BAB I Memahami Pengelolaan Jaringan Organisasional A. Latar Belakang Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pola manajemen jaringan yang dijalankan
oleh
FPRB
(Forum
Pengurangan
Resiko
Bencana)
dalam
penanggulangan bencana erupsi Merapi pada tahun 2010 lalu di Yogyakarta. FPRB adalah salah satu bentuk aplikatif dari penanggulangan bencana berbasis organisasi multi stakeholder. Yang dimaksud dengan multi stakeholder dalam hal ini adalah terdiri dari berbagai pemegang kepentingan yang bergerak dalam upaya pengurangan resiko bencana, diantaranya adalah Lembaga Pemerintahan, Organisasi Masyarakat, Praktisi Pendidikan dan aktor lain yang kompeten dalam masalah pengurangan resiko bencana.1 Penelitian ini menjadi menarik karena Negara tidak menjadi satu-satunya aktor yang bergerak dalam penganggulangan resiko bencana, namun melibatkan aktor lain diluar Negara. FPRB sebagai platform pengurangan resiko bencana di tingkat Provinsi bergerak dalam penyediaan mekanisme koordinasi antar pemegang kepentingan serta sebagai representasi pelaksanaan pengurangan resiko bencana sesuai dengan kebijakan yang telah dibuat oleh Negara. Yogyakarta berdiri diatas wilayah yang rawan akan datangnya bencana. Adapun implikasi dari wilayah yang rentan bencana tersebut adalah silih bergantinya bencana alam yang melanda Yogyakarta dalam rentang waktu yang
1
Lihat Statuta Forum Pengurangan Resiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta.
1
relatif singkat. Adapun contoh bencana yang sempat terjadi adalah gempa bumi di Bantul pada tahun 2006, serta erupsi Merapi yang terjadi secara reguler setiap 2-3 tahun berupa erupsi kecil dan 10-15 tahun berupa erupsi besar. Erupsi Merapi dalam skala yang besar terjadi pada tahun 2010. Erupsi tersebut adalah erupsi terbesar yang terjadi semenjak erupsi terakhir pada 1872.2 Masyarakat adalah korban yang berhadapan langsung dengan bencana yang terjadi di wilayah yang mereka singgahi. Maka dari itu diperlukan bantuan yang cukup tanggap untuk meminimalisir jumlah korban yang jatuh dalam setiap bencana yang terjadi. Sejak 26 oktober 2010 lalu, gunung merapi telah menunjukkan aktifitas nya yang berujung pada bencana bagi masyarakat disekitar nya. Erupsi besarbesaran gunung merapi telah menghancurkan struktur sosial ekonomi di desa-desa sekitar lereng merapi. Sebagian dari mereka mengikuti petunjuk pemda setempat untuk meng-evakuasi diri serta barang barang yang sekiranya bisa dibawa. Poskoposko pengungsian pun mulai dibuka di berbagai tempat dari yang mengatasnamakan forum masyarakat maupun pihak privat. Bencana ini dan juga bencana yang terjadi di daerah lain memang telah memperlihatkan sisi humanis dari masyarakat Indonesia secara keseluruhan dalam membantu para korban bencana tersebut.
2
BNPB: Jumlah Korban Tewas Merapi 275 Orang diunduh dari http://news.detik.com/read/2010/11/18/135047/1496723/10/bnpb-jumlah-korban-tewas-merapi275-orang pada 3 Oktober 2012 pukul 21.25 WIB.
2
Partisipasi sangat terlihat dalam penanganan bencana alam di negara ini. Pemerintah tidak lagi bergerak sendiri dalam menangani krisis bencana. Semua pihak dimungkinkan untuk bisa terlibat dalam semua proses yang bersangkutan dengan hal tersebut. Keterbukaan pasar yang membuat pihak pihak privat serta publik untuk berpartisipasi didalamnya. Tentu hal ini sangat menguntungkan bagi Indonesia. Melihat terjadinya fenomena multi-actors dalam prosesnya, Negara sebagai regulator di uji kemampuannya dalam mengelola sumber daya yang telah diberikan pihak pihak yang terkait untuk selanjutnya disalurkan kepada para korban bencana. Secara kontekstual, Negara adalah aktor yang dominan dan kompeten dalam hal penanggulangan bencana ini. Namun pendekatan Negara yang bersifat tradisional dan hierarkis dalam hal ini dirasa kurang ideal bagi masyarakat sekitar daerah rawan bencana. Pembangunan fasilitas early warning system dan program Negara yang berkaitan dengan respon tanggap bencana dalam skala yang paling kecil bukanlah hal yang cukup ideal untuk meminimalisir jumlah korban jiwa dan materiil di masa mendatang dalam bencana alam yang selanjutnya akan terjadi. Negara melupakan hal yang justru paling krusial dalam hal ini, yaitu pembentukan mindset masing masing individu dengan memberikan modal sosial bahwa masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana adalah masyarakat yang rentan bencana dan mereka harus memiliki kemampuan untuk membaca situasi serta tau langkah taktis seperti apa yang harus diambil disaat terjadi pra maupun saat bencana.
3
Disaat karakter mekanisme hierarkis yang dianut oleh Negara dirasa kurang efektif dalam melakukan respon tanggap bencana. Mekanisme relasi horizontal yang memberdayakan seluruh elemen masyarakat justru menjadi langkah yang cukup efektif untuk menutup kekosongan respon yang diberikan oleh Negara saat pra bencana. Kemampuan mengorganisir diri sendiri dan modal sosial yang didapat ketika berdiskusi satu dengan yang lainnya dalam berbagai forum yang diakomodir oleh LSM yang bergerak dalam bidang kebencanaan menjadi langkah yang taktis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya
saat
datangnya
bencana.
