BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Disertasi ini mengeksplorasi topik linkage atau tautan politik antara organisasi masyarakat sipil (OMS) dengan lembaga perwakilan (parlemen), dalam periode pasca jatuhnya Soeharto di Indonesia, khususnya dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan strategis. Fokus pada tautan politik antara lembaga perwakilan dengan kelompok masyarakat sipil membedakan disertasi ini dengan teori dasar demokrasi tentang tautan politik yang umumnya adalah antara partai politik dengan para pemilihnya (voters) (Lawson 1980, 1988), antara politisi dengan warga negara (Kitschelt 2010), dan antara anggota parlemen dengan demos (Törnquist 2013). Disertasi ini mengkontekskan gagasan tautan politik di luar penggunaan klasiknya, yakni tautan antara OMS dengan Parlemen. Meskipun demikian, karena yang sedang dibahas adalah proses lahir dan berkembangnya tautan politik antara parlemen dan kelompok masyarakat sipil dalam proses pembuatan kebijakan, juga karena masih terbatasnya kajian tautan politik yang spesifik tentang masyarakat sipil dan anggota parlemen, inspirasi utama konseptualisasi tautan politik berasal dari karya-karya terkait tautan politik dalam partai politik. Pentingnya kajian tautan politik antara organisasi masyarakat sipil dengan parlemen dilatari oleh beberapa alasan. Pertama, alasan empiris, dan kedua alasan teoritis. Alasan empiris terkait dengan terus makin menguatnya peran organisasi masyarakat sipil dalam proses politik Indonesia pasca Soeharto, khususnya dalam proses pembuatan kebijakan publik. Terus menguatnya peran OMS di era pasca Soeharto ini disebabkan karena muatan kebijakan publik yang terus berkembang pesat, beriringan dengan perkembangan di tingkat global, seperti isu Hak Asasi Manusia, lingkungan hidup, perlindungan terhadap kelompok minoritas, informasi teknologi dll. Isu yang beragam ini membutuhkan keahlian yang juga spesifik. Institusi negara sering terlambat dalam 1
mengejar perkembangan dan oleh karena itu membutuhkan partner untuk mengawal kebijakan. Selain hal substantif tersebut, secara politis partisipasi warga negara memang telah menjadi bagian aturan main dalam proses pembuatan kebijakan publik. Mekanisme dalam parlemen seperti Rapat Dengar Pendapat (RDP) merupakan salah satu mekanisme yang harus dilakukan sebelum UU disetujui. Hal ini diatur dalam UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, khususnya pasal 53 yang menyebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara tertulis maupun lisan dalam penyiapan
atau
pembahasan
UU.
Hak
partisipasi
masyarakat
ini
kemudian
mendapatpenguat formalnya lagi dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan. Pasal 96 UU tersebut menyebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan maupun tertulis dalam pembentukan perundang-undangan melalui mekanisme Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), kunjungan, sosialisasi, seminar, lokakarya. Dalam bagian penjelasan disebutkan masyarakat yang dimaksud adalah orang perseorangan atau kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. Peran masyarakat sipil berwujud kelompok lobi, pemberi masukan pada anggota DPR RI di komisi terkait, maupun sebagai pemonitor proses rutin pembuatan kebijakan, demi memastikan klausul strategis dalam sebuah produk UU telah tertampung dan terkawal secara aman.Partisipasi kelompok masyarakat sipil dalam proses pembuatan UU bukan sekedar jumlah statistik tersebut, tapi juga kedalaman isu, tipe isu (strategis/tidaknya), dan keluasan dampaknya. Alasan kedua adalah alasan teoritis. Selama ini ilmuwan politik membuat kategori jenis kepolitikan (polity) berbasis pada tipe arena, yakni negara dan masyarakat. Dalam masyarakat dibagi lagi menjadi masyarakat politik, masyarakat sipil, dan masyarakat ekonomi (Cohen dan Arato 1992). Meskipun kategori ini adalah kategori analitis, kalangan ilmuwan politik tampak seperti menganggap kategori ini seperti kenyataan yang dapat ditemukan dalam kenyataan. Ini pada gilirannya mempengaruhi cara memandang 2
kenyataan politik: ada batas yang tegas antara keempat entitas tsb, ada watak yang khas di setiap entitas kepolitikan, dan ada watak yang khas relasi antara elemen. Relasi keempat elemen (atau salah dua di antaranya) dibaca dalam kerangka yang statis dan final, bukan dinamis, relasional dan masih terus berubah seiring perjalanan waktu. Peran organisasi masyarakat sipil dalam urusan di ranah negara ini sebagiannya menunjukkan batas yang telah melebur antara elemen negara dan masyarakat sipil, sebagaimana telah disinggung di atas. Kajian kontemporer tentang relasi negara dan masyarakat sipil telah menunjukkan hal yang sebaliknya, khususnya di negara-negara yang sistemnya telah demokratis. Kuatnya peran organisasi masyarakat sipil dalam politik pengambilan kebijakan di Indonesia bukan fenomena yang khas Indonesia, melainkan juga berlangsung di negara lain. Studi yang dilakukan Weller (2005) mengenai Civil Society Organizations (CSOs) di negara-negara di kawasan Asia seperti Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Korea Selatan, Jepang, Vietnam, dan Indonesia, menunjukkan makin sulitnya memberi batas pemisah yang tegas antara masyarakat sipil dengan negara, khususnya di negara-negara yang lebih demokratis seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Di negara-negara ini relasi yang terjadi antara masyarakat sipildengan negara bersifat simbiotik daripada antagonis. Di Korea Selatan, Kim dan McNeal, menyebut fenomena bekerja samanya elemen negara dan masyarakat sipil sebagai ‘negotiated governance’, istilah untuk menjelaskan watak relasi simbiotik antara negara dengan masyarakat sipil. Dalam kasus Indonesia, Eldridge (1988, 1989, 2005) menyatakan yang terjadi adalah adanya tumpang tindih yang cukup signifikan antara struktur formal dan informal, terutama di level lokal. Penelitian Eldrigde terfokus pada masa Orde Baru. Namun demikian batas antara negara dan masyarakat yang telah melebur juga berlansung di era pasca Orde Baru. Schulte Nordholt mengkonfirmasi pernyataan Eldridge tersebut, bahwa pemisahan antara negara dengan masyarakat sipil merupakan kesimpulan yang keliru (misleading)1.
1
Cornelis Lay, “Broken Linkage, A Preliminary Study on Parliament-CSOs Linkages in Indonesia”. Makalah yang dipresentasikan dalam Seminar “Euroseas”, Gothenburg, 2010.
3
Untuk konteks negara yang demokrasinya masih berkembang seperti di kawasan Afrika, dimana relasi masyarakat sipil dengan negara masih mencari bentuk, telah berlangsung pergerakan, meskipun lambat, peran masyarakat sipil yang awalnya berlaku sebagai penyedia layanan (service provider) menjadi penyedia pengetahuan (knowledge provider) berbasis bukti empiris dalam proses pembuatan kebijakan di lembaga perwakilan. Sebagai contoh, Parlemen Tanzania telah melibatkan masyarakat sipil untuk menyediakan data empiris dalam pembuatan kebijakan, meski bukti-bukti tersebut belum digunakan secara tepat oleh legislator. Di Kenya, masyarakat sipil dan parlemen duduk bersama ketika membahas Undang-Undang di sektor energi2. Di negara sedang berkembang demokrasi lain khususnya di Asia, seperti Kamboja, meskipun tidak ada mekanisme formal tautan antara masyarakat sipildengan parlemen, namun tetap ada relasi tautan antara keduanya yang kecenderungannya dominan bersifat informal3. Di Vietnam, meskipun tautan bersifat informal namun ada keinginan yang kuat dari parlemen untuk mendapatkan informasi, telaah, dan bukti empiris untuk menguatkan data-data dan meningkatkan kualitas kebijakan. masyarakat sipilmenjalin relasi tautan dengan anggota parlemen (individu)4. Sedangkan yang terjadi di Thailand, meskipun banyak masyarakat sipil yang bekerja di ranah isu-isu kebijakan (legislative issues), namun masyarakat sipil lebih memilih menyalurkan kerja-kerja yang mereka lakukan melalui jalur eksekutif dibanding di jalur parlemen5. Singkatnya, kajian tentang tautan politik yang terbentuk antara parlemen dan organisasi masyarakat sipil ini berada pada alur yang sama dengan kajian kontemporer relasi negara dan masyarakat sipil yang mengkritisi cara pandang konfliktual antara negara dan masyarakat.
