BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Indonesia selalu mendengungkan sebagai negara agraris yang kaya akan varietas tanaman termasuk juga berbagai macam varietas buah. Ironisnya adalah meskipun Indonesia merupakan negara agraris yang mayoritas rakyatnya bekerja dalam sektor pertanian, namun pasar buah dalam negeri lebih banyak diisi oleh produk-produk buah luar negeri terutama dari Tingkok. Sejak mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997, produk hortikultura luar negeri mulai masuk ke Indonesia yang ternyata terus meningkat walaupun ekonomi Indonesia mulai pulih. Tahun 2008, nilai impor produk hortikultura baru 881,6 juta dollar AS, tetapi tahun 2011 meningkat menjadi 1,7 miliar dollar AS. Untuk menghindari runtuhnya industri buah dalam negeri dan membangun hortikultura lokal, pemerintah berdasarkan Permentan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dan Permendag Nomor 60 tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura melarang impor 13 produk hortikultura yaitu durian, nenas, melon, pisang, mangga, pepaya, kentang, kubis, wortel, cabai, krisan, anggrek dan heliconia (kompas, 2013). Dengan penerapan larangan impor hortikultura yang didalamnya termasuk juga beberapa komoditas buah, pemerintah Indonesia mengharapkan industri buah dalam negeri dapat berkembang dengan baik dan kuat. Selanjutnya akan dapat bersaing secara adil dengan produk buah impor dari luar. Larangan impor dilakukan secara berjangka atau aktif dalam jangka waktu tertentu dan bisa direvisi sesuai keadaan industri hortikultura dalam negeri. Pemerintah menganggap pelaksanaan larangan impor ini sesuai dengan prinsip safeguard
1
mesure di WTO yang memperbolehkan larangan atau batasan impor dengan syarat-syarat tertentu. Safeguard measure adalah metode yang diperbolehkan WTO untuk menghindari runtuhnya industri dalam negeri yang sejenis. Metode ini bisa dilakukan dengan cara pembatasan impor, larangan impor ataupun lainnya selama terpenuhi adanya serious injury pada industri dalam negeri. Namun hal ini ternyata bisa juga digunakan hanya sebagai ―alasan‖ agar produk-produk asing tidak masuk ke pasar dalam negeri sehingga mengurangi kompetisi yang diterima industry dalam negeri. Menarik untuk diteliti lebih jauh apakah kebijakan Indonesia memenuhi syarat penerapan safeguard measures ataukah hal ini sebenarnya bentuk hambatan non-tarif yang menyimpang dari prinsip perdagangan bebas WTO.
2. Rumusan Masalah : ― Bagaimana kebijakan larangan impor hortikultura Indonesia dalam kerangka safeguard measures yang diatur WTO ? Dan bagaimana dampak larangan impor hortikultura bagi Indonesia dengan mitra dagang ?‖
3. Tinjauan Literatur Penelitian mengenai impor hortikultura Indonesia sudah pernah dilakukan oleh Wisnu Winardi yang fokus pada kebijakan pemerintah untuk membatasi impor hortikultura. Pembatasan impor tersebut mulai berlaku sejak 28 September 2012 sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 30/MDAG/PER/5/2012. Kebijakan ini sedianya berlaku mulai 15 Juni 2012 namun dengan alasan tertentu ditunda menjadi bulan September 2012. Pembatasan impor hortikultura tersebut dilakukan dengan cara menutup beberapa pelabuhan impor
2
