BAB I 1. Latar Belakang
Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap bencana masih rendah. Kejadian bencana yang berulang-ulang seharusnya mampu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kebencanaan. Di Indonesia sebuah bencana lebih dianggap sebagai takdir Tuhan, sehingga mereka akan pasrah dalam menghadapi bencana. Pada kenyataanya, bencana bisa dicegah dan kemunculannya bisa dideteksi melalui tanda-tanda. Perilaku untuk mau belajar dan mampu mengenali tanda-tanda sebelum terjadinya bencana, pencegahan dan tahu apa yang harus dilakukan, serta bagaimana mengurangi resiko bencana yang dimaksud dengan perilaku tanggap bencana. Apabila setiap orang sudah menyadari akan resiko bencana dan berperilaku tanggap bencana tentunya resiko sebuah bencana akan berkurang. Beviola dalam bukunya Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah Lokal menjelaskan ada beberapa tren bencana yang terjadi saat ini, meliputi (Kusumasari, 2014:6-9) : 1. Jumlah total orang yang terkena dampak bencana meningkat. Ketika jumlah penduduk dan pemukimannya meningkat resikonya semakin meningkat. 2. Bencana semakin mahal, biaya yang disebabkan oleh bencana di seluruh dunia semakin hari semakin meningkat. Dalam beberapa dekade terakhir ini, bencana telah menyebabkan kerusakan rata-rata sebesar $60 milliar pertahun dengan biaya maksimum $230 milliar dan biaya minimum $28 miliar, ini meningkat
1
14 kali lipat sejak tahun 1950-an(Copola, 2007; Guha Sapir dkk,2004 dalam Kusumasari, 2014: 6 ). 3. Negara miskin dan orang miskin adalah korban bencana dengan dampak terbesar, bencana memang menyerang setiap negara tetapi negara miskin adalah yang paling rentan terhadap bencana alam karena faktor sosial, politik, budaya dan ekonomi yang memaksa mereka tinggal di daerah beresiko (Benson, Twigg&Myers, 2001 dalam Kusumasari, 2014:6). Tetapi negara berkembang yang mengalami penderitaan paling besar akibat bencana. Menurut CERD , jumlah orang yang meninggal karena bencana dari tahun 1991 sampai 2005 di Negara OECD (The Organitation for Economic Cooperation and Development) sebanyak 61.918 jiwa dan dinegara berkembang sebanyak 630.106 jiwa (International Strategy for Disaster Reduction ,2008 dalam Kusumasari, 2014:7). 4. Jumlah bencana meningkat setiap tahunnya. Menurut data OFDA/CERD International Disaster Database
jumlah bencana terus meningkat setiap
tahunnya pada dekade 1900-1901 tercatat hanya 73 bencana yang terjadi tetapi pada dekade 2000-2005 jumlah bencana bertambah menjadi 2.788. Ada dua penyebab kenaikan jumlah bencana setiap tahunnya pertama adalah perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Ada hubungan hilangnya zona penyangga alami dan ketidakstabilan lereng dengan peningkatan suhu global . Penyebab kedua adalah pola pemukiman manusia yang terus meningkat di wilayah yang rentan bencana.
2
5. Bencana menjadi kurang mematikan, semakin terorganisasi dan komprehensif persiapan suatu negara dalam menghadapi bencana maka masyarakat akan semakin terbantu untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana dan bereaksi lebih tepat apabila terkena bencana (Kusumasari, 2014: 9). Tabel 1.1 Perbedaan Dampak Bencana Antara Negara Kaya dan Miskin Sumber: Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah Lokal (Kusumasari, 2014: 10)
Negara Kaya
Negara Miskin
a. Cenderung mengalami kerugian ekonomi lebih tinggi namun memiliki system jaminan sosial yang dapat diakses warga untuk memulihkan kondisi pasca bencana b. Penempatan mekanisme yang dapay mengurangi kematian, misalnya: system peringatan dini, ada kode bangunana dan zona bencana yang telah ditentukan. c. Memiliki layanan cepat darurat dan layanan kesehatan yang dapat meningkatkan daya hidup dan membatasi penyebaran penyakit. d. Transver resiko perorangan,swasta dan public kepada penyedia asuransi dan pengasuransian kembali
a. Kurang beresiko dalam hal nilai financial, tetapi sedikit pemeliharaan dan dampak financial yang rendah. b. Gangguan terhadap ekonomi dan pembangunana sosial c. Kurangnya sumber daya yang dapat mengambil keuntungan dari adanya teknologi dan kecilnya kemampuan untuk menentukan kode bangunana dan zona. d. Tidak berpartisipasi dalam mekanisme asuransi.
Meningkatnya tren bencana yang terjadi dalam masyarakat dan meningkatnya jumlah korban dan kerugian akibat bencana, perlu dilakukan sebuah perubahan sosial. Salah
satunya
melalui
sebuah
difusi.
Pemerintah
selaku
lembaga
yang
bertanggungjawab dalam pengurangan resiko bencana membuat program-program
3
dengan tujuan menurunnya jumlah korban bencana yang kemudian didifusikan ke lapisan masyarakat agar ide / gagasan itu bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Ada tiga tahapan program pengurangan resiko bencana yaitu prabencana, pada saaat bencana dan pasca bencana dan rehabilitasi. Untuk mengurangi resiko bencana dilakukan berbagai kegiatan yang disebut dengan mitigasi bencana. Mitigasi adalah tindakan yang diambil sebelum bencana terjadi dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak bencana terhadap masyarakat dan lingkungan. Mitigasi sering disebut pencegahan atau pengurangan resiko dan dianggap sebagai landasan manajemen bencana. Ada dua jenis mitigasi bencana yaitu struktural dan non struktural. Mitigasi struktural adalah usaha pengurangan resiko yang dilakukan melalui pembangunan atau perubahan lungkungan fisik melalui penerapan solusi yang dirancang. Mitigasi non struktural meliputi pengurangan kemungkinan atau konsekuensi resiko melalui modifikasi proses perilaku manusia atau alam, tanpa membutuhkan penggunaan struktur yang dirancang. Cara manusia menyesuaikan diri dengan alam, di dalamnya ada langkah regulasi, program pendidikan dan kesadaran masyarakat, modifikasi fisik non struktural, modifikasi perilaku serta pengendalian lingkungan (Kusumasari, 2014:23). Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam wawancaranya dengan Republika terkait kebencanaan mengatakan kesiagaan orang Indonesia menghadapi bencana sangatlah rendah. Oleh karena itu penting bagi bangsa ini untuk membudayakan sadar bencana. Salah satu caranya, menurut dia adalah pendidikan sadar bencana. Hal ini akan membentuk karakter dan
4
pengetahuan bencana. Tidak hanya itu , pendidikan juga meningkatkan pemahaman terkait bencana dan antisipasinya. 1 Selain meningkatkan pengetahuan tentang bencana, Pemerintah menggunakan teknologi dalam usahanya untuk mengurangi resiko bencana. Salah satunya adalah dengan menggunakan teknologi Early Warning System. Teknologi ini digunakan untuk deteksi awal sebuah bencana. beberapa bencana yang bisa menggunakan teknologi ini adalah tsunami dan tanah longsor. Menurut Departemen Kesehatan [DKS], Sistem Peringatan Dini adalah sistem (rangkaian proses) pengumpulan dan analisis data serta desiminasi informasi tentang keadaan darurat atau kedaruratan. Peringatan Dini itu sendiri merupakan fenomena keberadaan bahaya yang mengganggu dan atau mengancam terhadap manusia. Pengetahuan terhadap bencana memang meningkat, tapi belum mendorong kesiapsiagaan. Rendahnya kesiapsiagaan ini jadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia. Disatu sisi, ancaman bencana sangat nyata. Penyebab kesiapsiagaan bencana rendah, Menurut Sutopo Purwo Nugroho juru bicara
BNPB dalam
wawancaranya dengan National Geographic Indonesia menyatakan terbatasnya anggaran penanggulangan bencana. Rata-rata di Badan Penanggulangan Bencana Daerah provinsi anggaran hanya 0,38 persen dari Anggaran Perencanaan Belanja Daerah. BPBD kabupaten/kota bahkan rata-rata kurang dari 0,1 persen total APBD.2
1
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/10/23/mv4008-perlunya-kesadaranmasyarakat-terhadap-bencana 2 http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/12/kesadaran-bencana-di-indonesia-masih-rendah
5
Belum diadopsinya perilaku tanggap bencana ini menunjukan bahwa adanya kegagalan proses komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah ketika menyebarkan ide-ide baru/ gagasan agar diadopsi oleh masyarakat. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan seperti mengenai kebudayaan,lingkungan setempat dan individu/ target adopter kita. Dampak dari komunikasi sosial ide baru tersebut adalah adanya perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana terjadi perubahan struktur dan fungsi dari sebuah fungsi sosial (Rogers dalam Hanafi, 1981: 16). Indonesia memiliki sejarah panjang mengenai bencana alam. Tanah yang subur namun memiliki resiko bencana yang tinggi dan mengakibatkan banyak kerugian baik dari sisi materi dan non materi. Korban yang meninggal akibat bencana tersebut tidak sedikit. Di tahun 2004 setelah bencana tsunami Aceh menjadi titik balik dan menyadarkan pemerintah akan pentingnya penanggulangan bencana. Bencana tsunami di Aceh dan Kepulauan Nias di tahun 2004 kemudian tsunami Mentawai di tahun 2010 menjadi contoh kegagalan komunikasi bencana yang menelan ratusan ribu korban jiwa dan kerugian besar di bidang infrastruktur dan suprastruktur. Kurangnya informasi dan edukasi kepada masyarakat dan tidak adanya early warning system saat itu, beberapa masyarakat malah bersuka cita karena ada banyak ikan yang terdampar dan air laut yang menyusut, hanya beberapa orang yang tahu dan mengucapkan kata “smong” untuk memperingatkan yang lainnya tentang tsunami karena sebelumnya di tahun1904 pernah terjadi hal yang sama di Aceh. Dalam bencana tersebut mengakibatkan korban 200.000 jiwa, dan gempa di Yogyakarta sebanyak 20.000 jiwa dan total kerugian materiil yang di akibatkan oleh bencana ini mencapai angka hampir 100 trilyun rupiah.
