BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ini bertujuan untuk memahami penerapan prinsip-prinsip pergaulan menurut etika Jawa dengan perkembangan demokrasi deliberatif di ruang publik di Yogyakarta. Etika jawa yang dikaji dalam penelitian ini adalah konsep harmoni (kerukunan) dan hierarki (hormat). Penelitian ini berfokus pada kajian di ruang publik fisik sebagai wadah adanya demokrasi deliberatif pada suatu masyarakat. Ruang publik fisik yang menjadi lokus dalam penelitian ini adalah cafe, yang secara umum terbagi menjadi dua kategori, yaitu cafe tradisional dan modern. Indonesia yang kental dengan budaya kolektif tentunya banyak dijumpai ruang-ruang publik yang mendukung adanya interaksi yang kuat di masyarakat. Salah satunya yang paling sering dijumpai adalah cafe, baik tradisional maupun modern. Bentuk pergaulan antar individu Pelanggan cafe yang interaktif dikenal dengan sebutan nongkrong. Nongkrong di cafe, menikmati kopi dan jajanan, sembari jagongan1 adalah bentuk demokrasi deliberasi. Nongkrong sembari jagongan merupakan ruang publik intangible, sedangkan café adalah ruang publik secara tangible. Etika Jawa merupakan salah satu manifestasi dari budaya kolektif yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Etika Jawa dalam pola komunikasi di masyarakat menititikberatkan pada konsep kerukunan (harmoni) dan hormat (hierarki). Bentuk komunikasi yang kental dengan etika Jawa ini masih sangat terasa di Yogyakarta. Yogyakarta boleh dikatakan juga sebagai ibukota dari kebudayaan Jawa saat ini. Magnis-Suseno (1993) menyebutkan apabila dipertanyakan apa yang menjadi ciri khas kebudayaan Jawa, jawabannya dapat berbunyi, bahwa ciri khasnya terletak dalam 1
Jagongan merupakan istilah dalam bahasa jawa yang bermakna ngobrol dua arah yang lebih bersifat inklusif, dilakukan dengan cara santai tidak dalam kondisi tegang atau di bawah tekanan dan dilakukan berdasar azas kesetaraan. Topik obrolan bisa dari hal-hal ringan seperti bercanda atau halhal serius seperti politik.
2 kemampuan luar biasa kebudayaan Jawa untuk membiarkan dirinya dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar –dan dalam banjir itu mempertahankan keasliannya. Kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam pencernaan masukan-masukan kultural dari luar. Hinduisme dan Budhisme dirangkul, tetapi akhirnya “dijawakan”. Agama Islam masuk ke pulau Jawa, tetapi kebudayaan Jawa hanya semakin menemukan identitasnya. Menulis tentang Yogyakarta tidak akan pernah kehabisan cerita. Yogyakarta adalah mata air pengetahuan. Dilihat dari bermacam bingkai dan sudut pandang, Yogyakarta memang memiliki keunikan dan keistimewaan. Setiap sudut Yogyakarta, terdapat keunikan yang menarik untuk ditulis dan dipelajari. Yogyakarta ibarat magnet yang memiliki daya tarik kuat yang berbeda dengan kota-kota lain. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pendatang di Yogyakarta, mulai dari yang bertujuan wisata, studi, atau mencari nafkah. Banyaknya pendatang yang datang dari bermacam suku dan budaya bersinggungan langsung dengan penduduk asli Yogyakarta dengan karakteristiknya. Penduduk asli Yogyakarta dicitrakan sebagai orang yang halus, selo (memiliki waktu senggang), kurang gawean (kurang kerjaan/tidak sibuk), namun kritis ketika sudah diajak berdiskusi atau jagongan. Bermacam kekhasan ada di Yogyakarta, yang cukup mencolok adalah gaya hidup penduduknya, hal ini bisa dilihat dari keunikan budaya Nongkrongnya. Menurut peneliti, Nongkrong bukan hanya melepas lelah, kepenatan, galau, setelah seharian menjalankan aktivitas. Budaya Nongkrong di Yogya lebih dari sekedar itu, berdiskusi, seminar, dan sharing merupakan isi dari budaya Nongkrong di Yogya. Pembawaan yang selo dan kurang gawean diejawantah secara khafah oleh orang-orang Yogya di tempat-tempat tongkrongan, misalnya pada hari-hari tertentu juga mengadakan akustikan, pentas seni, dan aktivitas lain. Aktivitas semacam ini di beberapa tempat Nongkrong seperti café telah menjadi rutinitas dalam setiap minggu dan bergantian. Nongkrong adalah salah satu bentuk usaha berburu dan meramu potensi, berekspresi dan menghibur diri. Walaupun ada kultur tertentu atau orang-orang tertentu
3 yang beranggapan bahwa Nongkrong merupakan aktivitas yang tidak produktif dan membuang-buang waktu. Di Yogyakarta, anggapan tersebut tidak berlaku, budaya Nongkrong adalah aktivitas yang dinamis dan memiliki makna dan pesan tersendiri. Seiring dengan berjalannya waktu, budaya Nongkrong ini terus mengalami perubahan-perubahan sesuai kebutuhan dan gejolak jaman. Barangsiapa yang berkunjung ke Yogyakarta atau yang tinggal di Yogyakarta, jikalau tiada pernah menikmati Nongkrong di malam hari, bagi peneliti dirasa kurang afdhal. Walaupun di daerah lain ada budaya Nongkrong, tapi Nongkrong di Yogyakarta mempunyai cita rasa yang berbeda. Menikmati keindahan Yogyakarta, malam hari adalah waktunya. Di pojok-pojok kota, selalu ada keramaian. Tempat Nongkrong mudah ditemukan dan penuh pesan dan makna. Jogja tak pernah sepi, sampai larut malam sekalipun. Yogyakarta dapat dikatakan sebagai miniatur Indonesia dengan segala macam latar belakang pendatangnya yang menambah nilai heterogenitas penduduknya. Heterogenitas inilah yang membuat tempat Nongkrong menjadi sangat kaya variasi, menyediakan menumenu tertentu yang khas dari berbagai daerah di seantero Indonesia. Menu yang responsif anak Nongkrong tentu banyak dijumpai. Sebut saja kopi, sajian khas anak Nongkrong yang pertumbuhannya semakin tinggi. Tiap sudut hampir pasti menyajikan menu ini, kopi disajikan mulai dari kelas kaki lima hingga bintang lima, dengan kekhasan masing-masing dan cita rasa masing-masing. Kandungan kafein dalam kopi ditambah berdiskusi, bermusyawarah atau disebut jagongan ngalor-ngidul sudah tentu membuat betah Nongkrong dan tanpa tersadar larut dalam romansa Yogyakarta. Meski kini Yogyakarta tengah diguncang isu krisis identitas, “Jogja berhenti nyaman”, namun Yogyakarta tetaplah Yogyakarta, kota republik yang dinamis. Tak ada kesaklekan di Yogyakarta selain penetepan Gubernur dan Wakil Gubernur, semua bergerak dinamis, mulai dari gerakan mahasiswa sampai gerakan pemikiran. Budaya Nongkrong di Yogyakarta merupakan ladang pergolakan pemikiran yang tidak akan pernah berhenti.