hortikultura sehingga impor hanya boleh masuk ke wilayah pabean Indonesia melalui empat pintu masuk, yaitu Pelabuhan Belawan, Tanjung Perak, Makasar, dan Bandara Soekarno-Hatta. Berdasarkan Permendag tersebut, akan ada beberapa ketentuan lain mengenai impor hortikultura terutama terkait dengan kesehatan dan lingkungan. Tujuannya adalah melindungi kepentingan konsumen, terutama dalam hal pengendalian hama penyakit. Selanjutnya kebijakan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perekonomian nasional, terutama bagi masyarakat umum sebagai konsumen dan petani sebagai produsen (Winardi, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Winardi menggunakan teknik simulasi atas penerapan kuota impor dalam model CGE (computable general equilibrium) untuk mencoba mengkalkulasi dampak pembatasan impor hortikultura terhadap variable ekonomi lain, seperti harga barang komposit, pendapatan faktor riil dan pendapatan institusi. Berdasarkan hasil penelitian, tujuan kebijakan pemerintah untuk melindungi konsumen dengan menerapkan kuota impor hortikultura memiliki trade off dalam berbagai aspek. Pengurangan impor hortikultura sebesar 5 persen, 10 persen dan 20 persen diperkirakan akan memberikan hasil yang berbeda secara besaran namun tidak terlalu berbeda secara struktur. Hasil simulasi menunjukan bahwa semakin besar pengurangan impor hortikultura berdampak pada:
kenaikan harga komposit yang semakin tinggi dan menyebar luas ke sektor-sektor yang lain;
penurunan pendapatan faktor yang lebih dalam;
kenaikan pendapatan faktor (at current values), namun kenaikannya lebih rendah dibandingkan kenaikan harga komposit;
penurunan kesenjangan distribusi pendapatan rumah tangga; dan
penurunan
kesejahteraan
masyarakat
secara
umum,
namun
meningkatkan kesejahteraan rumah tangga pertanian.
3
Berdasarkan hasil tersebut kebijakan pembatasan impor hortikultura bisa disebut sebagai kebijakan yang berorientasi pada pemerataan (pro equality) dan bukan pada pertumbuhan (pro growth). Pemeratan yang wujud bukan disebabkan kenaikan produktifitas, namun lebih disebabkan oleh naiknya penerimaan rumah tangga pertanian dari quota rent produk hortikultura.Bagi otoritas moneter, tekanan harga barang komposit akibat kebijakan pembatasan impor perlu untuk mendapatkan perhatian. Tekanan harga membawa konsekwensi tentang perlunya usaha yang lebih keras untuk mengantisipasi dampak terhadap stabilitas harga dan moneter yang diakibatkannya (Winardi, 2013). Sementara itu Maria Elyza Larasati juga meneliti mengenai larangan impor produk hortikultura yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Dalam tulisannya, Larasati memfokuskan kepada laporan US kepada WTO yang memprotes keluarnya kebijakan larangan impor hortikultura. Larasati juga menyimpulkan bahwa Indonesia melanggar sejumlah aturan dalam GATT 1994 serta Agreement on Import Licensing Procedures. Larasati mengajukan dua rekomendasi bagi pemerintah Indonesia untuk menghadapi upaya protes dari Amerika tersebut yaitu:
Pemerintah Indonesia harus mepublikasikan dengan segera jika melakukan perubahan pada peraturan perdagangannya melalui WTO agar para Negara anggota lainnya dapat mengetahui dan tercipta transparansi aturan-aturan perdagangan. Pemerintah Indonesia juga meningkatkan kualitas produk lokal agar mampu bersaing dengan produk impor daripada melakukan pembatasan impor. Pemerintah Indonesia dapat berupaya untuk mengundang investor dari luar untuk mengembangkan penelitian dalam bidang pertanian agar kualitas lokal sesuai dengan standar internasional.
