BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berdasarkan
ketentuan
UU
Nomor
32/2004,
dalam
penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi. Sedangkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan
daerah,
pemerintahan
daerah
menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 20 ayat 2 dan 3). Ketentuan ini dipertegas dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 5 ayat (4). Keseluruhan asas tersebut secara filosofis dimaksudkan untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam proses mencapai tujuan mensejahterakan rakyat. Secara eksplisit, klausul Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32/2004 jo. Pasal 5 ayat (4) UU No. 23/2014 diatas menegaskan bahwa asas
desentralisasi
pemerintahan
dan
negara,
dekonsentrasi
yang
merupakan
melekat
pada
sistem
prinsip
dasar
dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara nasional. Ini berarti bahwa asas desentralisasi dan dekonsentrasi bukan merupakan asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana banyak dipahami secara keliru selama ini. Oleh karena melekat pada sistem pemerintahan negara, maka baik asas desentralisasi maupun asas dekonsentrasi didesain sepenuhnya oleh pemerintah pusat, termasuk dimensi pengawasan dan pertanggung jawabannya dilakukan oleh (aparat) pemerintah pusat. -1-
Sebagai implikasi logis dari berlakunya kerangka kebijakan desentralisasi yang baru, kewenangan dan urusan pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota) semakin luas sedangkan kewenangan dan urusan unsur pemerintah pusat semakin mengecil. Meskipun demikian, demi mempertahankan eksistensi, integritas dan ”hak kedaulatan” suatu negara bangsa (nation-state), maka pemerintah pusat masih memiliki hak-hak tertentu di daerah, atau dapat melakukan intervensi dalam bentuk supervisi, pembinaan, pengawasan, dan penilaian kinerja otonomi di daerah. Hak ”intervensi” Pemerintah atas Daerah ini dapat dijalankan secara langsung oleh instansi tingkat Pusat (K/L), maupun secara tidak langsung melalui aparatnya di daerah. Menurut UU Nomor 5/1974 dan UU tentang pemerintahan daerah pada masa sebelumnya, alat kelengkapan Pusat di Daerah dijalankan oleh instansi vertikal yang dibentuk sebagai kepanjangan tangan instansi pemerintah di tingkat Pusat. Sedangkan menurut UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 32/2004, perangkat / wakil pemerintah Pusat di daerah adalah Gubernur, disamping instansi vertikal yang khusus menjalankan urusan-urusan absolut (eksklusif) Pemerintah.1 Ini berarti pula bahwa propinsi dalam koridor otonomi daerah memiliki 2 (dua) kedudukan, yakni sebagai wakil pemerintah pusat (aparat dekonsentrasi), namun pada saat yang bersamaan juga sebagai
1
Berdasarkan UU No. 23/2014 provinsi dan kabupaten/kota selain berstatus sebagai daerah otonom juga merupakan wilayah administratif. Bedanya, wilayah administratif provinsi adalah wilayah kerja gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan wilayah kerja dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum, sedangkan wilayah administratif kabupaten/kota adalah wilayah kerja bupati/ walikota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum saja.
-2-
pelaksana otonomi daerah itu sendiri (aparat desentralisasi); sedangkan
pada
kabupaten/kota
tidak
lagi
melekat
fungsi
dekonsentrasi. Mengingat tugas desentralisasi provinsi semakin mengecil, maka
fungsi-fungsi
koordinasi,
pembinaan,
dan
pengawasan
(implikasi tugas dekonsentrasi) harus diperkuat. Salah satu manifestasi dari bekerjanya peran Pemerintah dalam sistem penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) oleh Pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin agar roda otonomi daerah yang bergulir di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak salah arah atau menimbulkan ekses-ekses yang tidak diinginkan. Dalam kaitan ini, fungsi dekonsentrasi menjadi faktor kunci terhadap sukses atau gagalnya implementasi desentralisasi politik yang seluas-luasnya (devolution). Pengalaman
internasional
mengilustrasikan
bahwa
pelaksanaan desentralisasi yang kebablasan justru memberikan dampak sosial ekonomi yang merugikan bagi masyarakat daerah. Disatu sisi, harus diakui bahwa desentralisasi memberi manfaat tinggi bagi daerah dan masyarakat (Litvack, Ahmad, dan Bird, 1998; Rondinelli dan Cheema, 1983; McLean dan King, 1999; Anne Mills dalam Kolehmainen-Aitken, 1999; Jessica Seddon, 1999; IRDA, 2002). Disisi lain, sebagaimana diungkapkan oleh Work (2002) atau Moore dan Putzel (1999), tingkat keberhasilan desentralisasi juga sangat bervariatif di setiap negara/daerah. Bahkan tidak tertutup kemungkinan desentralisasi juga membawa dampak buruk yang tidak diinginkan (Hadiz, 2003; Utomo, 2004). -3-
Dalam rangka mencapai keseimbangan sekaligus mengontrol dampak negatif yang mungkin muncul dari pelaksanaan desentralisasi tersebut, maka logis bila pemerintah Pusat masih memainkan peran dalam siklus kebijakan pembangunan di daerah melalui implementasi fungsi dekonsentrasi. Dengan kata lain, dekonsentrasi dapat dipandang sebagai sebuah komponen yang terintegrasi dengan desentralisasi. Hal ini bertujuan agar daerah yang menyelenggarakan fungsi desentralisasi tidak menjadi semakin selfish atau memiliki ego yang berlebihan dalam
memikirkan
daerahnya
sendiri.
Dengan
penguatan
dekonsentrasi, kebijakan pembangunan sebuah daerah dapat selalu ditempatkan dalam konteks pembangunan yang lebih luas dan strategis (embedding local policy into broader context of national development and interest). Disinilah manfaat dekonsentrasi sebagai penyeimbang arus desentralisasi yang begitu deras. Hasil penelitian Mark Turner (2002) menunjukkan bahwa dekonsentrasi di Kamboja memberikan manfaat yang sangat bervariasi, sementara desentralisasi gagal memenuhi harapan yang ditetapkan sebelumnya. Beberapa keuntungan dari dekonsentrasi ini menurut Turner (2002: 354) adalah sebagai berikut:
Accessibility of officials. Officials are available for consultation, advice, and complaint. As local officials can exercise decentralized authority, they make the decisions and do not need to pass them up the line to distant central offices. Mobilization of local resources. It is easier for locally based officials to identify local resources, both human and physical, and then mobilize them in the pursuit of locally determined developmental purposes. Officials should also be familiar with specific local constraints and the dynamics of local politics.
-4-
Rapid response to local needs. Officials are better placed to respond rapidly to local needs as they are in the territory and fully aware of local conditions. Orientation to the specific local needs. Because officials know the local conditions, they are well placed to make decisions and allocate resources which fit with the specific conditions prevailing in a particular territory. Each subnational territory may have some unique features which can be taken into account when planning and allocating resources. Motivation of field personnel. Appointed government officials are more motivated to perform well when they have greater responsibility for programs they manage. Inter-office coordination. Coordination between offices dealing with different functions is more easily achieved at the local level where officials are physically close together and are often familiar with each other. Central agencies. The decentralization of service functions relieves central agencies of routine tasks. Responsibility for these has been passed down to the local level. Central agencies can thus focus on improving the quality of policy. Monitoring local-level performance and providing assistance to sub-national units are key element of this reformulated central government role.
