BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Poligami Perkawinan merupakan salah satu tahap dalam kehidupan manusia dalam rangka untuk membangun rumah tangga sebagai tempat memadu kasih dengan segala persoalannya yang melingkupi dan juga untuk melangsungkan generasi manusia dengan lahirnya anak sebagai buah cinta kasih. Perkawinan ini dilakukan dengan cara yang berbeda-beda di setiap tempat dan waktu karena terkait budaya dan tradisi yang berlaku di daerah tersebut. Selain itu, perkawinan juga masuk dalam ruang lingkup keagamaan. Semua agama di muka bumi ini pada umumnya menganjurkan pernikahan, yang dapat kita lihat dari peraturan yang ada dalam agama tersebut.
Dalam agama Islam, Perkawinan adalah suatu ikatan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan melalui akad nikah untuk menjalani kehidupan bersama sebagai suami-istri. Perkawinan ini adalah salah satu yang diperintahkan Allah dan rasulnya sebagaimana difirmankan-Nya dalam An-Nahl [16] ayat 72:
Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baikbaik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah? Konsekuensi dari pernikahan ini adalah setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak memilih pasangan hidupnya untuk saling mengasihi. Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk mewujudkan keluarga yang sakinnah1 , mawaddah (saling kasih mengasihi) warahmah (saling sayang menyayangi). Kemudian tujuan lain dari perkawinan adalah mewujudkan mu‟ asyarah bi al-ma‟ ruf (kesantunan dan kesopanan) dan sa‟ adah (kebahagiaan). Perkawinan ini (dalam Islam) merupakan ikatan yang kuat antara laki-laki dan perempuan yang menyatu dalam sebuah wadah yang bernama keluarga yang diwarnai
1
Secara harafiah (etimologi) sakinnah berarti ketenangan, ketentraman dan kedamaian jiwa. Lebih lanjut lihat Save M Dagum, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, edisi kedua (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2006) p. 991
1
dengan ketentraman dan kasih sayang, seperti yang tercantum dalam Surah Ar-Rum [30] ayat 21 dan Surah An-Nisa2 [4] ayat 21:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Surah Ar-Rum [30] ayat 21) Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (Surah An-Nisa [4] ayat 21) Jadi, pernikahan dalam agama Islam adalah suatu ikatan yang dianjurkan oleh agama. Menikah sangat dianjurkan bagi orang yang sudah berkeinginan dan khawatir akan terjerumus dalam dosa. Oleh kerena itu para Imam madzhab3 sepakat bahwa pernikahan itu lebih baik daripada melakukan haji, shalat, jihad serta ibadah sunnah. Hukum nikah itu sendiri menurut Imam Daud Dzahiri, adalah wajib bagi laki-laki maupun perempuan dan seumur hidup sekali.4 Tetapi menurut Imam Malik dan Syafii yang mendasarkan pada Surah An-Nur [24] ayat 33 menyatakan bahwa nikah itu hukumnya sunnah5 dan merupakan hal yang penting dalam Islam.6
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Alah memampukan mereka dengan Karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (Surah An-Nur [24] ayat 33) 2
Surah ke-4 yang berarti wanita, terdiri atas 176 ayat, termasuk juga dalam Surah Madaniyyah Mazhab dalam Islam berarti aliran penafsiran fiqih melalui pemikiran dan penelitian yang kemudian mendapat pengakuan resmi dan diikuti umat. Dalam Islam ada 4 Mazab yaitu, mazab Hanafi, Mazab Hambali, Mazab Maliki dan Mazab Syafii. Lihat dalam Save M Dagum, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2006) p. 632 4 Ach Khudori Soleh, Fikih Kontekstual (Perspektif Sufi-Falsafi) Jilid 6 tentang Perkawinan (Jakarta: PT. Pertja, 1999) p.1 5 Sunnah adalah perbuatan yang jika dilakukan mendapatkan pahala dan jika tidak dilakukan tidak berdosa. Save M Dagum, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, edisi kedua (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2006) p. 1079. 6 Syafih Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan: Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam (Bandung: Mizan, 2001) p. 149 dan lihat juga „Abdul „Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Ensiklopedia Etika Islam: Begini Semestinya Muslim Berprilaku (Terj: Muhammad Isnaini dkk, Jakarta: Maghrifah Pustaka, 2005) p. 497 3
2
Walaupun hukumnya sunnah, tetapi status hukum ini bisa berubah menjadi haram7 jika suami tidak bisa memenuhi kebutuhan lahir dan batin istrinya.
