BAB I PENDAHALUAN
1.1. Latar Belakang Pada dasarnya kebijakan pemekaran daerah adalah desain baru dalam kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang dianggap mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat dan kesejahteraan. Atas kebijakan tersebut booming tuntutan pemekaran daerah di jawa dan luar jawa
memicu
diantaranya:
tuntutan Pertama,
pemekaran motif
dengan
beberapa
efektifitas/efesiensi
alasan
administrasi
pemerintahan mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang
menyebar,
dan
ketertinggalan
pembangunan.
Kedua,
Kecenderungan untuk homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban-rural, tingkat pendapatan dan lain-lain. Ketiga, adanya kemanjaan fiskal yang dijamin oleh Undang-undang (disediakan dana alokasi umum/DAU, bagi hasil dari sumberdaya alam, dan disediakannya sumber-sumber PAD. Keempat, motif pemburu rente (bureaucratic and political rent-seeking) para elit.1 Atas kebijakan tersebut hingga saat ini perkembangan jumlah kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia dapat dilihat dalam tabel berikut:
1
Fitriani, dkk, 2005, Unity in Deversity: The Creation of New Local Governments in A Decentralizing of Indonesian Economic Staudies, Vol 41. N0.1.
1
Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Pemekaran Daerah di Indonesia Tahun 1999-2016 Jumlah Daerah Tahun 1999 Perubahan Otonom Jumlah Provinsi 26 8 Jumlah Kabupaten 234 186 Jumlah Kota 59 35 Total daerah Otonom 319 205 Sumber : Kementrian Dalam Negeri, 2015
Tahun 2016 34 420 94 548
Berdasarkan tabel di atas dapat di lihat bahwa secara rata-rata dalam kurun waktu 16 tahun telah lahir lebih dari 20 daerah otonom baru setiap tahunnya. Yaitu dari 26 provinsi menjadi 34 provinsi (27,9 %) dan pemerintah kabupaten/kota dari 303 menjadi 514 (65,2%). Setalah
kebijakan
pemekaran
berjalan
berbagai
penelitian
menyimpulkan bahwa pelaksanaan pemekaran daerah mengalami kegagalan. Hal ini dikarenakan pelaksanaan pemekaran daerah belum menjawab
persoalan
kesejahteraan
dan
peningkatan
pelayanan
masyarakat. Pemekaran dilaksanakan tanpa perencanaan matang, berlatar
belakang
keagamaan,
kesukuan,
dan
subyektif,
serta
kepentingan elit sesaat untuk berbagi kekuasaan dan posisi jabatan publik 2 Menurut Eko Prasojo (2012) persoalan pemekaran bukan hanya didominasi kepentingan politik, akan tetapi juga akibat inkonsistensi pemerintah pusat dalam penerapan peraturan mengenai pemekaran. Lebih lanjut Eko Prasojo berpendapat bahwa pembahasan daerah pemekaran dan pembentukan daerah baru, unsur subyektifitas lebih 2
Sudi Fahmi, 2009, Hukum Otonomi daerah, Total Media, Yogyakarta. Hal.5
2
dominan, unsur primordialisme, partai politik dan kepentingan elit lokal serta nasional cenderung memanfaatkan keadaan tersebut untuk kepentingan mendulang suara dalam pemilu.3 Permasalahan pemekaran daerah yang terjadi di Indonesia secara umum menunjukkan permasalahan sebagai berikut: 1. Kualitas sumberdaya aparatur daerah jauh dari harapan, baik dari aspek pendidikan, pengalaman, standar kinerja, pemahaman aturan, serta penempatan pejabat dan pegawai yang tidak sesuai dengan kompetensinya. 2. Keterbatasan daerah pemekaran dalam merumuskan visi-misi, tupoksi dan menjalankan roda kelembagaan daerah sangat minim. 3. Persoalan kesiapan daerah dalam menjalankan otonomi ternyata menunjukkan kecenderungan buruknya kinerja sebagian besar daerah pemekaran, serta munculnya korupsi di daerah-daerah pemekaran.4 Selain dari faktor tersebut permasalahan daerah pemekaran adalah munculnya konflik kepentingan elit dan masyarakat dalam pelaksanaan
menjadi daerah
otonom
baru.
Fakta
menunjukkan
kebijakan pemekaran daerah yang terjadi pada hampir seluruh wilayah provinsi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konflik. Sebagaimana dalam tabel berikut:
3
Eko Prasojo,2012, Reformasi Kedua, Melanjutkan Estafet Reformasi, Salemba Humanika, Jakarta. Hal 4 4 Temuan Kajian Kemendagri tahun 2014.