6
Ini adalah contoh bencana yang dikarenakan faktor alam dan tidak bisa mencegahnya dan bisa datang sewaktu-waktu (Sudibiakto,2011 dalam Santoso, 2011: 27). Pemerintah Indonesia menjadikan penanganan bencana sebuah isu penting yang perlu ditangani mulai tahun 2006. Pemerintah melakukan berbagai upaya pengurangan resiko bencana, dan menjadikan isu ini sebagai fokus pemerintah. Keseriusan pemerintah ini digambarkan dengan pembuatan undang-undang yang mengatur tentang penanganan bencana dalam Undang-undang no 24 tahun 2007 yang berisi bahwa Indonesia bertanggungjawab melindungi warga dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan
dan penghidupan, perlindungan
terhadap bencana untuk kesejahteraan umum yang berlandaskan ancasila. Dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 mengatur tentang tugas pemerintah untuk memberikan penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, pemerintah melakukan kegitan pencegahan bencana. tanggap darurat bencana dan rahabilitasi. Kondisi geografis, geologis, hydrologis dan demografis Indonesia memiliki kerawanan terhadap bencana alam, non alam dan bencana akibat tindakan manusia. Pemerintah membuat Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun 2004-2005 bahwa bencana mempengaruhi upaya pemerintah dalam menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan. Pemerintah merubah paradigma sebelumnya untuk penanganan bencana yang tanggap darurat bergeser ke paradigma manajemen resiko bencana dengan tujuan mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
7
Untuk mendukung Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 pemerintah membuat undang undang pendukung untuk mengatur pelaksanaan penanggulangan bencana yaitu Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 yang mengatur penyelenggaraan penanggulangan resiko bencana Undang Undang Nomor 22 tahun 2008 mengenai pendanaan dan pengelolaan bencana dan Undang Undang Nomor 23 mengenai peran serta lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah dalam penanggulangan bencana. Pemerintah melalui BNPB/ Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan BPBD/ Badan Penanggulangan Bencana Daerah telah melaksanakan tugasnya dalam mengelola penanggulangan bencana tetapi jumlah bencana dan korban bencana semakin meningkat. Pada tahun 2010 ada 700 kasus bencana alam yang di data oleh BNPB Indonesia dengan korban meninggal dan hilang mencapai 1700 orang dan 40 ribu rumah mengalami kerusakan. Tabel 1.2 Rekapitulasi Bencana BNPB 2010
Bencana 2010 Sumber : Pusat Data BNPB jumlah kejadian
jumlah korban 503
408
394
247 154
199 146
38 Banjir
Angin topan
167
98 16
Tanah longsor
Kebakaran
31 38
16
Banjir dan Kecelakaan tanah transportasi longsor
14 19 Gempa bumi
8
7 0
4 0
4 5
Gelombang Kebakaran Konflik / pasang/ dan Lahan kerusuhan abrasi sosial
3 Letusan gunung berapi
3 2
1 0
Kekeringan Kecelakaan industry
1 Gempa bumi dan Tsunami
Dari data tabel 1.2 dapat kita lihat bahwa bencana yang paling sering di alami di Indonesia adalah banjir dengan 247 kasus dan 408 korban, kemudian angin topan dengan 154 kasus dan 38 korban dan 146 kasus tanah longsor dengan 199 korban. Ketiga bencana ini adalah akibat dari kerusakan alam yang di akibatkan oleh manusia. Longsor menjadi bencana yang paling sering terjadi dan menimbulkan banyak korban jiwa. Sutopo Purwo Nugroho dalam wawancara dengan Tribunnews.com mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun telah terjadi longsor sebanyak 2.000 kali dan telah menewaskan lebih dari 1000 orang. Dalam waktu 2005 sampai 2014 total terdapat 2.278 peristiwa longsor. Total keseluruhan korban ada 1.815 orang yang meninggal dan hilang akibat bencana ini. Tabel 1.3 Longsor di Indonesia 2005-2014 Longsor di Indonesia Sumber: Data BNPB longsor di Indonesia 400 329 238 50
73
104
112
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
385 291
296
2012
2013
2014
Dalam kejadian longsor tidak hanya korban jiwa tetapi juga mengakibatkan banyak kerugian materiil, sebanyak 79.339 orang mengungsi, 7679 unit rumah rusak berat, 1.186 rumah rusak sedang dan 8.140 rumah rusak ringan. BNPB juga telah memetakan daerah rawan longsor yang meliputi Bukit Barisan Sumatra, Jawa bagian
9
tengah dan selatan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua karena daerah ini adalah dataran tinggi dan perbukitan dan pegunungan3 Jawa Tengah merupakan salah satu daerah dengan jumlah bencana yang cukup tinggi. Di tahun 2012 jumlah bencana tanah longsor cukup banyak terjadi di Jawa Tengah terutama terjadi pada musim penghujan. Perlu ditingkatkan kesiagaan bencana pada musim hujan yang rawana kan bencana banjir dan tanah longsor. Di Tahun 2012 bencana tanah longsor menjadi bencana dengan rangking ketiga setelah angin topan dan kebakaran. Tabel 1.4 Jumlah Kejadian Bencana 2009-2012 Banjarnegara merupakan daerah dengan potensi tinggi mengalami bencana, hampir 70 persen daerahnya merupakan daerah yang rawan bencana. Banjarnegara
Jumlah Kejadian Bencana di Jawa Tengah Tahun 2012 Sumber: Laporan Pelaksanaan Tugas BPBD Jawa Tengah 2009
312
122 104 100
305 268
banjir
202 201 141 126
128 73
115 85 54 60 0010
angin topan
2010
0 0157
1130
gas beracun gempa bumi kebakaran kekeringan
3
0310 gunung berapi
tanah longsor
0000
0008
2300
tsunami
gelombang pasang
lainnya
_____. ( 16 Desember 2014). Mencemaskan frequensi bencana longsor dari tahun ketahunterus meningkat dalam http://www.tribunnews.com/nasional/2014/12/16/mencemaskan-frekuensibencana-longsor-dari-tahun-ke-tahun-terus-meningkat-inilah-datanya diakses pada 16 Desember 2014.
10
seperti sebuah minimarket bencana yang kecil, semua bencana ada disini. Masyarakat Banjarnegara seharusnya lebih memiliki kesadaran tentang bencana dan bisa hidup berdampingan dengan bencana tersebut. Bencana yang ada di Banjarnegara meliputi tanah longsor, banjir, gunung berapi, gempa bumi, kekeringan dan kebakaran. Sebagian besar daerahnya adalah berupa pegunungan, pada musim penghujan sering terjadi tanah longor dan banjir. Di daerah Dieng yang memiliki potensi geothermal juga berpotensi untuk terjadi bencana gas beracun. Bencana yang paling sering terjadi adalah tanah longsor. Gambar 1.1 Peta Kerawanan Tanah Longsor Banjarnegara
Bencana tanah longsor kembali terjadi pada 12 Desember 2014 di Desa Karangkobar, Banjarnegara. Sebelumnya pernah terjadi bencana yang sama di awal Januari 2006 yang terjadi di Dusun Gunung Raja, Si Jeruk, Banjarnegara yang mengakibatkan 90 korban meninggal. Bencana tanah longsor di Dusun Jemblung menurut Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam wawancaranya terkait bencana longsor Banjarnegara dengan tribunnews.com mengatakan total korban meninggal 95 orang, 64 jasad adalah warga Dusun Jemblung, dan 31 jasad bukan dari dusun tersebut
11
dan 13 orang dinyatakan hilang sebelumnya sudah terjadi longsor di Kecamatan Winayasa, Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan SiGaluh4. Sekarang yang menjadi fokus utamanya adalah penanganan pengungsi dan relokasi. Saat ini ada 2.038 pengungsi di empat kecamatan, 1225 di Kecamatan Karangkobar, 613 jiwa di Kecamatan Punggelan, 50 jiwa di Kecamatan Banjarmangu dan 120 jiwa di Kecamatan Wanayasa. Ada 35 KK yang akan direlokasi di Desa Ambal.5 Penyebab bencana longsor di Banjarnegara disebabkan oleh beberapa hal. Faktor alam yang paling berpengaruh adalah tingginya curah hujan, kondisi tanah, intensitas pelapukan batuan, vegetasi penutup, faktor kestabilan lereng dan faktor kegempaan. Disisi lain faktor aktivitas manusia juga menjadi penyebabnya, misalnya penggunaan lahan yang tidak teratur dan tidak tepat peruntukannya, seperti pembuatan areal persawahan pada lereng terjal, pemotongan lereng yang terlalu curam, penebangan hutan yang tidak terkontrol,dan sebagainya. BPBD Banjarnegara sudah melakukan berbagai kegiatan dalam pencegahan dan kesiapsiagaan bencana. Menurut Agus Haryono selaku Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Banjarnegara kegiatan sosialisasi sudah banyak dilakukan di
4
. (16 Desember 2014). Sebelum Longsor, Pemkab Banjarnegara sudah Tetapkan Darurat Bencana dalam [
http://www.tribunnews.com/regional/2014/12/16/sebelum-longsor-pemkab-banjarnegara-sudah-tetapkan-daruratbencana] diakses pada 28 Desember 2014 5
.
