Bab 2 PENGALAMAN DENGAN KOMUNITAS MONDO
KEHADIRAN SEORANG PENELITI DI MONDO
H
al utama yang perlu dipegang oleh seorang peneliti yang hendak melakukan penelitian di Mondo adalah tidak perlu kuatir mengalami penolakan. Masyarakat Mondo sangat ramah terhadap tamu dan kehangatan mereka tidak hanya dirasakan oleh figur rohaniwan saja tetapi juga kaum awamnya. Kaum awam yang pernah datang ke Mondo dan sempat dilihat oleh penulis cukup banyak, mulai dari pejabat tinggi seperti Pius Lustrilanang yang menjadi anggota DPR RI, istri Ketua DPRD Manggarai Timur, seorang ibu dari Borong, beberapa orang dari Jawa, hingga seorang supir. Keramahan dan kehangatan mereka tidak sekedar sebatas sikap tetapi juga perhatian yang besar dan sikap menolong yang tanpa pamrih. Beberapa contoh sederhana, misalnya mereka selalu memerhatikan apakah penulis sudah makan dan tak pernah membiarkan penulis kelaparan atau kehausan. Kalau pulang dari Mondo, biasanya penulis berjalan kaki. Mereka selalu memastikan ada yang mengantarkan pulang walau yang mengantar berjalan kaki juga dan setelah itu ia harus berjalan kaki lagi pulang ke Mondo. Terkadang, penulis datang ke
43
Mondo mengendarai mobil yang dipinjamkan oleh Romo yang bertugas di Paroki Borong. Kurang cakapnya penulis mengendarai mobil 4-wheel-drive di medan off-road membuat mobil kadang terjebak di lumpur dan tak bisa berkutik lagi. Jika terjadi demikian, warga Mondo termasuk anak-anak segera turun tangan membantu walau karenanya mereka tidak saja lelah tetapi menjadi kotor penuh lumpur. Padahal, untuk membersihkan diri mereka harus turun ke sungai yang jaraknya tidak terlalu dekat dari rumah. Ternyata, kebaikan hati mereka dialami juga oleh seorang awam dari Ruteng yang kala itu kendaraannya terguling oleh licinnya lumpur Mondo. Seluruh masyarakat Mondo adalah orang Manggarai dan tradisi budaya Manggarai masih mengakar kuat di hati mereka. Oleh karena itu, di awal penelitian penulis diserahkan kepada masyarakat secara adat. Saat itu Feri Sehadung, putera sulung Stefanus Syukur sang Tu’a Golo 14, secara resmi memperkenalkan penulis dan tujuan kedatangannya di Mondo untuk meneliti lewat acara kepok 15. Rupanya, kepok ini merupakan hal yang sangat penting bagi orang Manggarai. Ketika penulis datang ke Waling untuk mencari informasi, Stefanus melakukan kepok pula untuk penulis. Sejujurnya, pertama kali melakukan penelitian di Mondo penulis tidak mengerti sama sekali akan pentingnya kepok. Syukurlah sebelum memasuki Mondo, penulis sempat berkenalan dulu dengan Feri Sehadung yang tinggal di Borong. Perkenalan dengan Feri ini terjadi lewat perantaraan Romo Paroki. Feri inilah yang memuluskan masuknya penulis ke Kampung Mondo. Walaupun seluruh warga Mondo mengetahui kehadiran penulis sebagai peneliti dalam rangka menyelesaikan studi, tidak ada satu orang pun dari antara mereka yang mengerti penelitian topik apa yang sedang dilakukan oleh penulis. Umumnya mereka berpendapat bahwa penulis sedang belajar adat istiadat Manggarai di kampung mereka. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari bersama warga Mondo, tampaknya mereka seringkali lupa bahwa penulis adalah seorang peneliti. Kehadiran penulis sebagai seorang biarawati di tengah Mondo membuat warga lebih mengingat penulis sebagai seorang biarawati ketimbang seorang peneliti. Hal ini ditunjukkan dengan permintaan pelayanan mereka yang tiada habis-habisnya seperti mohon pelayanan doa, konseling, dan sebagainya. Selain itu, penulis juga membuka diri untuk memberikan pelayanan di bidang spiritual lainnya seperti rekoleksi atau retret, adorasi, bina iman anak, 14