Presentasi David Walker dalam forum Diskusi dan Diseminasi “CSO-Parliament Link and Capacity in South East Asia”, Yogyakarta, 7 Desember 2011. 3Makalah Ou Sivhuoch, Lun Pide, dan Kim Sedara, “Understanding Civil Society-Parliamentarian Engagement in Contemporary Cambodja”, Yogyakarta, 7 Desember 2011. 4MakalahPresentasi Nguyen Thi Thu Hang, Civil Society and Engagement with Parlementarians in Vietnam, Yogyakarta, 7 Desember 2011. 5Makalah Presentasi Viroj Naranong, Civil Society Engagement with Parliamentarians in Thailand, Yogyakarta, 7 Desember 2011. 2
4
Indikasi empiris tentang keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam proses pengambilan kebijakan di Indonesia, sejauh ini baru dilihat dari dua sisi. Pertama dari sisi teori masyarakat sipil yang menyebutkan bahwa telah berlangsung penguatan masyarakat sipil di Indonesia dan kedua dari sisi teori kebijakan publik yakni tentang partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan. Belum banyak yang melihat fenomena ini secara sistematis dari sisi tautan politik antara organisasi masyarakat sipil dan parlemen. Untuk mengisi kesenjangan gap tersebut disertasi ini ditulis. 2. Rumusan Masalah Ada satu rumusan masalah utama dan dua rumusan masalah turunan. Rumusan masalah utama adalah ”Bagaimana linkage (tautan) politik antara masyarakat sipil dan parlemenlahir, terbentuk, dan beroperasi dalam proses pengambilan kebijakan di tiga produk UU (di bidang kultural, pemerintahan daerah, dan keamanan) di Indonesia pasca Soeharto?” Rumusan masalah turunannya adalah sbb: 1.
Apa saja faktor yang mempengaruhi terbentuknya tautan politik dalam ketiga kasus UU ini?
2.
Apa saja tipologi tautan politik dari ketiga kasus yang dikaji?
3.
Sejauhmana karakteristik tautan politik mempengaruhi perkembangan demokrasi di Indonesia?
3. Tinjauan Pustaka Bagian ini akan mendiskusikan literatur tentang tiga gagasan kunci yang terkait dengan tautan politik yakni gagasan demokrasi mainstream (prosedural dan elektoral), demokrasi “defisit”, demokrasi representasi, dan kemudian gagasan tautan itu sendiri. Di akhir bagian ini akan diidentifikasi poin-poin besar dari kajian literatur terkait isu tautan masyarakat sipil dan parlemen sebelum disambung pada bagian kerangka analisa. 5
a. Demokrasi Mainstream (Prosedural) dan Ketiadaan Ide Tautan Politik Pemaparan tentang demokrasi arus utama seperti demokrasi liberal, termasuk demokrasi elektoral dan prosedural, perlu dilakukan karena dalam kajian-kajian ini lah, entitas partai politik, lembaga perwakilan, dan dan masyarakat sipil menyumbang terhadap kualitas demokrasi, meski secara kelembagaan, bukan dilihat dari aspek relasional antara entitas-entitas demokrasi tsb. Ada banyak aliran pemikiran dalam gagasan demokrasi liberal. Bunte dan Ufen (2009) memetakan dua pendekatan utama gagasan demokrasi: pertama, pendekatan demokrasi prosedural atau demokrasi elektoral; dan kedua, pendekatan demokrasi substantif. Kedua pendekatan tersebut mengakar pada tradisi pemikiran demokrasi liberal meskipun berbeda dalam hal menanamkan dan memelihara prinsip kebebasan, pemenuhan hak-hak individu dan kesetaraan politik (2009:4). Pendekatan demokrasi prosedural atau elektoral merujuk pada gagasan Joseph Schumpeter (1975). Schumpeter memaknai demokrasi sebagai sebuah metode politik dimana warga negara berhak menentukan pejabat publik (hak memilih dan dipilih) untuk memperoleh kekuasaan dalam membuat kebijakan publik. Karena itu, demokrasi ala Schumpeter menekankan pentingnya kompetisi dan kontestasi politik melalui pemilihan umum disamping adanya partai politik dan parlemen. Baginya demokrasi adalah metode politik untuk dapat sampai pada sebuah keputusan politik yang di dalamnya individu yang memiliki kekuasaan saling berkompetisi (Schumpeter 1975: 242).Senada dengan Schumpeter, Przeworski (1991: 10) juga menekankan demokrasi sebagai sistem politik dan memusatkan perhatian pada penyelenggaraan pemilihan umum. Pemilu dianggap sebagai instrumen kompetisi antara aktor politik dalam menentukan pejabat publik. Selain pemilu, logika dasar dari demokrasi liberal adalah jaminan terhadap hak-hak individu dan kesetaraan politik melalui pemilihan umum. Pemilu menjadi instrumen pertarungan berbagai kepentingan yang mereperesentasikan kehendak publik. Karena itu, teori demokrasi elektoral tersebut mengasumsikan bekerjanya dimensi prosedural 6
merupakan manifestasi prinsip-prinsip demokrasi liberal berupa jaminan hak-hak alamiah individu, sistem representasi, dan konsititusionalisme. Berbeda dengan Schumpeter dan Przeworski, pemikir demokrasi liberal lainnya yakni Robert Dahl mengedepankan gagasan demokrasi yang mengukur tingkat fragmentasi pusat-pusat kekuasaan pada masyarakat. Bagi Dahl demokrasi adalah adanya aksesibilitas publik terhadap pusat-pusat kekuasaan yang dapat menjadi arena partisipasi politik warga negara. Dahl menyebutnya sebagai poliarki, yang ditandai bukan hanya pada kompetisi antara individu, tapi juga derajat kebebasan (Dahl 1971: 3). Selain itu, yang juga penting bagi poliarki adalah persaingan terbuka dan partisipasi publik, yang hanya mungkin berlangsung bila telah berlangsung dua hal: pemilu yang bebas dan adil, hak memilih bagi semua warga negara, tapi juga kebebasan berekspresi, kebebasan pada sumber informasi dan otonomi berorganisasi (Ibid). Gagasan Dahl di atas mencoba memperkuat substansi kebebasan yang tidak hanya dimanifestasikan oleh partisipasi dalam pemilu tapi juga dalam pusat-pusat kekuasaan. Karena itu, poliarki mengukur seberapa besar tingkat fragmentasi pusat-pusat kekuasaan pada level publik dan seberapa besar aksesibilitas terhadap pusat kekuasaan itu tersedia. Dalam beberapa hal, gagasan Dahl ini terpengaruh oleh aliran pemikiran pluralisme yang selalu berupaya menghindari agar tidak terdapat pusat kekuasaan tunggal. Selain perbedaan antara Schumpeter, Przeworski dan Dahl, ada juga persamaan yang menyatukan mereka sebagai pemikiran demokrasi arus utamaini yakni fokus pemikiran mereka pada demokrasi sebagai metode, demokrasi sebagai upaya mendorong kompetisi, dan demokrasi sebagai upaya mendorong partisipasi warga negara. Tidak ada fokus pada soal bagaimana memastikan aktor-aktor politik yang berkompetisi melalui pemilu memiliki kaitan yang erat dengan para pemilih, dengan kelompok orang yang diwakili, dan bagaimana proses tautan antara sang wakil dengan kelompok orang yang diwakili berlangsung. Dengan kata lain, soal tautan antara kedua belah pihak. Hal kedua yang juga tidak menjadi perhatian adalah asumsi bahwa partai politik yang menjadi aktor 7
