BAB 7 EPILOG : MEMBEDAH MITOS KEGAGALAN MELANGGENGKAN TRADISI PENGUSAHAAN HUTAN Fakta sejarah mencatat bahwa sektor kehutanan melalui pengusahaan hutan di sektor hulu dan industrialisasi kehutanan di sektor hilir selama tiga dekade terakhir telah memberikan kontribusi signifikan bagi proses pembangunan nasional. Dunia usaha kehutanan telah berhasil menjelma sebagai salah satu tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional. Statistik lima tahun terakhir sebelum terjadinya krisis ekonomi menunjukkan bahwa perolehan devisa sektor kehutanan yang berasal dari kinerja ekspor mencapai US 7 - 8 milyar dollar per tahun, sumber pendapatan negara yang berasal dari rente ekonomi kayu bulat dalam bentuk pajak maupun pendapatan non pajak1, serta investasi di sektor kehutanan yang mencapai US$ 27,7 milyar.2 Sebuah angka kontribusi yang sangat signifikan dari sektor non migas mengingat devisa sektor kehutanan bersifat netto karena tidak membutuhkan input impor. Pembangunan
kehutanan
disamping bersifat padat modal
(capital
intensive) sehingga membutuhkan adanya jaminan kepastian hukum bagi keamanan investasi dan kapastian berusaha, juga bersifat padat karya (labour intensive). Dengan jumlah penduduk Indonesia yang kini menempati urutan keempat dunia, faktor demografi ini sejak awal telah menjadi pertimbangan penting dan mendasar bagi Pemerintah RI dalam menentukan arah dan kebijakan
1
Rente ekonomi pengusahaan hutan terdiri dari 13 jenis pendapatan pajak maupun pendapatan non pajak, yaitu meliputi (1) Dana Reboisasi (DR), (2) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), (3) Iuran HPH, (4) Dana Jaminan Kinerja (DJK), (5) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), (6) Levy and Grant, (7) Dana Investasi Pelestarian Hutan, (8) Dana Koperasi, (9) Dana Kompensasi Masyarakat/Hak Adat atau Hak Ulayat, (10) Pembinaan Masyarakat Sekitar Hutan, (11) BBN-PKB atas alat-alat berat, (12) PPh atas Tenaga Kerja, (13) PPh atas Badan, (14) PPh atas Jasa, dan (14) Pungutan lainnya Berdasarkan Peraturan Daerah. Dengan rente ekonomi tersebut, setiap meter kubik kayu bulat memberikan kontribusi kepada negara sebesar US$ 36 – US$ 38 (Susanto, 2005). 2 Dari nilai invstasi tersebut di atas, US$ 16,00 milyar diantaranya dalam bentuk industri pulp dan kertas. Rincian investasi di sektor kehutanan meliputi nilai investasi di HPH USD 3,28 milyar, USD HTI 3,00 milyar, kayu lapis USD 3,30 milyar, perekat USD 0,19 milyar, kayu gergajian dan kayu olahan USD 1,03 milyar, meubel USD 0,80 milyar, dan pertukangan/pengrajin USD 0,17 milyar (APHI.2004).