Dengan
mekanisme
ini
juga,
pemberdayaan sumber daya lokal menjadi hal baru yang membawa perubahan signifikan atas kebutuhan tanggap bencana. Bentuk nyata dalam perwujudan hubungan organisasi modern yang relasinya horizontal adalah kemunculan FPRB. FPRB adalah wadah yang menyatukan
organisasi
pemangku
kepentingan
(multi
stakeholders)
DI.Yogyakarta yang bergerak dalam mendukung upaya-upaya pengurangan resiko bencana (PRB) di wilayah DI.Yogyakarta.3 FPRB menjalankan tugasnya di tingkat Provinsi dan menyediakan mekanisme koordinasi yang kolaboratif antar berbagai
pemangku
kepentingan
demi
keberlanjutan
berbagai
aktivitas
pengurangan resiko bencana melalui proses konsultatif dan partisipatif yang selaras dengan pelaksanaan kerangka kerja PRB.
3
Profil PRB DIY (2009), Forum PRB DIY, diunduh dari http://prbdiy.net/about pada 8 Januari pukul 09.30 WIB.
4
Forum Pengurangan Resiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta memberikan kontribusi dalam pengurangan risiko bencana melalui advokasi, pengawasan,
fasilitasi
dan
konsultasi
yang
memungkinkan
terjadinya
pengurangan resiko bencana bagi semua pemangku kepentingan menuju komunitas yang tanggap dan tahan bencana.4 Berbagai kontribusi tersebut direalisasikan oleh masing-masing aktor dengan kompetensi yang berbeda-beda. Organisasi masyarakat lokal maupun Internasional, Institusi Pemerintahan, sektor privat, media massa dan Institusi Pendidikan adalah aktor-aktor yang menginisiasikan berjalannya pengurangan resiko bencana dalam platform ini. Alasan pemilihan FPRB dalam penelitian ini yang pertama adalah salah satu representasi dari mekanisme jaringan organisasi modern dengan pola relasi horizontal antar aktornya. Kedua, FPRB adalah Organisasi yang menangani pengurangan resiko bencana pada erupsi Merapi tahun 2010 yang secara tidak langsung menggantikan peran BPBD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang pada saat itu belum dibentuk oleh Pemerintah Provinsi DIY. Ketiga, FPRB sebagai representasi dari relasi antara Negara, NGO serta masyarakat mengingat FPRB sebagai organisasi Multi Stakeholder dengan common interest demi mencapai target pengurangan resiko bencana di DIY. Keempat, FPRB sebagai salah satu bentuk Pemerintahan jaringan berangkat dari penjelasan dalam poin ketiga.
4
Oktober jadi bulan pengurangan risiko bencana DIY diunduh dari http://www.harianjogja.com/baca/2010/10/13/oktober-jadi-bulan-pengurangan-risiko-bencanadiy-142502 pada 5 maret 2013 pukul 2.10 WIB.
5
Pada penelitian ini, fokus yang diambil adalah peran FPRB dalam mengelola jaringan organisasi di dalamnya pada upaya pengurangan resiko bencana yang terjadi pada erupsi Merapi tahun 2010. Serta sebagai bentuk Pemerintahan jaringan yang melibatkan aktor multi-stakeholder. Hal tersebut menjadi fokus semakin menarik karena tidak adanya BPBD di Yogyakarta sebagai sebuah representasi dari Negara dalam hal kebencanaan pada waktu erupsi Merapi 2010.5 Adapun manfaat dari penelitian ini jika dilihat dari segi akademis adalah, diharapkan mampu untuk menambah referensi khususnya untuk kajian manajemen jaringan yang mengangkat mekanisme relasi kuasa horizontal dalam sebuah organisasi dan Pemerintahan jaringan dalam penanggulangan resiko bencana. Serta jika dilihat dari segi praktis, diharapkan mampu menjadi referensi juga untuk FPRB dalam upaya merestrukturisasi jaringan organisasinya agar lebih efektif dan efisien, serta bagi Pemerintah Provinsi DIY dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan manajemen bencana berbasis jaringan interorganisasi, mengingat DIY adalah daerah dengan potensi bencana alam yang tinggi.
5
8 Bencana Kepung DIY diunduh dari http://edisicetak.joglosemar.co/berita/8-bencana-kepungdiy-26895.html pada tanggal 5 maret 2013 pukul 02.14 WIB.
6
B. Rumusan Masalah Bagaimana pengelolaan jaringan organisasi anggota FPRB DIY ( Forum Pengurangan Resiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta ) dalam mengelola bencana erupsi Merapi 2010 ? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: Melihat proses inisiasi dan cara pengelolaan jaringan organisasi yang tergabung dalam FPRB DIY dalam rangka untuk menanggulangi bencana erupsi Merapi 2010. D. Kerangka Teori D.1. Manajemen Jaringan Perkembangan organisasi yang hadir di dewasa ini, berubah paradigmanya dari organisasi tradisional menjadi bentuk organisasi modern. Organisasi tradisional menempatkan organisasi sebagai unit koheren, mandiri, dan memakai logika hierarki. Sedangkan organisasi modern saat ini berkembang menjadi bentuk organisasi yang modelnya lebih fleksibel dalam pengambilan keputusan dengan menggunakan mekanisme kontrol dalam organisasi tersebut. Hal tersebut menciptakan dua model dalam teori organisasi yang dikenal sebagai Organisasi Intra-Organisasi dan Organisasi Inter-Organisasi.