utama dalam demokrasi elektoral, berfungsi penuh dalam melakukan rekrutmen politik, sosialisasi politik, dan agregasi kepentingan. Kita memasuki gagasan demokrasi representasi. Selain itu, para pemikir demokrasi arus utama di atas memfokuskan diri pada gagasan demokrasi dari aspek kelembagaan yakni menekankan sentralitas eksistensi lembaga demokrasi. Tanpa adanya lembaga demokrasi, maka demokrasi akan lemah. Melalui lembaga demokrasi seperti partai politik atau masyarakat sipil, warga negara dapat menyalurkan kepentingan secara kolektif dan secara terlembaga. Peningkatan secara dramatis populasi lembaga-lembaga demokrasi menghasilkan densitas yang tinggi, baik di arena partai politik maupun di arena masyarakat sipil. Bagi gagasan demokrasi, pluralisme ini mendukung demokrasi. Di tahun-tahun awal reformasi di Indonesia, berlangsung peningkatan jumlah lembaga demokrasi (Lay 2006). Namun, ada keterbatasan gagasan demokrasi yang prosedural dan institusional yakni diabaikannya relasi (kaitan dan tautan) antara lembagalembaga demokrasi itu sendiri. Mengapa tidak berlangsung peningkatan kualitas demokrasi? Hal ini tampaknya disebabkan karena argumen pluralitas seperti mengabaikan pentingnya tautan antarlembaga atau interaksi antar lembaga. Tampaknya ini merupakan syarat fundamental dalam membangun demokrasi yang stabil. Pemisahan dan isolasi yang ketat antara lembaga-lembaga ini mengakibatkan otonomi berlebihan pada masing-masing lembaga demokratis tsb, proses saling isolasi antara satu dengan yang lain, antara lembaga-lembaga di tingkat masyarakat; dan pada akhirnya meminimalkan peluang bagi mereka untuk dapat berinteraksi. b. “Defisit Demokrasi”, Representasi, dan Lemahnya Tautan Politik. “Defisit Demokrasi” adalah gagasan yang dimunculkan oleh Olle Törnquist (2009) yang pada dasarnya menyebutkan bahwa praktik demokrasi liberal telah mengalami proses defisit, atau dampak negatif. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu: pertama, keterbatasan proses representasi publik akibat desain institusi demokrasi liberal yang 8
bersifat elitis di satu sisi, dan partisipasi warga negara yang terfragmentasi di sisi yang lain. Kedua, adanya depolitisasi urusan publik akibat terkooptasi oleh dimensi teknokratis serta kuatnya arus privatisasi dan globalisasi. Kemunculan “defisit demokrasi” terutama disebabkan oleh terjadinya depolitisasi terhadap perkembangan demokrasi itu sendiri. Depolitisasi terjadi ketika demokratisasi dipersempit dengan hanya fokus pada nilai kebebasan dan adanya pemilihan pejabat publik (pemilu). Hal itu menunjukan bahwa demokratisasi lebih fokus pada bagaimana institusi-institusi demokrasi liberal difungsikan dan diperluas sedemikian rupa. Namun, juga terjadi pengabaian terhadap aturan main (rules of the game) dan landasan penopang demokrasi (Törnquist 2009:4). Paradigma demokrasi liberal dan prosedural mengabaikan pendekatan pada bagaimana institusi demokrasi digunakan dan diperluas dalam rangka mendorong perubahan di bidang sosial, ekonomi, dan kondisi dasar lain yang bermanfaat bagi warga negara. Di tingkat negara, “defisit demokrasi”juga muncul akibat adanya elitisme proses pembuatan kebijakan atau aturan main.Karena bersifat elitis, maka proses representasi (keterwakilan) publik menjadi lemah sehingga berakibat pada lemahnya kontrol publik terhadap urusan publik itu sendiri. Cacatnya representasi tersebut membawa pada kooptasi aktor-aktor yang punya kontrol terhadap kekuasaan dan kapital sehingga mampu mendikte dan mengarahkan isu publik hanya bermanfaaat pada segelintir orang (Törnquist 2009: 4). Di tingkat masyarakat, “defisit demokrasi” juga ditandai oleh belum mampunya organisasi masyarakat sipil, sebagai salah satu aktor yang merepresentasikan kepentingan warga negara, dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik. Organisasi masyarakat sipil lebih berbenah untuk memperjuangkan kepentingan kelas menengah (Törnquist 2009:5). Akibatnya, tidak hanya menghasilkan representasi yang cacat tapi juga menjadikan proses partisipasi warga negara mengalami fragmentasi.
9
Selain “defisit demokrasi”, yang juga berlangsung dalam demokrasi liberal institutional menurut Tornquist adalah “depolitisasi demokrasi”. Pada intinya, “depolitisasi demokrasi” adalah berlangsungnya proses non politis dalam praktik demokrasi. Orang terjebak pada aspek teknis demokrasi yang seharusnya adalah politis. Dalam konteks operasi demokrasi elektoral misalnya, ia dianggap mengalami depolitisasi karena orang justru abai pada hal yang paling penting yakni sejauh mana demokrasi menjadi hak politik warga negara, bagaimana relasi warga negara dengan wakilnya, sejauh mana warga negara dapat mengkontrol isu publik yang menyangkut kepentingan mereka? Bila diperinci, Törnquist dan beberapa ilmuwan lainnya merangkum poin “depolitisasi demokrasi” dalam 6 poin. Pertama, pakta politik antara elit dalam menjamin institusi demokrasi justru mengabaikan peran orang biasa dan wakil mereka. Kedua, berlangsungnya privatisasi bidang ekonomi (yakni pasar), dan privatisasi terkait dengan kelompok keagamaan dan komunal. Ketiga, dalam praktik desentralisasi kekuasaan terfokus pada aspek administratif, bukan pada relasi kekasaan antara warga negara. Keempat, cara pemerintah berlangsung sangat teknokratis yang melibatkan aspek teknis yang lebih dominan, ketimbang aspek politis. Kelima, telah lahirnya praktik yang tidak adil (unequal) dalam bidang kewargaan, hukum, dll; dan keenam, ada kecenderungan aktivis masyarakat sipil justru mengabaikan inovasi dalam partisipasi seperti anggaran dan perencanaan berbasis partisipasi, padahal ini merupakan hal penting dalam merancang partisipasi yang progresif (Törnquist et al. 2013: 5). Dari keenam poin diatas dapat disimpulkan bahwa depolitisasi demokrasi menghadirkan
problema
besar
dalam
rangka
representasi
kepentingan
publik.
Permasalahan berkaitan dengan relasi kuasa (power relation) antara demos dan state yang telah memunculkan kerenggangan. Depolitisasi demokrasi ini juga terjadi akibat lemahnya demokrasi prosedural baik dari sisi teoritik maupun pada saat implementasi. Salah satunya dari aspek kaitan politik antara masyarakat sipil dengan parlemen.
10
Beberapa ilmuwan politik seperti Olle Törnquist, John Harris, Kristian Stokke, Neera Chandhoke beserta yang lainnya berupaya memikirkan kembali teori demokrasi alternatif yang mampu memperkuat kontrol publik. Secara umum, penguatan kontrol publik membutuhkan suatu tautan politik yang memperbaiki pola relasi, pola representasi dan pola partisipasi warga negara terhadap pengelolaan urusan publik. Pada intinya, para pemikir tersebut fokus pada formulasi gagasan demokrasi yang bisa mengkoneksikan demos dengan state. Secara teoretik, lemahnya representasi yang kemudian menghasilkan “demokrasi defisit” dapat dianggap sebagai tiadanya atau lemahnya tautanpolitik antara aktivitas politik warga negara dengan partai politik atau lembaga perwakilan (Parlemen). Lemahnya tautan antara organisasi masyarakat sipildengan aksi-aksi politik praktis dalam perumusan kebijakan publik menjadi salah satu problema dalam membangun representasi yang efektif. Törnquist dan beberapa pemikir lainnya menjadikan teori demokrasi demokrasi representatif sebagai landasan teoritik dalam mengembangkan model demokrasi alternatif. Gagasan tersebut akan dipaparkan di bagian berikut. c. Redefinisi Demokrasi Representasi dan Sentralitas Tautan Politik. Demokrasi representasi merupakan model demokrasi liberal yang berupaya meningkatkan kualitas perwakilan melalui partai politik dan juga peningkatan kualitas lembaga perwakilan. Dalam konteks disertasi ini, gagasan demokrasi perwakilan telah dimaknai ulang, tidak hanya pada keberadaan lembaga perwakilannya, tapi interaksi lembaga perwakilan seperti partai politik masyarakat sipil. Proses pemaknaan ulang tersebut berupa gagasan demokrasi yang dibuat dan praktik gagasan representasi. Demokrasi dalam konteks ini tidak hanya dimaknai sebatas teknik, atau metode kompetisi antar aktor politik, melainkan upaya untuk melakukan kontrol popular terhadap isu publik (Beetham 1999). Berdasarkan pada definisi ini, gagasan representasi merupakan hal yang tak bisa dipisahkan dalam upaya mencapai kontrol popular tersebut (Törnquist 2009:6).