pembangunan kehutanan nasional.3 Data MPI menunjukkan bahwa kemampuan sektor kehutanan dalam menyerap tenaga kerja, baik langsung maupun tak langsung mencapai 4 juta orang dengan multiplier effect sebesar 16 juta – 20 juta orang.4 Peran sosial ekonomi sektor kehutanan menjadi makin substansial karena karakteristik dunia usahanya yang mampu membangun pusat-pusat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi daerah-daerah terpencil di pedalaman. Hal ini sangat penting bagi upaya terwujudnya stabilitas politik dan keamanan maupun integrasi sosial kultural komunitas5. Karena itu, di tengah badai krisis berkepanjangan maka sektor kehutanan kembali mengulangi panggilan sekaligus peran sejarahnya sebagaimana terjadi di era tahun 1970-an. Pada tahun 1997 lalu sektor kehutanan kembali menjelma menjadi salah satu katup penyelamat krisis ekonomi berkepanjangan. Dengan karakteristik dunia usahanya yang mampu membangun pusat-pusat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi daerah-daerah terpencil di pedalaman keberadaan dan peran sektor kehutanan menjadi sangat vital dan substansial6. Sementara dalam perspektif sosial budaya, pengembangan sektor kehutanan berdampak terhadap upaya terwujudnya integrasi sosial kultural komunitas di berbagai wilayah NKRI. Kondisi tersebut terbukti berdampak sangat nyata terhadap terciptanya stabilitas politik dan keamanan yang sempat mengalami ancaman sebagai akibat terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan. Kenyataannya, kelangsungan dan keberlanjutan dunia usaha di sektor kehutanan mulai dari
usaha kehutanan hulu hingga usaha kehutanan
hilir,
dewasa ini justru sedang menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan 3
Kondisi demografi Indonesia dewasa ini semakin menjadi faktor strategis sebagai dampak krisis ekonokmi berkepanjangan yang telah menyebabkan besarnya angka pengangguran yang kini diperkirakan telah mencapai angka 40 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan angkatan kerja per tahun mencapai 2,5 juta orang. Peran ekonomi kehutanan dalam perspektif ketenagakerjaan ini menjadi sangat penting dan strategis karena akan sangat berimplikasi terhadap kinerja ekonomi, stabilitas sosial politik dan keamanan nasional. 4 Apabila diasumsikan bahwa setiap tenaga kerja di sektor kehutanan menanggung minimal 3 orang - 4 orang, maka usaha di sektor kehutanan telah menjadi gantungan hidup bagi 16 – 20 juta orang. 5 Lihat Naskah Pidato Pertanggungjawaban Dewan Pengurus MPI periode 1998 – 2003 pada Musyawarah Nasional MPI ke X, 08 Juni 2005 di Jakarta. 6 Pembangunan melalui pengembangan sektor kehutanan telah berhasil membuka isolasi berbagai kawasan terpencil melalui pembangunan sarana transportasi dan sarana prasarana umum. Sejak kegiatan pengusahaan hutan dilakukan, tak kurang dari 46.000 KM jalan angkutan telah dibangun dimana beberapa diantaranya kini telah menjelma menjadi jalan trans Sumatera, trans Kalimantan dan trans Sulawesi. Pembangunan sarana prasarana meliputi pembangunan 6.750 buah sekolah dan 1800 sarana peribadatan berbagai agama dan 1800 rumah adat dan balai desa. (APHI 2004).
yang sangat berat dan kompleks. Dampak resesi global serta transisi sosial politik di berbagai tingkatan telah menimbulkan ketidakpastian sosial, ekonomi, politik dan hukum di dunia usaha kehutanan yang mengarah pada timbulnya konflik sosial dan disintegrasi komunitas. Berbagai malpraktek pengelolaan dan pemanfaatan hutan dalam bentuk perambahan, penebangan liar, pencurian dan penyelundupan
kayu
serta
praktek-praktek
menyimpang
lainnya
telah
mengancam keberlanjutan peran ekonomi dunia usaha kehutanan serta kelestarian sumber daya hutan. Bilangan-bilangan kerusakan dan kerugian ekonomi ekologi yang kini tercatat sungguh mencerminkan tingkat kuantitatif yang sudah demikian massif dan luar biasa besar. Tercatat laju kerusakan hutan sebagai akibat berbagai malpraktek tersebut di atas dewasa ini telah mencapai 2,8 juta hektar per tahun7 sementara kerugian negara yang timbul diperkirakan mencapai angka Rp. 30 trilyun per tahun8. Pun secara ekologis, ancaman bencana alam –banjir dan tanah longsor di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau- selalu mengancam masyarakat sebagai akibat kerusakan hutan dan krisis lingkungan. Intinya, kini tengah berkembang mitos bahwa praktek pengelolaan hutan alam tropis telah menghasilkan kegagalan. Dunia usaha tidak mampu melanggengkan tradisi pengusahaan hutan yang pernah tercatat sebagai salah satu sektor penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Pertanyaannya, apa yang salah dengan kehutanan Indonesia. Gugatan yang lebih tepat lagi adalah apa yang salah dengan sistem dan praktek pengelolaan hutan Indonesia selama tiga dekade terakhir. Bagaimanapun, fakta menunjukkan bahwa daratan Indonesia seluas ± 189,15 juta hektar memiliki kawasan hutan 143,57 juta hektar atau sekitar 76 % dari keseluruhan luas total wilayah daratannya. Sesuai dengan letak serta karakteristik iklimnya, hutan alam di Indonesia termasuk ke dalam kategori hutan hujan tropis9. Karakteristik umum sekaligus keunggulan yang dimiliki hutan hujan tropis adalah (1) keanekaragaman (diversitas) jenis yang tinggi, (2) konstannya lingkungan atau sedikitnya perubahan musiman, dan (3) siklus hara tertutup. Tingginya diversitas jenis 7
Angka yang lebih ekstrim menyangkut laju kerusakan hutan bahkan mencapai 3,8 juta hektar per tahun. 8 Menteri Kehutanan M.S. Kaban dalam berbagai kesempatan bahkan menyebutkan angka kerugian sebesar Rp. 45 trilyun per tahun. 9 Hutan hujan tropis didefinisikan sebagai hutan yang selalu hijau, tidak pernah menggugurkan daun, tinggi 30 m tetapi biasanya jauh lebih tinggi, bersifat higrofil, banyak terdapat liana berbatang tebal dan epifit berkayu maupun bersifat herba (Richard, 1964).