Dengan demikian, pentingnya fungsi dekonsentrasi ini bukan hanya sebagai perekat antara kepentingan nasional dengan kepentingan daerah, namun lebih dari itu adalah menjamin terlaksananya penyelenggaraan pemerintahan dalam bidang pembangunan dan pelayanan secara lebih efektif dan efisien. Dan untuk menopang pelaksanaan tugas-tugas dekonsentrasi tadi, maka wajar jika pemerintah
pusat
mengalokasikan
sejumlah
dana
(Dana
Dekonsentrasi) kepada pemerintah provinsi (cq. Gubernur) selaku Wakil Pemerintah yang mengemban fungsi dekonsentrasi. Artinya, dana dekonsentrasi adalah instrumen finansial yang disediakan untuk menjalankan fungsi-fungsi dekonsentrasi yang telah ditetapkan atau -5-
direncanakan sebelumnya (money follows function). Dekonsentrasi
sendiri
merupakan
sebuah
mekanisme
pembagian tanggungjawab antar level pemerintahan (sharing of responsibility among multi-tiered of government) yang terjadi diseluruh negara. Menurut OECD (1997), tidak ada satupun negara di dunia yang tidak menerapkan prinsip dekonsentrasi, dengan menegaskan bahwa “deconcentrated administrations exist in all countries”. Pada pertemuan tingkat Menteri negara-negara OECD tentang pelayanan publik masa depan (Ministerial Symposium on the Future of Public Services) bulan Maret 1996, di Paris, pimpinan OECD, Alice Rivlin, menyatakan sebagai berikut: Developments are forcing, as well as enabling, changes in the structure and boundaries of government. There has long been a debate about the size of government, as well as whether to centralize or decentralize. We must now be willing to move in both directions -- decentralizing some functions while centralizing other critical policy-making responsibilities. Such changes are under way in all countries.
Dalam prakteknya, upaya membagi tanggung jawab antar level pemerintahan tadi dapat dilakukan melalui model desentralisasi politik atau devolusi (penyerahan tanggung jawab), atau melalui model dekonsentrasi (pelimpahan wewenang / tanggungjawab). Dengan kata lain, wacana desentralisasi dan dekonsentrasi harus dipandang sebagai bagian integral dari proses pembangunan bangsa (nation building), sehingga adanya kejelasan fungsi antara pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, dan Wakil Pemerintah Pusat di daerah, menjadi sebuah keniscayaan. Dalam konteks penelitian ini, maka perlu lebih penegasan tentang pembagian tugas, peran dan tanggung jawab antara Pemerintah -6-
Pusat dengan pemerintah Provinsi (cq. Gubernur) selaku wakil / representasi pemerintah Pusat. Dalam konteks pemencaran kewenangan tadi, maka urusan pemerintahan dapat dilakukan dengan beberapa pola atau mekanisme. Menurut pasal 10 UU Nomor 32/2004, pola-pola penyelenggaraan urusan tadi dapat diaktualisasikan melalui 3 (tiga) modus, yakni: 1. Pemerintah menyelenggarakan sendiri, atau 2. Dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah, atau 3. Dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.2
Pola pertama pada hakekatnya adalah manifestasi asas sentralisasi, dimana urusan pemerintahan tertentu dilaksanakan sendiri oleh pemerintah, dan tidak diserahkan ataupun dilimpahkan kepada pihak lain. Selanjutnya, pola kedua adalah penceminan dari pelaksanaan asas dekonsentrasi, sedangkan pola ketiga adalah penjabaran
asas
tugas
pembantuan.
Selain
ketiga
pola
penyelenggaraan urusan tersebut, sesungguhnya masih dapat ditambah 1 (satu) pola lagi yakni penyerahan urusan sepenuhnya kepada unit pemerintahan otonom, yakni Pemerintah Daerah. Pola terakhir ini sering dikenal sebagai asas desentralisasi. Secara teoretik, tidak ada satupun artikel atau berani menyatakan bahwa model yang satu lebih baik atau lebih efektif dibanding
2
model
lainnya.
Pilihan
kebijakan
tentang
model
Dalam UU No. 23/2014 tidak ada lagi pengaturan tentang tiga bentuk/model penyelenggaraan urusan tersebut. Meskipun demikian, ketiga bentuk tersebut masih berlaku dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia saat ini.
-7-
penyelenggaraan urusan mana yang dianggap paling baik, tentulah didasarkan pada kondisi obyektif dan kebutuhan pemerintah dan masyarakat, serta manfaat terbesar yang dapat dihasilkan masingmasing
model.
Itulah
sebabnya,
praktek
penyelenggaraan
pemerintahan di berbagai negara menunjukkan adanya kecenderungan untuk menggabungkan pola desentralisasi dengan dekonsentrasi (lebih detil baca Bab III dan IV). Apapun model / pola yang dipilih, satu hal harus mendapat jaminan, yakni bahwa kebijakan, kepentingan dan target-target pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah (Pusat) harus dapat berjalan dengan baik dan optimal di seluruh wilayah negara. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa asas desentralisasi atau dekonsentrasi bukanlah sebuah tujuan, namun hanya merupakan instrumen untuk mendukung agar kebijakan dan program nasional dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Di Indonesia sendiri, pemerintah nampaknya masih terus mencari model terbaik penyelenggaraan pemerintahan serta pola hubungan pusat dengan daerah. Hal ini terlihat dari upaya yang belum tuntas untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 32/2004 dan peraturan terkait lainnya. Proses pencarian bentuk ini mengilustrasikan bahwa derajat kontribusi asas desentralisasi dan dekonsentrasi bagi penyelenggaraan pemerintahan selama ini belum terpetakan secara jelas. Selain itu, keseimbangan konseptual antara desentralisasi dan dekonsentrasi juga belum tergambar dengan gamblang. Dewasa ini, dekonsentrasi justru sering dipandang sebagai pelengkap belaka dari asas desentralisasi. Tingkat urgensi dan -8-
relevansi dekonsentrasi belum mendapat pengakuan yang memadai. Malahan dalam implementasi sehari-hari, ditemukan banyak sekali kelemahan mendasar dalam praktek dekonsentrasi. Ironisnya, hingga saat ini belum ada langkah-langkah konkrit untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam implementasi dekonsentrasi tersebut. Akibatnya, keluhan
tentang
praktek
dekonsentrasi
dan
temuan-temuan
penyimpangan dari pengelolaan program dan dana dekonsentrasi, terus terjadi dan berulang setiap tahun (lihat sub-bab B dibawah). Mengingat situasi yang demikian kompleks sebagaimana paparan diatas, serta hasrat intelektual untuk lebih mempejelas pola kebijakan di Indonesia tentang hubungan desentralisasi dan dekonsentrasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka penulis tertarik untuk mengangkat issu tentang relevansi fungsi dekonsentrasi dalam mendukung kebijakan nasional di daerah sekaligus mendukung kebijakan dan pembangunan daerah otonom, kedalam sebuah penelitian Disertasi.