7
Tabel 1. Perbandingan Model dalam Teori Organisasi Model Dimensi Pelaku
Proses
Keputusan
Kekuasaan dan Koordinasi
Teori Organisasi Intra-Organisasi Organisasi adalah unit koheren dan memiliki tujuan yang jelas
Organisasi adalah bagian dari jaringan organisasi
Rasional, diatur dari atas, berorientasi tujuan, instrumentatif
Pertukaran sumberdaya dan interaksi inter-organisasional
Perencanaan, pengorganisasian, dan pengontrolan
Berdasarkan kontak organisasional antar lembaga
Hasil dari perumusan strategis dari otoritas pusat
Hasil dari negosiasi antar organisasi
Ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan
Ditujukan untuk melestarikan alur sumberdaya dan menjaga interaksi
Jelas, ada struktur otoritas yang hierarkis dan terpusat
Tidak ada struktur otoritas
Kontrol menjadi mekanisme koordinasi Mencari informasi secara ilmiah
Informasi dan Nilai
Teori Organisasi InterOrganisasional
Ada tujuan dan nilai yang jelas
Hubungan kekuasaan ditentukan oleh keperluan adanya pertukaran sumberdaya Informasi adalah sumber kekuasaan yang dimiliki aktor secara beragam Nilai-nilainya sering bertentangan
Sumber : Diolah dari Kickert, Klijn, dan Koppenjan dalam Managing Complex Networks : Strategies for the Public Sector
8
Model inter-organisasi merupakan hasil konsekuensi yang muncul dari proses governance di kehidupan masyarakat demokratis saat ini. Organisasi yang muncul saat ini sifatnya otonom dan horizontal dalam relasinya. Sehingga dalam pengelolaan organisasi yang terjadi diperlukan adanya sebuah bentuk pengelolaan yang bisa mengakomodasi bentuk relasi jaringan horizontal dari organisasi tersebut yang dikenal dengan manajemen jaringan. Manajemen jaringan muncul dari hadirnya sebuah bentuk dasar organisasi yang tidak bisa dihindari yaitu sifat interdependence (tergantung satu sama lain). Organisasi bisa dipahami di era governance pasti memiliki keterbatasan sumber daya untuk melangsungkan tujuan-tujuannya dan perlu bantuan dari organisasi lain. Maka dari itu diperlukan sebuah mekanisme manajemen pertukaran sumberdaya-sumberdaya antar jaringan organisasi yang pastinya akan terus menerus berulang dalam jangka waktu tercapainya tujuan tersebut. Dalam pertukaran sumberdaya tersebut, pastinya akan menimbulkan sebuah bentuk kontinuitas untuk menciptakan keadilan bagi anggota di organisasi – organisasi tersebut agar jaringan organisasi tersebut tetap utuh. Aturan-aturan perlu diberlakukan dari yang sifatnya hanya binding (mengikat) sampai pada tingkatan yang lebih kuat. Caranya dengan membangun proses negosiasi antar organisasi yang terbangun melalui penyesuaian nilai awal pembentukan jaringan, tanpa ada kekuasaan (centrum of power) yang memaksakan.6
6
Pratikno. 2008. Manajemen Jaringan Dalam Perspektif Strukturasi dalam Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik Volume 12, Nomor 1 ( Mei 2008 ). Yogyakarta : MAP UGM. Hal, 5.
9
Hal yang dikelola dalam bentuk manajemen jaringan biasanya merupakan karakteristik barang berupa Common Pool Resource (CPR). CPR adalah sebuah bentuk sumberdaya yang memiliki tingkat urgensi kebutuhan manusia yang sangat besar, namun dalam pengelolaannya pasti akan banyak proses ekstraksi yang berlangsung dari barang tersebut. Jika tidak diatur secara bijaksana dapat mengganggu keberlangsungannya justru malah akan menimbulkan tragedi dan konflik bagi masyarakat (Tragedy of the commons). Sehingga dalam memahami pentingnya manajemen jaringan bagi pengelolaan CPR sebagai mekanisme yang efektif dan efisien untuk menghindari hadirnya tragedy of the common. Berikut adalah empat relevansi yang dapat dilakukan melalui manajemen jaringan : 1. Mengelola relasi antar aktor yang otonom. 2. Menjaga interdependensi dan kerjasama. 3. Mengelola sumberdaya bersama. 4. Memaksimalkan manfaat yang akan diperoleh melalui sebuah kerjasama jaringan. Dapat dipahami intinya manajemen jaringan adalah sebuah cara untuk membangun nilai-nilai kepemimpinan dalam tipe relasi antar aktor yang sifatnya horizontal.7
7
Ibid, hal. 9.
10
Dalam manajemen jaringan terdapat tiga struktur sasaran untuk menciptakan governability yang efektif dan efisien menurut Anthony Giddens. Struktur pertama adalah signifikansi yang berkaitan dengan interpretasi terhadap tujuan dari jaringan yang ditunjukkan melalui upaya-upaya penyusunan norma dan nilai yang menjadi pondasi dalam terbentuknya jaringan. Kedua, adalah power and domination building yang diberlakukan dengan perwujudan pembangunan organisasional agar antar organisasi dapat lebih reflektif dan mawas diri dalam interaksi mereka di sebuah jaringan. Yang terakhir adalah pentingnya pembangunan legitimasi jaringan dengan menerapkan aturan main dan sanksi yang berlaku, karena proses berjejaring harus bisa dilakukan dalam waktu yang terus berlanjut.8 Sehingga
dalam
upaya
manajemen
jaringan
kapasitas
steering
(mengarahkan) dan transformatif (melakukan perubahan) merupakan kemampuan utama dalam melakukan langkah manajemen jaringan. Kekuatan steering diperlukan untuk mengarahkan antar aktor yang otonom berfungsi sesuai dengan tujuannya. Sedangkan kekuatan transformatif diperlukan oleh organisasi agar bisa mengerahkan kekuatan aktor dalam upaya akumulasi sumberdaya yang dilakukan agar keberlangsungan jaringan dan tujuan dapat bertahan. Strategi dalam manajemen jaringan harus dilangsungkan dalam dua level yaitu melalui game management dan network structuring. Game Management adalah upaya pengembangan strategi yang dilakukan dalam manajemen jaringan melalui 8
penyamaan
persepsi
aktor
melalui
pembangunan
tata
aturan
Ibid, Hal 11.