mengakibatkan kontribusi masing-masing jenis terhadap populasi sangat kecil, bahkan sering dijumpai dalam satu plot yang berukuran beberapa acre hampir semua jenis pohon penyusun hanya diwakili oleh satu individu. Di sisi lain, dampak dari karakteristik iklim hujan tropis menyebabkan proses dekomposisi dan proses mineralisasi berjalan cepat. Selain itu, besarnya curah hujan juga berakibat pada tingginya proses pencucian (leaching). Terakhir, kondisi tanah di hutan hujan tropis bersifat miskin akan unsur hara. Berbagai karakteristik tersebut merupakan sifat-sifat alami penting yang harus menjadi pertimbangan utama dalam menerapkan sistem pengelolaan hutan hujan tropis. Artinya, penerapan sistem pengelolaan hutan hujan tropika harus bertumpu pada berbagai karakteristik fisik tegakan hutannya, disamping kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal yang hidup dan tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Dalam bahasa teknis kehutanan, sistem pengelolaan hutan alam populer dikenal dengan istilah sistem silvikultur. Persoalannya, di tengah laju kerusakan hutan alam tropis -utamanya hutan alam produksi- dewasa ini yang demikian massif, banyak pihak yang kembali mempertanyakan status silvikultur hutan alam, baik eksistensi maupun fungsinya. Secara konseptual status sistem silvikultur hutan alam sangatlah jelas. Eksistensi dan fungsinya telah disepakati –bahkan dituangkan secara formal dalam produk hukum kehutanan yang wajib diacu dan diimplementasikan- sebagai basis setiap praktek pengelolaan hutan yang menjadi kunci utama keberhasilan dalam mewujudkan prinsip-prinsip kelestariannya. Ironisnya, konsep tidak selamanya sesuai dengan realitas. Dari hari ke hari kerusakan hutan justru semakin massif karena didominasi oleh berbagai malpraktek pengelolaan hutan, mulai dari perambahan hutan, penebangan liar, penyelundupan kayu hingga konversi kawasan hutan untuk peruntukan kepentingan non kehutanan. Karenanya, mengangkat kembali issue eksistensi dan fungsi sistem silvikultur hutan alam di tengah puncak dialektika kehutanan dewasa ini merupakan sebuah momentum yang sangat tepat. Bagaimanapun carut-marutnya kehutanan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari hitam putihnya sejarah perjalanan sistem silvikultur hutan alam selama ini. Dalam konteks dialektika issue eksistensi dan fungsi sistem silvikultur hutan alam, terdapat tiga perspektif yang harus dibahas secara mendalam sebagai salah satu upaya reflektif terhadap peran silvikultur hutan alam dalam praktek pengelolaan hutan Indonesia.
