BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection (HAI)
memiliki
kontribusi
yang
besar
terhadap
tingkat
mortalitas di dunia. Infeksi nosokomial menempati urutan keempat sebagai penyebab kematian di rumah sakit (Kaoutar et al., 2004). Kematian terjadi dalam 2 minggu setelah onset infeksi nosokomial terjadi (Sheng et al., 2007). Satu dari sepuluh pasien yang dirawat di rumah sakit akan mendapatkan infeksi nosokomial dan sebagian besar bentuk infeksi
nosokomial
merupakan
hal
yang
dapat
dicegah.
Hingga hari ini, infeksi nosokomial merupakan komplikasi paling umum pada pasien rawat inap di sebuah rumah sakit. Berdasarkan perkiraan konservatif, 10% dari populasi di Eropa
dirawat
diasumsikan
inap
bahwa
5%
di
sebuah
(3,8%
di
rumah bangsal
sakit. umum,
Sehingga, 15,3%
di
Intensive Care Unit) mendapatkan setidaknya satu bentuk infeksi nosokomial. Berdasarkan perkiraan ini pula, dapat diperkirakan bahwa 1,75 juta pasien rawat inap di Eropa akan terkena infeksi nosokomial tiap tahunnya dan 10% diantaranya
meninggal.
Hal
ini
menyebabkan
infeksi
nosokomial
menjadi
(Guggenbichler,
sebuah
2011).
Di
isu
kesehatan
India,
yang
infeksi
besar
nosokomial
menyerang 10%-30% dari seluruh pasien yang dirawat inap di rumah sakit (Avasarala, 2011). Berdasarkan Nosocomial
sistem
laporan
Infections
dari
Surveillance
CDC's
National
(NNIS),
infeksi
nosokomial yang berasal dari luka bekas operasi menduduki peringkat
ketiga
dari
terjadi,
menyumbang
kasus
nosokomial
14%-16%
dari
yang
seluruh
sering infeksi
nosokomial yang dialami oleh pasien rawat inap. Hal ini mungkin terhadap
dapat
dijelaskan
antimikroba,
karena
pasien
patogen
yang
yang
umumnya
resisten dilakukan
tindakan bedah adalah pasien lanjut usia dengan sistem imun yang lemah atau dengan penyakit penyerta lainnya, pemasangan alat prostetik pada tindakan bedah dan operasi transplantasi
organ.
Infeksi
nosokomial
yang
secara
signifikan memberikan kontribusi, berdasar frekuensi dan tingkat
keparahan,
adalah
infeksi
nosokomial
yang
berhubungan dengan prosedur, seperti infeksi bekas luka operasi
dan
saluran
kemih
urethra,
pemasangan pada
pneumonia
alat
pasien pada
medis, yang
pasien
termasuk
infeksi
menggunakan
kateter
yang
diintubasi
pada
sebuah ventilator dan bakteremia yang berhubungan dengan penggunaan seluruh
kateter
kasus
pemasangan
intravaskular.
infeksi
alat
Setidaknya
nosokomial
medis
50%
berhubungan
(Guggenbichler,
dari
dengan
2011).
Untuk
menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial yang berasal dari
luka
bekas
sistematis
dan
operasi,
realistis
sebuah harus
pendekatan
dilakukan,
yang
mencakup
pasien, prosedur operasi, tenaga medis yang ikut serta dalam prosedur operasi serta rumah sakit. Dari
hasil
survei
prevalensi
yang
dilakukan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 40% dari seluruh kasus infeksi nosokomial terjadi di ICU dan ruang rawat inap rumah sakit. Infeksi nosokomial ini dapat menyerang siapapun yang dirawat di rumah sakit, dari bayi yang baru lahir hingga orang lanjut usia dan menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi keluarga pasien. Hampir seluruh pasien yang terkena infeksi nosokomial harus dirawat di rumah
sakit
lebih
lama
sehingga
biaya
rawat
yang
dikeluarkan lebih banyak (Inweregbu, 2005). Selain itu, infeksi
nosokomial
bermanifestasi
lebih
berat
daripada
infeksi yang didapatkan di luar area rumah sakit karena mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial biasanya sudah
berkembang
atau
termodifikasi
sehingga
sulit
ditangani
oleh prosedur penanganan yang ada. Pada akhirnya, banyak pasien di rumah sakit yang meninggal bukan karena infeksi yang dibawanya, melainkan infeksi yang mereka dapatkan di rumah sakit tempat mereka dirawat. Menurut Nosocomial Infection National Surveillance Service,
penyebab
infeksi
Methicillin-Resistant Methicillin-Resistant
nosokomial
Staphylococcus Staphylococcus
terbanyak Aureus
Aureus
adalah (MRSA).