B. Fenomena Empiris Dekonsentrasi Selain didasarkan pada kerangka berpikir teoretis sebagaimana dikemukakan diatas, pentingnya penelitian tentang dekonsentrasi juga dilandasi oleh berbagai fenomena empiris yang berkembang dewasa ini. Beberapa fenomena dibawah ini mengilustrasikan bahwa dekonsentrasi belum terdefinisikan secara konkrit dan operasional. Masih terdapat kebingungan dan kekaburan tentang makna yang sebenarnya
dari
dekonsentrasi,
sehingga
dalam
tataran
implementasinya juga menjadi kabur. Adapun beberapa fenomena -9-
tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Urusan atau wewenang yang dilimpahkan Pemerintah kepada Gubernur sampai sekarang belum terdefinisi secara limitatif, sehingga menyebabkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan program dekonsentrasi menjadi sangat rendah. Hal ini juga membuka kemungkinan terjadinya pembiayaan program / proyek secara rangkap baik oleh APBN maupun APBD (double financing), yang menyebabkan terjadinya inefisiensi besar dalam sistem penganggaran publik. Situasi seperti ini misalnya ditandaskan oleh Menteri Keuangan sendiri bahwa dalam kenyataannya dana dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan kerap kali terjadi tumpang tindih dengan dana desentralisasi, karena ketidakjelasan mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah (Portal Depkominfo, 05-04-2006). 2. Sebagai implikasi logis dari peran Gubernur selaku Wakil Pemerintah, maka Lemhanas menyarankan agar sistem pemilihan Gubernur diubah, dimana Presiden menunjuk langsung Gubernur. Pilkada langsung hanya dilaksanakan untuk level bupati/walikota. Selain menghemat biaya Pilkada, penunjukan Gubernur langsung oleh presiden untuk memperkuat kinerja pemerintahan. Dengan kata lain, penghapusan pilkada Gubernur merupakan konsekuensi dari posisi Gubernur sebagai perwakilan Presiden di daerah (Detik, Media Indonesia, Kompas, 6-12-07). Pernyataan ini nampaknya memiliki korelasi dengan pernyataan Presiden SBY yang menyatakan bahwa biaya demokrasi tinggi. Selain biaya yang mencapai triliunan, rakyat juga dirugikan oleh penggunaan biaya - 10 -
yang
sangat
tinggi
tersebut
(Tempo,
6-12-07).
Selain
menggambarkan adanya silang pendapat yang tajam tentang kedudukan
Gubernur
selalu
wakil pemerintah
(perangkat
dekonsentrasi), pernyataan Presiden dan usulan Lemhanas diatas juga sering dipandang sebagai kritik – jika bukan gugatan – terhadap desentralisasi yang dinilai berjalan terlalu jauh atau kebablasan, sehingga perlu direm dengan mengembalikan kewenangan pemilihan Gubernur kepada Presiden. Apabila ide ini diterima, jelas berimplikasi pada perubahan mendasar tentang peran, wewenang, dan tanggungjawab seorang Gubernur. 3. BKKSI (Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia) menyatakan bahwa selama ini dekonsentrasi disalahgunakan baik oleh Pemda maupun Departemen Teknis. Selain itu, dana dekonsentrasi
yang
dikeluarkan
untuk
membiayai urusan
dekonsentrasi sangat besar, dimana ada daerah memiliki dana dekonsentrasi lebih besar dari APBD-nya. Hal ini dipandang sebagai permainan Pusat yang terselubung dan berpotensi korupsi besar-besaran (Kompas, 24-12-2007). Pada saat yang bersamaan, Tim Penertiban Rekening Departemen Keuangan menemukan adanya ribuan satuan kerja (dulu disebut pemimpin proyek) yang mengelola dana dekonsentrasi atau tugas pembantuan, tetapi tidak melaporkan realisasinya. Dana ini seperti hilang begitu saja karena diserahkan melalui departemen teknis, tetapi tidak ada laporan pertanggungjawabannya (Kompas, 18-12-2007). Senada dengan temuan Tim Penertiban Rekening Depkeu diatas, temuan Auditor Utama BPK Soekoyo juga mengindikasikan - 11 -
bahwa dana dekonsentrasi yang sudah dialirkan pemerintah pusat ke daerah sejak tahun 2000 ternyata penggunaannya tidak dilaporkan di APBN, neraca pemerintah pusat, atau di APBD. Akibatnya, ada potensi dana yang mencapai sekitar Rp 28,75 triliun tersebut menjadi sarana untuk pencucian aset dan berpotensi tindak pidana (Sumut Pos, 11-02-2007). Berdasarkan temuan tersebut, BPK memberikan pendapat bahwa pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan belum memenuhi standard dan prinsip pengelolan keuangan negara yang baik dan benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan temuan ini juga menjadi salah satu penyebab opini disclaimer-nya Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. 4. Fungsi dekonsentrasi masih sering disikapi sebagai ”tugas kelas dua” setelah penyelenggaraan fungsi desentralisasi. Akibatnya, kurang ada perhatian yang serius untuk mengkaji berbagai persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi dekonsentrasi oleh provinsi (cq. Gubernur). Selain itu, penyikapan yang kurang proporsional ini juga berdampak pada kurang adanya upaya yang sistematis untuk menyempurnakan dan memperkuat fungsi dekonsentrasi. Hal ini jelas merupakan kelemahan dari praktek kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang memberikan otonomi seluas-luasnya kepada kabupaten/kota. Fenomena diatas antara lain dikuatkan dengan pernyataan Gubernur Jawa Tengah, Ali Mufiz yang mengatakan bahwa saat ini masih
terdapat
kontroversi antara
kewenangan
perangkat
pemerintah pusat di provinsi seperti unit pelaksana teknis (UPT) - 12 -
dengan kewenangan Gubernur selaku wakil pemerintah pusat (Kompas, 22-10-2008). Pernyataan serupa diungkapkan Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang tentang masih banyaknya kecenderungan program pemerintah yang ditujukan bagi daerah tanpa melibatkan Gubernur. Dampaknya, pembangunan di daerah menjadi tidak fokus dan anggaran banyak yang tidak efisien karena tumpang tindih (Kompas, 1/12/2009). Beberapa tahun sebelumnya, Gubernur Kalimantan Tengah juga menyampaikan kririk serupa dan menyoroti posisi Gubernur yang seolah-olah lepas dari program dan dana dekonsentrasi, sehingga menjadi sangat dilematis bagi daerah, karena jika terjadi kesalahan dalam implementasinya kepala daerah juga ikut menanggungnya (Tempo Interaktif, 24-08-2006). Selain itu, pemerintah seharusnya mempercayakan pengelolaan dana dekonsentrasi ke Gubernur agar lebih bermanfaat. Sebab, kepercayaan pusat kepada daerah akan memacu Kepala Daerah membangun wilayahnya, dan daerah akan mengimbangi dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas (Tempo Interaktif, 05-09-2006). Keluhan yang sama juga dikemukakan oleh mantan Gubernur Jawa Barat, Danny Setyawan yang menyatakan bahwa penyaluran dana dekonsentrasi selama ini langsung ditangani oleh departemen sektoral di pusat kepada dinas, mencerminkan bahwa departemen sektoral masih mengobsesikan dinas-dinas di provinsi seperti Kanwil (Pikiran Rakyat, 13-04-2005). Sejalan dengan sinyalemen Gubernur Jabar tersebut, Ketua DPRD Jabar menyesalkan turunnya dana dekonsentrasi (tahun 2007) karena tidak disertai - 13 -
kejelasan mekanisme pertanggung jawabannya oleh SKPD yang menerima. Pemerintah dinilai telah melakukan kesalahan karena tidak memberitahukan kepada DPRD terkait program-program menyangkut dana dekonsentrasi, sehingga DPRD tidak dapat melakukan pengawasan (Pikiran Rakyat, 10-01-2007). Ternyata, setelah tujuh tahun berjalan, masalah mis-komunikasi dan miskoordinasi pusat-daerah masih terjadi. Hal ini nampak dari pernyataan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang menyebutkan kurangnya koordinasi dalam pelaksanaan program pemerintah, salah satunya dalam kebijakan impor sejumlah komoditas pangan atau kebutuhan pokok. Pemerintah pusat sering tidak bicara dengan daerah, sehingga kebijakan impor diterapkan, harga komoditas lokal jatuh. Selain itu ada komoditas tertentu yang tidak perlu diimpor karena persediaan di daerah mencukupi (Kompas, 5-07-2014). Keluhan tentang kebijakan dan praktek dekonsentrasi juga terjadi di
Provinsi
NTB.