3
Tabel 1.2 Konflik Proses Pemekaran Daerah di Indonesia Provinsi/ Kabupaten/Kota Kabupaten Nunukan
Konflik Yang Terjadi Perebutan aset dengan Kabupaten Induk Kabupaten Bulungan Kota Singkawang Kabupaten Bengkayang Penduduk migrasi ke Kota Sengkawang Provinsi Lampung Kota Metro menurunya PAD Kabupaten Lhoksukon Perebutan aset dengan Kota Lhoksumawe Propinsi Kepulauan Riau Pro Kontra Pemekaran Propinsi Papua Barat Pro Kontra Pemekaran Kabupaten Batu BaratSumut Pro Kontra Pemekaran Propinsi Tapanuli Pro Kontra Pemekaran Pemda Kampar Perebutan tiga desa dengan Kabupaten Kabupaten Ogan Komering Hilir Perebutan Migas dengan Kabupaten Ogan Kabupaten Natuna Perebutan batas Kabupaten Anambas Kabupten Sumbawa Perebutan Pertambangan dengan Sumbat Kabupaten Konawe Perebutan hutan dengan Kabupaten Konawe Kabupaten Hulu Sungai Utara Perebutan Pertambangan Balangan Kota Banjar Jabar Perebutan wilayah dengan Kabupaten Ciamis Kabupaten Batu Perebutan lokasi wisata dengan Kota Malang Sumber: Jurnal Ilmu Politik (AIPI), Edisi 21, 2010.
Pemekaran Tahun Tahun 1999 Tahun 1999 Tahun 1999 Tahun 2009 Tahun 2002 Tahun 2002 Tahun 2002 Tahun 2005 Tahun 2009 Tahun 2009 Tahun 2009 Tahun 2009 Tahun 2009 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2010
Data di atas menunjukkan beberapa provinsi dan kabupaten/kota proses terjadinya pemekaran tidak lepas dari konflik. Konflik yang terjadi bermacam-macam antara daerah satu dengan yang lain berbeda. Misalnya konflik perebutan aset dengan kabupaten induk (Kabupaten Nunukan), konflik migrasi penduduk (Kota Sengkawang), konflik APBD (Provinsi
Lampung),
konflik
antara
pro
dan
kontra
pemekaran
(Kepualauan Riau, Papaua Barat, Kabupaten Batu Sumut, Provinsi Tapanuli), konflik perebutan kekayaan alam pertambangan (Kabupaten Sumbawa), konflik perebutan lokasi wisata (Kota Batu). Konflik proses pemekaran di atas menunjukkan bahwa kepentingan terjadi antar pendukung pro dan kontra, selain juga konflik kepentingan dengan
4
kabupaten induk dengan berbagai latar belakang, seperti perebutan wilayah, perebutan sumberdaya alam, lokasi wisata, migrasi penduduk, maupun konflik SARA.5 Dalam penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur di daerah pemekaran telah mengacu pada UU No.23/2004 Tentang Pemerintah Daerah (diganti UU No23/2014), Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan penghapusan, dan penggabungan daerah dan Undang-undang nomor 43 Tahun 1999 Tentang Aparatur Sipil Negara (kemudian di ganti dengan
UU
No.5/2014).
Dasar
tersebut
menjadi
acuan
dalam
pelaksanaan pemekaran daerah dan penempatan aparatur daerah yang mengedepankan prinsip kompetensi, kualifikasi, kinerja, transparansi, obyektivitas serta bebas dari intervensi politik dan KKN. Namun yang terjadi justru model tersebut memicu konflik kepentingan. Fakta menunjukkan kebijakan pemekaran daerah yang terjadi pada hampir seluruh wilayah Provinsi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konflik kepentingan
di
dalam
penataan
kelembagaan
dan
penempatan
sumberdaya aparatur daerah. Sebagaimana dalam tabel sebagai berikut:
5
Jurnal Ilmu Politik (AIPI), Edisi 21, 2010.
5
Tabel 1.3 Kasus Konflik Daerah Pemekaran di Kabupaten/Kota Daerah Induk Daerah Pemekaran Papua Barat Manukwari Kabupaten Teluk Bintuni Kabupaten Musi Rawas Kota Lubuk Linggau Kabupaten Tasikmalaya Kota Tasikmalaya Kabupaten Kerinci Kota Sungai Penuh Kabupaten Ciamis Kabupaten Banjar Kota Malang Kabupaten Batu Kabupaten Ciamis Kabupaten Pangandaran Sumber: Jurnal Ilmu Politik (AIPI), Edisi 21, 2012
Tahun 2002 2009 2009 2009 2010 2011 2012
Tabel di atas menunjukkan terdapat beberapa kabupaten/kota terjadi
konflik
dalam
pelaksanan
pemekaran
daerah.
Misalnya
penentuan dan penempatan jabatan SKPD (Teluk Bintuni), kepentingan pindah kedinasan dan ketidaksesuaian aturan dalam penentuan jabatan (Kota Lubuk Linggau), aparatur daerah induk tidak mau dipindahkan di daerah pemekaran (Kota Tasikmalaya), permasalahan pendidikan, pendanaan, hubungan kekerabatan, konflik peserta pengiriman diklat, keterlibatan awal pemekaran, serta kepentingan jabatan (Kota Sungai Penuh,
Kabupaten
Banjar,Kabupaten
Batu).
Konflik
kepentingan
penataan kelembagaan, penempatan dan penentuan jabatan Bupati, Sekda, penentuan SKPD, penempatan aparatur daerah, konflik dengan presidium pemekaran (Kabupaten Pangandaran). Konflik-konflik tersebut terjadi karena kepentingan elit birokrasi, politik, tokoh masyarakat dan peran kabupaten induk yang kurang maksimal dalam mempersiapkan pemekaran. Kabupaten Pangandaran adalah Kabupaten yang terletak di perbatasan Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar di Utara, Kabupaten
6
Cilacap di timur, Samudera Hindia di selatan, serta Kabupaten Tasikmalaya
di Barat.
