Bab 9 MODAL SPIRITUAL DI MONDO
Bagaimanapun, mendefinisikan modal spiritual bukanlah hal yang mudah. Hal ini terjadi karena penghayatan spiritual berkaitan dengan kepercayaan kepada Yang Transenden, yang melampaui pemikiran manusia. Sejauh mana intensitas penghayatan spiritual seseorang tak dapat dilihat dan tak dapat diukur. Kenyataan yang dapat dilihat dari penghayatan spiritual adalah buah-buahnya yang muncul dalam perilaku sosial. Oleh karena itu, apa yang terjadi di Mondo sebetulnya adalah sebuah transubstansiasi dari penghayatan spiritual ke perilaku sosial yang melahirkan pembangunan. Dalam perspektif inilah penghayatan spiritual menjadi sebuah modal spiritual. Oleh karena itu, diskusi dalam bagian ini hendak mengungkapkan konsep-konsep imajiner dalam tataran filosofis. Walaupun demikian, semua itu didukung oleh argumentasi teoritis dan fakta-fakta sosial lapangan. Berikut ini akan disajikan paparan-paparan yang dilengkapi dengan argumentasinya untuk menjawab tujuan penelitian.
249
MODAL SPIRITUAL KONTEKS MONDO Hingga saat ini, cukup banyak penelitian mengenai modal spiritual maupun yang relevan dengan modal spiritual. Seluruh hasil penelitian itu memberikan konsep yang berbeda-beda mengenai modal spiritual. 162 Ternyata, modal spiritual dalam konteks Mondo juga memberikan konsep yang berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu. Modal spiritual konteks Mondo merupakan nilai-nilai dalam penghayatan spiritual yang mewarnai pembangunan. Berikut ini akan disampaikan berbagai argumentasi teoritis dan fakta sosial di lapangan yang membentuk konsep tersebut. Melalui penelitiannya di Jepang, Bellah (1992) mengamati bahwa ada nilai bakti kepada leluhur dalam Spiritualitas Konfusianisme. Penghayatan spiritual masyarakat terungkap melalui norma rajin, jujur, hemat, dan kerja keras yang ternyata memberikan dampak langsung terhadap kebangkitan ekonomi di Jepang. Tampak dalam hal ini ada keterkaitan antara nilai, norma, dan pembangunan. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan keterkaitan yang sama seperti yang secara panjang lebar telah diuraikan dalam Bab I. Tabel 3 Penelitian yang menunjukkan keterkaitan antara nilai, norma, dan pembangunan 163 Peneliti (Tempat Penelitian) Weber (Amerika Serikat) Bellah (Jepang) Bellah (Yonezawa, Jepang)
Spiritualitas (Nilai)
Norma
Protestan (Keselamatan) Zen (Kerja adalah suci) Konfusianisme (Bakti kepada leluhur)
Kerja keras, hidup hemat, menabung Kerja keras dan ugahari Rajin, jujur, hemat, kerja keras
Pengaruh dalam pembangunan Kebangkitan ekonomi Kebangkitan ekonomi Kebangkitan ekonomi
Walaupun dalam penelitian-penelitian di atas tidak disebutkan istilah modal spiritual secara eksplisit, namun benang merah yang dapat ditarik dari seluruh penelitian tersebut, yaitu adanya keterkaitan antara spiritualitas dan pembangunan. Di dalam setiap spiritualitas tersebut ada nilai-nilai yang berkaitan dengan norma, yang pada akhirnya memberikan konsekuensi bagi pembangunan. Selain itu, masih banyak lagi penelitian yang mengaitkan modal 162 163
Sebagaimana yang dipaparkan dalam Bab I. Uraian lengkapnya mengenai masing-masing penelitian ini dapat dilihat pada Bab I.
250
spiritual dengan nilai-nilai, antara lain Davies & Guest (dalam Flanagan 2007), Zohar & Marshall (2004), Zohar (2004), Beard (2007). 164 Semua penelitian itu menunjukkan bahwa nilai-nilai dalam penghayatan spiritual masyarakat dapat menjadi sebuah modal spiritual. Berbagai fakta sosial di Mondo juga mendukung argumentasi bahwa modal spiritual merupakan nilai-nilai dalam penghayatan spiritual yang mewarnai pembangunan. Spiritualitas tradisional yang dihayati masyarakat Mondo menekankan pada penyembahan kepada leluhur serta kurban sesajian. Di dalam penghayatan spiritualitas tradisional tersebut ada nilai komunal karena kurban sesajian ini biasanya berupa binatang yang mewakili doa dan persembahan dari seluruh peserta ritual yang merupakan komunitas. Selain itu, penyembahan kepada leluhur juga mengandung nilai komunal karena para peserta ritual melakukan penyembahan dalam sebuah kekerabatan terhadap leluhur mereka. 165 Khusus dalam konteks Mondo, para tetuanya menjunjung tinggi nilai-nilai keksatriaan dalam keseharian mereka. Hal ini tidak lepas dari penghayatan spiritual tradisional yang berpusat kepada leluhur. Para tetua Mondo menyadari leluhur mereka adalah para prajurit Riwu yang memiliki sifat-sifat ksatria sehingga berusaha menghidupkan terus nilai-nilai ksatria tersebut. Di sinilah tampak jati diri batin (Bilaniuk, 1982) orang Mondo yang menjadi citra dari leluhur mereka yang ksatria. Ini semua tidak lain merupakan ungkapan penghayatan spiritualitas tradisional Panga Waling atau tetua Mondo. 166 Setelah spiritualitas kristiani yang menekankan nilai cintakasih memasuki Mondo, masyarakat menerimanya dalam perspektif spiritualitas tradisional mereka. Oleh karena itu, nilai cintakasih tetap diterjemahkan dalam nilai komunal dan ksatria karena sesungguhnya di dalam kekomunalan dan keksatriaan sudah terkandung nilai cintakasih. 167 Dengan demikian, ada nilai komunal dan ksatria yang hidup di kalangan masyarakat Mondo hingga saat ini. Nilai-nilai ini mewarnai norma kekerabatan 168 dan gaya kepemimpinan 169 di Mondo, sehingga akhirnya memberikan kontribusi pula bagi pembangunan. Gaya kepemimpinan ksatria yang selalu membela komunitas atau kaum yang lemah ternyata dapat menggerakkan roda pembangunan karena mampu 164
Uraian lebih rinci mengenai penelitian-penelitian tersebut dapat dilihat pada Bab I. Penjelasan lengkapnya dapat dilihat pada Bab V. 166 Penjelasan lengkapnya dapat dilihat pada Bab IV. 167 Penjelasan lengkapnya dapat dilihat pada Bab VI. 168 Penjelasan lengkapnya dapat dilihat pada Bab VI, VII, dan VIII. 169 Penjelasan lengkapnya dapat dilihat pada Bab VII. 165
251
menggalang kerja keras penduduk yang hidup dalam kekerabatan. Dengan perkataan lain, gaya kepemimpinan yang diwarnai penghayatan spiritual tersebut memudahkan mengalirnya partisipasi aktif masyarakat. Pembangunan ini memiliki nilai yang signifikan, yang membuat Kampung Mondo berbeda dengan kampung-kampung lainnya. Pembangunan yang signifikan dalam hal ini bukan berujud sarana infrastruktur maupun kebangkitan ekonomi yang luar biasa tetapi lebih kepada pembentukan sebuah komunitas pembangun, 170 yang pada akhirnya juga memengaruhi proses pembangunan. Apabila didefinisikan secara umum, modal spiritual adalah nilai-nilai dalam sebuah penghayatan spiritual yang membuahkan norma-norma yang mewarnai terjadinya pembangunan yang signifikan. Hakikat dari modal spiritual orang Mondo tersebut merujuk ke jati diri batin Tu’a Golo Mondo yang memengaruhi seluruh komunitas. Jati diri batin Tu’a Golo Mondo ini muncul dari bagaimana ia mengidentifikasikan dirinya, yang tidak lain merupakan ekspresi keksatriaan leluhur dan relasi pribadi yang mendalam dengan Sang Pencipta. Apa yang menjadi jati diri batin Tu’a Golo akhirnya menjadi jati diri batin orang Mondo karena pengaruh kharismatis sang Tu’a Golo. Adapun pembangunan signifikan yang terjadi di Mondo tidak lain adalah pembangunan masyarakatnya sendiri yang mengkarakterkan mereka sebagai komunitas pembangun. Pada akhirnya, komunitas pembangun ini menggerakkan pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Pengalaman rohani yang dialami Tu’a Golo Mondo pada tahun 1994 menjadi titik awal terbentuknya modal spiritual di Mondo yang dapat dilihat secara nyata. Pengalaman rohani tersebut membuat Tu’a Golo Mondo mengajak warganya untuk ikut serta mengalami pengalaman rohani yang sama. Penghayatan spiritual yang baru ini rupanya memengaruhi perilaku sosial 171 mereka pula sehingga nilai-nilai yang berkembang dalam penghayatan spiritual baru inilah sebetulnya yang menjadi modal spiritual Mondo saat ini. Dengan catatan, nilai-nilai yang berkembang itu tetap komunal dan ksatria namun hadir melalui penghayatan spiritual yang baru. 170
Gambaran mengenai komunitas pembangun dapat dilihat pada Bab II. Adapun argumentasinya dapat dilihat pada subbab mengenai komunitas pembangun di dalam bab ini. 171 Secara tegas Weber merujuk pengajaran-pengajaran Benjamin Franklin sebagai modal spiritual. Dalam konteks Mondo, modal spiritual itu berasal dari Tu’a Golo, namun bukan melalui pengajarannya melainkan lebih melalui teladannya dan kepemimpinannya yang membawa warga kampung sesuai dengan penghayatan spiritualnya. Misalnya, ketika ia mengajak warga kampung melebarkan jalan dari 4 m menjadi 7 m karena mendapatkan bantuan beras (lih. Bab VII). 252
SPIRITUALITAS
NILAI (MODAL SPIRITUAL)
NORMA KEKERABATAN DAN GAYA KEPEMIMPINAN
KOMUNITAS PEMBANGUN
PEMBANGUNAN
Bagan 15 Modal spiritual konteks Mondo
Identifikasi Tu'a Golo: Ekspresi keksatriaan leluhur dan relasi yang mendalam dengan yang transenden
Penghayatan spiritual Tu'a Golo - penghayatan spiritual orang Mondo
Nilai-nilai yang berkembang - menjadi modal spiritual bertransubstansiasi ke perilaku sosial
Bagan 16 Jati diri batin Orang Mondo
253
Kata “modal” seringkali dikaitkan dengan ekonomi dan kapitalisme (Berger and Hefner 2003, Keefer and Knack 2003). Konsekuensinya, sebuah nilai spiritual dapat dikatakan sebagai modal spiritual apabila memberikan kontribusinya secara signifikan dalam sebuah kebangkitan ekonomi. Walaupun demikian, dalam tulisan ini pengertian ekonomi tidak melulu diukur dari seberapa besar pendapatan masyarakat. Nilai-nilai dari sebuah spiritualitas dapat juga dikatakan sebagai sebuah modal spiritual ketika karenanya masyarakat yang tinggal di daerah orbitasi rendah terhadap pusat pemerintahan dan terancam terabaikan oleh pembangunan dapat tetap menggulirkan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraannya. Dengan caranya sendiri, mereka dapat mengatasi kemiskinannya dan menjadi sebuah komunitas warga yang cukup maju dalam segala keterbatasannya. Walaupun cikal bakal modal spiritual sudah ada di Mondo sejak berdirinya kampung tersebut, namun semua itu belum bisa dikatakan sebagai modal spiritual selama belum ada pembangunan yang signifikan di Mondo. Pada saat masyarakat Mondo telah menjadi sebuah komunitas yang maju dan berbeda dibandingkan kampung-kampung lainnya, saat itulah nilai-nilai komunal dan ksatria di Mondo dengan tegas dapat dikatakan sebagai sebuah modal spiritual. Dari sini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa modal spiritual mengiringi perjalanan evolusi pembangunan yang terjadi di Mondo. Modal spiritual di Mondo tertanam di dalam penghayatan spiritual warga Mondo dan bertumbuh seiring dengan berkembangnya Kampung Mondo. Oleh karena itu, modal ini tidak dapat dikatakan sebagai modal religius karena modal religius berkaitan dengan institusi agama. Meskipun, tak dapat disangkal bahwa institusi agama telah berkontribusi terhadap pembentukan modal spiritual di Mondo. Kesimpulannya, modal spiritual ini tertanam di dalam penghayatan spiritual masyarakat dan bukan di dalam institusi agama yang menaungi Mondo. Berdasarkan paparan sebelumnya, modal spiritual konteks Mondo memiliki kekhasan karena mengaitkan pembangunan berbasis komunitas dengan kekerabatan. Selama ini, konsep-konsep modal spiritual yang sudah dinyatakan oleh para peneliti antara lain dikaitkan dengan budaya (Davies and Guest dalam Flanagan 2007), ekonomi dan politik (Zohar 2004), kegiatan karitas Gereja (Unruh and Sider 2005), ekonomi dan sosial (Sir John Templeton dalam Hardiyanto 2008, Woodburry 2003 dalam Hardiyanto 2008), sumber daya alam (Malloch 2003), komoditas religius yang dipandang bernilai (Finke
254
2003), modal sosial (Friedly 2001, Wortham dan Wortham 2007, Ramstedt 2008), dan civil society (Baker and Miles-Watson 2010). Sumbangan lain dari tulisan ini berkaitan dengan nilai-nilai yang dihayati oleh orang Mondo. Sepintas lalu, nilai-nilai keksatriaan dan komunalitas serupa dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Jepang sebagaimana yang diteliti oleh Bellah (1992). Akan tetapi, sebetulnya ada perbedaan yang cukup mencolok. Nilai keksatriaan di Jepang dihayati oleh seluruh masyarakat, sementara di Mondo hanya oleh Panga Waling saja, dalam hal ini para tetua Mondo. Nilai ksatria samurai di Jepang mengandung semangat rela berkorban dan membela atasannya. Dalam hal ini, garis pembelaan berasal dari bawah ke atas, dari rakyat ke kaisar. Sebaliknya di Mondo, nilai ksatria mengandung semangat rela berkorban dan membela kaum yang lemah. Garis pembelaan dari atas ke bawah, yaitu dari Tu’a Golo ke anggota komunitas kampung. Justru dalam hal inilah nilai keksatriaan muncul sebagai sebuah modal spiritual karena mewarnai gaya kepemimpinan tetua Mondo yang akhirnya memberikan kontribusi positif dalam pembangunan. Perilaku masyarakat Mondo yang mencirikan masyarakat kapitalis seperti kerja keras, melakukan investasi untuk masa depan, dan penghematan sekilas tampak seperti yang diuraikan oleh Weber dalam tulisannya Etika Protestan dan Kapitalisme (dalam 2003, 2006). Akan tetapi, ada perbedaan mencolok pula karena semangat kerja keras, investasi, dan hidup hemat masyarakat Mondo dilakukan dengan semangat komunal dalam sebuah pembangunan yang bersifat sosial, sementara yang terjadi di Amerika Serikat adalah semangat yang bersifat individual. Dengan demikian, tulisan ini memiliki posisinya sendiri jika dibandingkan dengan Bellah (1992) dan Weber (dalam 2003, 2006). Cukup banyak penelitian yang mengaitkan modal spiritual dengan nilainilai (Davies & Guest dalam Flanagan 2007, Zohar & Marshall 2004, Zohar 2004, Beard 2007, Kenny 2007). Akan tetapi, penelitian-penelitian tersebut tidak mengaitkannya dengan norma dan gaya kepemimpinan. Padahal, nilainilai sebuah penghayatan spiritual adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat dan diukur. Apa yang terlihat dan dapat diobservasi adalah perilaku sosial yang seringkali dibimbing oleh norma dan gaya kepemimpinan. Dalam hal inilah tulisan mengenai Mondo hadir dengan perbedaannya, yaitu bahwa modal spiritual tak dapat dilepaskan dari norma dan gaya kepemimpinan yang menuntun perilaku sosial masyarakat. Jaringan sosial di Mondo diikat oleh norma kekerabatan yang membuat penduduknya saling percaya satu sama lain. Norma kekerabatan di Mondo 255
berasal dari penghayatan spiritual masyarakat. Oleh sebab itu, dalam konteks Mondo penghayatan spiritual ada lebih dahulu sebelum modal sosial. Justru karena nilai-nilai dalam penghayatan spiritual Mondo membuahkan norma kekerabatan yang mengikat masyarakat menjadi sebuah jaringan sosial yang saling percaya, dalam hal ini modal spiritual melahirkan modal sosial. Apa yang dialami oleh masyarakat Mondo ini menjadi kritik terhadap teori Berger & Hefner (2003) yang mengatakan bahwa modal spiritual merupakan sub spesies dari modal sosial. Bagaimanapun, Mondo turut berpartisipasi menambah jajaran pendapat yang mengatakan bahwa modal spiritual dan modal sosial memiliki keterkaitan (Friedly 2001, Wortham & Wortham 2007, Ramstedt 2008, Baker & Miles-Watson 2010).