KOTAK 7.1. POTRET KEHUTANAN HARI INI : MITOS KEGAGALAN PENGELOLAAN HUTAN DAN KEBERLANJUTAN TRADISI PENGUSAHAAN HUTAN Potret hutan hari ini adalah sebuah potret buram tentang keterpurukan sektor yang pernah berjaya selama tiga dasawarsa lalu. Fakta sejarah memang pernah mencatat bahwa sektor kehutanan melalui pengusahaan hutan di sektor hulu dan industrialisasi kehutanan di sektor hilir selama tiga dekade terakhir telah memberikan kontribusi signifikan bagi proses pembangunan nasional. Dunia usaha kehutanan telah berhasil menjelma sebagai salah satu tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional. Statistik lima tahun terakhir sebelum terjadinya krisis ekonomi menunjukkan bahwa perolehan devisa sektor kehutanan yang berasal dari kinerja ekspor mencapai US 7 - 8 milyar dollar per tahun, sumber pendapatan negara yang berasal dari rente ekonomi kayu bulat dalam bentuk pajak maupun pendapatan non pajak, serta investasi di sektor kehutanan yang mencapai US$ 27,7 milyar. Sebuah angka kontribusi yang sangat signifikan dari sektor non migas mengingat devisa sektor kehutanan bersifat netto karena tidak membutuhkan input impor. Itu fakta tiga dasawarsa yang lalu. Hari ini potret kehutanan Indonesia tengah didominasi berbagai malpraktek yang telah menyebabkan laju kerusakan hutan per tahun mencapai 2,8 juta hektar dengan kerugian negara Rp. 30 trilyun per tahun. Pada akhirnya, kelangsungan dan keberlanjutan dunia usaha di sektor kehutanan mulai dari usaha kehutanan hulu hingga hilir, dewasa ini justru sedang menghadapi ancaman. Bilanganbilangan kerusakan dan kerugian ekonomi ekologi yang kini tercatat sungguh mencerminkan tingkat kuantitatif yang sudah demikian massif dan luar biasa besar. Pun secara ekologis, ancaman bencana alam –banjir dan tanah longsor di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau- selalu mengancam masyarakat sebagai akibat kerusakan hutan dan krisis lingkungan. Intinya, kini tengah berkembang mitos bahwa praktek pengusahaan hutan alam tropis telah menghasilkan kegagalan. Dunia usaha tidak mampu melanggengkan tradisi pengusahaan hutan yang pernah tercatat sebagai salah satu sektor penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Benarkah demikian, tampaknya sejarah jua yang akan mampu membuktikannya. Sumber : Berbagai literatur yang diolah
Pertama, gugatan atas eksistensi sistem silvikultur hutan alam yang dari hari ke hari terus mengalami proses reduksi. Lebih lanjut, perannya terus mengalami degradasi. Sistem silvikultur kini tak lebih dari sekedar aksesori. Tempelan yang hanya menjadi sebuah syarat formal – administratif dalam setiap praktek pengusahaan hutan. Mulai dari pengusahaan hutan berskala besar, terlebih pada praktek pengusahaan hutan berskala kecil. Kedua, dialektika atas posisi kalangan silvikulturis10 –individu
yang secara akademis memiliki klaim
kompetensi profesional dalam mengelola hutan secara lestari -mulai dari peneliti, akademisi hingga praktisi- yang memiliki posisi relatif subordinat terhadap pemilik kapital (baca: pengusaha) dan pemilik kekuasaan (baca: politisi). Akibatnya, mereka tidak memiliki kemampuan menerapkan kompetensinya secara optimal 10
Dalam tataran yang lebih makro, profesi yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan dikenal dengan profesi rimbawan.
karena harus tunduk kepada kepentingan parsial dan sesaat (baca: kepentingan ekonomi jangka pendek) para pemilik modal atau pemilik kekuasaan. Perilaku moral hazzard lebih mendominasi tujuan pengelolaan hutan. Terakhir, dialektika atas keberadaan organisasi profesi -sebagai cerminan kelembagaan sosial politiksekaligus efektivitasnya mengaktualisasikan
dalam mengorganisir visi dan
segenap
kepentingan
misi untuk kemudian
kaum silvikulturis.
