BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masa pendudukan Jepang di Jawa1 (1942-1945) meskipun singkat, namun membawa banyak perubahan dalam masyarakat baik di Jawa maupun bangsa Indonesia secara umum. Memang tidak dapat dikatakan bahwa masa ini adalah satusatunya yang menentukan semua perubahan dalam masa sesudahnya, karena banyak perubahan berikut gejalanya sudah terlihat bahkan jauh sebelum masa pendudukan Jepang yang pendek ini. Gejala-gejala itu misalnya, kemunculan kesadaran nasionalisme, bentuk-bentuk pemerintahan, organisasi massa sebagai alat perjuangan, dan sebagainya, sudah dikenal dan dijalankan oleh tokoh-tokoh Indonesia, jauh sebelum kedatangan Jepang. Akan tetapi masa tiga setengah tahun yang acap disebut “seumur jagung” itu, merupakan masa krusial, genting dan amat menentukan, di mana para pemimpin Indonesia dipaksa untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat, sekaligus hati-hati, karena situasi Indonesia dan dunia internasional sedang terlibat dalam panasnya Perang Dunia II2. Karena gentingnya keadaan, perubahanperubahan yang terjadi terasa amat cepat, namun membawa bekas yang sangat mendalam. Bentuk perubahan yang paling penting tentu adalah berdirinya negara Indonesia, yang lahir melalui nasksah dan pidato proklamasi oleh Soekarno-Hatta 17 1
Jawa dengan cakupan geografis pulau Jawa, Madura dan Bali, digunakan dalam penelitian ini untuk memperjelas konteks wilayah pendudukan Jepang. Akan menjadi sulit jika menggeneralisirnya dengan istilah Indonesia, sebab adanya pembagian wilayah pendudukan menjadi tiga bagian, yang mengandung penerapan kebijakan secara berbeda. Dua bagian wilayah selain Jawa, yaitu Sumatera diperintah oleh Angkatan Darat Keduapuluhlima dengan pusatnya di Bukittinggi, sedangkan wilayah Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, diperintah oleh Angkatan Laut Armada Kedua dengan pusatnya di Makassar. Sementara wilayah Jawa, Madura dan Bali, dipimpin oleh Angkatan Darat ke Enambelas yang berpusat di Jakarta. Lih. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusasnto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1992, hal 5. 2 Keputusan cepat dan krusial itu, paling terasa misalnya dalam bulan Agustus 1945, ketika Jepang mengalami kekalahan telak dari Sekutu yang puncaknya pada pengeboman Hiroshima dan Nagasaki (6 dan 9 Agustus). 15 Agustus Jepang menyerah tanpa syarat dan meninggalkan kekosongan kepemimpinan politik bagi Indonesia. Selanjutnya, 17 Agustus proklamasi dikumandangkan setelah para pemuda seperti Soekarni dan Chairul Saleh mendesak Soekarno untuk segera mengumumkan kemerdekaan. Lih. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: UGM Press, 2007, hal 315.
1
Agustus 1945. Masa pendudukan Jepang kemudian kerap disebut sebagai masa persiapan sebelum negara Inodnesia benar-benar lahir. Akan tetapi, di sisi lain zaman ini juga diingat oleh masyarakat Indonesia, Jawa pada khususnya sebagai zaman yang penuh kekejaman. Ingatan itu muncul akibat adanya kebijakan eksploitatif seperti romusha dan wajib serah padi yang begitu menyengsarakan. Selain itu, ada pula yang menyebut masa pendudukan Jepang sebagai “zaman latihan”, karena dalam masa ini marak program latihan-latihan bagi alim-ulama, sebagai strategi Jepang untuk mengubah peran dan status ulama bukan hanya sebagai guru mengaji namun juga diberi peran tambahan sebagai propagandis3. Sebenarnya tidak hanya bagi alimulama, latihan-latihan juga diberikan kepada pemuda, melalui pembentukan organisasi semi-militer dan militer, yang kemudian berimbas secara luas terhadap mekarnya bibit militansi dan nasionalisme di kalangan pemuda, serta sebagai fondasi bagi terbentuknya kesatuan mliter resmi negara di kemudian hari. Penelitian yang digarap oleh penulis ini, ditujukan untuk menambah sumbangan kajian dalam tema pendudukan Jepang di Jawa. Meski sebenarnya, tema tersebut telah mendapat sumbangan yang amat berharga melalui kajian-kajian yang dilakukan oleh banyak akademisi. Beberapa kajian penting tentang pendudukan Jepang di Jawa akan penulis sebutkan dalam tulisan awal ini, agar bisa dipahami bagaimana letak posisi penelitian penulis dalam konfigurasi kajian pendudukan Jepang di Jawa. Pada tahun 1950 an, telah terbit tulisan-tulisan ilmiah awal dalam kajian pendudukan Jepang di Indonesia, yang umumnya menitikberatkan pada dampak pendudukan Jepang terhadap perkembangan nasionalisme dan gerakan kemerdekaan di wilayah-wilayah pendudukan. Kepustakaan yang memeloporinya seperti karya Willard Elsbree (1954), Japan’s Role in Southeast Asian Nationalist Movements, 1940-1945 dan George Mc.T Kahin (1952), Nationalism and Revolution in Indonesia, M.A. Aziz (1955), Japan’s Colonialism and Indonesia. Setelahnya, studi-studi tentang pendudukan Jepang semakin dikembangkan melalui perspektif yang agak berbeda, seperti oleh Harry J. Benda (1958), The 3
Lih. Harry, J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hal 287.
2
Crescent and The Rising Sun: Islam under the Japanese Occupation 1942-1945, yang memusatkan perhatian pada status dan peranan ulama dibandingkan dengan dua kelompok lain yakni pangreh praja dan nasionalis. Kemudian juga oleh Benedict Anderson (1972), Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 19441946, yang memusatkan telaahnya peda peranan golongan pemuda dalam revolusi Indonesia. Karya Benedict Anderson yang disebut tadi, harus penulis garis bawahi karena dari sanalah penelitian ini mendapatkan titik berangkatnya. Anderson (1972:21-22) memusatkan perhatiannya pada peranan pemuda dalam revolusi yang dihubungkan dengan usaha-usaha pemerintah militer Jepang untuk memobilisasi pemuda di belakang perjuangan melawan Sekutu, sehingga membentuk cara hidup radikal dan militan, yang kemudian berguna dalam keberhasilan revolusi dan masamasa pertahanan negara setelah proklamasi kemerdekaan. Dengan mengikuti Anderson, penelitian ini memusatkan perhatian pada topik pemuda dalam masa pendudukan Jepang di Jawa. Akan tetapi, penulis membawa perspektif yang agak berbeda, dengan mengetengahkan pendekatan representasi tanda bahasa dalam objek tekstual. Penelitian dengan pendekatan representasi tanda bahasa di dalam teks, boleh dianggap sebagai hal baru dalam mengulas topik pendudukan Jepang di Jawa. Umumnya, studi-studi sebelumnya selama ini hanya berusaha menempatkan teks untuk dibaca sebagai bahan baku merekonstruksi masa lampau, seperti yang tercermin dari literatur dan buku-buku sejarah. Akan tetapi, sulit ditemukan studi yang mencoba menempatkan teks sebagai objek studi tentang representasi, yaitu bagaimana kenyataan didalam teks dikonstruksi dengan menggunakan tanda bahasa dan adanya ideologi (makna laten) yang harus dibongkar dari persembunyiannya di balik teks4. Teks yang dimaksud oleh penulis untuk dilihat bagaimana representasinya adalah sampul depan majalah Djawa Baroe (1943-1945). Majalah Djawa Baroe adalah majalah dwi mingguan dalam masa pendudukan Jepang, yang diterbitkan oleh Jawa Shinbun Kai (Perusahaan Koran Jawa), sejak 1 Januari 1943 dan berakhir pada 4
Tentang bagaimana representasi terhubung dengan tanda bahasa dan selubung ideologi, lihat: Stuart Hall (ed.), Cultural Representation and Signifying Practices, London: Sage Publication, 2003, hal 17.