Kepala Kampung. Sebuah acara adat khas Manggarai yang biasanya digunakan untuk menyambut tamu, mengadakan sebuah perjanjian, permintaan maaf, dan sebagainya. 15
44
dan sebagainya. Akibatnya, hari-hari di sana menjadi sangat padat karena adanya penelitian dan pelayanan sekaligus. Akan tetapi, ternyata cara ini memberikan buah yang menggembirakan. Penulis jadi lebih dapat menangkap atmosfer spiritual masyarakat dalam acara-acara rohani bersama dan mendalami penghayatan spiritual pribadi masyarakat lewat konseling maupun sharing16 yang dilakukan. Selain itu, kegembiraan masyarakat yang dilayani memberikan kekuatan dan penghiburan bagi penulis sehingga kelelahan nyaris tak terasa selama bersama mereka. Selama penelitian di Kampung Mondo, penulis dianggap sebagai anak dalam keluarga Stefanus Syukur. Bahkan, pernah ada warga yang protes supaya penulis tidur bergiliran di rumah-rumah warga Mondo sehingga semuanya kebagian merasakan jadi satu keluarga dengan penulis. Berhubung hal ini dirasa sulit oleh penulis, maka penulis mengompensasikannya dengan makan di rumah warga-warga lain juga. Satu hal penting yang terlambat disadari oleh penulis adalah bahwa jauhjauh hari seharusnya sudah memberitahukan kepada Tu’a Golo kapan tepatnya akan meninggalkan Mondo. Hal ini penting agar mereka dapat mempersiapkan acara perpisahan antara penulis dengan penduduk sekampung. Padahal, sebagai orang yang hidup dan besar dalam budaya Jawa, menyampaikan kapan akan pulang sejak jauh-jauh hari terasa berat sekali karena seolah minta dipestakan perpisahan. Budaya perempuan China sekaligus Jawa yang mengajarkan untuk tidak meluapkan emosi, tidak mengutarakan keinginan, dan sejarang mungkin membicarakan diri sendiri, ternyata justru menjadi kendala dalam hidup bersama orang Manggarai yang spontan, terbuka, dan ekspresif. Saat itu penulis hanya menanti saja sampai ada yang menanyakan kapan akan pulang ke Jawa, dan ternyata, pertanyaan itu baru muncul dua hari sebelum pulang! Padahal, satu hari sebelum pulang Romo Paroki sudah merencanakan acara perpisahan antara penulis dengan umat di Borong. Akhirnya, penulis pun pamit dengan keluarga besar Tu’a Golo dalam situasi yang tidak mengenakkan. Mereka menyalahkan penulis mengapa tidak mengatakan tanggal kepergian sejak jauhjauh hari. Penulis saat itu hanya mohon maaf karena baru mendapatkan kepastian tiket pesawat untuk pulang beberapa waktu sebelumnya. Mereka sangat menyesal karena ternyata harus melepas penulis pergi begitu saja tanpa upacara perpisahan apapun. Satu-satunya yang sudah mereka siapkan sejak 16
Sharing yang dimaksudkan di sini adalah warga Mondo menceritakan pengalaman rohani dalam kehidupannya. Hal ini kadang dilakukan secara pribadi dalam arti empat mata saja dengan penulis, kadang juga dalam acara doa bersama. 45
lama adalah sepotong kain songke yang diserahkan kepada penulis sebagai kenang-kenangan. Walaupun peristiwa perpisahan tidak menyenangkan, namun ada sebuah peneguhan penting yang diperoleh untuk kepentingan penelitian. Pertama, walau penulis seorang rohaniwati yang seharusnya dihormati dan disegani, mereka tidak segan-segan memprotes dan menyalahkan penulis. Pada dasarnya mereka memang kritis dan tidak akan diam jika ditekan. Dalam kasus ini, mereka sangat tertekan karena tidak bisa membuat acara perpisahan untuk melepaskan kepergian penulis. Kedua, ketidaksungkanan mereka terhadap penulis cukup melegakan karena ini berarti mereka senantiasa jujur, terbuka, dan apa adanya di hadapan penulis. Hal ini penting dalam kaitannya dengan reliabilitas data.