4 Cafe telah menjadi fenomena menarik di sejumlah kota besar seperti Yogyakarta. Keberadaannya langsung pada sejenis gaya hidup eksklusif yang kemudian mewabah ke berbagai sudut kota, bahkan hingga ke kota-kota kecil. Bagi masyarakat modern, singgah di café sudah menjadi keharusan dan kebiasaan. Untuk sekedar bersantai atau mencari variasi hiburan ditengah rutinitas yang padat, duduk sebentar dan minum secangkir kopi menjadi kenikmatan tersendiri.Berbincang dengan relasi terasa lebih rileks dan hangat. Kini banyak orang kantoran yang memilih mengadakan meeting dengan relasi bisnis ditempat ini, karena tidak terlalu formal dan cukup representatif sehingga suasana keakraban akan lebih terasa jika dibanding dengan meeting dikantor. Keberadaan kafe di Yogyakarta tumbuh bagai jamur di musim hujan. Warung makan atau restoran yang menyediakan minuman kopi memang banyak, tetapi jelas bukan sekadar secangkir kopi yang dicari...2
Cafe memiliki pengertian yang sama dengan warung kopi. Meski fungsinya sama, yakni tempat di mana orang bisa minum (kopi) sambil bercakap-cakap, tetapi cafe berada dalam pemaknaan budaya yang berbeda. Cafe bisa saja dianggap sebagai warung kopi bagi mereka yang hidup dalam budaya urban perkotaan modern, karena itu pemaknaan kulturalnya berbeda dengan warung kopi dalam masyarakat tradisional. Dapat dikatakan, budaya Nongkrong di Yogya adalah sebuah media untuk memikirkan sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang banyak, layaknya kultur selo dalam berpikir yang sebenarnya adalah bentuk kontestasi kreasi di otak punggawa-punggawa Nongkrong. Nongkrong dan semua dinamikanya merupakan proses pergolakan yang akan terus ada. Jaman pasti berubah, budaya Nongkrong juga akan berubah, tapi semangat, pesan dan maknanya pasti ada. Yogyakarta tidak gagap terhadap perubahan, karena Yogyakarta adalah penggerak perubahan. Dari jagongan kecil sambil minum kopi misalnya, perubahan dapat terwujud. Pemikiran sak clekopan pun mampu menginisiasi lahirnya ideide baru yang nanti bertransformasi menjadi sebuah perubahan. Berdasarkan cerita di atas, perisitiwa Nongkrong dan jagongan di kota Yogyakarta tidak serta merta hadir tanpa prasyarat. Mereka lahir karena dua hal dasar, yakni adanya 2
http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2012/01/06/cafe-mengubah-kebiasaan-anak-muda-diyogyakarta-427837.html Diakses pada 09 Juli 2014 pukul 11:06 WIB
5 ruang dan isi. Ruang tersebut memiliki sebuah sumber daya yang ingin dijamah. Sumber daya seperti apa yang dijamah, bermacam-macam sebanyak macam tipikal penjamah. Penjamah adalah mereka orang-orang Nongkrong. Ruang-ruang yang melahirkan peristiwa Nongkrong adalah ruang yang bersifat umum, terbuka, dan terjangkau. Dalam ruang
perkotaan,
dikenal
konsep
ruang
publik. Sesuai
dengan
istilah
struktur yang
dipergunakan yaitu kata “publik”, ruang ini merupakan wadah bagi masyarakat untuk melaksanakan aktivitas yang sifatnya terbuka atau open access bagi semua lapisan masyarakat. Secara konseptual, ruang publik ini memiliki fungsi sebagai ranah yang memanusiakan masyarakat. Cafe atau coffee shop seperti yang peneliti datangi, masuk dalam ruang yang memiliki sifat terbuka atau open access bagi semua lapisan masyarakat. Maka dari itu peneliti menekankan bahwa Cafe atau coffee shop dipahami sebagai ruang publik. Berdarkan pengalaman peneliti, gejala kepublikan cukup kuat di cafe-cafe tersebut. Selain gejala kepublikan, proses demokrasi deliberasi juga muncul, yang paling nyata adalah melalui Nongkrong sambil jagongan. Nongkrong dengan jagongan di suatu cafe adalah bahasa sehari-hari masyarakat Yogyakarta dalam mengaktualisasi demokrasi deliberasi dalam ruang publik. Mengacu pada penelitian Widya Utami tahun 2005, Angkringan dan ruang publik, studi tentang makna angkringan oleh para mahasiswa, penelitian Ulya Niami J. Amson tahun 2010 yang meneliti mengenai dinamika angkringan sebagai public sphere di Yogyakarta, dan penelitian Bedhah Adityo Nugroho tahun 2013 mengenai pergeseran struktur ruang publik di Yogyakarta dari tradisional seperti Angkringan kemudian bergeser menjadi Warung Kopi hingga Ritel, peneliti tertarik untuk melanjutkan penelitian mengenai ruang publik berupa tempat Nongkrong yang di kota Yogyakarta ini mengingat Yogyakarta merupakan kota yang dipenuhi beragam pendatang khususnya anak muda. Peneliti termotivasi untuk menelusuri lebih jauh sebuah kekayaan, nilai-nilai kearifan lokal khas Yogya seperti apa yang masih dapat dijumpai di sebuah café yang notabene merupakan
6 tempat Nongkrong dengan segala modernitasnya. Peneliti ingin menelusuri terkait bagaimana cafe mewadahi demokrasi deliberasi di Yogyakarta. Berbeda dari penelitan sebelumnya yang sama-sama mengenai ruang publik, dalam penelitian ini ruang publik berupa café akan digunakan sebagai lokus, dengan demokrasi deliberasi sebagai kajian besarnya dengan mengkorelasikannya dengan kearifan lokal masyarakat Yogyakarta yakni etika jawa dalam hal pergaulan. Ruang publik berupa café peneliti maknai sebagai bentuk dari modernitas. Sedangkan demokrasi deliberatif peneliti maknai sebagai sebuah hal yang berharga dari adanya ruang publik. Demokrasi deliberatif adalah sebuah demokrasi yang sangat Indonesia, karena dalam bahasa Indonesia sendiri disebut musyawarah, dalam bahasa jawa disebut rembugan. Dari hal itu peneliti mencoba mengkorelasikannya dengan kekayaan intelektual lokal berupa etika Jawa. Mengapa etika Jawa, etika Jawa mampu memberikan jawaban dan gambaran terkait pola pergaulan masyarakat Jawa. Intisari pergaulan menurut etika Jawa dalam ruang publik ini adalah pokok bahasan dalam tulisan ini. Terkait dengan budaya Nongkrong dan jagongan kontemporer seperti yang dilakukan penduduk Yogyakarta di cafe-cafe, ada elemen dasar yang membangun pola pergaulan tersebut. Menurut Geertz (dalam Suseno, 1993), ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama, bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut, agar manusia dalam bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat kedudukannya. Prinsip pertama pergaulan ini disebut prinsip rukun, sedangkan yang kedua disebut prinsip hormat. Kedua prinsip tersebut di atas secara awam akan dianggap memiliki perbedaan yang kuat dan cenderung dianggap bertolak belakang satu sama lainnya. Prinsip kerukunan yang mengedepankan harmoni sedangkan prinsip hormat mengedepankan hierarki bukanlah dua hal yang bersifat parsial dalam bahasan etika Jawa. Kedua prinsip tersebut dalam etika jawa memiliki posisi yang amat penting dalam pergaulan masyarakat Jawa dan tidak dapat
7 dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa, bahkan merupakan sebuah elemen utama yang membangun pengelolaan pergaulan bermasyarakat. Dalam penelitian ini, konsep rukun dan hormat akan dikupas sebagai bentuk pemahaman kepada masyarakat bahwa keduanya merupakan sesuatu yang saling membangun, bukan sebagai sesuatu yang saling bertolak belakang. Rukun memiliki sifat horizontal, sedangkan hormat bersifat secara vertikal. Penelitian ini menjadi menarik karena melihat rukun dan hormat yang peneliti representasikan sebagai perlambang nilai-nilai klasik kearifan lokal Jawa, bermain dalam praktik demokrasi deliberatif pada arena berupa cafecafe yang merepresentasikan bentuk dari laju modernitas di Yogyakarta.