Kemudian dalam perkawinan juga dikenal istilah poligami. Arti poligami adalah:
Poligami (ing: polygamy; yun: polus = banyak; gamos = perkawinan) adalah sistem ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. 8 Poligami ini masih merupakan istilah yang umum. Ada tiga bentuk dari poligami ini yaitu: poligini,
poliandri dan pernikahan kelompok. Poligini adalah sistem perkawinan yang
membolehkan seorang laki-laki mengawini beberapa perempuan dalam waktu yang sama9, dan poliandri adalah perkawinan dimana seorang perempuan memiliki beberapa suami sekaligus10. Sedangkan pernikahan kelompok adalah kombinasi dari poligini dan poliandri. Dalam sejarah umat manusia ketiga bentuk hubungan pernikahan tersebut sudah ada dan yang paling umum terjadi adalah poligini.11
Dalam Islam ketika berbicara tentang poligami maka yang dimaksudkan adalah poligini sebab poliandri dihapuskan dalam sistem pernikahan Islam. Poliandri dihapuskan dengan alasan anak yang dilahirkan tidak bisa diketahui secara jelas siapa ayah biologisnya. Larangan mengenai poliandri ini juga tertuang dalam Surah An-Nisa [4] ayat 24:
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah Menetapkan Hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 7
Haram adalah hal yang tabu dan dilarang oleh hukum. Save M Dagum, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, edisi kedua (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2006) p.325. 8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988) p. 693 9 Kata dalam waktu yang sama ini bukan hanya dapat berarti menikah dalam satu waktu dengan beberapa orang perempuan, tetapi juga dapat diartikan memiliki istri lebih dari seorang pada saat tertentu. 10 Kata sekaligus ini bukan berarti juga menikah dengan beberapa orang laki-laki pada saat bersamaan tetapi lebih kepada arti memiliki suami lebih dari satu pada saat tertentu. 11 Lihat Murtadha Muthahhari, Duduk Perkara Poligami (Terj. M. Hashem, Jakatar: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007) p. 17-27
3
Pembahasan poligami ini termasuk dalam ranah perkawinan dan dalam ajaran Islam termasuk dalam ilmu fikih12 (fikih munakahah). Karena pentingnya perkawinan ini dalam ajaran Islam, maka seorang ulama fikih klasik Ibrahim Al-Badjuri memasukkan perkawinan ini dalam salah satu rukun fikih yang ada yaitu fikih yang ketiga setelah fikih ibadah dan fikih muamalah (fikih tentang tata cara bergaul).13 Persoalan poligami ini sendiri masih merupakan persoalan pelik terkait masalah ajaran dan prakteknya dalam kehidupan. Dalam agama Islam terutama dalam kitab fikih poligami dilihat dari sisi mubahah14, yang berarti tidak ada larangan untuk berpoligami, tetapi juga tidak membiarkannya bebas tanpa aturan. Adapun yang menjadi dasar poligami adalah Surah Al-Quran, mengikuti sunnah Nabi dan hadith.
a. Dasar Al-Quran Dalam Al-Quran, konsep tentang poligami mengacu pada awal Surah An-Nisa [4] ayat 3 yang berbunyi:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil15, maka (kawinilah) seorang saja16, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Surah Al-Nisa ini dimulai dengan kisah pencipataan (ayat 1-2)
(1). Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
12
Kitab Fikih adalah kitab hukum dalam Islam. Fikih sendiri terdiri dari dua yaitu Fikih Akbar dan Fikih Asghar. Poligami termasuk dalam fikih Akbar. 13 Seperti yang dikutib Syafih Hasyim dalam, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan: Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam (Bandung: Mizan, 2001) p.141 14 Mubahah adalah sebuah status hukum dalam agama Islam yang berarti hukum yang boleh dilakukan dan lebih bersifat menganjurkan, dan tidak ada konsekwensi pahala yang diakibatkannya. Mubbah ini biasanya lebih dipakai kepada perkara-perkara yang bersifat duniawi. Lihat Save M Dagum, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, edisi kedua (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2006) p. 689 15 Berlaku adil adalah perlakuan yang adil dalam melayani istri, seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah. (lihat penjelasan dalam Al-Quran) 16 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. (lihat penjelasan dalam Al-Quran)
4
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silahturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawsi kamu. (2). Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baliq) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. kemudian pada ayat
ketiga di atas yang menjadi acuan dalam poligami mengaitkan
antara kekuatiran akan tidak dapatnya berlaku adil terhadap anak yatim, dengan diperbolehkannya menikah dengan dua, tiga atau empat perempuan lain dengan syarat dapat berlaku adil terhadap mereka. Jika tidak dapat berlaku adil, maka seseorang lakilaki hanya diperbolehkan menikahi satu orang perempuan saja. Hubungan antara kedua permasalahan ini terdapat pada kalimat “dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain)”.17 Tetapi jika mengawini perempuan lain selain
perempuan dalam perwaliannya juga tetap diwajibkan untuk berbuat adil dan memberikan maskawin.
Dalam Surah tersebut, diatur bahwa poligami dapat dilakukan dengan syarat adil yang jelas dan membatasi hanya sampai empat orang saja. Batasan empat ini merupakan batasan maksimal pada masa tersebut.18 Kemudian ayat lain yang berbicara mengenai poligami adalah Surah Al-Nisa [4] ayat 129.