Kabupaten Pangandaran terdiri atas
10
kecamatan, 92 Desa dengan jumlah penduduk sekitar 450 ribu jiwa. Kabupaten Pangandaran merupakan pemekaran dari Kabupaten Ciamis, yang resmi dimekarkan pada tanggal 25 Oktober 2012 berdasarkan Rancangan Undang-undang pembentukan Kabupaten oleh Komisi II DPR RI dan Pemerintah (Kemendagri) dalam sidang paripurna pada tanggal 17 November 2012 dan resmi menjadi Kabupaten Pangandaran berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2012. Sebagai daerah otonom baru Kabupaten Pangandaran secara bertahap melakukan penataan birokrasi daerah dan penempatan sumberdaya aparatur. Hal yang muncul dalam proses penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur adalah adanya konflik kepentingan baik individu, kelompok, kelembagaan, antar elit daerah, serta konflik dalam penentuan dan penempatan jabatan-jabatan strategis di daerah. Sebagaimana dalam tabel berikut: Tabel 1.4 Konflik Kepentingan Daerah Pemekaran Kabupaten Pangandaran Penentuan Jabatan Konflik Kepentingan Penentuan Pejabat Bupati Perbedaan Gubernur & Presidium Pemekaran Penentuan Kadin SKPD Perbedaan antara Bupati & Kabupaten Induk Penentuan Lembaga SKPD Perbedaan Bupati dengan DPRD Ciamis Penentuan Pegawai/Staff Perbedaan ketidaksesuaian kompetensi Proses mutasi dari instansi Perbedaan dengan instansi asal (Pemkab Ciamis) Rekrutmen pegawai Kecenderungan keluarga pejabat Konflik Bupati Dengan Presidium Pemekaran Sumber: Data Hasil Pengamatan Peneliti 2014
7
Dari data di atas dapat dilihat bahwa konflik kepentingan dalam kelembagaan
daerah
dan
penempatan
aparatur
di
Kabupaten
Pangandaran telah terjadi konflik, diantaranya konflik penentuan kelembagaan, penentuan pejabat bupati, kepentingan antara pejabat Bupati dengan presidium pemekaran, permasalahan penempatan aparatur daerah, penentuan sekda, penentuan Kadin SKPD, dan penempatan aparatur daerah. Dalam konteks tersebut, permasalahan-permasalahan di atas secara umum menunjukkan bahwa penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur daerah yang mengacu aturan yang ada telah memunculkan konflik kepentingan di daerah pemekaran, selain juga ketidaksiapan daerah induk dan pemerintah provinsi dalam memberikan persiapan yang matang dan pendampingan bagi daerah otonom. Konflik kepentingan dalam penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur daerah menjadi faktor penting untuk menjadi kajian dalam penelitian ini. Di harapkan kajian ini dapat mengungkap permasalahan dan solusi yang tepat sesuai dengan kajian administrasi negara diantaranya tentang kebijakan pemekaran daerah, otonomi daerah, birokrasi, kinerja tata pemerintahan, kelembagaan, kepemimpinan,
sumberdaya
aparatur,
peningkatan pelayanan masyarakat daerah.
8
penyelesaian
konflik,
dan
1.2. Rumusan masalah Berdasarkan
permasalahan
di
atas,
bahwa
pelaksanaan
pemekaran daerah tidak dapat dilepaskan dari penataan kelembagaan dan penempatan aparatur daerah sebagai konsekuensi menjadi daerah baru, aspek yang menarik dalam penelitian ini adalah dalam penataan kelembagaan
dan
penempatan
sumberdaya
aparatur di daerah
pemekaran telah memicu konflik kepentingan yang dapat berdampak pada kinerja daerah otonom baru. Dalam penelitian ini menggunakan analisis
konflik
kepentingan
sebagai
aspek
penting
yang
bisa
berpengaruh dalam penataan kelembagaan dan penempatan aparatur daerah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini memfokuskan upaya mencari jawaban terhadap pertanyaan pokok sebagai berikut:” Mengapa penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur daerah di daerah pemekaran Kabupaten Pangandaran menimbulkan konflik kepentingan?’’. Dari pertanyaan pokok tersebut kemudian dijabarkan dalam tiga (3) permasalahan lanjut yaitu: 1.
Bagaimana pelaksanaan penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya
aparatur
daerah
pemekaran
di
Kabupaten
Pangandaran? 2.
Konflik-konflik kepentingan apa saja yang timbul dalam penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur daerah pemekaran di Kabupaten Pangandaran?
3.
Bagaimana penyelesaian konflik kepentingan tersebut?
9
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan, menganalisis dan mengkaji secara mendalam: 1.
Pelaksanaan
penataan
kelembagaan
dan
penempatan
sumberdaya aparatur daerah di daerah pemekaran Kabupaten Pangandaran. 2.
Macam-macam
konflik
kepentingan
dalam
penataan
kelembagaan daerah dan penempatan sumberdaya aparatur daerah di daerah pemekaran Kabupaten Pangandaran. 3.