Dalam kasus ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri Perdagangan yang
4
baru Peraturan Menteri Pertanian No. 85,86,87 Tahun 2013 untuk menggantikan peraturan yang lama yang dianggap bertentangan dengan aturan-aturan WTO. Oleh karena itu pemerintah Indonesia dapat
menyatakan
keinginannya
kepada
WTO
untuk
tidak
menggunakan lagi aturan-aturan dan persyaratan impor yang dianggap merugikan karena Indonesia telah melakukan perubahan aturan-aturan tersebut sehingga AS dan para Negara anggota mengetahuinya. Dengan begitu dapat tercipta mutually agreed solution dalam kasus ini (Larasati, 2014). Peneliatian lain juga dilakukan oleh Rafika Sari yang membahas hubungan antara tingkat inflasi Indonesia dengan kebijakan pembatasan Hortikultura. Dalam tulisannya, Sari menunjukkan bahwa tingkat inflasi tertinggi Indonesia selama 10 tahun terakhir terjadi pada bulan Januari 2013(1,03%) dan bulan Februari 2013 (0,75%) dengan total 1,79%. Berdasarkan data BPS, kontribusi terbesar terhadap laju inflasi adalah kelompok bahan makanan. Hal ini tidak terlepas dari keluarnya Permentan No. 60 Tahun 2012 dan Permendag No. 60 Tahun 2012 yang mengakibatkan 7 komoditas produk Hortikultura dibatasi dan 13 produk Hortikultura dilarang masuk ke Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Tingginya tingkat inflasi tersebut disebabkan jumlah pasokan (supply) pangan lebih sedikit daripada jumlah permintaannya (demand), sehingga menyebabkan kenaikan harga barang. Sementara keran impor sebagai salah satu alternatif sumber pasokan dalam negeri telah ditutup/dibatasi akibat dari peraturanperaturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia (Sari, 2013). Dari semua penelitian yang pernah dilakukan mengenai kebijakan impor hortikultura, masing-masing membahas mengenai implikasi yang terjadi di Indonesia akibat dari kebijakan impor hortikultura dan upaya yang bisa dilakukan oleh indonesia untuk menghadapi gugatan yang dilakukan oleh AS kepada WTO. Namun belum ada penelitian yang mengupas mengenai kebijakan impor
5
hortikultura dari sisi safeguard measures yang merupakan emergency action yang diperbolehkan WTO untuk menghadapi atau memperbaiki kondisi buruk yang terjadi akibat dari perdagangan internasional. Penelitian ini bermaksud untuk mencoba melihat kesesuaian kebijakan impor hortikultura dengan perjanjian safeguard.
4. Kerangka Konseptual Dalam dalam penelitian ini, menggunakan beberapa konsep untuk menganalisis pertanyaan yang diajukan. Untuk mengerti kebijakan larangan impor hortikultura yang diambil oleh pemerintah Indonesia, digunakan konsep teknis yang berlaku dalam GATT yaitu safeguard measures untuk melihat apakah kebijakan tersebut sesuai dengan prinsip yang berlaku dalam WTO. Konsep Proteksionisme digunakan untuk menjawab dampak yang terjadi akibat kebijakan tersebut. Salah satu sanksi langsung yang dapat diterapkan oleh Negara yang dirugikan akibat dari kebijakan proteksionisme adalah retaliasi atau aksi balasan. Dengan adanya aksi balasan tentu akan menggangu hubungan perdagangan Indonesia dengan Negara-negara lain terutama jika nilai perdagangan dengan Negara-negara tersebut signifikan terhadap total nilai perdagangan Indonesia setiap tahunnya. Hal ini dapat berakibat pada semakin besarnya defisit yang diterima Indonesia pada neraca perdagangan ekspor-impor. Dengan adanya proteksionisme seperti pemberlakuan kuota impor maka hal ini juga dapat berpengaruh terhadap perekonomian dalam negeri Indonesia karena kuota impor selain membawa manfaat juga membawa kerugian yang jika tidak dikalkulasi secara teliti akan berdampak sangat buruk bagi Indonesia. 4.1 Safeguard Measures Safeguard measures atau tindakan pengamanan didefinisikan sebagai tindakan darurat atau emergensi sehubungan dengan impor produk-produk
6