11
formal/informal, komposisi pelaku dan distribusi sumberdaya yang telah ada. Sedangkan Network Structuring adalah upaya transformasi jaringan dengan mengubah karakteristik kelembagaan jaringan melalui pengembangan strategi dalam level pembangunan jaringan, interaksi antar aktor, hingga strategi membuka ruang dan memfasilitasi berlangsungnya proses kerjasama berjejaring.
Tabel 2. Game Management dan Network Structuring Level/Sarana
Persepsi/Interpretasi
Aktor/Fasilitas
Institusi/Norma
Strategi Game
Covenanting :
Selective (de)
Arranging :
Management
Mengeksplorasi
activation:
Membangun,
persamaan dan
Memobilisasi kekuatan
menjaga, dan
perbedaan persepsi
aktor yang miskin
mengubah format
antar aktor , dan
sumberdaya dan
relasi jangka pendek
menjajagi untuk
mendemobilisasi peran
yang bisa
menselaraskan
aktor yang
mendorong interaksi
tujuan
mendominasi sumber
dalam kelompok
daya
Network
Reframing :
Network (de)
Reconstitutionalism
Structuring
Mengubah persepsi
activation: Melibatkan
:Mengubah
para aktor dalam
aktor baru atau
kebijakan, aturan
jaringan yang akan
mengubah posisi dari
dan sumberdaya
12
mengkerangkai aktor
aktor yang ada;
dalam jaringan
dalam menentukan
Memobilisasi koalisi-
secara fundamental
nilai apa yang
koalisi baru
dikedepankan Sumber : Diolah dari Kickert, Klijn, dan Koppenjan dalam Managing Complex Networks : Strategies for the Public Sector Dalam strategi manajemen jaringan tersebut, kedua level strategi harus dipandang sebagai sebuah kesatuan. Pengembangan melalui Game Management dan Network Structuration bukanlah merupakan sebuah hal yang terpisah, melainkan bertujuan untuk menciptakan hubungan dualitas berupa daya untuk menggunakan dan mengembangkan instrumen jaringan yang ada. Bentuk Game Management dan Network Strukturasi merupakan bentuk strategi yang dikembangkan dengan melihat pengembangan dalam teori strukturasi, di mana pengembangan dari jaringan harus meliputi tiga level strukturasi yaitu persepsi/signifikansi, aktor/dominasi dan norma/legitimasi. 9 D.2. Pemerintahan Jaringan Konsep mengenai governance telah menjadi perhatian khusus bagi para ilmuwan politik selama 20 tahun terakhir. Seiring dengan perkembangannya, konsep mengenai governance telah mengalami banyak perubahan. Networking Governance adalah salah satu pengembangan dari konsep Governance itu sendiri. Pemerintahan jaringan adalah sebuah bentuk respon terhadap kondisi pertukaran aset, ketidakpastian permintaan, kompleksitas tugas dan frekuensi dari tugas dan 9
Ibid, hal. 15.
13
permintaan itu sendiri. Pertukaran kondisi mengenai hal diatas bersifat struktural yang memungkinkan sebuah instansi maupun bentuk lainnya untuk selanjutnya menggunakan mekanisme sosial untuk mengkordinasikan dan menjaga pertukaran keempat hal tersebut diatas. Ketika seluruh kondisi berada dalam posisi yang stabil maka bentuk tata kelola jaringan memiliki keunggulan yang lebih baik dibandingkan dengan tata kelola hierarki dan sistem pasar, baik dalam hal adaptasi terhadap kondisi tertentu dan koordinasi antar aktor yang terlibat.10 Pemerintahan Jaringan memiliki dua konsep kunci yang berbeda dan masing-masing dari mereka memiliki definisi yang parsial dalam menjelaskan hal tersebut. Konsep tersebut adalah: Pola interaksi dalam pertukaran dan hubungan Arus sumber daya antara unit-unit independen Adapun penjelasan dari konsep yang pertama adalah penekanan pada pola pertukaran yang bersifat horizontal atau lateral. Hubungan tersebut bersifat jangka panjang yang pada akhirnya mengakibatkan sebuah relasi yang ketergantungan diantara aktor-aktor yang terlibat. Serta yang terakhir adalah memiliki jalur komunikasi timbal balik demi menjaga koordinasi yang baik diantara seluruh aktor yang terlibat. Adapun penjelasan dari konsep yang kedua adalah pola hubungan yang melibatkan individu, kelompok serta organisasi. Hubungan yang terjalin bersifat jangka panjang dan bersifat hubungan sistem pasar. Arus sumber daya adalah fokus yang ditekankan dalam konsep yang kedua ini. Masing-masing
10
Jones, Candace, dkk (1997). A General Theory Of Network Governance: Exchange Conditions And Social Mechanism. Boston College: The Academy of Management. Hal 911.