11
Ada dua jenis pendekatan dalam gagasan representasi (Törnquist et al. 2009:6), yaitu: pertama, pendekatan yang fokus pada representasi formal. Gagasan ini berakar dari gagasan kedaulatan rakyat melalui pemberian mandat kepada aktor/lembaga-lembaga intermediari. Kita dapat maknai bahwa gagasan pertama ini dekat dengan gagasan demokrasi mainstream (prosedural). Dalam konteks ini, peran partai politik yang mendapatkan mandat melalui perolehan suara di pemilu, diandaikan berfungsi, dan mampu membawa aspirasi pemilih ke tingkat kebijakan publik. Pendekatan kedua, adalah pendekatan representasi yang terfokus pada representasi langsung kelompok-kelompok warga negara tertentu melalui aktor-aktor intermediari. Representasi model ini berjalan tidak hanya melalui ranah formal tapi juga ranah informal seperti berbagai gerakan masyarakat sipil, gerakan sosial, kelompok-kelompok lobi, dan berbagai asosiasi kewargaan. Model representasi kedua ini mencakup berbagai lembaga intermediari, bisa partai politik, tapi bisa juga organisasi berbasis masyarakat. Proses representasi publik tidak hanya dilakukan melalui partai politik tapi juga oleh organisasi berbasis masyarakat yang mempunyai kapasitas meneruskan aspirasi dari akar rumput. Kedua jenis representasi tersebut penting dalam memperkuat kontrol publik. Namun, Chandhoke menambahkan bahwa kedua jenis representasi diatas harus dilengkapi dengan dua hal yaitu sifat konstitutif dan parsial (Chandhoke dalam Törnquist et al. 2009:32). Dengan demikian, secara konseptual, gagasan representasi diatas didesain sedemikian rupa untuk mencakup berbagai keragaman dan fragmentasi demos. Pada tahap lanjut, perbaikan kontrol publik juga tidak hanya berhenti pada diskursus tentang model representasi, tapi juga fokus pada prasyarat diterapkannya representasi tersebut. Chandhoke mengusulkan dua prasyarat penting dalam menerapkan gagasan representasi yaitu: adanya institusi yang sesuai dan adanya model yang memfasilitasi kontrol publik terhadap para wakil rakyat. Kedua kondisi tersebut saling melengkapi dan dijadikan sebagai konteks pelaksanaan gagasan representasi yang telah dirumuskan sebelumnya. 12
Prakondisi pertama adalah harus adanya appropriate institution. Chandhoke merujuk istilah itu pada adanya masyarakat sipil yang mempunyai kesadaran politik. Dalam konteks ini civil societydimaknai sebagai suatu space dimana aksi-aksi kolektif dikonsolidasikan. Karena itu, masyarakat sipil meliputi berbagai asosiasi, gerakan sosial, kelompok kepentingan dan institusi-institusi sosial lainnya yang terlibat dalam pengelolaan urusan publik. Sedangkan prakondisi kedua berkaitan dengan harus adanya fasilitas yang bisa menopang kontrol publik terhadap lembaga representatif dan forum pengelolaan urusan publik. Di sinilah tautan politik antara antara masyarakat sipildengan parlemen dapat terbentuk (Chandhoke dalam Törnquist et al. 2013: 26). Dengan adanya tautan politik antara kedua aktor ini, proses representasi publik dapat dimaksimalkan. Catatan terpenting dari tipe-tipe mediasi diatas bahwa ada keterkaitan yang kuat antara masyarakat sipil dengan masyarakat politik. Berbeda dengan tradisi liberal yang menganggap bahwa masyarakat sipil terpisah dari aktivitas politik. Maka model popular representative democracy mengandaikan adanya keterikatan yang kuat antara masyarakat sipil dengan aktivitas politik (seperti ditunjukan di negara-negara demokrasi sosial) (Törnquist 2009: 14). d. Konsep Tautan Politik (Political linkage)Antara Parlemen dan Masyarakat Sipil. Dalam studi ilmu politik, gagasan tautan politik secara klasik merupakan bagian dari kajian tentang partai politik. Hal ini terkait dengan fungsi partai politik sebagai jembatan antara negara dengan warga negara. Kajian dengan fokus partai politik ini telah ada sekitar 2 dekade (Huntington 1991 dan Kitschelt 2000: 846), artinya, topik ini merupakan topik klasik. Meskipun klasik, asumsi tautan politik bersifat terbatas yakni antara partai dan konstituen atau politisi dan warga negara. Belum banyak yang mencoba meneliti secara sistematis tipe tautan politik yang lain yakni antara organisasi masyarakat sipil dan parlemen
13
Bagian ini akan terdiri dari tiga hal. Pertama, eksplorasi konsep tautan politik secara generik dan secara khusus, sebagaimana ahli partai politik memahaminya; kedua, gagasan dasar tentang masyarakat sipil dan perannya dalam advokasi kebijakan, dan ketiga, tautan politik antara masyarakat sipil dan lembaga perwakilan. 1) Gagasan Dasar Tautan Politik Gagasan tautan politik mengacu pada konsep yang dibangun oleh V.O. Key (1964). Key mendefinisikan tautan politik sebagai interkoneksi antara opini publik dan kebijakan publik. Dengan kata lain, menurut Key, tautan politik terkait dengan substansi kebijakan.Lawson (dalam Rommele 2005:8) merujuk tautan sebagai “a series of connection, a chain of relationships,” atau serial hubungan, mata rantai relasi. Ilmuwan lain mendefinisikan tautan politik sebagai fungsi kunci dari partai politik (W.E. Wright 1971). Widfeldt (1999:13-14) melabeli tautan politik sebagai “meta-function” dari partai politik. Menurut Listhaug (1995:264), tautan politik menghubungkan antara warga negara dengan pemerintah. Eulau dan Prewitt (1973) menggunakan istilah tautan politik dalam pengertian yang berbeda yakni kaitan antara varian partisipasi warga negara dalam relasi keterwakilan. Ini adalah definisi dalam nalar politik perwakilan. Elemen partisipasi dan representasi dalam konsep Eulau dan Prewitt ini membuka jalan lebih jauh untuk memahami karakterklasik tautan politik. Fokus pada agen-agen yang menyambungkan dua elemen mengasumsikan bahwa dengan memahami apa yang agen-agen tersebut lakukan, makaakan dapat dimengerti bagaimana tautan tercipta. Dari pemaparan definisi yang dikemukan oleh para ahli di atas, tautan politik terkait dengan a) adalah mekanisme menyambungkan, mengkoneksikan, b) hal yang tersambungkan adalah lembaga-lembaga demokrasi, seperti antara negara dan masyarakat; antara partai politik dengan pendukungnya, antara lembaga perwakilan dengan konstituennya, antara warga negara dengan politisi, dan antara negara dengan lembaga masyarakat yang mengadvokasi kebijakan dengan para pengambil kebijakan baik di lembaga eksekutif atau legislatif; dan c) substansi yang menyambungkan adakah 14
kebijakan; d) berlangsung proses pelibatan atau partisipasi dari entitas yang terlibat dalam tautan politik, dan e) operasi tautan tautan politik terletak di antara level-level agregasi politik yang berbeda. Lawson (1988) menyebutkan bahwa konsep tautan dapat dikatakan konsep yang lama tapi sekaligus baru dalam studi politik. Ia merupakan konsep lama karena telah lama dipikirkan oleh para ahli, tapi sekaligus minim yang sudah melakukan riset secara mendalam dalam topik ini. Selain itu, makin menguatkan peran organisasi masyarakat sipil dalam proses kebijakan seolah memanggil kembali gagasan tautan politik ini dalam konteks yang lebih kontemporer. Dengan kata lain gagasan tautan politik menawarkan cara baru melihat realitas politik yang keseluruhannya sebenarnya dibangun melalui elemenelemen yang sudah ada. 2) Jenis-jenis Tautan Politik Tautan politik dapat dikelompokkan menjadi empat. Pertama sifat tautannya; kedua fungsinya; ketiga, proses bagaimana tautan politik bekerja; dan keempat, mekanisme cara tautan politik bekerja. Lawson misalnya membuat empat kategori tautan politik yang dikaitkan dengan sifat tautannya. Pertama, tautan direktif (directive linkage), dimana partai politik digunakan oleh pemerintah untuk memelihara kontrol koersif atas masyarakat. Kedua, tautan partisipatif (participatory linkage). Dalam tautan politik jenis ini partai politik bertindak sebagai agen yang memungkinkan warga negara berpartisipasi dalam pemerintahan. Partai berperan dalam mentransformasi berbagai kategori askriptif dari seorang individu atau kelompok menjadi kategori politis, misalnya dari umat menjadi warga negara dstnya. Ketiga, tautan yang merupakan reaksi atas kebijakan (policyresponsive linkage). Dalam tipe tautan politik ini, partai politik bertindak sebagai agen untuk memastikan aparat pemerintahan bertindak responsif terhadap pandangan, kepentingan, ataupun tuntutan dari para pemilih yang utama dari partai politik tersebut. Dan yang terakhir, keempat, tautan yang terbentuk sebagai “pertukaran“ atau terkait
15
kompensasi yang spesifik (linkage by reward). Dalam tipe ini, partai politik memilih tindakan-tindakan tertentu sebagai bagian dari pertukaran dukungan dari para pemilih. Dalam karyanya When Party Fails: Emerging Alternatives Organization (1988), Lawson mengeksplorasi lebih jauh tautan politik, khususnya ketika tautan tersebut gagal diperankan oleh partai politik. Lawson memaparkan bahwa partai politik seringkali mengklaim dirinya sebagai penyedia (provider) tautan warga negarake negara. Namun yang terjadi justru kegagalan tautan tsb. Kegagalan ini disebabkan karena pertama, berkurangnya dukungan terhadap partai politik, dan kedua, munculnya organisasiorganisasi alternatif yang berhasil menyediakan tautan. Hipotesa yang dikemukakan Lawson terkait kedua hal tersebut, pertama, organisasi alternatif muncul ketika partai politik gagal menyediakan suatu bentuk tautan. Kedua, organisasi alternatif berhasil menyediakan tautan politik, yang sebelumnya tidak pernah dipenuhi oleh sistem politik yang ada. Kedua, tautan politik dapat juga dikelompokkan berdasarkan fungsinya. Dalam konteks ini, tautan politik didefinisikan sebagai “representative linkage”, atau tautan keterwakilan. Hal ini terkait dengan fungsi partai untuk mengartikulasi kepentingan, mengagregasi kepentingan, partisipasi politik, dan fungsi komunikasi baik internal aktivis partai maupun eksternal dengan konstituen (Webb 2000:205; 2002:12; Deschouwer 2002:174-175 dalam Clark 2003:4). Artinya tautan politik menempel pada fungsi-fungsi partai politik. Dalam konteks tersebut, ide tentang tautan politik adalah soal komunikasi, yakni bagaimana membangun kanal pemahaman antara para konstituen dengan pemimpin partai (Scarrow 1996:44 dalam Clark 2003:4). Kalau Lawson secara khusus mengkonseptualisasi tautan politik dengan partai politik, para ahli lain memfokuskan pada aktor di luar partai politik seperti kelompok kepentingan, atau gerakan sosial, serta perannya dalam demokrasi, terutama pada bagaimana