(22
Desember
2014).Longsor
Banjarnegara
fokus
bergeser
ke
pengungsi
dalam
(http//www.m.tempo.co/read/news/2014/12/22/173630147/longsor-banjarnegara-fokus-bergeser-ke-pengungsi) diakses pada 20 September 2015.
12
Banjarnegara dan cukup efektif, sosialisasi yang dilakuakan dengan cara tatap muka dan simulasi penanggulangan dan ketika menghadapi bencana. Dalam sosialisasi tersebut yang disampaikan meliputi pengenalan tentang bencana tanah longsor, tandatanda tanah longsor, pencegahan tanah longsor dan bagaimana cara menyelamatkan diri ketika tanah longsor terjadi, penyadaran tentang daerahnya sebagai daerah rawan bencana, sehingga masyarakat sadar akan bencana yang akan dihadapinya, dengan pengetahuan ini diharapkan mampu mengurangi resiko bencana. Kegiatan mitigasi yang dilakukan tidak hanya melalui sosialisasi, BPBD juga membentuk struktur organisasi PRB (Pengurangan Resiko Bencana) yang terdiri dari masyarakat sekitar, ini strategi yang dilakukan oleh BPBD yaitu pelibatan masyarakat secara langsung dalam menanggulangi, tanggap darurat dan rehabilitasi bencana. BPBD Banjarnegara memiliki beberapa kegiatan terkait pengurangan resiko bencana meliputi Program Mitigasi Bencana Geologi dengan cara pembangunan bangunan penguat lereng di Banjarnegara, penyusunan peta resiko bencana, dan sosialisasi serta pemantauan daerah rawan bencana. Program pencegahan dini dan penganggulangan korban bencana alam meliputi pengadaan logistik korban, gladi manajemen satlak/ pelatihan penanggulangan bencana. Sedangkan dalam program kesiapsiagaan meliputi Bimbingan teknis dan setrifikasi SAR, Pembinaan relawan, dan pengadaan peralatan keselamatan serta penyusunan kontijensi bencana. Sedangkan program tanggap darurat meliputi optimalisasi posko bencana.6
6
Sumber : LPPD dan LKPJ BPBD Banjarnegara 2014.
13
Berbagai kegiatan mitigasi telah dilakukan di Banjarnegara, baik berupa kegiatan mitigasi dalam bentuk struktural dan non struktural. Kegiatan Mitigasi Bencana Non Struktural yang sudah dilakukan seperti pelatihan tanggap bencana yang di sampaikan saat kegiatan Pramuka dengan menyasar para pelajar agar kesadaran akan bencana telah di perkenalkan sejak dini, sosialisasi di setiap desa, pembentukan peta lokasi daerah rawan bencana sampai pelatihan tim evakuasi bencana, pembekalan dasar dalam upaya menyadarkan mereka
tinggal di daerah yang rawan bencana,
pembentukan tim PRB (Pengurangan Resiko Bencana) di masing-masing desa dan pembentukan desa tangguh bencana yang merupakan salah satu program Pemerintah dan BNPB. Sedangkan kegiatan mitigasi struktural yang telah dilakukan merliputi pembangunan tanggul-tanggul di daerah rawan longsor, penanaman pohon keras, relokasi dll. Menurut Agus Haryono, Kepala BPBD bidang Kesiapsiagaan, yang menjadi permasalahan utama masyarakat Banjarnegara adalah masih kurangnya kesadaran masyarakat tentang bencana, mereka tahu bahwa hidup di daerah yang rawan dengan bencana tetapi mereka masih mementingkan orientasi kehidupan mereka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, misalnya mereka tahu bahwa membuat kolam dan bercocok tanam akan membuat tanah longsor. Agus Haryono menambahkan, kini dengan adanya kegiatan mitigasi kesadaran masyarakat mulai bertambah buktinya semakin banyak masyarakat yang meminta bantuan pohon keras dan sudah banyak desa yang membuat tim siaga bencana desa.
14
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang bencana menggambarkan bentuk komunikasi yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah melalui BNPB maupun BPBD kurang efektif. Kesadaran masyarakat yang baik mengenai bencana akan berdampak baik jika bisa dilaksanakan secara efektif, jika masyarakat memiliki kesadaran bencana yang tinggi, resiko bencana yang dialami akan akan berkurang, bencana bisa dicegah dan korban baik material maupun non material bisa dikurangi secara signifikan. Dalam hal ini pemerintah memiliki peranan penting dalam penyebaran informasi tentang kebencanaaan terutama dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bencana dan berperilaku tanggap bencana. 2.
Perumusan Masalah Dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 adalah bentuk komitmen
Indonesia terhadap Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015 yang menjadikan Indonesia memiliki komitmen terhadap dunia dalam penanggulangan resiko bencana. Kerangka Hyogo dengan tema “Membangun Ketahanan Negara dan
Masyarakat terhadap
Bencana dengan Menekankan Pengurangan Resiko Bencana yang Terintegrasi secara Sistematis dalam Kebijaksanaan Perencanaan dan Program bagi Pembangunan Berkesinambungan dan Pengurangan Kemiskinan”. Namun kenyataannya, kesadaran masyarakat tentang bencana masih rendah. Salah satu indikator yang mudah dalam mendeteksinya adalah masih banyaknya resiko bencana baik berupa korban jiwa maupun korban material. Indonesia adalah Negara dengan banyak bencana tetapi masih banyak korban akibat bencana tersebut, padahal sebuah bencana itu bisa di deteksi sebelumnya. Pengetahuan dan kesadaran akan
15
bencana perlu ditingkatkan, kemudian setelah kesadaran masyarakat mulai tinggi mereka akan menerapkan perilaku tanggap bencana. Salah satu usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bencana di masyarakat adalah melalui program pengurangan resiko bencana. Dalam program ini ada dua kegiatan utama yang menjadi fokus pemerintah yaitu pembentukan Desa Tangguh Bencana dan Sekolah Bencana. Kedua kegiatan ini memiliki target yang berbeda, Desa Tangguh Bencana menyasar masyarakat desa secara keseluruhan sedangkan Sekolah Bencana tujuannya untuk meningkatkan kesadaran bencana sejak dini. Ada dua kegiatan penting dalam pembentukan Desa tangguh bencana yaitu melalui sosialisasi dan pembentukan tim siaga bencana. Visi dari pemerintah tidak hanya di tataran menjadikan masyarakat yang memiliki kesadaran terhadap bencana tetapi lebih kedepan yaitu menjadikan masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana. masyarakat yang tangguh bencana adalah masyarakat yang mempu mengantisipasi dan meminimalisir kekuatan yang merusak melalui adaptasi. Mereka mampu mengelola dan menjaga serta fungsi dasar tertentu ketika terjadi bencana. Jika terkena dampak bencana, mereka akan dengan cepat bisa membangun kehidupannya menjadi normal kembali atau paling tidak dapat dengan cepat memulihkan diri secara mandiri(John Twigg, 2009 dalam `Desa Tangguh Bencana,BNPB). Keberadaan Tim Siaga Bencana ini sangat
penting ditengah masyarakat,
dimana masyarakat berperan sebagai pelaksana, perencana dan penyebar informasi ke
16
masyarakat lainnya. Mereka adalah agen perubahan sosial, dimana masyrakat bisa bertukar informasi dan mendapatkan pengetahuan dari anggota tim siaga bencana. Di Banjarnegara sosialisasi tentang bencana tanah longsor sudah banyak dilakukan, keberadaan tim siaga bencana juga sudah cukup banyak dibentuk. Kejadian tanah longsor di Jemblung kembali menyadarkan masyarakat dan pemerintah akan pentingnya perilaku tanggap bencana. Kesalahan-kesalahan sebelumnya mulai di luruskan agar tidak terulang kembali melalui sosialisasi dan pembentukan tim siaga bencana. Adanya korban jiwa karena longsor salah satu penyebabnya adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan peran penting ews, sebelumnya ews yang sudah terpasang tidak digunakan dengan baik, akhirnya ews tidak berfungsi. Sekarang pemerintah bekerja sama dengan UGM membentuk 5 tim siaga bencana dan diberikan sosialisasi secara intens mengenai penggunaan EWS dan bersama-sama membuat peta rumah dan terus menerus diberikan informasi mengenai tanah longsor. Lima dusun tersebut adalah Dusun Slimpet, Dusun Gunungraja, Dusun Derikan, Dusun Kalibening dan Dusun Pencil. Sosialisasi dan pembentukan tim siaga bencana ini adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingya perilaku tanggap bencana, melalui sosialisasi masyarakat mendapatkan pengetahuan mengenai bencana dan bersama dengan tim siaga bencana mereka bekerja sama untuk menjadikan desanya menjadi desa yang tangguh. Lalu apakah komunikasi yang intens antara tim siaga bencana dengan masyrakat mampu meningkatkan perilaku tanggap bencana dan apakah komunikasi saat sosialisasi mampu meningkatkan perilaku tanggap bencana
17
dan apakah intensitas pemberitaan televise juga mampu merubah perilaku mereka dan apakah tingkat SES mereka mempengaruhi terbentuknya perilaku tanggap bencana. 3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif yang menjelaskan pengaruh antar
variable yaitu variable intensitas komunikasi dengan tim siaga bencana, intensitas sosialisasi, intensitas pemberitaan dan tingkat SES terhadap perilaku tanggap bencana. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Melihat pengaruh tingkat SES masyarakat terhadap intensitas komunikasi 2. Melihat pengaruh tingkat SES masyarakat terhadap intensitas sosialisasi 3. Melihat pengaruh tingkat SES masyarakat terhadap intensitas pemberitaan. 4. Melihat pengaruh tingkat SES masyarakat terhadap perilaku tanggap bencana. 5. Melihat pengaruh internsitas komunikasi tim siaga bencana dan masyarakat terhadap perilaku tanggap bencana 6. Melihat pengaruh intensitas sosialisasi yang dilakukan oleh BPBD Banjarnegara terhadap perilaku tanggap bencana. 7. Melihat pengaruh intensitas pemberitaan media televisi terhadap perilaku tanggap bencana.