14
unit yang terlibat hubungan ini sangat ditekankan untuk memiliki kemandirian dalam berinteraksi. Jaringan Pemerintahan adalah struktur yang melibatkan multi stakeholder untuk menciptakan sebuah produk atau jasa berdasarkan kontrak terbuka yang pada akhirnya berkoordinasi untuk menciptakan sebuah rencana kontingensi serta menjaga pertukaran arus sumber daya diantara pihak yang terlibat. 11 Anggota jaringan yang terlibat berada dalam satu jaringan namun dengan kerja dan kompetensi yang berbeda demi mencapai kepentingan yang sama. Tujuan yang dimiliki oleh jaringan akan direalisasikan oleh seluruh anggota dengan cara kerjanya masing-masing menyesuaikan dengan bidang dan kompetensi yang dimiliki. Dari sekian banyak definisi umum yang mengacu pada dasar dari sebuah Pemerintahan jaringan, berikut ini adalah salah satu definisi umum yang menjelaskan hal tersebut. Mengingat bahwa Pemerintahan jaringan bersifat dinamis dan terus berkembang menyesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang terus bergerak:12 1. Artikulasi interdependensi yang bersifat stabil dan memiliki pola relasi yang horizontal serta dioperasionalisasikan oleh aktor-aktor yang otonom. 2. Relasi antar aktor tersebut bersifat dinamis yang direpresentasikan dengan negosiasi. 3. Memiliki regulasi yang bersifat normatif, kognitif, dan kerangka kerja yang imajiner. 11
Ibid, Hal 914. Sorensen, Eva, dkk (2007). Theories Of Democratic Network Governance. New York: Palgrave Macmillan. Hal 9. 12
15
4. Memiliki regulasi yang dijalankan dan dibuat sendiri yang memiliki batasan aturan main yang ditentukan oleh agen-agen eksternal. 5. Memiliki
kontribusi
dalam
memproduksi
sebuah
produk
untuk
kepentingan publik. Hal tersebut adalah esensi dasar yang paling umum yang mengacu pada bentuk dari Pemerintahan Jaringan. Anggota Pemerintahan jaringan akan terus bekerja berulang-ulang dalam jangka waktu yang panjang. Bekerja sama dari waktu ke waktu adalah urutan koordinasi
yang
difasilitasi
oleh
struktur
jaringan
yang
ada.
Dalam
perkembangannya dimasa mendatang, hal tersebut akan menciptakan sebuah improvisasi terhadap jaringan yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini, Pemerintahan jaringan dapat diartikan sebagai sebuah proses pengorganisasian yang dinamis dibanding sebagai entitas yang statis. Koordinasi yang terbangun dalam jaringan tidaklah bersifat acak maupun seragam. Memiliki pola, adalah kata yang mampu menjelaskan kordinasi yang terbangun dalam Pemerintahan jaringan ini. Memiliki pola yang dimaksud dalam hal ini adalah, memiliki pembagian kerja yang jelas, bersifat otonom demi meningkatkan potensi dari setiap elemen yang berada dalam jaringan. Tata kelola jaringan terdiri atas aktor otonom yang bertugas seperti satu kesatuan. Demi meningkatkan kerjasama dalam tugas yang ada, Pemerintahan jaringan mengandalkan kordinasi sosial dan kontrol atas elemen yang bernaung didalamnya.
16
Dalam perkembangannya hingga saat ini, konsep mengenai Pemerintahan jaringan masih menjadi perdebatan yang panjang dikalangan ilmuwan politik karena banyaknya konsep dari Pemerintahan Jaringan itu sendiri. Berikut ini adalah tabel yang akan menjabarkan beberapa perbedaan istilah dan definisi mengenai Pemerintahan Jaringan:13 Tabel 3. Bentuk-Bentuk Pemerintahan Jaringan No. 1.
Istilah Pemerintahan Jaringan Jaringan Interorganisasional
Definisi Adalah kelompok organisasi kolektif non hirarkis. Bersifat terbatas maupun tidak terbatas, karena memiliki unit hukum yang terpisah
2.
Jaringan
Hubungan yang terpola diantara individu, kelompok dan organisasi
3.
Aliansi Kapitalisme
Hubungan strategis jangka panjang lintas pasar
4.
Grup Bisnis
Kumpulan perusahaan yang terikat bersama baik dalam hubungan formal maupun informal dengan tingkatan yang lebih lanjut
5.
Jaringan
Kolaborasi informal antar organisasi
6.
Bentuk Jaringan Organisasional
Hubungan jangka panjang yang menciptakan ketergantungan yang
13
Ibid, Hal 915.
17
berujung pada pelibatan kewajiban, reputasi dan kepentingan yang sama 7.
Jejaring Sosial
Kolektifitas individu yang didalamnya berlangsung pertukaran baik informasi maupun sumber daya yang berbasis pada sistem saling percaya
8.
Jaringan Organisasi
Klaster usaha atau unit khusus yang dikordinasikan oleh mekanisme pasar
9.
Jaringan Berbentuk Organisasi
Pertukaran berpola lateral dan horizontal yang memiliki arus timbal balik sumber daya dan komunikasi yang independen
Sumber : Diolah dari Eva Sorensen Dalam Theories Of Democratic Network Governance.
Tabel diatas adalah jenis-jenis dari konsep mengenai Pemerintahan jaringan yang telah menjadi perdebatan panjang hingga saat ini. Perbedaan istilah diatas adalah sebuah bentuk nyata bahwa Pemerintahan jaringan memiliki proses dinamis dan lebih dari sekedar entitas yang statis. Kerangka kerja dari tata kelola Pemerintahan jaringan adalah sebuah mekanisme pertukaran. Mekanisme yang dimaksud dalam hal ini adalah meliputi tiga kondisi yaitu:14
14
Kondisi ketidakpastian nilai tukar
Ibid, Hal 917.