menyebabkan
60% infeksi nosokomial di rumah sakit (Inweregbu, 2005). MRSA berbeda dengan bakteri Staphylococcus aureus lainnya karena
MRSA
memiliki
antibiotik,
resistensi
contohnya
terhadap
Methicillin,
banyak
jenis
Ampicillin
dan
Penicillin yang biasa digunakan untuk mengobati infeksi karena bakteri Staphylococcus aureus. World
Health
Organization
(WHO)
dan
Centers
for
Disease Control and Prevention (CDC) menetapkan protokol untuk menilai kejadian infeksi nosokomial yang terjadi di rumah
sakit
di
dunia,
diantaranya
adalah
menjadikan
tingkat kejadian infeksi nosokomial sebagai aspek yang dinilai dalam standarisasi fasilitas kesehatan dan sistem surveilans. Sistem surveilans bertujuan untuk mengetahui
insidensi dan distribusi infeksi nosokomial sehingga pada akhirnya fasilitas kesehatan tersebut dapat mengendalikan kejadian faktor dalam
infeksi
risiko suatu
nosokomial.
dan
Dengan
karakteristik
fasilitas
mengamati
pasien,
kesehatan
dapat
faktor-
tenaga
medis
memperkirakan
pasien yang rentan terpapar infeksi nosokomial sehingga pencegahan dapat dilakukan dan kondisi yang fatal dapat dihindari. Melalui penelitian ini, peneliti berharap agar dapat
mendukung
sistem
surveilans
terhadap
infeksi
nosokomial, terutama di ruang rawat inap RSUP Sardjito, Yogyakarta sehingga infeksi nosokomial dapat dihindari.
2. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah
karakteristik
pasien
yang
mengalami
infeksi nosokomial di ruang rawat inap? 2. Bagaimana
prevalensi
berbagai
jenis
infeksi
nosokomial di ruang rawat inap?
3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui
karakteristik
pasien
yang
infeksi nosokomial di ruang rawat inap.
mengalami
2. Mengetahui
prevalensi
berbagai
jenis
infeksi
nosokomial di ruang rawat inap.
4. Keaslian Penelitian Penelitian
mengenai
infeksi
nosokomial
pernah
dilakukan oleh Andreas Budi Kristanto pada tahun 2006 dengan Jalan
judul Nafas
Pernafasan
penelitian dan
di
"Gambaran
Kejadian ICU
RS
Infeksi Bethesda
Ketaatan
Perawatan
Nosokomial
Saluran
Yogyakarta".
Hasil
penelitian ini adalah ketaatan perawatan jalan nafas di ICU RS Bethesda Yogyakarta belum sesuai dengan instruksi kerja dan kejadian INOS saluran pernafasan cukup tinggi sekitar
64%
dengan
kuman
terbanyak
Klebsiella
36%.
Penelitian ini tidak menggambarkan karakteristik pasien yang mengalami infeksi nosokomial. Penelitian mengenai infeksi nosokomial juga pernah dilakukan oleh Ken Inweregbu BSc FRCA di Leeds, Inggris pada tahun 2005. Hasil dari penelitian ini adalah bentuk infeksi
nosokomial
pencegahan mengganti
infeksi sarung
yang
sering
nosokomial
tangan
terjadi
seperti
secara
dan
cara-cara
mencuci
berkala
dan
tangan,
pemberian
antibiotik. Tidak ada penjelasan mengenai gambaran pasien yang terpapar infeksi nosokomial. Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi nosokomial luka operasi pernah dilakukan oleh Suparno pada tahun 2003 dengan judul "Faktor yang Berpengaruh Terhadap INOS luka operasi di SMF Kebidanan RSUP
Dr.
Sardjito
membuktikan
bahwa
Yogyakarta".
faktor
risiko
Hasil kejadian
penelitian INOS
luka
operasi antara lain umur lebih dari 45 tahun, nilai Hb < 11gr%, kualitas operator residen dan tingkat kedaruratan medik emergensi. Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut karena penelitian ini mengambil setting di ruang rawat inap RSUP Sardjito Yogyakarta. Penelitian
mengenai
infeksi
nosokomial
pernah
dilakukan oleh Purwadi Pudji pada tahun 1997 dengan judul "Infeksi
Nosokomial
Kontaminasi
di
RSUP
Luka Sardjito
Pembedahan Yogyakarta".
Bersih
dan
Hasil
dari
penelitian ini adalah kejadian infeksi nosokomial yang terjadi secara statistik mempunyai hubungan yang bermakna dengan
lama
pembedahan.
Apabila
waktu
pembedahan
yang
diperlukan semakin panjang, maka risiko terjadi infeksi nosokomial
pada
luka
pembedahan
semakin
tinggi.
Namun
tidak
digambarkan
karakteristik
pasien
yang
mengalami
infeksi nosokomial.
5. Manfaat Penelitian 1. Bagi mahasiswa, dokter dan peneliti, penelitian ini membuka wawasan agar selalu waspada terhadap risikorisiko yang ada ketika memberikan penanganan kepada pasien. 2.
Bagi
tenaga
medis
yang
melayani
pasien
di
RSUP
Sardjito, Yogyakarta, penelitian ini membantu tenaga medis dalam memperkirakan pasien yang rentan terpapar infeksi nosokomial, terutama pasien yang dirawat di ruang rawat inap RSUP Sardjito sehingga pencegahan infeksi nosokomial dapat dilakukan. 3. Bagi pengelola RSUP Sardjito, Yogyakarta, penelitian ini
membantu
dalam
mengevaluasi,
memperbaharui
dan
memperbaiki sistem pencegahan infeksi nosokomial di RSUP Sardjito, Yogyakarta.