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Surah An-Nisa [4] ayat 129) Pada kedua ayat inilah yang umumnya dijadikan dasar diperbolehkannya melakukan poligami.19
17
Dr. Muhammad Baltaji, Poligami (Terj. Afifudin Said, Solo: Media Insani Publishing, 2007) p. 26-27. Saya melihat ayat ini secara implisit menyatakan bahwa jika wali bisa berlaku adil, maka wali dapat juga menikahi anak yatim yang berada di bawah perwaliannya. Tetapi saya juga menangkap bahwa ada nuansa perlakuan tidak adil di dalam menikahi perempuan selain perwaliannya. 18 Apakah sekarang masih relevan dengan batasan empat tersebut? Batasan ini bisa diperdalam lagi dalam tulisan yang selanjutnya atau tulisan lainnya. 19 Drs Khoiruddin Nasution., MA, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan ACAdeMIA, 1996) p.85
5
Jika melihat dari sejarah turunnya ayat ini, para ulama pada umumnya berpendapat bahwa Surah An-Nisa [4] ayat 3 ini turun setelah perang Uhud20. Dalam perang tersebut, banyak pejuang Islam yang gugur. Sehingga banyak janda dan anak-anak yatim yang terabaikan masa depannya.
b. Dasar Hadith Secara etimologi, hadith berarti perkataan,21 kabar, dan perbuatan.22 Dalam Islam, Hadith mengacu kepada perkataan (Sunnah Qauliyah)
23
atau sesuatu yang datang dari Nabi SAW
dan kedudukan hadith ini dalam hukum Islam berada di posisi ke dua setelah AlQuran. Hadith yang menjadi dasar perkawinan adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Muas‟ ud ra:
Dari Alqamah ia berkata: Aku sedang berjalan bersama Abdullah di Mina lalu ia bertemu dengan Usman yang segera bangkit dan mengajaknya bicara. Usman berkata kepada Abdullah: Wahai Abu Abdurrahman, inginkah kamu kami kawinkan dengan seorang perempuan yang masih belia? Mungkin ia dapat mengingatkan kembali masa lalumu yang indah. Abdullah menjawab: Kalau kamu telah mengatakan seperti itu, maka Rasulullah saw. pun bersabda: Wahai kaum pemuda! Barang siapa di antara kamu sekalian yang sudah mampu memberi nafkah, maka hendaklah ia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih dapat menahan pandangan mata dan melindungi kemaluan (alat kelamin). Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penawar bagi nafsu. (Shahih Muslim No.2485) Pada hadith lain yang berkenaan dengan perkawinan yang sama dengan sunnah adalah hadith riwayat Anas ra:
Bahwa beberapa orang sahabat Nabi saw. bertanya secara diam-diam kepada istri-istri Nabi saw. tentang amal ibadah beliau. Lalu di antara mereka ada yang mengatakan: Aku tidak akan menikah dengan wanita. Yang lain berkata: Aku tidak akan memakan daging. Dan yang lain lagi mengatakan: Aku tidak akan tidur dengan alas. Mendengar itu, Nabi saw. memuji Allah dan bersabda: Apa yang diinginkan orang-orang yang berkata begini, begini! Padahal aku sendiri salat dan tidur, berpuasa dan berbuka serta menikahi wanita! Barang siapa yang tidak menyukai sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku. (Shahih Muslim No.2487) 20
Perang Uhud adalah perang melawan kaum Quraisy pada tahun 625 M atau tahun 3 H yang terjadi di bukit Uhud. Surah An-Nisa (4): 87 „Allah, tidak ada tuhan selain dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan Terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah ?‟ 22 Hohammad Thalib, Sekitar Kritik Terhadap Hadith dan Sunnah sebagai Dasar Hukum Islam (Jakarta: PT Bina Ilmu, 1977) p.9 23 Hadith ini oleh sebagian ulama lebih ditujukan kepada perkataan Nabi. Lihat IAIN Syarif Hidatayullah, Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2002) p.329-330 21
6
Hadith ini berarti juga menyarankan untuk mengikuti sunnah nabi. Mengenai jumlah empat orang saja yang boleh dinikahi oleh seorang laki-laki didasarkan juga atas perintah Muhammad kepada para sahabatnya yaitu Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi, Wahb alAsadi dan Qais bin al-Harits yang memiliki istri antara delapan sampai sepuluh orang untuk menceraikan yang lain dan hanya boleh mempunyai empat orang saja sebagai istriistri mereka.24 Selain kedua hadith tersebut, ada sebuah hadith lagi yang juga dipakai sebagai alasan poligami yaitu:
Sebaik-baik Umat ini adalah yang paling banyak istrinya (diriwayatkan Bukhori 9/140) c. Mengikuti Sunnah Nabi Secara etimologi,25
sunnah berarti jalan26 dan hukum27. Dilihat dari fikih, sunnah berarti
tindakan yang baik untuk dilakukan yang umumnya mengacu kepada prilaku Nabi.
28
Sebagian ahli hadith menyatakan bahwa yang termasuk dalam sunnah adalah Sunnah Fi‟ lsyah (perbuatan Nabi)29. Sedangkan sunnah Nabi terkait dengan poligami adalah ketika Nabi Muhammad melakukan poligami setelah istrinya meninggal dunia yaitu selama delapan tahun dari sisa hidupnya. Selama dua puluh delapan tahun Muhammad tetap setia menemani istrinya. Kemudian tiga tahun setelah istrinya yaitu Khadijah meninggal, barulah kemudian Muhammad menikah lagi dengan beberapa perempuan yang merupakan janda. Yang menarik adalah dari kesemua istri-istrinya, hanya Aisyah binti Abu Bakar yang masih perawan ketika dinikahi oleh Muhammad. Dalam poligami Muhammad kemudian membatasi banyaknya istri yang boleh dinikahi sebanyak empat orang dan Muhammad juga mengkritik perilaku yang sewenang-wenang terhadap perempuan karena pada saat itu perempuan dianggap rendah.
