Cinta bukan hanya sekedar gombalan ucapan. Cinta bukan hanya kebahagiaan sesaat. Cinta bukan hanya kesetiaan semata. Cinta bukan hanya bermandikan ketulusan. Cinta butuh perjuangan. Perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan itu sendiri. Kebahagiaan yang seharusnya tak memerlukan usaha mudah. Kebahagiaan yang mampu membuat mawar layu karena iri. Kebahagiaan yang mampu membuat matahari tersenyum. Kebahagiaan yang mampu mengalahkan rintik hujan. Disini dijelaskan perjuangan seseorang yang begitu gigih mempertahankan cintanya. Ya, karena ia yakin akan cintanya. Ia yakin akan kebahagiaan yang didapat ketika sampai diakhir waktu. Dia menyayangi gadis bisu, dia bernama Damar, seorang pria tampan yang memiliki pesona memukau. Banyak wanita yang mencoba mendekati dan meraih perhatiaannya, namun tak satupun yang mampu membuatnya jatuh dan mencinta. Sampai pada saatnya waktu berpihak padanya dan mempertemukannya dengan Marissa, seorang gadis bisu yang ia temui di dalam bus. Pandangan pertama itu tak akan pernah ia lupakan, pertemuan diantara hujan, matahari, telah ia lewati. Begitu kagetnya Damar ketika ia mengetahui kalau gadis yang sedari awal ia kagumi ternyata adalah seorang gadis bisu. Tapi ia tak melihat kecacatan dari dalam diri Marissa. Marissa mendekati sempurna, karena Damar tau tak ada manusia yang sempurna. Ya, perkenalan semakin jauh ketika Damar datang ke sekolah Marissa untuk menjemputnya lalu menyatakan perasaan yang selama ini dipendamnya. Tapi apa kata Marissa? Ia begitu kaget, karena baru kali ini ada seorang lelaki tampan yang menyatakan perasaannya secepat ini, tentu ia tak langsung menerimanya. Ia meminta Damar untuk membuktikan ketulusan dan keseriusannya. Damar pun berkata ia akan mengajak Marissa kerumahnya, untuk bertemu sang Bunda. Tapi apa kata Bundanya? Bundanya dengan keras membentak Damar “Kamu gak akan bahagia kalau hidup bersama wanita cacat seperti dia, Damar!!” Bentakan itu didengar Marissa. Damar masih terus berusaha membuat Bunda-nya yakin kalau Marissa akan membuat hidupnya lebih berharga. Bundanya Damar masih belum merestui hubungan mereka. Bahkan Bundanya membenci Damar, bayangkan betapa tersiksanya Damar ketika ia tau Bunda yang selama ini selalu menemaninya tibatiba saja langsung menjadi musuh didalam rumah. Tapi Damar tak kehabisan akal. Ia terus menerus membuktikan ketulusannya. Akankah Bundanya memberi restu untuk hubungan Damar dan Marissa. Disini juga dilengkapi beberapa cerpen yang memiliki pageviews paling banyak di akun blog pribadiku. Yang pertama “Anniversary Terakhirku” yang mempunyai pageview hampir 1000 dalam waktu hampir sebulan. Yang kedua “Aku sayang kamu, Shera. Happy Anniversary” yang mempunyai pageviews hampir 900 dalam waktu 3 minggu. Yang ketiga “Kekasih Untuk Kakakku” yang mempunya pageviews 500 dalam waktu seminggu. Yang keempat “Alone With My Feel” yang mempunyai pageviews sekitar 500 dalam waktu dua hari.
Bab 9 – Bunda, Aku Menyayanginya..