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah: bagaimana penerapan konsep harmoni dan hierarki pada interaksi anak nongkrong di ruang publik berupa café di Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan prinsip kerukunan dan prinsip hormat dalam etika Jawa di ruang publik, khusus interaksi antar individu di cafe. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk memberikan pemahaman lebih lanjut kepada pembaca tentang bagaimana hubungan prinsip-prinsip pergaulan menurut tradisi Jawa tersebut dengan perkembangan demokrasi deliberatif di ruang publik di Yogyakarta.
D. Kerangka Teori Dalam rangka menjelaskan bagaimana penerapan harmoni dan hierarki etika Jawa dengan praktik demokrasi deliberatif di ruang publik berupa cafe, penelitian ini akan dibantu oleh teori mengenai demokrasi deliberatif dan ruang publik serta teori etika Jawa yang akan
8 digunakan untuk menjawab rumusan masalah sekaligus menjadi framework teoritik dalam penelitian. Untuk menjelaskan mengenai keberadaan café sebagai ruang publik, khususnya dalam mewadahi perkembangan demokrasi deliberatif, maka konsep yang digunakan adalah konsep diskursus Habermasian. Konsep diskursus Habermasian menjadi teori utama, penelitian ini sebagian besar akan dibantu dengan teori ini. Menurut Hardiman (2009) Habermas mengarahkan perhatiannya kepada kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan sebuah praksis pencapaian konsensus dapat dilakukan secara bebas dan fair: Dia mengembangkan teori diskursusnya (Diskurstheorie). Terori diskursus Habermasian menekan keharusan praksis komunikasi yang sudah terdapat di dalam masyarakat modern dan berusaha meradikalkan praksis komunikasi tersebut. Masih menurut Budi Hardiman (2009), sebagai sebuah teori politik yang berpijak pada fakta pluraritas cara hidup dan orientasi nilai dalam masyarakat modern, teori diskursus dari Habermas ini sangat relevan untuk masyarakat Indonesia pasca-Suharto yang ingin mengedepankan hukum dan hak-hak asasi manusia dalam proses demokratisasi dan reformasi. Tesis induk konsep diskursus menurut Hardiman (2009) adalah: Teori diskursus bukanlah teori yang mendorong praksis revolusioner, melainkan sebuah teori yang memperjelas praktik-praktik negara hukum yang sudah ada dan mendorong pembukaan kanal-kanal komunikasi politis di dalamnya. Dalam konteks Indonesia kita dapat mengatakan bahwa teori diskursus akan membantu para politikus, para pejabat negara, birokrat, para aktivis hukum dan sosial dalam masyarakat sipil dan para warganegara sebagai keseluruhan memahami mekanisme demokratis sebuah negara hukum dari aspekaspeknya yang paling mendasar. Model demokrasi deliberatif yang dibangunnya dapat menawarkan sebuah paradigma bagi praktik-praktik hukum dan negara hukum pascaotoritarianisme rezim Orde Baru. Selanjutnya, guna menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip pergaulan khas Jawa yang dilakukan aktor-aktor demokrasi deliberatif di ruang publik di Yogyakarta, peneliti akan
9 dibantu dengan teori terkait masyarakat Jawa yakni Etika Jawa oleh Franz Magnis-Suseno. Dalam pemahaman teori etika Jawa dipaparkan kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa. Kaidah dasar ini menentukan pola pergaulan di dalam masyarakat Jawa. Di mana aktivitas Nongkrong di ruang publik seperti dalam penelitian ini merupakan suatu bentuk dari pergaulan. Menurut Magnis-Suseno (1993) kaidah dasar dalam pola pergaulan masyarakat Jawa ini ada dua. Kaidah pertama disebut dengan prinsip kerukunan, sedangkan kaidah kedua disebut dengan prinsip hormat. Kedua prinsip itu merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk kongkret semua interaksi. Guna mempermudah pemahaman dalam kerangka teori ini maka pertama-tama akan dipaparkan dengan komprehensif mengenai konsep diskursus yang di dalamnya dijelaskan mengenai ruang publik dan demokrasi deliberatif. Penjelasan mengenai ruang publik dan demokrasi deliberatif mendapat porsi besar. Pengkontrasan ruang publik dan demokrasi deliberatif dengan konteks Yogyakarta, akan dipaparkan dalam bagian etika Jawa.
D. Etika Jawa Dalam bagian ini akan dielaborasi lebih dalam mengenai pemahaman prinsip pergaulan menurut etika Jawa. Di mana pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci pointpoint penting yang membangun gagasan Franz Magnis-Suseno ini. Pertama-tama akan dipaparkan mengenai pemahaman etika Jawa dilanjutkan gagasan yang berkembang di dalamnya yaitu kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa yang di dalamnya memuat dua prinsip pergaulan yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Di mana kedua prinsip pergaulan tersebut menjadi gagasan yang relevan dalam penelitian ini guna melihat kekhasan pergaulan penduduk Yogyakarta yang notabene merupakan masyarakat Jawa yang masih mengusung kebudayaan Jawa. Menurut Franz Magnis-Suseno (1993), apabila dipertanyakan apa yang menjadi ciri khas kebudayaan Jawa, jawabannya dapat berbunyi, bahwa ciri khasnya terletak dalam
10 kemampuan luar biasa kebudayaan Jawa untuk membiarkan dirinya dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar –dan dalam banjir itu mempertahankan keasliannya. Kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam pencernaan masukan-masukan kultural dari luar. Hinduisme dan Budhisme dirangkul, tetapi akhirnya “dijawakan”. Agama Islam masuk ke pulau Jawa, tetapi kebudayaan Jawa hanya semakin menemukan identitasnya. Keterbukaan dan resistensi identitas masyarakat Jawa yang sudah mentradisi ratusan tahun ini kemudian menjadi benang merah penelurusan memahami setelan sikap dan nilai yang merupakan titik-acuan moral bagi masyarakat Jawa. Walaupun tentu tidak serta merta setelan ini dipastikan secara nyata masih menentukan pola kelakuan masyarakat. Kata “etika” dalam arti sebenarnya berarti “filsafat mengenai bidang moral”. Akan tetapi dalam pandangan yang lebih luas etika dimaknai sebagai “keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.”3 Pemahaman mengenai konsep etika ini kemudian berkembang ke arah yang lebih spesifik dalam kehidupan masyarakat Jawa. Sebagai titik tolak, mengambil anggapan Hildred Geertz yang dikutip oleh Franz Magnis-Suseno (1993), ada dua kaidah dasar yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama mengatakan, bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut, agar manusia dalam bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat kedudukannya. Kedua kaidah tersebut kemudian dipahami oleh Franz Magnis-Suseno dengan bahasanya sendiri sebagai prinsip. Kaidah pertama disebut dengan prinsip kerukunan, kaidah kedua sebagai prinsip hormat. Kedua prinsip tersebut adalah kerangka normatif yang 3
Magnis-Suseno, Franz. 1993. Etika Jawa…
11 menentukan bentuk-bentuk kongkret semua interaksi. Tuntutan dua prinsip itu selalu disadari oleh orang Jawa. Masyarakat mengharapkan agar kelakuan orang-orang senantiasa sesuai dengan dua prinsip itu. Selanjutnya akan dimulai dengan membahas prinsip kerukunan. D.1.1. Prinsip Rukun Prinsip kerukunan pada dasarnya menekankan kepada upaya untuk mencegah timbulnya konflik antar individu. Orang Jawa tidak suka untuk mencampuri urusan orang lain. Hal tersebut dihindari karena orang Jawa menganggap bahwa sejatinya kehidupan di dunia ini tengah berlangsung dengan tenang. Orang Jawa menganggap mencampuri urusan orang lain sebagai perbuatan yang gaduh dan sia-sia. Orang Jawa menganggap bahwa mencampuri urusan orang lain mudah menimbulkan emosi dan konflik. 4 Clifford Geertz (dalam Magnis-Suseno, 1993: 45) mengungkapkan bahwa “Suatu sarana ampuh untuk mencegah timbulnya konflik adalah tata krama Jawa yang mengatur semua bentuk interaksi langsung di luar lingkungan keluarga inti dan lingkungan temanteman akrab”. Tata krama tersebut menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi dan bentuk suatu pembicaraaan. Bahasa Jawa sendiri sangat cocok untuk menjaga tata krama: suatu pembicaraan di atanra orang-orang yang beradab harus dijalankan degan bentuk krama; namun bahasa krama tidak menyediakan kemungkingan untuk omong kasar, umtuk mengumpat, untuk memberi perintah secara langsung atau untuk menampakkan emosi. a. Rukun Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud saling membantu”.5
4 5
Magnis-Suseno 1993, 44. Mulder 1978, 39.