24
Muhammad juga
Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh At-tirmizy hadits no. 1128, oleh Ibnu Majah hadits no. 1953 lihat juga K.H. Saiful Islam Mubarak, Poligami antara Pro dan Kontra (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2007) p.2-3 25 Muhammad Thalib, Sekitar Kritik Terhadap Hadith dan Sunnah sebagai Dasar Hukum Islam (Jakarta: PT Bina Ilmu, 1977) p.10 26 Surah An-Nisa (4): 26 ”Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima tobatmu. Dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.” 27 Surah Al-Fat-h (48):23 “Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.” Dalam penjelasan di Al-Quran, sunnatullah berarti yaitu hukum Allah yang sudah ditetapkan-Nya. 28 Seringkali hadith disamakan dengan sunnah yang menjadi berarti perkataan, perbuatan atau juga persetujuan Nabi atas perkara tertentu yang kemudian dijadikan hukum. 29 Lihat IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta: Djembatan, 2002) p.329-330
7
menegaskan keharusan untuk berlaku adil dalam poligami tersebut, sedangkan poligami yang dilakukan oleh Muhammad merupakan suatu kekhususan yang merupakan perintah Allah kepadanya.
Hai nabi sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Surah Al-Ahzab [33] ayat 50) Dan setelah semua perkawinan yang telah dilakukan oleh Nabi dengan
12 orang
30
istrinya , kemudian turunlah ayat yang tidak memperbolehkan Nabi untuk kawin lagi dengan perempuan lain.
Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu (Surah Al-Ahzab [33] ayat 52) Dalam kitab-kitab sirah rasul terabadikan konflik, kecemburuan, ketidak akuran yang terjadi diantara istri-istri Rasul walaupun Rasul telah berusaha untuk melakukan mereka dengan sikap terbaiknya.31
Di Negara Indonesia peraturan tentang poligami
tertuang dalam Undang-undang (UU) No.1
32
Tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan tanggal 2 Januari 1974 yang diundangkan pada
30
Ke-12 istri Nabi tersebut adalah: Khadijah binti Khuwailid, Saudah binti Zam‟ ah, Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar bin al-Khaththab, Ummu Salamah binti Abi Umaiyah, Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan, Zainab binti Jahsy al-Asadiyah, Zainab binti Khuzaimah bin al_harits, Juwairiyah binti al-Harits, Syafiyah binti Huyay bin Akhthab, Raihanah binti Zaid bin Amr an-Nadhariyah dan Maimunah binti al_harits. Lihat dalam Dr.Karam Hilmi Farhat, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi (Terj. Abdurrahman Nuryaman, Jakarta: Darul Haq, 2007) p.137-162 31 Lihat Prof. Dr Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia, 2005) p.25 lihat juga Fauziy Sya‟ ban, Tipu Daya Istri-istri para Nabi (Terj. H. Misbach. Lc, Yogyakarta: Pustaka Al-Furqan, 2007) p. 261-320 32 UUP ini terdiri dari 14 Bab, 67 Pasal, peraturan pelaksanaannya terdiri dari 10 Bab, 49 pasal. Ketentuan azas monogami tercantum pada pasal 3 ayat 1, sedangkan pada ayat 2 membicarakan tentang perkecualian bagi seorang suami beristri lebih dari seorang. Pada pasal 4 dan 5 Junto (jo) pasal 41 PP No.9 Tahun 1975 mengatur tentang
8
Lembar Negara (L.N.) 1974 No.1 dan TLN No.3019. Undang-undang ini berlaku secara efektif sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.10 Tahun 197533, sedangkan perkawinan yang berhubungan dengan poligami tertuang dalam PP No.10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990.34 Tetapi jauh sebelum adanya hukum perkawinan tersebut, masyarakat di Indonesia sudah ada yang melakukan poligami.
2. Permasalahan dalam Poligami Persoalan yang menjadi dasar pemikiran tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan baik dalam perkawinan ataupun dengan relasi kehidupan sehari-hari seperti hak waris dan kesaksian adalah kondisi dan posisi perempuan saat ini apakah dalam posisi normatif keagamaan35
menurut ajaran Islam. Ada dua sikap mengenai permasalah ini. Pertama,
adalah mereka yang menganggap bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan yang telah terjadi selama ini sudah sesuai dengan ajaran Islam. Kelompok ini, lebih cenderung menerima sistem dan ajaran Islam dengan apa adanya karena diuntungkan dari keadaan tersebut. Sedangkan sikap kedua, adalah mereka yang menganggap bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan saat ini berada dalam suatu sistem yang diskriminatif terhadap perempuan.36 Kaum perempuan inilah yang seringkali diperlakukan tidak adil dalam masyarakat dan dalam aspek kehidupan, yang seringkali dilegitimasi dengan tafsiran atas suatu ayat oleh pihak tertentu dan budaya, demikian pula dengan poligami.