4.
Signifikansi Penelitian
4.1
Akademis
18
Penelitian mengenai komunikasi bencana belum banyak dilakukan, diharapkan melalui penelitian ini memberikan pandangan baru dan menambah literature tentang kajian komunikasi bencana melalui penyajian data empiris. Dalam pelaksanaan manajemen bencana peran komunikasi belum dimaksimalkan dengan baik, jika masyarakat mendapatkan edukasi melalui sosialisasi maka masyarakat akan mampu melakukan penyelamatan dini. Dari penelitian ini bisa dilihat bagaimana proses difusi inovasi yang terjadi di daerah rawan bencana. 4.2
Praktis Penelitian ini melakukan pengamatan pengaruh antar variable tingkat SES ,
intensitas komunikasi dengan tim siaga bencana, intensitas sosialisasi, intensitas pemberitaan terhadap perilaku tanggap bencana. Hasil penelitian ini nantinya akan berguna bagi BPBD untuk melihat variable mana yang paling berpengaruh terhadap tingkat adopsi masyarakat mengenai gagasan mitigasi bencana. Sehingga BPBD bisa membuat strategi komunikasi yang tepat untuk merubah perilaku tanggap bencana. 4.3
Sosial Melalui penelitian ini kita bisa mengetahui bagaimana proses pengadopsian
inovasi di daerah yang rawan dengan bencana terutama tanah longsor di Banjarnegara. Sehingga hasil penelitian ini bisa diterapkan di daerah bencana tanah longsor lainnya, karena tingginya jumlah bencana longsor di Inodnesia. Diharapkan melalui penelitian ini juga mampu mengurangi resiko bencana di daerah longsor melalui pengaplikasian hasil penelitian ini. 5.
Kerangka Teori
19
Penelitian tentang komunikasi bencana belum banyak dilakukan, beberapa diantaranya lebih fokus pada kajian tentang pelaksanaan manajemen komunikasi bencana, efektifitas penggunaan komunitas dalam penanganan bencana. Sebagian besar penelitian yang digunakan menggunakan pendekatan kualitatif daripada kuantitatif. Teori yang digunakan di dalam penelitian lebih banyak berisi tentang konsep mengenai manajemen bencana. Tabel 1.5 State of The Art No
Nama
1
Puji
Lestari,
Agung Prabowo,
Penelitian
Hasil
Manajemen Komunikasi
Manajemen komunikasi bencana yang dilakukan sudah baik
Bencana Merapi 2010
dilihat dari perencanaan yang sudah dilakukan dengan membuat
Arif Wibowo
2
Maulina
Rencana Kontigensi.
Model Kearifan Lokal
Adanya local wisdom yang mampu menyelamatkan ribuan nyawa
dalam penanggulangan
disaat TEWS tidak berfungsi. Smong menjadi memori kolektif
Bencana Lesson Learnt
atau ingatan bersama akan suatu bencana.
dari NAD 3
Mohammad
Sinergi
masyarakat
Ada system pengetahuan , cara kerja,acuan kerja dan kepentingan
Mambaus Suud
dengan BPBD dalam
BPBD tidak sesuai dengan masyarakat. Masyarakat menunjukan
mitigasi
kemampuannya bekerjasama dan bersinergi dengan NGO
dan
kesiapsiagaan
akibatnya ada kerjasama,perilaku belajar inovatif dan rasa saling
Gempabumi
dan
percaya.
Tsunami di Bantul 4
Krisna Megantari
Pengelolaan Komunikasi
Tujuan untuk identifikasi dan evaluasi pengelolaan komunikasi Bencana
bencana, hasilnya pengelolaan BPBD telah dilaksanakan dengan
oleh BPBD Kabupaten
baik, masih banyak kekurangan ditahap monitoring dan evaluasi
Sleman
dalam pengukuran perencanan program.
Penulis dalam penelitiannya lebih memilih menggunakan pendekatan kuantitatif dengan melihat hubungan antar variable, melihat variable mana yang memiliki pengaruh kuat dengan variable Y. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, sosialisasi adalah salah satu cara yang dilakuakan seseorang untuk
20
mendesimenasikan suatu ide, dalam penelitian ini mengenai bencana apakah sosialisasi mampu menciptakan perilaku tanggap bencana, apakah terpaan media mampu menciptakan perilaku tanggap bencana dan apakah SES masyarakat juga mampu menciptakan perilaku tanggap bencana. Penelitian ini memfokuskan bagaimana penerimaan masyarakat, dan objek penelitian disini adalah masyarakt dengan resiko bencana tanah longsor. Penelitian terkait tanah longsor belum banyak dilakukan. padahal potensi tanah longsor di Indonesia cukup besar. 5.2 Paradigma Penelitian Paradigma adalah seperangkat kepercayaan atau cara pandang yang nantinya akan menuntun peneliti, tidak sekedar pemilihan dari metode tetapi juga jalan fundamental dari ontology dan epistimologi (Guba&Lincoln,1994: 107). Paradigma penelitian dalam penelitian ini adalah positivisme, yaitu pendekatan yang menjelaskan hubungan antar variabel, mengasumsikan adanya fakta objektif yang bisa diungkap melalui proses empirik dan bebas nilai (West & Turner, 2008: 74). Artinya penelitan pada paradigma positivisme memiliki karakteristik yaitu fakta yang objektif, proses empirik, dan bebas nilai. Paradigma merupakan pijakan filosofis sebagai panduan penelitian. Paradigma, sebagai sistem keyakinan dasar (basic belief system) yang dicirikan oleh asumsi-asumsi (Rahardjo,2009: 10). Dalam penelitian ini, realitas nyata dan ada terjadi permasalahan dalam komunikasi bencana yang dilaksanakan oleh BPBD
Kabupaten Banjarnegara.
Sosialisasi tentang bencana telah dilaksanakan dan Pemerintah sudah menetapkan siaga bencana namun masih banyak masyarakat yang tidak mau dievakuasi dari tempat
21
kejadian sehingga berakibat pada banyaknya masyarakat yang menjadi korban dalam bencana tanah longsor. Hasil dari penelitian ini nantinya akan digeneralisasikan berdasarkan hukum dan mekanisme yang jelas bahwa ada pengaruh antara setiap variable dengan perilaku tanggap bencana. Proses dan hasil dari penelitian ini juga menjelaskan tentang hubungan kausalitas atau sebab akibat , dalam hubungan kompinen komunikasi bencana dengan perilaku tanggap bencana. Hasil penelitian ini nantinya akan mengetahui variabel mana yang paling memiliki pengaruh dalam merubah perilaku masyarakat di daerah bencana, sehingga akan membantu BPBD untuk merancang strategi komunikasi yang tepat untuk BPBD. Epistemologi berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan antara peneliti dan realita yang diteliti. Peneliti bisa terpisah dari penelitian yang membuat penelitian objektif, namun peneliti juga bisa menjadi bagian dari penelitian seperti pada pendekatan subjectivist yang mempersyaratkan interaksi dengan realitas (Guba & Lincoln, 1994: 108). Peneliti dan hal yang diteliti merupakan entitas yang bebas, dan peneliti bisa melakukan penelitian objektif tanpa terpengaruh atau mempengaruhi, karena jika peneliti terpengaruh pada objek penelitian, ketika terdapat kesalahan yang mengancam validitas penelitian, maka peneliti akan memikirkan strategi untuk menguranginya. Penelitian merupakan cermin satu arah, artinya tidak ada campur tangan peneliti, sehingga bias dan nilai /value tidak akan mempengaruhi hasil penelitian selama prosedur ditaati dengan benar (Guba & Lincoln, 1994: 110). Dalam penelitian ini peneliti murni bertindak diluar BPBD, masing-masing merupakan entitas yang bebas dan terpisah sehingga penelitian yang dihasilkan bisa
22
objektif dan mampu mengungkap fakta dan realitas. Hasil penelitian ini juga bebas nilai karena tidak ada kepentingan tertentu misalnya perbaikan data agar hasilnya terlihat bagus. Fakta mengenai sosialisasi yang dilakukan BPBD masih kurang , dalam penelitian ini bisa diungkap apakah intensitas sosialsiasi yang dilakukan bisa mempengaruhi perilaku tanggap bencana. Faktor yang menjadi penghambat sulit tercapainya perilaku tanggap bencana juga akan terungkap dari variabel komunikasi bencana. Penelitian ini bersifat satu arah dimana peneliti hanya akan mengungkap fakta yang terjadi tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Paradigma positivism adalah penelitian yang menguji hipotesis dengan uji analisis data empiris. Kondisi yang mungkin dapat mengacaukan proses penelitian harus dikontrol agar tidak semestinya mempengaruhi hasil penelitian tersebut (Guba & Lincols, 1994: 110). Penelitian pengaruh tingkat SES, intensitas komunikasi dengan tim siaga bencana, intensitas sosialisasi, intensitas pemberitaan terhadap perilaku tanggap bencana menggunakan teori difusi inovasi yang diperkenalkan oleh Everet M Rogers untuk mengamati pengaruh antara variable x terhadap perilaku tanggap bencana. Hipotesis yang berdasarkan teori ini akan diuji melalui penelitian kuantitatif . Verifikasi hipotesis inilah yang menjadi asumsi metodologis dalam penelitian positivisme. Penelitian dilaksanakan melalui pengumpulan data menggunakan kuesioner yang menghasilkan data empirik, data ini kemudian diuji menggunakan rumus dan alat uji statistik untuk melihat apakah hipotesis yang telah ditetapkan oleh peneliti benar atau diterima.