3
1 Agustus 1945. Majalah Djawa Baroe, adalah dokumen yang amat penting bagi siapa saja yang berminat dalam kajian pendudukan Jepang di Indonesia. Konten majalah Djawa Baroe yang sebagian besar berisi foto itu, tentu sangat berharga nilainya secara historis, sebagai rekaman atas kondisi masyarakat di Jawa dalam masa pendudukan Jepang. Foto-foto dalam majalah Djawa Baroe tidak hanya ditemukan dalam halaman isi majalah, akan tetapi juga ditemukan di semua halaman sampul depan majalah. Foto-foto dalam sampul depan inilah, yang berikutnya akan menjadi objek analisis penelitian ini. Penggunaan foto dalam sampul depan majalah sebagai objek analisis, diambil inspirasinya oleh penulis dari tulisan Roland Barthes, mengenai pembacaannya terhadap sampul depan majalah Paris Match, di mana Barthes menunjukkan foto seorang negro yang memberi hormat kepada bendera Perancis. Dalam bahasannya itu, Barthes menjelaskan bahwa sampul depan bergambar foto seorang negro yang berhormat kepada bendera Perancis bisa dibaca dalam mode pertandaan dua tahap (tingkat denotasi dan konotasi). Pembacaan ini mendorong konsekuensi bahwa foto seorang negro memberi hormat pada bendera Perancis akan terhubung dengan konsep mental konotatif tentang imperium Perancis (Barthes, 1983: 117). Sejalan dengan Barthes, bisa disepakati bahwa sampul depan sejatinya bisa menjadi pintu masuk dalam membicarakan wacana-wacana yang tersimpan di balik teks. Sebab itu, pemilihan objek sampul depan majalah Djawa Baroe dinilai amat menarik, karena dapat diduga dengan kuat bahwa sampul depan dapat membuka pembicaraan tentang representasi pemuda dalam masa pendudukan Jepang di Jawa berikut ideologi yang menyertainya. Secara lebih konkrit, istilah pemuda dalam penelitian ini harus dipahami maknanya dalam konteks pendudukan Jepang di Jawa. Dalam konteks itu, pemuda bisa dipahami sebagai kelompok usia yang oleh pemerintah militer Jepang dimasukkan dalam program mobilisasi melalui organisasi kepemudaan. Berdasarkan keterangan para sejarawan dan telaah arsip, bisa disimpulkan secara umum bahwa usia mereka antara 14-35 tahun. Sebagaimana akan penulis jelaskan pada bahasanbahasan berikutnya, pemerintah militer pendudukan Jepang telah menaruh perhatian
4
yang serius pada pemuda di Jawa, mereka dilibatkan dalam program mobilisasi massa melalui organisasi kepemudaan bersifat semi-militer dan militer, seperti Seinendan (Barisan Pemuda), Keibodan (Pembantu Polisi), Heiho, Tentara PETA, Hizbullah, dan Barisan Pelopor. Jumlah pemuda yang dimobilisasi oleh Jepang tergolong sangat massif, data-data sejarah menyebutkan, misalnya jumlah anggota Seinenendan mencapai sekitar 600.000 orang, Keibodan, 1,2 juta orang, Tentara PETA, 36.000 orang (Aziz, 1955: 230). Selain itu, dalam rentang usia antara 14-35 tahun yang disebutkan sebelumnya, bisa ditambahkan juga pemuda yang dalam masa pendudukan Jepang sedang dalam masa pendidikan setingkat sekolah dasar dan menengah. Mereka juga dikenai dampak dari kebijakan pemerintah militer Jepang, misalnya dalam kebijakan pembekuan sekolah-sekolah Belanda. Dalam kerangka pengertian seperti inilah, istilah pemuda dalam penelitian ini dapat dipahami. Gambaran pemuda yang terlibat dalam organisasi militer dan semimiliter, beserta mereka yang berada dalam usia sekolah, selanjutnya akan tampak potretnya secara harfiah dalam teks sampul depan Djawa Baroe sebagai objek penelitian. Teks-teks yang menggambarkan tentang pemuda itu, telah ditetapkan dalam lima sampul depan Djawa Baroe: 15 Maret 1943, 15 November 1943, 15 Agustus 1944, 15 September 1944, 15 April 1945. Lima sampul depan ini kemudian menjadi pintu masuk bagi pembicaraan tentang representasi pemuda. Dalam penelitian ini, konsep representasi dipahami pengertiannya dalam konteks analisis tanda bahasa. Dengan demikian, sampul depan Djawa Baroe akan dilihat dan diperlakukan sebagai tanda, dengan kode-kode tertentu di dalamnya yang akan dimaknai. Dengan mengikuti model analisis pertandaan yang diperkenalkan Roland Barthes, analisis tanda bahasa dalam penelitian ini akan dikerjakan dalam dua tingkat pembacaan tanda, yakni tingkat bahasa (language) atau pembacaan tanda untuk menemukan makna denotatif, dan pembacaan tingkat mitos (myth), untuk menemukan wicara konotatif di balik teks. Sejauh ini, bisa dipahami bahwa rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah, bagaimana representasi pemuda pada masa pendudukan Jepang di Jawa dalam sampul depan majalah Djawa Baroe 1943-1945?. Sebelum beranjak dalam bahasan-
5
bahasan selanjutnya, akan penulis jelaskan seputar penggunaan beberapa istilah penting dalam peneltian ini, yaitu istilah mitos dan wicara mitis. Istilah mitos akan digunakan pengertiannya sebagai sebuah tingkat pembacaan tanda level kedua (second order of semiologycal system), sementara pembacaan dalam pertandaan tingkat mitos akan menemukan petanda-petanda konotatif atau fragmen ideologi. Petanda-petanda konotasi ini kemudian akan dibaca dan dipetakan secara tematik dalam kaitannya dengan motif, kebijakan dan pengaruh pendudukan Jepang di Jawa. Hasil pemetaan tematik itu, akan disebut dengan istilah “wicara mitis”. Sebagaimana Barthes menyebutkan bahwa mitos adalah sebuah tipe wicara (type of speach), penulis memahami bahwa pembacaan tanda yang dilakukan dalam tingkat mitos, akan menghasilkan sebuah wicara yang bertipikal mitos (wicara penandaan mitos), wicara tipe ini akhirnya disebut sebagai wicara mitis. Sementara itu, petanda-petanda konotasi bisa dianggap sebagi fragmen penyusun wicara mitis atas representasi pemuda dalam masa pendudukan Jepang di Jawa. B. Rumusan Masalah Dalam masa pendudukan di Jawa, pemuda dilibatkan dalam program mobilisasi massa oleh Jepang melalui organisasi kepemudaan militer dan semimiliter, sekaligus dikenai dampak berbagai kebijakan oleh pemerintah militer Jepang. Sampul depan majalah Djawa Baroe, dianggap sebagai situs representasi yang membuka wicara mitis tentang pemuda pada masa pendudukan di Jawa. Dengan demikian, identifikasi permasalahan yang tepat dalam penelitian ini bisa dirumuskan dalam sebuah pertanyaan: Bagaimana representasi pemuda pada masa pendudukan Jepang di Jawa dalam majalah Djawa Baroe 1943-1945? C. Tujuan Penelitian 1. Menyajikan analisis representasi pemuda dalam masa pendudukan Jepang di Jawa menggunakan pisau analisis pertandaan yaitu tingkat bahasa (denotasi) dan tingkat mitos (konotasi). 2. Menggambarkan representasi wicara mitis pemuda dalam masa pendudukan Jepang di Jawa
6
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memperkaya kajian pendudukan Jepang di Jawa dengan menawarkan perspektif representasi teks media. Saat ini, kajian pendudukan Jepang umumnya memanfaatkan teks atau arsip sejarah sebagai data untuk menyusun kronik peristiwa. Sementara penggunaan teks media pada masa pendudukan Jepang, belum banyak dimanfaatkan sebagai objek kajian analisis representasi tanda bahasa. E. Tinjauan Pustaka Penelitian yang digarap oleh penulis ini, ditujukan untuk menambah sumbangan kajian dalam tema pendudukan Jepang di Jawa. Meski sebenarnya, tema ini telah mendapat sumbangan yang amat berharga melalui kajian yang sudah dilakukan oleh banyak akademisi. Beberapa kajian penting tentang pendudukan Jepang di Jawa akan penulis sebutkan dalam tulisan awal ini, agar bisa dipahami bagaimana letak posisi penelitian penulis dalam konfigurasi kajian pendudukan Jepang di Jawa. Tulisan-tulisan ilmiah awal dalam kajian pendudukan Jepang, setidaknya dimulai sejak tahun 1950 an, yang umumnya menitikberatkan pada dampak pendudukan Jepang terhadap perkembangan nasionalisme dan gerakan kemerdekaan di wilayah-wilayah pendudukan. Kepustakaan yang memeloporinya seperti karya Willard Elsbree (1954), Japan’s Role in Southeast Asian Nationalist Movements, 1940-1945 dan George Mc.T Kahin (1952), Nationalism and Revolution in Indonesia, M.A. Aziz (1955), Japan’s Colonialism and Indonesia. Setelahnya, studi-studi tentang pendudukan Jepang semakin dikembangkan melalui perspektif yang agak berbeda, seperti oleh Harry J. Benda dan Benedict Anderson. The Crescent and The Rising Sun: Islam under the Japanese Occupation 1942-19455, karya Prof. Benda (1958) memusatkan perhatian pada status dan peranan ulama dibandingkan dengan dua kelompok lain yakni pangreh praja dan nasionalis. Dalam studinya, Benda mengamati bagaimana usaha-usaha pemerintah militer Jepang dalam berupaya menyusupkan kepentingan untuk menjadikan ulama sebagai propagandis, karena kekuatannya sebagai tokoh spiritual yang mampu memobilisasi 5
Terjemahan Indonesia dari karya Prof. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang.
7
massa Islam (jamaah) secara massif. Sementara Benedict Anderson (1972), dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946 6, memusatkan telaahnya peda peranan golongan pemuda dalam revolusi Indonesia. Anderson memusatkan studinya pada karakter unik revolusi di Indonesia, tidak seperti halnya revolusi modern di banyak negara yang didorong oleh kekuatan kaum buruh dan cendikiawan, revolusi Indonesia justru didorong oleh elan revolusioner golongan pemuda Kemudian, pada tahun 1988 terbit sebuah karya penting mengenai pendudukan Jepang di Jawa yang ditulis oleh Aiko Kurasawa, Mobilization and Control: a Study of Social Change in Rural Java 1942-19457. Karya Prof. Aiko bisa disebut sebagai kompilasi dari bermacam topik dalam kajian pendudukan Jepang di Jawa. Topik-topik penting seperti transformasi pertanian Jawa, kebijakan serah padi dan romusha, mobilisasi pemuda, peran ulama dan pangreh praja, bentuk-bentuk propaganda melalui media, dan sebagainya, diuraikan dengan sangat baik dalam sepuluh bab karya itu. Selain karya Aiko, pustaka lain yang juga merupakan kompilasi adalah karya Prof. Ken’ichi Goto, Showaki Nihon to Indonesia, yang dipublikasikan dalam bahasa Indonesia tahun 1998, Jepang dan Pergerakan Kebangsaan di Indonesia, oleh Yayasan Obor. Karya tersebut merupakan kumpulan dari tulisan-tulisannya mengenai perjalanan ide pendudukan Jepang di Indonesia, yang ditelusuri dari kemunculan gagasan yang disebut Prof. Goto sebagai “Teori Ekspansi ke Selatan”. Jika karya Aiko dan Goto adalah kompilasi, studi-studi lain yang mendalami topik-topik khusus juga telah dikerjakan. Seperti studi tentang peranan lembaga politik bikinan Jepang, Chuo Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat) sebuah lembaga pertimbangan yang bentuknya mirip Volksraad (Dewan Rakyat) pada masa HindiaBelanda, dan kemudian direka ulang bentuknya menjadi DPA (Dewan Pertimbangan
6
Karya Ben Anderson ini diterjemahkan dalam judul, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. 7 Tahun 2015, karya ini diterbitkan ulang oleh Komunitas Bambu dengan judul Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945, dengan penambahan keterangan foto, poster dan beberapa keterangan visual lainnya.