MODAL SPIRITUAL DI BALIK KEMAMPUAN MEMBANGUN Keterkaitan Modal Spiritual dan Komunitas Pembangun Melihat situasi Mondo yang terabaikan dalam pembangunan, rupanya nyaris nihilnya pembangunan fisik tidak dapat menjadi indikator bahwa tidak ada pembangunan di sana. Kenyataannya, masyarakat Mondo menjadi sebuah komunitas pembangun. Dalam hal inilah terjadi pembangunan, yaitu pembangunan masyarakat pembangun. Masyarakat Mondo tampak sebagai sebuah komunitas yang hidup dalam kekerabatan dan persaudaraan, ada partisipasi aktif dari para warganya, menjalankan prinsip-prinsip keadilan, dan melakukan pembangunan yang berbasis lingkungan. Dengan demikian, kekerabatan mereka yang ada sekarang inilah yang menjadi komunitas pembangun. Ada beberapa fenomena yang menggambarkan masyarakat Mondo sebagai komunitas pembangun, 172 dan ternyata semua fenomena tersebut berkaitan dengan penghayatan spiritual mereka. Pertama, pendidikan masyarakat relatif lebih tinggi dibandingkan masyarakat kampung lainnya. Hal ini terjadi karena adanya sebuah motivasi spiritual yang terpusat kepada leluhur. Yoseph Majung 173 sangat menekankan pendidikan kepada anak-anaknya. 174 Dengan penghayatan spiritual yang terpusat kepada leluhur, Stefanus berusaha mewujudkan amanat orang tua ini. 172
Cerita lengkapnya dapat dilihat pada Bab III. Salah satu leluhur Mondo. 174 Berdasarkan hasil wawancara dengan Feri Sehadung dan Alfonsius Dasung. 173
256
Kemudian, banyak warga Mondo lainnya ikut berusaha pula menyekolahkan anaknya. Kedua, pembangunan masih dapat bergulir secara swadaya lewat partisipasi aktif masyarakat. Penghayatan spiritual Stefanus sebagai ksatria yang memimpin perjuangan pembangunan tidak hanya di tingkat koordinasi namun sampai kepada tingkat aksi telah menggalang partisipasi aktif masyarakat yang dihidupkan oleh nilai komunal lewat penghayatan spiritualnya. 175 Ketiga, perilaku ekonomi yang mementingkan investasi demi masa depan cukup tampak di Mondo. Menurut Gregorius Nahar, seorang anak wina Panga Waling, Monika Setia 176 sering menekankan bahwa semua anak dan keturunannya harus giat bekerja. Perilaku Nggulung, Lupur, dan Yoseph Majung 177 para leluhur Mondo yang cukup berani mengambil resiko demi prospek ekonomi yang lebih cerah juga mewarnai perilaku ekonomi warga Mondo yang penghayatan spiritualnya terpusat kepada leluhur ini. Belum lagi, adanya dua buah warung di Mondo merupakan hal yang cukup fenomenal karena menjadi satu-satunya kampung yang memiliki warung di seluruh Desa Golo Kantar. Menghapus upacara adat Penti di level Kampung Mondo juga merupakan sebuah keputusan yang kontroversial. 178 Namun, dengan dihapusnya upacara tersebut berarti Mondo melakukan penghematan sekitar 30 hingga 40 juta rupiah per tahunnya. Penghematan ini mengandung motivasi spiritual pula. Stefanus mengungkapkan ia tidak sanggup membawa seluruh warga kampungnya jatuh ke dalam dosa dengan menyelenggarakan Penti yang melakukan pemanggilan arwah-arwah dan penyembahan kepada leluhur. Dengan perkataan lain, perilaku ekonomi warga Mondo yang mementingkan investasi masa depan cukup kelihatan, dan ini semua berkaitan erat dengan penghayatan spiritual mereka. Selain itu, keterlibatan aktif mereka sebagai anggota Gereja dan Komunitas Tritunggal Mahakudus pada kenyataannya telah 175
Stefanus sebagai pemimpin yang terjun langsung di dalam setiap pembangunan disaksikan langsung oleh penulis ketika pembangunan sarana air bersih dan pembuatan jalan ke tingkat telford. Hal ini diteguhkan juga dengan kesaksian warga. 176 Salah satu leluhur Mondo. 177 Nggulung dan Lupur berani mengambil resiko pindah ke tempat baru karena melihat prospek ekonomi yang lebih cerah. Sedangkan Yoseph Majung berani membagibagikan tanahnya kepada banyak orang agar lahan Mondo menjadi lebih produktif. Hal ini diungkapkan Stefanus yang mengatakan Yoseph Majung membutuhkan banyak sekali orang agar dapat membuat Mondo produktif. Kisah selengkapnya mengenai hal ini dapat dilihat pada Bab IV. 178 Kisah lengkapnya dapat dibaca pada Bab V. 257
mengalirkan berbagai bantuan yang mendorong penggerakan pembangunan kampung tersebut. Dengan demikian, selain secara internal kekerabatan di Mondo merupakan modal sosial yang bersifat bonding, Mondo juga menciptakan bridging modal sosial dengan Gereja dan Komunitas Tritunggal Mahakudus yang berada di luar Mondo. Keempat, dalam bidang politik warga Mondo juga memiliki kekhususan tersendiri. Sejak tahun 1999, mereka sudah melakukan demonstrasi dan resistensi. Ketika menceritakan hal ini, tampak ada sedikit kebanggaan dari para anggota keluarga Waling. Jika dahulu leluhur mereka memimpin perjuangan dalam medan pertempuran, kini mereka memimpin perjuangan dalam melakukan demonstrasi dan resistensi. Dalam hal ini, penghayatan spiritual mereka yang terpusat kepada leluhur turut mewarnai sikap dan tindakan mereka. Nilai ksatria yang tidak dapat terlihat oleh mata terungkap dalam ciri civil society yang dapat terlihat jelas dalam masyarakat Mondo. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jati diri batin mereka sebagai seorang ksatria agaknya menjadi pendorong kuat sikap tersebut. Hingga saat ini, sikap warga Mondo yang menginginkan akuntabilitas dan transparansi pemerintah tetap tidak padam. Hal ini muncul sangat sering dari berbagai percakapan mereka. 179 Adapun suasana perpolitikan internal kampung yang demokratis namun tetap dalam kekerabatan yang hirarkis akan dibahas secara khusus dalam subbab mengenai Demokrasi Kekerabatan. Kelima, kelebihan warga Mondo lainnya adalah mereka cukup rapi dalam pengorganisasian dan administrasi. Hal ini memberikan konsekuensi yang baik pula terhadap lingkungan. Dalam sebuah wawancara, Feri Sehadung mengatakan bahwa tidak ada seorang pun anggota Waling yang mengerti mengapa dahulu Yoseph Majung sangat menekankan pendidikan, sesuatu yang sebetulnya tidak masuk akal karena pada zaman itu pendidikan belum dianggap penting oleh masyarakat setempat. Namun, kini mereka sangat bersyukur sudah mengenyam bangku pendidikan karena dapat menjadi bekal untuk memimpin Kampung Mondo. Feri merasakan adanya kebijakan profetis dari leluhur yang melihat bahwa zaman semakin lama semakin berkembang sehingga keturunannya harus sekolah agar selalu dapat selangkah lebih maju sehingga dapat mengorganisir dan memimpin kampung dengan baik. Contoh kerapian pengorganisasian yang berdampak positif terhadap lingkungan, misalnya penjadwalan keran air, 180 pemeliharaan jalan yang dilakukan setiap minggu, dan 179 180
Bab III, Bab VII. Bab VII.
258
pemeliharaan bebatuan yang ditemukan selama penggalian jalan. 181 Kerapian pengorganisasian ini berkaitan erat dengan prinsip-prinsip keadilan seperti misalnya dalam hal pembagian lingko, pembagian tugas kerja bakti, pembagian kesempatan pemakaian sarana air bersih, dan sebagainya. Semua fenomena di atas itulah yang mendorong tulisan ini untuk mengatakan bahwa ada pembangunan yang signifikan di Mondo, pembangunan masyarakat yang terbentuk sebagai komunitas pembangun. Mereka dapat disebut sebagai komunitas pembangun karena segala kemiskinan dan keterbatasan yang ada relatif tidak membelenggu mereka untuk bebas meningkatkan kesejahteraan demi memenuhi kebutuhan mereka (Sen 2000:1018). Sebagai sebuah komunitas, mereka memiliki kemampuan membangun di kampungnya. Selain itu, mereka dipandang sebagai komunitas yang maju jika ditinjau dari perspektif pembangunan di Indonesia. Pembangunan yang terjadi di Indonesia tampak berjalan di garis kapitalisme dalam bidang ekonomi dan demokrasi di bidang politik (Kompas, 6 September dan 17 September 2010). Di tengah suasana kampung-kampung Manggarai yang cenderung masih prakapitalis 182, agraris, dan hirarkis, Mondo justru tampil dengan beberapa ciri kapitalis yang sudah memikirkan investasi di masa mendatang dan demokratis sebagaimana yang disebutkan di atas, walau tetap komunal dan agraris. Namun, di sinilah sebetulnya kekhususan Mondo. Walaupun ada ciri kapitalistik yang melekat dalam diri mereka, namun mereka tetap menjadi sebuah komunitas yang komunal dalam suasana kekerabatan yang kental. Di dalamnya berlaku nilai-nilai cintakasih, persaudaraan, partisipasi aktif warga kampung, dan pembangunan yang memerhatikan lingkungan. Ciri kapitalistik tidak memudarkan sifat pembangunan mereka yang sosial sebagai sebuah komunitas. Semua hal ini berkaitan erat dengan nilai ksatria sang pemimpin yang cenderung membela kepentingan rakyat atau kaum yang lemah dan nilai komunal yang tertanam di kalangan masyarakat Mondo.
181
Bab VII. Masyarakat prakapitalis yang dimaksudkan di sini adalah masyarakat yang masih hidup dalam sistem ikatan sosial asli, sistem suku tradisionil, kebutuhan yang terbatas dan sederhana, produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan dilakukan oleh keluarga sendiri, tidak menggunakan sarana jual beli untuk memenuhi kebutuhan, tidak ada keinginan untuk mencari laba, bersaing, berusaha bersama, berdagang, menghimpunkan modal dan mengembangkan industri, sikap memandang remeh dorongan ekonomi, mencampurkan dorongan ekonomi dengan dorongan agama, etika, sosial, dan nilai tradisional lainnya (Boeke 1982:28 dalam Warsito, Prihtanti, Hartono 2010). Walaupun perdagangan hasil kebun dan jual beli kebutuhan lain sudah mulai terjadi di Mondo, namun ciri-ciri masyarakat prakapitalis masih cukup dominan.
182
259
Dengan perkataan lain, modal spiritual konteks Mondo merupakan pertemuan antara nilai ksatria Tu’a Golo yang berinisiatif memimpin pembangunan dengan nilai komunal masyarakat yang terungkap lewat partisipasi aktif mereka. Oleh karena itu, pembangunan di Mondo sangat diwarnai oleh nilai ksatria dan komunal.
• Nilai ksatria • Memimpin langsung pembangunan
Masyarakat • Nilai komunal • Kerja keras dan gotong royong dalam koordinasi Tu'a Golo
• Nilai ksatria dan komunal • Inisiatif Tu'a Golo bertemu dengan partisipasi aktif masyarakat
Tu'a Golo
Pembangunan
Bagan 17 Pola hubungan nilai-nilai Tu’a Golo dan masyarakat dalam pembangunan
Nilai-Nilai yang Menjadi Kekuatan Modal Spiritual
Modal spiritual di Mondo mewarnai komunitas pembangun di sana. Bagaimana hal ini terjadi? Pada mulanya penghayatan spiritual masyarakat Mondo merupakan penghayatan spiritual tradisional Manggarai yang menekankan nilai penyembahan kepada leluhur dan kurban sesajian. Pada kenyataannya, bersamaan dengan penekanan nilai pemusatan kepada leluhur ini ada nilai-nilai lain yang dominan di kalangan masyarakat Mondo, yaitu nilai ksatria bagi Panga Waling dan nilai komunal bagi seluruh warga Mondo. Nilai ksatria berkaitan dengan niat Panga Waling yang hendak melestarikan warisan leluhurnya yang menjadi ksatria Waling. 183 Adapun nilai komunal berkaitan pula dengan niat hendak melestarikan warisan leluhur yang mengatur struktur sosial masyarakat sebagai masyarakat yang komunal dalam kekerabatan satu sama lain. 184 Setelah spiritualitas kristiani memasuki Mondo, nilai-nilai yang menguat di Mondo ternyata tetaplah komunal dan ksatria. Hal ini terjadi karena sesungguhnya nilai cintakasih yang ditekankan oleh spiritualitas kristiani sudah terkandung pula di dalam nilai-nilai komunal dan ksatria. Maka, dengan mudah 183 184
Keterangan lengkapnya dapat dilihat dalam Bab IV. Penjelasan lebih panjang lebar diuraikan dalam Bab VII dan Bab VIII.
260
masyarakat Mondo menerjemahkan nilai cintakasih kristiani tersebut ke dalam nilai komunal dan ksatria. Dari sini, tampak bahwa sebetulnya local genius185 memainkan peranan penting ketika merespons unsur dari luar, dalam hal ini spiritualitas kristiani. Poespowardojo (1989:119) menyatakan bahwa local genius menjadi penentu dalam proses penerimaan yang positif terhadap pengaruh-pengaruh luar. Adapun yang terjadi di Mondo, proses akulturasi antara spiritualitas tradisional dan kristiani membuahkan integrasi yang memperkokoh budaya Mondo. Nilai cintakasih kristiani hadir dengan melegitimasi nilai komunal dan ksatria yang sudah ada di Mondo.