Gubernur
NTB
menyatakan
bahwa:
“penyelenggaraan koordinasi kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah hingga kini masih belum optimal, baik dari aspek administrasi pemerintahan maupun pengendalian secara kualitatif atas pelaksanaan kegiatan. Hal ini disebabkan antara lain penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah belum terlaksana secara ideal, misalnya dalam hal pembinaan dan pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah di kabupaten/kota, gubernur belum diberi kewenangan represif untuk membatalkan kebijakan daerah - 14 -
kabupaten/kota yang dinilai bertentangan dengan kebijakan pusat” (Gaung NTB, Maret 2011, Penyelenggaraan Dekonsentrasi Pembantuan Belum Optimal). Fakta
terbaru
tentang
kelemahan
fungsi
dekonsentrasi
diungkapkan oleh Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, yang menyatakan bahwa gubernur belum menjadi perpanjangan pemerintah pusat. Bupati/walikota banyak mengajukan proposal dan audiensi ke kementerian tanpa melewati gubernur. Unit pelaksana teknis (UPT) pusat di daerah tidak berkoordinasi dengan gubernur, sementara gubernur tidak memiliki kewenangan memberi masukan terkait penempatan personel. Untuk itu, Gatot menyarankan penguatan peran gubernur, dimana instansi vertikal harus berada dibawah koordinasi gubernur, sedangkan kementerian hanya sebagai koordinator (Kompas, 27-06-2014). Hal senada diungkapkan Gubernur Sumatera Selatan, Alex Nurdin, yang menginginkan
pemerintah
pusat
dapat
menjadi
navigator
pembangunan daerah, namun memberi keleluasaan pemerintah daerah untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai potensi, kondisi sosial, dan geografi daerah masing-masing. Saat ini menurut Nurdin, pembangunan infrastruktur dan potensi daerah terbengkalai, seperti kasus NTT yang sangat potensial untuk peternakan sapi namun justru mengimpor daging sapi dari luar negeri. Untuk itu disarakan agar pendekatan sektoral dalam pembangunan diganti dengan pendekatan wilayah. Dengan pendekatan wilayah ini, kondisi daerah yang berbeda akan membutuhkan pendekatan dan program pembangunan yang - 15 -
berbeda pula (Kompas, 1-07-2014). Selain permasalahan diatas, implementasi dekonsentrasi yang belum optimal juga dapat dilihat dari adanya kesenjangan pada dimensi regulasi. Artinya, fungsi dekonsentrasi akan berjalan baik apabila konsisten dengan kerangka aturan yang telah ditetapkan. Adapun beberapa hal yang belum sesuai antara kondisi ideal dengan kondisi faktual adalah sebagai berikut: 1. Pasal 108 UU No. 33/2004 menyatakan: Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan Daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus. Namun, hingga saat ini belum ada peraturan yang mengatur tentang pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK. 2. Pasal
2
PP
No.
7/2008
menyatakan:
Penyelenggaraan
dekonsentrasi dilakukan melalui pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kementerian/ lembaga. Selanjutnya, Kementerian/lembaga menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Namun, rincian detil tentang urusan yang dilimpahkan oleh kementerian / lembaga beserta mekanisme dan tata kelolanya belum ada, dan kalaupun ada tidak seragam antar kementerian / lembaga. Akibatnya, prinsip money follows function tidak berjalan karena dana dekonsentrasi dikucurkan tanpa mengacu kepada tugas-tugas dekonsentrasi yang telah dilimpahkan kepada Gubernur. - 16 -
3. Pasal 15 PP No. 7/2008 menyatakan: Perencanaan program dan kegiatan dekonsentrasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perencanaan pembangunan nasional. Namun, UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) hanya memuat pengaturan yang sangat minim tentang dekonsentrasi, yang tertuangg dalam Pasal 32 yang berbunyi Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat mengkoordinasikan pelaksanaan perencanaan tugas-tugas Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Ketentuan ini hanya memberi penugasan kepada Gubernur
selaku
koordinator,
namun
integrasi
program
dekonsentrasi dalam SPPN sendiri sama sekali tidak tergambar dengan jelas. 4. Meskipun telah ada PP No. 23/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi, sebagaimana diamanatkan Pasal 37-38 UU No. 32/2004, namun faktanya belum dapat diimplementasikan dengan sepenuhnya. Sebagai contoh, pembentukan kelompok kerja sebagai perangkat Sekretaris Gubernur (yang secara ex-officio dirangkap oleh Sekretaris Daerah Provinsi) belum terbentuk di seluruh provinsi. Jikapun ada kelompok kerja seperti Kelompok Kerja Bidang Hubungan PusatDaerah dan Antar Daerah sebagaimana tertuang dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 750/2013, ternyata ini bukan kelompok kerja seperti yang dimaksud oleh PP No. 23/2011 dan Permendagri No. 66/2012 tentang Pelaksanaan PP No. 23/2011. Dapat dikatakan demikian karena PP No. 23/2011 maupun Permendagri No. - 17 -
66/2012 tidak dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta ini. Selain itu, PP ini hanya menyebutkan secara jelas mengenai 9 (Sembilan) tugas urusan pemerintahan, namun memberikan urusan pemerintahan di wilayah provinsi yang menjadi kewenangan Pemerintah tanpa perincian yang jelas. Akibatnya, tetap saja belum nampak batasbatas
tugas
dan
wewenang
Gubernur
di
bidang
yang
didekonsentrasikan Pemerintah. 5. Pola belanja dekonsentrasi dan tugas pembantuan masih di dominasi dengan jenis belanja bantuan sosial. Jenis belanja bantuan sosial
tidak
tepat
digunakan
untuk
mendanai
kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana temuan BPK atas hasil audit pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan di beberapa Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Ketidaktepatan penggunaan jenis belanja bantuan sosial tersebut disebabkan karena tidak secara konsisten menerapkan aturan, baik aturan terkait dengan penyelenggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan (PP Nomor 7/2008 serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/2008 dan perubahannya), maupun aturan terkait dengan sistem penganggaran (PP Nomor 21/2004 tentang Penyusunan