23
Di dalam paradigma positivism, tujuan penelitian menjelaskan realita yang selanjutnya memprediksi dan memberikan kontrol atas realita; hakikat pengetahuan merupakan verifikasi hipotesis yang pada akhirnya menjadi fakta/hukum; akumulasi pengetahuan bersifat menambahkan pada pengetahuan yang sudah ada, dapat digeneralisasi dan ada hubungan sebab akibat; kriteria kualitas dilihat dari validitas, reliabilitas, dan objektivitas internal maupun eksternal; bebas nilai. 5.3 Teori Difusi Inovasi Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Difusi Inovasi dari Everet Rogers. Difusi adalah proses dimana suatu inovasi menyebar dari waktu ke waktu kepada anggota suatu sistem sosial. Sebuah inovasi adalah pengenalan sesuatu bisa berupa proyek baru, pelatihan, atau ide (Littejohn, 2009: 307). Difusi juga didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem sosial. Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe komunikasi khusus dimana pesannya adalah ide baru. Disamping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial (Rogers, 1983: 5). Teori difusi inovasi merupakan suatu teori source-dominated yang melihat proses komunikasi dari sudut pandang kelompok elite yang telah memutuskan untuk menyebarkan informasi khusus atau inovasi (Baran and Davis, 2010: 282). Menurut pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:
24
a. Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. b. Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal. c. Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalammenerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
25
d. Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama (Rogers, 1983: 11-24) Difusi inovasi diperkenalkan di tahun 1962, Rogers mencoba mengkombinasikan penelitian tentang aliran informasi dan pengaruh personal seseorang. Rogers mendapatkan data dari berbagai kajian empiris yang menunjukan bahwa ketika sebuah teknologi baru diperkenalkan , mereka akan berada dalam beberapa tahapan sebelum pada akhirnya melakukan perubahan. (Baran,2010: 283). Difusi inovasi merupakan suatu proses komunikasi, dimana sebuah inovasi atau informasi diketahui melalui saluran komunikasi, jika individu tidak mampu mengetahui tentang suatu inovasi, difusi tidak bisa terjadi. Media massa terlibat dalam proses penyebaran informasi dan media massa yang berkontribusi terhadap kesadaran tentang gagasan atau produk baru. Pelaksanaan program Desa Tangguh Bencana menggunakan kedua saluran komunikasi melalui media massa dan interpersonal. Media massa yang telah digunakan oleh Tim Siaga Bencana adalah website, pamphlet, surat edaran. Selain itu masyarakat juga mendapatkan informasi dari pihak luar yaitu media massa. Rogers juga menyebutkan bahwa perubahan itu bisa berasal dari dalam kelompok itu sendiri atau dari pihak luar Hasil dari semua proses pengambilan keputusan ini adalah perubahan perilaku untuk menerima perubahan atau tidak. Sebagian perubahan perilaku
26
seseorang terjadi karena adanya ketidakselarasan/ ketidakseimbangan internal sehingga seseorang akan berusaha untuk mengurangi atau menghilangkannya dengan cara merubah pengetahuan,sikap dan tindakannya. Dalam perilaku komunikatif bisa terjadi: 1. Jika seseorang sadar dan merasakan adanya kebutuhan/ masalah maka ia akan berusaha mencari tahu tentang inovasi. Kesadaran akan kebutuhan dapat mendorong seseorang mencari informasi lebih banyak tentang inovasi, ini terjadi di tahap pengenalan. 2. Jika ia sadar menyukai inovasi maka ia terdorong untuk menerima inovasi, jika ia menolak maka akan terjadi disonansi antara apa yang dipercaya dengan tindakan yang dilakukan. Terjadi pada tahapan keputusan. 3. Setelah memutuskan untuk menerima inovasi dia berusaha menghindari keterangan dengan memengaruhi keputusannya. Cara memngurangi disonansi tindakan dengan merubah perilaku, sehingga terjadi keselarasan sikap dan tindakan. Teori Difusi inovasi menunjukan peran media massa terbatas. Media massa berperan dalam menciptakan awareness tentang inovasi baru. Media secara langsung mempengaruhi early adopter tetapi orang pada umumnya mendapatkan informasi dengan baik dan jelas dari pengguna media. Early adopter mencoba inovasi dan menceritakan ke orang lain. Mereka kemudian mempengaruhi opinion leader, yang nantinya akan mempengaruhi ke lebih banyak orang. Mereka inilah yang disebut dengan Agen Perubahan yang
27
menjadi sosok kunci dalam mengembangkan difusi. Pekerjaan mereka adalah menginformasikan tentang inovasi dan membantu setiap orang yang ingin berubah. Rogers mengatakan bahwa agen perubahan inilah yang memimpin usaha difusi, mereka bisa pergi ke komunitas dan mempengaruhi langsung early
adopter
dan
opinion
leader.
Media
bisa
digunakan
untuk
mempersiapakan sebuah dasar untuk diskusi grup yang dipimpin oleh agen perubahan(Baran, 2010: 282) Penggunaan saluran interpersonal dapat dilakukan pada tahap pengetahuan jika penggunaan media massa dalam prosesnya mengalami kelambatan dalam proses penyebaran inovasi. Suatu inovasi yang diterapkan tanpa tahap pengetahuan ini, akan tetapi penyalahgunaan suatu inovasi akan mengakibatkan berhentinya inovasi tersebut. Tim siaga bencana ini berperan penting dalam merubah perilaku masyarakat desa tangguh bencana. Pemilihan Tim siaga bencana ini diambil dari masingmasing desa, mereka yang di pilih adalah opinion leader yang dianggap memiliki kompetensi dan kredibilitas dan memiliki jaringan yang luas. Tim siaga bencana berperan sebagai agen perubahan.latar belakang dan pengalaman yang dimilikinya diharapkan mampu lebih mengenali dan mampu menyelesaikan problem dengan tepat. Konsep tentang persuasi ini diharapkan nantinya mampu membantu meningkatkan perubahan perilaku agar lebih cepat dan mudah diadopsi oleh masyarakat.
28
Dalam sosial marketing teori ini digunakan untuk menyebarkan sebuah ide baru atau perilaku agar bisa di adopsi oleh khalayak banyak. Model ini bisa digunakan dalam membuat proses perencanaan, kita bisa mengetahui informasi tentang apa yang akan memotivasi target audience kita untuk mengadopsi perilaku baru yang diberikan ketika mereka dalam tahapan mengadopsi, dan bagaimana mempercepat difusi untuk segmen yang tersisa(Kotler, 2002:172). 5.4 Social Marketing Theory Dalam menghadapi bencana diperlukan sebuah upaya untuk merubah perilaku masyarakat agar tangguh dalam menghadapi bencana. salah satunya adalah melalui perubahan sosial yang berencana. Sebuah usaha perubahan sosila yang berencana diperlukan pelopor dalam pelaksanaannya, seperti lembagalembaga perubahan(change agencies) didalamnya termasuk pemerintahan secara keseluruhan , departemen, lembaga masyrakat dan lembaga perkonomian beserta kelengkapannya. Social marketing adalah salah satu strategi yang digunakan untuk mengatasi isu sosial yang dialami oleh banyak orang. Sosial marketing menggunakan prinsip-prinsip marketing dan teknik untuk mempengaruhi seorang target audience untuk sukarela menerima, menolak, memodify atau meninggalkan sebuah perilaku untuk kebaikan dari individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. Kebanyakan, social marketing digunakan untuk mempengaruhi audience untuk merubah perilaku untuk kepentingan kesehatan, mencegah
29
cedera, melindungi lingkungan atau berkontribusi untuk komunitas(Kotler, 2002:5). Social marketing pertama kali diperkenalkan oleh Philip Kotler dan Gerald Zaltman , dalam sebuah artikel pioner yang membahas tentang penggunaan prinsip marketing dan teknik untuk sebuah gerakan sosial, ide dan perilaku. Ada beberapa konsep tentang social marketing, yaitu : 1. Sosial marketing menjual perilaku. 2. Perubahan perilaku adalah kesukarelaan 3. Sosial marketing menggunakan prinsip pemasaran tradisional dan teknik: prinsip fundamental dari marketing adalah untuk memahami bahwa target audience tahu, percaya dan melakukan. Proses dimulai dengan marketing research untuk memahami segmen pasar dan beberapa segmen potensial yang dibutuhkan, diinginkan, kepercayaan, masalah konsentrasi, dan perilaku. Marketer kemudian memilih target market yang paling memiliki efek terbaik dan memuaskan. Kemudian menentukan objective dan goals. Kemudian mereka menggunakan empat alat utama dalam pemasaran”4 Ps” untuk mempengaruhi target market yaitu Product, Price, Place dan Promotion. Keempat tools ini disebut dengan marketing mix. Mereka dengan teliti memilih keunggulan produk, fitur,harga, distribusi chanel, pesan dan saluran media. 4. Social marketing memilih dan mempengaruhi seorang target audience
30
5. Penerimanya adalah individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan(Kotler, 2002:7-8). Social Marketing Teory adalah sekumpulan teori yang memusatkan penelitiannya tentang promosi sosial dan informasi yang beharga. Teori ini juga merepresentasikan usaha untuk meningkatkan efektifitas dari media yang didasarkan pada informasi kampanye untuk pemahaman yang lebih baik dan manipuasi dari aspek sosial dan faktor psikologis. Teori ini mengidentifikasi sebuah variasi dari system sosial level dan hambatan psikologis dalam aliran informasi dan pengaruh media massa. Untuk mengantisipasi hambatan tersebut dan memasukan strategi untuk mengatasinya. Salah satu bentuk sederhana dari teori sosial marketing adalah model Hierarki of Effect (Rice and Atkin,1989 dalam Litlejohn,2012:476) yang menyatakan bahwa pentingnya untuk membedakan sekelompok besar efek persuasi. Social marketing model digunakan untuk membuat desain strategi langsung dan implementasi dari sebuah campaign sosial untuk merubah perilaku. Model ini menggambarkan bagaimana sebuah tradisional marketing mix untuk digunakan dalam mempengaruhi perilaku, marketing mix tersebut adalah product, price, promotion dan price (Litlejohn,2012:467).