Kepentingan
tersebut tak lain adalah pengelolaan hutan lestari berdasar kaidah ekonomi, ekologi dan sosial11. 7.1. Revolusi Silvikultur Hutan Alam Diskursus tentang status sistem silvikultur –utamanya sistem silvikultur pengelolaan hutan alam- di tengah kuatnya dominasi issue politik ekonomi kehutanan dewasa ini tampaknya tidak akan mampu memberikan gaung yang cukup menggema kepada khalayak stakeholder kehutanan. Telah lama, sejak beberapa tahun belakangan persoalan silvikultur hampir tidak pernah lagi menjadi issue penting di sektor kehutanan. Apalagi menjelma menjadi sebuah agenda politik strategis yang akan masuk ke dalam skala prioritas kebijakan maupun program para pihak, utamanya program atau kebijakan yang dipelopori Pemerintah. Sistem silvikultur selama ini identik dengan masalah teknis kehutanan sehingga dianggap merupakan sebuah issue yang ringan dan sederhana. Karenanya tidak perlu masuk ke dalam agenda politik kehutanan penting para pihak. Persoalan illegal logging dan penyelundupan kayu, ancaman deindustrialisasi, rehabilitasi hutan dan lahan hingga desentralisasi lebih penting dan menyangkut perbenturan kepentingan dengan pihak lain sehingga harus menjadi perhatian dan agenda utama sektor kehutanan. Bahasa populisnya harus diperjuangkan !!. Dalam konteks realitas paradoks di atas, diperlukan sebuah pemikiran progresif di kalangan rimbawan di berbagai profesi untuk melakukan sekaligus mewujudkan perubahan. Perubahan secara kritis lagi cerdas atas cara pandang
11
Nugraha. Agung. 2005. “Menggugat Status Silvikultur Hutan Alam. Antara Kunci Atau Kartu Mati”. Makalah pada Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan. “Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikultur dalam Mendukung Rehabilitasi Hutan” yang diselenggarakan kerjasama antara ITTO Project dengan Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta di Jogjakarta Plaza Hotel, Jl. Gejayan, Complex Colombo. 26 – 27 Mei 2005. Yogyakarta (Tidak dipublikasikan).
para pihak yang akan menempatkan kembali posisi dan peran silvikultur dalam praktek pengelolaan hutan. Bagaimanapun, secara faktual issue gugatan status sistem silvikultur sesungguhnya merupakan salah satu issue mendasar atas terjadinya krisis kehutanan multidimensi dewasa ini sehingga harus ditempatkan sebagai salah satu agenda mendesak. Itulah salah satu kelemahan mendasar kalangan rimbawan Indonesia yang tidak menempatkan sistem silvikultur sebagai kunci keberhasilan pengelolaan hutan alam tropis, melainkan tidak lebih hanya sekedar sebagai sebuah kartu mati. Dengan kata lain sebuah beban yang memberatkan. Tentu saja sangat ironis. Seandainya saja semua stakeholder kehutanan mencoba menyimak dengan jernih, mengapa krisis kehutanan multidimensi sampai hari ini tak kunjung mampu diatasi, paling tidak jawabannya akan dapat ditemukan dalam konsepsi sistem silvikultur sebagai basis setiap aktivitas pengelolaan hutan, utamanya hutan alam. Sudah pasti ada yang salah terhadap implementasi konsep sistem pengelolaan hutannya yang didasari oleh sistem silvikultur sebagai landasan utamanya. Dalam perspektif lain, realitas tersebut justru mencerminkan kultur dan kompetensi rimbawan Indonesia yang sebagian besar masih didominasi profesi logger, bukan forester yang memiliki kemampuan menanam, apalagi membangun hutan tanaman. Karenanya, pertanyaan yang timbul adalah apa yang sebenarnya salah dari sistem besar pengelolaan hutan alam tropis di luar Jawa berbasis HPH dengan sistem silvikultur tebang pilih, mulai dari sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) pada tahun 1972 hingga sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada tahun 1989. Bahkan penerapan sistem silvikultur Tebang habis Permudaan Buatan
melalui
kebijakan
pembangunan Hutan Tanaman
Industri
(HTI)
sebagaimana teraktualisasi dalam PP No. 7 Tahun 1990. Gugatan itu muncul karena secara konseptual sistem HPH lahir sebagai jawaban atas permasalahan sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi negara (baca: Pemerintah)
di awal
tahun 1970-an. Demikian pula kehadiran gagasan pembangunan HTI dua dekade kemudian di era 1990-an. Meski dalam beberapa dimensi konsepsi tersebut mampu memberikan kontribusi positip sebagai solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi, namun ternyata konsepsi itu juga menghasilkan beberapa ekses negatip yang tidak pernah diharapkan. Terjadi kegagapan sehingga pesatnya dinamika politik ekonomi sektor kehutanan –sebagai dampak dinamika ekonomi politik nasional- tidak mampu diadopsi para pihak dalam konsepsi neo sistem