Rencana
Kerja
dan
Anggaran
Kementerian
Negara/Lembaga). Selain itu, kebijakan pengalokasian dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan untuk Provinsi T.A 2011 belum sepenuhnya memperhatikan keseimbangan pendanaan di daerah sebagaimana tertuang dalam rekomendasi Menteri Keuangan
tahun
2010,
karena - 18 -
yang
diutamakan
dalam
pengalokasian adalah prioritas 2, dan porsi untuk non prioritas tidak berbeda jauh dengan yang prioritas (Kementerian Keuangan, Rekomendasi
Menteri
Keuangan
Tentang
Keseimbangan
Pendanaan di Daerah Dalam Rangka Perencanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun 2012, Lampiran Surat Menteri Keuangan No. S-156/MK.07/2011, Tanggal 23 Januari 2011). 6. Sampai saat ini masih terjadi tumpang tindih belanja antar unit maupun antar tingkatan. Masih sering terjadi belanja pemerintah pusat melalui anggaran kementerian, baik secara langsung ke daerah maupun melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan, digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang seharusnya menjadi urusan daerah yang telah didesentralisasikan. Hal ini juga diperparah dengan rendahnya mekanisme koordinasi antara pusat dan daerah dalam pengalokasian dana-dana tersebut, sehingga tidak hanya tidak tepat guna tapi juga tumpang tindih. Di samping itu, sistem perencanaan nasional juga belum sepenuhnya dapat mengkoordinasikan program-program di pusat maupun daerah, yang didorong oleh ego sektoral dari masing-masing unit di semua tingkatan. Akibatnya, sering terjadi ketidakjelasan siapa mengerjakan apa, sehingga berbagai program saling berbenturan. Tumpang tindih antara belanja pusat dan daerah ditenggarai sebagai salah satu faktor yang mendorong tingginya belanja pegawai baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
(DJPK
Kementerian
Keuangan,
Grand
Design
Desentralisasi Fiskal Indonesia, 2009). Jika dilakukan analisis lebih dalam, maka munculnya berbagai - 19 -
fenomena tersebut bersumber pada beberapa prasyarat yang tidak dipenuhi agar dekonsentrasi berjalan dengan optimal. Prasyarat pertama adalah kelengkapan instrumen yuridis. Sebagaimana dapat kita simak, materi substantif dalam PP tentang dekonsentrasi (PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008) belumlah operasional dan membutuhkan pengaturan yang lebih rinci dalam bentuk peraturan perundangan yang lebih rendah, misalnya Keputusan Presiden, Peraturan Mendagri, Peraturan Menkeu, dan sebagainya. Ketiadaan landasan hukum ini jelas akan berdampak negatif dalam implementasi dekonsentrasi. Prasyarat kedua yang juga harus dipenuhi adalah adanya hubungan yang harmonis antar lembaga di tingkat pusat, khususnya antara Depdagri dan Depkeu. Koordinasi ini terutama dibutuhkan untuk merancang jenis-jenis kewenangan yang akan dilimpahkan kepada wakil pemerintah di daerah, serta model pembiayaannya. Oleh karena koordinasi diantara kedua instansi ini kurang terjalin harmonis, maka model pelimpahan kewenangan dekonsentrasi dan model pendanaan dekonsentrasi juga masih bermasalah hingga saat ini. Adanya kejelasan lembaga / perangkat penyelenggara fungsi dekonsentrasi juga menjadi prasyarat penting. Selama ini (sejak lahirnya UU No. 22/1999), perangkat dekonsentrasi berupa kantor wilayah menjadi hapus, kecuali perangkat yang melaksanakan lima urusan
absolut
pemerintah
pusat.
Dampaknya,
urusan
dekonsentrasi ”dititipkan” kepada perangkat desentralisasi, yakni dinas dan lembaga teknis daerah. Selain kurang efektif, hal ini juga membuka kemungkinan terjadinya overlap (tumpang tindih) atau duplikasi tugas desentralisasi dan tugas dekonsentrasi. Oleh sebab itu, - 20 -
penataan kelembagaan dekonsentrasi menjadi salah satu kebutuhan mendesak untuk mewadahi fungsi-fungsi yang dilimpahkan dari pemerintah pusat.
C. Rumusan Masalah / Problematika Penelitian Dari latar belakang dan fenomena-fenomena empiris diatas, secara
sederhana
dapat
diidentifikasi
inti
yakni ”rendahnya relevansi dekonsentrasi dalam
masalahnya, mendukung
kepentingan pusat di daerah, yang disebabkan oleh rendahnya efektivitas pengelolaan dekonsentrasi”. Tidak efektifnya pengelolaan dekonsentrasi itu sendiri bersumber dari beberapa masalah yang lebih spesifik, antara lain: 1. Lemahnya fungsi pemrograman dekonsentrasi. Penamaan program dekonsentrasi cenderung sama dengan program K/L dan program pemerintah daerah, sehingga menimbulkan tumpang tindih program. Mengingat dekonsentrasi adalah bagian dari fungsi pemerintah pusat yang didelegasikan kepada pemerintah daerah, maka kesamaan nama antara program dekonsentrasi dengan program K/L merupakan suatu keniscayaan. Namun by nature program
dekonsentrasi
sangat
berbeda
dengan
program
desentralisasi yang dijalankan oleh pemerintahan daerah. Jika masih terjadi kesamaan program ini menunjukkan adanya kelemahan dan ketidakefektivan dalam fungsi pemrograman dekonsentrasi. 2. Lemahnya manajemen penganggaran dekonsentrasi. Temuan BPK atau Tim Penertiban Rekening Depkeu tentang penggunaan dana - 21 -
dekonsentrasi yang tidak dipertanggungjawabkan, pernyataan Menteri Keuangan tentang dana dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan yang sering tumpang tindih dengan dana desentralisasi, adalah bukti yang sangat meyakinkan akan lemahnya manajemen keuangan dekonsentrasi. 3. Lemahnya mekanisme perencanaan dekonsentrasi. Meskipun ada forum-forum pembahasan di tingkat kementerian, namun program dan anggaran dekonsentrasi cenderung monoton setiap tahunnya dengan mengulang-ulang aktivitas yang sama, dan tidak ada kebaruan dan kekhasan antar daerah. Selain itu, perencanaan dekonsentrasi terlalu ministerial-oriented, dalam arti program dan anggaran sudah dialokasikan oleh kementerian tanpa didahului oleh analisis kebutuhan atau usulan dari daerah. Mekanisme perencanaan hingga pertanggungjawaban program dekonsentrasi juga kurang mendudukkan gubernur dalam peran sentral dalam kapasitasnya selaku wakil pemerintah. 4. Tidak adanya perangkat kelembagaan dekonsentrasi yang memadai. Gubernur selaku Wakil pemerintah saat ini menghadapi dua macam dilema
sekaligus.