12 Keadaan rukun dapat terdapat di mana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, dalam keluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dalam setiap pengelompokkan tetap. Suasana seluruh masyarakat seharusnya bernapaskan semangat kerukunan. 6 Kata rukun juga merujuk pada cara bertindak.7 Berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubunganhubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik.
8
Rukun mengandung usaha terus
menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama lain dan untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan perselisihan dan keresahan. 9 Tuntutan kerukunan merupakan kaidah penata masyarakat yang menyeluruh. Segala apa yang dapat mengganggu keadaan rukun dan suasana keselarasan dalam masyarakat harus dicegah. Dalam pandangan Jawa masalahnya bukan penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada. Dalam perspektif Jawa ketenangan dan keselarasan sosial merupakan keadaan normal yang akan terdapat
dengan sendirinya selama tidak diganggu, seperti layaknya permukaan laut
dengan sendirinya halus kalau tidak diganggu oleh angin atau oleh badan-badan yang menentang arus. Rukun berarti menghindari pecahnya konflik-konflik. Oleh karena itu prinsip kerukunan sebaiknya tidak disebut prinsip keselarasan melainkan
dengan “prinsip
pencegahan konflik”.10 Kedua, prinsip kerukunan pertama-tama tidak menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan penjagaan keselarasan dalam pergaulan. Yang diatur adalah permukaan hubungan-hubungan sosial yang kentara. Hal-hal yang perlu dicega adalah konflik-konflik yang terbuka. 6
Ibid. Jay 1969, 66. 8 H. Geertz 1961, 146. 9 Wilner 1970, 258. 10 Willner 1970, 258. 7
13 b. Berlaku Rukun Suatu konflik biasanya pecah apabila kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan bertabrakan. Sebaca cara bertindak kerukunan menuntut agar individu bersedia
untuk
menomorduakan,
bahkan
kalau
perlu,
melepaskan,
kepentingan-
kepentingannya pribadi demi kesepakatan bersama.11 Mengusahakan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan persetujuan masyarakat, berusaha untuk maju sendiri tanpa mengikutsertakan kelompok dinilai kurang baik oleh masyarakat Jawa. Sama halnya dengan mengambil inisiatif sendiri, cenderung untuk tidak disenangi. Suatu inisiatif dianggap seakan-akan membuka ranah baru atau mengubah sesuatu pada keseimbangan sosial yang sudah tercapai. Inisiatif-inisiatif dengan mudah dapat melanggar kepentingan kepentingan yang sudah tertanam dan sudah diintegrasikan secara sosial, dan oleh karena itu dapat menimbulkan suatu konflik. Individu seharusnya selalu bertingak bersama dengan kelompok. Mengambil posisi-posisi yang terlalu maju, pun pula demi tujuan-tujuan yang akhirnya akan menguntungkan bagi seluruh kelompok dianggap tidak pantas.12 Apabila telah ada kepentignan-kepentingan yang saling bertentangan maka diperlunak dengan teknik-teknik kompromi tradisional dan diintegrasikan ke dalam tatanan kelompok yang ada sehingga tidak sampai timbul konflik. Ambisi-ambisi pribadi jangan diperlihatkan.13 Akan tetapi bahaya yang sebenarnya bagi kerukunan dalam masyarakat tidak terletak dalam kepentingan-kepentingan obyektif yang bertentangan itu sendiri. Antara kebanyakan kepentingan yang bertentangan dapat tercapai suatu kompromi. Masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-norma kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik atau sekurang-kurangnya dapat mencegah jangan sampai emosi-emosi itu pecah secara terbuka. Norma-notma itu berlaku dalam semua lingkup hidup masyarakat kecuali dalam lingkungan keluarga inti di mana kekuatan simpati spontan (tresna) biasanya mencegah terjadinya emosi-emosi agresif atau sekurang11
Selosoemardjan, 393 Mulder 1975, 118. 13 Mulder 1973, 26. 12
14 kurangnya dapat membatasinya.14 Norma-norma tersebut dapat dirangkum dalam tuntutan untuk selalu mawas diri dan menguasai emosi-emosi. Masyarakat Jawa selalu berupaya untuk tampil tenang dan tidak menunjukkan rasa kaget atau gugup. Masyarakat Jawa selalu berlaku sedemikian rupa sehingga orang lain tidak sampai merasa kaget atau bingung. Bagi orang Jawa dewasa, diharapkan agar dalam berbicara, dalam segala tindak-tanduk perilakunya dapat diperhatikan oleh orang lain dan ia diharuskan untuk selalu berlaku sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pertentangan ataupun kontroversi. Dalam berbicara, seorang masyarakat Jawa yang telah dewasa diharapkan mampu berbicara dengan suara yang tenang, tanpa emosi, sehingga lawan bicara tidak hanya dapat menjawab dengan „ya‟ atau „tidak‟ dan oleh karena itu barangkali merasa terpaksa harus mengambil sikap konfrontatiff. Suatu pertanyaan dibuka dengan rumus seperti “saya rasa” atau “barangkali”.15 Membuka perasaan hati begitu saja dinilai negatif oleh masyarakat Jawa. Berlaku secara mendadak dan spontan dianggap sebagai tanda kekurangdewasaan. Lebih baik tidak berbuat apa-apa daripada menimbulkan suasana yang tidak tenang. Demi tujuan apa pun usaha-usaha yang berlebihan tidak disukai.16 Reaksi-reaksi yang memperlihatkan kekacauan batin atau kekurangan kontrol diri bagi orang Jawa terasa tidak enak.17 Orang Jawa menghadapi situasi di mana kepentingan-kepentingan yang berlawanan saling berhadapan dengan kehati-hatian. Orang jawa tidak akan langsung menolak suatu permintaan atau penawaran. Orang Jawa akan mengucapkan inggih yang berarti iya meskipun dalam keadaan menolak. Kata penolakan seperti mboten yang berarti tidak, tidak akan langsung diucapkan dalam penolakan. Orang Jawa sangat menghargai kemampuan untuk memperkatakan hal-hal tidak enak secara tidak langsung. Membungkus dan mempersiapkan berita yang tidak disenangi
14
Suseno 1993, 41. Ibid 16 Mulder 1975, 118. 17 C. Geertz 1969, 244. 15
15 merupakan kemampuan yang sebaiknya dimiliki oleh orang-orang Jawa. Satu pembicaraan beradab sering nampak iseng-iseng saja sebelum muncul sesuatu yang berarti. Orang Jawa menanamkan sikap ini untuk saling menjajagi dan mempersiapkan diri secara emosial ketika tengah berkomunikasi. Apabila akhirnya pembicaraan sudah sampai pada masalah yang sebenarnya, maka tidak ada bahaya besar lagi bahwa akan timbul reaksi-reaksi emosional.18 Clifford Geertz pun mengatakan bahwa “Kekasaran bukanlah watak yang terpuji, dan ketika orang tiba kepada maksud yang sesungguhnya, dalam suatu model percakapan priyayi yang baik, setiap orang harus sudah menyadari apa yang hendak dikatakan oleh seseorang. Sering kali orang tidak perlu mengutarakan maksud pembicaraan yang sebenarnya –- suatu hal yang sangat melegakan bagi semua orang.”19 Selain kemampuan komunikasi secara implisit seperti di atas, orang Jawa juga memiliki kemampuan untuk menghindari kekecawaan dengan kebiasaan berpura-pura.20 Orang Jawa berbicara tentang ethok-ethok (pura-pura). Kemampuan untuk ber-ethok-ethok merupakan suatu seni yang tinggi dan dinilai positif. Ethok-ethok berarti bahwa di luar lingkungan keluarga inti orang tidak akan memperlihatkan perasaan-perasaannya yang sebenarnya. Interaksi Ethok-ethok mudah ditemukan apabila terkait dengan perasaan-perasaan negatif. Orang Jawa yang diliputi kesedihan yang mendalam akan berusaha untuk tetap tersenyum. Apabila orang Jawa bertemu dengan orang yang dia benci, mereka tetap nampak gembira, dan banyak orang jawa menjadi juara dalam seni itu. Cliffor Geertz menyebut
bahwa
“...