Penyelesaian konflik kepentingan dalam penataan kelembagaan daerah dan penempatan sumberdaya aparatur daerah di daerah pemekaran Kabupaten Pangandaran.
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan kemajuan keilmuan administrasi negara terutama bidang kelembagaan daerah dan penempatan sumberdaya aparatdaerah di daerah pemekaran.
10
2.
Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan masukan bagi penentu kebijakan dan upaya pelaksanaannya sesuai dengan tata pemerintahan yang baik.
1.5.Keaslian Penelitian Penelitian tentang kelembagaan secara umumnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli dan peneliti dari kalangan sektor swasta maupun organisasi pemerintah atau birokrasi. Dalam kajian kapasitas kelembagaan menurut Grindle (2007) terdapat 3 (tiga) aspek penting yaitu: (1) pengembangan sumberdaya manusia, (2) sistem dan penguatan organisasi, (3) kelembagaan. Sedangkan Eade (1998) terdapat 7 (tujuh) aspek yaitu (1) structure (stuktur organisasi), (2) physical resources (sumberdaya fisik: sarana dan prasarana), (3) system (sistem kerja/mekanisme kerja/prosedur kerja), (4) human resources (sumber
daya
manusia),
(5)
financial resourses
(sumber daya
finansial/anggaran), (6) culture (budaya kerja), dan (7) leadership (kepemimpinan).6 Dari teori tersebut tentu memiliki ukuran dan variabel yang saling terkait dalam memperkuat kelembagaan dan sumberdaya sebagai dasar teori penelitian. Sedangkan dalam pelaksanaan pemekaran daerah unsur kelembagaan dan sumberdaya aparatur menentukan keberhasilan 6
Grindlle, M.S., (editor), 1997, Getting Good Government: Capacity Building in The Public Sektor of Developing Countries, Boston, MA: Harvard Institute for International Development.h.30
11
pemekaran. Dalam penelitian ini mengkaji penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur daerah pemekaran yang dikaitkan dengan konflik kepentingan. Penelitian dalam disertasi ini secara umum belum banyak para ahli dan peneliti melakukan kajian secara mendalam tentang masalah tersebut. Kajian tentang permasalahan yang terkait di atas seperti teori dan penelitian Grindle di negara-negara berkembang seperti Afrika, Maroko, Ghana, Bolivia, Thailand, dan Sri Lanka bahwa kapasitas kelembagaan dapat dipengaruhi oleh lima faktor penting yaitu: (1) lingkungan tindakan; (2) konteks institusional dari sektor publik; (3) dimensi jaringan tugas; (4) dimensi organisasi; (5) dimensi sumberdaya manusia. Dari lima faktor penting di atas, dimensi kelembagaan dan sumber daya manusiatampak nyata menjadi dimensi yang dapat memperkuat jalannya pelaksanaan pemerintah daerah.7 Penelitian Dennis (2004) dalam disertasinya di Universitas Central Florida meneliti tentang kapasitas manajemen keuangan dengan kinerja dari 500 sampel pejabat keuangan kota di Amerika Serikat, dengan menggunakan faktor lingkungan sebagai variabel kontrol, tetapi tidak memperhitungkan
faktor
konflik
sebagai
faktor
penting
yang
mempengaruhi kinerja.8 Penelitian Webster dan Sundaram (1999), termasuk Pandey, Coursey and Moynihan (2004) di Perusahaan Amerika Serikat tentang 7 8
Ibid, h.56 Denis, 2004, Kinerja,kapasitas keuangan, dan lingkungan pejabat keuangan kota di Amerika Serikat, Disertasi di Universitas Central Florida.
12
kapasitas manajemen mengaitkan faktor lingkungan dan budaya organisasi, tetapi tidak mengaitkan tentang konflik kinerja dalam organisasi.9 Penelitian disertasi Fadel Muhammad (2007) di Gorontalo tentang kapasitas manajemen kewirausahaan dan kinerja pemerintah daerah yang mengaitkan faktor penting dalam kinerja yaitu lingkungan makro, budaya organisasi dan endowment daerah, tidak mengkaitkan aspek konflik dan bukan daerah pemekaran.10 Dalam konteks yang lain tentang penelitian yang terkait seperti hasil studi Bappenas dan UNDP (2008) di Indonesia dengan tujuan mengevaluasi perkembangan pemekaran daerah dalam aspek ekonomi, pelayanan publik, dan aparatur pemerintah serta dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat ditemukan bahwa hasil daerah pemekaran ternyata tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Salah satu aspek ditemukan adalah kapasitas
kelembagaan
sangat
lemah
dalam
melaksanakan
pemerintahan di daerah pemekaran.11 Penelitian William Zartman (1997) bahwa tata pemerintahan merupakan salah satu dari metode untuk mengelola konflik kekerasan yang berlangsung dalam sebuah negara maka hal-hal yang perlu 9
Webstar dkk, 2004, Budaya Organisasai,Kepuasan Pelanggan Kinerja di Perusahaan Amerika Serika, Departemen Kebjakan Publik dan Asministrasi, Rutgers University. 10 Fadel Muhammad, 2007, Kapasitas Manajemen Kewirausahaan dan Kinerja Pemerintah daerah di Gorontalo, Gadjah Mada University Press. 11 UNDP, 2008, Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan daerah di Indonesia, Bappenas, Jakarta
13
diperhatikan adalah persoalan kesejahteraan atau pun kepuasan warga negara atas pemerintahan dalam hal pelayanan, ekpresi warga negara untuk berpartisipasi dalam wilayah publik, memperhatikan kompetisi yang berlangsung antar sesama warga negara (antar mereka) dan persoalan alokasi sumber-sumber daya yang dimiliki daerah untuk kebutuhan mereka dalam pembangunan daerah. Oleh sebab itu, pemerintahan yang baik merupakan pemerintahan yang mampu mengelola
sumber-sumber
konflik
daerah
dengan
memberikan