organisasi-organisasi
tersebut
bertindak
sebagai
intermediari
antara
pemerintah dengan warga negara (Clark 2003:3). 16
Ketiga, proses tautan politik bekerja. Rossenau (1969:46-49; Lawson, 1980: 10-11, dalam Clark 2003:7-8) membedakan dua tipe proses tautan,yaitu proses reaktif dan proses penetratif.Tipe yang pertama yakni proses reaktif terbentuk ketika ada rekasi-reaksi terhadap satu unit. Sebagai contoh, masyarakat bertindak sebagai reaksi terhadap pemerintah.Walaupun reaksi tersebut melintasi batas diantara dua unit tersebut (masyarakat dan pemerintah), akan tetapi tidak ada pertukaran aktor unit-unit itu. Dengan nada yang mirip, Poguntke mengajukan konsep serupa dengan reactive linkage yaitu direct linkage (2002 dalam Clark 2003:7). Direct Linkage terjadi ketika elit partai politik memotong jalur(bypass) organisasi intermediari di level akar rumput partai dan berkomunikasi langsung dengan warga negara, misal melalui direct mailing, surat elektronik(email), dan internet. Konsep tautan reaktif atau tautan langsung ini sesuai dengan ide bahwa tautan dikoneksikan oleh pemerintah atau responsivitas partai terhadap opini publik. Tipe yang kedua adalah penetratif. Model ini sangat krusial bagi partai politik. Proses penetratif terjadi ketika anggota dari salah satu kepolitikan (polity) bertindak sebagai partisipan dalam proses politik terhadap yang lainnya, sehingga ia (pemimpin politik) memiliki kewenangan untuk mengalokasikan nilai. Jika pada tipe yang pertama (reaktif proses/tautan langsung) yang berperan aktif adalah kelompok penekan dalam proses kebijakan, maka pada tipe kedua ini peran tersebut sangatlah vital. Berkompetisi untuk merebut jabatan publik adalah fungsi utama dari partai politik. Dengan merebut dan menguasai jabatan publik, partai tidak hanya melakukan penetrasi terhadap aparatus pemerintah, melainkan juga jika ia sukses, ia memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dan menjalankan fungsi legislasi. Di situlah tautan terbangun. Keempat, mekanisme cara tautan politik bekerja. Poguntke (2002) juga mengidentifikasi mekanisme tautan politik yaitu tautan berbasis organisasi. Tautan jenis ini didasarkan atas pertukaran yang terjadi elit partai dengan elit organisasi yang bisa memobilisasi dukungan organisasinya untuk partai politik. Tautan berbasis organisasi memfasilitasi komunikasi dua arah antara elit partai dan kelompok voter, dimediasi 17
melalui saluran-saluran organisasional dan mobilisasi pemilih. Watak pertukaran ini tergantung pada lingkungan organisasi dan tingkat formalitas dari komunikasi dalam organisasi. Pertukaran dalam organisasi dapat bersifat formal dan informal. Pertalian informal antara partai politik dengan organisasi yang relevan pada dasarnya merupakan reaksi untuk menekan, yang biasanya digunakan elit politik dalam negosiasi yang sifatnya semi permanen. Sementara dalam pertalian formal dalam kasus tertentu bisa jadi merupakan reaksi untuk menekan, namun utamanya didasarkan pada prinsip penetrasi. Elit organisasi dapat dipastikan mempunyai akses permanen ke badan pengambil kebijakan (dan sebaliknya). Poguntke menyebut pertalian formal merupakan gerakan politik yang dapat diamati dengan jelas (highly visible political move). Tautan yang didasarkan pertalian formal cenderung lebih dapat tahan lama, stabil, dan efektif dibanding tautan melalui pertalian informal. Namun efektifitas tautan juga tergantung karakteristik lingkungan organisasi yang berhubungan dengan elit partai melalui pertalian formal atau informal. Herbert Kitschelt (2000) menyebutkan tiga mekanisme tautan, yaitu: tautan kharismatis(charismatic linkage), tautan klientelistik (clientelist linkage), dan tautan programatis(programmatic citizen-elite linkage). Tautan kharismatis terbentuk oleh keahlian individu yaitu gabungan keunikan kepribadian disertai keahlian persuasif meyakinkan pengikut (follower) akan kemampuan pemimpin (leader) menciptakan masa depan yang lebih baik. Sedangkan dalam tautan klientelistik terdapat elemen imbal balik dan kesukarelaansekaligusekspolitasi serta dominasi. Kontras dengan tautan klientelistik, tautan programatis dibangun melalui investasi politisi yang merupakan akumulasi dari kemampuan mengatasi persoalan melalui prosedur yang bersifat programatis serta kemampuan infrastruktur organisasi. Secara implisit, Kitschelt berargumen bahwa tipologi yang terakhir ini adalah bentuk yang ideal dari tautan politik antara politisi dan para pemilihnya.
18
Bila kita gabungkan apa yang dipikirkan oleh Lawson (1980; 1988), Poguntke (1998;2002), juga Kistchelt (2000), menurut Clark (2003:10) setidaknya ada tujuh mekanisme tautan politik yang disediakan oleh partai politik, yaitu: 1) Tautan partisipatoris (participatory linkage), yakni ketika partai bertindak sebagai agensi dimana warga negara dapat berpartisipasi dalam politik. 2) Tautan elektoral (electoral linkage), yakni ketika pemimpin partai mampu mengontrol beragam elemen dari proses elektoral. 3) Tautan yang merespon kebijakan (Policy responsive linkage), yakni ketika partai bertindak sebagai agensi untuk meyakinkan bahwa pemerintahannya responsif terhadap rakyat/pemilih. 4) Tautan klientetistik (clientelistic linkage), yakni ketika partai bertindak sebagai chanel dalam pertukaran suara yang diberikan oleh pemilih. 5) Tautan langsung (directive linkage), linkage ini digunakan oleh mereka yang berada dalam public office untuk mengontrol perilaku warga. 6) Tautan organisasional (organisational linkage), yakni tautan yang didasarkan pada pertukaran antara elit partai dan elit organisasi yang terbukti mampu memobilisasi atau menarik dukungan organisasinya kepada partai politik. 7) Tautan representatif (representative linkage), yakni terkait dengan fungsi partai untuk melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan. 3) Tautan Politik dan Masyarakat Sipil yang Terpolitisasi Dalam konteks demokrasi representasi, tautan tidak cukup dipahami dengan bias partai politik. Lebih jauh, tautan politik dimaknai sebagai instrumen dimana pemimpin politik bertindak sesuai dengan keinginan, kebutuhan, dan permintaan dari publik dalam pembuatan kebijakan pemerintah (Luttbeg 1974:3 dalam Clark 2003:6). Guna memperjuangkan kebutuhan publik tersebut, pemimpin politik dapat memakai beberapa sarana/instrumen. Sarana tersebut selama ini telah dilakukan oleh organisasi intermediari 19
yang berfungsi mengagregasi dan merepresentasikan opini publik kepada pemerintah. Ketiga organisasi intermediari tersebut adalah: (1). Kelompok kepentingan dan kelompok penekan, (2). Gerakan sosial baru6; dan (3) Partai politik (Clark 2003:6-7). Peran masyarakat sipil sangat penting dalam rangka peningkatan kontrol publik. Masyarakat sipil merupakan entitas kewargaan yang bergerak pada ranah intermediari sehingga mempunyai potensi besar untuk dijadikan sebagai agen memperkuat kontrol publik. Bagian ini secara khusus akan membahas gagasan masyarakat sipil sebagai bagian gerakan sosial, dan bagian entitas yang tersambungkan melalui tautan politik. Terdapat tiga pendekatan penting dalam memahami konsep masyarakat sipil, yaitu sebagai seperangkat nilai, asosiasi, dan ruang publik (Fleming2000). Pertama, pendekatan yang menekankan pada dimensi kultural dan simbolis dari masyarakat sipil. Konsep masyarakat sipil dimaknai sebagai suatu ranah terjadinya formulasi nilai dan norma, pembentukan identitas kolektif, kontestasi gagasan/ide dan penanaman sikap saling percaya (mutual trust) sebagai basis untuk tindakan-tindakan kolektif. Lebih jauh lagi, Christopher Bryant (dalam Hall1995:143) merujuk masyarakat sipil sebagai suatu masyarakat yang beradab. Definisi ini merupakan pengertian sederhana dari konsep masyarakat sipil yang membedakannya dari masyarakat barbar. Robert Putnam seorang sosiolog Amerika Serikat, mempopulerkan gagasan bahwa keberadaan masyarakat sipil diukur dari pembentukan modal sosial sebagai nilai yang terbentuk atas dasar mutual trust (Putnam 1993). Dalam konteks Indonesia, gagasan masyarakat sipil muncul di era 6
Gerakan sosial barudapat dimaknai sebagai networks of networks (Neidhart, 1985: 197 dalam Poguntke, 2002) yang didasarkan pada tingginya derajat integrasi simbolik dan level pembedaan peran yang rendah. Pada fase mobilisasi, gerakan sosial baru cenderung membentuk panitia pengawas yang pada derajat tertentu berfungsi sebagai badan pengambil kebijakan. Sementara kapasitas gerakan sosial baru untuk bertindak kolektif tergantung pada keaktifan elit yang duduk di lembaga koordinasi, namun mandat politiknya berada dalam situasi yang rawan. Bagaimanapun mandat juga membutuhkan pengakuan eksternal, misal oleh media massa atau aktor politik lainnya. Derajat formalisasi internal dari suatu gerakan merupakan prakondisi yang penting bagi penyeleksian elit. Ketiadaan pergerakan elit yang memegang mandat menyebabkan sulit terciptanya pertalian organisasi yang bersifat formal dengan partai politik. Gerakan yang terorganisasi secara formal dan profesional merupakan persyaratan untuk menjadi partner yang awet dan dapat diandalkan. Karakter gerakan sosial baru yang umumnya kurang formal membuat pertalian formal dengan partai politik menjadi sulit.