TRADISIONAL
KRISTIANI
LOCAL GENIUS
PENGHAYATAN SPIRITUAL ORANG MONDO
Bagan 18 Penghayatan spiritual orang Mondo yang berasal dari integrasi dua spiritualitas
185
Local genius adalah sejumlah karakteristik kultural yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat sebagai hasil pengalaman kehidupan di masa-masa lampaunya. (Wales dalam Poespowardojo 1989). 261
Berikut ini adalah tabel beberapa contoh faktor yang menguatkan nilai komunal dan ksatria di Mondo. Tabel 4 Contoh faktor yang menguatkan nilai komunal dan ksatria FAKTOR NILAI Leluhur Riwu yang berasal dari klan ksatria Ksatria Sikap pengayoman terhadap kaum yang lemah dan Ksatria gaya kepemimpinan Panga Waling yang menghidupkan nilai-nilai ksatria leluhur Mitos-mitos yang berkaitan dengan leluhur Panga Ksatria Waling Mitos-mitos yang berkaitan dengan kurban binatang Komunal Upacara adat kelahiran yang memberikan nama leluhur Komunal kepada anak yang baru lahir Upacara pernikahan yang memohon restu kepada anak Komunal rona ulu Upacara kematian yang memanjatkan doa untuk Komunal keselamatan semua orang yang hadir Ruang budaya di Mondo yang sesuai dengan warisan Komunal leluhur Batu Naga yang menjadi lambang kekuasaan Panga Ksatria dan Waling di Mondo dan mempersatukan warga Mondo di Komunal bawah Panga Waling Perjamuan Ekaristi Komunal Keanggotaan dalam Komunitas Tritunggal Mahakudus Komunal Berbagai ajaran dalam Komunitas Tritunggal Ksatria dan Mahakudus Komunal
URAIAN Bab IV Bab IV Bab VII Bab IV Bab IV Bab VIII Bab VIII Bab VIII Bab VII Bab IV
Bab V Bab VI Bab VI
Bagaimana modal spiritual memberikan kontribusinya terhadap komunitas pembangun yang menggerakkan pembangunan di Mondo dapat digambarkan sebagai berikut:
SPIRITUALITAS TRADISIONAL (Nilai kepercayaan terhadap leluhur)
MODAL SPIRITUAL (Komunal dan Ksatria)
NORMA KEKERABATAN & GAYA KEPEMIMPINAN
MASYARAKAT PEMBANGUN
SPIRITUALITAS KRISTIANI (Nilai cintakasih)
GEREJA
PEMBANGUNAN 5
Bagan 19 Modal spiritual di Mondo yang mewarnai pembangunan
262
Adapun peran Gereja dalam hal ini selain memberikan kontribusinya dalam pembentukan modal spiritual Mondo, juga terkadang berperan langsung dalam pembangunan yang terjadi di Mondo, seperti misalnya pembangunan sarana air bersih, penanaman kayu, dan sebagainya. 186 Berdasarkan model di atas dapat dilihat kontribusi tulisan ini terutama dalam teori pembangunan yang berbasis komunitas, sebagaimana yang pernah disebutkan sebelumnya. Ada cukup banyak teori yang membahas tentang pembangunan yang berbasis komunitas, namun jarang yang mengaitkannya secara langsung dengan modal spiritual (Summers 1986, Uphoff 1986, Adams 2001, Ife 2002, Singh 2006). Di lain pihak, penelitian tentang modal spiritual yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang transenden memang cukup banyak, baik yang secara eksplisit menyebutnya sebagai modal spiritual maupun yang tidak (Geertz 1977, Andreski 1989, Bellah 1992, Abdullah 1994, Weber dalam 2006, Chen dalam Alatas 2002, Unruh & Sider 2005, Ariyaratne dalam Yapa 2006). Akan tetapi, semua penelitian di atas membahas tentang spritualitas yang tunggal. Adapun tulisan ini memberikan sumbangannya lewat sebuah spiritualitas yang integratif karena merupakan perpaduan dari spiritualitas tradisional dan kristiani. Bahkan, sebuah penelitian (Neno, 2003) menyatakan bahwa mempersatukan kedua spiritualitas tersebut adalah hal yang sulit. Kenyataannya, local genius Mondo dapat menginternalisasi nilai-nilai kristiani sehingga terjadi pengintegrasian yang sempurna dan menghasilkan sebuah modal spiritual. Selain itu, tulisan ini juga memberikan sumbangannya dalam melihat adanya keterkaitan antara modal spiritual dan kekerabatan. Sebetulnya ada banyak tulisan mengenai kekerabatan, namun jarang sekali yang menghubungkannya dengan modal spiritual (Davidoff 2005, Holtzman 2005, Jamieson 2006, Mohamed 2007, Ellison 2009, Johnson 2009, Samuels 2010). Padahal, kekerabatan merupakan hal yang nyata dan kelihatan dampaknya secara langsung terhadap pembangunan. Di lain pihak, modal spiritual adalah sesuatu yang tak dapat dilihat dan Mondo menunjukkan modal spiritual itu berada di dalam kekerabatan masyarakat Mondo. Oleh karena itu, melihat keterkaitan antara modal spiritual dan kekerabatan sebetulnya merupakan hal yang penting. Dengan demikian, modal spiritual dalam konteks Mondo merupakan nilai-nilai yang berasal dari integrasi antara spiritualitas kristiani dan 186
Cerita lengkapnya dapat dilihat pada Bab VI. 263
tradisional. Nilai-nilai ini mewarnai komunitas pembangun yang disatukan oleh norma kekerabatan dan gaya kepemimpinan yang khas 187 sehingga lahirlah pembangunan. Pembangunan utama yang terjadi di Mondo sebetulnya tidak lain merupakan pembangunan komunitas pembangun yang pada akhirnya dapat mengalirkan pembangunan fisik pula. Secara khas, tulisan ini hendak memberikan kontribusinya bahwa nilai komunalitas dan keksatriaan dapat menjadi sebuah modal spiritual yang mewarnai pembangunan berbasis komunitas. Situasi Mondo yang terabaikan oleh pembangunan dari pemerintah rupanya tidak menghalangi masyarakat untuk terus menggulirkan pembangunan. Dalam hal ini, Mondo memenuhi teori Sen (2000) yang menyatakan bahwa pembangunan terjadi ketika masyarakat memiliki kebebasan untuk meningkatkan kesejahteraan demi memenuhi kebutuhan mereka. Yang menjadi kekhususan tulisan ini dibandingkan dengan teori Sen adalah bahwa kebebasan masyarakat Mondo ini sangat diwarnai oleh modal spiritualnya. Beberapa tulisan mengenai modal spiritual tidak mengaitkan sama sekali dengan penghayatan spiritual kepada yang transenden. Akan tetapi, cukup banyak juga yang menghubungkannya dengan kepercayaan kepada yang transenden tersebut, walaupun ada yang secara eksplisit mengatakannya sebagai modal spiritual dan ada juga yang tidak (Geertz 1977, Andreski 1989, Bellah 1992, Abdullah 1994, Weber dalam 2006, Chen dalam Alatas 2002, Unruh & Sider 2005, Ariyaratne dalam Yapa 2006). Dalam hal ini, tulisan mengenai Mondo menambah jajaran panjang tersebut karena modal spiritual Mondo berasal dari penghayatan spiritual kepada yang transenden. Hal yang khas dari tulisan ini adalah penghayatan spiritual tersebut dapat berasal dari pemimpinnya yang kemudian secara kharismatis menjadi penghayatan spiritual pada level kampung. Secara sepintas hal ini mirip dengan yang terjadi di Amerika Serikat karena sang Presiden dapat memengaruhi penghayatan spiritual warganya (Meyer 2001, Weber dalam 2003, 2006, Zohar 2004). Perbedaannya dengan Mondo, relasi pribadi yang terjadi kemudian adalah tetap yang transenden dengan warga Mondo secara komunal sedangkan di Amerika Serikat relasi pribadi yang terjadi adalah antara yang transenden dengan individu. Kekomunalan penghayatan spiritual ini ditunjukkan lewat berbagai upacara adat dan kebersamaan dalam Komunitas Tritunggal Mahakudus.
187
Kekhasan gaya kepemimpinan orang Mondo dibahas dalam subbab tersendiri dalam bab ini.
264
Secara eksplisit tulisan ini juga mengangkat sebuah komunitas dari masyarakat komunal yang melibatkan orang-orang yang sudah meninggal dunia. Sebetulnya, cukup banyak tulisan yang membahas mengenai sebuah komunitas masyarakat yang masih kental dengan ritual adat dan penghayatan yang terpusat kepada leluhur namun tidak membahas mengenai jangkauan komunitas yang mencapai para leluhur (Foni 2002, Palekahelu 2010, Vel 2010).
WAJAH ORANG MONDO Bagian ini hendak menggambarkan wajah orang Mondo dalam kaitannya sebagai sebuah komunitas pembangun. Secara umum wajah orang Mondo adalah wajah petani kristiani Manggarai. Hal ini jika dilihat dari profesi mereka pada umumnya dan penghayatan spiritual mereka. Dengan lebih konkret, wajah orang Mondo sebagai komunitas pembangun ditunjukkan lewat beberapa ciri, yaitu hidup dalam kekerabatan, ada partisipasi aktif warga, memiliki ciri modal sosial dan civil society, pembangunan berbasis lingkungan, dan terjalankannya prinsip-prinsip keadilan. Gambaran wajah orang Mondo ini diperoleh melalui pendalaman seutuhnya mengenai orang Mondo. Bab-bab empiris yang telah diuraikan sebelumnya telah memberikan gambaran mengenai wajah orang Mondo tersebut. Namun, berikut ini akan dilakukan pembahasan agar diperolah gambaran wajah orang Mondo secara lebih dalam dan lebih utuh. Pendalaman ini akan dilakukan melalui perspektif sejarah, penelaahan mitos, penghayatan spiritual, simbol-simbol yang digunakan, kelembagaannya, kekerabatan, serta ciri modal sosial dan civil society yang ada di Mondo. Dalam menggambarkan serta membahas wajah orang Mondo dari waktu ke waktu, dinamika budaya yang mengiringi Mondo ternyata tak dapat dilepaskan begitu saja. Dengan demikian, tulisan ini sebetulnya tidak saja menggambarkan wajah orang Mondo, namun juga dinamika budaya Mondo, termasuk juga modal spiritual yang tertanam di dalamnya.
Perspektif Sejarah Wajah orang Mondo cukup identik dengan wajah petani karena mayoritas penduduknya hidup dari bertani. Leluhur dari klan-klan yang ada di Mondo memiliki latar belakang yang bervariasi. Ada yang tukang kayu, pedagang, dan sebagainya. Namun, setelah sampai di Mondo semua pendatang itu menjadi 265
petani. Hal ini mengindikasikan Mondo merupakan padang luas yang subur dan memberikan hasil berlimpah dibandingkan daerah-daerah pegunungan yang kini termasuk wilayah Kabupaten Manggarai dan sekitarnya. Semua panga yang ada di Mondo berasal dari dataran tinggi dan memutuskan untuk hidup di dataran rendah Mondo yang jauh lebih panas namun tanahnya jauh lebih subur. Di sanalah mereka tinggal bersama dalam kultur dan ritme tahunan seorang petani yang hidup berkerabat satu sama lain. Bersamaan dengan itu, modal spiritual pun mulai bertunas di tengah komunitas Mondo. Proses pembentukan modal spiritual di Mondo dimulai sejak sejarah terbentuknya kelembagaan masyarakat Mondo yang ada pada saat ini. Hal ini terjadi karena partisipasi individu dalam tradisi Mondo cukup banyak dipengaruhi oleh penghayatan spiritual mereka sehingga modal spiritual pun mulai terbentuk di Mondo sejak berdatangannya panga demi panga ke Mondo. 188 Berger & Hefner (2003) mengungkapkan bahwa modal spiritual berkaitan dengan partisipasi individu terhadap tradisi spiritual. Jika disimak satu persatu, keterlibatan setiap panga yang ada di Mondo tidak lepas dari unsur kekerabatan. Tabel 5 Komposisi panga-panga di Mondo berdasarkan profesi awal, motivasi kedatangan, dan hubungan genealogis PANGA Waling
Teber
PROFESI AWAL Ksatria sekaligus petani.
MOTIVASI KE MONDO Ragok tempat asalnya terkena tulah sehingga perlu pindah untuk mempertahankan keluarga besarnya. Mencoba kehidupan baru di tempat kerabatnya.
Anak wina dari Panga Waling di Mondo.
Mencoba kehidupan baru bersama kerabatnya.
Anak wina dari Panga Teber yang memutuskan menetap di Mondo.
Kesulitan ekonomi di tempat asal.
Semua keluarga dari Pau ada hubungan kerabat namun tidak ada hubungan kerabat dengan warga yang sudah di Mondo lebih dahulu. Pada tahun-tahun selanjutnya, Panga Pau menjadi anak wina dari Panga Waling. Menjadi anak wina orang Mondo karena menikahi gadis Mondo. Adik ipar dari seorang Panga Teber di Mondo.
Pau
Petani kerja paksa zaman Jepang. Petani kerja paksa zaman Jepang. Pengrajin kayu
Poka
Papalele
Menikahi gadis Mondo.
Carep
Petani
Tertarik dengan lahan luas di Mondo.
Wodo
Sumber: diolah dari hasil wawancara 188
Bab III.
266
HUBUNGAN GENEALOGIS Anak wina dari orang Kantar yang memberikan tanah di kawasan Mondo.
Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa motivasi migrasi rata-rata karena alasan ekonomi, kecuali Panga Waling karena alasan spiritual. Hal yang paling menonjol adalah bahwa ternyata unsur kekerabatan selalu ada di setiap panga. Oleh karena itu, langsung atau tidak langsung, migrasi seluruh panga dilandasi oleh penghayatan spiritual tradisional karena kekerabatan di Mondo berkaitan erat dengan penghayatan spiritual mereka yang berpusat pada leluhur. Berdasarkan tabel tersebut dapatlah dimengerti bahwa kekerabatan tidak terlalu sulit terjalin di Mondo karena banyak di antara mereka yang sudah berada dalam hubungan kekerabatan sejak awalnya. Namun, pada akhirnya kekerabatan itu menembus garis-garis panga dan mempersatukan seluruh warga Mondo. Adapun perilaku ekonomi untuk mencari kesejahteraan yang lebih baik rupanya sudah mulai tampak juga di antara para leluhur warga Mondo lewat keberaniannya melakukan migrasi. Jika dilihat dari sejarah lahirnya Kampung Mondo, para pendatang bisa hidup dengan baik dan sangat taat kepada Panga Waling karena adanya semacam hutang budi. Kemurahan hati keluarga besar Waling dalam memberikan tanah dan kehidupan telah mengikat seluruh warga dalam kekerabatan yang kuat. Lebih-lebih ketika para pendatang itu tidak saja diberikan tanah melainkan juga dianggap sebagai keluarga, terbukti dengan sebutan panga bagi para pendatang. Padahal, di tempat-tempat lain istilah panga diberikan kepada keluarga besarnya sendiri yang menjadi sub klan dari klan tersebut. Itulah sebabnya, kekerabatan di Mondo tidak lagi semata karena hubungan darah karena seluruh pendatang sudah diterima sebagai keluarga oleh Panga Waling yang menjadi tuan tanah di Mondo. Dengan demikian, ada tiga hal yang menonjol di balik cerita sejarah ini, yaitu migrasi para leluhur warga Mondo secara langsung maupun tidak dilandasi alasan spiritual yang berkaitan dengan kekerabatan dan ada kaitannya pula dengan kepentingan ekonomi. Dalam hal ini, nilai komunalitas cukup tampak di balik migrasi setiap panga karena keterkaitannya dengan kekerabatan. Kedua, kekerabatan plural dalam hal klan telah terjalin di Mondo sejak awal berdirinya kampung. Walaupun mereka berasal dari tempat yang berbeda-beda, namun mereka hidup dalam suasana yang komunal. Kelanggengan mereka yang hidup rukun secara komunal ini lagi-lagi karena penghargaan mereka terhadap pentingnya kekerabatan. Dengan perkataan lain, alasan spiritual tidak saja menjadi alasan migrasi leluhur Mondo tetapi juga menjadi alasan kelanggengan kerukunan hidup bersama secara komunal hingga saat ini karena kerukunan ini mereka warisi dari leluhur yang menjadi pusat
267
spiritual tradisional mereka. Sebagai catatan, kekerabatan ini tetap bersifat hirarkis karena bagaimanapun Panga Waling lebih superior sebagai tuan tanah. Ketiga, jiwa pengayoman Panga Waling yang bersifat ksatria masih tetap bertahan dan dapat dirasakan oleh warga Mondo dari waktu ke waktu. Adapun sifat ksatria yang dipertahankan Panga Waling juga mengungkapkan penghayatan spiritual tradisional mereka yang melestarikan warisan leluhur. Ketiga hal inilah yang kemudian sangat memengaruhi warna kepemimpinan di Mondo, serta mendorong partisipasi aktif warga dalam pembangunan karena adanya solidaritas sebagai satu kerabat. Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian ini adalah bahwa ada dua nilai dalam penghayatan spiritual tradisional masyarakat Mondo yang berperan besar dalam pembentukan Kampung Mondo. Kedua nilai itu tidak lain adalah nilai komunal dan ksatria yang tertanam di dalam kelembagaan masyarakat Mondo. Adapun kelembagaan masyarakat Mondo dicirikan dengan norma kekerabatan yang diwarnai oleh penghayatan spiritual mereka. Dengan demikian, nilai komunal dan ksatria menjadi nilai-nilai spiritual yang berperan dalam pembangunan pertama di Mondo, dalam hal ini pembentukan Kampung Mondo. Selanjutnya, nilai-nilai ini mengiringi pembangunan-pembangunan di Mondo.
Penelaahan Mitos Mitos-mitos yang hendak ditelaah di sini sebetulnya merupakan sejarah bagi orang Mondo. Namun, penelitian ini tidak bertujuan untuk membuktikan kebenaran sejarah tersebut. Hal penting yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah bagaimana peran cerita-cerita tersebut bagi masyarakat. Oleh karena itu, semua cerita yang sebetulnya merupakan sejarah bagi orang Mondo tersebut dalam penelitian ini disebut sebagai mitos. Dalam hal ini, mitos dipandang sebagai sebuah cerita, yang tidak dipertentangkan dengan kebenaran sejarah dan juga tidak harus merupakan cerita-cerita yang suci (Lévi-Strauss dalam Ahimsa-Putra, 2006). Sebagaimana mitos, pembicaraan mengenai modal spiritual berarti juga pembicaraan mengenai hal-hal yang ada di dalam diri manusia namun tidak dapat terlihat dengan mata fisik. Mitos merupakan produk dari imajinasi atau nalar manusia sehingga tak dapat ditangkap oleh indera mata. Berdasarkan penelitian di Mondo, nampak bahwa ada keterkaitan yang erat antara mitos dan modal spiritual. Dengan mempelajari mitos, maka dapat dipelajari juga 268
penghayatan spiritual orang Mondo sehingga membantu dalam mengenali wajah orang Mondo seutuhnya. Menurut Lévi-Strauss, seperti halnya mimpi menurut Freud, mitos dapat juga mengekspresikan harapan-harapan manusia yang tak disadari, yang kadang tidak konsisten atau tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari (Leach 1974 dalam Ahimsa-Putra 2006). Walaupun demikian, mitos-mitos berikut ini menyajikan sebuah nilai yang jelas, yaitu nilai komunal baik dengan sesama yang hidup maupun dengan leluhur yang sudah meninggal dunia. Berikut ini akan ditinjau empat buah mitos yang berkaitan dengan mimpi. Mitos-mitos tersebut adalah:
Lupur bermimpi mendapat pesan untuk pindah ke Ragok dan sebagai tandanya ia akan menemukan seekor kambing (Mitos 1). Lupur bermimpi mendapat pesan untuk mendirikan mbaru gendang dan esoknya ia melihat seekor anak kerbau turun dari bukit (Mitos 2). Ema Belong bermimpi mendapat pesan harus memberikan persembahan anjing dan babi untuk mengusir hama semut (Mitos 3). Bernardus Lajang bermimpi harus kembali ke Mondo dan hidup berkebun (Mitos 4).