5.5
Sosialisasi Sosialisasi secara umum diartikan sebagai sebuah proses yang didalamnya terjadi saling memberikan pengaruh antara individu dengan segala
31
potensi kemanusiaanya, kebudayaan dan masyarakat sekitarnya. Sosialisasi digunakan untuk memperkenalkan kebaruan didalam masyarakat, biasanya kegiatan ini digunakan didalam sebuah kampanye baik profit maupun non profit. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sosialisasi adalah usaha untuk mengubah milik perseorangan menjadi milik umum (milik negara): tradisi tidak memperlancar proses
perusahaan milik keluarga; 2proses belajar seorang
anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat dl lingkungannya: tingkat-tingkat permulaan dari proses manusia itu terjadi dalam lingkungan keluarga; 3 upaya memasyarakatkan sesuatu sehingga menjadi dikenal, dipahami, dihayati oleh masyarakat; pemasyarakatan; Sosialisasi merupakan salah satu bentuk kontak sosial. Soerjono Soekanto membagi kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu: 1. Antara orang perorangan, misalnya anak kecil yang mempelajari kebiasaan-kebiasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi melalui sosialisasi(socialization), yaitu proses dimaan anggota masyarakat yang baru mempelajari norma dan nil;ai masyarakat dimana dia menjadi anggota. 2. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya. 3. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya (Soekanto, 1990:65).
32
Dalam penanganan bencana BPBD membagi dirinya menjadi 3 bagian penting yaitu penanggulangan dan tanggap bencana, penanganan darurat bencana, dan rehabilitasi dan rekonstruksi. Sosialisasi akan lebih banyak dilakukan ditahapan penanggulangan bencana, atau tahapan ini sering disebut dengan Mitigasi. Mitigasi adalah tindakan yang diambil sebelum bencana terjadi dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak bencana terhadap masyarakat dan lingkungan. Mitigasi sering disebut pencegahan atau pengurangan resiko dan dianggap sebagai landasan manajemen bencana. Cara manusia menyesuaikan diri dengan alam, didalamnya ada langkah regulasi, program pendidikan dan kesadaran masyarakat, modifikasi fisik nonstruktural,
modifikasi
perilaku
serta
pengendalian
lingkungan
(Kusumasari,2014:23). Sosialisasi
berada
pada
tataran
mitigasi
non
struktural.
Dalam
mensosialisasikan hal yang baru kepada masyarakat bisa dilakukan secara langsung seperti dalam pertemuan atau didukung dengan media lainnya. BPBD melakukan sosialisasi secara langsung dengan bertemu langsung dengan warga dan melakukan penyuluhan dan pemberdayaan kepada warga agar menjadi masyarakat yang tanggap bencana termasuk didalamnya simulasi tentang bencana. BNPB dan BPBD menggunakan berbagai media untuk menjangkau daerah yang lebih luas dalam program sosialisasinya. Salah satunya adalah website Sigana, didalamnya kita bisa belajar bagaimana cara menghadapi berbagai bencana baik pra, saat bencana dan rehabilitasi. Selain itu BNPB menggunakan iklan di televise untuk
33
mensosialisasikan program masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana. Untuk mempermudah akses pendidikan bencana ke seluruh Indonesia, BNPB menggunakan video pendukung untuk mensosialisasikan masyarakat tanggap bencana. Sedangkan dalam Desa Tangguh Bencana, media yang digunakan adalah sosialisasi, penyebaran pamflet tentang bencana, dan komunikasi melalui rapat-rapat desa yang menggundang seluruh warga desa untuk bersinergi dengan pemerintah membangun desa tangguh bencana. 5.6 Intensitas Pemberitaan Bencana di Televisi Ada tiga fungsi media massa yang di perkenalkan oleh Lasswel yaitu pertama kemampuan media masa memberikan informasi yang berkaitan dengan sekitar kita atau yang sering disebut sebagai fungsi surveillance. Kedua adalah kemampuan media massa memberikan berbagai pilihan dan alternative dalam penyelesaian masalah yang dihadapi oleh masyarakat , yang dinamakan dengan fungsi correlation. Dan ketiga adalah fungsi media massa dalam mensosialisasikan nilai tertentu pada masyarakat atau dinamakan dengan transmission. Di dalam perkembangannya, Charles Wright menambahkan satu fungsi lagi, yaitu entertainment atau fungsi hiburan(Shoemaker dan Reese, 1991:28). Pemberitaan media terkait dengan bencana merupakan salah satu tugas media sebagai surveillance. Media memiliki pengaruh yang kuat dan dianggap mampu merubah sikap dan perilaku seseorang. Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa media memiliki pengaruh kuat terhadap individu. Dalam bencana, akan banyak media yang meliput peristiwa
34
tersebut. Pemberitaan mengenai bencana dianggap mampu meningkatkan awareness masyarakat tentang tempat tinggalnya yang resiko dengan bencana. Sesuai dengan pendapat teori diatas ketika pemberitaan melalui media mampu merubah sikap dan perilaku seseorang. Pemberitaan yang berulang kali akan membawa pada kondisi mengingat membenarkan apa yang disampaikan oleh media dan mengubah perilakunya untuk lebih tanggap terhadap bencana. 5.7
Tingkat SES Pitrim A Sorokin mengatakan bahwa sistem lapisan merupakan cirri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Mereka yang memiliki sesuatu berharga dalam jumlah yang sangat banyak dianggap berkedudukan dilapisan atas, mereka yang tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam pandangan masyrakat mempunyai kedudukan rendah (Soekanto, 1990 :228). Soerjono Soekanto menyatakan ukuran atau criteria yang bisa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat kedalam sauatu lapisan adalah sebagai berikut: 1. Ukuran kekayaan 2. Ukuran kekuasaan 3. Ukuran kehormatan 4. Ukuran ilmu pengetahuan (Soekanto, 1990:238)
5.8
Pengaruh Intensitas Komunikasi Tim Siaga Bencana dengan Masyarakat Komunikasi interpersonal
penting untuk proses difusi, keputusan untuk
mengadopsi suatu inovasi tergantung pada diskusi dengan rekan-rekan yang telah
35
dievaluasi dan membuat keputusan tentang apakah akan mengadopsi inovasi. Proses komunikasi lain yang terlibat sebagai potensi inovator menganggap informasi yang diterima. Kebaruan inovasi, individu mengalami tingkat tinggi ketidakpastian tentang hal itu. Dengan demikian, studi perubahan sikap, pengurangan ketidakpastian, dan pengambilan keputusan ikut bermain dalam proses difusi, terutama karena mereka dampak perubahan perilaku karena difusi pada akhirnya adalah untuk mengadopsi perilaku baru (Litlejohn, 2009: 308). Komunikasi antara tim siaga bencana berlangsung pula melalui cara interpersonal. Para Anggota bertugas menyebarkan informasi mengenai kebencanaan ke masyarakat. Mereka yang menjadi tim siaga bencana ini adalah opinion leader dari masyarakat sehingga memiliki pengaruh untuk mengubah perilaku seseorang. Untuk mencapai keakraban dalam suatu hubungan interpersonal dibutuhkan komunikasi yang intens antar individu. intensitas komunikasi dapat diartikan sebagai frekuensi berkomunikasi yang terjadi antara dua orang, dimana keduanya saling meluangkan waktu bersama untuk bertukar pikiran, mengeluarkan pendapat, saling menceritakan masalah dari yang sifatnya umum sampai pribadi. 5.9
Pengaruh Intensitas Sosialisasi terhadap Perilaku Tanggap Bencana BNPB dalam kegiatan mitigasi bencana menggunakan sosialisasi untuk
mengajak khalayak agar mengadopsi suatu sikap dan perilaku yang dituangkan didalam wadah sosialisasi yang disediakan. Sosialisasi yang dilakukan oleh BPBD meliputi sosialisasi langsung dan menggunakan media untuk mendukung. Teori kognitif sosial memberikan banyak penekanan pada konsep proses belajar melalui
36
pengamatan. Dalam mengamati tindakan orang lain dan akibat dari konsekuensinya, seseorang kemudian mempelajari apa yang diamatinya tersebut (Morrisan, 2013: 103). Sosialisasi yang dilakukan BPBD bertujuan untuk mengurangi jumlah korban bencana dan menyiapkan masyarakat menjadi tangguh terhadap bencana. Pemerintah menggunakan strategi menjemput bola dengan mendatangi daerah-daerah yang ada dalam peta rawan bencana. melalui sosialisasi masyarakat diberikan contoh langsung dan diberikan pengalaman bagaimana ketika menghadapi sebuah bencana. Strategi ini efektif karena sebelumnya masyarakat sama sekali tidak tahu bagaimana cara menghadapi bencana, dengan diadakannya simulasi dan sosialisasi masyarakat bisa tahu langsung dan meniru tindakan yang ditawarkan. BPBD menggunakan pula berbagai media pembantu seperti iklan televise. Tujuannya untuk mendesiminasi informasi tentang Indonesia yang rawan bencana sehingga setiap masyarakat harus tahu bagaimana cara mengatasi dan penyelamatan diri. Untuk menyasar kalangan muda dan menyebarkan pesan tersebut, BPBD menggunakan sosial media seperti youtube dan website. Masyarakat bisa menemukan berbagai informasi mengenai penyelamatan bencana. 5.10
Pengaruh Intensitas Pemberitaan Media Televisi dengan Perilaku Tanggap Bencana Banyak perbincangan yang memperdebatkan seberapa besar pengaruh media
terhadap seseorang. Di awal perkembangannya muncul teori jarum hipodermik atau teori peluru ajaib yang menyatakan bahwa individu sangat dipengaruhi oleh pesan pesan media karena media dianggap kuat dalam membangun opini masyarakat. dalam
37
perkembangannya teori ini disangkal oleh John Klapper yang menyatakan bahwa komunikasi massa tidak langsung menyebabkan pengaruh pada audience tetapi termediasi oleh variable lain, media hanyalah alasan pendukung. Namun saat ini peneliti kembali ke model pengaruh kuat yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle Neumann yang meyakini bahwa teori pengaruh terbatas telah mengubah penafsiran penemuan penelitian dan ajaran tentang ketidakberdayaan media tidak lagi dapat dipertahankan, media sebenarnya memiliki pengaruh yang kuat (LittleJohn,2009:422424). “Mass media channels are relatively more important at the knowledge stage and interpersonal channels are relalively more important at the persuasion stage in the innovation decision process.” Rogers menambahkan bahwa media massa itu memiliki peranan penting dalam mengubah perilaku seseorang, terutama berperan dalam tahapan persuasi (Rogers dalam Hanafi, 1981:120) Saat terjadi bencana akan terjadi pemberitaan dari berbagai stasiun televise yang ada di Indonesia. Beberapa dari mereka menyiarkan secara besar-besaran dan dianggap negative, tapi dibalik itu ada fungsi surveillance yang sedang dilakukan oleh media. Pemberitaan media menggunakan sumber informan dari para ahli untuk mengetahui penyebab terjadinya bencana dan bagaimana cara penanganan dan pencegahan terhadap bencana.