“Mau ketemu Marissa kapan, Mar?” tanya Eja saat jam pelajaran sekolah usai. “Nih gue mau jemput dia ke sekolahnya, Ja..” “Emang udah janjian?” “Belum sih, tapi ya kemarin gue juga nungguin dia kok..” “Oke. Good lucky my friend. Gue mau pulang sama Nina nih..” “Wah iya, Ja. Sukses ye..” “Oke, duluan ya, Mar..” “Sip..” Aku berjalan keluar kelas, dengan niat yang teguh aku mengokohkan hatiku untuk menemui Marissa dan berkata sejujurnya tentang perasaanku. Bukankah tak baik memendam perasaan terlalu lama? Kalau memang waktu sudah memaksa untuk mengungkap perasaan itu ya apa boleh buat, lebih baik mengungkapkannya aat itu juga daripada waktu itu berlari dan tak akan datang lagi. Sekarang aku sudah berada di dalam bus menuju sekolah Marissa. *** Di halte SLB Citra Bangsa, aku menunggu Marissa. Pukul 2 siang, Marissa keluar dari gerbang sekolahnya. Ia melihatku dari depan gerbang, aku segera melambaikan tanganku. Marissa menghampiriku. “Hei, maaf ya kalau aku nunggu kamu disini lagi. Aku mau bicara sama kamu, boleh?” Marissa duduk di sampingku lalu mengeluarkan kertas beserta pensilnya. Mau bicara apa, Damar? “Tentang perasaan. Boleh? Tapi gak disini, di cafe situ aja yuk..” kataku sambil menunjuk cafe yang lumayan besar yang ada tepat disebrang halte ini. Perasaan apa? Tulis Marissa lagi. “Kamu bawel ya? Nanti kamu juga tau kok, makanya sekarang ikut aku. Ayo..” kataku gemas. Tapi jangan lama-lama ya? Aku takut dimarahi Ibu.. “Kalau Ibumu marah, biar aku yang tanggung jawab. Yuk..” ku menarik tangan Marissa. Sesampainya di cafe. Aku memilih tempat duduk yang berada di dalam cafe, karena kurasa pembicaraan ini cukup aku dan Marissa saja yang tau. “Mau pesan apa, Mas?” pelayan menghampiriku dan memberikanku buku menu. “Jus orangenya aja dua, Mas..” jawabku singkat. Pelayan langsung mencatat dan pergi untuk membuatkan pesananku. Marissa menyenggol lenganku sambil menyuruhku membaca apa yang ditulisnya. Jadi kamu mau bicara apa? “Apa yang kamu lakuin misalnya ada seorang cowok yang bilang kalau dia kagum sama
kamu?” Marissa menulis lagi. Kagum? Sama cewek bisu seperti aku? Kamu bercanda, Damar. Mana ada cowok seperti itu. Aku sedikit tersentak membaca apa yang dituliskan Marissa. Dia benar-benar sudah tidak percaya bahwa ada seorang lelaki yang tengah mengagumi sosoknya, lelaki yang amat sangat mengharapkannya, dan itu aku. Aku yang telah jatuh padanya, sepertinya aku harus berpikir keras untuk meyakinkan Marissa supaya dia benar-benar sadar bahwa ada aku disini yang mengaguminya. Mengagumi kesederhanaanya, mengagumi keanggunannya. “Ini minumannya, Mas..” pelayan menaruh dua gelas jus orange dimejaku. “Iya, terima kasih..” Marissa mengambil segelas jus orange lalu meminumnya. Aku memandangi wajah indahnya, ia sedikit risih karena ku pandangi terus menerus. Ia pun menulis lagi. Kenapa kamu memandangku seperti itu, Damar? Aku memandangnya lagi dengan seksama. “Kamu cantik, teramat cantik, Marissa. Aku menyukaimu..” Marissa menunduk. “Aku salah ngomong ya, Ris?” tanyaku dengan muka bersalah. Marissa mengangkat kepalanya, lalu menulis lagi. Jangan buat aku masuk ke dalam rayuanmu, Damar. Jangan buat aku terbang setinggi awan, aku sadar aku tak seperti yang kamu ucap. “Hei, aku jujur. Aku benar-benar menyukaimu. Bolehkah aku menjadi pendampingmu?” mataku semakin tajam menatapnya. Marissa menulis lagi. Damar, aku tak suka drama. Berhentilah bermain drama dihadapanku. Aku berlutut, dan memohon kepada Marissa untuk mempercayai perkataanku. “Aku serius, aku benar-benar menyukaimu dan maaf bila aku sudah terlanjur menyayangimu. Bolehkah aku menjadi bagian dari hidupmu?” Semua pengunjung yang ada di Cafe ini serentak menengok ke arahku dan Marissa. Dan mereka langsung berteriak. “Terima..Terima..Terima..” Marissa nampak kebingungan. Ia menulis lagi. Kamu sudah merencanakan ini semua? Kita baru kenal, Damar. Apa pantas secepat itu kamu menyukai dan menyayangiku? Kamu tau aku tak seperti remaja pada umumnya. “Bukankah untuk menanamkan sayang itu tak perlu menunggu waktu lama? Sayang itu datang dengan sendirinya, Marissa. Ia selalu datang kapanpun dan dimanapun, terlebih saat aku bertemu denganmu. Marissa, aku serius..”