Dilihat
dari
perangkat
pendukungnya,
berdasarkan Permendagri Nomor 66/2012, gubernur semestinya memiliki perangkat terdiri dari Sekretaris Gubernur yang secara exofficio dirangkap oleh Sekda Provinsi, dan Sekretaris Gubernur memiliki perangkat berupa Kelompok Kerja yang dipimpin oleh pada Staf Ahli Gubernur. Minimnya sumberdaya aparatur (SDM, anggaran, sarana) yang dimiliki Staf Ahli, menjadikan tugas tambahan selaku koordinator kelompok kerja tidak berjalan - 22 -
optimal. Pada saat yang bersamaan, tugas-tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil Pemerintah juga belum ditetapkan secara jelas dan tegas. Dengan kedua kendala tersebut, ditambah dengan tugas dekonsentrasi yang harus dilaksanakan cukup banyak, dapat dibayangkan bahwa fungsi dekonsentrasi tidak mungkin berjalan maksimal. Mengingat kondisi seperti ini, maka wajarlah apabila banyak gubernur yang mengeluh atau merasa tidak berdaya. Dengan tidak adanya perangkat kelembagaan dekonsentrasi tadi, maka program dekonsentrasi masih dijalankan oleh SKPD, yang semestinya lebih fokus menjalankan urusan pemerintahan yang telah didesentralisasikan. 5. Lemahnya fungsi regulasi. Meskipun sudah ada Peraturan Menteri tentang Pelimpahan Kewenangan Dekonsenrasi, namun dalam implementasinya sering menimbulkan kebingungan, misalnya dalam hal ketidakjelasan pihak penerima pelimpahan wewenang (addressat
norm),
tidak
tegasnya
rincian
kewenangan
dekonsentrasi yang dilimpahkan, dan sebagainya. Rumusan masalah dan rincian masalah yang lebih spesifik sebagaimana tersebut diatas mencerminkan adanya problematika konsepsi dan implementasi dekonsentrasi, yakni adanya indikasi ketidakseriusan pemerintah dalam mendesain kebijakan dekonsentrasi. Ketidakseriusan tadi boleh jadi mencerminkan adanya pandangan para pengambil kebijakan bahwa dekonsentrasi adalah sebuah prinsip yang tidak
penting
dan
bukan
prioritas
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan, terutama di level daerah. Jika terbukti benar bahwa dekonsentrasi dipandang tidak penting, - 23 -
muncul problematika
berikutnya yakni untuk apa dekonsentrasi tetap dijalankan sebagai salah
satu
prinsip
penyelenggaraan
pemerintahan?
Berbagai
problematika sekitar eksistensi dan relevansi dekonsentrasi ini juga dapat
dikembangkan dengan
mengkaitkannya kepada prinsip
desentralisasi, misalnya dengan mengemukakan pertanyaan apakah dengan adalah desentralisasi luas berdasarkan UU No. 32/2004 maka dekonsentrasi sesungguhnya tidak lagi diperlukan? Pertanyaan terakhir ini akan membawa kepada diskusi teoretik (theoretical debate) antara desentralisasi dan dekonsentrasi. Dengan kata lain, inefektivitas pengelolaan dekonsentrasi dari kelima dimensi diatas akan membawa pada kesimpulan tentang urgensi dan/atau relevansi dekonsentrasi sebagai instrumen pemerintah pusat untuk menjamin berfungsinya kepentingan pusat di daerah.
D. Pertanyaan Penelitian (Research Question) Berdasarkan permasalahan atau problematika yang dipaparkan diatas tentang rendahnya efektivitas implementasi kebijakan dan program dekonsentrasi, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut: Bagaimanakah relevansi dekonsentrasi berdasarkan tingkat efektivitas pengelolaannya?, serta Mengapa implementasi dekonsentrasi belum menunjukkan efektivitas dalam pengelolaannya?. Pertanyaan penelitian ini selanjutnya dijabarkan dalam pertanyaan yang lebih rinci, sebagai berikut: 1. Bagaimanakah efektivitas program dan kegiatan dekonsentrasi?
- 24 -
2. Bagaimanakah
efektivitas
penganggaran
/
pembiayaan
dekonsentrasi? 3. Bagaimanakah efektivitas perangkat kelembagaan dekonsentrasi? 4. Bagaimanakah efektivitas mekanisme perencanaan dekonsentrasi? 5. Bagaimanakah efektivitas regulasi terkait dengan implementasi fungsi dekonsentrasi? Kelima pertanyaan inilah yang akan dijawab pada analisis yang dituangkan pada Bab V. Jawaban terhadap relevan atau tidaknya asas dekonsentrasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan tersebut sangat penting untuk dapat menentukan strategi yang tepat dalam pembenahan berbagai problematika implementasi dekonsentrasi saat ini. Apabila dekonsentrasi dinilai tidak memiliki relevansi yang cukup, maka program-program dan dana dekonsentrasi yang ada selama ini lebih baik dialihkan menjadi program dan dana desentralisasi. Namun apabila dekonsentrasi masih dipandang relevan, maka pembenahan sistemik meliputi 5 (lima) aspek yang diuraikan dalam rumusan masalah, menjadi sebuah keniscayaan.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian (Research Objectives) Berdasarkan permasalahan penelitian tersebut diatas, maka tujuan pokok dari penelitian dalam rangka penulisan disertasi ini adalah terdeskripsikannya tingkat relevansi dekonsentrasi berdasarkan tingkat
efektiviats
pengelolaan
dekonsentrasi
sehingga
dapat
dirumuskan rekomendasi rekomendasi tentang model kebijakan dekonsentrasi yang lebih tepat untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang ideal dan efektif di Indonesia berdasarkan - 25 -
pengalaman historis maupun pengalaman negara-negara lain. Rekomendasi tersebut diharapkan berupa sebuah konsep yang relatif matang untuk menuju kepada suatu konstruksi keseimbangan antara asas desentralisasi dan dekonsentrasi, keseimbangan dan kejelasan peran antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi, serta keharmonisan
hubungan
pemerintah
Pusat
dan
Daerah
(Kabupaten/Kota) dengan Provinsi sebagai unit intermediasinya. Secara praktis, kegunaan / manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah meningkatnya kualitas praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah, baik yang bersumber dari asas desentralisasi maupun asas dekonsentrasi. Hal ini antara lain dapat dicapai dengan penyempurnaan UU dan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan UU tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004). Sementara secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi
dalam
pengembangan
teori
desentralisasi
dan
manajemen pemerintahan daerah, sekaligus membawa manfaat untuk mengisi kebutuhan literatur yang sangat minim tentang filosofi, formulasi, model-model, dan praktek / implementasi dekonsentrasi di negara kesatuan (unitary state) pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya.
F. Keaslian Ide dan Originalitas Studi Keinginan
awal
penulis
untuk
mengkaji
persoalan
dekonsenstrasi timbul dari bincang-bincang dengan para pejabat di daerah, terutama di lingkup Biro / Bagian Organisasi dan Pemerintahan serta Bappeda. Pada Biro Pemerintahan terdapat Bagian Dekonsentrasi, - 26 -
namun mereka menyatakan bahwa perencanaan program dan anggaran dekonsentrasi dilakukan oleh Bappeda. Namun pejabat Bappeda pada umumnya juga mengaku tidak menangani urusan dekonsentrasi secara spesifik, karena sudah ditangani oleh masing-masing Dinas. Demikian pula Biro Organisasi yang memiliki tugas untuk mengkaji persoalan tatalaksana organisasi, sering menyiratkan adanya mis-koordinasi dalam penyelenggaraan dekonsentrasi di daerah. Dari hasil bincang-bincang tadi, penulis menarik sebuah kesimpulan sementara bahwa kebijakan dan pola implementasi dekonsentrasi belum cukup efektif, bahkan cenderung menjadi sumber inefisiensi pemerintahan. Dari ketertarikan awal ini, penulis kemudian melakukan penelusuran berita media cetak dan elektronik, dan menemukan banyak sekali keluhan para Kepala Daerah dan pimpinan DPRD tentang segala sesuatu yang menyangkut praktek dekonsentrasi ini. Hasil penelusuran ini semakin menguatkan dugaan penulis tentang terjadinya mis-manajemen dekonsentrasi. Selanjutnya, penulis melakukan telaah yuridis dengan mempelajari produk-produk hukum yang terkait dengan dekonsentrasi, misalnya PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi. Dari telaah ini penulis memandang bahwa pengaturan dekonsentrasi belum lengkap sehingga membuka peluang terjadinya multi interpretasi dan kekaburan dalam implementasinya. Selain itu, penulis beranggapan telah terjadi pengaturan secara asimetris (asymmetrical regulation), dimana fungsi desentralisasi diatur oleh produk
hukum
setingkat
Undang-Undang,
sedangkan
fungsi
dekonsentrasi hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah (instrumen - 27 -
pelaksanaan UU). Padahal, baik desentralisasi maupun dekonsentrasi sama-sama merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan (Pasal 20 ayat 2 dan 3, UU No. 32/2004), sehingga memiliki kedudukan yang sejajar, dan semestinya diatur dengan level kebijakan yang sejajar pula. Studi literatur tentang dekonsentrasi sendiri ternyata juga masih sangat terbatas, bahkan cenderung langka. Kalaupun ada teori, analisis atau kasus-kasus kajian penerapan dekonsentrasi, mayoritas dikaitkan dengan studi tentang desentralisasi. Dengan kata lain, dekonsentrasi hanyalah disiplin kecil (minor study) dari kajian desentralisasi yang sangat banyak. Namun dari penelusuran penulis, ada beberapa publikasi yang khusus mengulas tentang dekonsentrasi, yakni: 1. Buku
karangan
Prof.