Pada
umumnya
seorang
Jawa
yang
sopan
menghindari
keterusterangan yang serampangan”.21 Ethok-Ethok tidak melulu berlaku untuk perasaan
18
Magnis-Suseno 1993, 43. C. Geertz 1981, 329 20 C. Geeertz 1969, 245-247 21 C. Geertz 1981, 331 19
16 negatif. Perasaan-perasaan positif yang kuat berusaha ditutupi kecuali dalam lingkungan yang sangat akrab.22 Upaya menjaga kerukunan juga ditemukan melalui praktek gotong-royong. Menurut Koentjaraningrat, ada tiga nilai yang disadari orang desa dalam melakukan gotong royong: pertama: “orang itu harus sadar bahwa dalam hidupnya pada hakikatnya ia selalu tergantung pada sesamanya, maka dari itulah ia harus selalu berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya; kedua, orang itu harus selalu bersedia membantu sesamanya; ketiga orang itu harus bersifat konform, artinya orang harus selalu ingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha untuk menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakatnya.” 23
D.1.2. Prinsip Hormat Kaidah kedua yang memainkan perananan besar dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa adalah prinsip hormat. Prinsip itu mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya. Menurut Willner (1970), apabila dua orang bertemu, terutama dua orang Jawa, bahasa, pembawaan dan sikap mereka mesti mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan sosial yang tersusun dengan terperinci dan cita rasa. Mengikuti aturan-aturan tatakrama yang sesuai, dengan mengambil skap hormat atau kebapaan yang tepat adalah amat penting. Prinsip hormat berdasarkan pendapat, bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis, bahwa keteraturan hierarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertaa=hankannya dan membawa diri sesuai dengannya.24 Pandangan itu sendiri berdasarkan cita-cita tentang suatu masyarakat yang teratur baik , di mana setiap orang mengenal tempat dan tugasnya dan dengan demikian 22
Magnis-Suseno 1993, 43 Koentjaraningrat 1969, 35. 24 H. Geertz 1961, 147. 23
17 turut menjaga agar seluruh masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kesatuan itu hendaknya diakui oleh semua dengan membawa diri sesuai dengan tuntutan-tuntutan tatakrama sosial. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus diberi hormat. Sedangkan sikap yang tepat terhadap mereka yang berkedudukan lebih rendah adalah sikap kebapaan atau keibuan dan rasa tanggung jawab. Kalau setiap orang menerima kedudukannya maka tatanan sosial terjamin. Dalam budaya jawa hal ini dikenal dengan istilah ngrumangsani (tahu diri). Maka dari itu hendaknya kita senantiasa untuk tidak mengembangkan ambisi-ambisi, tidak bersaing satu sama lain, melainkan hendaknya setiap orang harus puas dengan kedudukan yang telah diperolehnya dan berusaha untuk tetap menjalankan tugasnya masing-masing dengan sebaik-baiknya: “Ambisi, persaingan, kelakuan kurang sopan, dan keinginan untuk mencapai keuntungan material pribadi dan kekuasaan merupakan sumber dari segala perpecahan, ketidakselarasan dan kontradiksi yang seharusnya dicegah dan ditindas.”25 Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kehidupan orang Jawa. Dalam bahasa Jawa tidak ada kemungkinan untuk menyapa sesesorang dan bercakap-cakap dengannya tanpa sekaligus memperlihatkan bagaimana kita menaksirkan kedudukan sosial kita dibandingkan dengan dia. Sebagaimana telah diterangkan dalam hubungan dengan prinsip kerukunan, orang Jawa dalam menyapa orang lain mempergunakan istilah-istilah dari bahasa keluarga. Istilah-istilah itu memiliki keistimewaan bahwa di dalamnya hampir selalu terungkap segi senior-junior. Adalah tidak mungkin untuk bicara dalam bahasa Jawa tanpa mengacu pada tinggirendahnya kedudukan lawan bicara terhadap kedudukan pembicara. Dalam gradasigradasinya yang sulit dan formal yang begitu banyak, pilihan kata-kata yang mencerminkan kedudukan, keakraban atau hubungan resmi, umur, jarak sosial dan pangkat, sekaligus dengan segala nuansa harapan satu sama lain, kewajiban dan hak-hak. Pilihan kata-kata
25
Mulder 1978, 41.