Aku perlu berpikir, beri aku waktu. Aku takut kejadian waktu itu terulang lagi. Aku segera bangkit kemudian duduk di samping Marissa, pengunjung Cafe nampak mendesah kecewa karena Marissa belum menjawab pertanyaanku. “Terus kapan kamu akan jawab ini? Aku mau ajak kamu ke rumah aku, ketemu sama Bundaku..” Marissa melotot, ia terkejut dengan perkataanku. Ia menulis lagi. Apa? Ke rumahmu? Ketemu Bundamu? Untuk apa? “Aku mau memperkenalkan sesosok wanita yang akan menjadi pendampingku untuk hari yang akan datang..” Marissa memandangku kaget. “Astaga, seperti inikah keseriusan seorang lelaki kepada seorang wanita? Kenapa Damar secepat ini memintaku untuk menjadi pendampingnya?” pikir Marissa. “Kenapa kamu bengong seperti itu? Apa yang kamu pikirkan?” tanyaku. Marissa menulis lagi. Beri aku satu alasan kenapa kamu begitu menginginkan aku untuk menjadi pendampingmu. Dan buat aku percaya kalau kamu benar-benar serius kepadaku. Ku raih tangan Marissa, ku genggam tangan itu. “Marissa, alasan yang kamu minta itu tak mampu kuutarakan lewat kata-kata. Aku tak mampu melukiskan betapa indahnya pesonamu, senyumanmu. Aku hanya mampu mengagumi dan terus memperhatikanmu. Aku yakin, kamulah wanita yang dikirim Tuhan untuk melengkapi hidupku. Aku mohon, percayalah padaku. Aku akan membahagiakanmu sebagaimana kamu membahagiakanku..” Marissa menulis lagi. Tapi ini terlalu cepat, Damar. “Lebih baik terlalu cepat daripada terlambat nantinya..” jawabku sigap. Aku menyeruput jus orange yang sedari tadi menjadi saksi bisu dimana aku telah menyatakan perasaanku kepada Marissa. Aku jadi teringat Bunda yang masih belum menerima kalau aku telah jatuh kepada seorang gadis bisu. Semakin cepat aku pertemukan Bunda dengan Marissa, semakin cepat pula Bunda sadar kalau aku telah benar-benar menyayanginya. Menyayangi gadis bisu yang dilihatnya sebelah mata. “Kamu bisa ke rumahku setelah ini?” Marissa menulis lagi. Untuk apa? Kamu mau pertemukan aku dengan Bundamu? Aku yakin Bundamu akan marah jika tau kalau anak semata wayangnya telah menyayangi gadis cacat sepertiku. “Aku tak peduli itu. Aku hanya mau Bundaku tau seberapa besar sayangku kepadamu. Aku mohon, Ris. Sekali ini aja..”