tertentu, dimana impor tersebut telah menyebabkan atau mengancam akan menyebabkan serious injury bagi industri dalam negeri pengimpor (pasal 2). Tindakan pengamanan yang dapat diambil dapat terdiri dari pembatasan impor kuantitatif atau kenaikan bea masuk diatas yang seharusnya (WTO, 2013). Ketentuan ini diatur dalam safeguard agreement yang menetapkan aturan untuk penerapan tindakan pengamanan menurut pasal XIX GATT 1994. Ada tiga poin utama untuk dapat menentukan apakah suatu kebijakan dapat dikatakan sebagai safeguard atau bukan. Tiga hal tersebut adalah (1) adanya lonjakan impor (2) terjadinya serious injury terhadap industri sejenis dalam negeri dan (3) adanya causal link antara lonjakan impor dengan terjadinya serious injury pada pasar dalam negeri. Tidak dipenuhinya salah satu saja dari poin-poin tersebut maka penerapan kebijakan safeguard melanggar peraturan WTO. Syarat pengenaan tindakan safeguard adalah impor yang melonjak harus secara absolut, tiba-tiba, tajam, dan signifikan. 4.11 Serious Injury Pada pasal 4.1(a) mendefinisikan ―serious injury‖ sebagai; ―…a significant overall impairment in the position of a domestic industry”. Sebagai tambahan pada pasal 4.1(b) menerangkan bahwa ancaman serious injury sebagai; ―…shall be understood to mean serious injury that is clearly imminent, in accordance with the provisions of paragraph 2. A determination of the existence of a threat of serious injury shall be based on facts and not merely on allegation, conjecture or remote possibility” Ancaman serious injury harus dibuktikan dengan fakta-fakta, bukan dugaan atau terkaan. Adanya serious injury harus unforeseen dan imminent. Terjadinya serious injury juga harus dibuktikan dengan adanya causal link karena lonjakan impor dan bukan merupakan akibat dari faktor-faktor lain (Hawin, 2012).
7
Untuk menentukan adanya lonjakan impor dalam rezim safeguard WTO, tidak cukup hanya dengan kenaikan impor. Ketentuan mengharuskan dua poin utama yang harus dipenuhi untuk menjustifikasi penerapan safeguard measures. Pertama adalah kenaikan impor tersebut merupakan hasil dari perkembangan yang diluar dugaan (unforeseen) dan efek dari anggota WTO. Kedua, impor masuk ke Negara pengimpor dengan kuantitas yang meningkat tajam dan dalam kondisi tersebut dapat menyebabkan atau mengancam untuk menyebabkan serious injury terhadap industri domestik. (Montaguti, 2003) Serious Injury yang dimaksud disini adalah terjadinya cedera terhadap industri dalam negeri akibat dari perdagangan internasional yang susah atau tidak bisa dipulihkan kembali. Cedera ini terjadi karena impor barang dari luar negeri merusak perkembangan industri sejenis di dalam negeri yang kalah bersaing. Kurangnya daya saing mengakibatkan industri dalam negeri stagnan atau bahkan hancur (Hawin, 2012). Dalam mendefinisikan pasal 4 SA, sebelum memutuskan bahwa situasi pada pasar domestik masuk kategori serious injury atau mengancam serious injury, tiga langkah harus dipenuhi terlebih dahulu: (1) mengidentifikasi produk domestik yang serupa atau merukan competitor langsung, (2) mengidentifikasi industry yang memproduksi produk tersebut, (3) menaksir adanya kerusakan yang tidak dapat diperbaiki secara keseluruhan yang signifikan pada kondisi industri domestik ( atau adanya ancaman tersebut jika yang digunakan ketentuan adanya ancaman kerusakan). (Montaguti, 2003) Penafsiran pasar domestik terdapat dalam pasal 4.1(c) SA yang menyediakan dua kriteria akan industri domestik. Yang pertama menafsirkan industri domestik sebagai produsen yang menghasilkan produk sejenis atau yang berkompetisi langsung dengan produk impor. Yang kedua menambahkan bahwa serious injury
8