8
Agung) setelah kemerdekaan. Topik khusus ini sudah dikerjakan oleh sejarawan Prasedyawati Herkusumo, dalam sebuah kajian bertajuk Chuo Sangi-In: Dewan Pertimbangan Pusat Pada Masa Pendudukan Jepang, yang terbit pada tahun 1986. Berikutnya perlu disebutkan karya Prof. Onghokham (1989), Runtuhnya HindiaBelanda, yang tahun 2014 lalu mengalami cetak ulang, adalah studi penting yang menggambarkan kronik keruntuhan Hindia-Belanda akibat keterlibatan dalam panasnya Perang Dunia ke II dan pilihan sikap politik yang berpihak kepada Sekutu hingga kekuasaan Hindia-Belanda selama beberapa abad runtuh oleh serbuan pasukan Jepang bulan Mei 1942. Sementara studi dengan topik khusus yang punya semangat kebaruan, terlihat dalam buah karya seperti yang dikerjakan Fandy Hutari, Sandiwara dan Perang: Propaganda di Panggung Sandiwara Modern Zaman Jepang, yang pertamakali terbit tahun 2009 dan dicetak ulang dalam penerbit berbeda tahun 2015. Fandy menyoroti sebuah periode penting dalam babakan sejarah sandiwara modern yang selanjutnya punya keterhubungan kuat dengan sejarah seni teater dan film. Cikal bakal sandiwara di Jawa, sebenarnya sudah mulai muncul sejak abad 19, sejak hadirnya pentas komedi stamboel keliling (stamboelan). Di masa Hindia-Belanda, kegiatan seni ini umumnya dianggap sebagai hiburan rendahan, namun di masa pendudukan Jepang kedudukannya semakin menguat dan makin disadari sebagai media penarik massa yang cukup ampuh. Keadaan ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah militer yang memanfaatkan sandiwara sebagai media propaganda dengan sering menyiarkan pertunjukan melalui radio, dan media cetak, serta mendirikan badan khusus (keimin bunka shidoso) yang di dalamnya terdapat sebuah bidang khusus yang menangani sandiwara. Beberapa topik penting dalam kajian pendudukan Jepang mulai dari studistudi awal yang menyoroti perkembangan nasionalisme, topik-topik spesifik seperti peran dan status ulama, pemuda, hingga studi terbaru tentang sejarah sandiwara, sudah penulis singgung di atas. Sementara penelitian ini mengangkat topik mengenai pemuda, maka karya Benedict Anderson, Java in a Time of Revolution, harus penulis garis bahwahi karena melalui studi Anderson itu, topik penelitian oleh penulis ini
9
menemukan titik berangkatnya. Anderson memusatkan studinya pada terbentuknya basis kekuatan revolusioner pada kalangan pemuda yang terjalin dengan usaha pemerintah militer Jepang untuk memobilisasi mereka melalui lembaga-lembaga latihan sebagai pusat indoktrinasi untuk memupuk kebencian terhadap Sekutu. Jalinan ini dengan prosesnya yang unik, mampu menghubungkan pemuda dengan tokoh-tokoh di tingkatan elit sehingga persebaran nasionalisme dengan sendirinya meluas. Anderson selanjutnya melihat bahwa keberhasilan revolusi serta pertahanan negara baru pasca proklamasi kemerdekaan, ditopang oleh kekuatan militan pemuda yang telah memperoleh gemblengan dalam lembaga-lembaga latihan semasa pendudukan. Meskipun Anderson dengan cermat membahas peranan golongan ini, akan tetapi spektrumnya masih terbatas pada hubungan dengan revolusi. Sementara kemunculan nama-nama anak muda dalam pelbagai bidang seperti kesenian dan kasusastraan yang mencuat karena terhubung dengan kebijakan Jepang yang dengan giat menyingkirkan anasir-anasir Belanda, tidak cukup dibahas olehnya. Meski demikian, Anderson telah sangat baik mengeksplorasi pembicaraan mengenai pemuda dalam lanskap pendudukan Jepang di Jawa, sehingga Java in a Time of Revolution, penulis anggap sebagai pustaka utama penginspirasi atas penelitian yang dikerjakan oleh penulis ini. Selain karya Anderson, sejumlah pustaka lainnya yang berhubungan dengan topik pemuda bisa disebutkan di sini. Seperti karya O.D.P. Sihombing tahun 1963, Pemuda Indonesia Menentang Fasisme Djepang, yang memusatkan perhatian pada faktor-faktor perlawanan pemuda dengan tarikan historis dari upaya Jepang dalam membentuk Lingkaran Kesemakmuran Asia Raya. Kemudian karya sejarawan Nugroho Notosusanto dan Lebra Joyce yang terkait erat dengan perkembangan dimensi militeristik pada pemuda. Beberapa karya sejarawan Nugroho Notosusanto bisa disebutkan di sini seperti: Pemberontakan Tentara PETA di Blitar terhadap Kekuasaan Fasis Djepang (1963) yang memberi gambaran kronologis atas peristiwa pemberontakan pemuda PETA daidan Blitar. Kemudian, Tentara Peta pada Jamana Penduduan Jepang di Indonesia (1979), yang menruh fokus pada tentara PETA
10
sebagai kesatuan militer yang memberi sumbangan besar bagi revolusi Indonesia dan terbentuknya kesatuan militer resmi negara di kemudian hari. Masih terhubung dengan bibit-bibit militeristik yang ditabur Jepang bagi pemuda Jawa, Lebra Joyce menelurkan pustaka Tentara Gemblengan Jepang (1988) yang juga sangat berguna untuk menelisik sejauh mana lembaga-lembaga latihan pemuda dirian Jepang berpengaruh bagi tumbuhnya bibit militansi pemuda di Jawa. Sejumlah pustaka yang disebut tadi mendapat peranan penting dalam penelitian ini yang berangkat dari topik pemuda dalam konteks pendudukan Jepang di Jawa. Secara umum, pustaka-pustaka yang disebut sebelumnya adalah kajian historis yang memanfaatkan arsip sebagai unsur penting dalam menyusun kronik peristiwa. Sementara dalam penelitian ini, penulis menginginkan penggunaan arsip –selain digunakan untuk menyusun ingatan momen dan peristiwa- juga dilihat sebagai situs pembacaan representasi, artinya penulis akan melihat sampul depan Djawa Baroe dalam pembacaan tanda bahasa. Oleh sebab itu, pustaka-pustaka yang terhubung dengan pemahaman konsep representasi dan pembacaan tanda bahasa akan digunakan dalam penelitian ini. Pustaka utama dalam konsep representasi, bisa ditemukan dalam karya Stuart Hall (ed.), Representation: Cultural Representation and Signifying Practices (1997). Melalui pustaka ini, konsep representasi dan bagaimana cara menggalinya dengan perspektif tanda bahasa bisa ditemukan dan dipelajari. Penggalian representasi melalui analisis tanda bahasa, selanjutnya terkait dengan penggunaan pisau analisis pertandaan. Dalam hal ini, model pembacaan semiotik yang diperkenalkan oleh Roland Barthes akan dipakai oleh penulis. Tiga esai karya Barthes: Myth Today (1972), The Photographic Message (1977) dan Rhetoric of the Image (1977), akan dimanfaatkan oleh penulis untuk membangun model analisis pertandaan dalam penelitian ini. Konsep mitos (myth) sebagai sistem pertandaan lapis kedua (second order of semiological system), diperkenalkan oleh Barthes dalam esai Myth Today. Konsep mitos memiliki arti penting sebab membuka kemungkinan pembacaan teks sampai kepada dimensi ideologis, melampaui pengertian makna harfiah (denotasi). Sementara esai The Photographic Message dan
11
Rhetoric of the Image, membicarakan banyak hal tentang pembacaan pesan fotografi, sesuai karakter pesan sampul depan Djawa Baroe yang berupa foto berita. F. Kerangka Pemikiran Penelitian ini dibangun dalam kerangka empat kerangka pemikiran. Pertama, pemuda dalam konteks pendudukan Jepang di Jawa. Kedua, representasi dan analisis tanda bahasa. Ketiga, mitos sebagai representasi, dan keempat, sampul depan sebagai situs representasi. Pemikiran pertama berusaha mendudukkan konsep pemuda dalam konteks pendudukan Jepang di Jawa, yang selanjutnya dihubungkan dengan pemikiran kedua tentang representasi dan analisis tanda bahasa. Artinya, penelitian ini berusaha mencari representasi pemuda dengan perspektif analisis tanda bahasa. Kemudian, bagaimana mencari representasi pemuda dengan analisis tanda bahasa, memerlukan pendekatan khusus yang diwakili oleh konsep mitos sebagai sebuah lapis pertandaan, yang akan dijelaskan dalam pemikiran ketiga. Selanjutnya, pemikiran keempat berusaha menegaskan upaya pencarian representasi pemuda dengan pendekatan mitos yang akan dicurahkan ke dalam analisis sampul depan sebagai situs representasi. 1. Pemuda dalam Konteks Pendudukan Jepang di Jawa Pemuda (youth) kebanyakan dipahami sebagai seseorang yang berada dalam masa transisi pada tahap perkembangan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Ada beragam kerangka usia untuk menggambarkan masa muda yang secara umum dilihat dari perkembangan fisik dan mental seseorang. Badan internasional PBB, Unesco misalnya, menyebutkan angka 15-24 tahun untuk menggambarkan usia pemuda dalam kaitannya dengan pendidikan dan pekerjaan. Sementara dalam perspektif yang agak berbeda, psikologi Freudian menyebutkan usia 12-19 tahun yang disebut sebagai tahap genital (genital stage). Sebuah masa perubahan dengan gejolaknya yang luar biasa, di mana seseorang mengalami percepatan pertumbuhan fisik, emosional dan intelektual, dituntut untuk menyesuaikan diri dengan tubuh yang baru dan mencari identitas sosial, serta memperluas pandangan hidupnya. Akan tetapi dalam pemahaman di atas, pemuda agaknya masih dipahami dalam perspektif masa transisi, artinya masa muda dianggap sebagai tahap kehidupan manusia yang
12
didasarkan atas perjalanan umur dan perkembangan psikologis dalam usia tertentu. Perspektif ini cenderung memandang tahap kehidupan manusia berlaku secara universal, dan sedikit mempertimbangkan konteks yang lain seperti budaya, kelas, politik, ekonomi, dan aspek-aspek lainnya. Sementara itu, masa muda sebenarnya bisa dilihat, dipelajari dan dikaji dengan perspektif yang tidak tunggal. Tim pusat studi kepemudaan, Youth Studies Centre (YouSure), Fisipol UGM, memetakan paling tidak ada tiga perspektif kajian kepemudaan, selain kajian dalam perspektif masa transisi, dua perspektif yang lainnya adalah perspektif generasi dan perspektif budaya 8. Dalam perspektif generasi, pemuda dipahami dalam hubungannya dengan proses konstruksi sosial, bahwa setiap generasi khususnya pemuda akan selalu terkait dengan konteks sosiohistoris, politik, dan ekonomi yang melingkarinya. Sementara dalam perspektif budaya, masa muda dipahami dalam hubungannya dengan persoalan identitas sosial. Dalam hubungannya dengan identitas sosial ini, kajian pemuda paling tidak bisa didekati dalam dua pandangan. Pandangan pertama mengandaikan bahwa identitas pemuda bisa dilihat dalam hubungan kelompok in group dan out group, di mana ekspresi identitas untuk mengungkapkan jati diri diekspresikan. Dalam pandangan kedua, identitas pemuda lebih dipandang sebagai subculture, atau budaya sub-ordinat berhadapan dengan budaya dominan. Pandangan ini melihat bahwa dalam budaya pemuda sebagai subculture terdapat tiga kata kunci utama yaitu penyimpangan (subversive), penentangan (resistance) dan perlawanan (oppositional) yang dihadapkan dengan hegemoni budaya dominan. Agak berbeda dengan beberapa pendekatan di atas, Hilder Geertz (1982) melalui risetnya tentang keluarga Jawa, melihat pemuda dalam pendekatan antropologis dalam konteks pengetahuan terhadap hubungan kekerabatan orang Jawa. Dalam studinya, Geerz melihat masa muda sebagai masa transisi di mana seorang anak keluarga jawa mulai berusaha melepaskan ketergantungan terhadap orangtua. 8
Lih. M. Najib Azka, dkk (ed.), Buku Panduan Studi Kepemudaan: Teori, Metodologi ,dan Isu-Isu Kontemporer, Yogyakarta: Perkumpulan Pengkajian Masyarakat dan Perubahan Sosial, 2014.