pelayanan dan kesejahteraan atau kepuasan pada warganya sehingga kebutuhan akan ekspresi politik, kompetisi antar warga dan kebutuhan keadilan pembagian sumber-sumber kekayaan dapat berjalan dengan efektif.12 Hasil penelitian Litbang Kompas (2010) di daerah hasil pemekaran di Indonesia menunjukkan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan daerah yang dimekarkan. Dari 143 daerah yang dievaluasi potensi perkembangan pembangunan di 69 daerah 45 persen sangat rendah. Dampak buruk juga dialami daerah induknya, sekitar 34 persennya mengalami kondisi serupa.13 Hasil studi Pusat Kajian Anti korupsi Fakultas Hukum UGM (2011) telah ditemukan indikasi korupsi di daerah hasil pemekaran di Provinsi Banten (593 kasus), Kepulauan Riau (463 kasus), Maluku Utara (184
12
William Zartman, 1997, Governance as Conflict Management: Politics and Violence in West Africa, Nitze School of Advanced International Studies of the Johns Hopkins University. 13 Kompas, 2007, Evaluasi Pemekaran Daerah di Indonesia, Kompas, Jakarta.
14
kasus), Kepulauan Bangka Belitung (173 kasus), Sulawesi Barat (168 kasus), Gorontalo (155 kasus), dan Papua Barat (147 kasus).14 Temuan tersebut diperkuat hasil survai Bank Dunia dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (2011)
terhadap 1.815 rumah
tangga di 7 Provinsi hasil pemekaran wilayah yang menunjukkan pemekaran
semakin menyuburkan praktik-praktik
korupsi. Dalam
kesimpulan lain dari penelitian ini adalah lemahnya kontrol dan kapasitas kelembagaan daerah dalam bekerja sehingga terjadi korupsi di lembaga daerah.15 Hasil penelitian Bappenas (2010) tentang kajian pemekaran wilayah dan pembentukan daerah otonomi di Indonesia ditemukan. Pertama, pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) sebagai bagian dari otonomi daerah yang memuat sejumlah tujuan mulai dari: efisiensi dan efektivitas sistem pemerintahan, otonomi fiskal sebagai bagian dari kemandirian anggaran, konsolidasi demokrasi politik menuju keadaban politikyang mapan, penyebaran keadilan distributif sebagai syarat mensejahterakan masyarakat, ternyata masih belum memenuhi harapan. Karenanya, secara normatif preferensi dari setiap Pemekaran Daerah Otonomi Baru harus dikembalikan pada empat pilar: UUD 1945, Pancasila Bhennika Tunggal Ika dan NKRI. Kedua, dalam perspektif politik perbedaan ikatan primordial, yang seharusnya menjadi kekayaan budaya (kearifan lokal)
14
Tim Pukat UGM, 2011, Indikasi Korupsi Daerah Pemekaran di Indonesia, Pukat UGM, Yogyakarta 15Tim PSKK UGM, 2011, Survai Kondisi Daerah Pemekaran di Indonesia, PSKK UGM, Yogyakarta.
15
yang berfungsi sebagai penegasan identitas lokal dan perekat kohesi sosial, cenderung dimanipulasi sebagai kepentingan jangka pendek (penggalangan suara), yang menyisakan konflik horizontal yang tidak produktif dan lepas dari prinsip “Bhennika Tunggal Ika”. Akibatnya prinsip berbeda-beda tetapi tetap satu, yang seharusnya dijadikan rujukan utama dalam setiap mengelola perbedaanikatan primordial, malah dijadikan pembenaran untuk mengobarkan konflik. Karenanya evaluasi politik yang diperlukan bagaimana agar setiap pemekaran daerah memprioritaskan unsur-unsur terpenting pada penghargaan terhadap
perbedaan
dan
melakukan
politik
tanpa
diskriminatif,
khususnya terhadap kelompok minoritas.16 Hasil penelitian lembaga kemitraan 2010 tentang otonomi daerah di Indonesia, masalah pemekaran, pemberdayaan dan konflik ditemukan. Pertama, bahwa otonomi daerah dan pemekaran daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan momentum untuk mencapai kepentingan politiknya, dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan,seperti “putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah. Kedua, menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Ketiga, otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horisontal yang bernuansa etnis. Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran 16
Tim Bappenas, 2011, Kajian pemekaran wilayah dan pembentukan daerah otonomi di Indonesia, Bappenas, Jakarta
16
kekuasaan dikalangan elit dari pada isu untuk melayani masyarakat secaralebih efektif.17 Hasil penelitian JK Scool of Government 2012 tentang Politik Rente di Daerah Pemekaran Kasus Maluku Utara ditemukan: Pertama, dari kajian di Maluku Utara maka yang dikatakan para raja lokal adalah para politisi daerah yang berkarir di lokal maupun pusat, mantan-mantan birokrat dan pejabat daerah yang seringkali “kalah bertarung” dalam proses politik lokal seperti dalam Pemilukada dan Pileg tingkat daerah baik Provinsi maupun kabupaten/kota sehingga menghembuskan persoalan konflik di daerah dengan menyatakan terjadi money politics atau pun buruknya pelayanan publik sehingga butuh pemerintahan yang bersih dan efektif. Pemerintahan yang bersih dan efektif kemudian diformalkan dalam bentuk pemekaran daerah.Inilah kartu truf politik para politisi lokal dan birokratdaerah yang kalah dalam pertarungan karena ambisi-ambisi politik pribadi. Kedua, penataan birokrasi pejabat daerah di daerah baru dan alokasi SDM yang di daerah yang dimekarkan. Persoalan sumberdaya manusia yang seringkali tidak tersedia dengan baik di daerah pemekaran harus menjadi perhatian oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga ketika terjadi konflik di daerah penyelesaiannya bukanlah kemudian mengajukan “proposal pemekaran” atau menerima “proposal pemekaran” yang diajukan oleh politisi-politisi lokal. Hal ini akan memberikan peluang terjadinya kinerja birokrasi yang 17
Tim Kemitraan, 2010, Otonomi daerah, masalah pemekaran, pemberdayaan dan konflik di Indonesia, Kemitraan, Jakarta.