20
otoritarianisme pada tahun 1990-an dengan sebutan “masyarakat madani” atau “masyarakat sipil”(Hikam1999:3). Kedua, pendekatan yang menekankan masyarakat sipil sebagai jejaring informal, gerakan sosial dan asosiasi-asosiasi kewargaan. Konsep masyarakat sipil dimaknai sebagai kumpulan asosiasi-asosiasi dan lembaga-lembaga masyarakat yang bersifat otonom dan mampu mengimbangi kekuasaan negara (Ernest Gellner dalam Gaffar,1997).Pada tahap selanjutnya gagasanmasyarakat sipil juga dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville. Tocqueville merujuk istilah masyarakat sipil pada konteks masyarakat Amerika Serikat abad 19. Pada masa itu, kultur sosial masyarakat Amerika ditandai oleh adanya berbagai macam asosiasi dan perkumpulan warga negara. Berbagai asosiasi tersebut muncul dengan berbagai minat dan kepentingan dengan karakter yang mandiri, otonom, bersifat informal dan fokus pada urusan-urusan publik. Beberapa literatur lain juga berakar dari pemaknaan masyarakat sipil sebagai asosiasi sukarela seperti yang dielaborasi oleh Tocqueville. Definisi masyarakat sipil Shaw, Cohen dan Arato serta Nyman lebih detail mencakup asosiasi formal maupun informal dan bersifat sukarela. Kedua pengertian di bawah ini menegaskan batasan masyarakat sipil dengan institusi negara atau organisasi bisnis. Karena itu, selain bersifat sukarela dan otonom, civil society juga terpisah dari entitas asosiasi yang lain(Cohen and Arato 1992). Cohen dan Arato membagi tiga jenis masyarakat yaitu: masyarakat politik, masyarakat ekonomi,dan masyarakat sipil. Konsep masyarakat sipil berkaitan dengan asosiasi-asosiasi sukarela dan swadaya masyarakat yang berbeda dari lembaga negara. Sedangkan political society berkaitan dengan semua urusan kekuasaan seperti negara, birokrasi, partai politik dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah economic society, yaitu berkaitan dengan aktivitas-aktivitas produksi termasuk perusahaan, korporasi dan aktor bisnis (Cohen dan Arato 1992). Sedangkan Alfred Stepan mengusulkan tipologi masyarakat sipil, masyarakat politik, dan negara. Bagi Stepan, masyarakat sipil merupakan arena bagi berbagai gerakan sosial 21
serta organisasi sipil. Sedangkan masyarakatpolitikmeliputi ruang kontestasi publik untuk mendapatkan kontrol terhadap negara. Dan negara itu sendiri, yaitu negara, merupakan sistem administrasi, legal dan birokrasi pemerintahan. (Stepan, 1996:13-14). Ketiga, pendekatan yang menekankan masyarakat sipil sebagai ruang publik (public sphere), yaitu arena komunikasi dan deliberasi publik. Masyarakat sipil dimaknai sebagai ruang dimana warga negara dapat melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan urusan publik. Pendekatan ini digunakan oleh Juergen Habermas, seorang filsuf Jerman yang mendorong adanya ruang publik politik.Terdapat banyak ilmuwan politik yang mengikuti gagasan Habermasian tentang ruang publik. Walker memberikan pengertian yang lebih komparatif dengan menegaskan bahwa masyarakat sipil merupakan ruang publik yang terletak diantara negara dan warga negara. Pada arena inilah terdapat berbagai asosiasi-asosiasi kewargaan yang mendasarkan pada prinsip sukarela. Dari semua pendekatan diatas, pemaknaan masyarakat sipil menghasilkan beberapa sifat umum yaitu: sifat otonomi dari pengaruh politik dan institusi formal negara, sifat kesukarelaan, sifat mandiri, self-government dan terbuka bagi warga negara (Eisenstad dalam Lipset, 1996: 240). Pada dasarnya, sifat-sifat dan definisi masyarakat sipil diatas dilingkupi ruh liberal yang menjauhi politik dan berusaha selalu otonom dari campur tangan negara. Dalam konteks disertasi ini, definisi masyarakat sipil berada di luar semua makna tersebut. Gagasan masyarakat sipil yang relevan adalah pemikiran Chandoke. Ia mengungkapkan keterkaitan teori masyarakat sipil dan teori negara. Menurutnya, masyarakat sipil sangat penting bagi demokrasi ketika mampu menghubungkan negara dengan masyarakat (Chandhoke, 1992: 12). Iamenegaskan kaitan antara masyarakat sipil yang berhubungan langsung dengan aktivitas politik untuk mengakses berbagai urusan publik. Seperti dibahas dibagian sebelumnya, popular representative democracy (PRD) yang diusulkan Törnquist dan beberapa pemikir lain berupaya menjadikan masyarakat sipil 22
sebagai agen sentral dalam perbaikan kontrol publik. Keberadaan masyarakat sipil diperlukan sebagai sarana representasi publik yang bersifat non formal. Gagasan tersebut menuntut adanya masyarakat sipil yang selain bersentuhan langsung dengan kelompok masyarakat yang direpresentasikannya, juga mampu masuk pada wilayah representasi formal dengan agen intermediari lainnya. Karena itu, konsep masyarakat sipil yang diusulkan dalam model demokrasi ini bersifat politis. Keberadaannya melengkapi agen intermediari seperti partai politik yang merepresentasikan konstituen dalam kerangka formal. Sebagai representasi publik dalam ranah informal, masyarakat sipil juga dituntut mempunyai konektivitas institusional dengan ruang representasi formal. Masyarakat sipil dibayangkan mempunyai aksesibilitas terhadap proses-proses pengelolaan urusan publik (Törnquist et.al 2009:213). Hal ini berbeda
dengan
tradisi
teori
liberal.