Persoalan poligami ini sendiri menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Pandangan para ulama tersebut dapat di golongkan menjadi tiga pendapat yang berbeda.37 Pertama, para ulama yang memegang anggapan bahwa poligami tidak boleh dilakukan kecuali dalam kondisi khusus. Kedua, para ulama yang meyakini bahwa poligami diperbolehkan. Ketiga, adalah para ulama yang berpendapat bahwa poligami boleh lebih dari empat istri.
syarat-syarat beristri lebih dari seorang. Sedangkan pada pasal-pasal berikutnya UU tersebut tidak ada yang mengatur tentang syarat-syarat bagi istri untuk mempunyai suami lebih dari seorang. 33 Pada PP ini, persyaratan untuk dapat beristri lebih dari seorang tertuang pada pasal 40, 41 dan 42. 34 PP No.10 Tahun 1983 dan diubah menjadi PP No.45 Tahun 1990 khusus membahas tentang poligami dan izin perkawinan serta perceraian bagi Pegawai Negeri sipil (PNS) 35 Norma keagamaan berarti konsep tentang peraturan dan pengaturan tingkah laku manusia atas dasar sustu agama, lihat Save M Dagum, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, edisi kedua (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2006) p. 991 36 Mansor fikih dkk, Membincang Feminsime: Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996) p. 37 37 Drs Khoiruddin Nasution., MA, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh (Yogyakarta: Pertaka Pelajar dan ACAdeMIA, 1996) p.83
9
a. Pandangan Poligami Tidak Boleh Dilakukan Kecuali Kondisi Khusus Pandangan yang menolak poligami datang dari Muhammad Abduh (1849-1905 M). Abduh berkesimpulan bahwa poligami adalah suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan atau haram. Kesimpulan ini diambil dari Surah An-Nisa [4] ayat 3, yaitu bahwa poligami diperbolehkan hanya karena hal-hal khusus seperti ketidakmampuan istri untuk dapat melahirkan anak sebagai penerus keturunan. Kebolehan melakukan poligami itu pun juga harus didasarkan pada keharusan mampu melayani istri dengan adil. Tetapi pada akhirnya Abduh lebih menekankan pada ketidakmampuan laki-laki sebagai suami untuk berbuat adil di antara istrinya dan merujuk pada Hadith Sunan Abu Dawud38 yang menyatakan bahwa:
Barang siapa yang mempunyai dua istri lalu ia cenderung kepada salah satu tanpa yang lain maka pada hari kiamat nanti salah satu bahunya condong. Dari beratnya syarat melaksanakan keadilan dalam poligami, maka Abduh berpendapat bahwa tujuan utama dari Syariah adalah perkawinan monogami. Sedangkan poligami adalah haram hukumnya jika dilakukan hanya untuk kesenangan semata.39
Untuk menentukan hukum poligami adalah dilihat dari ayat sebelumnya yang merujuk pada perempuan yatim. Yatim di sini berarti anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum menginjak masa akil baliq. Jadi, poligami dengan maksud memelihara anak yatim tersebut dengan mengawini ibunya diperbolehkan.40
Tetapi yang menolak poligami ini juga memperbolehkan terjadinya poligami jika dan hanya jika istri mandul atau istri tidak dapat memberikan keturunan karena sakit ataupun istri sakit jiwa dan pasangannya benar-benar menginginkan keturunan. Dalam UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia kebolehan ini diatur dalam pasalnya yang ke 3 sampai ke 5 beserta persyaratan-persyaratannya.
38
Lihat hadith selengkpanya pada : Sunan Abu Dawud, tentang kitab nikah bab 37. Drs Khoiruddin Nasution, MA., Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan ACAdeMIA Yogyakarta, 1996) p.102-103 40 Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 2001) p.166 39
10
b. Pandangan yang Menerima Poligami Pandangan yang menerima poligami datang dari Al-Jurjani (w.
547 H), Al-Jurjani
memberikan alasan poligami boleh dilakukan dengan batasan maksimal empat orang istri. Empat itu menurut Al-Jurjani mengacu pada jumlah campuran yang membentuk struktur manusia yaitu air, api, udara dan tanah. Selain itu juga bahwa empat juga berarti sesuai dengan sumber mata pencarian manusia yaitu pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri.41 Selain mengikuti sunnah Nabi yang dipakai sebagai alasan untuk diperbolehkannya poligami, alasan lain adalah karena niat untuk mengikuti contoh nabi yang beristri lebih dari satu. Kemudian hal ini diperkuat juga dengan hadith Shahih Muslim (no. 2485 dan no. 2487) tersebut diatas.
Pandangan lain datang dari Ibnu Jahir Al-Thabari (w. 310 H) yang menyatakan bahwa ayat An-Nisa [4] ayat 3 ini merupakan kekuatiran akan tidak mampunya seseorang wali untuk berbuat adil kepada harta anak yatim yang dibawah perwaliannya jika ia ingin mengawininya.42 Oleh karena itu maka para wali tersebut boleh menikahi perempuan lain.