Tapi antar aku pulang ya? Tulisnya. Aku tersenyum lebar. Ini bisa disebut jawaban baik dari Marissa, Marissa mau ke rumahku dan mau bertemu Bundaku. Mungkin besok, Marissa akan menerimaku. Ah betapa bahagianya aku, aku sudah membayangkan jika nanti Marissa ke rumahku Bunda akan menyambutnya dengan rona bahagia. Dengan begitu Bunda akan setuju tentang hubunganku dengan Marissa. “Yuk, ke rumahku. Takut nanti kemalaman..” ajakku sesaat setelah aku dan Marissa keluar dari Cafe. Marissa menulis lagi. Gimana kalau kita ke rumahku dulu? Aku takut Ibuku mencari dan mengkhawatirkanku. Aku menggangguk. “Oke! Yuk sekarang ke rumah kamu..” Aku langsung menggengam tangan Marissa. Tapi dengan sigap ia langsung melepasnya dan memilih untuk berjalan di depanku. Aku memakluminya, mungkin aku terlalu cepat menggenggam tangannya. Aku dan Marissa menunggu bus di halte. Sekitar 10 menit kami menunggu bus, tak ada bus yang lewat. Aku mulai merasa bosan dan memutuskan untuk naik taksi. Ada taksi yang sedang menunggu penumpang, tak jauh dari halte, aku langsung memanggil si supir taksi yang tengah berdiri di depan taksinya. Kemudian supir taksi mengendarai taksinya dan berhenti di depanku. “Yuk. Naik taksi aja, bus-nya gak dateng-dateng..” kataku sambil menarik tangan Marissa. Dan untuk kali ini Marissa menurut. “Pak, ke komplek Teratai ya..” kataku pada supir taksi. “Oke, Mas..” Marissa menyerahkan kertas yang berisi tulisannya. Kamu kok tau rumahku? Dari mana? Aku tersenyum jahil, lalu mengedipkan mataku. “Apa sih yang aku gak tau tentang kamu?” Marissa tersenyum malu. *** Marissa mengetuk pintu rumahnya. Kemudian Ibunya membukakan pintu. “Udah pulang, sayang? Loh ini siapa? Temanmu?” Marissa masuk ke dalam rumah, kemudian Ibunya mempersilahkan aku untuk masuk. Sebelum masuk ke rumah, aku mencium tangan Ibunya Marissa. Marissa duduk di ruang tamu, di susul Ibunya, kemudian aku. Marissa mengeluarkan secarik kertas lalu menulisinya. Ini Damar, Bu. Dia teman Marissa. “Oh Damar. Kenal Marissa dimana, Nak?” Ibunya mulai bertanya padaku.
Marissa masuk ke kamarnya, meninggalkan aku bersama Ibunya. “Saya kenal Marissa di dalam bus, Bu..” Ibu Marissa diam sejenak. “Lalu, kenapa kamu datang kesini? Apa kamu tidak keberatan berteman dengan Marissa? Kamu tau? Marissa tak seperti remaja-remaja pada umumnya. Ibu bukannya melarang Marissa untuk bersahabat dengan remaja normal seperti kamu, tapi Ibu hanya tak ingin kejadian buruk yang pernah menimpa Marissa, kini akan menimpanya lagi..” Aku tersenyum. “Saya ingin mengajak Marissa untuk bertemu sama Bunda saya, Bu. Sebenarnya saya mempunyai perasaan untuk memiliki Marissa. Saya jatuh cinta pada Marissa, Bu..” Ibu Marissa sedikit tersentak. “Apa? Kamu mencintai anakku? Marissa? Sungguhkah itu?” Aku menggangguk matang. “Sungguh, Bu. Saya akan buktikan itu, saya yakin Marissa adalah wanita yang dikirim Tuhan untuk menjadi alasan dari kebahagiaanku...” Marissa keluar dari kamarnya, ia sudah berpakaian rapi. Ia nampak anggun dengan celana jeans biru dan kaos yang dilengkapi pula dengan blazernya. Ibu Marissa langsung menghampirinya. “Kamu yakin dia baik?” tanya Ibu Marissa dengan suara yang pelan. Marissa menggangguk dan berbicara melalui bahasa isyaratnya. “Ya, sudah kalau begitu Ibu izinkan kamu ikut Damar. Tapi jangan kemalaman ya? Damar, nanti antar Marissa ya?” pesan Ibunya Marissa. Aku dan Marissa tersenyum. Setelah itu kami meminta izin untuk pergi ke rumahku. “Pergi dulu ya, Bu. Assalamualaikum..” “Waalaikumsalam. Hati-hati