13
Dalam kultur Jawa, seseorang akan dianggap dewasa jika telah menikah, mendapatkan pekerjaan tetap, dan tidak tergantung lagi dengan orang tua, jika belum maka masih disebut anak muda (bocah enom). Dalam keluarga Jawa, masa kanakkanak berlangsung sampai ia bersedia untuk disunat (khitan) bagi laki-laki, dan mendapatkan menstruasi pertama bagi anak perempuan. Sunatan dan menstruasi adalah pertanda paling umum yang diakui orang Jawa dalam menakar fase kehidupan seorang anak ketika akan memasuki pintu masa remaja. Ketika menginjak masa muda atau remaja, seorang anak mulai diperkenalkan dengan norma-norma dan tanggungjawab sebagai bekal menuju kedewasaan. Dalam masa ini, mereka akan dijarkan tentang rasa hormat, dan secara perlahan mulai diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan orang tua. Sesungguhnya, apabila sang anak dianggap sudah mampu menguasai masalahmasalah dan mampu menempatkan dirinya secara baik dalam pergaulan sosial berdasarkan norma yang berlaku, barulah ia akan disebut wis Jawa, atau telah menjadi orang Jawa. Dalam penelitiannya yang berlangsung pada tahun 1953 dan 1954 itu, Geertz melihat bahwa umumnya seorang anak laki-laki jika sudah terlihat besar secara jasmani, orangtuanya akan mengizinkan untuk mencari nafkah sendiri, seperti membantu bertani, menjadi buruh, atau segala pekerjaan yang mengandalkan tenaga fisik. Lain hal dengan anak perempuan, sejak usia belasan mereka telah dibebani dengan pekerjaan rumah tangga, dan umumnya mempunyai masa remaja yang relatif pendek, tidak jarang perempuan muda sudah menggendong anak pertamanya di usia lima belas dan tujuh belas tahun. Tergantung dari pandangan hidup dan keadaan ekonomi, terdapat pula sejumlah besar keluarga Jawa yang memilih untuk mengirim anak-anaknya yang berusia muda untuk menempuh pendidikan, seperti nyantri kepada seorang Kiai pempimpin pesantren, atau jika memiliki sejumlah besar biaya akan menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah formal. Beberapa pendekatan untuk melihat dan mempelajari pemuda sudah diperlihatkan di muka, mulai dari perspektif transisi, generasi, budaya, hingga pendekatan antropologis. Sementara dalam penelitian ini, penulis akan melihat
14
pemuda dalam hubungannya dengan konteks masa pendudukan Jepang di Jawa. Pendudukan Jepang adalah sebuah periode historis dalam perjalanan sejarah di Jawa setelah keruntuhan kekuasaan Hindia-Belanda. Di dalam masa tiga setengah tahun pendudukan itu, penguasanya menerapkan pelbagai kebijakan untuk menopang kepentingan mereka dalam rangka membangun lingkaran kesemakmuran Asia Timur Raya dan menggalang kekuatan melawan sekutu. Oleh sebab itu, macam-macam strategi politik dilakukan, seperti dengan menggaet dukungan dari kalangan nasionalis dan Islam dan memobilisasi kalangan pemuda ke dalam lembaga-lemaba latihan guna mendukung kepentingan politik pendudukan. Dengan demikian, penelitian ini melihat pemuda dalam konteks periode historis di mana terdapat konteks sosial politik di dalamnya yang berhubungan dengan pemuda. Perlu diketahui bahwa pemerintah militer pendudukan Jepang menaruh perhatian kuat terhadap mobilisasi pemuda, dalam kerangka usia yang akan berusaha penulis temukan nanti, pemuda Jawa dimasukkan oleh pemerintah militer dalam agenda mobilisasi massa melalui lemabaga-lemabaga latihan kepemudaan. Lembagalembaga kepemudaan itu, umumnya bersifat militer dan militer bagi pemuda lakilaki. Sementara bagi perempuan, barangkali karena kultur Jawa, di mana perempuan umumnya ditempatkan dalam urusan domestik, tidak tampak mobilisasi mereka dalam lembaga latihan militer dan semi-militer sebagaimana laki-laki. Akan tetapi, masih bisa dilihat bagaimana pemerintah militer melakukan mobilisasi bagi perempuan muda dalam lembaga-lembaga pendidikan untuk dikerahkan guna kepentingan pendudukan Jawa. Maka, istilah pemuda dalam penelitian ini akan dipakai secara generik dan lunak, yaitu menggambarkan sebuah golongan dengan usia muda baik laki-laki maupun perempuan, yang kemudian dilibatkan dalam agenda kepentingan pendudukan Jepang di Jawa. Pemerintah militer pendudukan Jepang menaruh perhatian serius pada mobilisasi pemuda di Jawa, upaya tersebut tampak dalam pembentukan beberapa macam organisasi atau barisan kepemudaan. Para sejarawan seperti: Anderson (1972), Notosusanto (1979), Kurasawa (2015), Benda (1980) dll, menyinggung paling tidak enam barisan kepemudaan yang dalam jumlah keanggotaannya terbilang
15
besar dan massif, yakni: Seinendan (Barisan Pemuda), Keibodan (Pembantu Polisi), tentara PETA, Heiho, Barisan Pelopor, dan Barisan Hizbullah. Selain itu, ada pula mobilisasi pemuda yang dijalankan dengan pembentukan asrama dan pusat pelatihan seperti, Pusat Latihan Pemuda 3 A dan Barisan Pemuda Asia Raya (BPAR) yang dibentuk pada bulan April dan Mei 1942, serta Seinen Dojo (Balai Penggemblengan Pemuda) yang dibentuk pada awal 1943. Keseriusan untuk memobilisasi pemuda, seperti yang diucapkan oleh pemerintah militer melalui ikhtisar berita pemerintah Kan Po bulan Desember 1942, berikut ini: “Oentoek menginsafkan pemoeda-pemoeda di Djawa soepaja giat bekerdja bersama-sama dengan Pemerintah Balatentara dan soepaja menjokong pembangoenan Lingkaran Kemakmoeran di Asia Raja, maka prerloelah mereka itoe diberi pimpinan dan didikan”.9 Bila istilah pemuda kemudian dikaitkan dengan rentang usia tertentu, kita bisa menghubungkannya dengan tulisan para sejarawan yang menyebutkan adanya rentang usia dalam barisan kepemudaan. Selain itu, data arsip ikhtisar berita pemerintah, Kan Po dan majalah Djawa Baroe bisa dimanfaatkan secara seksama, karena menyebutkan adanya persyaratan usia pada syarat pendaftaran sebagai anggota organisasi kepemudaan. Anderson (1972: 26-27) dalam bab II Java in a Time of Revolution, secara terperinci menyebutkan rentang usia pemuda dalam dua organisasi kepemudaan, yakni Seinendan 14-22 tahun dan Keibodan 20-35 tahun. Selain itu, ada pula organisasi bersifat militer yakni Heiho (Barisan Pembantu Tentara) dengan rentang usia yakni 17-29 tahun. Seperti yang disebut dalam pengumuman penerimaan Heiho Kaigun (Pembantu Tentara Angkatan Laut), mereka yang ingin menjadi anggota diutamakan dengan usia 17-29 tahun dan belum menikah. Berikut ini pengumuman penerimaan Heiho Kaigun: “Ditjari pemoeda-pemoeda bangsa Indonesia oentoek dipekerdjakan sebagai Heiho Kaigun. Sjarat-Sjarat jang haroes dipenoehi… Beromoer 17 tahoen
9
Kan Po, no 8, 10 Desember 1942, hal 3.
16
sampai 29 tahoen (mereka jang beloem beristeri diterima lebih daholoe daripada jang soedah)…” 10 Selain Seinendan, Keibodan dan Heiho, adapula organisasi militer Tentara PETA (Pembela Tanah Air), yang dalam syarat pendaftaran untuk menjadi ketua regu (bundancho) dan prajurit adalah dengan batas usia sampai 25 tahun dan belum menikah. Syarat tersebut dimuat dalam pengumuman Kan Po, No. 41, 1944: “Sjarat-sjarat oentoek menjadi Bundantyoo: a. Berbadan sehat dan bersemangat b. Berosia lebih baik sampai 25 tahoen dan belum kawin Sjarat-sjarat oentoek menjadi perdjoerit: Hampir sama dengn sjarat-sjarat bagi Bundantyoo”.11 Dari beberapa keterangan usia yang sudah disebutkan ini, bisa ditarik kesimpulan sederhana bahwa pemahaman tentang pemuda bisa digambarkan dalam rentang usia antara 14-35 tahun, usia anggota Seinendan paling muda yakni 14 tahun, sementara usia anggota Keibodan dikategorikan paling tua yakni 35 tahun. Dalam rentang usia itu, terdapat keterangan usia keanggotaan tentara PETA dan Heiho, yakni 17 hingga 25 tahun. Kemudian keterangan usia atas Barisan Pelopor bisa ditemukan dalam pengumuman pembentukan barisan ini dalam majalah Djawa Baroe 15 Oktober 1944. Disebutkan di dalam pengumuman itu, bahwa anggota Barisan Pelopor adalah pemuda dengan kisaran usia dua puluh tahun keatas: “Anggota-anggota Hoko-Kai, teroetama pemoedan dan pemoeda-dewasa jang beromoer 20 tahoen keatas dan jang mempoenjai rasa kebaktian jang tebal dan jang insaf dengan sedalam-dalamnya akan arti peperangan Asia Timoer Raja” Penulis tidak mendapati keterangan tentang rentang usia Barisan Hizbullah, akan tetapi karena Hizbullah dimasukkan oleh Anderson (1972: 26-29) dalam bahsannya tentang pemuda, kita bisa bersepakat untuk memasukkannya dalam kerangka pemahaman terhadap pemuda dalam konteks pendudukan Jepang di Jawa. 10 11
Kan Po, no 44, 3 Juni 1944, hlm 47. Kan Po, no 41, 12 April 1944, hlm 5.