PARADIGMA PENELITIAN Paradigma yang dimaksud di sini merupakan pandangan dunia yang membimbing penelitian ataupun serangkaian keyakinan dasar yang membimbing tindakan dalam penelitian (Guba & Lincoln 2009:129). Penelitian ini menyentuh bidang-bidang etika pembangunan, sosial, politik, budaya, ekonomi kelembagaan, dan spiritualitas. Semua bidang itu berhubungan dengan manusia yang tidak pernah eksak, membentuk sebuah kelompok masyarakat yang unik di suatu tempat. Ambisi memverifikasi teori dengan pendekatan deduktif rasanya kurang tepat dengan situasi seperti ini. Apa yang menjadi fokus penelitian bukanlah hipotesis melainkan fakta (Okely 1994). Oleh karena itu, paradigma yang dipilih dalam penelitian ini adalah paradigma kualitatif dengan pendekatan subjektif (Mulyana 2010:20). Berdasarkan observasi awal pada bulan Februari 2009, tampak bahwa penelitian ini perlu dilakukan lewat kajian etnografis. Hal ini dikarenakan kajian etnografis menuntut sebuah penelitian mengenai bagaimana dunia menurut pandangan komunitas tersebut, bagaimana penghayatan spiritual mereka, nilai-nilai apa yang hidup di kalangan mereka, dan bagaimana perilaku sosial mereka. Semua unsur ini dapat menjadi sarana untuk dapat menangkap modal spiritual yang tertanam di dalam komunitas Mondo. Bagaimana jati diri batin orang Mondo, itulah yang hendak dilihat dalam penelitian ini melalui sebuah observasi yang cukup intensif. Wawancara yang mendalam dan pencatatan berbagai fenomena yang berkaitan dengan informasi yang dibutuhkan dilakukan secara kontinu. Fenomena-fenomena yang dimaksud tidak saja yang terjadi pada masa sekarang tetapi juga yang terjadi di masa 46
lampau. Dengan perkataan lain, penelitian dilakukan melalui observasi melakukan kontak yang secara langsung dan intensif dengan subjek yang diteliti. Melalui keterlibatan peneliti dengan masyarakat maka diperoleh cara pikir dan cara pandang masyarakat tersebut sekaligus norma-norma yang hidup dalam komunitas itu. Penelitian ini dijalankan dengan perspektif interpretif secara induktif (Mulyana 2010:156-157). Dalam hal ini, sumbangan teori terjadi secara konstruksionis karena direnda dari fakta-fakta yang ada di lapangan. Berdasarkan semua argumen di atas, bisa dimengerti mengapa paradigma kualitatif lebih sesuai untuk keperluan ini, karena metode ini memungkinkan penulis terlibat dalam perspektif masyarakat yang diteliti, ide-ide mereka, perilaku mereka, motivasi mereka, intensi mereka, dan sebagainya (Henn et al. 2006). Untuk dapat melahirkan sebuah teori yang kontekstual, maka penelitian dilakukan secara ‘real-life setting’. Sedapat mungkin diusahakan tidak mengubah ‘setting’ sehingga teori muncul dengan alamiah. Metode kuantitatif yang biasa melakukan survai lewat kuesioner dan eksperimen kurang sesuai untuk kasus ini karena dapat menghantar kepada situasi yang artifisial, sesuatu yang ingin dihindari dalam penelitian ini. Informasi yang terkumpul mengonstruksi teori, namun teori yang baru tersebut memengaruhi pilihan informasi apa yang harus dikumpulkan berikutnya, dan terekonstruksi teori kembali. Demikianlah seterusnya sehingga terbentuklah spiral antara konstruksi teori dan pengumpulan informasi, sesuai dengan kekhasan penelitian kualitatif yang induktif (Henn et al. 2006).
LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian berada pada level kampung. Alasan dipilihnya level kampung ini adalah karena otonomi wilayah adat berada di tingkat kampung. Dengan mempelajari dinamika keseharian masyarakat di tingkat kampung, maka dapat dipelajari spiritualitas tradisional yang dihayati oleh masyarakat. Sedangkan untuk mempelajari spiritualitas kristiani, level kampung juga merupakan pilihan yang tepat karena ketegangan maupun integrasi antara kedua spiritualitas baik tradisional maupun kristiani akan tampak di level kampung. Sebagai studi kasus, dilakukan penelitian di Kampung Mondo yang berada di
47
Desa Golo Kantar 17, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi NTT. Alasan dipilihnya kampung tersebut adalah pertama, kampung ini berada dalam Kecamatan Borong, pusat dari pemerintahan Kabupaten Manggarai Timur yang belum lama mendapatkan otonominya. Akan tetapi, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah di Kampung Mondo nyaris belum kelihatan sehingga menjadi sebuah ironi tersendiri mengenai kondisi kampung yang berada dalam kawasan pusat pembangunan namun belum menikmati pembangunan. Alasan kedua, kedekatan kampung ini dengan pusat pemerintahan Daerah Otonomi Baru (DOB) juga memudahkan akses untuk mencari data-data pemerintahan sehingga bisa dimengerti apa yang menjadi latar belakang masyarakat Kampung Mondo belum dapat menikmati pembangunan. Alasan ketiga, masyarakat Kampung Mondo memiliki penghayatan spiritual yang agak berbeda dibandingkan kampung-kampung tetangganya. Hal ini ditangkap penulis ketika dalam observasi meneliti Kampung Mondo dan kampung-kampung tetangga lainnya. Alasan keempat, masyarakat Kampung Mondo juga paling mandiri dalam hal menggerakkan pembangunan dibandingkan kampung-kampung tetangganya. 18
PROSES PENGUMPULAN DAN ANALISIS INFORMASI Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode triangulasi untuk lebih mendukung realibilitas data. Triangulasi yang dimaksudkan di sini adalah mencoba memperoleh realibilitas data melalui berbagai sudut pandang (Neuman 2003). Dalam sebuah penelitian sosial, berbagai sudut pandang dapat dicapai dengan melakukan berbagai metode pengumpulan informasi misalnya dengan cara mengamati lewat observasi, mendengarkan lewat wawancara mendalam, serta mempelajari berbagai dokumen dan referensi lainnya (Glesne 1988, Marwata ---). Observasi dilakukan dengan tinggal di kawasan penelitian. Observasi ini penting untuk dapat mendeskripsikan dengan baik perilaku dan pemikiran masyarakat, yang akhirnya diiluminasi pula oleh teori-teori sosial yang ada 17
Saat penelitian dilakukan pada Februari 2009-April 2010 Kampung Mondo berada di dalam Desa Golo Kantar. Namun, awal tahun 2011 terjadi pemekaran desa sehingga Mondo kini berada di Desa Bangka Kantar. 18 Kesimpulan ini diambil berdasarkan hasil observasi. Umumnya, pembangunan yang terjadi di kampung-kampung tetangga Mondo berasal dari inisiatif pemerintah. 48
ketika menyusun sintesa. Dengan demikian, sintesa yang disusun merupakan hasil kedekatan hubungan penulis dengan masyarakat yang diteliti sehingga muncul teori baru yang kontekstual. Penelitian lapangan pertama sekali dimulai pada bulan Februari 2009, dan penulis meninggalkan lapangan pada akhir April 2010. Selama rentang tahun tersebut, penelitian terus berjalan secara kontinu walaupun pada waktu-waktu tertentu penulis tidak berada di lapangan. Sepulangnya dari lapangan, terkadang para informan masih mengontak penulis untuk memberikan berbagai informasi perkembangan di lapangan hingga awal tahun 2011. Dokumen dan berbagai referensi dicari di perpustakaan umum, berbagai dokumen dan arsip pemerintahan, serta dokumen-dokumen Gereja. Selain itu juga dokumen atau arsip yang berhubungan dengan adat istiadat, yang umumnya ditulis oleh para misionaris. Studi literatur dari berbagai buku dan jurnal-jurnal ilmiah tetap pula dilanjutkan selama penelitian berlangsung. Selain referensi tertulis, referensi lain juga diperoleh dari berbagai wawancara yang dilakukan dengan orang-orang yang mengerti cukup banyak tentang topik penelitian maupun masyarakat yang diteliti. Adapun orang-orang yang diwawancarai dipilih sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu para pimpinan atau tokoh di bidang pemerintahan, Gereja, adat, dan warga Mondo sendiri. 