18
Ke-khususan aset
Frekuensi
Ketiga kondisi diatas menentukan sebuah bentuk Pemerintahan yang efisien. Lingkungan dengan kondisi ketidakpastian akan memicu sebuah perilaku yang adaptif. Karena pada dasarnya ketidakpastian tersebut adalah sumber dari masalah organisasi. Kekhususan aset meliputi seluruh instrumen, proses serta pengetahuan yang dikembangkan oleh seluruh anggota dalam jaringan demi menyelesaikan masalah ketidakpastian nilai tukar tersebut. Hal tersebut berujung pada intensifnya koordinasi antar anggota yang berada dalam jaringan (frekuensi). Frekuensi adalah kondisi yang sangat menetukan proses efisiensi dari sebuah Pemerintahan jaringan. Adapun alasannya adalah, frekuensi kordinasi memfasilitasi kondisi pertukaran pengetahuan dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing anggota yang berada dalam jaringan. Yang kedua adalah sebagai sebuah pondasi awal dari berjalannya mekanisme sosial dalam jaringan terutama dalam hal adaptasi, koordinasi dan manajemen pertukaran sumber daya yang efektif. Yang terakhir adalah intensitas interaksi yang tinggi dari seluruh anggota jaringan akan memberikan dampak efisiensi biaya dalam hal penggunaan struktur Pemerintahan yang lebih khusus. Berikut ini adalah bagan yang akan memetakan bagaimana sebuah interaksi dalam sebuah jaringan akan berimplikasi pada terbentuknya mekanisme sosial:15
15
Ibid, Hal 918
19
Ketidakpastian Permintaan
Kompleksitas Tugas
Mekanisme Sosial:
Interaksi Kondisi Pertukaran
Keterbatasan Akses
Makro Kultur
Aset Spesifik
Struktur Sanksi Kolektif
Frekuensi
Reputasi
Ketidakpastian permintaan adalah sebuah implikasi dari pergeseran dan preferensi akan sebuah produk yang diminta oleh konsumen. Selain hal tersebut perubahan dan perkembangan yang pesat dari pengetahuan dan teknologi akan menghasilkan sebuah siklus produk yang pendek dan membuat persebaran informasi yang cepat dan kritis. Pertukaran baik dalam bentuk informasi maupun sumber daya disesuaikan dengan tingginya tingkat kekhususan aset. Hal tersebut memerlukan bentuk organisasi yang mampu untuk meningkatkan kerjasama. Seluruh anggota yang bernaung dalam sebuah jaringan lebih menggantungkan diri terhadap satu dengan yang lainnya dalam hal kerjasama demi menyelesaikan masalah dalam hal pertukaran tersebut. Pertukaran yang dilakukan dengan intensitas yang tinggi akan berimplikasi pada terjadinya asimilasi pengetahuan diantara seluruh anggota.
20
Ketidakpastian permintaan akan mendorong anggotanya untuk bergerak kearah intensifitas dan koordinasi antar pihak. D.2.1 Struktur Embeddedness Sebagai Pondasi Mekanisme Sosial Kondisi ketidakpastian permintaan, kompleksitas tugas, frekuensi serta aset yang spesifik memiliki implikasi terhadap perkembangan struktur embeddedness. Adapun yang dimaksud dengan embeddedness adalah tentang bagaimana seorang aktor maupun organisasi memiliki hubungan yang terikat dengan aktor lainnya sebagai pihak ketiga.16 Dalam konteks ini embeddednes diartikan sebagai kontak antar aktor yang terhubung dengan lebih dari dua organisasi atau aktor saja. Embeddedness struktural adalah kumpulan kelompokkelompok yang berbeda memiliki tugas bersama untuk menyebarkan informasi tentang pihak-pihak lain yang berada dalam sebuah jaringan. Pertukaran tersebut meliputi pertukaran informasi, norma, dan pemahaman umum yang selanjutnya berguna untuk mereka bergerak melintasi batasan yang ada di setiap kelompok yang tergabung dalam sebuah jaringan. Embeddedness struktural adalah konsep yang mengantarkan pada pemahaman mengenai mekanisme sosial yang terbangun dalam sebuah jaringan. Mekanisme sosial yang direpresentasikan dengan kegiatan koordinasi memiliki fungsi untuk menjaga berbagai pertukaran dalam sebuah jaringan. Berangkat dari hal tersebut, berbagai norma dan nilai yang berdifusi didalamnya akan meningkatkan koordinasi diantara berbagai unit-unit yang otonom. Berbagai pertukaran mengenai informasi dan perilaku serta strategi dapat disesuaikan.
16
Op, Cit. Hal. 924
21
Penyesuaian tersebut dapat dilakukan dengan membuat kontrak terbuka diantara berbagai pihak yang berada dalam jaringan. Pertukaran yang kompleks dalam setiap ketidakpastian permintaan berimplikasi pada terbentuknya mekanisme sosial. Mekanisme yang dimaksud mencakup keterbatasan akses, makrokultur, sangsi kolektif dan reputasi. Hal tersebut lah yang menciptakan koordinasi demi mencapai terjaganya sebuah pertukaran diantara pihak tersebut. Embeddedness struktural memiliki dampak positif terhadap perkembangan internal jaringan, hal tersebut ditunjukan dengan keterbatasan akses. Dengan terbatasnya akses, berbagai informasi yang berada dalam jaringan akan terjaga karena setiap anggota telah mengerti dengan siapa harus bertukar informasi dan aktor mana yang harus dihindari. Berdifusinya seluruh informasi yang berada dalam sistem internal jaringan akan memfasilitasi pengembangan makrokultur, nilai dan norma serta keyakinan bersama, mengingat bahwa setiap anggota saling bertukar persepsi dan pemahaman akan suatu hal (frekuensi). Termasuk didalamnya adalah penggunaan sangsi kolektif disaat terdapatnya oknum yang bertindak diluar koridor regulasi yang telah disepakati bersama. Embeddedness struktural memfasilitasi terbangunnya mekanisme sosial dalam sebuah jaringan. Hal tersebut direpresentasikan dengan terbangunnya adaptasi, koordinasi dan terjaganya pertukaran. Dengan demikian, kehadiran struktur tersebut akan meningkatkan tata kelola jaringan yang akan terus berkembang dan berubah dinamis sesuai dengan kompleksitas tugas dan perkembangan pasar.
