BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter diatas permukaan laut. secara geografis terletak pada posisi 7’ 32.5’ Lintang Selatan dan 110’ 26.5’ Bujur Timur, secara administratif terletak pada 4 wilayah kabupaten yaitu kabupaten Sleman di provinsi D.I Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah. Pada tanggal 20 September 2010 status kegiatan Gunung Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada, dan selanjutnya ditingkatkan kembali menjadi siaga (level III) pada 21 Oktober. Sejak Oktober 2010, pukul 06.00 WIB. status kegiatan Gunung Merapi dinaikan dari Siaga (level III) menjadi Awas (level IV), dan pada 26 Oktober 2010 Gunung Merapi mengalami erupsi pertama dan berlanjut dengan erupsi lanjutan hingga awal November 2010 (BNPB, 2011). Kejadian erupsi tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda. Bencana tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai kejadian bencana alam. Bencana ini merupakan yang terbesar dibandingkan sebelumnya, yaitu kejadian pada tahun 1994, 1997, 1998, 2001, dan 2006. Berdasarkan data Pusat pengendalian operasi penanggulangan bencana (Pusdalops) BNPB pertanggal 12 Desember 2010, bencana erupsi gunung Merapi ini telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 277 orang meninggal di wilayah D.I. Yogyakarta dan 109 orang meninggal di wilayah Jawa Tengah. Kerusakan yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Merapi berdampak pada sektor pemukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi, lintas sektor yang mengakibatkan terganggunya aktivitas dan layanan umum di sekitar Gunung Merapi. Material semburan Gunung Merapi telah mengakibatkan kerusakan
1
2
beberapa dusun di kabupaten Sleman, Provinsi D.I. Yogyakarta dan menimbun serta merusak ribuan rumah penduduk.
Di Provinsi D.I.
Yogyakarta, tercatat 2.682 rumah rusak berat. Sementara di Provinsi Jawa Tengah terdapat 174 rusak berat (BNPB, 2011). Salah satu isu yang paling penting dalam Operasi Penanggulangan Bencana adalah kegiatan penyaluran bantuan logistik. Pengelolaan logistik dalam konteks Disaster Relief Operation (DRO) meliputi kegiatan seperti menilai permintaan, pengadaan barang, menentukan prioritas serta menerima, menyortir, menyimpan dan pelacakan pengiriman. Dengan menggunakan analogi logistik komersial, kita dapat mengklasifikasikan barang-barang yang diterima sebagai logistik masuk, yaitu proses memperoleh pasokan dari beberapa pemasok untuk bantuan distribusi dan mengklasifikasikan logistik keluar sebagai pemberian pasokan dari pusat distribusi ke daerah-daerah bencana (Sheu, 2007). Dalam penelitian yang dilakukan Balcik dan Beamon (2008) diterangkan bahwa bencana mengakibatkan tuntutan yang sangat besar terhadap sumber daya, membutuhkan proses perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian aliran sumber daya untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak. Penelitian ini juga menerangkan tentang tantangan yang dihadapi pada penanganan logistik dibidang humanitarian yang di bagi menjadi 4 yaitu: 1. Bertambahnya ketidakpastian (rute yang tidak dapat dilalui, masalah keamanan, mengubah kapasitas fasilitas, ketidakpastian permintaan). 2. Komunikasi dan koordinasi yang kompleks (kerusakan jalur komunikasi, keterlibatan banyak pihak, pemerintah, dan warga sipil, tidak dapat diaksesnya informasi permintaan real-time yang akurat) 3. Sulit-untuk-mencapai pengiriman yang efisien dan tepat waktu. 4. Sumber daya yang terbatas sehingga sering kewalahan oleh skala situasi
3
Thomas dan Kopczak (2005) menunjukkan bahwa masalah utama dalam distribusi bantuan bukan hanya pada jumlah pasokan yang tersedia, tetapi dalam distribusi barang-barang yang cepat dan dalam jumlah yang tepat untuk orang-orang yang membutuhkan. Dalam banyak kasus, hambatan dalam mendistribusikan persediaan disebabkan oleh infrastruktur yang rusak dan tidak tersedianya informasi yang akurat tentang jenis dan jumlah bantuan yang harus dikirimkan, terutama dalam beberapa hari pertama pasca bencana. Dalam
kasus
lain,
kelebihan
pasokan
barang
non
esensial
dapat
