan. Keberadaan pabrik PGN akan mendukung pendirian pabrik propelan. Dengan demikian maka pabrik PGN sangat potensial didirikan di Indonesia. Pemanfaatan gliserol sebagai bahan baku pembuatan PGN juga akan meningkatkan sisi ekonomis gliserol.
2. Rumusan dan Batasan Masalah Pemahaman menyeluruh pada proses pembuatan PGN merupakan syarat penting dalam perancangan pabrik PGN. Dalam hal ini data perancangan terkait tahapan proses, konversi dan kondisi proses perlu diketahui. Proses pembentukan PGN menurut Higsmith dkk. (2002a) meliputi 3 tahap reaksi yaitu reaksi nitrasi, reaksi siklisasi dan reaksi polimerisasi. Proses yang lain dalam pembuatan PGN meliputi penyiapan bahan baku dan pemurnian produk. Pada penelitian ini akan dipelajari termodinamika dan kinetika reaksi pada reaksi nitrasi, siklisasi dan polimerisasi. Dari studi literatur sudah diketahui beberapa data terkait proses nitrasi, siklisasi dan polimerisasi. Data yang sudah tersedia antara lain: termodinamika nitrasi (panas reaksi, panas pembentukan dan entropi), kesetimbangan reaksi nitrasi, termodinamika polimerisasi (kapasitas panas, panas pembakaran, panas pembentukan, panas ledakan) dan mekanisme reaksi polimerisasi serta sifat fisis dari bahan yang terlibat dalam pembuatan PGN dari gliserol. Meskipun demikian sebagian data perancangan belum tersedia, antara lain data termodinamika nitrasi (energi Gibbs pembentukan, energi Gibbs reaksi), kinetika reaksi nitrasi (konstanta kecepatan reaksi, energi aktivasi), kinetika reaksi siklisasi dan kinetika reaksi
8
polimerisasi. Oleh karena itu penelitian ini lebih difokuskan lagi untuk mencari data tersebut di atas.
3. Keaslian Penelitian Data untuk perancangan pabrik PGN belum sepenuhnya lengkap. Data yang belum tersedia secara lengkap antara lain data termodinamika nitrasi (energi Gibbs pembentukan, energi Gibbs reaksi), kinetika reaksi nitrasi (konstanta kecepatan reaksi, energi aktivasi), kinetika reaksi siklisasi dan kinetika reaksi polimerisasi.
Penelitian ini mempelajari termodinamika dan
kinetika reaksi sekaligus melengkapi data pada proses nitrasi, siklisasi dan polimerisasi yang sebelumnya sudah tersedia di literatur. Penelitian tentang nitrasi gliserol telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Higsmith dkk. (2002a) melakukan nitrasi gliserol secara batch dan mengajukan tujuh variasi reaksi nitrasi. Variasi dilakukan pada rasio gliserol/asam nitrat, rasio gliserol/metilen klorida, suhu reaksi dan lama waktu reaksi. Variasi pertama, kedua dan ketujuh kembali dikemukakan oleh Sanderson dan Martins (2004) serta Sanderson dkk. (2005). Highsmith dan Johnston (2005) mengajukan pembuatan glisidil nitrat dari gliserol, asam nitrat dan kaustik secara kontinyu dengan berbagai alternatif kombinasi reaktor dan dekanter. Menurut Kazakov dkk. (1990a) reaksi nitrasi terdiri dari tujuh reaksi seri-paralel yang berjalan bolak-balik. Mereka mempelajari kesetimbangan termodinamika dari reaksi nitrasi tersebut dan menyajikan nilai konstanta kesetimbangan dalam berbagai konsentrasi asam nitrat dan berbagai suhu reaksi. Kazakov dkk. (1990b) juga menyampaikan nilai panas reaksi, panas pembentukan dan entropi dari reaksi nitrasi gliserol. Sifat fisis gliserol dan senyawa-senyawa produk nitrasi dikemukakan oleh Yunda dkk. (1991). Rubstov dan Kazakov (1997) menyatakan perbedaan nilai konstanta kesetimbangan grup hidroksil yang terletak
pada
atom karbon primer dan atom karbon sekunder. Dekomposisi biodegradasi nitrogliserin (TNG) disampaikan oleh Kaplan dkk. (1982), Aburawi dkk. (1984) dan Christodoulatos dkk. (1997). Penelitian tentang kinetika reaksi nitrasi gliserol belum pernah diajukan. Penelitian ini selain menyediakan data untuk proses nitrasi juga akan mengembangkan model kinetika reaksi. Dari model tersebut diperoleh konstanta kecepatan reaksi dan energi aktivasi.