22
E. Definisi Konseptual E.1. Manajemen Jaringan Adalah sebuah strategi yang dipergunakan oleh jaringan organisasi untuk mengelola relasi antar aktor yang sifatnya relasi horizontal dalam mekanisme pertukaran sumberdaya untuk mewujudkan cita-cita jaringan bersama. Pertukaran sumberdaya yang dilakukan biasanya merupakan bentuk common pool resource yang dapat menimbulkan Tragedy of the Common (Tragedi Bersama). Strategi yang dilakukan berupa Game Management dan Network Structuration. E.2. Pemerintahan Jaringan Adalah sebuah bentuk respon terhadap kondisi pertukaran aset, ketidakpastian permintaan, kompleksitas tugas dan frekuensi dari tugas dan permintaan itu sendiri. Pertukaran kondisi mengenai hal diatas bersifat struktural yang memungkinkan sebuah instansi maupun bentuk lainnya untuk selanjutnya menggunakan mekanisme sosial untuk mengkordinasikan dan menjaga pertukaran keempat hal tersebut diatas. F. Definisi Operasional F.1. Manajemen Jaringan Konsep mengenai alur identifikasi proses inisiasi dan pengelolaan jaringan secara sistematik akan dilihat dengan menggunakan indikator:
Mengidentifikasikan proses pembentukan organisasi dalam jaringan yang dilakukan melalui identifikasi aktor, proses, keputusan, kekuasaan dan koordinasi, dan informasi dan nilai yang dipakai oleh jaringan tersebut
23
Mengidentifikasi
bentuk
pengelolaan
sumberdaya
yang
menjadi
kepentingan dalam pembangunan jaringan melalui indetifikasi ugensi tujuan, visi dan misi dalam pengembangan jaringan.
Melihat proses game management yang dilakukan oleh sebuah bentuk jaringan dengan mengidentifikasi aspek strukturasi berupa interpretasi yang dibangun jaringan, kekuasaan aktor dalam jaringan, dan pembangunan norma dalam tahapan tersebut
Melihat proses strukturasi jaringan yang dilakukan oleh sebuah bentuk jaringan dengan mengidentifikasi aspek strukturasi berupa interpretasi yang dibangun jaringan, kekuasaan aktor dalam jaringan, dan pembangunan norma dalam tahapan tersebut
F.2. Pemerintahan Jaringan Untuk menjelaskan bagaimana konsep mengenai Pemerintahan jaringan dalam FPRB, akan dilihat dari bagaimana sebuah jaringan terbangun diatas pondasi konsep embeddedness struktural. Saat dikontekstualisasikan dengan FPRB sebagai forum multi-stakeholder dengan tata kelola jaringannya, selanjutnya akan diklasifikasikan ke dalam satu dari sembilan bentuk jaringan yang terdapat dalam konsep Pemerintahan jaringan.
24
G. Metodologi Penelitian G.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Adapun alasan menggunakan pendekatan dan metode ini bahwa untuk menjelaskan sebuah fenomena sosial yang terjadi di masyarakat secara lebih mendalam tidak cukup dengan proses kuantifikasi saja. Untuk menjelaskan berbagai hal yang bersifat mikro dari berbagai objek yang diteliti diperlukan sebuah intepretasi yang lebih dalam lebih dari sekedar proses kuantifikasi itu sendiri. Alasan yang kedua adalah dalam pendekatan kualitatif ini sangat bersifat fleksibel. Adapun yang dimaksud dengan fleksibel dalam hal ini adalah berbagai konsep dan teori yang digunakan tidak sepenuhnya mengikat melainkan bersifat mengarahkan.17 Dan untuk alasan yang terakhir adalah terbentuknya minat naturalistik dari peneliti dalam mendapatkan berbagai data yang ada di lapangan. Naturalistik yang dimaksud dalam hal ini adalah ketidakmampuan peneliti dalam men-setting seluruh perolehan data di lapangan demi kepentingan penelitian itu sendiri.18 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran FPRB pada pengelolaan jejaring organisasi yang menjadi anggotnya dalam masalah penanggulangan bencana erupsi Merapi tahun 2010. Peran yang dimaksud dalam hal ini adalah tentang bagaimana FPRB mengelola dan menginisiasi jaringan antar aktor yang menangani masalah kebencanaan, secara sistematik dari tahap 17
Norman K Denzin dan Yvonna S Lincoln. (2009). Handbook Of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 300. 18 Stake, Robert. (2009). Handbook Of Qualitative Research. California : Sage Publication. Hal 299.