19 Mereka yang dipilih adalah orang-orang yang menjadi sumber sekaligus penjaga kehidupan spiritualitas baik kristiani maupun tradisional, selain itu juga para tokoh yang terjun langsung dalam pembangunan. Selanjutnya, wawancara bergulir secara snowball method sesuai dengan petunjuk dari para informan sebelumnya (Glesne 1988). Semua informasi yang ada pertama-tama dibuat dalam bentuk soft-copy terlebih dahulu. Setelah itu dilakukan klasifikasi, yaitu semua data disimpan dalam kelompoknya masing-masing sesuai kepentingan penelitian. Pengelompokan informasi ini penting untuk keperluan analisis selanjutnya. Adapun analisis berlangsung terus menerus seiring dengan berjalannya pengumpulan data (on going process). Analisis tersebut dilakukan secara interpretatif dengan iluminasi teori-teori yang ada, masukan para promotor, pendapat para pakar, dan masukan dari rekan-rekan lainnya. Berhubung ada banyak informasi yang dibutuhkan sehubungan dengan penghayatan spiritualitas masyarakat, maka penulis mencoba menggunakan talenta yang dimilikinya dalam hal ini. Selama penelitian, penulis beberapa kali 19
Daftar lengkap orang yang diwawancarai dapat dilihat pada tabel Daftar Wawancara. 49
memberikan bimbingan retret dan bimbingan spiritual kepada umat setempat. Hal ini terbukti membangkitkan rasa percaya masyarakat untuk mengungkapkan penghayatan spiritualnya dalam kehidupan sehari-hari. Konsultasi-konsultasi pribadi yang tak dapat diungkapkan dalam tulisan ini, percakapan-percakapan, dan antusiasme masyarakat dalam mengikuti berbagai kegiatan rohani yang diadakan memberikan gambaran kepada penulis mengenai penghayatan spiritual masyarakat yang diteliti. Bahkan, ada pula acara-acara yang sengaja dilakukan di tempat yang jauh, di mana masyarakat dari Kampung Mondo perlu berjalan kaki lebih dari 2 jam untuk mencapainya. Namun, walaupun jauh, animo mereka tidak berkurang. Semua fenomena ini memberikan pemahaman kepada penulis mengenai penghayatan spiritual masyarakat yang diteliti.
TAHAPAN PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan pendekatan dari bawah ke atas, artinya penelitian dilakukan di kalangan masyarakat terlebih dahulu, baru kemudian Gereja, pemerintah, dan para tokoh adat. Hal ini penting agar tidak terpengaruh atau bahkan tertipu dengan opini dan masukan dari para pejabat. Penelitian ini diawali dengan tahap introduksi, yaitu sebuah observasi pendahuluan yang dilanjutkan dengan perkenalan dan sosialisasi tujuan penelitian 20 terlebih dulu dengan para tokoh dan masyarakat setempat. Setelah itu, dimasuki proses adaptasi dan pengenalan atmosfer sosial setempat lewat pergaulan dan interaksi sehari-hari. Untuk mempelajari nilai-nilai yang dihidupi oleh masyarakat, dipelajarilah hukum kekerabatan, tata upacara adat, ajaran kristiani, dan berbagai hal yang kiranya dapat berkaitan dengan pembentukan modal spiritual masyarakat. Pembelajaran ini dilakukan lewat wawancara, studi literatur, observasi, dan pergaulan sehari-hari dengan masyarakat setempat. Sesungguhnya, tahapan penelitian ini tidak kaku. Bisa terjadi secara berurutan sesuai dengan rencana, namun dapat pula terjadi secara bersamaan antara penelitian yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kondisi di lapangan. Dalam hal ini, ada keterbukaan sikap dalam penelitian terhadap berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di lokasi penelitian. Misalnya, pada pagi
20
Tujuan penelitian yang dimaksud di sini bukanlah tujuan penelitian sebagaimana yang diuraikan dalam prolog. Kepada masyarakat disampaikan tujuan penelitian ini adalah untuk menyelesaikan studi di UKSW, Salatiga. 50
hingga siang hari penulis berada di kampung, namun malam harinya makan bersama dengan keluarga Bapak Camat di kota Borong.