Menurut Al-Jashshash (w. 370 H/980 M), ayat tersebut berkenaan dengan anak yatim yang dinikahi oleh walinya. Pendapat ini didasarkan pada hadith dari Urwah yang menyatakan bahwa seorang wali dilarang menikahi seorang anak yatim yang berada di bawah perwaliannya hanya karena kecantikan dan harta anak tersebut. Hal ini juga disebabkan karena dikuatirkan para wali memperlakukan anak yatim tersebut secara tidak adil. Oleh kerena itu mereka sebaiknya menikahi perempuan lain. Al-Jashshash kemudian menyoroti bahwa poligami ini hanya bersifat mubah (boleh) tetapi juga disertai dengan syarat-syarat untuk berbuat adil diantara para istri baik dalam arti material maupun non material.43
41
Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 2001) p.164 42 Drs Khoiruddin Nasution, MA., Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan ACAdeMIA Yogyakarta, 1996) p.85 43 Drs Khoiruddin Nasution, MA., Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan ACAdeMIA Yogyakarta, 1996) p.85-86
11
Sedangkan Sayyid Qutub (w.1966 M), menyatakan bahwa poligami boleh dilakukan juga dengan syarat dapat berbuat adil kepada istri-istrinya, sedangkan jika tidak mampu berbuat adil maka diharuskan untuk menikahi satu orang istri saja. 44
Alasan adil yang menjadi sorotan utama, para ulama berpendapat bahwa adil yang dimaksudkan pada Surah an-Nisa [4] ayat 3 lebih pada keadilan
yang bersifat lahiriah
seperti tempat tinggal dan pakaian. Sedangkan pada Surah An-Nisa [4] ayat 129:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Makna adil lebih kepada keadilan yang bersifat batiniah seperti cinta. Sehingga poligami boleh dilakukan jika manusia bisa berlaku adil terhadap istri-istri mereka.
Pandangan lain dari pemikir Islam kontemporer yaitu Muhammad Sahrur (w.1921 M). Muhammad Sahrur menyatakan bahwa perempuan-perempuan yang boleh dinikahi itu adalah janda dari para perempuan yatim yang berada di bawah perwalian seseorang lakilaki.45 Pandangan ini mengaitkan antara ketakutan untuk tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim bila wali mengawininya yaitu tidak membayarkan mahar yang wajar dan pengelolaan harta perempuan yatim tersebut yang ada di bawah perwaliannya. Tetapi Sahrur juga tetap membatasi jumlah empat orang saja yang boleh dinikahi. Sehingga poligami yang dilakukan benar-benar dalam rangka perlindungan terhadap para janda-janda dan anak yatim.
c. Pandangan yang Menerima Poligami dan Boleh Lebih dari Empat Istri Dalam pandangan mereka yang menerima bahwa poligami boleh dilakukan dengan lebih dari empat istri juga dilandasi oleh dasar yang sama yaitu Surah An-Nisa [4] ayat 3, tetapi dengan penafsiran yang berbeda. Beda penafsiran ini terutama pada kata “waw” Ada yang menafsirkan dengan jalan menambahkannya, yaitu menjadi dua ditambah tiga
44
Drs Khoiruddin Nasution, MA., Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan ACAdeMIA Yogyakarta, 1996) p.90 45 Membaca kembali ayat poligami oleh KH Husein Muhammad tanggal 19 desember 2008. Lihat. Rahima.com/tafsir-Al-Quran/Membaca kembali ayat poligami.
12
ditambah empat sehingga didapat jumlah sembilan orang yang bisa dinikahi lagi. Adapula yang menafsirkannya dengan jalan menambahkannya yaitu dua ditambah dua, tiga ditambah tiga, empat ditambah empat, sehingga didapati jumlah delapan belas orang.46
Sedangkan alasan lain untuk menikah lebih dari empat orang perempuan adalah mencontoh perbuatan nabi sendiri yang pernah beristri sembilan orang pada waktu bersamaan. Dan mengikuti perbuatan nabi adalah sesuatu yang wajib dilakukan yang didasarkan pada Surah Al-Ahzab [33] ayat 21:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Poligami seringkali dilakukan dengan alasan agar terhindar dari zina47. Latar belakang dari alasan agar terhindar dari zina itu, adalah pemenuhan akan penyaluran kebutuhan biologis sang suami. Jika dicermati lebih lanjut maka yang perlu dipertanyakan adalah apakah poligami semata-mata diperbolehkan hanya dengan alasan pemenuhan akan kebutuhan biologis sang suami. Jika iya, ini berarti mereduksi laki-laki menjadi sekedar makhluk seksual saja. Sikap laki-laki yang tidak mau istrinya poliandri, juga menunjukkan tidak adanya prinsip kesetaraan gender.48 Hal ini dapat dilihat dari peraturan yang memperbolehkan poligami dengan berbagai alasan khusus.49 Suami diperbolehkan poligami jika istri tidak dapat memberikan keturunan atau jika perempuannya mandul. Tetapi ketika sang suami yang mandul, kenapa tidak ada kesempatan bagi istri untuk menikah lagi dan mendapatkan keturunan daripadanya. Kemudian dari pandangan para ulama, kebolehan poligami dilihat dari banyaknya istri yang boleh dinikahi, sedangan permasalahan keadilan menjadi kurang ditekankan.