25
kegiatan persiapan pra bencana, persiapan bencana, respon tanggap bencana dan revitalisasi pasca bencana. Serta mengetahui relasi antar aktor yang kompeten dibidangnya dalam hal manajemen resiko bencana. Dalam hal memetakan relasi antar aktor yang terlibat tersebut, studi kasus sangat membantu dalam hal melacak pola-pola data yang ada di lapangan untuk memperkaya isu-isu dalam penelitian.19 Tujuan ini dapat ditelusuri lebih jauh dan dideskripsikan dengan jelas ketika peneliti mampu untuk menggali berbagai pengalaman dan data yang dimiliki oleh berbagai aktor yang terlibat dalam masalah pengelolaan jaringan di FPRB. Berangkat dari berbagai data dan pengalaman yang diterima, peneliti akan mampu untuk mendeskripsikan secara menyeluruh tentang bagaimana peran FPRB dalam menjalankan manajemen jaringan secara sistematik dan ideal serta relasinya dengan berbagai aktor yang kompeten dalam penanggulangan kebencanaan tersebut. Adapun alasan penggunaan studi kasus dalam penelitian ini dikarenakan oleh fokus penelitian yang terkonsentrasi pada peran dari FPRB itu sendiri dalam menjalankan manajemen jaringan. Berangkat dari fokus tersebut, jika dikaitkan dengan karakteristik studi kasus yang bersifat mengeksplorasi seluruh unit penelitian secara total dan mendalam serta tidak bersifat partial tentu memiliki sinergitas yang baik antara konsep yang telah dijelaskan dalam kerangka konsep dengan temuan data yang ada di lapangan.20
19
Stake, Robert. Ibid. Hal 313. Yin, Robert. (2011). Qualitative Research From Start To Finish. London: The Guilford Press. Hal 307. 20
26
Pemilihan studi kasus dalam penelitian ini juga didasarkan pada alur sistemik manajemen jaringan yang tertulis dalam penelitian ini. Dimana peneliti tidak akan bisa mendalami sebuah alur pengelolaan jaringan tanpa mendalami alur proses inisiasi jaringan yang terjadi sebelumnya.21 Setelah peneliti mendalami alur kegiatan manajemen jaringan tersebut, maka untuk tahap selanjutnya, peneliti bisa memahami kompleksitas pengelolaan jejaring yang dilakukan oleh FPRB tersebut namun tanpa melakukan komparasi antar pengelolaan jaringan dalam organisasi lain demi menjaga fokus penelitian. Studi kasus tentu memiliki kelemahan yang harus bisa diantisipasi oleh peneliti demi menjaga validitas dan objektifitas dari penelitian yang akan dilakukan. Adapun beberapa kelemahan yang dimiliki oleh studi kasus adalah dalam masalah bias objektifitas dan penggeneralisasian. Yang dimaksud dengan bias objektifitas dalam hal ini adalah, disaat peneliti memiliki kedekatan interpersonal dengan informannya sebagai salah satu sumber data yang dimiliki oleh peneliti kemungkinan terjadinya keberpihakan peneliti terhadap informannya sangat berpotensi untuk terjadi. Terlebih lagi dalam konteks ini FPRB adalah jaringan organisasi masyarakat yang bergerak di bidang kebencanaan diluar intervensi aktor Negara didalamnya, kemungkinan keberpihakan terhadap FPRB dan mendiskreditkan peran Negara sangat berpotensi tinggi untuk terjadi. Serta penjelasan kelemahan yang kedua mengenai penggeneralisasian adalah dalam hal validitas analisis serta intepretasi data yang hanya dilakukan oleh satu orang saja.
21
Stake, Robert. Op, Cit. Hal 300.
27
Tentu hal tersebut tidak akan bisa digeneralisasikan secara umum mengingat adanya pembatasan setting dan aktor yang diteliti. Untuk mengatasi kelemahan studi kasus seperti yang sudah dijelaskan diatas, dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan snowball sampling demi menjamin reliabilitas data dan representativeness. Dan dalam meminimalisir bias objektifitas, peneliti akan melakukan mekanisme cross check terhadap berbagai pihak yang kompeten dalam hal informasi, data serta pengalaman yang ada. Dan yang terakhir adalah demi menjaga objektifitas, dalam mengintepretasikan berbagai temuan data yang ada, peneliti akan dibantu oleh dosen pembimbing, diskusi dengan rekan sejawat yang concern terhadap topik penelitian ini serta informan selaku pihak yang memberikan berbagai data dan pengalaman tersebut. G.2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang akan dimaksimalkan dalam penelitian ini. Adapun temuan data bersangkutan dengan manajemen jaringan beserta dengan bentuk networking governance yang dipilih adalah data yang akan terus digali dari aktor yang berkecimpung dan kompeten dalam kegiatan kebencanaan terutama aktor dari FPRB. Adapun data sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berbagai temuan data yang berupa dokumen, jurnal serta berbagai informasi dan pengalaman yang didokumentasi oleh berbagai aktor.
28
G.3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua teknik, yaitu: 1. Wawancara, dalam kegiatan ini dijelaskan bahwa untuk memperoleh data yang selanjutnya akan dianalisa, adalah kegiatan bertanya dalam forum yang bersifat terbuka.22 Adapun alasan yang mengapa memilih untuk menggunakan wawancara adalah kegiatan ini bisa dilakukan dalam situasi informal maupun formal. Dengan keunggulan fleksibilitas tersebut, peneliti dapat dengan mudah memposisikan diri dengan informan yang berbeda-beda dan dalam kondisi yang berbeda-beda juga. Dalam pelaksanaannya, interview guide adalah instrumen yang dibutuhkan oleh peneliti demi menjaga pembicaraan dengan informan berada dalam topik dan fokus yang semestinya tanpa melebar pada topik yang tidak berkaitan. 2. Observasi, dalam kegiatan ini peneliti akan melihat interaksi yang terbangun dalam internal FPRB dalam menjalankan mekanisme koordinasi jaringan dalam kegiatan kebencanaan. Adapun nilai plus dari observasi ini tentu perolehan data yang akurat dan lengkap dikarenakan peneliti akan terjun langsung ke lapangan dan melihat sendiri berbagai dinamika yang terbangun disana.
22
Patton, Michael. (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods. California: Sage Publications. Hal 163.
29
H. Teknik Analisis Data Adapun langkah yang paling utama yang akan dilakukan oleh peneliti dalam menganalisis temuan data adalah dengan membuat sebuah transkrip wawancara yang sudah dilakukan sebelumnya oleh berbagai informan. Transkrip tersebut harus dibuat sesaat setelah wawancara dengan informan selesai dilakukan. Langkah selanjutnya adalah dengan mengelompokkan transkrip wawancara yang ada kedalam beberapa kelompok yang merepresentasikan sumber darimana asal data itu sendiri. Kemudian, perolehan data yang sudah dikelompokkan tersebut diambil, dianalisa, dan disesuaikan untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini. Langkah terakhir dari penelitian ini adalah dengan membuat kesimpulan dari berbagai temuan data yang ada. Kesimpulan yang dimaksud dalam hal ini adalah sebuah bentuk intepretasi singkat dari peneliti berdasarkan berbagai temuan data yang ada.
30