silvikultur yang lebih dinamis sekaligus adaptif. Konsep sistem silvikultur justru diperlakukan statis sebagaimana memandang tegakan hutan yang “dianggap” tidak mampu merespon secara cepat setiap dinamika perubahan lingkungan strategis. KOTAK 7.2 DISKURSUS PERUBAHAN SILVIKULTUR HUTAN ALAM: ANTARA EVOLUSI VERSUS REVOLUSI Pada hakekatnya, perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Dimanapun, kapanpun dan apapun di dunia ini selalu terkait dengan perubahan. Demikian pula dengan konsep silvikultur hutan alam sebagai basis praktek pengelolaan hutan. Sesuai karakteristiknya yang bersifat jangka panjang, sistem tebang pilih sebagai dasar pengelolaan konsesi HPH mensyaratkan adanya proses suksesi –sebuah tahapan proses perubahan yang bersifat sangat gradual dan memerlukan periode waktu panjang- bagi pertumbuhan kembali tegakan tinggal. Ia harus bebas dari gangguan yang bersifat eksternal. Dengan kata lain, perubahan-perubahan yang timbul dan terjadi atas praktek pengelolaan hutan alam berbasis sistem silvikultur TPI maupun TPTI tidak bisa dilakukan secara drastis, melainkan melalui suatu proses perubahan yang bersifat gradual. Dalam bahasa populis, perubahan sistem silvikulur harus bersifat evolusioner. Tampaknya, disinilah akar persoalan bersumber. Tatkala perubahan sistem silvikultur dikonsepsikan berlangsung secara evolutif, namun kenyataannya perubahan yang terjadi – terutama di luar sistem silvikultur- justru bersifat sangat dinamis. Bahkan teramat drastis. Dampaknya, terjadilah kesenjangan antara konsep dengan realitas. Lebih parah lagi, tidak terdapat ruang dialektika bagi antisipasi perubahan yang bersifat simulatif. Faktanya, tidak satupun diantara para pihak yang memiliki skenario untuk mengantisipasi atau menghadapi proses perubahan yang berlangsung secara demikian drastis. Tidak bisa tidak, kondisi di atas telah menyebabkan terjadinya sebuah perubahan yang sangat drastis. Bukan evolusi yang terjadi dalam konteks dinamika silvikultur hutan alam, melainkan sebuah revolusi. Sumber : Berbagai literatur yang diolah
Sistem
tebang
pilih
sebagai
dasar
pengelolaan
konsesi
HPH
mensyaratkan adanya proses suksesi –sebuah tahapan proses perubahan yang bersifat sangat gradual dan memerlukan periode waktu jangka panjang- bagi pertumbuhan kembali tegakan tinggal. Ia harus bebas dari gangguan, mulai dari aktivitas perambahan hutan oleh masyarakat lokal hingga “napsu serakah” para pemilik kapital (baca: pengusaha) dalam bentuk pelanggaran hukum seperti penebangan kembali sebelum masa siklus tebang berikutnya atau populer dengan istilah cuci mangkok (relogging), penebangan di luar blok, penebangan di bawah limit diameter dan malpraktek-malpraktek lainnya. Sebaliknya, perlu komitmen pengelolaan dan pemeliharaan intensif dari pihak pemegang HPH dibawah konsistensi pengawasan Pemerintah (baca: Departemen Kehutanan dan
Dinas Kehutanan)12. Keberhasilan penerapan sistem silvikultur hutan alam – khususnya sistem TPI ataupun sistem TPTI- tidak bisa dilihat apalagi diukur dalam periode jangka pendek. Sesuai dengan daur atau siklus yang diterapkan dalam manajemen pengelolaan hutan alam tropis –satu siklus setara 35 tahunmaka keberhasilan praktek sistem silvikultur hutan alam memiliki karakteristik periode waktu yang bersifat jangka panjang. Dengan kata lain, perubahanperubahan yang timbul dan terjadi atas praktek pengelolaan hutan alam berbasis sistem silvikultur TPI maupun TPTI tidak bisa dilakukan secara drastis, melainkan melalui suatu proses perubahan yang bersifat gradual. Dalam bahasa populis, perubahan sistem silvikulur tidak bisa bersifat revolusioner13, namun harus bersifat evolusioner14. Tampaknya, disinilah akar persoalan bersumber. Konsep yang disusun ternyata tidak memberikan ruang bagi dialektika perubahan yang bersifat simulatif. Tatkala perubahan sistem silvikultur sebagai basis sistem pengelolaan hutan
alam
dikonsepsikan
berlangsung
secara
evolutif,
namun
dalam