mengakibatkan respon logistik menjadi lambat. Dalam penelitian yang dilakukan Rossum (2010) terkait dengan hambatan yang terjadi dalam operasi bantuan bencana diIndonesia terdapat tiga faktor utama yang penyebab permasalahan yaitu: pertama adalah kordinasi yang sangat lemah. Kedua, Penyebaran informasi yang kurang baik, saat terjadi bencana butuh waktu yang cukup lama untuk mengetahui berapa besar dampak dari bencana serta jenis bantuan apa yang dibutuhkan, meski pada akhirnya korban menerima bantuan tetapi banyak jenis bantuan yang tidak tepat sasaran. Ketiga, Proses logistik yang sulit dilakukan, hal ini diakibatkan karena kondisi infrastruktur diIndonesia yang kurang baik seperti kurangnya jumlah bandara, pelabuhan serta jalan raya yang rusak setelah terjadi bencana. Meskipun sistem logistik bencana menjadi komponen penting dalam keseluruhan aktivitas penanggulangan bencana, namun masih terdapat banyak permasalahan dalam pelaksanaannya terutama di Kabupaten Sleman. Hal ini tampak pada kasus bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 lalu yang menunjukkan lemahnya pelaksanaan logistik bencana, seperti sering terjadinya kelebihan stok barang untuk kebutuhan yang tidak mendesak sementara barang yang mendesak justru mengalami kekurangan, kurangnya profesionalisme
dan
koordinasi
antar
pelaku
penanganan
bencana,
pemanfaatan teknologi yang minimalis, kurangnya proses pembelajaran antar pelaku penanganan bencana, serta kurangnya pemahaman akan pentingnya
4
logistik itu sendiri (Patriatama, 2012). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman, terkait dengan sistem informasi penyaluran logistik untuk korban bencana erupsi Merapi yang dikelola oleh BPBD Sleman untuk penyaluran ke posko pengungsian, penggunaan teknologi Short Message Service (SMS) digunakan sebagai sarana komunikasi dan informasi tentang persediaan logistik baik jumlah dan jenis bantuan yang tersedia hingga jumlah pengungsi yang berada di posko pengungsian. Operator lapangan akan mengirimkan informasi ke pusat distribusi logistik BPBD yang kemudian akan dicatat dan dijadikan acuan dalam mengirim jenis logistik dan jumlah bantuan ke posko pengungsian. Untuk tempat pengungsian pada sistem yang berjalan saat ini BPBD telah membagi seluruh desa yang berada diwilayah yang berada didalam peta rawan terdampak bencana Merapi ke masing-masing pusat pengungsian yang dikelola bekerjasama dengan perangkat pemerintahan desa. Terdapat permasalahan yang terjadi dalam penyaluran bantuan logistik, dimana informasi dan data tentang logistik bantuan untuk korban bencana mengalami perubahan diakibatkan warga yang telah tercatat sebagai warga pengungsi disatu posko lebih memilih tempat pengungsian yang lain seperti lebih memilih tempat keluarga untuk mengungsi sehingga pengiriman bantuan terkadang tidak sesuai dengan jumlah dan jenis bantuan yang diperlukan dilokasi pengungsian. Hal ini karena tidak adanya informasi dan kordinasi oleh masyarakat
serta LSM sehingga bantuan bersifat sporadis
tanpa mengetahui informasi tentang kebutuhan logistik dari tempat pengungsian tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan perangkat sistem informasi logistik yang berbasiskan pada penerapan SMS Gateway dan
aplikasi berbasis Web untuk menyediakan
informasi yang dibutuhkan dalam menyalurkan bantuan logistik di bidang bantuan kemanusiaan khususnya di wilayah daerah rawan bencana Merapi.
5
2. Rumusan Masalah Mengembangkan Protoype aplikasi sistem informasi berbasis pada aplikasi berbasis layanan Web dan SMS gateway sebagai sarana informasi dan komunikasi dalam mengelola proses distribusi bantuan bagi para korban terdampak erupsi Gunung Merapi diwilayah Kabupaten Sleman khususnya pada fase tanggap darurat (Emergency).
3. Batasan Masalah Batasan Masalah dan asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini memfokuskan pada pengembangan sistem informasi diantara distribusi pusat yang dikelola BPBD dengan titik-titik pengungsian khususnya pada periode tanggap darurat. 2. Jenis logistik yang dipilih adalah logistik yang umum seperti makanan, pakaian dan tenda. Bukan logistik yang memerlukan penanganan khusus seperti obat atau kantung darah.
4. Tujuan Penelitian 1. Menerapkan perancangan sistem informasi distribusi logistik bantuan khususnya untuk daerah bencana Merapi 2. Membuat prototype program sistem informasi distribusi logistik bantuan berbasis layanan Web dan SMS gateway
5. Manfaat Penelitian 1. Memberikan
Pengetahuan
tentang
pengelolaan
logistik
dibidang
kemanusiaan. 2. Diharapkan membuat proses pengiriman bantuan logistik yang efisien namun tetap responsif. 3. Mencegah terjadinya pemborosan sumber daya logistik, karena ketidak akuratan informasi