17
tidak professional dan menghambat adanya pelayanan publik yang sehat. Gagasan mengenai pemerintahan yang baik akan sangat tergantung pada aparat birokrasi yang handal dan professional.18 Hasil penelitian Indarti Purwaka dkk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu tahun 2010 dengan judul Konflik Tapal Batas Kabupaten Bengkulu Utara dengan Kabupaten Lebong (Studi Konsekuensi Pemekaran Wilayah di Provinsi Bengkulu) ditemukan konflik tapal batas terjadi karena klaim Kabupaten Lebong atas wilayah Kabupaten
Bengkulu
Utara
di
wilayah
perbatasan.
Pandangan
masyarakat terhadap konflik tapal batas, bahwa konflik dianggap menguntungkan
masyarakat
yang
berdampak
positif
dalam
pembangunan sarana fisik dan pemberian bantuan. Namun konflik tapal batas juga berdampak negatif dengan adanya dualisme pemerintahan yang membingungkan masyarakat akan status mereka, intimidasi terhadap masyarakat oleh kelompok pro dan kontra dan kecurangankecurangan pada pemilihan umum. Terlepas dari dampak yang ditimbulkan, kondisi masyarakat masih kondusif, yang berkonflik dalam masalah ini adalah kelompok kepentingan. Jika konflik tidak segera diselesaikan dengan tuntas, dikhawatirkan akan memicu konflik yang terbuka dan melibatkan masyarakat.19
18
19
Tim JK Scool of Government, 2012, Politik Rente di Daerah Pemekaran Kasus Maluku, JK Scool of Government, UMY, Yogyakarta. Isarti Purwaka, 2010, Konflik Tapal Batas Kabupaten Bengkulu Utara dengan kabupaten Lebong (Studi Konsekuensi Pemekaran Wilayah di Provinsi Bengkulu), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu.
18
Hasil penelitian Slamet Riyadi dkk Fakultas FISIPOL Universitas Tadaluko tahun 2008 dengan judul Pemekaran Wilayah Dan Potensi Konflik: Analisis Faktor Yang Melatar Belakangi Terjadinya Konflik Akibat Pemekaran Wilayah Di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah di temukan bahwa pemekaran wilayah berpotensi konflik horizontal disebabkan para elit politik di Kabupaten diartikan sebagai peluang dalam mengelola sumberdaya daya daerah seluas-luasnya, namun mereka tidak sadari bahwa terdapat perang, kepentingan antara elit lokal dan elit politik yang berlangsung secara kontinyu tanpa batasan. Orientasi kepentingan tanpa batas inilah yang memicu konflik karena yang keluar sebagai pemenang merasa arogan tanpa berkeinginan merangkul yang dianggap pesainnya, dan yang kalah tidak menerima. Lampisan kekecewaan diwujudkan dengan memobilisasi massa untuk menyuarakan peperangan. Wilayah tersebut belum jelas karena masih dilingkari oleh kepentingan penentu kebijakan (birokrat lokal).20 Adapun tabel hasil penelitian para ahli dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
20
Slamet Riyasi dkk, 2008, Pemekaran Wilayah Dan Potensi Konflik: Analisis Faktor Yang Melatar Belakangi Terjadinya Konflik Akibat Pemekaran Wilayah Di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, Fakultas FISIPOL Universitas Tadaluko.
19
Tabel 1.5 Penelitian-peneltian Terdahulu Peneliti
Obyek yang Diteliti Kapasitas Kelembagaan bagi sektor publik di Afrika, Maroko, Ghana, Bolivia, Thailand, dan Sri Lanka
Hasil Penelitian Penelitian ini mengkaji dimensi penting dalam kapasitas kelembagaandiantaranya (1) lingkungan tindakan; (2) konteks institusional dari sektor publik; (3) dimensi jaringan tugas; (4) dimensi organisasi; (5) dimensi sumberdaya manusia. Dari lima dimensi Sumber Daya Manusia tampak nyata menjadi dimensi yang dapat memperkuat dalam kapasitas kelembagaan di pemerintah daerah.