Dr.
Ateng
Syafrudin,
SH.,
berjudul ”Pemahaman Tentang Dekonsentrasi”, terbitan PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, terjemahan langsung dari makalah Prof. F.A.M. Stroink berjudul ”Het Leerstuk der Deconcentratie” (The Doctrine of Deconcentration), Bestuurlijke Verkenningen, Nr. 27, 1978. Buku terjemahan ini berisi tentang aneka ragam penerapan dekonsentrasi di Negeri Belanda pada masa silam. Untuk praktek dekonsentrasi di Belanda pada saat ini sendiri penulis tidak menemukan sumber atau referensi yang memadai, sehingga sulit untuk menyimpulkan apakah praktek dekonsentrasi yang lama masih berjalan hingga saat ini, ataukah sudah ada perubahan kebijakan yang cukup mendasar. 2. Artikel Mark Turner dalam Jurnal Public Administration and Development (Vol. 22, halaman 353–364, Canberra, 2002), - 28 -
berjudul “Whatever happened to deconcentration: Recent Initiatives in Cambodia”. Artikel ini berisi tentang praktek desentralisasi
di
memunculkan
kesadaran
administratif
Kamboja
yang
untuk
(dekonsentrasi)
dinilai
gagal,
memperkuat
dalam
rangka
sehingga
desentralisasi meningkatkan
pelayanan publik dan partisipasi masyarakat.
3. Artikel John M. Cohen dan Stephen B. Peterson berjudul Administrative Decentralization: A New Framework for Improved Governance, Accountability and Performance (Discussion Paper No. 582, Harvard Institute of International Development, Mei 1997). Dalam artikel ini disebutkan bahwa di negara berkembang dan negara transisi, administrative decentralization menjadi strategi baru dalam menjawab kebutuhan kritis pemerintahan, antara lain peningkatan transparansi dan akuntabilitas, pelayanan yang lebih efektif dan efisien, serta peningkatan kinerja pemerintah. Sayangnya, selama ini tidak ada pedoman dan kerangka analisis yang dapat membantu mendesain strategi yang ditujukan mengukur dan meningkatkan hal-hal tersebut. Untuk itu, penulis mengajukan kerangka analisis yang disebut sebagai administrative design framework. 4. Artikel Paul Smoke dan Johan Bastin berjudul Decentralizing Regional Infrastructure Planning and Finance in Indonesia: Progress to Date and a Strategy for the Future (Discussion Paper No. 469, Harvard Institute of International Development, 1993). Artikel
lawas
ini
ketidakberlanjutan
menceritakan pelayanan - 29 -
tentang
publik
inefisiensi
terutama
dan
penyediaan
infrastruktur. Hal ini disebabkan oleh adanya fragmentasi dan konflik kelembagaan antar kementerian, program lembaga donor yang tidak sesuai dengan tujuan desentralisasi, koordinasi yang buruk, pengembangan kapasitas yang tidak terarah, dan lemahnya akuntabilitas. Meskipun artikel ini menjelaskan situasi pada masa berlakunya UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, namun masih relevan untuk melihat kemungkinan situasi yang serupa masih dijumpai pada saat ini dengan berlakunya UU Pemerintahan Daerah yang baru. 5. Artikel
Bernard
Bizet
berjudul
Deconcentration
versus
Decentralisation of Administration in France: A Centre-Periphery Dilemma (Canadian Journal of Regional Science, 2002). Artikel ini menceritakan sejarah desentralisasi dan dekonsentrasi di Perancis sejak tahun 1960-an. Pada awal 1960, dekonsentrasi dilakukan dengan merelokasi instansi pusat ke provinsi sebagai ekspresi rasionalisasi dan modernisasi organisasi. Hal ini dilakukan sebagai alternatif dari desentralisasi penuh, dan bertujuan mentransfer kewenangan – besar atau kecil – kepada pejabat lokal yang dipilih. Semenjak awal 1980, dekonsentrasi ditempuh sebagai komplemen dari desentralisasi, dengan maksud agar pemerintah lebih sensitif dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan rakyat lokal. Meskipun demikian, hingga tahun 2000-an masih ada pertanyaan tentang fungsi yang semestinya masih dipegang oleh pusat atau dilimpahkan kepada daerah. Salah
satu
manfaat
dekonsentrasi - 30 -
di
Perancis
adalah
mengorganisasikan kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ini, tumpang tindih (redundancies) masih terus terjadi antar tingkatan pemerintahan. Walaupun ada tumpang tindih, namun ada keuntungan lain yakni kadar fleksibilitas yang dimiliki otoritas daerah dalam menjalankan program dekonsentrasi, meski masih dikontrol secara ketat oleh pusat. Tumpang tindih antara fungsi desentralisasi dan dekonsentrasi di Perancis ini cukup memberi gambaran bahwa kedua fungsi tadi memang tidak dapat dipisahkan secara tegas, dan hal ini sangat bermanfaat untuk menjadi dasar analisis dari disertasi ini. Hal yang terpenting adalah bahwa meskipun ada tumpang tindih, namun harus ada kemanfaatan yang terukur dari kedua fungsi tersebut. 6. Ronald Adamtey dalam disertasi berjudul Devolution and Deconcentration in Action: A Comparative study of Five Municipal Health Directorates in Ghana (Institute of Development Study, University of Sussex, 2012). Publikasi ini menjelaskan proses dekonsentrasi kesehatan di Ghana. Sampai dengan tahun 1980, sistem pemerintahan Ghana sangat sentralistis. Pelayanan kesehatan sangat buruk disebabkan oleh kurangnya SDM professional dan anggaran yang sangat minim. Dibawah skema structural
adjustment
loan
pertengahan
1980-an,
Ghana
melakukan reformasi dengan melimpahkan kewenangan bidang kesehatan kepada provinsi. Kewenangan yang dilimpahkan itu meliputi upaya pencegahan, pengobatan, rehabilitasi, dan promosi kesehatan, baik di level provinsi, distrik, sub-distrik, bahkan level - 31 -
komunitas. 7. Artikel
Paul
Bernard
berjudul
Decentralisation
and
Deconcentration: The French Experience (2005). Artikel ini menjelaskan tentang sejarah dekonsentrasi di Perancis. Revolusi tahun 1789 membentuk negara kesatuan Perancis yang modern dan sentralistis. Namun semenjak Konstitusi ke-3 dan ke-4 (3rd and 4th Republic), Perancis melakukan desentralisasi dengan memberi kekuasaan kepada anggota dewan yang terpilih dari Department dan Commune. Selanjutnya, berdasarkan konstitusi ke-5 (5th Republic), dekonsentrasi dikembangkan sebagai konsekuensi logis dari desentralisasi. Atas dasar review literatur tentang dekonsentrasi tersebut, maka penulis dapat menegaskan bahwa disertasi ini memiliki originalitas yang tinggi. Obyek penelitian tentang tingkat relevansi dekonsentrasi ini belum diteliti secara spesifik oleh penelitian sebelumnya sehingga menjadi pembeda antara disertasi ini dengan publikasi lain tentang dekonsentrasi. Selain itu, selama ini ada kecenderungan bahwa dekonsentrasi dikaji tanpa memperhatikan implikasi terhadap fungsi desentralisasi. Sedangkan disertasi ini berani mengkaitkan antara dekonsentrasi dengan desentralisasi, yakni ketidakefektivan dalam pengelolaan program dekonsentrasi dapat berimplikasi pada kebutuhan untuk pengalihan anggaran dari anggaran pusat (cq. kementerian) menjadi anggaran daerah otonom selaku pelaksana fungsi desentralisasi. Sebaliknya, jika fungsi dekonsentrasi tetap ingin dipertahankan, maka diperlukan pembenahan yang serius terhadap manajemen dekonsentrasi (perencanaan, penganggaran, - 32 -
kelembagaan, dan seterusnya) agar lebih efektif dan tidak overlap dengan manajemen desentralisasi.