harus ditaksir baik kepada keseluruhan industri domestik atau sebagian industri domestik dimana nilainya merupakan proporsi mayoritas. 4.1.2 Causal link Causal link yang dimaksud adalah serious injury yang terjadi merupakan akibat dari adanya impor yang melonjak. Hal ini mengakibatkan industri sejenis didalam negeri terkena dampak negatif yang mengancam keerlangsungannya. Jika industri dalam negeri terancam atau hancur namun tidak dapat dibuktikan karena akibat dari impor maka syarat adanya causal link tidak terpenuhi (Hawin, 2012). Penentuan adanya sebab-akibat harus memenuhi dua langkah terlebih dahulu sesuai pasal 4.2(b) SA. Yang pertama adalah dapat menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat antara impor produk yang terkait dengan serious injury atau ancaman serious injury. Yang kedua, kerusakan yang diakibatkan oleh faktor selain peningkatan impor tidak boleh dihubung-hubungkan dengan peningkatan impor. Faktor lain ini biasa disebut “non attribution” requirement. (Montaguti, 2003) Safeguard measures digunakan sebagai langkah ―emergency‖ yang biasanya berbentuk pembatasan impor untuk memberikan waktu untuk bernapas bagi industry domestik untuk beradaptasi terhadap kondisi pasar. Sesuai dengan pasal 5.1 SA bahwa semua safeguard measures bisa diaplikasikan hingga titik yang ―dibutuhkan‖ untuk mencegah atau memberikan remedy terhadap serious injury dan untuk untuk memfasilitasi penyesuaian bagi pasar domestik (WTO, Korean Diary, 2014). Namun, jika sebuah langkah diambil tanpa memenuhi ketentuan substansi dari SA terutama langkah tersebut diambil untuk melawan injury yang bukan disebabkan oleh peningkatan impor maka langkah tersebut dianggap melebihi apa yang yang ―dibutuhkan‖. Sebagai akibatnya langkah tersebut dianggap melanggar pasal 5.
9
Safeguard measure sebenarnya diatur dalam perjanjian WTO dan diperbolehkan untuk diterapkan sehingga tidak dapat disebut sebagai bentuk proteksionisme. Namun tentu saja hal ini harus sesuai dengan syarat pengenaan dari perjanjian safeguard yaitu menyebabkan atau adanya ancaman yang menyebabkan serious injury bagi industry sejenis dalam negeri. Dengan tidak dipenuhinya syarat ini maka penerapan safeguard mechanism bisa diindikasikan memiliki motif lain seperti bentuk proteksionisme untuk industri dalam negeri. 4.2 Protectionism Proteksionisme
merupakan
kebijakan
ekonomi
untuk
mengendalikan
perdagangan antara Negara yang satu dan lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui metode seperti tariff atas barang-barang impor, kuota impor, dan peraturan pemerintah lainnya yang dirancang untuk memungkinkan (menurut pembuat kebijakan) persaingan yang adil antara produk impor dan produk yang dihasilkan didalam negeri. Proteksionisme baru muncul setelah pudarnya bentuk proteksionisme gaya lama yang semakin ditinggalkan akibat dari pelaksanaan GATT. Proteksionisme ini penting karena bentuknya berupa kebijakan suatu negara dalam perdagangan internasional untuk melindungi industri dalam negeri akibat adanya import dari negara lain dengan menghambat masuknya barang impor ke suatu negara. Implementasi dari proteksionisme gaya lama antara lain tariff, kuota, subsisdi, dan kebijakan preferential governmental spending. Prinsip dasar GATT yang mencoba menghilangkan atau paling tidak mengurangi hambatan perdagangan dengan tujuan memperlancar arus barang dan jasa. Keberhasilan GATT mengurangi hambatan tariff dalam perdagangan internasional mengakibatkan berkembangnya pola proteksionisme baru. Dengan semakin berkembangnya perdagangan bebas, isu-isu non trade seperti lingkungan hidup, standar mutu, dan kesehatan.
10
Pola proteksionisme baru seperti yang diungkapakan oleh Spero dan Hart mempunyai ciri Adanya pola nontariff trade barriers (NTB) sebagai berikut : seperti:
Sanitary and Phytosanitary (SPS) yaitu peraturan yang berisi tentang standar kesehatan dan sistem sanitasi (system pembuangan limbah) yang harus dipatuhi Negara importir yang masuk ke Negara domestik.
Standar mutu yaitu standar yang digunakan Negara pengimpor dalam perdagangan dengan Negara lain. Standar ini mencakup kondisi dan situasi yang ada di suatu Negara.