Kinerja,kapasitas keuangan, dan lingkungan pejabat keuangan kota di Amerika Serikat Budaya Organisasai,Kepuasan Pelanggan Kinerja di Perusahaan Amerika Serika
Penelitian ini mengkaji bahwa kapasitas manajemen dengan menggunakan variabel lingkungan, mampu meningkatkan kinerja dan efisensi lembaga secara baik.
Denis, 2004 (Disertation)
Penelitian ini mengkaji hubungan antara budaya organisasi dengan kinerja perusahaan swasta. Indikator dalam kemajuan perusahaan melihat pentingnya network dan teknologi dalam meningkatkan kinerja dan meningkatkan pelanggan.
Webster and Sundaram, 1999
20
Merilee S.Grindle (2007)
Obyek yang Diteliti Ukuran organisasi, Demokrasi, Kinerja (efisiensi) di Finlandia.
Hasil Penelitian Penelitian ini menemukan bahwa peran nilai-nilai demokrasi, identitas pemerintahan lokal, dan dukungan komunitas tradisional mendorong tingkat efisiensi.
Kapasitas Manajemen Kewirausahaan dan Kinerja Pemerintah daerah di Gorontalo
Penelitian ini mengkaji tentang kinerja pemerintah daerah pada kapasitas manajemen. Peran kapasitas manajemen dipengaruhi oleh faktor budaya organisasi, lingkungan makro dan endowment daerah.
Dampak Pemekaran Terhadap Pembangunan daerah di Indonesia
Penelitian ini mengkaji bahwa pemekaran daerah dalam aspek ekonomi, pelayanan publik, dan aparatur pemerintah serta dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat ternyata tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Salah satu aspek ditemukan adalah kapasitas kelembagaan sangat lemah dalam melaksanakan pemerintahan di daerah pemekaran. Evaluasi Pemekaran Penelitian ini mengkaji tentang evaluasi pemekaran daerah di Daerah di Indonesia Indonesia, hasil penelitian menunjukkan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan daerah yang dimekarkan. Dari 143 daerah yang dievaluasi potensi perkembangan pembangunan di 69 daerah 45 persen sangat rendah. Dampak buruk juga dialami daerah induknya, sekitar 34 persennya mengalami kondisi serupa. Otonomi daerah, masalah pemekaran, pemberdayaan dan konflik di Indonesia
Peneliti Lammannen &Haveri (2003) Fadel Muhammad (2007)
Bappenas & UNDP (2008)
Litbang Kompas (2008)
Penelitian ini mengkaji tentang tentang otonomi daerah dan pemekaran Hasil penelitian daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba kemitraan 2010 memanfaatkan momentum untuk mencapai kepentingan politiknya, dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan, seperti “putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
21
Obyek yang Diteliti Indikasi Korupsi Daerah Pemekaran di Indonesia
Hasil Penelitian Penelitian ini mengkaji tentang indikasi korupsi di daerah hasil pemekaran di Provinsi Banten (593 kasus), Kepulauan Riau (463 kasus), Maluku Utara (184 kasus), Kepulauan Bangka Belitung (173 kasus), Sulawesi Barat (168 kasus), Gorontalo (155 kasus), dan Papua Barat (147 kasus).
Survai Kondisi Daerah Pemekaran di Indonesia
Penelitian ini mengakaji tentang kondisi daerah pemekaran dengan sampel 1.815 rumah tangga di 7 provinsi hasil pemekaran wilayah yang menunjukkan pemekaran semakin menyuburkan praktik-praktik korupsi. Dalam kesimpulan lain dari penelitian ini adalah lemahnya kontrol dan kapasitas kelembagaan Penelitian ini mengkaji tentang pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) sebagai bagian dariotonomi daerah yang memuat sejumlah tujuan mulai dari: efisiensi danefektivitas sistem pemerintahan, otonomi fiskal sebagai bagian darikemandirian anggaran, konsolidasi demokrasi politik menuju keadaban politikyang mapan, penyebaran keadilan distributif sebagai syaratmensejahterakan masyarakat, ternyata masih belum memenuhi harapan.Karenanya, secara normatif preferensi dari setiap Pemekaran DaerahOtonomi Baru harus dikembalikan pada empat pilar: UUD 1945, Pancasila,Bhennika Tunggal Ika dan NKRI. Penelitian ini mengkaji tentang metode untuk mengelola konflik kekerasan yang berlangsung dalam sebuah negara maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah persoalan kesejahteraan atau pun kepuasan warga negara atas pemerintahan dalam hal pelayanan, ekpresi warga negara untuk berpartisipasi dalam wilayah publik, memperhatikan kompetisi yang berlangsung antar sesama warga negara (antar mereka) dan persoalan alokasi sumber-sumber daya yang dimiliki
Kajian pemekaran wilayah dan pembentukan daerah otonomi di Indonesia
Governance as Conflict Management: Politics and Violence in West Africa
22
Peneliti Hasil studi Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM (2011)
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (2011) Hasil penelitian Bapenas (2012)
William Zartman (2007)
Obyek yang Diteliti