17
Sejauh ini kita sudah mendapati rentang usia antara 14-35 tahun dalam memahami gambaran tentang pemuda. Dalam rentangan usia ini, bisa dimasukkan para pelajar yang pada masa pendudukan Jepang sedang menjalani masa sekolah. Secara umum, mereka adalah para pelajar setingkat sekolah menengah dan tinggi, yang sebenarnya pada masa itu mengalami semacam goncangan, terutama karena Jepang
membubarkan
sekolah-sekolah
bekas
Hindia-Belanda
dan
tidak
memperbolehkan pemakaian bahasa Belanda di sekolah apapun (Anderson 1988: 39). Pemerintah militer Jepang tidak hanya menjalankan upaya mobilisasi pemuda melalui organisasi kepemudaan, mereka juga berupaya mengerahkan tenaga pemuda dalam dunia pendidikan dengan modus-modus pragmatis untuk kepentingan pendudukan. Para pemuda usia sekolah menengah dan tinggi ini, dalam masa pendudukan Jepang mengalami kesulitan dalam mencari sekolah, mereka terpaksa memasuki sekolahsekolah dirian Jepang dengan materi kurikulum yang sudah dimasuki oleh agenda kepentingan pendudukan. Gambaran mengenai kesulitan para pelajar sekolah ini salah satunya diceritakan dalam keterangan lisan yang dihimpun tim dari Arsip Nasional R.I, keterangan lisan itu berbunyi demikian: “Sekolah zaman Jepang yang dimulai pertama sekali adalah sekolah Wakaba.. Wakaba itu menampung anak-anak perempuan, anak-anak gadis dari berbagai macam sekolah… Bekas dari sekolah MULO, bekas AMS, bekas HBS, bahkan bekas mahasiswa. Karena tidak ada tempat lain, ya akhirnya masuk sekolah Wakaba”12. Sekolah Wakaba yang dimaksud dalam keterangan lisan ini adalah sekolah dirian pemerintah militer untuk menampung para pelajar puteri yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena sekolah-sekolah Hindia-Belanda telah ditutup oleh Jepang. Tidak
12
Wakaba adalah sekolah yang diperuntukkan khusus bagi wanita dari berbagai tingkat pendidikan, namun tidak ada keterangan pasti tentang jenjang pendidikannya, sekolah ini hanya untuk penampungan sementara A.B. Lapian, dkk, Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Dua Orang yang Mengalaminya, Arsip Nasional Repulblik Indonesia (ANRI), Jakarta: 1989, hlm 89. MULO (Meer Uitgerbreid Lager Ondewijs), AMS (Algemene Mildebare School), HBS (Hogere Burgerschool), ketiga sekolah ini adalah sekolah setingkat menengah di masa Hindia-Belanda dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
18
hanya sekolah Wakaba, Jepang juga membangun beberapa sekolah menengah kejuruan bagi pelajar puteri seperti Sekolah Latihan Guru Puteri, serta membuka kembali beberapa sekolah tinggi seperti Perguruan Tinggi Teknik (Kagyo Daigaku) di Bandung, Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Daigu), di Jakarta, dan Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor. Tidak begitu jelas bagaimana keadaan pelajar dalam sekolah-sekolah tinggi, tetapi di dalam sekolah-sekolah menengah kejuruan puteri seperti sekolah Wakaba dan Sekolah Guru Puteri, mereka diberi materi pelajaran yang disesuaikan dengan kepentingan Jepang, seperti pelajaran keterampilan rumah tangga, menjahit keperluan tentara dan belajar bahasa Jepang. Sampai di sini kita sudah mendapati bahwa gambaran tentang pemuda dalam konteks pendudukan di Jawa, adalah mereka yang dalam masa itu berusia antara 14 hingga 35 tahun. Rentang usia ini kemudian merujuk pada para pemuda di Jawa yang dimasukkan dalam agenda mobilisasi melalaui berbagai organisasi kepemudaan yang ditujukan untuk menopang kepentingan pendudukan di Jawa, serta keadaan para pelajar yang mengalami kesulitan dalam menjalani pendidikan dan terpaksa harus memasuki lembaga pendidikan yang telah disesuaikan dengan kepentingan Jepang. Jadi, secara singkat bisa penulis simpulkan bahwa istilah pemuda dalam konteks pendudukan Jepang di Jawa, adalah mereka yang setidaknya digambarkan dengan rentang usia 14-35 tahun, para pemuda ini adalah para pelajar dan mereka yang dimobilisasi melalui barisan kepemudaan pada masa itu. 2.
Representasi dan Analisis Tanda Bahasa
Penelitian ini bermaksud memanfaatkan teks sampul depan majalah Djawa Baroe, untuk menggali representasi pemuda pada masa pendudukan Jepang di Jawa. Oleh sebab itu, sebaiknya penulis menjelaskan terlebih dahulu maksud konsep representasi, agar bisa dipahami pengertian representasi dalam penelitian ini. Secara sederhana representasi bisa dimaknai sebagai penggunaan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang bermakna, atau menghadirkan ulang konsep-konsep, ide-ide dan kenyataan di dunia ini secara bermakna kepada orang lain, singkatnya representasi mempersoalkan bagaimana dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan (dihadirkan
19
kembali) secara sosial melalui penggunaan bahasa kepada dan oleh kita13. Dalam pemahaman ini maka bahasa sebagai instrumen penghadir makna adalah unsur utama pembentuk kebudayaan. Sementara itu, bagaimana bahasa digunakan untuk merepresentasikan dunia tentu memiliki unsur materialitasnya. Unsur materi itu melekat dalam teks atau artefak kebudayaan secara luas, seperti bunyi, prasasti, foto, iklan, film, tayangan televisi, berita surat kabar dan sebagainya. Artefak-artefak tersebut diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks sosial budaya yang luas. Dalam melihat bagaimana representasi menghubungkan bahasa dan makna dengan konteks sosial dan budaya, Stuart Hall (1997: 24-26) mengemukakan ada tiga pendekatan dalam representasi, yakni pendekatan reflektif (reflective), intensional (intentional), dan konstruksionis (constructionist). Di sini akan penulis jelaskan secara
singkat
tiga
pendekatan
tersebut.
Pertama,
pendekatan
reflektif
mengasumsikan bahwa makna terletak pada objek, ide, atau fenomena di dalam dunia nyata, maka artefak budaya berfungsi layaknya cermin yang menggambarkan kenyataan yang ada di dunia ini. Kedua, pendekatan intensional mengandaikan bahwa makna terletak pada benak atau pikiran penutur, pengarang, atau seseorang yang memproduksi produk budaya dan memberi patokan makna tertentu atas teks yang dibuatnya. Ketiga, adalah pendekatan konstruksionis, pendekatan ini mengasumsikan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa mematok dan menetapkan kepastian makna. Sebab makna dibentuk oleh kita, dalam pengertian jamak, tidak terpusat hanya pada teks dan pembuat teks. Dalam konteks ini, maka peran bahasa menjadi sangat penting, karena hanya dengan bahasa kita bisa memaknai segala sesuatu, dan menyampaikannya secara sosial. Dalam pendekatan yang terakhir di sebut di atas, yakni representasi konstruksionis, konsep tersebut menemukan relevansinya dalam penelitian ini. Menurut Jonatahan Culler (1976:19), yang didasarkan pada pendapat ahli bahasa dan tokoh utama dalam semiotika, F. De Saussure, bahwa produksi makna disandarkan atas bahasa, sementara bahasa itu sendiri adalah sebuah sistem tanda-tanda. Dalam 13
Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (terj. Nurhadi), Yogyakarta: Kreasi Wacana, hal 9.