Kebijakan regional yaitu biasanya berupa perjanjian yang disepakati antara Negara-negara dalam satu kawasan. Perjanjian ini biasanya bersifat multilateral dan mengikat Negara-negara anggotanya.
Perlindungan konsumen yaitu peraturan yang dikeluakan untuk melindungi konsumen Negara pengimpor.
Lingkungan hidup yaitu pola yang paling sering digunakan oleh Negara-negara terutama Negara maju untuk melindungi pasar atau produk dalam negerinya. Hal ini dikarenakan masalah lingkungan hidup merupakan masalah yang menjadi kepentingan bersama (Spero, 2010).
Permasalahan pada kebijakan proteksionisme adalah pengendalian atau pembatasan perdagangan merupakan “two-way street” dimana setiap kebijakan proteksionisme yang dilakukan oleh suatu Negara dapat dengan mudah dibalas Negara lain atau terjadi retaliasi dengan melakukan berbagai macam bentuk kebijakan proteksionisme lainnya yang mengakibatkan terjadinya perang dagang. Proteksionisme dapat dilakukan oleh setiap Negara terutama jika memiliki legitimasi dari WTO untuk melakukan proteksionisme sebagai bentuk retaliasi sehingga bentuk proteksionisme tersebut tidak dapat diadukan kepada WTO.
11
Retaliasi Retaliasi atau tindakan pembalasan adalah kebijakan yang diambil suatu Negara dimana ekspornya terpengaruh oleh kenaikan tariff atau kebijakan lain dalam rangka pembatasan perdagangan yang dilakukan oleh Negara lain. Retaliasi dibidang perdagangan antar Negara dalam kerangka WTO dilakukan oleh suatu Negara sebagai akibat dari tidak tercapainya suatu kesepakatan dalam proses penyelesaian sengketa. Retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika dalam suatu penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai dalam jangka waktu yang telah ditentukan (Pelawi, 2007). GATT mengjinkan Negara yang merasa dirugikan untuk melakukan tindakan pembalasan secara terbatas kepada Negara lain yang menjadi penyebab kerugian perdagangan, namun hal ini dilakukan setelah konsultasi dengan Negara-negara anggota lainnya, atau Negara-negara yang mengalami nasib yang sama akibat dari tindakan suatu Negara tersebut. Dalam teorinya, volume perdagangan yang terkena tindakan retaliasi nilainya harus diperkirakan sama atau sebanding dengan nilai proteksi impor yang diperlakukan oleh Negara yang mana retaliasi ingin diterapkan (Pelawi, 2007). Menurut pasal 22 DSU Agreement WTO, dikemukakan bahwa ganti kerugian dan penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya merupakan tindakan sementara yang diberikan apabila rekomendasi dan keputusan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang wajar. Bila permintaan ganti kerugian ini tidak dapat dilaksanakan oleh pihak yang tergugat maka pihak penggugat dapat melakukan tindakan retaliasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 22(3) DSU Agreement. Dalam pemberlakuan retaliasi, suatu Negara dapat melakukan berbagai bentuk retaliasi seperti pembatasan impor, pengenaan tarif, atau bentuk-bentuk proteksi lainnya selama nilai retaliasi tersebut sebanding dengan kerugian yang diderita akibat dari kebijakan proteksi Negara lain.