Melalui media massa masyarakat mendapatkan
pembelajaran mengenai mitigasi dan proses penanggulangan bencana. pemberitaan melalui media massa menjadikan suatu bencana menjadi sebauh ingatan kolektif . masyarakat bisa belajar dan menumbuhkan perilaku tanggap bencana.
38
5.11
Pengaruh Tingkat SES terhadap Perilaku Tanggap Bencana Indonesia adalah negara yang rawan bencana. Indonesia adalah negara dengan
karakteristik penduduknya yang beragam dari suku,agama, budaya dan SES. Tingkat SES adalah kemampuan sosial ekonomi seseorang, penggolongan kelas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi Pendidikan, Pekerjaan, Keadaan Ekonomi, Latar Belakang Budaya, Pendapatan. Indonesia memiliki karakteristik dan kondisi alam yang hampir sama dengan Jepang, memiliki intensitas bencana yang tinggi baik berupa gempabumi dan tsunami. Perbedaannya Jepang sudah memberikan pendidikan tentang bencana sejak dini, sehingga kesaadaran mereka untuk perilaku tanggap bencana sudah baik. Dampaknya, korban bencana alam di Jepang bisa di minimalisir. Pada Tokyo Broadcasting
System (TBS)
dan
Japanese
National
Police
Agency telah
mengkonfirmasi 15.269 tewas, 5.363 luka dan 8.526 hilang di enam prefektur. Di Indonesia korban tsunami sebanyak Menurut U.S. Geological Survey, sebanyak 227.898 orang meninggal dunia akibat bencana ini. Dilihat dari jumlah korban tewasnya, gempa ini adalah satu dari sepuluh gempa terburuk sekaligus tsunami terburuk sepanjang sejarah. Indonesia merupakan negara yang paling parah terkena dampaknya dengan perkiraan korban tewas mencapai 170.000 orang. Laporan lainnya dari Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan Indonesia, memperkirakan jumlah korban
39
tewas sebanyak 220.000 jiwa di Indonesia, sehingga totalnya di seluruh dunia mencapai 280.000 jiwa.7 SES masyarakat Indonesia dan Jepang berbeda, kesadaran akan pendidikan, bencanda dan penghasilan di Jepang lebih terjamin kehidupannya dibandingkan di Indonesia. Di Indonesia SES masyarakat masih banyak masyarakat yang hidup di garis kemiskinan. Dari data diatas perbandingan Jepang dan Indonesia dari segi SES bisa menunjukan bagaimana SES mempengaruhi masyarakat masyarakat Jepang yang lebih memiliki perilaku tanggap bencana. Sedangkan di Indonesia korban yang jatuh akibat sebuah bencana masih tinggi karena sebagian besarnya belum memiliki perilaku tanggap bencana.
Pemerintah melalui BNPB dan BPBD melakukan berbagai
sosialisasi berupa langsung sehingga akan meningkatkan kesadaran mereka untuk berperilaku tanggap bencana. Ketidaktepatan penggunaan inovasi ini sering terjadi pada orang yang paling dalam mengadopsi inovasi. Orang yang terlambat ini biasanya kurang berpendidikan serta nilai dan sikapnya lebih tradisional . Orang yang terlambat ini lebih tunduk pada pengaruh agen pembaru, mereka menerima inovasi itu karena paksaan agen pembaru. Jika pengaruh kekuasaan itu berkurang maka berhenti pula penggunaan inovasi. Sumber dana juga menghambat pengadopsian inovasi. Dari hasil penelitian yang ada, orang yang cepat berhenti dari inovasi itu mereka yang pendidikannya
7
^ a b "Indonesia quake toll jumps again". BBC News. 2005-01-25. Diakses 2012-12-
24.
40
kurang, status sosial rendah, kurang berhubungan dengan agen pembaharu (Rogers dalam Hanafi,1981:52). Cakupan pengetahuan atau keluasan wawasan seseorang sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan. Ketika seseorang sekolahnya makin tinggi maka kita anggap mereka makin mengerti atau sekurangnya mudah diberikan pengertian mengenai suatu informasi. Sebaliknya jika orang sekolah makin rendah maka kita anggap mereka makin susah diberikan pengertian mengenai suatu informasi (Liliweri,2007:190-1991). Tugas pemerintah untuk menyiapkan inovasi yang mampu diadopsi oleh masyarakat dengan SES yang rendah. Mencari cara difusi yang tepat, salah satunya adalah melalui Desa tangguh bencana, diharapkan dengan adanya program ini mampu merubah perilaku masyarakat untuk menjadi lebih tangguh dalam menghadapi bencana. 6.
Kerangka Pemikiran Berdasarkan penjabaran tetnang variabel-variabel di atas, maka hubungan antarvariabel tersebut dapat divisualisasi dari hubungan antarvariabel independen dan dependen:
Tingkat SES (X1) X1
Intensitas komunikas i
Perilaku Tanggap Bencana
X2
41
Y
Intensitas Sosialisasi X3
Intensitas Pemberitaa n X3
X1(Tingkat SES) adalah variable independen X2 (Intensitas Komunikasi)adalah variable independent X3(Intensitas Sosialisasi) adalah variable independen. X4(Intensitas Pemberitaan Televisi )adalah variable independen. Y (Perilaku Tanggap Bencana) adalah variable dependen. Ada pengaruh tingkat SES, intensitas komunikasi antara kader tim siaga bencana, intensitas sosialisasi,intensitas pemberitaan media televise
terhadap
perilaku tanggap bencana. Artinya semakin intens komunikasi yang dilakukan antara tim siaga bencana terhadap masyarakat dan semakin tingginya pemberitaan televise tentang bencana dan status sosial masyarakat yang semakin tinggi maka akan semakin baik perilaku tanggap bencana yang diperoleh masyarakat. 7. HIPOTESIS H1: Adanya Pengaruh Tingkat SES terhadap intensitas komunikasi
42
H2 : Adanya Pengaruh Tingkat SES terhadap Intensitas Sosialisasi H3 : Adanya Pengaruh Tingkat SES terhadap Intensitas Pemberitaan H4 : Adanya Pengaruh Tingkat SES terhadap Perilaku Tanggap Bencana. H5 : Adanya Pengaruh Intensitas Komunikasi terhadap Perilaku Tanggap Bencana. H6 ; Adanya Pengaruh Intensitas Sosialisasi terhadap Perilaku Tanggap Bencana. H7: Adanya Pengaruh Intensitas Pemberitaan terhadap Perilaku Tanggap Bencana. 8.
Definisi Konseptual
Pengertian dari setiap variable yang akan dikembangkan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Tingkat SES / status sosial ekonomi seseorang, diukur melalui pendidikan, pekerjaan, pendapatan, latar belakang budaya dan keadaan ekonomi. 2. Intensitas komunikasi antara tim siaga bencana dan masyarakat adalah tingkat keluasan dan kedalaman pertukaran informasi antara kader dalam tim siaga bencana dengan masyarakat baik secara kuantitas dan kualitas. 3. Intensitas sosialisasi adalah tingkat pemahaman masyarakat terhadap isi pesan sosialisasi, seberapa besar orang mengingat pesan dari sebuah sosialisasi dan menerapkan dalam kehidupannya sehari-hari. 4. Intensitas pemberitaan Media
43
Intensitas pemberitaan bencana adalah seberapa besar orang mengingat akan suatu peristiwa bencana, seberapa sering dia membicarakan ulang mengenai pemberitaan tersebut dan seberapa besar dampak yang dihasilkan dari informasi pemberitaan mempengaruhi perilakunya dan Informasi apa saja yang diingat serta bagaimana informasi itu mempengaruhi perilakunya. 5. Perilaku Tanggap Bencana Pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan tanggap bencana yaitu memilih untuk melakuakan penyelamatan diri dan menggunakan informasi yang didapatka dalam proses mitigasi bencana. Termasuk penyelamatan alam untuk menghindari sebelum kejadian bencana. 9.