Dengan menggunakan pisau analisis struktural Lévi-Strauss (1978) maka diperolehlah tabel sebagai berikut: Tabel 6 Mitos yang berkaitan dengan mimpi MITOS KURBAN TEMPAT TINGGAL PERSEMBAHAN Mitos 1 Kambing Pindah ke Ragok. Mitos 2
Kerbau
Mendirikan mbaru gendang.
Mitos 3
Anjing dan babi
Mitos 4
-
Memapankan keberadaan di Mondo dengan selamatkan panen. Kembali ke Mondo
KEBUN Potensi hasil kebun lebih besar. Memiliki mbaru gendang berarti juga memiliki lingko (kebun adat). Mengusir hama semut untuk selamatkan panen. Mencari nafkah dengan berkebun di Mondo
Sumber: hasil wawancara
Keempat mitos tersebut berkaitan dengan mimpi yang dipercayai sebagai pesan yang harus diikuti. Ketaatan tokoh-tokoh yang bermimpi dalam mitos tersebut terhadap pesan impian menunjukkan spiritualitas mereka yang percaya bahwa masih ada kuasa tak kelihatan di luar kuasa mereka yang wajib ditaati. Selain itu, setiap mimpi ini selalu berkaitan dengan tiga hal, yaitu binatang persembahan, tempat tinggal, dan kebun. Spiritualitas tradisional Manggarai menitikberatkan pada persembahan kurban hewan dan kepercayaan kepada leluhur. Tak mengherankan, dalam setiap mimpi itu selalu muncul binatang 269
yang dikaitkan dengan kurban. Keempat mitos itupun berkaitan erat dengan lokasi tempat tinggal yang meliputi sebuah teritori tertentu, dalam hal ini Mondo. Selain itu, unsur kebun juga tampak mewarnai setiap mitos. Dengan demikian, tampaklah bahwa masyarakat Mondo tak ubahnya seperti masyarakat Manggarai pada umumnya yang kehidupannya berpusat pada klan, mbaru gendang, dan kebun. Adanya kurban persembahan dan kepercayaan kepada mimpi berkaitan erat dengan klan patrilineal atau wa’u mereka. Hal ini terjadi karena sebetulnya kurban persembahan dalam setiap upacara adat bersifat mempersatukan seluruh klan mulai dari mereka yang masih hidup sampai dengan para leluhur mereka yang sudah meninggal dunia. Keseluruhan mitos tersebut menunjukkan nilai-nilai komunal yang kuat di antara mereka. Kekomunalan karena hidup bersama dengan pusat yang sama pula, yaitu klan, rumah adat, dan kebun.
KLAN
RUMAH ADAT
KEBUN
Bagan 20 Pusat Kehidupan Tradisional
Selain itu, keempat mitos itu juga lagi-lagi menunjukkan masyarakat Mondo sebagai masyarakat yang cenderung tradisional sekaligus spiritualistis. Dikatakan tradisional karena bagi masyarakat tradisional, dunia adalah lingkungan hidup sejauh yang mereka kenal, yaitu dunia yang penuh dengan keteraturan bagi manusia yang mendiaminya, istilahnya kósmos. Di luar itu, yang ada hanyalah kekacauan, atau chaos, karena dunia belum dikonsekrasikan (Mircea Eliade dalam Susanto 1987:46). Oleh karena itu, jika ingin mendiami suatu tempat, masyarakat tradisional berusaha agar wilayah chaos itu diubah dulu menjadi kósmos. Usaha ini dilakukan dengan menghadirkan kembali pengulangan masa penciptaan yang disebut dengan istilah kosmogoni (Mircea Eliade dalam Susanto 1987:46). Kosmogoni ini dilakukan lewat upacara adat yang tujuannya menguduskan wilayah yang akan mereka diami. Dalam hal inilah mereka dikatakan spiritualistis. Itulah sebabnya, dalam mitos mengenai 270
Lupur yang hendak pindah ke Ragok maupun mitos tentang amanat mendirikan mbaru gendang, selalu muncul kurban binatang. Kurban binatang ini diperlukan untuk melakukan upacara adat yang dapat menguduskan wilayah yang akan mereka diami. Demikian juga pada saat-saat awal Kampung Mondo berdiri, muncul mitos mengenai panen yang digagalkan oleh hama semut. Solusi penduduk mempersembahkan anjing dan babi tidak lain merupakan proses kosmogoni. Hal ini perlu, mengingat di Mondo tidak ada mbaru gendang. Dengan perkataan lain, upacara adat yang harus dilakukan untuk mendirikan mbaru gendang tidak pernah dilakukan di Mondo. Padahal, pendirian sebuah kampung biasanya ditandai dengan upacara adat pendirian mbaru gendang. Mitos ini menjadi penting bagi orang Mondo karena walau mereka tidak memiliki mbaru gendang namun kosmogoni telah dilakukan. Ini dibuktikan dengan akhir cerita mitos, yaitu hama semut lenyap dan sejak itu kebun-kebun mereka menghasilkan panennya secara teratur, atau kósmos. Dengan demikian, walau mereka tidak mempunyai mbaru gendang, namun mereka tetap hidup secara komunal seperti layaknya masyarakat Manggarai lainnya yang mempunyai mbaru gendang. Hal yang perlu dipertanyakan sehubungan dengan mitos hama semut ini adalah jika mitos tersebut berkaitan dengan kosmogoni, mengapa kejadiannya tidak di awal Kampung Mondo berdiri? Sebelumnya tidak pernah ada hama semut di Mondo walaupun keluarga Waling sudah diam di sana. Menurut mitos, peristiwa hama semut itu terjadi di tahun 1952. Adapun Panga Teber dan Wodo bergabung dengan Panga Waling pada tahun 1951. Mengapa kosmogoni ini tidak terjadi pada tahun-tahun sebelumnya ketika Panga Teber dan Wodo belum bergabung? Atau, mengapa tidak terjadi pada tahun 1951 ketika Panga Teber dan Wodo datang untuk pertama kalinya sebagai warga Mondo? Menurut cerita Panga Waling, mereka biasa menghidupi para pendatang untuk jangka waktu minimal setahun sampai para pendatang tersebut mempunyai hasil panen sendiri. Ini terjadi karena sejak dahulu sampai sekarang, tahun 2011, kebunkebun di Mondo hanya menghasilkan panen setahun sekali. Ini berarti, tahun 1952 merupakan panen pertama warga Mondo yang terdiri dari Panga Waling, Teber, dan Wodo. Sebelumnya, Mondo hanya dihuni oleh Panga Waling. Dengan perkataan lain, mitos tersebut hendak menyatakan bahwa Kampung Mondo sebetulnya barulah dapat disebut sebagai kampung setelah dihuni oleh 3 keluarga dari Panga yang berbeda-beda. Pada saat Mondo menjadi sebuah kampung, saat itulah dibutuhkan kosmogoni. Namun, karena tidak ada mbaru gendang, upacara adat tersebut tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu,
271
muncullah sebuah peristiwa hama semut yang dapat menghadirkan kosmogoni bagi Mondo di tahun 1952 tersebut, yaitu di saat pertama kalinya warga Kampung Mondo yang terdiri dari tiga panga mengalami panen. Ketika spiritualitas kristiani memasuki Mondo, mereka pun dengan mudah dapat menerima bahwa setiap rumah yang akan ditempati perlu diberkati oleh imam. Lagi-lagi, ini berkaitan dengan pengudusan atau kosmogoni. Oleh karena itu, kesamaan ini menjadi salah satu alasan pula yang membuat agama Katolik mudah mengakar di Mondo. Khusus untuk mitos 1 dan 2 yang berkaitan dengan leluhur orang Mondo, ditunjukkan pula nilai ksatria dengan dorongan untuk membuka lahan baru dan pendirian mbaru gendang. Nilai ksatria dalam hal ini diwujudkan dengan keberanian mengambil resiko demi membuka sebuah kósmos baru yang konsekuensinya berarti menjadi pengayom dalam kósmos yang baru tersebut. Jiwa pengayom ini akrab dengan identitas seorang ksatria. Mitos kelima yang hendak ditelaah saat ini adalah cerita mereka mengenai asal mula berdirinya Kampung Mondo. Walaupun tidak secara eksplisit, namun kisah ini memunculkan nilai-nilai ksatria pula secara menonjol dari generasi ke generasi. Tabel 7 Sifat ksatria dalam diri Tu’a Wa’u menurut mitos di Mondo GENERASI 1 2 3
NAMA Wer Ndujung Nggulung
SIKAP KSATRIA • • •
Seorang Brambang Riwu, keberpihakan kepada yang lemah. Seorang Brambang Riwu, keberpihakan kepada yang lemah. Meninggalkan Waling walaupun di sana ia merupakan pewaris utama. Pindah ke Kantar untuk mencoba kehidupan baru. 4 Lupur • Merintis pendirian Kampung Mondo. • Berkharisma besar dalam hal kepemimpinan. 5 Yoseph • Ada keberanian untuk menikahi Puteri Dalu Sita yang status Majung sosialnya jauh lebih tinggi. • Memberikan tanah dan pengayoman kepada para pendatang, keberpihakan kepada yang lemah. • Menekankan pendidikan dan kerja keras 6 Stefanus • Memimpin demonstrasi ke DPRD Ruteng. Syukur • Memimpin resistensi lewat pembangunan jalan. • Mengkoordinir berbagai pembangunan yang bergulir di Mondo. • Keberpihakan kepada yang lemah. Sumber: diolah dari hasil wawancara
Demikianlah nilai-nilai keksatriaan mewarnai gaya kepemimpinan tetua Mondo dari generasi ke generasi. Hal ini terjadi karena mereka percaya leluhur mereka berstatus ksatria dan mengalirkan darah ksatria tersebut kepada kaum keturunannya. Secara genetika darah ksatria ini mungkin tak dapat diturunkan 272
begitu saja. Namun, usaha mereka untuk bersikap ksatria lagi-lagi menunjukkan kepercayaan dan hormat mereka kepada leluhur sehingga berusaha melestarikan semua yang diwariskan leluhur kepada mereka. Dengan perkataan lain, usaha untuk bersifat ksatria merupakan buah dari penghayatan spiritual, jati diri batin yang mencerminkan citra leluhur. Demikianlah mitos-mitos yang berkembang di Mondo menunjukkan nilai-nilai yang hidup di kalangan masyarakat, yaitu nilai komunal dan ksatria. Nilai-nilai ini lahir dari penghayatan spiritual mereka, yang pada akhirnya mengiringi pembangunan di Kampung Mondo.
Penghayatan Spiritual Bagi masyarakat Mondo yang hidup secara komunal dan tradisional, dunia merupakan sebuah komunitas. Komunitas ini tidak hanya melibatkan anggota yang masih hidup namun menembus sampai ke dimensi lain tempat para leluhur yang telah meninggal berada. Kekomunalan ini mereka hidupi dalam sebuah dunia yang kosmos, teratur. Kondisi kosmos tersebut selalu dikaitkan dengan hubungan mereka terhadap Yang Transenden yang mengatur keharmonisan perputaran dunia mereka. Oleh karena itu, jika terjadi sesuatu yang tidak teratur seperti musim kemarau berkepanjangan, hama yang mengakibatkan gagal panen, dan sebagainya, mereka perlu melakukan suatu ritual yang ditujukan kepada yang transenden. Keadaan chaos ini dialami juga bila terjadi sesuatu yang baru dan mengubah anggota kekomunalan mereka, misalnya adanya kelahiran, pernikahan, dan kematian. Itulah sebabnya peristiwa-peristiwa tersebut juga senantiasa ditandai oleh ritual. Leach (1976:77) mengatakan bahwa setiap ritual berfungsi memproklamirkan perubahan status dan secara magis membawa orang yang bersangkutan kepada perubahan tersebut. Dengan demikian, dunia mereka kembali ke dalam kondisi kosmos setelah adanya perubahan tersebut. Tak mengherankan, ketika masyarakat Mondo memasuki kehidupan kristiani, dunia barunya pun tetap dipandang sebagai dunia yang komunal dan teratur. Apabila terjadi ketidakteraturan, ritual kristiani pun menjadi sarana mereka untuk kembali kepada kosmos. Selain itu, ketekunan mereka dalam doa tidak lain merupakan upaya untuk tetap mempertahankan dunia mereka dalam keadaan yang kosmos, yaitu teratur dan terjadi keharmonisan hubungan antara umat dengan Allahnya. 189
189
Sebuah penelitian etnografis berusaha untuk mengenali bagaimana dunia menurut subjek yang diteliti. Oleh karena itu, dalam tulisan ini diungkapkan bagaimana dunia menurut orang Mondo berdasarkan berbagai fakta empiris. 273
Kebersamaan masyarakat dalam beribadat kepada Wujud Tertinggi membuat mereka semakin terkonsolidasi sebagai sebuah masyarakat yang komunal. Hal ini terjadi karena peribadatan mereka selalu dilaksanakan secara bersama-sama yang melibatkan seluruh warga kampung dan dilakukan dengan cukup sering. Dalam beribadat, warga kampung memandang sesamanya sebagai “orang sendiri” yang tidak lain berarti anggota kerabatnya sendiri. Penghayatan spiritual tradisional dan kristiani Mondo mengajarkan hidup kekerabatan dan persaudaraan yang terwujud dalam komunitas. Pada akhirnya, kehidupan berkomunitas dalam beribadat semakin memperdalam penghayatan spiritual orang Mondo. Selain itu, penghayatan spiritual orang Mondo juga mewarnai gaya kepemimpinannya yang cenderung menjaga nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur dan diajarkan oleh iman kristiani. Demikianlah spiritualitas, kekerabatan dan gaya kepemimpinan, serta komunalitas, merupakan tiga hal yang berkaitan erat di Mondo.
Penghayatan Spiritual
Komunitas (Leluhur yang sudah wafat dan warga yang masih hidup)
Kekerabatan dan gaya kepemimpinan
Bagan 21 Hubungan antara penghayatan spiritual, kekerabatan dan gaya kepemimpinan, serta komunitas di Mondo
Oleh karena kekomunalan masyarakat Mondo mencapai para leluhur hingga Wujud Tertinggi, dalam kehidupan sehari-hari di dunia nyata pun masyarakat hidup secara hirarkis dalam sebuah struktur sosial yang telah mereka jalani turun temurun. Walaupun ada perbedaan status sosial, setiap orang dihargai sebagai bagian dari sebuah makrokosmos yang lebih luas. Penghargaan ini dimanifestasikan lewat status kekerabatan dan perannya dalam setiap ritual maupun kehidupan sosial. 190 Dengan demikian, masyarakat 190
Penjelasan lengkapnya dapat dilihat pada bab-bab empiris yang menggambarkan peranan setiap orang sesuai dengan status sosialnya masing-masing dalam kekerabatan.