G. Sistematika Penulisan Dalam rangka menjawab pertanyaan besar penelitian serta pertanyaan derivatifnya sebagaimana disebutkan diatas, akan dilakukan dengan melakukan pengerangkaan (structuring) kedalam batang tubuh disertasi. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam menguraikan permasalahan sekaligus memberikan gambaran besar tentang hasil akhir yang ingin diwujudkan dalam penelitian ini. Jika dalam tahap analisis digunakan pola penalaran induktif, maka struktur penelitian dan sistematika pelaporan menggunakan penalaran deduktif. Artinya, dari bab pendahuluan hingga bab penutup muatan yang ada didalamnya dimulai dari yang bersifat umum dan lebar untuk kemudian dikerucutkan menjadi lebih padat dan sempit. Pola deduktif dalam sistematika tadi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Bab I
Pendahuluan.
Bab ini berisi tentang fenomena-fenomena umum tentang dekonsentrasi yang menjadi titik awal yang menarik minat peneliti untuk menelusuri lebih lanjut. Selain itu, bab ini juga memberikan penekanan tentang pokok permasalahan yang menjadi intisari dari penelitian ini. Hal penting lain dari bab ini adalah kerangka pikir yang memberikan guidance tentang dimensi-dimensi yang akan diteliti serta pentahanapnnya. 2. Bab II
Kerangka Pikir dan Metode Penelitian.
Bab ini dimaksudkan untuk memberi cara dan alur berpikir untuk - 33 -
menjawab pertanyaan penelitia, pendekatan yang digunakan, dan hubungan antar aspek yang menggambarkan bagaimaan tujuan penelitian dapat terjawab. Selanjutnya dipaparkan juga aspek metodologis yang meliputi metode yang digunakan, teknik pengumpulan data, pemilihan responden dan instrumentasi, teknik analisis dan interpretasi data, serta alasan pemilihan lokus dan fokus penelitian. 3. Bab III Review Teoretik Tentang Dekonsentrasi. Bab ini mencoba mengembangkan perdebatan teoretik tentang dekonsentrasi,
dengan
lebih
mengarahkan
pada
praktek
dekonsentrasi di negara berkembang. Teori-teori yang akan diangkat dalam bab ini antara lain konsep dasar desentralisasi dan dekonsentrasi dan sistem otonomi dalam negara kesatuan dan negara federal. Selain itu, Bab ini juga akan mengelaborasi praktek dekonsentrasi di beberapa negara berbentuk kesatuan (unitary states). Dari penelusuran lintas negara ini diharapkan dapat ditarik sebuah
kerangka
perbandingan,
untuk
selanjutnya
dapat
diidentifikasikan lesson learned dari setiap pola dekonsentrasi di negara yang dikaji. 4. Bab IV Tinjauan
Normatif
dan
Empiris
Pelaksanaan
Dekonsentrasi di Indonesia Bab ini sudah sangat spesifik dengan khusus membahas tentang implementasi dekonsentrasi di Indonesia, baik dilihat dari konteks historis, normatif, maupun empirisnya. Selain itu, dalam bab ini juga akan diuraikan tentang dimensi manajerial dan dimensi substansial
kebijakan
dekonsentrasi, - 34 -
serta
perkembangan
perangkat
pemerintah
pusat
yang
menjalankan
fungsi
dekonsentrasi. 5. Bab V
Konteks Dekonsentrasi dalam Pembangunan Bidang
Sosial dan Pembangunan Daerah Bab ini memaparkan tentang setting/konteks dekonsentrasi dalam hubungannya dengan sistem/kebijakan pembangunan bidang kesejahteraan sosial dan pembangunan daerah. Termasuk dalam bab ini adalah informasi terkait karakteristik daerah lokus secara umum,
misalnya
menyangkut
indikator-indikator
makro
pembangunan seperti kondisi geografis dan demografis; potensi sektor-sektor perekonomian; kinerja pemerintahan daerah dalam pembangunan manusia (human development); serta prestasi dalam sektor-sektor lainnya seperti penarikan investasi, perbaikan infrastruktur,
peningkatan
kualitas
pelayanan
publik,
dan
sebagainya. Selain itu, akan disajikan juga berbagai data yang berhubungan dengan aspek penyelenggaraan pemerintahan, misalnya perkembangan anggaran daerah (PAD maupun dana perimbangan).
Urgensi
paparan
tentang
setting
atau
kontekstualisasi dekonsentrasi ini adalah untuk mencoba menarik keterkaitan antara kebijakan dan implementasi dekonsentrasi dengan hasil-hasil nyata pembangunan pada sektor tertentu. 6. Bab VI Relevansi Dekonsentrasi Bidang Sosial Berdasarkan Efektivitas Pengelolaannya Bab ini berisi analisis kasus tentang praktek dekonsentrasi di bidang sosial, untuk melihat apakah kondisi kesenjangan sebagaimana dipaparkan pada kerangka pikir benar-benar terjadi - 35 -
atau tidak. Jika benar terjadi, apa yang menyebabkan hal tersebut dan langkah antisipasi apa yang diperlukan untuk mengatasi kondisi saat ini atau menyempurnakan pada masa yang akan datang. Dengan demikian, analisis kasus ini sekaligus berfungsi sebagai alat uji teori dalam prakteknya. 7. Bab VII
Penutup
Bab ini dapat dikatakan sebagai produk atau hasil akhir dari rangkaian panjang penelitian. Pola dekonsentrasi (normatif dan empiris) yang ada saat ini akan dicoba untuk dibangun / didesain kembali dengan menawarkan beberapa rekomendasi yang disertai dengan keunggulan dan kelemahannya. Selanjutnya, rekomendasi disertasi
ini
diharapkan
menjadi
policy
agenda
untuk
menyempurnakan implementasi dekonsentrasi maupun regulasi di bidang pemerintahan daerah pada umumnya.
- 36 -