Definisi Operasional
Pengertian dari setiap variable yang akan dikembangkan dalam penelitian ini sebagai berikut: 9.1 Intensitas komunikasi antara kader tim siaga bencana, Indikatornya: a. Kuantitas :
Frekuensi komunikasi kader tim siaga bencana dengan masyarakat
Durasi komunikasi kader dengan masyarakat.
b. Kualitas :
Keterbukaan atau oppeness yaitu kemauan untuk memberikan atau meneriman informasi dalam hubungan antar pribadi
Empati atau kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang lain
44
Sikap mendukung yaitu kemampuan untuk menciptakan situasi yang mendukung sehingga lawan bicara dapat lebih terbuka dan jujur
Sikap positif, yaitu mempunyai kemampuan untuk menyatakan sikap positif dan secara positif mendorong orang yang menjadi teman dalam berinteraksi.
Kesamaan atau equality
9.2 Intensitas Sosialisasi , Indikatornya : a.Kuantitas:
Intensitas mengikuti sosialisasi
Frequensi mengikuti sosialisasi
Durasi, seberapa lama sosialisasi itu berlangsung
b.Kualitas :
Tingkat pemahaman saat sosialisasi
Daya ingat setelah sosialisasi.
9.3 Intensitas Pemberitaan Kuantitas:
Intensitas dalam melihat pemberitaan bencana
Frequensi melihat pemberitaan bencana
Durasi seberapa lama melihat bencana
Kualitas:
Tingkat pemahaman saat melihat pemberitaan
Tingkat mengingat saat melihat pemberitaan bencana
9.4 Tingkat SES, Indikatornya:
Pendidikan terakhir
Pendapatan perbulan
Latarbelakang budaya
Pekerjaan sehari-hari
45
9.5 Perilaku Tanggap Bencana Indikatornya :
Seberapa besar keyakinan untuk membuat keputusan mengadopsi perilaku. Tabel 1.6 Matriks Penelitian
Variabel Intensitas
Dimensi Kuantitas
komunikasi Kualitas
Intensitas sosialisasi
Pengetahuan
Indikator
Skala
Frekuensi komunikasi
Interval
Durasi komunikasi kader
Interval
Keterbukaan
Interval
Empati
Interval
Sikap mendukung
Interval
Sikap positif
Interval
Kesamaan
Interval
Intensitas mengikuti sosialisasi
Rasio
Frequensi mengikuti sosialisasi
Rasio
Durasi
seberapa lama mengikuti
Rasio
Tingkat Pemahaman saat mengikuti
Rasio
sosialisasi
sosialisasi. Intensitas
Pengetahuan
Intensitas
melihat
pemberitaan
Rasio
melihat
pemberitaan
Rasio
Durasi seberapa lama melihat bencana
Rasio
Tingkat Pemahaman saat mengikuti
Rasio
Pendidikan terakhir
Interval
Pendapatan perbulan
Interval
Latar belakang budaya
Interval
Pekerjaan sehari-hari
Interval
pemberitaan
bencana
bencana
Frequensi bencana
Tingkat SES
46
Perilaku
Keputusan
Seberapa
Tanggap
membuat
Bencana
perilaku
besar
keyakinan
keputusan
untuk
Interval
mengadopsi
10. Metode Penelitian 10.1. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah penelitian eksplanatif yaitu menjelaskan hubungan atau mencari sebab akibat antara dua atau lebih variable yang diteliti (Kriyantono, 2006: 69). Dalam penelitian ini akan dilihat sebab akibat dari tingkat SES, intensitas komunikasi dengan tim siaga bencana, intensitas sosialisasi dan intensitas pemberitaan terhadap perilaku tanggap bencana. 10.2. Populasi dan Sampel 10.2.1 Populasi Populasi adalah keseluruhan objek atau fenomena yang akan diteliti (Kriyantono, 2006: 69). Populasi penelitian ini adalah seluruh warga Banjarnegara yang berada di daerah peta rawan bencana. 10.2.2. Sampel Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek atau fenomena yang akan diamati (Kriyantono, 2006 : 152). Sampel dari penelitian ini adalah masyarakat di Kabupaten Banjarnegara yang dipilih berdasarkan teknik cluster dari populasi 10.2.3. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan probability sampling yaitu dengan metode cluster sampling. Teknik penarikan sampel dengan metode ini adalah populasi dibagi dulu atas kelompok berdasarkan cluster atau area,
47
lalu kemudian beberapa cluster dipilih sebagai sampel, dari cluster tersebut bisa diambil seluruhnya atau sebagian saja untuk dijadikan sampel (Siregar, 2013:32). Sample yang akan diteliti berasal dari populasi sampel yang akan diteliti berasal dari populasi masyarakat yang berada di Desa Sijeruk, Desa Karangkobar dan Desa Kalitlaga yang pernah mengikuti sosialisasi, berkomunikasi dengan tim siaga bencana dan melihat pemberitaan bencana. 10.3. Jenis dan Sumber Data 10.3.1. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif karena data ini bersifat objektif dan dapat ditafsirkan dengan sama oleh semua orang. 10.3.2. Sumber Data Sumber data yang akan digunakan adalah data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan kuesioner berisi daftar pertanyaan yang ditujukan dan ditanyakan dengan wawancara langsung. Data sekunder adalah data pendukung penelitian yang didapat dari kecamatan seperti data penduduk dan data dari BPBD serta dari media baik elektronik dan cetak. 10.3.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang akan digunakan dalam penelitian ini melalui kuesioner yaitu seperangkat daftar pertanyaan yang disampaikan melalui wawancara langsung kepada responden. Hasil wawancara yang didapatkan akan menjadi data primer, sementara data sekunder didapat dari pengamatan saat sosialisasi berlangsung.
48
10.3.4. Instrument Penelitian Alat pengumpul data yang digunakan adalah kuesioner dengan pertanyaan tertutup, pertanyaan yang ada adalah penjabaran dari tolak ukur yang diturunkan dari setiap indikator.
10.4 Teknik Analisis data Untuk menjelaskan hubungan antar dua variable bisa menggunakan statistic inveresial, yaitu riset yang tujuannya untuk menjelaskan hubungan antara dua variable atau lebih (Kriyantono, 2006: 167). Analisis dimulai dengan analisis deskriptif berupa penyajian tabel, grafik, diagram, gambar, dan lain-lain. Selanjutnya menguji hubungan antar variabel dengan statistik inferensial. Kekuatan hubungan yang menunjukkan derajat hubungan ini disebut koefisien korelasi (Kriyantono, 2006: 168). Teknik analisis data dari hipotesis asosiatif antara skala data interval dengan interval menggunakan rumus Pearson’s Correlation. r=
N∑xy- ∑x ∑y √[N∑x 2)-(∑x)2] [∑y2-(∑y)2]
Keterangan: r:= koefisien korelasi Pearson’s Product Moment N= jumlah individu dalam sampel X= angka mentah untuk variable X
49
Y= angka mentah untuk variable Y ( Kriyantono, 2006: 171-172) Setelah dilakukan uji hubungan dengan menggunakan Pearson’s Correlation langkah selanjutnya adalah pengujian data dengan menggunakan regresi berganda. Untuk melihat pengaruh varialeb X terhadap Y, yaitu pengaruh tingkat SES terhadap perilaku tanggap bencan, Intensitas komunikasi terhadap perilaku tanggap bencana, intensitas sosialisasi terhadap perilaku tanggap bencana dan intesitas pemberitaan terhadap perilaku tanggap bencana. 10.5 Uji Validitas dan Reliabilitas 10.5.1. Uji Validitas Ada dua jenis validitas dalam riset kuantitatif, yaitu validitas internal yang mencakup apakah alat ukur sesuai dengan apa yang diukur,pemilihan teori dan pengukuran konsep. Sedangkan validitas eksternal terkait dengan pemilihan sample, apakah sudah representative untuk menggeneralisasi(Kriyantono, 2006: 70). Validitas konstruk adalah menguji kerangka dari suatu konsep dengan menguji apakah kuesioner yang dibuat valid atau tidak. Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahuinya, yaitu: a. Jika koefisien korelasi product moment melebihi 0,3 (Azwar, 1992 dan Soegiyon dalam Siregar, 2013: 47) b. Jika koefisien korelasi product moment > r-tabel (α ; n-2) n=jumlah sampel c. Nilai Sig. ≤ α
50
Rumus uji validitas dengan teknik korelasi product moment adalah: n(∑XY) – (∑X)(∑Y)jfghskd
rhitung =
______________________________
√[n(∑X²) – (∑X)²] [n(∑Y²) – (∑Y)²]
10.5.2 Uji Realibilitas Reliabilitas adalah untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten, apabila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat pengukur yang sama pula. Ujian reliabilitas alat ukur dapat dilakukan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal, pengujian dapat dilakukan test-retest, equivalent, dan gabungan keduanya. Secara internal, reliabilitas alat ukur dapat diuji dengan menganalisis konsistensi butir-butir yang ada pada instrument dengan teknik tertentu (Siregar, 2013: 55). Uji reliabilitas digunakan program statistik SPSS yaitu “Reliability Analysis”, dengan menggunakan rumus Cronbach’s Alpha. Kriteria suatu instrumen dikatakan reliable dengan menggunakan teknik Cronbach’s Alpha, bila koefisien reliabilitasnya (r11) lebih dari 0,6. (Siregar, 2013: 57). 11.
Keterbatasan Penelitian
51
a. Ada banyak faktor yang membentuk perilaku tanggap bencana. bisa di eksplore lagi tentang pengaruh budaya yang akan membentuk perilaku. Dalam penelitian ini, variable budaya atau local wisdom belum dimasukan. b. Kurangnya data tentang sosialisasi di Banjarnegara, dan dari pihak BNPB yang belum terlalu mengeksplore kegiatan sosialisasi dan membuatnya menjadi menarik, sehingga perubahan perilaku bisa tercapai.
52