274
komunal yang tradisional memandang dunianya terdiri dari individu-individu yang memiliki status dan perannya yang khas, sekaligus juga memiliki hubungan tertentu dengan dirinya dalam sebuah kekerabatan. Pandangan dunia semacam ini justru membangkitkan toleransi dan solidaritas yang kuat satu sama lain. Dalam hal inilah nilai komunal menjadi kuat di Mondo. Mereka hidup sebagai sebuah komunitas karena dunia bagi mereka adalah sebuah komunitas. Pandangan masyarakat Mondo mengenai dunia sebetulnya lahir dari penghayatan spiritual mereka. Sebuah spiritualitas yang dihayati secara turun temurun telah memberikan pengertian yang turun temurun pula kepada masyarakat komunal mengenai dunia yang mereka diami. Di Mondo, penghayatan spiritual terjadi karena adanya relasi yang terjalin antara komunitas dengan yang transenden. Relasi inilah yang menjadi kuncinya, tanpa relasi tersebut, penghayatan spiritual tidak akan terjadi. Yang ada hanyalah pengulangan ritual dengan motivasi non spiritual, misalnya demi kepentingan pariwisata, mempertahankan identitas, melestarikan tradisi, dan sebagainya. Dari cara orang Mondo memandang dunia sebagai sebuah komunitas, bisa disimpulkan bahwa nilai komunal cukup kuat tertanam di Mondo. Adapun nilai ksatria muncul di kalangan Brambang Riwu yang mereka warisi secara turun temurun. Bahkan, setelah spiritualitas kristiani memasuki Mondo, nilai cintakasih kristiani mereka terjemahkan pula ke dalam nilai-nilai ksatria. Hal ini ternyata berpengaruh besar dalam penghayatan masyarakat Mondo. Pengalaman spiritual kristiani Panga Waling menyebar ke warga dari panga lainnya lewat kehadiran figur seorang ksatria Waling, dalam hal ini Stefanus yang berstatus sebagai Tu’a Golo. 191 Dengan demikian, nilai komunal dan ksatria yang hidup di kalangan masyarakat Mondo mewarnai pembangunan komunitas masyarakat di Mondo. Itulah sebabnya dalam hal ini kedua nilai tersebut menjadi dasar dari modal spiritual Mondo. Kesetiaan warga Mondo menjaga warisan leluhur dengan mempertahankan upacara adat dan status kekerabatan secara adat, serta ketekunan mereka untuk berkumpul dan berdoa bersama secara kristiani menghantarkan pada sebuah interpretasi mengenai wajah masyarakat Mondo, yaitu wajah masyarakat yang spiritualistis. Selama penelitian dijumpai berbagai fenomena yang menunjukkan penghayatan spiritual masyarakat Mondo masih cukup kuat. Intensitas penghayatan spiritual masyarakat ditinjau dari terjalin 191
Penjelasan selengkapnya dapat dilihat pada Bab V. 275
atau tidaknya relasi pribadi antara masyarakat dengan Wujud Tertinggi atau Yang Kudus. Manifestasi dari relasi ini kemudian terungkap di dalam kehidupan sosial mereka. Oleh karena itu, intensitas penghayatan spiritual masyarakat Mondo dapat dipelajari melalui ungkapan kehidupan sosial mereka. Beberapa unsur yang dapat dipelajari untuk mendalami penghayatan spiritual masyarakat Mondo, yaitu:
Pemeliharaan tradisi warisan leluhur Simbol-simbol yang memenuhi kehidupan orang Mondo Mitos-mitos yang berkembang karena mengungkapkan daya nalar mereka yang spiritual Perilaku sosial yang tak lepas dari penghayatan spiritual
Pemeliharaan tradisi menunjukkan penghayatan spiritual mereka. Hal ini terjadi karena sebetulnya memelihara dengan baik semua yang diwariskan oleh leluhur menunjukkan kepercayaan dan hormat mereka terhadap leluhur. Dalam kepercayaan tradisional mereka, leluhur merupakan perantara antara manusia dengan Wujud Tertinggi. Setelah spiritualitas kristiani memasuki Mondo, doadoa kepada leluhur memang tidak ada lagi. Namun, rasa cinta dan hormat kepada leluhur masih tetap terpelihara baik dengan usaha mereka melestarikan sistem kekerabatan dan berbagai upacara adat yang diwariskan oleh leluhur. Yang transenden tidak dapat dilihat dan melampaui pengertian manusia. Walaupun demikian, warga Mondo percaya penuh akan keberadaan-Nya. Oleh karena itu, muncullah simbol-simbol yang menjadi sarana mereka untuk berhubungan dengan Yang Transenden. Adapun pengertian mereka tentang Yang Transenden diungkapkan pula lewat berbagai simbol yang mereka mengerti, misalnya Pencipta, Bapak, dan sebagainya. Oleh karena itu, beberapa acara dan ritual adat maupun ibadat kristiani mereka sarat dengan simbol yang menunjukkan penghayatan spiritual mereka. Mitos-mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Mondo seringkali menunjukkan adanya kepercayaan yang absolut terhadap mimpi-mimpi, yang mereka pahami sebagai pesan dari arwah leluhur yang patut dipatuhi. Selain itu, isi dari mitos-mitos itu pun semakin meneguhkan bahwa mereka merupakan masyarakat yang spiritualistis. Perlu diketahui, mitos-mitos yang dibahas dalam penelitian ini bukanlah mitos yang berlaku umum di Manggarai namun mitosmitos yang khusus hanya berkembang di Mondo. Adapun perilaku sosial mereka juga menunjukkan penghayatan spiritual mereka yang tinggi. Sejak awal mula Kampung Mondo berdiri, secara rutin dan 276
rajin masyarakat berkumpul bersama untuk melakukan berbagai ritual adat. Setelah spiritualitas Kristiani memasuki Mondo, mereka juga masih rajin berkumpul untuk berdoa baik secara kristiani maupun secara adat. Bahkan, setiap bulan Mei dan Oktober mereka berkumpul setiap malam untuk doa rosario bersama. Pada bulan-bulan lainnya, mereka berkumpul seminggu tiga kali untuk doa bersama. Praktik-praktik religius mereka masih selalu berkaitan dengan pergumulan hidup sehari-hari baik ketika mereka masih berdoa sesuai dengan aturan leluhur maupun setelah berdoa secara kristiani. Masyarakat yang seperti ini dengan sendirinya spritualistis karena bagi mereka kehidupan merupakan sebuah sakramen. Alam tidak murni natural tetapi sekaligus supranatural karena alam merupakan manifestasi dari eksistensi nyata Yang Kudus. Mereka hidup dalam alam semesta yang berada di bawah pengaruh Yang Kudus sehingga bagi mereka realitas utama dalam kehidupan ini adalah Yang Kudus. Kekomunalan mereka justru semakin kuat lewat seringnya mereka berkumpul dalam kegiatan doa bersama tersebut. Perilaku sosial masyarakat dalam mempertahankan kekerabatan juga menunjukkan kespiritualistisan mereka. Hal ini terjadi karena kekerabatan merupakan warisan leluhur yang mereka hormati. Selain itu, adat istiadat juga memengaruhi perilaku sosial mereka. 192 Adatistiadat tak dapat dilepaskan dari penghayatan spiritual karena keteguhan masyarakat mempertahankan adat istiadat merupakan ungkapan penghayatan spiritual yang terpusat kepada leluhur. Pada akhirnya, beberapa percakapan dengan masyarakat Mondo menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat yang memiliki penghayatan spiritual. Beberapa orang ibu sempat mengeluh bahwa sebagian besar uang mereka habis untuk adat. Namun, beberapa orang lain lagi mengakui bahwa walaupun miskin secara ekonomi mereka tetap tertolong karena peraturan yang diatur oleh adat istiadat. Lepas dari adat itu pemborosan atau justru perlindungan, yang jelas adat istiadat tidak lepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Cara berpikir mereka termasuk yang paling profan sekalipun mengenai ekonomi misalnya, tak lepas dari adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur mereka. Penghayatan spiritual mereka yang masih terpusat kepada leluhur itulah yang memengaruhi perilaku sosial masyarakat yang tak lepas dari adat. Pada tahun 1994 terjadilah sebuah pengalaman rohani 193 yang dialami oleh pribadi Stefanus. Berhubung Stefanus adalah seorang Tu’a Golo yang 192 193
Gambaran lengkap mengenai hal ini dapat dilihat pada Bab VIII. Uraian lengkapnya dapat dilihat pada Bab VI. 277
kharismatis, pengalaman rohani pribadinya ini memengaruhi penghayatan spiritual pada level kampung. Sebetulnya, tidak semua warga Mondo sepaham dengan Stefanus dalam hal penghayatan spiritualitas. Sebagian setuju dan mengikuti Stefanus, tetapi masih ada pula sebagian yang tetap menjalankan ritual adat dengan memanggil arwah-arwah dan penyembahan leluhur di dalam keluarganya masing-masing. Mereka yang sepaham dengan Stefanus rata-rata adalah anggota KTM yang sudah mengikuti retret dan mengalami sendiri kehadiran Allah dalam hidupnya. Buah nyata dari pengalaman spiritual yang dialami Stefanus dan para anggota KTM ini adalah terbebasnya mereka dari belenggu ketakutan akan kutuk dan keterikatan dengan leluhur yang berdampak negatif. Dari sisi pembangunan, keterbebasan mereka ini berarti penghematan biaya upacara adat yang biasanya cukup besar. Lepas dari bagaimana penghayatan kristiani masing-masing warga Mondo, mereka semua sudah dibaptis secara kristiani. Oleh karena itu, tak terlalu sulit bagi Stefanus untuk memimpin upacara-upacara adat secara kristiani pula. Dan berhubung Stefanus adalah Tu’a Golo, maka semua upacara adat dalam level kampung diselenggarakan secara kristiani. Demikianlah wajah upacara adat di Mondo mengalami perubahan karena peran utama dari Stefanus. Hal ini ternyata berpengaruh pula terhadap kekerabatan di Mondo. Kini mereka menyadari sebagai bagian dari keluarga besar umat Katolik di dunia, sekaligus juga anggota dari keluarga besar KTM, sebuah organisasi yang berada di bawah payung Gereja Katolik. Pengaruh ini memberikan dampak dalam kekerabatan di Mondo. Kini mereka tidak lagi menjadi kerabat satu sama lain karena hubungan darah, perkawinan, atau tinggal sekampung, tetapi juga karena seiman. Kemudian, kekerabatan ini meluas lagi keluar Mondo dalam naungan keluarga besar kristiani. Dari sini tampak sebuah kelenturan dalam dinamika budaya Mondo, yaitu kala local genius Mondo menanggapi positif nilai-nilai yang masuk dan menginternalisasikannya menjadi nilai-nilai mereka. Awalnya, nilai utama dalam penghayatan spiritual tradisional mereka adalah penyembahan kepada leluhur dan kurban sajian yang membuahkan nilai komunal dan ksatria di kalangan masyarakat. Setelah spiritualitas kristiani yang menekankan nilai cintakasih memasuki Mondo, masyarakat menerjemahkannya ke dalam nilai komunal dan ksatria. Dalam hal ini, seolah spiritualitas kristiani semakin meneguhkan nilai-nilai yang sudah terkandung dalam spiritualitas tradisional. Setelah pengalaman rohani pribadi Stefanus, spiritualitas kristiani menjadi inti penghayatan spiritual masyarakat dan nilai yang hidup di tengah masyarakat tetaplah nilai ksatria dan komunal.
278
Tahun 1950-an •Spiritualitas tradisional murni •Nilai ksatria dan komunal
Sebelum 1994 •Spiritualitas tradisional diteguhkan spiritualitas kristiani •Nilai ksatria dan komunal
Setelah 1994 •Spiritualitas kristiani dengan gaya tradisional Manggarai •Nilai ksatria dan komunal
Bagan 22 Perjalanan penghayatan spiritual orang Mondo
Simbol yang Bersifat Spiritual Kehidupan masyarakat Mondo dipenuhi dengan simbol-simbol. Simbolsimbol tersebut menjadi sarana yang menolong untuk menghantar mereka sampai kepada yang transenden, walaupun tak pernah dapat menggantikan yang transenden. Sebagai manusia yang memiliki indera-indera, simbol-simbol menjadi penting karena dapat menghubungkan mereka dengan yang tak dapat ditangkap oleh indera-indera mereka. Periuk Persembahan dan siri bongkok misalnya, melambangkan kepercayaan mereka kepada Wujud Tertinggi yang menaungi sebuah kelompok masyarakat yang bernaung di bawahnya. Dengan demikian, simbol ini menonjolkan nilai komunalitas mereka. Selain itu, kekomunalan mereka ditunjukkan pula lewat simbol ayam, babi, dan binatang persembahan lainnya yang melambangkan doa dan persembahan seluruh komunitas. Kenyataannya, segala simbol dan ritual yang bersifat spiritual itu justru semakin mempersatukan mereka sebagai masyarakat yang komunal. Kekomunalan ini terbentuk lewat konsolidasi yang menguat dalam setiap tindakan ritual yang mereka adakan bersama. Kekuatan komunalitas masyarakat Manggarai pada umumnya selain ditandai dengan adanya mbaru gendang bersama, juga adanya lingko atau kebun bersama, natas atau halaman bersama, waé téku atau sumber air bersama, dan boa atau kuburan bersama. Di Mondo memang tidak ada mbaru gendang, tetapi mereka hidup sebagaimana masyarakat Manggarai lainnya yang mempunyai mbaru gendang. Mereka hidup komunal dengan mengerjakan 279
bersama lingko-lingko di Mondo, mengadakan acara bersama di natas, mengambil air di sungai yang sama, dan memiliki boa bersama pula. Semua ini dihayati oleh masyarakat Mondo karena penghayatan spiritual tradisional mereka yang mempertahankan warisan leluhur. Oleh karena itu, nilai komunal menjadi kuat dalam komunitas tersebut. Lingko, natas, waé téku, dan boa tidak lain merupakan simbol-simbol kebersamaan yang menunjukkan nilai komunalitas mereka. Tampaklah di sini bahwa yang menjadi pusat kehidupan tradisional masyarakat Mondo bukan mbaru gendang tetapi wa’u, dalam hal ini wa’u yang berasal dari Panga Waling. Mereka hidup secara komunal dan setia menjalankan berbagai upacara adat serta memiliki beberapa lingko. Adapun penggunaan sarana kebersamaan tersebut diatur oleh para ksatria Waling. Hampir seluruh aktivitas budaya masyarakat Mondo yang sudah mengakar turun temurun berkaitan dengan simbol. Simbol-simbol tersebut memiliki makna kosmologis, mengandung rahasia dari struktur dunia yang tersembunyi di tempat persemayaman Wujud Tertinggi. Beberapa contoh akan ditampilkan dalam tabel berikut ini. Tabel 8 Contoh simbol yang bersifat spiritual Upacara Adat Simbol Makna Perkawinan Leca 194 Berkat untuk kedua mempelai. Kelahiran Lampek 195 Manusia akan mati pada akhirnya. Kematian Haeng Nai 196 Melepas keberangkatan arwah menuju dimensi baka. Sumber: diolah dari hasil wawancara dan observasi
Bagi masyarakat yang tradisional, simbol selalu bersifat spiritual karena menunjuk kepada sesuatu yang nyata namun tak dapat dilihat secara fisik. Mircea Eliade mengatakan simbol menjadi penghubung antara manusia yang hidup di dunia dengan Wujud Tertinggi yang berada di alam lain (Susanto 1987:63). Dengan perkataan lain, simbol mewahyukan realitas kosmologis atau realitas Yang Kudus. Dapatlah dipahami kini bahwa karenanya masyarakat Mondo merupakan masyarakat yang spiritualistis. Ketika spiritualitas kristiani memasuki kehidupan warga Mondo, masyarakat masih menerimanya dalam perspektif penghayatan tradisional mereka. Oleh karena itu, integrasi antara kedua spiritualitas tersebut berjalan dengan baik karena masyarakat menemukan bahwa spiritualitas yang baru 194
Dalam bentuk kebaya dan kain songke untuk calon mempelai perempuan. Dalam bentuk bilahan bambu untuk memotong tali pusat bayi yang baru lahir. 196 Dalam bentuk hewan yang disembelih di depan rumah. 195
280
tersebut tidak meniadakan yang lama. Mereka tidak perlu pindah ke dunia yang baru tetapi memandang dunianya dengan cara yang baru. Hal ini memberikan dampak yang besar terhadap cara mereka berdoa dan tujuan doa-doa serta penyembahan mereka. Simbol-simbol salib, rosario, bangunan gereja, semua menjadi lambang kebersamaan di dalam Kristus. Walaupun masuknya spiritualitas kristiani memberikan dampak besar terhadap cara mereka berdoa, namun, dampaknya tidak terlalu besar dalam interaksi sosial di antara mereka. Kekomunalan masyarakat tetap sebagaimana sebelumnya, demikian juga adat istiadat warisan leluhur yang kini sudah memiliki substansi yang baru. Apabila diilustrasikan, spiritualitas kristiani merupakan isi, sedangkan gaya tradisional merupakan bungkusnya. Dengan demikian, secara inderawi dapat ditangkap masyarakat yang berdoa dengan bahasa tradisional, tarian tradisional, lagu tradisional, juga pakaian tradisional. Segala bentuk bungkus tradisional tersebut menjadi simbol kekomunalan mereka sebagai umat Manggarai di Mondo. Walaupun demikian, doa-doanya adalah doa-doa kristiani. Spiritualitas kristiani merupakan unsur teologis yang menjadi inti penghayatan spiritual mereka, sementara gaya tradisional menjadi unsur sosiologis yang membuat mereka merasa lebih akrab, lebih mudah menghayati doa-doanya, dan lebih menyentuh emosi yang terdalam. Dalam hal inilah dinamika budaya di Mondo dapat dibaca sebagai sebuah budaya yang dinamis. Sebuah perubahan besar terjadi di Mondo justru karena adanya banyak persamaan antara yang lama dan yang baru. Tambah lagi, baik spiritualitas kristiani maupun tradisional memberikan penekanan yang cukup kuat terhadap perjamuan makan bersama 197. Bagaimanapun, peristiwa makan bersama menjadi simbol persaudaraan karena merupakan peristiwa sosial yang jika dilakukan berulang-ulang dapat membawa para anggotanya menjadi semakin komunal.