20
pengertian ini, maka teks (artefak budaya) bisa dilihat fungsinya sebagai suatu tanda (sign), suatu tanda yang mewakili suatu makna dari yang dipikirkan oleh kita, pembacanya. Sementara masih menurut Saussure (Budiman, 2011: 30), bahwa tanda tersusun dari dua elemen yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah aspek material dari tanda yang berwujud citra-sensoris dan citra-akustik, sementara petanda adalah konsep mental dalam pikiran terhadap penanda. Cara mudah untuk memahami konsep ini, bisa dicontohkan misalnya ketika kita berhadapan dengan traffic light. Lampu berwarna merah adalah penanda atau citrasensorik dengan warna merah, sementara petanda adalah konsep mental bahwa tanda lampu berwarna merah artinya kita harus berhenti. Dalam hubungannya dengan tanda bahasa inilah, representasi dalam penelitian ini bisa dipahami. Oleh karena itu, penenlitian ini kemudian menggunakan metode analisis semiotika untuk mencari representasi atas teks yang diteliti. Semiotika bisa didefinisikan sebagai pengkajian atas tanda-tanda, di mana ia mengandaikan kepada kita untuk memandang entitas-entitas sebagai tanda dengan kode-kode yang bermakna di dalamnya (Budiman, 2011:1). Sebenarnya ada beragam model analisis semiotik yang dikenalkan oleh banyak ahlinya. Akan tetapi, dalam penelitian ini analisis semiotika yang akan dipakai adalah model pendekatan yang dikenalkan oleh Barthes. Barthes sering dikatakan sebagai penerus dari Saussure, ia mengembangkan analisis tanda Bahasa model Saussure, menjadi analisis pertandaan dua tingkat, yakni tingkat bahasa (language) atau makna harfiah yang lazim disebut denotasi, kemudian tingkat mitos (myth) atau ideologi yang lazim disebut konotasi. 3. Mitos Sebagai Representasi Dengan memakai analisis tanda bahasa atau semiotika yang dirujuk dari Roland Barthes, maka analisis pertandaan akan bergerak tidak hanya dalam upaya mencari makna harfiah teks, melainkan juga merambah pada pembongkaran makna ideologis atau mitos di balik teks. Secara sederhana, mitos bisa dimaknai sebagai sebuah wicara atau sebuah tipe pembicaraan (a type of speech), dan mitos merupakan sebuah wicara yang dipilih oleh sejarah (Barthes, 2010: 295-297). Mitos menurut Barthes tidak didefinisikan menurut objek pesannya, akan tetapi oleh caranya
21
menyampaikan pesan. Sementara untuk mencari mitos di balik teks, kita harus memperlakukan teks sebagai sebuah tanda yang nantinya akan diselundupkan ke dalam mode pertandaan. Mode pertandaan yang dimaksud adalah sistem semiologi dua tingkat, di mana mitos adalah second-order semiological system (sistem semiologis tataran-kedua), sementara sistem semiologi tataran pertama disebut pertanadaan level bahasa (language). Konsep
mitos
kemudian
juga
kerap
disejajarkan
dengan
ideologi,
sebagaimana diungkapkan Barker (2000:74), bahwa keduanya sama-sama bekerja di wilayah konotasi untuk menaturalisasi ide atau pengetahuan tertentu. Ideologi sebagaimana diungkapkan oleh Voloshinov (Eagleton, 1991:195) terkait dengan pergulatan kepentingan sosial yang bertentangan pada tingkatan tanda, maka bisa dipahami bahwa ideologi adalah usaha kekuasaan untuk memaksakan sesuatu yang sifatnya parsial agar tampak legitimate dan universal melalui penggunaan tanda bahasa. Konsep ideologi dalam hubungannya dengan tanda bahasa, punya sifat senada dengan mitos sebagaimana ia adalah sebuah tipe wicara yang melembaga secara historis di dalam masyarakat. Bahwa mitos atau ideologi bekerja untuk memberi justifikasi alamiah kepada pengetahuan tertentu agar tampak sebagai sesuatu yang tak terbantahkan dan abadi (Barker, 2000:75). Maka, bisa ditarik kesimpulan bahwa usaha mencari representasi dalam analisis pertandaan mitos, merupakan upaya untuk membongkar adanya ideologi atau modus-modus pengelabuhan pandangan melalui tanda bahasa. Dengan demikian, makna ideologis atau wicara yang diperoleh dari pertandaan level mitos, adalah inti dari pemahaman atas upaya penggalian representasi dalam penelitian ini. Karena mitos adalah suatu tipe wicara, maka penelitian ini akan berusaha mencari wicara khusus tersebut. Wicara tipe ini (wicara mitis), adalah wicara yang dipilih dan hidup dalam sejarah, maka penggunaan datadata historis menjadi amat penting untuk membicarakannya. Usaha pencarian wicara mitis sebagai bentuk representasi, akan dijalankan dengan memanfaatkan objek penelitian sampul depan majalah. Maka, teks sampul depan majalah dianggap sebagai situs representasi, dalam artian teks ini dilihat sebagai tanda dengan kode-kode
22
tertentu untuk dimaknai. Makna yang akan digali tentu akan dikaitkan dengan keyakinan, ide-ide, dan berbagai persoalan yang hidup dalam konteks kehadirannya. 4. Sampul Depan sebagai Situs Representasi Sampul depan memiliki posisi penting dalam struktur penyajian sebuah majalah, yang mengawali dan memperkenalkan kepada pembaca tentang apa yang akan mereka dapatkan dalam halaman isi majalah. Sebagaimana McLoughin (2000:5) menyebutkan bahwa sampul depan adalah important advertisement untuk menarik pembaca agar memilih majalah tertentu dibanding yang lain. Sebab itu, sampul depan selalu dikemas semenarik atau seprovokatif mungkin agar ketika orang pertama kali melihatnya langsung terpikat dan tertarik untuk membeli atau membaca halamanhalaman berikutnya. Untuk mendapatkan kesan memikat, umumnya sampul depan didominasi oleh pesan gambar visual seperti foto dan karikatur, pesan tertulis ditempatkan sebagai pelengkap gambar atau untuk menggambarkan secara ringkas kepada pembaca tentang apa yang ada dalam halaman isi. Selain itu, nama majalah juga selalu diletakkan dalam sampul depan untuk menegaskan identitas majalah. Sampul depan majalah adalah teks yang menarik, setidaknya demikian jika kita peka terhadap kehadiran tanda-tanda yang terpampang dalam berbagai jenis majalah, dan memancing persoalan makna ideologis dibalik kehadiran tanda-tanda tersebut. Sebut saja sampul depan majalah-majalah khusus pria dewasa, seperti FHM, Male, Cosmopolitan, dengan tampilan foto-foto wanita seksi dalam sampul depannya yang kemudian bisa dipersoalkan dalam kajian ideologi gender. Sampul depan juga tak luput dari perhatian Roland Barthes, dalam esainya Myth Today, ia memberi contoh sebuah sampul depan Paris Match untuk dilihat bagaimana representasinya. Di dalam sampul depan itu, terdapat foto seorang serdadu kulit hitam yang memberi hormat pada bendera Perancis. Pesan itu kemudian dibaca representasinya menggunakan analisis pertandaan, sehingga memunculkan wacana tentang imperium Perancis. Maka, alih-alih dianggap sebagai barang remeh, sampul depan justru bisa dimanfaatkan sebagai situs representasi yang membuka ruang pembacaan pada kehadiran ideologi tertentu. Sebab itulah, pemanfaatan sampul depan majalah untuk
23
dianalisis dalam mode pertandaan dinilai mempunyai alasan yang kuat. Maka, perlu penulis tegaskan bahwa penelitian ini akan memanfaatkan sampul depan Djawa Baroe sebagai situs representasi yang akan dibaca dengan memakai analisis pertandaan dua tingkat yang diperkenalkan Barthes. Pembacaan terhadap sampul depan Djawa Baroe diharapkan akan menjadi pintu pembuka representasi pemuda dalam konteks pendudukan Jepang di Jawa. G. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian semiotika yang diperkenalkan oleh Roland Barthes tentang dua lapis pertandaan (signification), yaitu lapisan bahasa (language) dan lapisan mitos (myth). Penggunaan analisis semiotika Roland Barthes dianggap relevan, karena Barthes dianggap menyediakan perangkat analisis yang mampu melampaui pemakanaan atas teks di atas makna harfiah. Artinya, Barthes menyediakan perangkat yang bisa menggiring proses analisis menuju penemuan makna-makna ideologis di balik teks, yaitu melalui lapisan pertandaan yang disebut mitos. Pertandaan pada lapis bahasa berusaha menemukan makna atas pesan secara harfiah atau denotatif, sementara penandaan lapis mitos berusaha mencari wicara mitis di balik teks. Penggunaan metode ini mengandaikan bahwa objek penelitian akan diperlakukan sebagai tanda yang dianalisis ke dalam dua tingkat pertandaan seperti yang diilustrasikan oleh Barthes sebagai berikut: 1.
Signifier
2.
Signified
Laguage
Myth
3. Sign I. Signifier III.
II.
Signified
Sign
Dalam lapis pertandaan pertama, objek yang diperlakukan sebagai tanda akan dilihat dalam keterhubungannya antara penanda (signifier) sebagai citra visual dan petanda (signified) atau konsep mental, sehingga membentuk makna denotatif atau harfiah. Makna harfiah selanjutnya akan dideformasi hanya sebagai penanda dalam lapis pertandaan mitos (second order of signification). Penanda mitos kemudian akan 24
dihubungkan dengan petanda atau konsep mental konotatif, sehingga keterhubungan keduanya dalam lapisan mitos akan membentuk sebuah wicara bertipikal mitos (mythical speech), karena sebagaimana disebut Barthes, mitos adalah sebuah tipe pembicaraan (a type of speech). Maka, dalam penelitian ini analisis pertandaan akan dilakukan tidak hanya pada persoalan makna harfiah, akan tetapi juga merambah pada bentuk-bentuk wicara mitis. Dengan demikian, pembahasan dalam sub metode penelitian ini akan penulis sistematisasikan ke dalam empat bagian. Pertama, penulis akan membahas gambaran umum mengenai majalah Djawa Baroe, sebagai media yang terbit dalam masa pendudukan Jepang di Jawa, dan bagaimana penulis memilih beberapa sampel sampul depan Djawa Baroe untuk dijadikan objek analisis. Kedua penulis akan membicarakan bagaimana sampul depan majalah Djawa Baroe sebagai data primer dikumpulkan, sementara juga terdapat data-data sekunder yang berupa arsip penting akan penulis sebutkan, di antaranya: halaman isi majalah Djawa Baroe, ikhtisar peraturan pemerintah Kan Po, dan surat kabar Asia Raya. Arsip-arsip tersebut teramat penting perannya untuk memperoleh gambaran yang lebih akurat mengenai kebijakan pendudukan Jepang di Jawa. Ketiga, penulis akan menjelaskan bagaimana teknik analisis semiotika digunakan dalam penelitian ini beserta gambaran yang lebih jelas mengenai unit dan elemen analisis yang harus diperhatikan. Keempat, penulis akan menjelaskan bagaimana operasionalisasi analisis dijalankan dalam penelitian ini. Keempat bagian tersebut akan disampaikan sebagai berikut: 1. Gambaran Objek Penelitian Majalah Djawa Baroe, adalah majalah foto yang diterbitkan di Jawa pada masa pendudukan Jepang. Majalah ini terbit sejak 1 Januari 1943 dan berakhir pada bulan Agustus 1945, sesudah proklamasi Indonesia dan menyerahnya Jepang atas kekalahan terhadap Sekutu. Dalam masa pendudukan Jepang di Jawa, Djawa Baroe diterbitkan oleh organisasi persuratkabaran Jawa Shinbun Kai (Perusahaan Koran Jawa), yang juga membawahi penerbitan surat kabar di berbagai daerah di Jawa, seperti surat kabar Asia Raya (Jakarta) Balai Pustaka (Jakarta), Tjahaja (Bandung), Sinar Baroe (Semarang), Sinar Matahari (Yogyakarta) dan Soera Asia (Surabaya).
25
Djawa Baroe terbit dua kali dalam satu bulan (dwi mingguan), terhitung dari bulan Januari 1943 hingga Agustus 1945 telah terbit 63 edisi. Konten dalam majalah ini ditulis dalam dua bahasa yakni bahasa Indonesia dan Jepang14, pemakaian dua bahasa ini dimungkinkan untuk menjangkau pembaca orang Jepang di Jawa selain pembaca orang Indonesia. Tidak diketahui berapa jumlah oplah majalah Djawa Baroe, hanya saja bisa diduga oplahnya lebih kecil dibanding surat kabar harian 15, karena majalah ini terbilang lux dengan konten penuh foto dan tebal halaman mencapai 28-36 halaman. Majalah Djawa Baroe adalah sebuah arsip penting bagi setiap orang yang berminat pada kajian seputar pendudukan Jepang di Indonesia. Di dalam majalah ini terdapat begitu banyak foto yang sangat bernilai, sebagai sebuah rekaman atas kondisi masyarakat Indonesia dalam masa Perang Dunia ke II. Melalui foto-foto tersebut, secara lebih nyata bisa dibayangkan berbagai kebijakan yang diterapkan Jepang kepada masyarakat Jawa, seperti kebijakan wajib serah padi, romusha, mobilisasi pemuda, dan sebagainya. Selain berisi foto, majalah Djawa Baroe juga menyediakan cukup banyak halaman untuk konten sastra, seperti cerpen dan naskah sandiwara. Penulis-penulis terkemuka pada zaman itu, seperti Usmar Ismail, Soetomo Djauhar Arifin, Andjar Asmara, banyak menuliskan karya-karyanya dalam majalah Djawa Baroe. Maka, majalah ini juga sangat berguna bagi para peminat sejarah perkembangan sastra, sejarah sandiwara, dan sejarah kesenian secara umum, yang mana pintu masuknya kerap dibuka dari pembahasan atas organisasi propaganda Jepang Keimin Bunka Shidosho (Poesat Keboedajaan)16, tempat para seniman dikumpulkan oleh pemerintah Jepang dalam agenda propaganda melalui produkproduk kesenian.