Politik Rente di Daerah Pemekaran Kasus Maluku
Konflik Tapal Batas Kabupaten Bengkulu Utara dengan kabupaten Lebong (Studi Konsekuensi Pemekaran Wilayah di Provinsi Bengkulu)
Hasil Penelitian daerah untuk kebutuhan mereka dalam pembangunan daerah. Oleh sebab itu, pemerintahan yang baik merupakan pemerintahan yang mampu mengelola konflik daerah dengan memberikan pelayanan dan kesejahteraan pada warganya sehingga kebutuhan akan ekspresi politik, kompetisi antar warga, keadilan pembagian sumber kekayaan dapat berjalan dengan efektif. Penelitian ini mengkaji tentang penataan birokrasi pejabat daerah di daerah baru dan alokasi sdm di daerah yang dimekarkan. Persoalan sumberdaya manusia yang seringkali tidak tersedia dengan baik di daerah pemekaran harus menjadi perhatian oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga ketika terjadi konflik di daerah penyelesaiannya bukanlah kemudian mengajukan “proposal pemekaran” yang diajukan oleh politisi-politisi lokal. Hal ini akan memberikan peluang terjadinya kinerja birokrasi yang tidak professional dan menghambat adanya pelayanan publik yang sehat. Pandangan masyarakat terhadap konflik tapal batas, bahwa konflik dianggap menguntungkan masyarakat yang berdampak positif dalam pembangunan sarana fisik dan pemberian bantuan. Namun konflik tapal batas juga berdampak negatif dengan adanya dualisme pemerintahan.Adanya intimidasi terhadap masyarakat oleh kelompok pro dan kontra dan kecurangan-kecurangan pada pemilihan umum. Terlepas dari dampak yang ditimbulkan, kondisi masyarakat masih kondusif, yang berkonflik dalam masalah ini adalah kelompok kepentingan. Jika konflik tidak segera diselesaikan dengan tuntas, dikhawatirkan akan memicu konflik yang terbuka dan melibatkan masyarakat.
23
Peneliti
Hasil penelitian JK Scool of Government 2012
Indarti Purwaka dkk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu, 2010
Obyek yang Diteliti Pemekaran Wilayah Dan Potensi Konflik : Analisis Faktor Yang Melatar Belakangi Terjadinya Konflik Akibat Pemekaran Wilayah Di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah
Hasil Penelitian Pemekaran wilayah berpotensi konflik horizontal disebabkan para elit politik diartikan sebagai peluang dalam mengelola sumberdaya daerah seluas-luasnya, namun mereka tidak sadari bahwa terdapat perang, kepentingan antara elit lokal dan elit politik yang berlangsung secara kontinyu tanpa batasan. Orientasi kepentingan tanpa batas inilah yang memicu konflik karena yang keluar sebagai pemenang merasa arogon tanpa berkeinginan merangkul yang dianggap pesainnya, dan yang kalah tidak menerima. Kekecewaan diwujudkan dengan memobilisasi massa untuk menyuarakan peperangan. Dari hasil penelitian konflik yang terjadi di daerah penelitian lebih dominan isunya tanpa batas (batas wilayah). Hal ini didasari bahwa adanya keragu-raguan pemerintah dalam menentukan tapal batas, apalagi wilayah yang disengketakan wilayah tersebut mengandung emas dan telah ada penambangan rasional. Wilayah tersebut belum jelas karena masih dilingkari oleh kepentingan penentu kebijakan (birokrat lokal). Sumber: Diolah dari beberapa literatur
24
Peneliti Slamet Riyadi dkk Fakultas FISIPOL Universitas Tadaluko, 2008
Disertasi ini berbeda dengan kajian penelitian yang dilakukan oleh para ahli dan akademisi sebagaimana dalam tabel di atas. Disertasi ini memfokuskan pada konflik kepentingan dalam penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur daerah di daerah pemekaran. Dalam dinamika yang ada menunjukkan pemekaran syarat kepentingan, baik kepentingan pejabat, parpol, tokoh masyarakat dan kepentingan nasional. Tujuan dari pemekaran untuk mendekatkan dan memberikan pelayanan masyarakat yang optimal memang tujuan dari kebijakan pemekaran. Namun yang terjadi proses menjadi daerah otonam baru terjadi tidak dapat dilepaskan dari konflik kepentingan. Jadi dalam pemekaran yang mengakibatkan konflik kepentingan harus di selesaikan secara baik melalui proses demokrasi, keadilan dan konsesnsus bersama sesuai dengan Undang-undang dan peraturan yang ada. Dalam disertasi ini akan memfokuskan konflik kepentingan dalam penataan kelembagaan dan penempatan aparatur daerah, diantaranya konflik kepentingan perumusan tupoksi, struktur, organisasi, penentuan susunan organisasi Pemerintah Daerah/SKPD, penentuan Jabatan Bupati, Sekda, SKPD, penentuan jabatan struktur SKPD, penempatan pegawai aparatur daerah. Disertasi ini menjadi menarik karena belum banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli dan akademisi yang memfokuskan tentang konflik dalam penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur di daerah pemekaran.
23