46
Drs Khoiruddin Nasution, MA., Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan ACAdeMIA Yogyakarta, 1996) p.92-93 47 Zina (Arab) adalah bila dua orang yang bukan suami istri, melakukan hubungan yang dihalalkan khusus untuk pasangan suami istri. Di dalam Islam, pelaku perzinaan dibedakan menjadi dua, yaitu pezina muhshan dan ghayru muhshan. Pezina muhshan adalah pezina yang sudah memiliki pasangan sah. Sedangkan pezina ghayru muhshan adalah pelaku yang belum pernah menikah dan tidak memiliki pasangan sah. Lihat Save M Dagum, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, edisi kedua (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2006) p. 1213 48 Saya merasa bahwa yang di perjuangkan oleh para anti poligami bukan kesetaraan untuk bisa poliandri tetapi lebih kepada perlakuan kepada perempuan sebagai manusia seutuhnya (memanusiakan manusia) 49 Dr. Miftah Faridl, Poligami (Bandung: Penerbit Pusataka, 2007) p.37
13
Terlepas dari kesemuanya itu, seringkali masalah psikologi50 dan masalah sosial sang istri tidak mendapat perhatian khusus. Bukankah penderitaan, baik itu yang dirasakan secara emosi, perasaan maupun fisik juga merupakan hasil yang diperoleh ketika seseorang memutuskan untuk membentuk suatu keluarga monogami, poligami ataupun poliandri.
Apakah ketika persoalan poligami ini sudah diputuskan dalam ranah hukum (kebolehannya dan jumlah istri yang boleh dinikahi), maka tidak perlu ditinjau pula dalam ranah psikologi dan sosialnya sebagai dampak yang terus dirasakan dalam menempuh kehidupan berumah tangga. Untuk membuka diri dan dimengerti oleh masyarakat akan apa yang dirasakan dan dijalani dalam kehidupan pernikahan poligami tersebut, perlu adanya kejujuran dari perempuan serta penerimaan yang utuh dan menyeluruh dalam memahami mereka.
3. Alasan Memilih Judul Penelitian mengenai poligami sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti maupun yayasan yaitu: a. Yayasan Jurnal Perempuan Penelitian dilakukan tanggal 15-20 September 2003 dengan responden sebanyak 100 orang yang tersebar di seluruh Jakarta.51 Persoalan yang diangkat dalam pooling ini adalah mengenai sikap responden terhadap poligami (87% tidak setuju dan 13% setuju); sikap responden terhadap pendapat yang menyatakan bahwa laki-laki pasti dapat berbuat adil (90% tidak setuju, 9% setuju dan 1% tidak menjawab); sikap responden terhadap pendapat yang menyatakan bahwa poligami menguntungkan perempuan (94% tidak setuju, 4% setuju dan 2% tidak menjawab); sikap responden terhadap pendapat yang menyatakan bahwa praktek poligami saat ini sudah sesuai dengan Sunnah Nabi (75% tidak setuju, 17% setuju dan 8% tidak menjawab) dan sikap responden terhadap pendapat yang menyatakan bahwa perempuan yang mau dipoligami akan masuk surga (75% tidak setuju, 14% setuju dan 11% tidak menjawab).
50
Psikologi (filsafat) merupakan kekuatan jiwa yang terbentuk dari proses interaksi antara suatu sistem yang hidup dengan dunia sekitar. Pada manusia, kekuatan ini berbentuk fenomen-fenomen dunia subjektif seperti pancerapan, persepsi, pemahaman, pikiran dan perasaan. Lihat Save M Dagum, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, edisi kedua (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2006) p. 905 51 Lebih lanjut lihat pooling “Poligami sebagai Kejahatan Perkawinan”, Jurnal Perempuan: Menimbang Poligami No. 31 (September, 2003) p.100-107
14
b. Anne Louise Dickson Penelitian ini mengambil masalah mengenai “Pandangan Ibu-ibu „Aisyiyah
di Malang
terhadap Poligami” pada tahun 2007 dengan jumlah responden 16 orang.52 Penelitian ini melihat sikap responden terhadap poligami yaitu: bentuk perkawinan yang paling baik (87,5% menyatakan monogamy), alasan kebutuhan biologis laki-laki (81,25%), alasan ekonomi (81,25%), keuntungan poligami (kelebihan perempuan dapat diatasi), kesulitan poligami (berlaku adil dalam waktu dan harta, penderitaan emosi, hubungan dengan istri lain). c. Permasalahan tentang poligami juga pernah di tulis dalam skripsi dengan judul “Tinjauan Feminis Islam terhadap Kontroversi Praktek Poligami” oleh saudara Rena Sesaria Yudhita. Fokus pembahasan ditinjau dari sudut pandang feminis Islam.53
Demikianlah poligami masih banyak dipraktekkan di dalam masyarakat dan hanya menyangkut masalah syari‟ at (kebolehannya, jumlah istri dan alasan istri tidak dapat menjalankan
kewajiban
dengan
baik)
saja
tanpa
memperhatikan
masalah
sosial
kemasyarakatan dan psikologi perempuan pada saat ini sebagai pelaku poligami. Sedangkan Islam berdiri di atas tiga pilar utama yaitu syari‟ at54, aqidah55 dan akhlak56. Sehingga dalam menjalankan syari‟ ah perlu juga memperhatikan aqidah dan akhlak. Oleh karena itu penulis tertarik pada dimensi psikologi perempuan terhadap praktek poligami yang bersentuhan 52