14
Konten bahasa Jepang adalah terjemahan dari bahasa Indonesia. Sebagai perbandingan, perkiraan oplah surat kabar harian, Asia Raya (18.000), Tjahaja (8.000), Sinar Baroe (7.000), Sinar Matahari (5.000) dan Soeara Asia (18.000). Lih Notosusanto, dan Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia… Op.Cit., hal 56. 16 M. Agus Burhan, Seni Lukis Indonesia Masa Jepang sampai Lekra, UNS Press, Surakarta, 2003. Hlm 18. 15
26
Gambar 1.1 Contoh Sampul Depan Majalah Djawa Baroe
Guna keperluan analisis, penulis telah menetapkan 5 (lima) sampul depan majalah Djawa Baroe sebagai objek penelitian. Sampul depan tersebut diambil dari rentang tahun antara 1943-1945, di mana dalam rentang itu terdapat 63 edisi majalah Djawa Baroe. Dalam tempo tersebut telah dipilih sampul depan Djawa Baroe dengan nomor-nomor sebagai berikut: (1) No. 18: 15 Maret 1943, (2) No. 22: 15 November 1943, (3) No. 8: 15 Agustus 1944, (4) No. 18: 15 September 1944, (5) No. 8: 15 April 1945. Kelima sampul depan yang disebutkan ini, telah penulis kategorikan sebagai sampul depan yang secara harfiah menggambarkan pemuda, karena itu kelima sampul depan ini menjadi relevan untuk dijadikan pintu masuk dalam menggali representasi pemuda. Tabel 1.1 Objek Analisis Sampul Depan Djawa Baroe 15 Maret 1943
Keterangan Sampul Murid-murid sekolah kepandaian puteri wakaba sedang memperingati Hari Pembangunan Jawa Baru
15 November 1943
Anggota pasukan calon opsir Tentara Pembela Tanah Air yang sedang belajar bahasa Jepang
27
15 Agustus 1944
Prajurit PETA sedang memelihara peluru
15 September 1944
Nomor istimewa untuk memperingati perkenaan Indonesia merdeka
15 April 1945
Jika musuh yang angkara murka berani mendarat, kita telah siap! (Semarang si Hooko Suisintai)
Terdapat dua cara untuk mengidentifikasi bahwa kelima sampul depan ini secara harfiah menggambarkan pemuda. Pertama, dengan membaca pesan keterangan dalam sampul depan yang menunjukkan identitas sosok yang dimaksud, kemudian mengaitkannya dengan data-data historis untuk menjustifikasinya agar bisa dimaknai dengan predikat pemuda. Sementara cara kedua terbilang lebih lunak, karena penulis cukup mengandalkan penglihatan kasat mata untuk mengidentifikasi bahwa sampul depan tersebut menggambarkan pemuda. Cara pertama penulis terapkan dalam empat sampul depan, yakni sampul depan edisi 15 Maret 1943, 15 November 1943, 15 Agustus 1944 dan 15 April 1945. Sampul depan edisi 15 Maret 1943, menggambarkan potret sekolah kepandaian puteri Wakaba, kemudian edisi 15 November 1943 dan 15 Agustus 1944 menggambarkan Tentara PETA (Pembela Tanah Air), sementara sampul depan edisi 15 April 1945 menggambarkan potret Barisan Pelopor. Tentara PETA dan Barisan Pelopor bisa diidentifikasi dalam predikat sebagai pemuda, karena keanggotaan kesatuan mereka berusia antara 20 an tahun, keterangan usia keanggotaan ini bisa dilihat dari keterangan-keterangan historis yang dikemukakan Anderson (1988: 44-48) ikhtisar berita peraturan pemerintah militer Kan Po, dan berbagai literatur yang menyinggung organisasi kepemudaan ini. Sementara potret pelajar puteri sekolah Wakaba dalam sampul depan edisi 15 Maret 1943, bisa dikategorikan dalam predikat pemuda karena menurut keterangan historis murid-murid sekolah ini adalah mereka dengan usia sekolah menengah yang kira-kira berusia antara belasan dan dua puluhan tahun17. Sementara cara yang kedua di terapkan pada satu sampul depan, yakni edisi 15 September 1944 yang menggambarkan rombongan remaja puteri bersama 17
A.B. Lapian, dkk, Di Bawah Pendudukan.., Op.Cit., hal 89-90
28
Soekarno yang memegang bendera Jepang dan Indonesia di kedua tangannya. Cara yang kedua ini terbilang lunak, karena penulis hanya mengandalkan penghilatan kasat mata untuk memaknai sosok di dalam sampul depan edisi tersebut dengan predikat pemuda. Pada penjelasan awal, penulis sudah berupaya memperkirakan kerangka usia pemuda dalam konteks pendudukan Jepang di Jawa, yakni antara 14-35 tahun, karenanya
dalam
melakukan
penglihatan
kasat
mata
ini,
penulis
juga
mempertimbangkan rentangan perkiraan usia tersebut. Secara kasat mata, sosok perempuan yang terdapat dalam sampul depan 15 September 1944, tampak masih muda. Rombongan perempuan yang melambaikan bendera Jepang dan Indonesia memiliki raut wajah yang tampak masuh muda, sementara tinggi badan mereka juga tidak lebih tinggi dari Soekarno. Kemungkinan mereka adalah pelajar setingkat sekolah dasar atau menengah yang sedang berparade bersama Soekarno. Kecuali, sosok Soekarno sendiri yang jika dihitung usianya saat itu (15 September 1944) menginjak 43 tahun karena ia lahir 6 Juni 1901, kita bisa bersepakat bahwa sosok remaja puteri dalam sampul depan edisi 15 September 1944 bisa diperkirakan berusia belasan tahun. 2. Pengumpulan Data Data primer dalam penelitian ini adalah lima sampul depan majalah Djawa Baroe 1943-1945. Data primer tersebut penulis dapatkan dari kantor Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta Selatan, yang menyimpan arsip cetak ulang majalah Djawa Baroe dalam empat bandel buku, hasil terbitan Echols Collection, Cornell University Library. Selain menyimpan cetak ulang majalah Djawa Baroe, ANRI juga menyimpan arsip ikhtisar berita peraturan pemerintah Kan Po 1942-1945, yang juga berupa cetak ulang dan sama-sama dihimpun oleh Echols Collection Cornell. Ikhtisar Kan Po, adalah kumpulan peraturan yang terbitkant oleh pemerintah militer Gunseikanbu di Jawa, di dalamnya terdapat dua jenis peraturan: pertama disebut osamu seirei, yakni peraturan yang dikeluarkan oleh Gunseikan (Kepala Staf Pemerintah Militer) dan peraturan kedua disebut osamu keirei, yakni peraturan yang dikeluarkan oleh panglima tentara tertinggi Saiko Shikikan.
29
Peraturan yang dikeluarkan oleh Saiko Shikikan secara struktural punya bobot yang lebih tinggi daripada peraturan Gunseikan, karena kepala administrasi pemerintah
militer
atau
Gunseikan
dalam
menjalankan
pemerintahan
bertanggungjawab kepada Saiko Shikikan sebagai panglima tertinggi. Akan tetapi, karena fokus penelitian ini bukan dalam hal tata pemerintahan militer, maka kedua peraturan baik osamu seirei maupun osamu keirei, dianggap memiliki bobot rata karena keduanya sama-sama berlaku semasa pemerintahan militer Jepang di Jawa berlangsung. Maka, arsip ikhtisar Kan Po selanjutnya menjadi bahan pelengkap atau data sekunder yang amat berharga dalam penelitian ini sebagai data yang akurat untuk memberi gambaran berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah militer pendudukan Jepang. Sejumlah arsip surat kabar lainnya yang terbit dalam masa pendudukan Jepang, seperti Asia Raya, Tjahaja, Sinar Matahari, Soeara Asia, Sinar Baroe, beberapa tersimpan di Perpustakaan Nasional R.I, akan tetapi dibutuhkan usaha ekstra untuk membacanya karena arsip-arsip tersebut tersimpan dalam bentuk klise foto yang harus diputar dengan proyektor manual. Sejauh ini, penelitian yang dilakukan oleh penulis mengandalkan dua arsip utama, yaitu: majalah Djawa Baroe dan ikhtisar peraturan pemerintah Kan Po yang keduanya diperoleh kopiannya dari ANRI. Dalam beberapa kutipan, penulis menambahkan arsip surat kabar Asia Raya, yang dibaca dari koleksi arsip Perpustakaan Nasional RI. Sementara surat kabar yang lain tidak digunakan dengan alasan keterbatasan akses dan waktu penelitian. Tentu saja, untuk menutupi lubang-lubang keterbatasan arsip tersebut, sumber-sumber lain berupa hasil kajian mengenai pendudukan Jepang yang sudah dikerjakan oleh banyak akademisi akan sangat diandalkan. 3. Teknik Analisis Lima sampul depan majalah Djawa Baroe yang akan diteliti secara keseluruhan adalah berbentuk pesan foto. Ia bukan foto koleksi pribadi seperti kita membayangkan foto keluarga, dan juga bukan berbentuk foto iklan, karena tidak ada produk barang atau jasa yang diiklankan di sana. Secara spesifik sampul depan Djawa Baroe adalah pesan berbentu foto berita. Disebut foto berita, karena foto ini
30
diterbitkan oleh sebuah media massa dan mengandung informasi mengenai kejadian tertentu. Bisa diambil contoh di sini, misalnya sampul depan 15 Maret 1943, terdapat pesan foto dan keterangan “murid-murid sekolah kepandaian puteri Wakaba sedang memperingati Hari Pembangunan Jawa Baru”. Jadi bisa dianggap bahwa sampul depan ini berisi foto berita tentang murid-murid sekolah Wakaba yang sedang memperingati Hari Pembangunan Jawa Baru. Sebagai sebuah foto berita, sampul depan Djawa Baroe disokong berbagai elemen, seperti penjelasan (caption), tata letak, dan nama terbitan. Menyesuaikan karakter objek sebagai pesan foto berita, maka akan dikembangkan teknik analisis semiotik yang disesuaikan dengan karakter tersebut. Pengembangan teknik analisis ini dirujuk oleh penulis dari tiga esai penting Roland Barthes, yaitu Myth Today (1972), The Photographic Message (1977) dan Rhetoric of the Image (1977). Myth Today adalah esai penting di mana Barthes memperkenalkan mode atau sistem pertandaan dua tingkat di mana mitos adalah sistem pertandaan tingkat ke-dua (second-order of semiological system). Sementara dalam dua esai lainnya, The Photographic Message dan Rhetoric of the Image, Barthes membicarakan banyak hal tentang karakter dan pembacaan pesan fotografi. Pembacaan pesan foto berita dalam sampul depan majalah Djawa Baroe, secara jelas akan dikerjakan dalam koridor dua lapis pertandaan (lapis bahasa dan mitos), senada dengan apa yang disampaikan oleh Barthes dalam esai myth today. Kemudian, esai The Photographic Message menyumbangkan beberapa instrumen penafsiran pesan seperti pentingnya melakukan analisis terhadap nama terbitan dan perhatian pada prosedur-prosedur konotasi terhadap foto. Sementara, esai Rhetoric of the Image, menyediakan perangkat analisis terhadap fungsi pesan linguistik seperti judul dan caption. Sebelum menjelaskan secara sistematis bagaimana kelima sampul depan majalah Djawa Baroe akan dianalisis, akan penulis jelaskan terlebih dahulu unit-unit apa saja yang akan diamati. Dalam The Photographic Message, Barthes mengisyarakatkan pentingnya analisis terhadap nama terbitan, sebab nama terbitan dianggap memiliki relasi informasional dengan foto. Sebuah terbitan dengan ideologi sosialis misalnya