kenyataannya perubahan yang terjadi –terutama di luar sistem silvikultur- justru bersifat sangat dinamis15. Bahkan teramat drastis. Dampaknya, terjadilah kesenjangan antara konsep dengan realitas. Fakta lebih jauh, tidak satupun diantara para pihak yang memiliki skenario untuk mengantisipasi atau menghadapi proses perubahan yang berlangsung secara demikian drastis. Salah satu bukti yang mencerminkan realitas tersebut adalah fakta bahwa hampir tidak ada satupun manajemen unit HPH yang dewasa ini mampu melakukan pembalakan kembali di kawasan hutan yang sama pada periode konsesi siklus berikutnya sesuai dengan tahapan aturan sistem silvikultur TPTI yang diterapkan. Kalaupun ada, sangat sedikit dan karenanya bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar manajemen unit HPH telah kehabisan kawasan hutan perawan (virgin forest) yang boleh dan bisa dibalak di kawasan konsesi HPH-nya. Ironisnya,
12
Dalam konteks tersebut, terlihat sangat jelas bahwa keberhasilan pengelolaan hutan sangat dipengaruhi partisipasi para pihak. Hal ini sesuai dengan perkembangan domain kehutanan yang kini telah berkembang menjadi domain para pihak. Mulai dari masyarakat, dunia usaha dan pemerintah. Hutan tidak bisa lagi dimonopoli pengelolaan dan pemanfaatannya secara dominan oleh salah satu pihak tanpa keterlibatan pihak lain. 13 Cari pengertian revolusioner dalam kamus sosial. 14 Cari pengertian evolusioner dalam kamus sosial. 15 Perubahan tersebut antara lain teraktualisasi pada sistem sosial politik Pemerintahan (sentralisasi versus desentralisasi), kebijakan kehutanan, penegakan hukum dan berbagai perubahan yang bersifat eksternal lainnya.
bahkan tatkala periode pengelolaannya belum mencapai batas waktu daur 35 tahun sebagaimana yang telah ditetapkan. Tatkala periode masa konsesi 20 tahun pertamanya berakhir, habis pula sisa hutan primer yang berada di kawasan konsesinya. Entah karena dirambah atau dijarah oleh pihak eksternal. Faktor lain bisa pula karena pelanggaran pembalakan oleh pihak internal perusahaan HPH itu sendiri. Karenanya, gugatan yang kini harus menjadi pemikiran bersama diantara para rimbawan adalah apakah praktek pengelolaan hutan alam tropis di luar Jawa dengan sistem tebang pilih masih dapat dipertahankan. Wacana yang perlu dikembangkan adalah perubahan secara radikal atas sistem silvikultur yang semula menerapkan sistem tebang pilih menjadi sistem tebang habis dengan penanaman intensif. Karena itu, bentuk pengelolaan hutan yang mampu mewujudkan
konsep
hutan
lestari sekaligus
bersifat rehabilitatif
pengembangan hutan tanaman berbasis sistem silvikultur intensif.
adalah
Baik yang
dilakukan oleh BUMN dan BUMS sebagai entitas bisnis maupun yang dikembangkan oleh rakyat banyak.16 Tentu saja dengan tetap mengedepankan sifat adaptif terhadap ekologi hutan dan dapat diterima dalam konteks sosial kultural masyarakat lokal. Jelas, telah terjadi proses perubahan revolusioner yang tercermin dari pesatnya dinamika perkembangan hutan dan kehutanan. Tak terkecuali pada sistem silvikultur hutan alam yang diterapkan. Oleh karenanya, justru karena belum sungguh-sungguh terlambat refleksi
sekaligus
reorientasi
seyogyanya para rimbawan melakukan
terhadap
landasan
berpikir
dalam praktek
pengelolaan hutan di masa depan. Perumusan status sistem silvikultur harus mampu mewujudkan politik kehutanan sebagai cerminan keinginan publik, yaitu manfaat
lestari,
kerakyatan,
keadilan,
kebersamaan,
keterbukaan
dan
17
keterpaduan sebagaimana tertuang dalam UU No. 41 Pasal 2. . Dengan demikian, akan dihasilkan sebuah sistem silvikultur hutan alam yang tepat guna18. Pada akhirnya, beberapa pengalaman kegagalan yang dialami dari sebagian pihak dalam praktek pengelolaan hutan alam selama hampir empat dekade terakhir harus menjadi sebuah peringatan. Tidak lain, semuanya karena status 16
Ibid. Anonimous. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. 18 Sutisna, Maman. 2004. Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Melalui Silvikultur Tepat Guna (Tidak dipublikasikan). Fakultas Kehutanan. Universitas Mulawarman. 17
sistem silvikultur sebagai basis atau landasan utama pengelolaan kawasan hutannya tidak diterapkan secara utuh. Bahkan eksistensi dan fungsinya secara sistematis cenderung diabaikan. Akibatnya,
pengelolaan hutan mengalami
disorientasi bahkan kehilangan konsep utamanya. Sementara beberapa upaya yang menunjukkan kemampuan “survival”, bahkan kecenderungan berkembang sebagaimana mengikuti konsep seleksi alam kaum Darwinism selayaknya memperoleh apresiasi, proteksi dan insentif. Sebab, bila semua kondisi disamaratakan tanpa melihat dan mempertimbangkan keberagaman kinerja pengelola hutan yang memiliki stratifikasi keberhasilan dan kegagalan, jelas akan menghasilkan output yang kontra produktif. Bila itu yang terjadi, quo vadis silvikultur hutan alam ?