BIAS DAN RELIABILITAS INFORMASI Bias merupakan distorsi yang dapat terjadi pada hasil penelitian. Bias ini dapat terjadi karena banyak sebab. Pertama, karena pengumpulan data yang tidak tepat. Pertanyaan yang tidak cocok dalam wawancara dapat menghasilkan jawaban yang salah. Selain itu, relasi yang dijalin antara peneliti dan yang diwawancarai juga dapat menentukan hasil wawancara. Belum lagi jika datadata yang diberikan tidak akurat, tentunya akan memperbesar bias hasil penelitian. Kedua, bias dapat terjadi karena interpretasi yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Interpretasi yang didominasi subjektivitas dapat berbeda sekali dengan kenyataan yang ada. Ketiga, bias dapat terjadi pula karena digiring oleh kepercayaan atau komitmen pribadi penulis (Bloor and Wood 2006). Umumnya bias diasumsikan negatif karena memberikan deviasi terhadap kebenaran di lapangan sehingga sedapat mungkin dihindari. Akan tetapi, para peneliti yang berpengalaman dapat menempatkan bias justru sebagai kekuatan tulisannya. Segala kemungkinan terjadinya bias itu dapat terjadi dalam penelitian ini. Hal ini diperparah dengan latar belakang penulis yang berbeda jauh dengan subjek yang diteliti (non backyard research). Segala perbedaan ini membuat cara berpikir dan cara memandang terhadap setiap fenomena juga berbeda. Selain itu, kehadiran peneliti yang datang sebagai seorang figur spiritual juga dapat menimbulkan bias. Semua warga Kampung Mondo mengenali penulis sebagai biarawati sekaligus tahu pula bahwa kedatangan penulis ke Mondo untuk tujuan penelitian. Oleh karena itu, hal ini dapat menghasilkan bias pula. Lebih-lebih, figur rohaniwan/wati merupakan figur yang cukup dihormati di Mondo. Akan tetapi, bias ini dapat terantisipasi dengan berbagai usaha untuk memperoleh keterpercayaan data. Ada tiga macam usaha yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu secara deskriptif, interpretatif, dan teoritis (Glesne 1998). Usaha secara deskriptif dilakukan dengan menggambarkan segala sesuatu sebagaimana adanya semaksimal mungkin sejauh kemampuan daya tangkap penulis. Usaha secara interpretatif dilakukan dengan menginterpretasikan segala fenomena, perilaku, dan berbagai fakta berdasarkan perspektif subjek yang diteliti. Kedua usaha ini dicapai dengan penggunaan metode triangulasi perolehan informasi agar diperoleh keterpercayaan informasi untuk deskripsi 51
dan interpretasi penulis. Selain itu, telah diminta pula bantuan informan baik dari Kampung Mondo maupun luar Mondo untuk mengonfirmasi interpretasi dan deskripsi penulis. Adapun usaha secara teoritis dicapai dengan melakukan dialog dengan teori-teori yang sudah ada. Dalam hal ini, masukan dari para promotor, serta berbagai masukan yang diperoleh pada saat-saat presentasi dalam seminar sangat menolong reliabilitas tulisan yang disajikan. Sejak awal penyusunan proposal, tulisan ini telah dipresentasikan beberapa kali dari tahap ke tahap dan kontribusi dari peer 21 telah memperkaya tulisan ini. Hal penting lainnya adalah selama penelitian di Kampung Mondo, penulis menangkap warga seolah lupa atau bahkan tidak terlalu peduli tujuan utama kedatangan penulis sebagai peneliti. Situasi ini memberikan dua keuntungan besar. Pertama, bias data lebih terhindarkan karena mereka tidak akan “berpura-pura” atau berusaha kelihatan lebih spiritualistis. 22 Kedua, dengan hadirnya penulis sebagai seorang figur spiritual, warga lebih terbuka untuk datang dan mencurahkan isi hati serta permasalahannya sehingga kehidupan rohani pribadi mereka pun dapat tertangkap.
21
Seminar-seminar ini difasilitasi oleh Program Doktoral Studi Pembangunan, UKSW. Sempat ada komentar yang mengatakan kehadiran penulis sebagai biarawati akan membuat warga berusaha tampil murni Katolik dan meninggalkan adat istiadat. Namun, hal itu tidak terjadi karena sampai saat ini di Manggarai bahkan tahbisan Uskup dan pelantikan Bupati sekalipun sarat dengan unsur budaya. Jarang sekali terjadi umat di Manggarai menyembunyikan adat istiadat di hadapan rohaniwan/wati karena memang tidak pernah ada larangan. 22
52