197
Makan bersama dalam spiritualitas tradisional dilakukan dalam upacara adat sedangkan dalam ajaran Katolik dalam Ekaristi. 281
TRADISIONAL
KRISTIANI
Bagan 23 Penghayatan spiritual yang berintikan spiritualitas kristiani dan berbungkus spiritualitas tradisional
Ciri Modal Sosial di Mondo Nilai-nilai yang ada dalam penghayatan spiritual warga Mondo telah mewarnai pengguliran pembangunan di sana. Nilai-nilai tersebut hidup di dalam kekerabatan warga Mondo, dan bantuan untuk pembangunan mengalir antara lain lewat kekerabatan warga Mondo dengan anggota KTM di luar Mondo. Bantuan-bantuan yang datang dari luar, dalam hal ini Gereja, ditanggapi dengan baik oleh partisipasi aktif seluruh warga sehingga pembangunan dapat berjalan dengan baik pula. Partisipasi aktif warga ini terjadi karena nilai komunal yang hidup di kalangan warga Mondo dan nilai ksatria di kalangan pemimpin Mondo yang sukses menggalang warganya. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut memainkan peranan penting karena pada kenyataannya mewarnai pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. 198 Dalam hal inilah nilai-nilai tersebut dipandang sebagai sebuah modal spiritual yang tertanam di Mondo. Disadari atau tidak, nilai-nilai spiritual yang ditanamkan oleh Gereja maupun KTM terhadap warga Mondo telah memapankan mereka sebagai bagian dari keluarga besar kristiani dan KTM. Efek jasmaniahnya, mereka pun menerima bantuan dari Gereja pada umumnya maupun dari KTM. Dengan diterimanya berbagai bantuan tersebut, kekerabatan di Mondo menjadi sebuah 198
Pengertian kesejahteraan masyarakat dalam tulisan ini tidak selalu dikaitkan dengan pendapatan ekonomi. Dalam kasus penyediaan sarana air bersih, kesejahteraan masyarakat lebih dilihat dari segi kesehatan karena kini masyarakat sudah dapat mengkonsumsi air yang layak untuk diminum.
282
jalinan sosial bonding yang menjalin bridging dengan KTM di daerah lain dan Gereja dalam hal ini menjadi linkagingnya. 199
GEREJA
KTM DAERAH LAIN
KTM MONDO
Bagan 24 Jalinan Sosial bonding Mondo yang menjalin bridging dan linkaging
Dengan demikian, fenomena di Mondo meruntuhkan pendapat yang menyatakan bahwa kekerabatan di kalangan masyarakat yang masih bersifat tradisional menjadi sebuah kekuatan internal sehingga modal sosial mereka cenderung bersifat bonding yang kuat dan mungkin saja bermetamorfosa menjadi bridging, namun akan gagal mencapai jaringan formal sehingga ada linkaging karena jaringan yang terbentuk akan selalu informal (Kumar and Matsusaka 2004, Fukuyama 2001). Kenyataannya, masyarakat Mondo masih mempertahankan kekerabatan tradisional mereka namun berhasil menciptakan linkaging dengan Gereja yang merupakan jaringan formal. Bahkan, bridging komunitas Mondo dengan komunitas di luar Mondo terjadi karena peran dari linkaging, dalam hal ini Gereja. Jika menyimak pendapat para imam serta frater yang melayani umat Mondo, ada kesan bahwa umat Mondo merupakan salah satu “umat kebanggaan” Gereja lokal. Hal ini terjadi karena penghayatan spiritual kristiani umat Mondo yang terbilang cukup baik. Jika dikaitkan dengan bantuan program babi bergulir dari KTM, maka linkaging yang tercipta antara Gereja dan Mondo sebetulnya tidak terjadi begitu saja tetapi berawal dari penghayatan spiritual umat Mondo. Hal ini dapat terlihat dari kenyataan bahwa tidak semua kampung mendapatkan bantuan babi bergulir tersebut. Dengan perkataan lain, penghayatan spiritual masyarakat Mondo menjadi sebuah modal spiritual yang mewarnai linkaging dengan Gereja dan akhirnya menghasilkan bantuan yang 199
Istilah bonding, bridging, dan linkaging diambil dari Woolcock 1998, Bruegel dan Warren 2003. 283
dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Adapun peran Gereja bagi Mondo tidak hanya membentuk spiritualitas kristiani umatnya tetapi sekaligus juga berkiprah dalam pembangunan di Mondo. Dengan perkataan lain, penghayatan spiritual masyarakat Mondo turut mewarnai kekerabatan yang ada. Pada saat penghayatan tradisional menguat, kekerabatan mereka sebatas hubungan darah dan hubungan perkawinan. Setelah spiritualitas kristiani menguat, kekerabatan meluas karena saudara seiman. Dalam hal ini, modal spiritual mewarnai wajah kekerabatan yang semula tradisional menjadi tradisional dan kristiani sekaligus. Nilai komunal dalam masyarakat melahirkan toleransi di tingkat norma yang akhirnya menciptakan solidaritas yang kuat satu sama lain. Hal ini terjadi karena kekomunalan mereka membentuk sebuah kekerabatan yang menimbulkan sikap altruisme antara yang satu dengan lainnya sebagai sesama kerabat. Bentuk nyata dari solidaritas yang kuat ini adalah partisipasi aktif setiap anggota komunitas dalam mengejar kepentingan bersama. Tampaklah bahwa kekerabatan ini pada akhirnya dapat menjadi sebuah modal sosial yang membentuk komunitas pembangun.
Kelembagaan Masyarakat Komunal Salah satu unsur yang membuat masyarakat Mondo kuat dalam komunalitas adalah gaya kepemimpinan Panga Waling. Nilai ksatria dalam membela kaum lemah 200 yang muncul dari penghayatan spiritual Panga Waling tampak menonjol dalam kepemimpinan mereka. Kepemimpinan yang cukup dominan di Mondo ini rupanya didukung oleh beberapa faktor pula. Pertama, Panga Waling adalah ata ici tana, pemilik sah dari seluruh tanah Mondo. Oleh karena itu, wajarlah jika panga-panga lain tunduk kepada Panga Waling karena mereka hanya bisa hidup dan tinggal di Mondo jika mendapatkan izin tinggal dan diberi tanah untuk mengolah kebun oleh Panga Waling. Kedua, dalam kekerabatan woénelu 201 Panga Waling juga menempati posisi sebagai anak rona 202 terhadap sebagian besar warga Mondo. Dengan demikian, Panga Waling menurut tradisi Manggarai berhak menuntut sida 203 kepada para anak winanya 204 dan para panga lain yang berstatus anak wina tersebut dalam posisi 200
Uraian lengkapnya dapat dilihat pada bab-bab empiris. Kekerabatan karena hubungan perkawinan. 202 Keluarga besar yang memberikan mempelai perempuan. 203 Sida adalah tuntutan anak rona kepada anak wina, yang biasanya berupa sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan jajaran anak rona. 204 Keluarga besar yang menerima mempelai perempuan. 201
284
subordinasi yang wajib memenuhi tuntutan Panga Waling sebagai anak rona. Ketiga, ada karisma kepemimpinan yang terpancar dari keksatriaan Panga Waling sehingga warga Mondo hidup bersama dalam sebuah komunalitas yang cukup kuat. Keempat, beberapa tahun sebelumnya, Panga Waling sempat memegang jabatan sebagai pengurus kelompok basis gerejawi pula. Namun, sekarang sudah diganti dengan anggota panga lain. Dengan demikian, kekerabatan yang terjadi di Mondo cukup kuat dan bersifat hirarkis karena dominasi dari Panga Waling. Hirarki di sini mengandung arti bahwa adanya tingkatan status yang menentukan keleluasaan seseorang atau kelompok dalam mengambil keputusan. Tingkatan-tingkatan itu ditentukan oleh: • Ata ici tana lebih tinggi daripada ata long 205 • Anak rona lebih tinggi daripada anak wina • Tu’a-tu’a adat yang masuk dalam struktur lembaga adat lebih tinggi daripada anggota biasa • Pengurus kelompok basis gerejawi lebih tinggi daripada anggota biasa Apabila dikaitkan dengan ekonomi, status ata ici tana berada dalam posisi yang lebih kuat. Sebagai tuan tanah pemilik seluruh kawasan Mondo, Panga Waling menjadi panga terkaya di Mondo. Sebetulnya, tidak mustahil kekayaan ata long lebih besar jika ata ici tana malas bekerja sementara ata long rajin dan kreatif. Namun, hal ini tidak terjadi di Mondo karena para anggota Panga Waling selain pekerja keras juga rata-rata berpendidikan tinggi sehingga ada di antaranya yang menjadi pegawai negeri dan anggota DPRD. Keempat unsur yang menentukan tingkatan seseorang atau kelompok dalam sebuah hirarki di Mondo sangat dipengaruhi oleh penghayatan spiritual. Keterkaitan antara penghayatan spiritual dengan struktur sosial dan kelembagaan masyarakat sebetulnya bukanlah hal yang baru. Dalam sistem kasta di India, profesi seseorang sangat berkaitan erat dengan statusnya dalam aspek religius (Dumont 1991:235). Penetapan status ata ici tana, anak rona, dan Tu’a Adat merupakan ajaran yang diwariskan oleh leluhur. Kepercayaan dan penghormatan kepada leluhur merupakan nilai yang ditekankan dalam spiritualitas tradisional. Apabila mereka sudah tidak memercayai dan menghormati leluhurnya lagi, status-status tersebut tidak akan ada karena sebagai penguasa tanah, Panga Waling sama sekali tidak punya sertifikat tanah atas Mondo. Selain itu, status Tu’a Adat bisa digantikan dengan administrasi 205
Pendatang. 285
pemerintah daerah untuk mengelola kampung dan status anak rona yang jelas merugikan anak wina akan dibuang. Adapun pengurus kelompok basis gerejawi dihormati di Mondo karena mereka adalah orang-orang yang dipilih sendiri oleh warga Mondo untuk mengurus hal-hal gerejawi. Masih adanya status-status ini di Mondo dengan jelas menunjukkan bahwa penghayatan spiritual masih cukup kuat di kalangan warga Mondo sehingga memengaruhi struktur sosial dan kelembagaan di sana. Kelembagaan unik Mondo juga dapat terlihat dari posisi ata long atau pendatang di Mondo. Sehubungan dengan tidak adanya mbaru gendang, lingkolingko yang dibagi kepada para ata long segera mendapatkan status kepemilikan tetap. Walaupun demikian, sebetulnya Panga Waling yang berkuasa berhak menentukan apakah lingko tersebut akan diberikan status kepemilikan tetap atau hanya hak guna pakai saja sebagaimana lingko-lingko mbaru gendang yang ada di Manggarai. Berdasarkan cerita banyak warga baik dari pihak pemberi tanah maupun penerima, lingko diberikan dengan status kepemilikan tetap karena Tu’a Golo yang berasal dari Panga Waling saat itu menaruh belas kasihan kepada para pendatang yang nyaris tak punya apa-apa. Ditengarai ini sebagai sikap ksatria tetua Mondo yang memiliki leluhur Brambang Riwu. Pola yang sama dapat dijumpai pula di Kampung Waling, tempat asal leluhur tetua Mondo. Tetua Waling bercerita bagaimana mereka menghidupi para pendatang mulai dari membangunkan rumah hingga memberikan tanah untuk digarap. Untuk itu semua mereka tidak pernah meminta dan menerima bayaran apa-apa. Ternyata, nilai-nilai keksatriaan ini melahirkan sebuah kekerabatan yang baru. Para pendatang yang berhutang budi merasa sangat berterima kasih dan rasa terima kasih ini diwujudkan dengan ketaatan dalam satu komando tetua Mondo yang berasal dari Panga Waling. Para pendatang ini dominan di Mondo dalam hal jumlah, namun Panga Waling cukup dominan dalam hal kekuasaan. Meskipun berstatus pendatang atau ata long, oleh Panga Waling mereka dimasukkan juga dalam jajaran lembaga adat di Kampung Mondo. Inilah yang membedakan Mondo dari kampung-kampung lainnya di Manggarai. Jarang sekali terjadi seorang pendatang bisa duduk dalam kelembagaan adat sebuah kampung. Dengan demikian, Mondo melahirkan sebuah kekerabatan baru yang melibatkan para pendatang di dalamnya. Sebuah kekerabatan yang lahir karena penghayatan spiritual tetua Mondo dalam menjaga nilai-nilai keksatriaan yang diwariskan oleh leluhur. Dalam hal ini, terjadi pula hubungan timbal balik antara kekerabatan dan nilai-nilai keksatriaan. Semakin tetua Mondo bersikap ksatria, semakin kekerabatan terjalin dengan baik. Sebaliknya, kekerabatan
286
yang terjalin dengan baik lewat kepatuhan ikhlas para pendatang, semakin meyakinkan tetua Mondo akan jati dirinya yang mewarisi nilai-nilai keksatriaan.
Kekerabatan Spiritual Kekerabatan yang menjadi norma dari komunitas Mondo lahir dari penghayatan spiritual masyarakat. Hal ini terjadi karena penekanan utama dalam penghayatan spiritual tradisional mereka adalah penyembahan dan penghormatan kepada leluhur. Rasa hormat dan taat kepada leluhur ini mendorong masyarakat untuk melestarikan ritual adat yang diwariskan leluhur kepada mereka. Ritual adat ini mengkonsolidasikan masyarakat menjadi sebuah komunitas sekaligus menstrukturkan mereka dalam sebuah hirarki kekerabatan dengan statusnya masing-masing. Setelah mempelajari berbagai upacara adat Manggarai yang diselenggarakan di Mondo, tampak bahwa cukup sulit bagi orang Mondo untuk hidup secara individualistis. Segala upacara yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting kehidupan seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian, selalu melibatkan unsur-unsur kekerabatan. Bisa dikatakan, orang Mondo sudah menjadi komunal sejak ia lahir lewat upacara kelahiran yang diadakan untuk menyambutnya sebagai anggota dari komunitas. Oleh karena itu, tak mengherankan jika memperoleh suara bulat dalam setiap pemungutan suara di Mondo bukanlah hal yang sulit. 206 Hal ini membuktikan adanya keterkaitan nilai-nilai dalam penghayatan spiritual masyarakat dengan pembangunan. Ketatnya kekerabatan di Mondo dari satu pihak membebani para individu Mondo karena banyaknya tuntutan kewajiban yang harus dipenuhi. Di lain pihak, ternyata menjadi strategi survival mereka dalam mempertahankan hidup di tengah kemiskinan dan minimnya pembangunan. Semiskin apapun seseorang di Mondo, ia akan dapat menyelenggarakan pernikahan dan upacara kematian yang layak untuk anggota keluarganya. Walaupun mungkin kesehatannya kurang baik, ia tetap dapat mengerjakan kebun dengan bantuan para tetangganya. Nilai-nilai komunal dan ksatria tampak menonjol dalam setiap acara adat di Mondo. Kebanyakan acara adat di Mondo dipimpin langsung oleh keluarga 206
Namun, dalam perkembangannya mencapai suara bulat bukan hal yang mudah lagi sejak timbulnya konflik mengenai tanah kubur di Ragok. Kisah lengkapnya dapat dilihat pada Bab VII. 287
dari Panga Waling, walau sebetulnya, tidak semua acara adat harus dipimpin oleh mereka namun tergantung kehendak keluarga yang mempunyai acara. Kewajiban Panga Waling dalam memimpin acara adat sebetulnya jika berkaitan dengan kepentingan seluruh kampung. Akan tetapi, selama penulis berada di Mondo tampak dominasi peran Panga Waling dalam berbagai acara adat. Nilai ksatria Panga Waling yang selalu memberikan waktu dan tenaganya untuk setiap acara penting penduduk Mondo dapat dirasakan oleh warga. Adapun nilai komunal dapat segera terlihat dalam setiap acara adat yang melibatkan seluruh kaum kerabat. Pada saat spiritualitas kristiani mulai memasuki penghayatan spiritual masyarakat, kekerabatan pun berkembang tidak lagi tergantung dari hubungan darah namun menjangkau seluruh umat beriman. Sikap tegas yang diambil Stefanus sebagai Tu’a Golo telah mengubah wajah Mondo dalam hal penyelenggaraan upacara adat. Walaupun masih banyak upacara adat yang dilakukan dengan setia namun semua doanya diarahkan kepada Yesus Kristus. Hal ini bisa diketahui karena doa-doa diucapkan secara lantang sehingga bisa didengarkan oleh semua orang dan biasanya diawali dan diakhiri dengan tanda salib pula sebagaimana kebiasaan Katolik. Jika dahulu masyarakat Mondo merasakan kebersamaan dalam upacara-upacara adat, kini mereka merasakan kebersamaan juga dalam doa-doa bersama yang dilakukan secara rutin. Kekerabatan tradisional yang berakar kuat di Mondo kini bertransformasi menjadi sebuah kekerabatan yang mengalir dari penghayatan spiritualitas tradisional dan kristiani sekaligus. Hal ini terbukti dari bagaimana cara orang Mondo kini melakukan upacara adat yang bersubstansi kristiani dan bagaimana mereka tekun untuk berdoa bersama secara kristiani. Di kalangan masyarakat Mondo, status setiap orang dalam kekerabatan memainkan peranan penting dalam setiap acara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari sebagai masyarakat komunal. Contohnya, setiap orang akan mendapatkan bagian tanah di lingko yang luasnya sesuai dengan statusnya dalam kekerabatan. Peranan setiap orang dalam kegiatan adat juga ditentukan oleh statusnya dalam kekerabatan. Dalam hal ini terjadi hubungan timbal balik antara penghayatan spiritual dan kekerabatan. Semakin mereka mendalami spiritualitas tradisional mereka, semakin mereka hidup dalam kekerabatan. Sebaliknya, semakin mereka masuk dalam kekerabatan, semakin mereka menghayati spiritualitas tradisional mereka. Oleh karena itu, ada keterkaitan
288
yang erat antara penghayatan spiritual tradisional dengan kekerabatan di Mondo. 207 Ketika spiritualitas kristiani memasuki Mondo dengan penekanan nilai cintakasihnya, kekerabatan semakin meluas 208 di Mondo. Hukum cintakasih ini dengan mudah diterjemahkan oleh orang Mondo yang sudah biasa menghidupkan nilai-nilai keksatriaan dan kekomunalan yang sebenarnya juga mengandung unsur cintakasih. Kekomunalan mereka terungkap dalam ritual tradisional maupun Katolik. Dalam hal ini, spiritualitas kristiani tidak meniadakan kekerabatan yang terbentuk oleh spiritualitas tradisional, sebaliknya justru memperluas. Setiap orang di Kampung Mondo memandang tetangganya sebagai “orang sendiri” 209 karena empat hal, yaitu karena hubungan darah, karena hubungan perkawinan, karena tinggal sekampung, sekaligus juga karena kristiani. Kekerabatan menjadi sebuah konsep imajiner yang terus mengalami perluasan dan modifikasi sesuai dengan konteks sosialnya. Semua hubungan timbal balik antara kekerabatan dan penghayatan spiritual ini merupakan alasan mengapa kekerabatan di Mondo masih terjalin kuat sampai saat ini walau zaman sudah melaju ke era yang tak terlalu memerhatikan kekerabatan. Selain itu, kekerabatan di Mondo terjalin baik juga karena kesadaran setiap anggota komunitas sebagai bagian dari warga Mondo. Semua unsur tersebut saling menguatkan satu sama lain yang membuat masyarakat Mondo tetap spiritualistis dan tetap hidup dalam kekerabatan. Di tengah masyarakat yang hidup dalam norma yang sama, yaitu kekerabatan, timbul rasa percaya satu sama lain sehingga terbentuklah sebuah jaringan sosial. Jaringan sosial inilah yang membentuk masyarakat menjadi sebuah komunitas pembangun yang diwarnai oleh modal spiritual.