18 dan bahasa mengungkapkan tatanan yang ada.26 Bahasa Jawa sendiri terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan gramatika. Pertama, bahasa krama, mengungkapkan
sikap
hormat,
sedangkan
yang
satunya
adalah
ngoko
yang
mengungkapkan keakraban. Kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat dikembangkan pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga. Sebagaimana diuraikan Hildred Geertz pendidikan itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oelh anak Jawa dalam situasi-situasi yang menuntut sikap hormat, yaitu wedi, isin, dan sungkan. Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut terhadap akibat kurang enak suatu tindakan. Pertama-tama anak belajar untuk merasa wedi terhadap orang yang harus dihormati. Anak dipuji apabila bersikap wedi terhadap orang yang lebih tua dan terhadap orang asing. Bentuk-bentuk pertama kelakuan halus dan sopan dididik pada anak dengan menyindir pada segala macam bahaya mengerikan dari pihak-pihak asing dan kekuatan-kekuatan di luar keluarga yang akan mengancamnya.27 Setelah itu mulailah dikenalkan dengan pendidikan untuk merasa isin. Isin berarti malu, juga dalam arti malu-malu, merasa bersalah, dan sebagainya. Belajar untuk merasa malu (ngerti isin) adalah langkah pertama ke arah kepribadian Jawa yang matang. Sebaliknya penilaian ora ngerti isin, ia tidak tahu malu, merupakan suatu kritik yang amat tajam. Rasa isin dikembangkan pada anak dengan membuat di malu di hadapan tetangga, tamu, dan sebagainya, apabila ia melakukan sesuatu yang pantas ditegur. Sebagai akibat maka anak-anak sering kelihatan amat malu-malu kalau ada tamu, seakan-akan mereka dibanjiri oleh suatu perasaan malu total, sehingga mereka sama sekali tidak bisa disapa, bahkan oleh ibu mereka sendiri.28 Isin dan sikap hormat merupakan suatu kesatuan. Orang Jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati. 26
Ibid, 40. H. Geertz 1961, 114. 28 H. Geertz 1961, 113. 27
19 Perasaan isin dapat muncul dalam semua situasi sosial. Satu-satunya kekecualian adalah lingkaran keluarga inti (di mana ayah belum entu termasuk), di mana terdapat suasana akrab (tresna) dan orang tidak merasa isin satu terhadap lain.29 Tata krama kesopanan yang ketat membantu untuk mencapai bentuk-bentuk pergaulan yang lebih santai, karena aturan-aturan itu menjamin bahwa kata-kata dan pembawaan kita cocok dan oleh karena itu kita tidak perlu merasa isin. Barangkali itulah sebabnya mengapa orang Jawa biasanya tidak kelihatan terganggu dengan adanya segala macam aturan sopan-santun, melainkan bahkan nampak lebih santai dalam kerangka itu. Kiranya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ketakutan terhadap rasa isin merupakan salah satu motivasi terkuat bagi orang Jawa untuk menyesuaikan kelakuannya dengan norma-norma masyarakat.30 Apabila telah memahami apa itu wedi dan isin maka seorang Jawa kemudian akan belajar merasa sungkan. Sungkan merupakan suatu perasaan yang dekat dengan isin, tetapi berbeda dengan cara seseorang untuk merasa malu terhadapa orang asing. Sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif. Berbeda dengan rasa isini, perasaan sungkani bukanlah suatu rasa yang hendaknya dicegah. Hildred Geertz (1961) menggambarkan sungkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal, sebagai pengekangan halus terhadap kepribadian sendriri demi hormat terhadap orang lain. Sungkan adalah rasa malu positif yang dirasakan berhadapan dengan atasaan. Wedi, Isin, dan Sungkan, merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutantuntutan prinsip hormat, sedangkan kelakuan yang kurang hormat menimbulkan rasa tak enak. Pembatinan perasaan-perasaan itu adalah tanda kepribadian yang matang. Mengerti isin, sungkan, rukun, dan mengerti kapan dan bagaimana perasaan-perasaan itu cocok
29 30
Ibid Franz-Magnis Suseno, Etika Jawa, 1993, 64-65.
20 berarti bahwa orang telah mencapai cita-cita lebih umum untuk menjadi orang Jawa: tahu bagaimana membawa diri, sehat, dan matang, pendek kata, menjadi Jawa sepenuhnya. 31 Sikap hormat dan sika-sikap yang berhubungan dengannya berkembang dengan paling jelas dalam kalangan masyarakat di mana hidup sehari-hari sangat dipengaruhi oleh struktur-struktur hierarkis, yaitu dalam kalangan priyayi yang secara tradisional berpedoman pada kraton32. Sedangkan dalam lingkungan masyarakat desa dengan struktur dasar masyarakat yang lebih egaliter, maka sikap-sikap itu tidak memainkan peranan yang begitu besar, seperti halnya yang tercermin dari kelas-kelas masyarakat yang melakukan pekerjaan kasar. Pada masa ini, mentalitas yang didasari atas pembatinan sikap-sikap hormat nampak dalam kalangan pegawai, pejabat, militer, atau pada umumnya oleh kalangan menengah terdidik. Kelompok-kelompok ini kemudian yang diidentikan dengan sebutan priyayi-priyayi modern. D.2. Kelompok Anak nongkrong sejatinya adalah sekumpulan individu yang berkumpul menjadi suatu kelompok, terlepas dari di ruang mana mereka berkumpul. Kelompok didefinisikan sebagai dua orang atau lebih yang saling berinteraksi, memiliki tujuan-tujuan yang sama, memiliki hubungan yang stabil, dan dalam hal-hal tertentu saling-tergantung satu sama lain, dan memiliki persepsi bahwa mereka adalah bagian dari kelompok yang sama (Paulus, 1989 dalam Baron & Byrne, 2002). Definisi menunjukkan bahwa individu-individu sebagai bagian sebuah kelompok harus saling berinteraksi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada hal-hal tertentu setiap individu dalam kelompok dapat saling bergantung, apa yang terjadi pada salah seorang pasti mempengaruhi apa yang terjadi pada yang lainnya. Hubungan antar individu pun harus relatif stabil, sehingga kelompok cenderung bertahan selama kurun waktu yang cukup lama. Individu-individu yang terlibat harus memiliki beberapa tujuan yang sama untuk dicapai. Interaksi mereka harus terstruktur sedemikian 31 32
H. Geertz 1961, 152. Sutherland 1973
21 rupa sehingga tiap kali bertemu, masing-masing anggota melakukan fungsi-fungsi yang serupa. Selain itu, orang-orang yang terlibat dalam kelompok harus menyadari bahwa mereka menjadi bagian dari satu kelompok. . D.2.1. Pembentukan Kelompok Suatu kelompok terbentuk dari sekumpulan orang yang memiliki tujuan bersama. Pada dasarnya orang-orang bergabung dengan pelbagai kelompok sosial karena beberapa alasan yang berbeda. Baron & Byrne (2002) menyebutkan, ada beberapa alasan seseorang hendak bergabung dalam suatu kelompok, antara lain: Kelompok membantu dalam memuaskan beberapa kebutuhan psikologis maupun kebutuhan sosial penting, seperti kebutuhan untuk memberi dan menerima perhatian, kebutuhan untuk memberi dan menerima afeksi, atau kebutuhan untuk mendapatkan rasa memiliki. Kelompok juga membantu mencapai tujuan-tujuan yang tidak dapat dicapai secara individual. Keanggotaan di kelompok seringkali memberikan pengetahuan dan informasi yang tidak akan didapat tidak menjadi anggotanya. Kelompok membantu memenuhi kebutuhan kita akan rasa aman. Keanggotaan kelompok juga membantu pembentukan identitas sosial yang positif.