Para
pemikir
popular
representative
democracymendefinisikan masyarakat sipil sebagai ruang dimana aksi-aksi kolektif dikonsolidasikan. Masyarakat sipil meliputi berbagai gerakan sosial, berbagai gerakan kampanye, kelompok-kelompok kewargaan dan media pers yang bebas. Selain itu, masyarakat sipil masuk pada politik praktis dengan terkoneksi secara institutional pada lembaga representasi publik yang formal yaitu parlemen (Törnquist et al. 2009:33) Masyarakat sipil dalam logika PRD mampu terlibat dalam berbagai urusan pengelolaan publik mulai dari perencanaan, advokasi, dananggaran. Dengan cara itu, representasi publik dapat diperkuat tidak hanya melalui saluran formal tapi juga dengan saluraninformal yang mempunyai konektivitas dengan parlemen. Hal tersebut akan menciptakan suatu tautan antara masyarakat sipil, sebagai representasi publik, dengan parlemen sebagai forum pengelolaan urusan publik. Masyarakat sipil yang terpolitisasi memainkan peran sebagai entitas yang membentuk tautan politik dengan berbagai institusi demokrasi termasuk partai politik dan lembaga perwakilan. Apa yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil dalam mengadvokasi kebijakan publik merupakan peran yang secara normatif seharusnya 23
dilakukan oleh partai politik. Namun akibat “demokrasi defisit” sebagaimana yang diargumentasikan oleh Törnquist (2004) dan fungsi representasi yang melemah, peran ini tidak dapat dilakukan secara optimal oleh partai politik. 4. Kerangka Analisa Tautan politik dalam studi ini dimaknai sebagai mata rantai yang menghubungkan masyarakat sipil dan lembaga parlemen dalam proses menghasilkan kebijakan publik. Studi ini menggunakan beberapa asumsi. Pertama, bahwa semakin kuat tautan politik antara organisasi-organisasi masyarakat sipil dan lembaga parlemen, maka kebijakan publik yang lahir semakin memiliki kesesuaian dengan aspirasi rakyat. Kedua, bahwa makin banyak berlangsung tautan politik antara anggota parlemen dan organisasi masyarakat sipil, akan makin baik kualitas demokrasi, karena tautan politik meningkatkan interaksi politik satu sama lain, menciptakan afiliasi yang saling bersilangan (cross cut) dan bertindihan (overlapping). Menurut teori modernisasi, semakin banyak titik silang dan kepentingan yang bertindihan, semakin baik proses pembangunan politik. Sebaliknya, semakin lemah tautan politik antara organisasi-organisasi masyarakat sipil dan lembaga parlemen, maka kebijakan publik yang dihasilkan akan semakin jauh dari aspirasi dan tuntutan rakyat. Ada beberapa hal yang terkait dengan kerangka pikir tautan politik. Pertama, terkait dengan unit-unit yang sedang tertaut satu sama lain, baik di tingkat parlemen maupun di organisasi masyarakat sipil. Dalam tubuh parlemen, yang menjadi unit analisa bisa berwujud dua: individu, dan kolektif anggota parlemen, seperti fraksi atau partai; baik di tingkat nasional dan provinsi. Demikian juga di tingkat organisasimasyarakat sipil, ada unit yang individual dan kolektif; ada yang bergerak dan terlibat di tingkatnasional, atau lokal. Kedua, terkait dengan faktor yang menentukan watak tautan politik dan bagaimana watak tsb akan mempengaruhi kualitas kebijakan yang dihasilkan; apakah jaringan (network) secara horizontal (sesama masyarakat sipil), sesama anggota parlemen; atau 24
anggota parlemen dengan masyarakat sipil; apakah keahlian (expertise) sesama elemen organisasi masyarakat sipil; apakah ideologi di kalangan organisasi masyarakat sipil; atau isu kebijakan (policy issues) yang menentukan. Dalam konteks ini, akan digali organisasiorganisasi masyarakat sipil yang berusaha membangun relasi, baik yang bersifat formal maupun informal, dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya. Ketiga, akan dilacak faktor proses pembentukan atau pelemahan/penghancuran tautan politik di antara elemen-elemen masyarakat sipil atau kekuatan-kekuatan politik di lembaga parlemen. Setidaknya ada tiga pertanyaan kunci yang menjadi panduan untuk melacak proses pembangunan atau pelemahan tautan politik:(a) bagaimana tautan politik itu dimulai dan dimapankan, dan siapa yang menginisiasi tautan tsb? (b) dengan bentukbentuk tindakan seperti apa tautan politik dibentuk? Mengapa mereka memilih sikap dan perilaku seperti itu? Dan (c) proses seperti apa yang dilalui dalam rangka membangun atau melemahkan tautan politik? Dalam konteks ini, kita meminjam konsepnya Rosenau (1973) tentang dua proses dasar dalam membangun tautan politik, yaitu tautan politik berbasis penetrasi (masyarakat sipil atau kekuatan-kekuatan politik yang ada di lembaga parlemen yang berinisiatif untuk membangun tautan politik) dan tautan politik berbasis reaksi (masyarakat sipil dan kekuatan-kekuatan politik yang ada di lembaga parlemen membangun tautan politik sebagai respon atas inisiatif dari aktor yang lain). Tahap yang terakhir adalah melakukan eksplorasi tentang proses bekerjanya tautan politik yang ada sehingga tautan politik tersebut dapat menghasilkan kebijakan publik. Untuk keperluan ini, kita berusaha mengelaborasi proses bekerjanya tautan politik secara komprehensif, dari mekanisme yang formal, mekanisme yang informal, sampai dengan mekanisme yang merupakan kombinasi dari mekanisme formal dan informal. Mengikuti alur tersebut, selanjutnya adalah apa dampak dari berhasilnya sebuah tautan? Dengan cara seperti ini studi ini ingin memetakan beberapa hal. Pertama, tipologitipologi proses terbentuknyadan karakteristik tautan politik yang dihasilkan, baik antara organisasi masyarakat sipil dengan lembaga parlemen, maupun antara lembaga 25
masyarakat sipil di periode pasca Orde Baru. Kedua, studi ini berusaha untuk menunjukkan bahwa tautan politik dalam proses pembuatan kebijakan publik dalam periode pasca Orde Baru ternyata jauh variatif sekaligus rumit. Tautan-tautan politik yang ada kemudian memiliki tipologi yang berbeda-beda, tergantung dari banyak faktor misalnya tipe isu, tipe jaringan antara aktor yang bertautan, dan sejarah pembentukkannya. Beberapa tautan politik yang ada saat ini mungkin memiliki akar dari tautan politik dalam periode Orde Baru. Beberapa tautan politik yang lain merupakan hasil proses demokratisasi dan liberalisasi politik yang tidak terjadi pada periode Orde Baru. Dalam rangka memetakan tautan politik antara masyarakat sipil, lembaga parlemen, dan kebijakan publik dalam periode pasca Orde Baru, studi ini fokus pada proses pembuatan tiga kebijakan publik, yaitu proses pembuatan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, proses pembuatan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan proses pembuatan Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Ketiga undang-undang tersebut dielaborasi secara detail dengan alur sebagai berikut. Pertama-tama, studi ini mendeskripsikan latar belakang atau konteks yang bekerja ketika masing-masing undang-undang tersebut sedang dibuat. Studi ini kemudian menggali dinamika yang terjadi di tingkatan organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam merespon isu kebijakan yang ada. Diskusi kemudian dilanjutkan dengan menganalisa dinamika yang terjadi di tingkat lembaga perwakilan. Diskusi terhadap masing-masing kasus kemudian berujung pada eksplanasi tentang relasi antara organisasi-organisasi masyarakat sipil dan para legislator serta pihak-pihak yang terkait lainnya. Berdasarkan eksplorasi terhadap masing-masing kasus, studi ini berusaha untuk membuat tipologi besar dari tautan politik antara organisasi masyarakat sipil dan parlemen dalam proses pembuatan kebijakan publik dalam periode demokratisasi di Indonesia pasca Orde baru. Kajian ini disusun untuk menutup kelangkaan kajian yang selama ini yang cenderung
melihat
kebijakan,
melihat
peran
masyarakat
sipil,
dan
melihat 26
praktikrepresentasi secara isolatif. Selain itu, dalam kajian kebijakan yang melibatkan masyarakat, yanglebih sering ditekankan adalah aspek kelembagaannya, atau aspek proseduralnya, bukan aspek yang ada di balik keduanya, seperti bagaimana tautan politik antara elemen anggota lembaga perwakilan dan organisasi masyarakat sipil berkolaborasi menghasilkan kebijakan. Bila dilebarkan argumennya, cara pandang ini juga membatasi penilaian kita pada proses demokrasi di Indonesia, yang tidak hanya dijelaskan dari faktor kelembagaan dan prosedurnya, tapi juga kolaborasi masyarakat sipil dan masyarakat politik. Muara dari penelitian ini adalah refleksi pemaknaan ulang konsep demokrasi perwakilan dan melihat perwakilan popular sebagai alternatif bagi proses pembuatan kebijakan publik di Indonesia ke depan. Dengan demikian, studi ini menawarkan suatu kerangka analisa dalam melihat tautan politik. Selama ini, diskusi dengan tema tautan politik lebih banyak didominasi oleh kajian-kajian yang terkait dengan pemilih, pemilu, dan partai politik. Studi ini adalah salah satu upaya awal untuk memperlebar ruang kajian dengan memberi fokus pada tautan politik antara masyarakat sipil dan parlemen dalam proses pembuatan kebijakan publik, terutama di negara-negara yang sedang mengalami demokratisasi dan desentralisasi kekuaasan. 5. Metode Penelitian Penelitian ini adalah tentang tautan politik antara organisasi masyarakat sipil dan parlemen, menggunakan tiga kasus proses pembuatan kebijakan yakni UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Penelitian lapangan dilakukan dalam rentang waktu antara 2008 s/d 2011 di Jakarta dan Yogyakarta. Penelitian ini adalah penelitian bercorak kualitatif dengan metode studi kasus (case study). Menurut Creswell, studi kasus merupakan metode penelitian kualitatif dimana peneliti menggali dan mempelajari sebuah kasus atau beberapa kasus yang utuh (bounded) dalam rentang waktu yang spesifik, dengan cara menggalinya secara mendalam, rinci, 27