Transformasi Kekerabatan Menjadi Komunitas Pembangun
Kekerabatan di Mondo merupakan sebuah kekerabatan yang khas karena kekerabatan itulah yang menjadi komunitas pembangun. Kekhasan dalam kekerabatan di Mondo muncul karena adanya transformasi. Konsep transformasi kekerabatan di sini merupakan konsep imajiner yang mengandung pengertian adanya perubahan rentang kekerabatan di Mondo. Rentang 207
Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Bab VII dan Bab VIII. Pengertian kekerabatan yang semakin meluas karena terjadinya transformasi kekerabatan di Mondo. Hal ini akan diuraikan dalam subbab selanjutnya. 209 Vel (2010) juga membahas mengenai istilah “kita-kita” yang berkaitan dengan kekerabatan di Sumba. 208
289
kekerabatan ini semakin lama semakin meluas dalam pengertian jumlah orang yang dianggap sebagai kerabat semakin banyak. Berikut ini akan diuraikan proses transformasi kekerabatan di Mondo yang diwarnai pula oleh penghayatan spiritual masyarakat. Pada mulanya, Mondo mengenal dua macam kekerabatan, yaitu aseka’é dan woénelu. Kekerabatan aseka’e terjadi karena hubungan darah sedangkan woénelu terjadi karena hubungan perkawinan. Kekerabatan aseka’é ini berkaitan dengan lokasi tempat tinggal sesuai dengan tradisi Manggarai yang mengatur masyarakatnya hidup di dalam klannya masing-masing dalam sebuah teritorial tertentu. Carsten (1991) dan Kemp (1991) menyatakan bahwa sebuah pernikahan dapat membentuk sebuah kekerabatan baru. Demikianlah kekerabatan woénelu di Mondo terjadi pula lewat persatuan dua orang yang akhirnya mempersatukan dua keluarga besar menjadi satu keluarga. Kedua jenis kekerabatan ini melekat erat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mondo. Masih lekatnya kekerabatan ini tak lepas dari penghayatan spiritual masyarakat Mondo yang berpusat pada leluhur. Melestarikan kekerabatan aseka’é dan woénelu tidak lain merupakan usaha melestarikan warisan leluhur. 210 Dengan demikian, kedua jenis kekerabatan ini tampak diwarnai oleh nilai-nilai komunal dan ksatria. Namun, ternyata bukan hanya kedua kekerabatan itu saja yang ada di Mondo, melainkan juga kekerabatan pa’ang ngaung olo musi dan kekerabatan kristiani. Sebagaimana sempat dikemukakan sebelumnya 211, istilah kekerabatan dapat juga dikenakan kepada sekelompok orang yang merasa dekat satu sama lain karena identitas yang sama ataupun karakter umum yang sama (Encarta Dictionaries, Ardictionary, The Free Dictionary). Dalam hal ini, orang Mondo merasa saudara-saudarinya sekampung dan seiman sebagai “orang sendiri” sehingga kekerabatan mereka meluas kepada kekerabatan pa’ang ngaung olo musi dan kekerabatan kristiani. Kekerabatan pa’ang ngaung olo musi merupakan kekerabatan yang tercipta antara warga satu kampung. Sebetulnya ini merupakan kekerabatan yang lumrah di kampung-kampung Manggarai. Bedanya adalah biasanya di kampung-kampung lain mayoritas warganya berasal dari satu leluhur dan menjadi penguasa tanah setempat. Oleh karena itu, kekerabatan pa’ang ngaung olo musi di kampung-kampung lain biasanya didominasi oleh ata ici tana 212 210
Penjelasan lengkapnya dapat dilihat pada Bab VII. Dalam Bab VI. 212 Istilah Manggarai untuk klan yang menjadi tuan tanah di kampung tersebut. 211
290
yang berasal dari satu klan. Dengan demikian, kekerabatan antar warga satu kampung ini lebih mudah tercipta karena sesungguhnya mayoritas di antara mereka merupakan kerabat karena hubungan darah. Berbeda dengan Mondo, kekerabatan pa’ang ngaung olo musi didominasi oleh ata long, atau pendatang. Dengan demikian, justru terjadilah sebuah kekerabatan baru yang tercipta bukan semata karena adanya hubungan darah namun karena hal-hal lain. Pertama, kekerabatan baru ini terjalin karena tetua Mondo yang telah membuka tangan mereka untuk menerima para pendatang menjadi anggota keluarga masyarakat Mondo. Nilai-nilai ksatria yang ada dalam penghayatan spiritual para tetua Mondo mewarnai sikap ini. Kedua, kekerabatan ini terbentuk karena rasa hutang budi yang besar di dalam hati pendatang sehingga mereka taat di bawah komando tetua Mondo walau jumlah mereka mayoritas. Walaupun pada saat ini para pendatang tersebut rata-rata bukan generasi pendatang pertama lagi, namun mereka meneruskan rasa hutang budi leluhurnya kepada Panga Waling. Ketaatan mereka di bawah satu komando ini membuat para ata long dan ata ici tana menjadi sebuah komunio yang komunal. Dengan demikian, tampaklah bahwa penghayatan spiritual masyarakat Mondo mewarnai pula kekerabatan pa’ang ngaung olo musi. Selanjutnya, spiritualitas kristiani yang memasuki Mondo telah menciptakan sebuah kekerabatan baru pula, yaitu sebagai keluarga kristiani. Sebetulnya, sejak tahun 1950-an spiritualitas kristiani sudah memasuki Mondo dan banyak orang sudah dibaptis saat itu termasuk yang paling dituakan di Mondo pada masa tersebut, yaitu Yoseph Majung dan istrinya Monika Setia. Namun, spiritualitas kristiani dan spiritualitas tradisional merupakan dua hal yang terpisah dan seolah mereka hidup dalam dua dunia. Mereka pergi ke Gereja untuk berdoa bersama, belajar juga berdoa secara Katolik, namun tetap menjalankan upacara-upacara adat sesuai dengan warisan nenek moyang. Setelah melewati tahun demi tahun, spiritualitas kristiani pun semakin mengakar di dalam hati para tetua Mondo. Hal ini membuat mereka memutuskan untuk meninggalkan segala macam upacara adat yang menurut mereka tidak sesuai dengan iman Katolik. Adapun ritual adat yang dipertahankan, semua doanya diganti secara Katolik. Dengan demikian, empat macam kekerabatan ini melekat dalam diri masyarakat Mondo, namun tidak terpisahkan dan tidak saling meniadakan. Keempat kekerabatan tersebut melebur menjadi satu kekerabatan, yaitu kekerabatan orang Mondo, yang diwarnai oleh penghayatan spiritual mereka baik tradisional maupun kristiani. Pada kenyataannya, kekerabatan Mondo yang
291
ada sekarang inilah yang menjadi komunitas pembangun di Mondo. Transformasi kekerabatan terjadi perlahan-lahan hingga terbentuklah sebuah komunitas pembangun.
Kekerabatan Woénelu
Kekerabatan Aséka'é
Kekerabatan pa'ang ngaung olo musi
Kekerabatan Orang Mondo
Kekerabatan kristiani
(Komunitas Pembangun)
Bagan 25 Komunitas Pembangun lahir dari empat kekerabatan yang lain
Demikianlah transformasi kekerabatan di Mondo berjalan lancar karena masing-masing kekerabatan tidak saling meniadakan tetapi justru semakin memperkuat. Berdasarkan pergumulan dengan masyarakat Mondo, dapat ditarik kesimpulan bahwa ini dapat terjadi karena di dalam setiap kekerabatan, yang dituakan adalah orang yang sama. Dalam kekerabatan aséka’é di klan Waling, Stefanus Syukur menjadi orang yang paling dituakan menurut senioritas. Dalam kekerabatan pa’ang ngaung olo musi, Stefanus Syukur menjadi orang yang paling dituakan karena ia adalah Tu’a Golo. Kepemimpinan Tu’a Golo merupakan kepemimpinan komunal, namun dalam kepemimpinan tersebut Stefanuslah yang paling dituakan. Jika diperlukan tanda tangan atas nama Tu’a Golo, maka yang menandatangani adalah Stefanus Syukur 213. Adapun Pelayan Wilayah, sebutan untuk pimpinan KTM, di kawasan Mondo adalah Stefanus Syukur pula. Perlu dicatat, Pelayan Wilayah KTM hanya memiliki masa jabatan paling lama empat tahun dan setelah itu harus diganti orang lain. Oleh karena itu, Stefanus tidak akan selamanya menjadi Pelayan Wilayah KTM. Walaupun demikian, ia menjadi orang pertama Mondo yang menjadi Pelayan Wilayah
213
Setidaknya penulis pernah melihat dua kali tanda tangan Stefanus Syukur atas nama Tu’a Golo. Pertama, dalam proposal yang ditujukan kepada pemerintah daerah untuk mohon dana pengadaan saluran air bersih. Kedua, dalam surat kesediaan warga yang memberikan sebagian tanahnya dipakai untuk membangun bak penampungan air.
292
KTM Mondo. Bagaimanapun hal ini memberi kesan tertentu bagi masyarakat Mondo, yaitu adanya pemusatan kekuasaan dalam diri Stefanus. Ada beberapa penelitian mengenai kekerabatan yang mengalami perubahan, antara lain Ellison (2009) yang berbicara mengenai perubahan kekerabatan di Ethiopia akibat perubahan kebijakan pemerintah. Sementara Mohamed (2007) mengaitkan kekerabatan dengan politik Somalia. Maziak (dalam Anonymous 2009) berbicara mengenai kekerabatan dunia Arab yang semakin tidak stabil karena campur tangan demokrasi asing. Jamieson (2006) melihat masyarakat Mongolia tak dapat kembali kepada kekerabatannya yang semula akibat perubahan iklim politik di negerinya. Semua penelitian yang berbicara mengenai kekerabatan tersebut menunjukkan perubahan kekerabatan dalam sebuah komunitas umumnya terjadi karena adanya intervensi dari luar, dalam hal ini kebijakan pemerintah ataupun situasi politik di negerinya. Sebaliknya dengan yang terjadi di Mondo, transformasi kekerabatan diwarnai oleh penghayatan spiritual masyarakatnya sendiri tanpa intervensi dari luar. Memang, spiritualitas kristiani berasal dari luar Mondo. Akan tetapi, transformasi kekerabatan ditentukan oleh local genius Mondo yang mau berakulturasi sehingga terjadi sebuah integrasi spiritualitas. Komunitas pembangun yang ada di Mondo saat ini tidak lain merupakan bentuk kekerabatan yang terjadi pada masa sekarang. Melalui komunitas Mondo, tulisan ini memberikan kontribusinya bahwa sebuah kekerabatan berbasis penghayatan spiritual yang dapat berakulturasi dengan pengaruh luar dapat menjadi sebuah komunitas pembangun. Dalam hal ini, karisma pemimpin komunitas memegang peranan pula. Sebuah pemusatan kekuasaan yang terjadi di Mondo kenyataannya membuat kekerabatan mereka semakin solid. Sehubungan dengan penelitian-penelitian yang ada mengenai kekerabatan, hal yang hendak disampaikan oleh tulisan ini adalah bahwa transformasi kekerabatan sebuah komunitas dapat terjadi tanpa intervensi dari luar karena nilai-nilai luar telah mereka internalisasi dan kekerabatan mereka tidak mengalami degradasi. Transformasi kekerabatan yang akhirnya menjadi komunitas pembangun tersebut berkaitan erat dengan perubahan penghayatan spiritual komunitas. Dalam konteks Mondo, transformasi kekerabatan ini merupakan sebuah hal yang cukup penting karena pada kenyataannya komunitas pembangun di Mondo yang ada saat ini merupakan kekerabatan yang telah mengalami transformasi. Keberadaan komunitas pembangun di Mondo merupakan indikasi penting adanya modal spiritual di Mondo.