D.2.2. Aspek-aspek dalam Kelompok Suatu kelompok yang kaya akan interaksi sosial, tentu tak bisa dipisahkan dari isu saling mempengaruhi antar anggotanya. Baron & Byrne (2002) menyebutkan terdapat empat aspek di dalam kelompok yang menjadi kunci terkait dengan isu pengaruh antar anggota, yaitu: peran, status, norma, dan kohesivitas. Peran berkaitan dengan sejumlah perilaku yang diharapkan dilakukan oleh orangorang yang menduduki posisi tertentu di kelompok. Adanya peran memungkinkan munculnya deferensiasi fungsi didalam kelompok. Sebagai contoh dalam suatu kelompok
22 belajar siswa sekolah, terdapat anggota yang dominan sehingga berperan layaknya pemimpin, ada yang berperan sebagai pencatat seperti sekretari, ada yang sebagai pemikir, ada pula yang hanya sebagai pengikut. Setiap peran dalam kelompok umumnya akan saling isi guna mencapai agenda kelompok tersebut. Peran membantu mengklarifikasikan tanggung jawab dan kewajiban orang-orang yang menjadi bagian kelompok. Status mengacu pada posisi atau jenjang sosial di dalam kelompok. Status berkaitan erat dengan evaluasi diri, sejauhmana derajat komparasi pribadi dengan anggota kelompok lain. Status memang memainkan peran penting di dalam persepsi, tentang apakah seseorang diperlakukan secara adil oleh orang lain. Seperti misalnya orang yang memiliki status sosial-ekonomi tinggi dalam kelompok, cenderung akan meminta diperlalukan secara lebih baik dibanding dengan yang lain. Norma adalah aturan di dalam kelompok yang menunjukkan bagaimana anggotanya seharusnya (atau seharusnya tidak) berperilaku. Norma mengacu pada aturan, eksplisit atau implisit, yang ditetapkan oleh kelompok untuk mengatur perilaku anggotanya. Norma memberitahukan tentang cara untuk berperilaku (norma preskriptif) atau untuk tidak berperilaku (norma proskriptif) di dalam pelbagai situasi. Norma kelompok yang disepakati bersama oleh kelompok, secara tidak langsung dibentuk melalui norma-norma yang melekat di individu. Faktor budaya berperan penting dalam pembentukan norma ini. Kohesivitas merupakan lem perekat dalam kelompok, yakni semua kekuatan (faktor) yang menyebabkan anggota kelompok tetap bertahan di dalam kelompok. Salah satu yang paling penting adalah faktor rasa saling menyukai dan keinginan untuk menaikkan status dengan menjadi anggota kelompok berstatus tinggi. Kohesivitas melibatkan depersonalized attraction, yaitu rasa suka terhadap anggota-anggota lain yang disebabkan oleh kenyataan karena mereka menjadi bagian kelompok yang sama dan mewakili fitur-fitur kuncinya. Beberapa aspek kelompok ini, peran, status, norma, dan kohesivitas, menentukan sejauh mana kelompok dapat, dan benar-benar, mempengaruhi anggotanya. Faktor-faktor
23 ini memainkan peran penting di dalam pengaruh kelompok. Keempat aspek inilah yang menjadi fondasi dalam pembahasan dinamika kelompok anak nongkrong di cafe.
E. Metode Penelitian E.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu studi kasus. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lainlain, yang dipaparkan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2006). Metode kualitatif biasa digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang sedikit baru diketahui dan memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif (Strauss & Corbin, 2003). Pendekatan kualitatif menjadi relevan digunakan dalam penelitian ini karena mampu menjadi instrumen analisis yang tajam, akurat, dan mendetail dalam menjelaskan praktikpraktik demokrasi deliberasi dalam ruang publik berupa warung kopi yang selama ini sulit untuk dilacak value serta keterkaitakannya dengan bahasa politik, sehingga membutuhkan awareness yang cukup kuat. Terlebih lagi metode penelitian kualitatif tidak semata-mata hanya melihat pada realitas persoalan dari permukaan, melainkan lebih tajam dan mendalam karena mengikutsertakan peneliti menjadi bagian dari realitas tersebut dalam melihat bagaimana demokrasi deliberatif yang terjadi di warung kopi yang notabene merupakan sebuah ruang publik. Dengan demikian metode ini diharapkan mampu mengelaborasi lebih jauh dan dalam terkait praktik demokrasi deliberatif di ruang publik berupa warung kopi di Yogyakarta. Jenis metode penelitian kualitatif menjadi ini menjadi semakin relevan digunakan karena didasari dengan kemampuan metode peneletian kualitatif mampu memberikan
24 penjelasan terhadap suatu peristiwan secara deskriptif dan holistik. Menurut Bognan dan Taylor (dalam Moloeng, 1994), metode penelitian kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa rangkaian kata-kata tertulis atau lisan dari pelaku yang diamati. Dengan data kualitatif kita dapat mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis menilai sebab-akibat lingkup pikiran orang-orang setempat dan memperkuat penjelasan yang bermanfaat. Dalam penelitian kualitatif, ketika menilik analisis datanya, data yang ditampilkan berupa kata dan bukan deretan angka. Data kualitatif merupakan sumber deskripsi yang luas, holistik, dan berlandaskan kokoh, serta memuat serangkaian proses yang terjadi dalam suatu lokus setempat. Dengan data kualitatif kita dapat mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat orang yang berada dalam lingkup tersebut. Sehingga dalam analisis tersebut, penemuan dari penelitia kualitatif berkualifikasi “tidak dapat disanggah”. Serangkaian kata-kata apabila dirangkai atau disusun dalam bentuk cerita atau peristiwa memiliki kesan yang lebih hidup, nyata, memberi makna, serta lebih meyakinkan pembaca, peneliti, pembuat kebijakan, praktisi, dan pihak-pihak yang bersangkutan dengan hasil penelitian (Yin, 2003) Desain penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini mengacu pada studi kasus (case study). Seperti yang dikatakan oleh Yin bahwa studi kasus merupakan sebuah cerita yang mengandung unsur unik, spesial, dan menarik. Cerita terkait dengan kasus ini berada pada fokus individu, organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi atau kejadian di sekitar (Yin, 2003). Dalam penelitian ini studi kasus bekerja untuk menjawab pertanyaan penelitian dalam rumusan masalah penelitian hendak mengeksplorasi dengan mengajukan pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana”33. Pada penerapannya, metode penelitian studi kasus ini menjadi pisau analisis peneliti guna mengetahui mengapa café dapat berkembang wadah demokrasi deliberatif sekaligus ruang publik modern di Yogyakarta, bagaimana proses
33
Martyn Denscombe, (2007), The Good Research Guide (for small-scale social research project). New York: McGraw Hill-Open university Press. Hal 38.
25 demokrasi deliberatif dalamnya itu berlangsung, dan sebagai instrumen untuk menjawab pertanyaan bagaimana nilai-nilai tradisional berupa prinsip pergaulan etika jawa diterapkan dalam praktik demokrasi deliberatif di ruang publik modern tersebut. Penelitian ini menjadi penting karena peneliti melihat peristiwa kontemporer berupa ramainya café-café di yogyakarta sebagai tempat aktualisasi pergaulan masa kini kemudian membenturkannya dengan nilai-nilai berakar tradisi berupa etika jawa sebagai fokus penelitiannya yang membutuhkan eksplorasi yang mendalam dan komprehensif. Pendekatan studi kasus membatasi kasus yang diteliti, khususnya dari segi periodisasi waktu, individu dan lokus penelitian. Sehingga peneliti dapat menemukan data yang akurat berdasar dengan individu yang menjadi responden, lokus penelitian dan waktu yang ditentukan. Studi kasus berupaya untuk menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, proses, atau kasus-kasus yang dibatasi oleh waktu dan aktivitas dengan cara mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data (Creswell, 2010). Maka dari itu, metode ini sangat membantu peneliti yang berupaya mengkaji demokrasi deliberatif secara lebih spesifik pada kasus tertentu dalam hal ini orang-orang Nongkrong khususnya pada malam hari di beberapa titik ruang publik berupa cafe di kota Yogyakarta dan sekitarnya. Hal tersebut sekaligus menjadi boundaries atau batasan yang digunakan oleh peneliti dalam menggunakan pendekatan studi kasus dalam melakukan penelitian supaya lebih terfokus dengan lokus yang jelas dan tidak melebar dari rumusan masalah tulisan ini yang berusaha dijawab. Alasan-alasan tersebut di atas diperkuat dengan keyakinan peneliti akan peristiwa yang diteliti sebagai suatu yang orisinil, menarik, bernilai, tidak disadari namun ada di sekitar kita, dan tentu belum banyak dikaji oleh peneliti terlebih dalam bidang politik dan pemerintahan terhadap hal ini, khususnya hal paling berharga dari penelitian ini pembenturan nilai-nilai tradisi Jawa pada ruang publik modern di Yogyakarta yang notabene kota pengadopsi budaya Jawa paling kental saat ini yang diakui dan dilindungi hukum. Maka dari kekhasan penelitian ini, studi kasus menjadi senjata yang bekerja opitmal untuk melihat, mengkerangkai, dan memberi konstruksi berpikir terkait dengan “penerapan prinsip
26 pergaulan etika Jawa dalam praktik demokrasi pada ruang publik di Yogyakarta” tersebut dari kacamata politik dan pemerintahan.