Lebih lanjut lihat penelitian Anne Louise Dickson, 2007 “Pandangan Ibu-ibu „Aisyiyah di Malang terhadap Poligami” penelitian Australia Concortium For In-Country Indonesian Studies dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiah Malang, tidak dipublikasikan. 53 Tujuan penulisan dalam skripsi “Tinjauan Feminis Islam terhadap Kontrofersi Praktek Poligami” adalah: a. Memetakan kontroversi yang ada pada wacana poligami dan bagaimana Undang-undang di Indonesia ikut terlibat dalam kontroversi yang ada. b. Melihat dan menstrukturkan tinjauan feminis Islam terhadap tiap komponen yang terlibat dalam kontrofersi yang ada mengenai praktek poligami, sehingga didapatkan kesimpulan apa makna praktek poligami yang dihalalkan dalam Islam menurut feminis Islam. c. Dari dua hal tersebut di atas, diharapkan dapat ditemukan bagaimana sikap Islam terhadap perempuan. Darinya akan ditarik sebuah refleksi oleh kekristenan, agar muncul sebuah teologi antar agama yang adil kepada perempuan. Lebih lanjut lihat Rena Sesaria Yudhita, 2006, Tinjauan Feminis Islam terhadap Kontrofersi Praktek Poligami, Skripsi Program Studi Teologi, UKDW, tidak dipublikasikan. 54 Syari‟ ah adalah “al-Nushus al-Muqaddasah” (nash-nash hukum atau norma-norma hukum yang tertulis) dalam wahyu Allah dan al -Sunnah al-Mutawatirah yang sama sekali belum atau tidak tercampuri oleh daya nalar manusia sehingga ia tetap dan tidak bisa berubah dan tidak boleh dirubah karena ia sebagai wahyu Allah. 55 Aqidah adalah keyakinan dan kepercayaan yang mutlak tentang adanya Allah. Aqidah yang diyakini dalam Islam berupa rukun iman yaitu iman kepada Allah, iman kepada para rasul, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman terhadap para malaikat, iman kepada hari kiamat dan iman kepada qodha dan qodar. Lihat juga dalam Save M Dagum, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2006) p. 276 56 Akhlak adalah suatu keadaan yang melihat kepada jiwa manusia yang nampak pada perbuatan lahir dengan mudah dan tanpa proses pemikiran, pertimbangan dan penelitian. Jika perbuatan yang dilakukan baik disebut akhlah baik dan sebaliknya. Lihat Save M Dagum, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2006) p. 22
15
dengan aqidah dan akhlak, maka dalam skripsi ini difokuskan pada dimensi psikologi yang dirasakan oleh istri.
Berdasarkan uraian di atas, maka skripsi ini mengangkat judul:
Poligami dalam Islam (Tinjauan Psikososial-Teologis) Penjelasan: Yang dimaksud tinjauan psikososial-theologis dalam kaitannya dengan poligami dalam Islam adalah tinjauan atas pengaruh keadaan sosial kemasyarakatan pada massa Arab pra-Islam terhadap psikologi perempuan dan kemudian dilihat secara theologi poligami tersebut.
4. Tujuan Penulisan Tujuan akhir dari penulisan ini adalah: a. Menjabarkan konsep psikologi perempuan secara umum dan menurut Islam. b. Tinjauan psikologis terhadap praktek poligami dalam Islam dengan fokus utama adalah istri pada masa Arab pra Islam dan masa sekarang. c. Setelah melihat konsep psikologi perempuan dan tinjauan psikologis terhadap praktek poligami, kemudian akan diambil sebuah kesimpulan tentang pandangan psikososialteologis terhadap poligami.
5. Metode penulisan Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif-induktif dengan mencari data-data yang terkait melalui studi literatur serta memaparkan gambaran umum keadaan sosial kemasyarakatan perempuan pada saat Arab pra-Islam. Kemudian secara khusus melihat poligami dari sudut pandang psikologi perempuan. Dengan gambaran umum dan khusus tersebut diharapkan akan diperoleh pemahaman yang sejelas-jelasnya mengenai poligami, dan pada akhirnya menganalisa untuk mendapatkan suatu kesimpulan.
16
6. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam:
Bab I
Pendahuluan. Berisikan tentang latar belakang, permasalahan, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II
Kajian Teoritis Psikologi Berisikan psikologi perempuan secara umum dan dalam psikologi Islam.
Bab III
Analisa Psikologis tentang Perempuan yang Dipoligami Berisikan pendekatan psikologis terhadap praktek poligami dalam Islam dengan melihat kedudukan dan psikologi perempuan pada masa Arab pra-Islam serta psikologi perempuan Islam di Indonesia. Kemudian implikasi psikologis praktek poligami terhadap perempuan.
Bab IV Refleksi atas Praktek Poligami dalam Islam Berisikan refleksi Islam terhadap praktek poligami dalam pandangan psikologi, kemudian refleksi bagi kekristenan.
Bab V
Penutup Berisikan kesimpulan dan rekomendasi
17