31
memiliki hubungan yang kuat dengan informasi dalam halaman-halamannya. Sebab itu, penting untuk mencari pengetahuan tertentu di balik nama terbitan. Maka, satu buah unit analisis telah didapat, yaitu nama terbitan. Masih dalam The Photographic Message, Barthes juga menyinggung perhatian pada beberapa prosedur pengkodean foto untuk dalam membaca lapisan makna kedua (konotasi). Beberapa prosedur pengkodean tersebut, seperti adanya efek tiruan (trick effect), sikap atau pose, penempatan objek (object), pencahayaan dan pencetakan hasil (photogenia), estetika dalam gambar (aestheticism), dan persambungan foto yang jamak (syntax). Berdasarkan pengamatan penulis terhadap sampul depan yang akan dianalisis, tidak semua prosedur konotasi relevan digunakan. Hanya terdapat dua prosedur yang relevan, yaitu pose dan objek. Pose menunjukkan sikap dari sosok yang ada dalam foto, sementara object adalah benda-benda beserta posisinya dalam narasi foto. Dengan demikian, ditemukan dua elemen analisis yaitu pose dan object yang akan diperhatikan dalam analisis. Sementara dalam esai Rhetoric of the Image, Barthes mengutarakan adanya tiga jenis pesan dalam objek fotografi, yaitu pesan linguisik (linguistic message), pesan ikonik tak dikodekan (a non-coded iconic message) dan pesan ikonik yang dikodekan (a coded iconic message). Dua jenis pesan yang terakhir, sebenarnya lebih merupakan tataran pembacaan, pesan ikonik tak dikodekan adalah pesan denotasi yang berisi makna harfiah, sementara pesan ikonik yang dikodekan adalah pesan simbolik atau pesan konotatif yang keberadaannya ditopang oleh kode budaya tertentu18. Dalam dua jenis pesan ini, sepertinya tidak perlu dijelaskan secara luas, karena dalam pembacaan tanda sudah didapati terminologi utama tentang proses signifikasi, yaitu lapis bahasa dan lapis mitos. Yang perlu penulis tekankan adalah, keberadaan jenis pesan linguistik dalam objek fotografi. Menurut Barthes, ada dua fungsi pesan linguistik, yaitu sebagai penamat (anchorage) dan pemancar (relay). Fungsi penambat berlaku di mana pesan linguistik berfungsi untuk mengunci keserbamungkinan makna denotatif melalui aktivitas penamaan, fungsi ini paling 18
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu dan Problem Ikonisitas, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hal 43.
32
umum ditemuai dalam bentuk judul, keterangan penjelas atau caption. Sementara fungsi pemancar adalah pesan linguistik yang berposisi dalam hubungan komplementer dengan gambar, pesan ini umumnya berbentuk dialog, seperti balon kata dalam komik atau dialog dalam film, artinya teks berfungsi untuk memancarkan makna terhadap gambar. Dalam pengamatan penulis, secara keseluruhan lima sampul depan Djawa Baroe yang akan dianalisis memiliki pesan linguistik dalam fungsi penambat, tidak terdapat pesan linguistik bertipe pemancar. Maka, satu buah elemen akan ditambahkan lagi sebagai elemen analisis, yaitu pesan penambat. Sampai di sini, sudah didapatkan dua unit dan tiga elemen analisis. Dua unit analisis yaitu, nama terbitan dan foto berita. Sedangkan tiga elemen analisis digunakan untuk menganalisis foto berita, yaitu: pose, objek dan pesan penambat. Secara sederhana unit dan elemen analisis bisa digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1.2 Unit dan Elemen Analisis Unit Analisis
Elemen Analisis
Nama Terbitan
Kata Djawa Baroe
Foto Berita
Pose Objek Penambat (anchorage)
Unit analisis beserta elemennya, berikutnya akan dianalisis dalam dua lapis pertandaan yakni lapis bahasa dan lapis mitos. Secara lebih sistematis, bagaimana melakukan analisis terhadap unit dan elemen analisis, akan penulis bahas dalam sistematika analisis. 4. Sistematika Analisis Penelitian ini memakai perangkat analisis pertandaan dua lapis, yaitu lapis bahasa dan lapis mitos. Pertandaan lapis bahasa berusaha menemukan makna harfiah dari teks, sementara dalam lapis mitos analisis diarahkan untuk mencari makna konotatif di balik teks. Unit-unit yang akan dianalisis meliputi nama terbitan dan foto berita. Elemen analisis nama terbitan, berupa kata Djawa Baroe, yang selanjutnya 33
akan dicari makna konotatifnya melalui tingkat pertandaan mitos. Sementara unit analisis foto berita akan dianalisis dengan memperhatikan elemen-elemen yakni pose, objek dan pesan penambat. Dalam melakukan analisis pertandaan terhadap unit analisis, penulis akan menetapkan terlebih dahulu sejumlah leksia atau unit-unit pembacaan (units of reading) dalam objek yang diamati. Secara garis besar, sistematika analisis dalam penelitian ini bisa dibagi dalam lima tahapan. Tahapan pertama, melakukan analisis terhadap nama terbitan. Nama terbitan hanya terdiri dari satu leksia yakni nama Djawa Baroe, nama ini selanjutnya akan dicari petanda konotatifnya yang terkait pengetahuan tertentu dalam konteks pendudukan Jepang di Jawa. Tahapan kedua, melakukan analisis terhadap foto berita dengan menentukan terlebih dahulu sejumlah leksia atau unit-unit pertandaan, leksialeksia tersebut lantas dihubungkan dengan pesan penambat untuk memperoleh makna harfiah. Tahapan ketiga, makna harfiah akan dideformasi sebagai penanda konotasi yang akan dihubungkan dengan petanda konotasi. Penghubungan antara makna harfiah dengan petanda konotasi akan memperhatikan prosedur konotasi pose dan objek, serta pembacaan literatur-literatur historis tentang pendudukan Jepang di Jawa. agar petanda konotasi menjadi relevan dengan konteksnya. Dalam tahapan keempat, sejumlah petanda konotasi yang ditemukan dari analisis nama terbitan dan foto berita akan dipetakan secara tematik untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk wicara mitis yang hadir. Sebagaimana disebutkan oleh Barthes (2010:38), bahwa petanda-petanda konotasi (signified of connotation) merupakan materi penyusun ideologi, maka bisa dianggap bahwa petanda-petanda konotasi adalah fragmen penyusun makna ideologis atau wicara mitis. Sementara tahapan kelima, berusaha membahas wicara mitis secara tematik berdasarkan temuan-temuan petanda konotasi. Pembahasan wicara mitis ini akan dibahas dalam bab yang berbeda untuk mempermudah skema penulisan. Untuk lebih jelasnya, sistematika analisis bisa digambarkan dalam kolom berikut ini:
34
Tabel 1.3 Sistematika Analisis Unit
Lapis Bahasa
Lapis Mitos
Analisis Leksia
Nama
Kata Djawa Baroe
Pesan Linguistik
-------
Penanda Konotasi
Makna Harfiah
Terbitan
Petanda Konotasi
Petanda
Wicara Mitis
konotatif Pengelompokan
balik nama Djawa petanda konotasi secara Baroe
tematik
dan
pembahasannya Unit-unit Foto Berita
Makna Harfiah
pembacaan pada 5
Pesan penambat berupa caption
Petanda
konotatif berdasarkan tema yang
yang dicari dengan ditetapkan.
(lima)
sampul
memperhatikan
depan
Djawa
prosedur
Baroe
konotasi
pose dan objek serta pembacaan literatur dalam
konteks
pendudukan Jepang di Jawa
35
H. Sistematika Penulisan Secara keseluruhan, penulisan tesis ini disajikan dalam 5 (lima) bab. Uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, dan metode penelitian di sajikan dalam Bab I Pendahuluan. Bab II, berisi konteks historis mengenai mobilisasi pemuda di Jawa dalam masa pendudukan Jepang 1942-1945, yang berisi tentang uraian historis masuknya pendudukan Jepang di Jawa menggantikan Hindia-Belanda dan bagaimana pemerintah militer Jepang memobilisasi pemuda Jawa dalam lembaga latihan dan dunia pendidikan. Kemudian Bab III, berisi analisis semiotika terhadap lima sampul depan Djawa Baroe untuk mengumpulkan petanda-petanda konotasi, selanjutnya petanda-petanda konotasi tersebut dipetakan secara tematik terkait motif pendudukan Jepang, kebijakan pendudukan Jepang dan pengaruhnya. Pada Bab ke IV, akan dibahas wicara mitis sesuai tema yang ditentukan. Di dalam bab ini terdapat beberapa sub bab seperti “Ideologi Asia Raya dan Mitos Zaman Baru”, yang terkait tema motif pendudukan Jepang di Jawa, kemudian sub bab “Di Bawah Kontrol Matahari Terbit” yang menjelaskan kebijakan pendudukan Jepang, serta sub bab “Sebuah Zaman Latihan” yang menguraikan sejumlah pengaruh pendudukan Jepang di Jawa. Sementara Bab V adalah bab terakhir yang berisi penutup, untuk menyajiikan kesimpulan penelitian beserta saran bagi penelitian selanjutnya.
36