12
Nontariff Trade Barriers (NTB): Import Quota NTB adalah kebijakan yang membatasi perdagangan internasional selain dari tariff. Kebijakan ini mulai berkembang sejak tahun 1960-an dan akhir-akhir ini menjadi topic yang banyak dibicarakan dalam setiap perundingan perdagangan internasional. Dengan semakin berkurangnya hambatan tarif, hambatan nontariff semakin berkembang pesat. Hal ini tidak mengherankan karena dengan berkurangnya atau hilangnya hambatan tariff maka setiap Negara berlombalomba untuk mencari cara melindungi industri dalam negeri salah satunya yaitu dengan import quota. NTB banyak disebut sebagai tindakan proteksi terhadap industri dalam negeri yang terancam oleh industri sejenis dari luar negeri. Dengan penerapan NTB maka akan mengurangi tingkat kompetisi yang diterima industri dalam negeri. Pola-pola proteksionisme pun selalu berkembang seiring dengan disetujuinya perjanjian-perjanjian baru yang menghapus pola perdagangan tidak fair. Dari yang semula bisa berupa lisensi impor, quota impor, subsidi, dan permainan nilai tukar uang menjadi pola baru seperti SPS, standar mutu, perlindungan konsumen dan lingkungan hidup. Import quota adalah hambatan fisik terhadap kuantitas barang yang dapat diimpor dalam suatu periode waktu tertentu; quota secara umum membatasi impor pada level dibawah dari impor yang akan terjadi pada saat kondisi normal didalam free-trade. Import quota dalam penggunaannya dapat menuju kepada monopoli domestik terhadap produksi dan harga yang lebih tinggi. Hal ini karena produsen dalam negeri sadar bahwa produsen luar negeri tidak akan dapat melebihi kuota yang telah ditetapkan sehingga memungkinkan kenaikan harga (Carbaugh, 2007). Pemberlakuan import quota tentu bukan tanpa masalah. Disatu sisi dapat menghidupkan industri dalam negeri sejenis karena berkurangnya persaingan dari
13
produk impor, namun disisi lain juga merugikan konsumen yang tidak diberikan pilihan bervariasi akan produk hortikultura yang dikonsumsinya dan kenaikan harga yang harus dibayarkan konsumen akibat dari kebijakan larangan impor tersebut. Kenaikan harga akibat dari kuota impor yang diberlakukan bisa terjadi kerena adanya pergeseran harga akibat dari perubahan jumlah permintaan dan penawaran barang. Dari sebelumnya jumlah penawaran yang tidak dibatasi, menjadi berkurang karena adanya kebijakan larangan impor sedangkan jumlah permintaan akan hasil produksi tetap atau meningkat jika melihat tren konsumsi per tahun. Hal ini sesuai dengan hokum permintaan dan penawaran barang yang menyatakan bahwa pada saat permintaan meningkat dan penawaran berkurang maka harga barang akan naik.
5. Argumen Utama Dalam kasus larangan impor hortikultura Indonesia, kebijakan pemerintah untuk melarang dan membatasi impor sejumlah produk hortikultura tidak memenuhi safeguard measure yang diatur oleh WTO. Pertama dapat kita lihat dari serious injury yang terjadi. Dengan semakin meningkatnya impor buah dari luar negeri yang beredar di pasar Indonesia ternyata tidak mengakibatkan produksi buah Indonesia terhambat ataupun turun. Bahkan masih meningkat dari tahun ke tahun. Produksi buah selama lima tahun terakhir meningkat 29,21 persen (kompas.com, 2012) Dengan ini tidak terbukti adanya serious injury yang diakibatkan impor buah. Kedua jika kita melihat causal link yang terjadi. Walaupan pertumbuhan produksi buah dalam negeri mengalami peningkatan, namun juga diikuti dengan peningkatan impor buah dari tahun ke tahun. Hal ini tidak terjadi diakibatkan oleh kalah saingnya buah dalam negeri, namun permintaan akan konsumsi buah yang terus meningkat tidak dapat dipenuhi oleh
14
produksi buah dalam negeri sehingga jalan keluarnya tentu saja mengimpor dari luar negeri (kompas.com, 2012). Pembatasan dan larangan impor hortikultura yang ditujukan untuk melindungi produsen dalam negeri ternyata juga membawa berbagai dampak buruk bagi Indonesia. Adanya laporan yang dilakukan oleh Amerika kepada WTO terkait kebijakan ini mempengaruhi hubungan dagang Indonesia dan Negara-negara pengekspor produk hortikultura terutama yang tujuannya Indonesia. Pengaduan terhadap WTO akan kebijakan yang dikeluarkan oleh Indonesia untuk membatasi impor hortikultura mengakibatkan Indonesia terancam akan aksi retaliasi jika Indonesia dinyatakan bersalah. Aksi balasan ini tentu akan sangat merugikan Indonesia yang sudah mengalami defisit perdagangan tahun sebelumnya. Barangbarang hasil produksi Indonesia akan semakin sulit bersaing di pasar internasional akibat dari akses pasar yang dibatasi.