E.2 Teknik Pengumpulan Data Terdapat dua teknik dalam pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini. Pertama, dengan cara mencari sumber data primer melalui interview dan observasi lapangan. Wawancara dilakukan dengan aktor-aktor berbeda. Kedua, dengan cara mencari sumber data sekunder melalui pengumpulan literatur atau referensi yang sesuai dengan penelitian seperti studi-studi mengenai demokrasi deliberatif yang sudah dilakukan penelitipeneliti sebelumnya, juga melalui tulisan tulisan di internet dan media massa. Data sekunder ini berfungsi untuk memperkaya dan memperkuat konsep serta data yang diperoleh dari data primer. Maka dari itu keduanya bersifat saling melengkapi dan komprehensif dalam usaha membangun argumentasi peneltian. Menimbang alasan-alasan tersebut di atas, maka langkah operasional ditempuh dalam menjawab penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Membuat batasan atau boundaries terhadap lokus, aktor (narasumber), waktu yang dijadikan sebagai kajian penelitian. Waktu penelitian secara intensif dilaksanakan selama satu semester atau 6 bulan (April 2014-Februari 2015), bertempat di beberapa titik ruang publik berupa tempat Nongkrong berupa cafe tradisional seperti angkringan, warung kopi, dan warung burjo. Sedangkan untuk cafe modern seperti dengan menu utama minuman kopi, yakni, Legend Café, Momento, dan It‟s Coffee dengan melakukan pengamatan dan wawancara. Tempat-tempat tersebut dipilih karena memiliki lokasi yang strategis dengan Pelanggan yang beragam. Individu yang menjadi subjek penelitian adalah Pelanggan yang biasa Nongkrong di tempat-tempat tersebut. Selanjutnya juga melibatkan pengelola atau karyawan dari tempat-tempat tersebut. Penelitian dilakukan dengan wawancara secara mendalam terhadap subjek penelitian telah ditentukan di atas pukul 18.00 WIB hingga 01.00 WIB. Pada jam-jam tersebut
27 merupakan jam ramai Nongkrong. Terkecuali wawancara dengan penggemar kopi maupun pakar terkait isu penelitian yang disesuaikan dengan perjanjian yang disepakati. 2. Peneliti juga melakukan observasi langsung dan obervasi partisipan terhadap ruang publik yang telah ditentukan di atas. Observasi tersebut difokuskan lebih pada mengamti simbol-simbol yang merepresentasikan dengan nilai-nilai tradisi, gaya hidup masyarakat, trend yang berkembang, diskursus yang dimunculkan, bahasa yang digunakan, nuansa yang diciptakan, dan lain-lain. Observasi dilakukan dengan cara masuk dalam obrolan suatu kelompok Nongkrong tersebut sambil mencatat poin-poin pembicaraan yang substantif dari mereka. 3. Selain observasi dan wawancara, pengumpulan data juga dilakukan dengan menghimpun dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini, seperti buku, jurnal, artikel, foto, dan video. Dalam proses penelitian, guna mempermudah memperoleh data wawancara, maka dibuat panduan pernyataan yang akan ditanyakan kepada narasumber. Panduan pertanyaan tersbut mengacu pada rumusan masalah dan tujuan penelitian yang kemudian dieksplorasi turunan-turunannya.
E.3 Teknik Analisis Data Proses selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap data yang didapat dari lapangan berupa ruang publik seperti disebutkan sebelumnya. Pada bagian ini, sebenarnya bukan merupakan proses yang bersifat lanjutan karena dalam pengumpulan data pun sebernarnya telah terjadi prose analisis. Menurut Mustika Zed (2004), bahwa sejak pengumpulan data itu pula, maka akan dimulai pula proses mencari arti persitiwa, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin terjadi dalam suatu lokus, alur sebab-akibat, dan preposisi. Apabila proses pengumpulan data telah terpenuhi, langkah penting yang dilakukan selanjutnya adalah melakukan reduksi data. Dalam proses ini peneliti melakukan proses
28 klarifikasi, kategorisasi, serta mempertajam data disesuaikan dengan landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini data disaring mana yang layak dipergunakan mana yang tidak layak dipergunakan, disesuaikan degan kebutuhan penelitian dan kerangka berpikir yang dibangun dalam tulisan. Proses ini merupakan langkah untuk menghasilkan sebuah kesimpulan yang tajam, dapat diverifikasi dan dipertanggungjawabkan. Dalam melakukan analisis data teknik yang digunakan ialah melalui lima tahapan seperti
yang
dipaparkan
oleh
Cresswell
(2010:277).
Pertama,
mengumpulkan,
mempersiapkan, dan mengolah data-data mulai dari data primer hingga data sekunder sehingga menjadi terintegrasi dengan baik. Kedua,peneliti akan membaca dengan cermat data-data yang sudah diperoleh kemudian menangkap ide-ide yang tersirat maupun tersurat dalam setiap temuan-temuan yang ada kemudian diklasifikasikan sesuai gagasan-gagasan yang ada supaya lebih terfokus. Ketiga, peneliti mengklasifikasikan data-data penelitian yang ada sesuai dengan topik yang diangkat guna menjawab rumusan masakah dari penelitian ini. Keempat, menerapkan proses coding untuk membuat deskripsi atas kategorikategori dan tema-tema untuk dinalisis.
Kelima, menghubungkan tema-tema untuk
diinterpetasikan dan dideskripsikan ke dalam laporan penelitian. Walaupun demikian, adapun dalam melakukan proses analisis data tidak bersifat kaku dan linier harus sesuai dengan tahapan-tahapan tersebut, melainkan memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis data secara interaktif.
F. Sistematika Bab Penelitian mengenai “penerapan konsep harmoni dan hierarki pada interaksi anak nongkrong di ruang publik berupa café di Yogyakarta” akan ditulis dalam lima bab. Bab Pertama, berisikan mengenai pendahuluan yang di dalamnya memuat konsep dan teknik dalam menyusun tulisan, yakni latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, dan metode penelitian. Bab Kedua, peneliti akan membahas
29 mengenai lokus penelitian yakni proses munculnya ruang publik secara historis (beserta konteks dan pergeserannya) dari motif ekonomi hingga menjadi konstruksi sosial-politik terkait munculnya praktik demokrasi deliberatif. Setelah melihat dari segi lokus serta hal-hal yang melatarbelakanginya, maka pada Bab Ketiga dan Keempat akan dipaparkan temuan-temuan penelitian. Temuan ini antara lain sejauhmana relasi antar aktor dalam ruang publik, diskursus yang terjadi, nilai yang berkembang di dalamnya, implementasi dari tradisi di ruang modern tersebut sebagai implikasi terjadinya perkembangan demokrasi demokrasi deliberatif yang berlandaskan pada penerepan nilai-nilai etika Jawa. Bab tiga berfokus pada lokus cafe tradisional, sedangkan bab empat pada lokus cafe modern. Bab Lima berisi kesimpulan dari temuan yang telah dijelaskan pada bab ketiga dan keempat, serta memaparkan mengenai gagasan baru yang diperoleh dari hasil analisis tersebut.