9
Penelitian tentang reaksi siklisasi 1,3-DNG sangat jarang dilakukan. Highsmith dkk. (2002a) mengajukan tujuh variasi reaksi siklisasi. Perbedaan antar variasi terletak pada konsentrasi sodium hidroksida yang digunakan, rasio mol sodium hidroksida/gliserol, suhu reaksi dan proses pemisahan hasil. Variasi pertama, kedua dan ketujuh diulangi oleh penelitian setelahnya (Sanderson dan Martins, 2004; Sanderson dkk., 2005). Reaksi-reaksi yang terjadi selama berlangsungnya reaksi siklisasi dan kinetika reaksi siklisasi belum diketahui. Penelitian ini mengajukan reaksi-reaksi yang diperkirakan terjadi dalam reaksi siklisasi 1,3-DNG berdasar komposisi produk reaksi siklisasi yang terbentuk, kinetika reaksi dan konstanta kesetimbangannya. Penelitian tentang proses pembuatan PGN, sifat-sifat fisis dan termodinamika PGN, serta mekanisme reaksi polimerisasi glisidil nitrat sudah dilakukan
oleh
banyak
peneliti.
Polimerisasi
glisidil
nitrat
dilakukan
menggunakan inisiator poliol dan katalisator asam Lewis. Jenis katalis asam Lewis berupa BF3, HBF4, dan trietiloksonium heksafluorofosfat (TEOP), maupun BF3Et2O, BF3:THF, BF3 (gas), PF5 dan SbF5 (Willer dkk., 1992a; Higsmith dkk., 2002a; Paraskos dkk., 2004). Reaksi dijalankan secara batch. Highsmith dkk. (2002a) mengajukan tujuh variasi reaksi polimerisasi glisidil nitrat. Perbedaan di antara ketujuh variasi tersebut adalah rasio glisidil nitrat/metilen khlorida, jumlah katalisator, jenis inisiator dan waktu reaksi. Penelitian mengenai proses untuk membuat PGN yang lebih baik telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Willer dkk., 1992a; Willer dkk., 1995; Sanderson dan Martins, 2004; Sanderson dkk., 2005) dengan memvariasikan rasio mol monomer (glisidil nitrat), initiator, katalis dan pelarut (metilen klorida). Mekanisme reaksi polimerisasi glisidil nitrat dikemukakan oleh Colclough dkk. (1993), Desai dkk. (1996), Provatas (2000) dan Paraskos dkk. (2004). Beberapa sifat fisis PGN terkait berat molekul rerata jumlah, berat molekul rerata berat, suhu transisi, suhu lebur, fungsionalitas dan beberapa sifat lain sudah diketahui (Willer dkk., 1992; Willer dkk., 1993; Desai dkk., 1996; Cheun dkk., 1997; Agrawalt ,1998; Provatas, 2000; Diaz dkk., 2003; Sanderson dan Martins, 2004; Sanderson dkk., 2005; dan Talawar dkk., 2007). Termodinamika reaksi pembentukan PGN dinyatakan oleh Cheun dkk. (1997), Provatas (2000), Diaz dkk. (2003), Talawar dkk. (2007) dan Nair dkk. (2010). PGN adalah polimer yang sangat viskous sehingga harus dikuring atau diikat silang dengan di dan atau poli fungsional isosianat untuk mendapatkan elastomeric binder untuk propelan padat (Willer dkk., 2003). Penelitian ini
10
menyediakan data untuk proses polimerisasi glisidil nitrat. Parameter kinetika reaksi polimerisasi dihitung dari data eksperimen menggunakan model kinetika yang diajukan oleh dan Seymour (1971) dan Young (1981). 4. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan mendapatkan data perancangan dan kondisi operasi untuk merancang reaktor pada pabrik PGN. Sedangkan tujuan khusus penelitian untuk setiap tahapan proses (nitrasi, siklisasi dan polimerisasi) adalah: 1. Mempelajari tahapan-tahapan dan kondisi proses konversi gliserol menjadi PGN 2. Mendapatkan model persamaan reaksi 3. Mendapatkan data perancangan reaktor PGN dari gliserol meliputi : a. Data termodinamika reaksi b. Data kinetika reaksi
5. Manfaat Penelitian 5.1. Untuk pembangunan negara Penelitian ini menghasilkan data perancangan dan kondisi optimal yang diperlukan untuk pendirian pabrik PGN. Pendirian pabrik PGN akan mendukung keberadaan pabrik propelan sehingga mendorong peningkatan kemampuan industri pertahanan dalam pengadaan alutsista.
Upaya ini mendukung
pembangunan bidang pertahanan negara untuk mewujudkan kemampuan pertahanan yang dapat menjamin kedaulatan negara, keselamatan bangsa dan keutuhan wilayah NKRI. 5.2. Untuk pengetahuan dan teknologi Penelitian ini memaparkan teknologi pembuatan PGN skala laboratorium yang menjadi dasar pembuatan PGN skala industri dengan diperolehnya data perancangan reaktor PGN dan kondisi optimal untuk merancang reaktor PGN. Salah satu dari tujuh bidang prioritas riset nasional adalah teknologi pertahanan dan keamanan. Penelitian ini mendukung riset bidang teknologi pertahanan dan keamanan yaitu pengembangan produk propelan.