6. Jangkauan Waktu Penelitian Penelitian memerlukan suatu batasan waktu yang akan diteliti dengan harapan tidak terjadi penyimpangan pokok pembahasan masalah. Dengan adanya jangkauan waktu yang jelas maka penelitian dapat lebih fokus terhadap pembuktian hipotesa dalam menjawab pertanyaan penelitian dan tidak melebar ke masalah yang tidak berkaitan. Dalam penelitian ini, jangkauan waktu yang diteliti adalah selama masa kekuasaan Presiden SBY periode kedua dimana munculnya penerapan larangan impor hortikultura pertama kali yakni ditahun 2013 dimana penelitian ini dilaksanakan. Namun tidak menutup kemungkinan adanya pembahasan dari tahun sebelumnya selama itu relevan dalam membantu menjawab pertanyaan penelitian.
15
7. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjawab pertanyaan yang muncul pada awal penelitian. Metode ini adalah metode penelitian ilmu sosial yang bersifat deskriptif dan berusaha untuk menginterpretasikan gejala yang terjadi pada sebuah konteks sosial. Penelitian ini menggunakan teknik library research atau penelitian pustaka. Data yang digunakan bersumber dari data sekunder yakni dihasilkan dari tulisan orang lain yang telah dipublikasikan seperti buku, jurnal, majalah, artikel surat kabar, sumber internet dan laporan lainnya dari beragai sumber yang relevan dengan penelitian yang akan disusun.
8. Sistematika Penulisan Tesis Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I secara umum akan mengantar pada awal munculnya pertanyaan penelitian mengenai larangan impor hortikultura Indonesia. Lebih detil lagi pembahasan akan dimulai dari latar belakang penelitian, pertanyaan yang muncul, kerangka konseptual yang digunakan, argumen utama , jangkauan waktu, dan metodologi penelitian. Bab II akan menjelaskan mengenai safeguard measures seperti apa yang dimaksud oleh WTO. Penjelasan akan dimulai dari sejarah awal munculnya klausul safeguard, ketentuan-ketentuan yang diharuskan sebelum menerapkan klausul ini serta overview pasal-pasal mengenai safeguard baik yang berada dalam pasal XIX GATT maupun yang berada dalam Agreement on Safeguard (SA). Bab III akan membahas kebijakan-kebijakan apa saja yang dikeluarkan pemerintah Indonesia terkait dengan larangan impor hortikultura dalam kerangka safeguard measures. Bagaimana penerapan kebijakan tersebut dan berapa lama kebijakan tersebut berlaku. Serta perubahan-perubahan kebijakan yang terjadi 16
dalam masa itu. Bab ini juga melihat kesesuaian kebijakan larangan impor hortikultura dengan prinsip safeguard measures yang diperbolehkan WTO. Apakah ada pelanggaran terhadap perjanjian ataukah penerapan safeguard measures sudah sesuai dengan perjanjian yang disepakati di WTO. Akan disajikan juga data-data terkait impor buah dan perkembangan industri buah dalam negeri dari tahun ke tahun. Bab IV menceritakan bagaimana dampak yang dihasilkan dari kebijakan larangan impor hortikultura tersebut terhadap hubungan Indonesia dengan Negara eksportir produk hortikultura terutama yang terkena imbas dari larangan impor produk hortikultura pemerintah Indonesia dan dampak yang terjadi pada perekonomian Indonesia. Bab V berisikan kesimpulan penelitian dimana kebijakan larangan impor hortikultura yang dilakukan oleh Indonesia tidak memenuhi syarat-syarat safeguard measures yang diatur oleh WTO sehingga dapat dikatakan sebagai bentuk proteksionisme baru, banyaknya dampak buruk yang terjadi dibandingkan manfaat yang diterima dari pengambilan kebijakan larangn impor hortikultura tersebut dan pelajaran yang bisa diambil sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pembanding penelitian-penelitian di masa yang akan datang.
17