293
Demokrasi Kekerabatan
Ada beberapa teori yang menyatakan bahwa seorang pemimpin dapat menjadi bukan sekedar koordinator dalam keorganisasian masyarakat, melainkan sekaligus seorang ayah dan pelindung yang karismatis dan kekuasaannya bersifat patrimonial (Suwondo 2002). Dalam suasana kepemimpinan seperti itu, demokrasi menjadi lebih berkembang karena pengambilan keputusan melibatkan kontrol masyarakat dalam suasana yang lebih egaliter dan penuh persaudaraan (Beetham 1993 dalam Suwondo 2004). Dalam suasana yang lebih egaliter, masyarakat lebih banyak terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga memunculkan partisipasi aktif mereka pula. Tampak di sini bahwa ada keterkaitan yang erat antara keterlambatan pelaksanaan pembangunan dengan keterlibatan masyarakat di dalam pengambilan keputusan (Hofsteede 1992). Gaya kepemimpinan di Mondo memiliki kekhasan tersendiri yang kental diwarnai oleh penghayatan spiritual di sana. Kekhasan itu terletak dalam gaya kepemimpinan yang demokratis namun hirarkis sekaligus. Oleh karena itu, dalam tulisan ini gaya kepemimpinan Mondo disebut demokrasi kekerabatan karena sifatnya yang demokratis, namun juga hirarkis akibat kekerabatan hirarkis yang masih berlaku di Mondo. Bagaimana jelasnya demokrasi kekerabatan ini akan diuraikan sebagai berikut. Perpolitikan di Mondo bersifat sentralistik dan desentralistik sekaligus. Sifat desentralistik ini menghidupkan demokrasi, namun sistem kekerabatan yang hirarkis menyebabkan demokrasi tersebut sekaligus bersifat sentralistik. Seluruh warga Mondo terpusat kepada Panga Waling yang berada pada kedudukan tertinggi dalam kelembagaan adat Mondo. Walaupun sifatnya kelembagaan adat, pada kenyataannya jabatan Tu’a Golo tidak hanya berperan dalam kehidupan adat istiadat namun dalam kehidupan masyarakat kampung sehari-hari. Dengan perkataan lain, jabatan Tu’a Golo memasuki pula ranah jajaran administrasi pemerintahan sebagai Kepala Kampung di Desa Golo Kantar. Itulah sebabnya seluruh rakyat Mondo terpusat ke Panga Waling karena baik yang berkaitan dengan adat istiadat maupun kehidupan sosial semua tergantung kepada Panga Waling. Dari segi ini, perpolitikan di Mondo bersifat sentralistik. Sifat sentralistik ini juga muncul dari sistem kekerabatan yang dianut oleh kebanyakan orang Manggarai. Dalam sistem kekerabatan tersebut selalu ada yang paling dituakan dan suaranya menjadi penentu keputusan akhir. Dalam hal inilah Stefanus memegang kekuasaannya yang sentralistik secara
294
patrimonial di Mondo. Dengan perkataan lain, sistem kekerabatan di Mondo memberikan konsekuensi terhadap bentuk perpolitikan di sana. Di lain pihak, Panga Waling membagi kekuasaannya kepada para Tu’a Panga dan Ketua Kombas. 214 Dalam hal ini, Tu’a Golo tidak memilih Tu’a Panga dan Ketua Kombas tetapi menerima apa adanya siapa yang menjadi Tu’a Panga dan Ketua Kombas. Mereka yang menjadi Tu’a Panga adalah orangorang yang dianggap paling senior dalam panganya masing-masing. Sedangkan Ketua Kombas dipilih melalui proses pemilihan dan kedudukannya diresmikan oleh Gereja. 215 Para Tu’a Panga memiliki otonomi di dalam panga-nya masing-masing. Sebagaimana Tu’a Golo, jabatan Tu’a Panga ini juga mencakup kehidupan adat istiadat dan kehidupan sosial sehari-hari. Hal istimewa yang terjadi di Mondo adalah para Tu’a Panga memiliki otonomi yang penuh. Hal ini tidak berlaku di kampung-kampung lain. Pada umumnya Tu’a Panga di kampung lain berasal dari klan yang sama dengan Tu’a Golo, sehingga tak mungkin seorang Tu’a Panga memiliki otonomi penuh sebagaimana Tu’a Panga di Mondo. Tu’a Panga di Mondo berasal dari klan yang berbeda dari Tu’a Golo Mondo, dengan perkataan lain, memiliki leluhur yang berbeda dengan Tu’a Golonya. Oleh karena itu, banyak hal yang berkaitan dengan klan panga tidak dapat dicampuri oleh Tu’a Golo. Sebaliknya, para Tu’a Panga yang merupakan pendatang tersebut memasuki kelembagaan adat yang dipimpin oleh Tu’a Golo. Sementara di kampung lain, para pendatang tidak masuk dalam kelembagaan adat dan seluruh Tu’a Panga tunduk kepada Tu’a Golo yang memiliki senioritas dalam klan mereka, wakil leluhur dari seluruh klan. Ketua Kombas juga memiliki otonomi penuh di wilayahnya masingmasing. Berbagai urusan gerejawi dilakukan Ketua Kombas dengan mengkomunikasikannya secara langsung kepada Romo Paroki tanpa harus melalui Tu’a Golo. Dalam hal inilah perpolitikan di Mondo bersifat desentralistik. Dengan catatan, apabila para Tu’a Panga atau Ketua Kombas tak dapat menyelesaikan masalah internalnya, mereka dapat membawa masalah tersebut ke Tu’a Golo, lebih-lebih jika menyangkut kepentingan pada level kampung. Itulah sebabnya dikatakan demokrasi kekerabatan ini bersifat sentralistik dan desentralistik sekaligus. Selain itu, kedemokrasian di Mondo terungkap pula dalam proses-proses pengambilan keputusan yang terjadi di 214
Kombas merupakan singkatan dari Komunitas Basis Gerejawi, yang pada kenyataannya mengurus pula hal-hal di luar urusan Gereja. 215 Gereja yang dimaksud dalam hal ini adalah Paroki. 295
Mondo. Suasana pengambilan keputusan umumnya egaliter 216 dan melibatkan semua unsur. Dalam hal inilah gaya kepemimpinan tetua Mondo disebut demokratis pula. 217 Walaupun demikian, apapun yang menjadi keputusan Tu’a Golo akan diikuti oleh seluruh warga sekalipun ketika proses pengambilan keputusan ada yang menentang dan ada yang mendukung. Selama observasi tampak Tu’a Golo mendengarkan dulu pendapat semua yang hadir sebelum mengambil keputusannya, dan masukan maupun pendapat yang ada menjadi bahan pertimbangannya pula dalam mengambil keputusan. Dengan catatan, tidak selalu keputusannya sesuai dengan suara terbanyak. Dalam hal ini, wibawa Tu’a Golo memainkan peranannya, sebuah wibawa yang besar karena status kekerabatannya yang tinggi di Mondo. Semua ini menjadi alasan mengapa gaya kepemimpinan di Mondo disebut sebagai demokrasi kekerabatan. Sepintas lalu, demokrasi kekerabatan ini mirip dengan demokrasi terpimpin ala Soekarno, presiden pertama Indonesia (Tan 2007). Perbedaannya terletak dalam hal desentralisasi yang memberikan otonomi sepenuhnya. Setiap Tu’a Panga dan Ketua Kombas di Mondo memiliki otoritas sepenuhnya atas wilayah dan bidang-bidang kekuasaannya. Dengan demikian, desentralisasi ini bersifat devolutif (Williams and Mooney 2008, Edward 2009) dan bukannya delegatif (Dahl 1988). Kelahiran demokrasi kekerabatan ini tak lepas dari modal spiritual yang ada di Mondo. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan berikut ini. Penghayatan spiritual tradisional masyarakat yang memandang sang pemimpin sebagai wakil leluhur di bumi membuat otoritas sang pemimpin menjadi dominan. Hal ini berlaku bagi anggota Panga Waling dalam memandang Stefanus yang menjadi Tu’a Golo mereka. Adapun anggota panga lain, meneruskan rasa hutang budi leluhurnya yang telah menerima budi besar karena sang pemimpin telah memberikan akses terhadap pengolahan sumber daya alam. Kedua alasan ini menjadikan otoritas pemimpin Mondo yang bersifat ksatria pun semakin tak tergoyahkan. Dengan demikian, kepatuhan anggota kepada pimpinan bukan sekedar karena penghayatan spiritual melainkan juga karena ada rasa hutang budi. Hutang budi yang tanpa disadari lahir dari penghayatan spiritual pula karena meneruskan rasa hutang budi leluhurnya. Demikianlah nilai-nilai komunal dan ksatria mewarnai situasi tersebut.
216
Suasana duduk melingkar dan semua orang bebas berbicara. Uraian lengkapnya dapat dilihat pada Bab VI. 217 Cerita lengkapnya dapat dibaca pada Bab VI. 296
Walaupun otoritas kepemimpinan Mondo bersifat dominan, kediktatoran dapat dihindarkan karena kepemimpinannya bersifat komunal; dengan catatan bagaimanapun selalu ada yang dituakan dalam kepemimpinan komunal tersebut. Kenyataannya, gaya kepemimpinan ini efektif karena terbukti dapat menggerakkan pembangunan. 218 Kehadiran demokrasi kekerabatan ini membuahkan pembangunan karena masyarakat berada di dalam koordinasi yang jelas dan tegas. 219 Di lain pihak, setiap anggota masyarakat merasa terpuaskan karena dapat selalu menyuarakan pendapatnya dalam setiap proses pengambilan keputusan. Pada akhirnya, toleransi dan solidaritas sebagai sesama kerabat mendorong partisipasi aktif setiap anggotanya untuk mewujudkan apa yang sudah diputuskan oleh pimpinan. Semakin masyarakat dilibatkan dalam pengambilan keputusan, semakin pembangunan dapat berjalan lancar karena masyarakat akan berpartisipasi penuh. Demokrasi kekerabatan ini terbentuk lewat sebuah proses evolusi. Ketika beberapa keluarga yang berasal dari klan yang berbeda-beda datang untuk hidup bersama, kesulitan tentu timbul karena masing-masing berasal dari latar belakang yang berbeda dan memiliki kepentingan masing-masing. Namun, rupanya penghayatan spiritual pemimpin Mondo yang bersifat ksatria dapat meredam konflik karena menjadikan semuanya sebagai satu kerabat;220 walaupun dengan catatan, potensi konflik itu masih saja ada hingga kini. 221 Perilaku yang diulang-ulang sebagai satu kerabat inilah yang akhirnya membentuk demokrasi kekerabatan. Oleh karena itu, sebetulnya kurang tepat jika dikatakan bahwa sebuah kekomunalan masyarakat merupakan warisan yang diterima begitu saja dari leluhur. Tepatnya, nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhurlah yang mengatur perilaku sosial masyarakat secara berulang-ulang sehingga timbul rasa saling percaya antar anggotanya. Dalam hal inilah modal spiritual memainkan peranannya di Mondo, yaitu mewarnai gaya kepemimpinan Mondo yang berbentuk demokrasi kekerabatan di tengah masyarakat komunal. Gaya kepemimpinan Panga Waling di Mondo hadir dengan kharisma seorang Bapak. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam pengambilan keputusan. Tu’a Golo melibatkan semua unsur dan mendengarkan suara mereka dalam pengambilan keputusan, namun belum tentu suara terbanyak yang menjadi 218
Salah satu contoh kasus yang konkret dapat dilihat pada Bab VI. Salah satu contohnya adalah pembuatan jalan swadaya yang dapat dibaca pada Bab VIII. 220 Contohnya adalah pencurian batu pada Bab VIII. 221 Konflik tanah kubur dapat dibaca pada Bab VIII. 219
297
patokan keputusan yang dibuatnya. Salah satu contoh konkret adalah keputusan penghapusan upacara adat Penti di Kampung Mondo. Saat itu banyak yang menentang keputusan tersebut, bahkan termasuk keluarga besarnya sendiri. Namun, Stefanus sebagai Tu’a Golo tetap pada pendiriannya untuk menghapus Penti tersebut dengan alasan spiritual. Oleh karena itu, sifat otoriter sebagai seorang Bapak terhadap anaknya masih tampak dalam kepemimpinan Tu’a Golo, sikap otoriter yang berorientasi terhadap kesejahteraan bersama dan bukannya demi kepentingan pribadi. Contoh kasus yang menunjukkan orientasinya kepada yang lemah dan kepentingan orang banyak adalah ketika Stefanus menerima bantuan babi untuk program babi bergulir, ia mengutamakan warganya yang miskin untuk mendapatkan babi-babi tersebut lebih dahulu, dan menempatkan dirinya di giliran terakhir. Juga ketika ia memutuskan rute jalur pipa untuk saluran air bersih, rumahnya sendiri mendapatkan kesempatan terakhir karena jalur pipa dibuat berakhir di sekitar rumahnya. Dengan demikian, kekhasan Mondo adalah kekerabatan di sana dipengaruhi oleh eksistensi pemimpin yang kuat. Pola kepemimpinannya cenderung otoriter namun karena dilandasi nilai ksatria yang membela kaum lemah, kepemimpinan tersebut justru menguatkan nilai komunal di kalangan warga. Kedua nilai ksatria dan komunal ini tak lepas dari penghayatan spiritual para pemimpin Mondo dan warganya yang sangat menghargai leluhur. Nilainilai ini mewarnai pembangunan jalan swadaya yang melibatkan partisipasi seluruh warga selama lebih dari sepuluh tahun hingga sekarang dan agaknya masih terus berlanjut. Gerakan demonstrasi ke Ruteng juga merupakan salah satu wujud kontribusi kedua nilai ini, karena kebanyakan warga yang jauh dari pengaruh media massa tersebut tidak terlalu mengerti apa itu demonstrasi. Kekomunalan mereka di bawah pimpinan sang ksatrialah yang telah menggerakkan mereka hingga ke Ruteng. Dengan demikian, demokrasi kekerabatan di Mondo memiliki enam ciri, yaitu bersifat demokratis sekaligus hirarkis, sistem kekuasaan sentralistik sekaligus desentralistik devolutif, suasana pengambilan keputusan bersifat egaliter namun keputusan diambil secara otoriter, keputusan berpihak pada yang lemah atau kepentingan orang banyak, kepemimpinannya bersifat komunal, dan diwarnai oleh modal spiritual Mondo.
298
CIRI-CIRI DEMOKRASI KEKERABATAN demokratis sekaligus hirarkis
dentralistik sekaligus desentralistik devolutif
keputusan suasana egaliter berpihak pada pengambilan kepemimpinan yang lemah atau komunal keputusan kepentingan otoriter orang banyak
diwarnai modal spiritual
Bagan 26 Ciri-ciri Demokrasi Kekerabatan
Pola pembangunan di suatu daerah sebetulnya sangat tergantung dengan kebijakan pemimpinnya. Mengenai kebijakan pemimpin ini Evans (1989) menulis tentang garis kontinuum antara negara predator yang mengeksploitasi besar-besaran kekayaan alam tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat umum dan negara pembangunan yang memfasilitasi kaum swasta untuk berkembang dalam entrepreneurship. Melalui tulisan ini, penelitian Mondo memberikan kontribusinya dengan memberikan sebuah garis kontinuum yang lain, yaitu garis kontinuum antara otoriter dan demokratis. Pada garis kontinuum inilah terdapat sebuah gaya kepemimpinan yang diwarnai oleh modal spiritual, yaitu demokrasi kekerabatan yang bersifat egaliter dalam persaudaraan kekerabatan yang hirarkis. Letak titik di garis kontinuum itu ditentukan pula oleh kebijakan sang pemimpin yang berorientasi kepada kepentingan rakyat dan pembelaannya kepada kaum yang lemah. Komunitas pembangun di Mondo yang memiliki ciri-ciri civil society sangat diwarnai oleh gaya kepemimpinan di Mondo. Walaupun demikian, ada sesuatu yang khas juga mengenai civil society di Mondo karena masyarakatnya yang komunal dan spiritualistis. Dalam masyarakat komunal, setiap orang bukan merupakan individu yang bebas. Keputusan yang bisa diambil oleh setiap orang tergantung kepada nilai-nilai dan segala regulasi yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Demikian juga tindakan mereka didorong oleh spiritualitas yang membentuk cara berpikir, cara memandang, dan cara bersikap mereka. Padahal, berdasarkan berbagai pengertian yang sudah diuraikan sebelumnya, 222 setiap anggota civil society merupakan pribadi yang bebas, bahkan bebas dari 222
Pada Bab I. 299
keluarganya pula. Starr (1954) melihat bahwa entitas terkecil dari masyarakat komunal adalah keluarga. Tak jarang pula masyarakat komunal yang entitas terkecilnya bahkan sebuah keluarga besar yang terdiri dari kakek dan nenek lengkap dengan seluruh anak dan cucu mereka. Mungkinkah seorang anggota masyarakat komunal menjadi anggota civil society? Lebih-lebih, civil society sangat menjunjung pluralitas, sementara masyarakat komunal bila ditinjau dari komitmen yang mengikat mereka satu sama lain merupakan masyarakat yang homogen. Komunitas pembangun di Mondo rupanya menjawab hal ini dengan kenyataan bahwa walaupun masyarakat Mondo bersifat komunal namun ciri-ciri civil society melekat juga dalam komunitas mereka. Civil society memang menjunjung tinggi pluralitas, namun bukan berarti anggota civil society harus plural. Nilai pluralitas yang mereka junjung bahkan tampak ketika mereka menginternalisasi nilai-nilai kristiani menjadi nilai-nilai mereka. Begitu pula ketika mereka dari klan yang berbeda-beda memutuskan untuk tinggal bersama sebagai kerabat. Demikianlah modal spiritual di Mondo mendukung hadirnya ciri civil society yang berbasiskan kekerabatan dan berhadapan dengan negara sebagai sebuah kerabat. Tindakan demonstrasi, sikap resistensi, reaksi terhadap kehadiran anggota DPR RI, dan berbagai percakapan yang mengalir di Mondo menunjukkan mereka merupakan masyarakat yang menginginkan akuntabilitas dan transparansi pemerintah. Partisipasi politik Mondo dan sikap menuntut akuntabilitas pemerintah dilakukan secara komunal dalam koordinasi pimpinan yang ksatria.
300