memanfaatkan beragam sumber data atau informasi (multiple sources of information, seperti observasi, wawancara, menggunakan materi rekaman suara dan gambar (audio visual), serta laporan penelitian, dan menghasilkan laporan penelitian yang berbasis pada topik tertentu yang sudah dipilih (Creswell 2007: 73). Ada tiga tipe penelitian studi kasus, yakni studi kasus tunggal (single instrumental), studi kasus yang banyak (collective or multiple), dan studi kasus intrinsik (intrinsic case study). Dalam tipe pertama, peneliti fokus pada satu isu kemudian menyeleksi satu hal lagi sebagai fokus. Tipe kedua peneliti fokus pada satu isu, tapi kemudian mengambil beberapa kasus untuk menggambarkan fokus penelitiannya. Ada kalanya variasi yang ditekankan peneliti berupa wilayah, topik dalam satu area isu yang sama. Terkadang peneliti memang secara sengaja memilih beberapa kasus dalam satu payung topik untuk menunjukkan variasi perspektif dari topik tsb (Yin 2003). Tipe ketiga dari metode studi kasus, intrinsic case study, adalah fokus kajian adalah pada studi kasus itu sendiri. Tipe ini digunakan biasanya terkait dengan keunikan sebuah kasus yang patut diteliti. Penelitian disertasi ini menggunakan tipe studi kasus yang kedua. Ide dasarnya adalah untuk memahami bagaimana tautan politik antara parlemen dan organisasi masyarakat sipil mulai dari proses awal terbentuknya, perjalanan mengawal usulan kebijakan, sampai dengan mengantarkan kebijakan tsb saat resmi berlaku. Peneliti memiliki asumsi bahwa ada pola tautan politik yang berbeda antara satu produk kebijakan dengan produk yang lain. Untuk dapat memahami variasi awal pembentukan, proses perjalanan, dan sampai kebijakan berhasil dikeluarkan, dibutuhkan perbandingan tautan politik dalam proses kebijakan. Selain itu, karena fokus penelitian ini adalah bagian dari refleksi terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia, dalam kaitannya dengan ada atau tidaknya tautan politik, maka tautan politik antara parlemen dan organisasi masyarakat sipil sebatas jendela untuk memahami persoalan yang lebih besar. Untuk dapat mencapai sasaran ini, metode penelitian yang relevan adalah studi kasus yang jamak (multiple).
28
Teknik penggalian data menggabungkan dua teknik sekaligus: desk study dan field study(penelitian lapangan). Dalam desk study, dilakukan kajian terhadap produk kebijakan, catatan proses pembuatan kebijakan, transkrip kegiatan, studi media, dan dokumen terkait.Kesemua dokumen tsb mengandung fokus kajian disertasi ini yakni tautan politik parlemen dan masyarakat sipil. Dalampenelitian lapangan dilakukan wawancara mendalam pada aktor kunci yang terlibat dalam proses pembuatan tiga produk kebijakan yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini. Ada empat kelompok narasumber dalam penelitian ini: anggota parlemen, elemen masyarakat sipil, kalangan ahli yang terlibat dalam penggodokkan konsep, dan pengamat kebijakan terkait. Kepada keempat kelompok ini ditanyakan hal-hal yang menjadi porsi mereka. Pada umumnya terkait dengan pandangan mereka mengenai siklus dasar tautan politik: awal pembentukan tautan politik, operasi tautan politik, dan hasil kebijakan. Aspek kedua terkait dengan dinamika tautan politik itu sendiri, bagaimana tautan bisa bertahan, apa yang mengikat elemen, apa sumber pengikatnya, dll. Aspek ketiga terkait dengan proses politik dalam tautan politik. Bagaimana konsolidasi berlangsung, bagaimana proses saat kebijakan berada di tangan pemerintah, apa yang mereka lakukan untuk mengawal substansi, dll. Total jumlah orang yang diwawancarai sebanyak 50an orang. Selain itu, perlu juga dipaparkan bahwa penulis disertasi ini terlibat dalam proses pembuatan ketiga UU ini dengan derajat keaktifan yang berbeda-beda. Dalam UU Pornografi dan UU Pemerintahan Aceh, perannya peneliti lebih pasif dan sebatas melakukan konsultasi bila diminta. Sedangkan dalam UU Pertahanan Negara, peneliti terlibat aktif mulai dari menginisiasi tautan dengan para anggota parlemen khususnya dengan anggota Komisi I, mengawal proses pembuatan kebijakan baik dari sisi substansi dan politik, sampai kemudian UU tersebut disahkan. Secara metodologis, keterlibatan ini membawa konsekuensi, baik kelebihan yang positif maupun kekurangan yang negatif. Kelebihannya adalah kemudahan terhadap akses narasumber dan dokumen pendukung, baik narasumber di di elemen masyarakat sipil dan parlemen. Kekurangannya adalah ada bias personal dalam fokus penelitian. Namun kekurangan ini diimbangi dengan penggalian 29
data dari beragam narasumber dan beragam perspektif (yang pro dan kontra terhadap kebijakan yang sedang dikaji). Ketiga undang-undang tersebut dipilih sebagai fokus dalam studi ini karena beberapa alasan. Pertama, ketiga undang-undang tersebut adalah perwakilan dari sedikit kebijakan publik yang melahirkan sikap pro dan kontra di antara para legislator. Kedua, ketiganya juga menyebabkan friksi di kalangan organisasi masyarakat sipil. Ketiga, undang-undang tersebut juga melahirkan gelombang dukungan dan penolakan di kalangan masyarakat. Pendeknya, ketiga undang-undang tersebut adalah representasi dari kebijakan dimana proses pembuatannya sangat rumit (hard policies). Selain itu, UU Pornografi merupakan produk UU yang menyerap perhatian publik saat proses pembuatannya, karena ia mengandung isu-isu yang sangat sensitif (misalnya apa itu kebebasan berekspresi terkait dengan materi pornografi). Karenanya, UU ini melibatkan publik secara sangat luas, baik secara fisik (turun ke jalan) maupun secara online, dari media sosial. 6. Struktur Disertasi Bab I Pendahuluan Bab ini adalah bab yang mengantarkan, mengkerangkai dan mengarahkan disertasi ini. Di dalamnya dipaparkan rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka analisa dan rencana struktur bab. Bab II Politik Kebijakan dan Tautan Politik di Era Orde Baru Bab ini memaparkan proses pembuatan kebijakan di era Orde Baru. Akan ditunjukkan di dalamnya bagaimana proses pembuatan UU tersentralisasi oleh aktor Negara. Peran masyarakat sangat minim, bahkan dalam isu-isu yang bersifat strategis sekalipun. Dalam babini ditunjukkan bagaimana pergeseran telah berlangsung ke era pasca Soeharto terkait dengan peningkatan peran elemen masyarakat sipil dalam proses pengambilan kebijakan di DPR RI. 30
Bab III Studi kasus 1: Tautan Politik dalam Proses Pembuatan Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi Bab ini menggali dan mendiskusikan formasi dan konstruksi tautan (tautan) dalam UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Bab ini merupakan studi kasus pertama tentang tautan politik dalam proses pembuatan kebijakan tentang isu antipornografi. Dalam bab ini akan digali bagaimana proses terbentuknya tautan antara masyarakat sipil, dan anggota parlemen; siapa saja aktor kunci yang terlibat di dalamnya, dan jenis tipologi tautan seperti apa yang lahir dalam tautan berbasis isu reformasi kebudayaan ini. Bab IV Studi Kasus 2: Tautan Politik dalam Proses Pembuatan Undang-Undang No 11. Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Bab ini mendiskusikan proses formulasi kebijakan tentang UU Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 tahun 2006. Ini merupakan kasus kedua dalam disertasi ini yang memiliki ciri inisiatif kebijakan yang berasal dari kelompok masyarakat sipil. Dalam bab ini akan digali proses keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan yang diikuti oleh pembentukan tautan politik dengan aktor di tingkat lokal (DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) dan di tingkat nasional (DPR RI). Bab V Studi Kasus 3: Tautan Politik dalam Proses Pembuatan Undang-UndangNo.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Bab ini mendiskusikan proses formulasi kebijakan tentang UU Pertahanan Negara No.3 tahun 2002. Ini merupakan kasus ketiga dalam disertasi ini. Dalam bab ini akan digali proses keterlibatan masyarakat sipil dan tipologi tautan yang dihasilkan. Bab VI Kesimpulan: Temuan dan Refleksi
31