ya, Damar. Tolong Marissanya dijaga..” pesan Ibunya Marissa. *** “Assalamualaikum. Bunda, Damar pulang..” kataku smabil membuka pintu rumahku. “Waalaikumsalam, tumben pulang sore. Kemana aja kamu?” Bunda keluar dari dapur lalu menghampiriku. “Ayo masuk..” ajakku pada Marissa. Marissa menurut dan masuk ke dalam rumah. Bunda datang, aku mencium tangannya. Marissa pun melakukan hal yang sama. “Loh ini siapa?” tanya Bunda dengan nada yang kurang baik. Aku segera duduk di sofa dan Marissa duduk disampingku. “Bunda, ini Marissa..” Marissa meraih tangan Bunda dan menciumnya lagi. Bundaku masih terbengong-bengong dan tak percaya kalau aku mampu membawa Marissa
kesini. Biarlah ini juga biar Bunda yakin bahwa aku benar-benar menyayangi gadis ini. Marissa menampakkan senyuman indahnya. “Damar, sini dulu Bunda mau bicara..” Bunda menyuruhku untuk masuk ke ruang tengah. “Sebentar ya?” kataku pada Marissa. Ia menggangguk. “Ada apa, Bunda? Aku serius kan akan membawa Marissa kesini, biar Bunda yakin kalau aku benar-benar serius sama Marissa..” “Tapi dia itu bisu, Damar! Kamu lihat, menyebutkan namanya sendiri saja dia tidak mampu. Apa kamu akan bahagia dengan wanita seperti itu!” bentak Bunda dengan suara yang lumayan keras. “Bunda, jangan bicara keras-keras. Kalau Marissa dengar, aku menjadi tak enak hati. Aku menyayangi Marissa, Bunda. Aku serius..” “Damar, Bunda mau yang terbaik buat kamu. Bunda gak mau kamu hidup dengan gadis cacat seperti dia..” “Bunda mau yang terbaik buat Damar? Dia yang terbaik, Bunda. Dia adalah wanita pertama yang mampu membuatku jatuh dan membuatku mengerti apa itu sayang..” Air mataku hampir tertetes. “Bunda gak yakin dia akan membuat kamu bahagia, Damar..” “Bunda, aku tau dia bisu. Aku tau dia tak mampu berbicara, tapi apakah itu suatu halangan yang mengharuskan dia untuk tak boleh disayangi dan tak boleh dikagumi?” “Terserah apa katamu, Damar. Bunda gak setuju kamu sama dia! Dia gak akan bisa membuat kamu bahagia! Sekarang bawa dia jauh-jauh dari sini. Jangan pernah kamu bawa dia kesini lagi!” kali ini Bunda membentak dengan nada yang kencang. Aku segera berlari menuju ruang tamu dan ternyata Marissa sudah tidak ada disitu. Aku berlari keluar rumah. Ku lihat Marissa berlari, aku bergegas mengejarnya. “Marissa, tunggu aku..” teriakku sambil memegangi dadaku yang sedari tadi sakit. Aku tak memperdulikan dadaku yang semakin sakit. Aku terus mengejar Marissa, Marissa memberhentikan taksi, lalu segera masuk ke dalamnya. “Marissaaaa...” teriakku saat taksi yang ditumpangi Marissa pergi menjauh. Kakiku terasa lemas. Aku terduduk dipinggir jalan tak jauh dari rumahku. Ya Tuhan, pasti Marissa amat sangat marah padaku. Marissa mendengar bentakan Bunda tadi. Harusnya Bunda bisa menjaga perasaan Marissa, kalau boleh jujur aku sedikit kesal terhadap Bundaku. Aku kesal karena ia telah membuat orang yang ku sayangi pergi tanpa salam. Bunda, aku benar-benar menyayanginya, aku benar-benar megagumi sosoknya. Aku tak memandang siapa dan bagaimana dia, tapi aku hanya melihat ketulusan dan kelembutan yang dia miliki. Seharusnya Bunda bisa melihat kesempurnaan dibanding kekurangan yang ia miliki, Bunda perlu mengenal sosok Marissa lebih jauh, sehingga Bunda tak pantas merendahkan Marissa. Marissa, aku menyayangimu. Ini sungguh dan aku serius, aku akan melakukan apapun agar Bunda mau menerima dan merestui hubunganku dengangmu. Dan untuk Bunda, izinkan aku
mendekapnya, mewujudkan semua harap dan mimpinya. Merajut kebahagiaan bersamanya, Marissa...