7.2. Rekonstruksi Silvikultur Hutan Alam Melihat realitas bahwa kehutanan Indonesia dewasa ini tengah dikepung krisis kehutanan multidimensi, telah menghadirkan kesadaran kembali akan pentingnya gerakan kembali kepada penerapan sistem silvikultur (back to silvikulture) sebagai basis setiap praktek pengelolaan hutan secara lestari. Hal ini dilandasi oleh intensitas dan kompleksitas
kendala yang dihadapi setiap unit
manajemen HPH dalam praktek pengusahaan hutannya yang dari hari ke hari kian besar. Secara teknis kehutanan, dari sisi sumber daya hutan, luasan hutan alam produksi primer yang dapat dibalak menggunakan sistem silvikultur TPTI semakin terbatas, baik kuantitatif maupun kualitatif. Demikian pula dengan potensi tegakan yang terkandung juga
semakin berkurang. Padahal hampir seluruh
manajemen unit HPH kegiatannya berbasiskan pada sistem silvikultur TPTI dengan sumber ekstraksi utama adalah kawasan hutan alam produksi primer. Pengusahaan kawasan hutan sekunder hanya dapat dibalak setelah perusahaan pemegang HPH masuk pada siklus tebangan kedua. Hal itu jelas tidak mungkin karena sebagian besar HPH masih belum sampai pada siklus tebang keduanya. Penebangan kawasan hutan sekunder sebelum masuk siklus kedua tidak mungkin dapat dilakukan (karena hal itu sama dengan kegiatan relogging atau cuci mangkuk). Dapat dipastikan bahwa kondisi pengusahaan hutan di atas akan menimbulkan ancaman terjadinya sebuah stagnasi yang diakibatkan karena
ketidakmampuan sektor hulu memenuhi kebutuhan bahan baku industri perkayuan. Faktanya, dewasa ini dengan konfigurasi kondisi penutupan lahan di areal HPH di pulau-pulau yang meliputi Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua dengan luasan 41.182.721 hektar, diperoleh data hutan primer sebesar 18.532.224,45 hektar atau 45 %. Sementara luas penutupan lahan berupa hutan bekas tebangan mencapai 11.119.334.,67 hektar atau 27 % dan penutupan lahan yang masuk ke dalam kategori hutan rusak, hutan non produktif dan kawasan pertanian mencapai 11.531.161,88 hektar atau 28 %.19 Dari kalkulasi luasan hutan tersebut, jumlah HPH yang masih bertahan hanya mencapai 270 unit manajemen dengan luasan areal konsesi 28.085.864 hektar serta produksi kayu bulatnya mencapai 5,4 juta meter kubik atau menurun 48,69 %.20 Padahal kebutuhan kayu industri berdasarkan kapasitas terpasangnya mencapai 64 juta M3 per tahun dengan kapasitas aktual mencapai 30 – 40 juta M3 per tahun. Tampaknya, ancaman stagnasi operasional bukan hanya sekedar prediksi, bahkan kemungkinan lebih buruk yang akan terjadi adalah kebangkrutan sektor kehutanan secara menyeluruh. Sebuah prediksi yang akan menjelma menjadi sebuah mimpi buruk bagi seluruh stakeholder kehutanan Indonesia. Tanpa kecuali. Jelas, dibutuhkan konsep pemikiran sekaligus langkah terobosan yang diharapkan akan mampu menjadi solusi alternatif atas persoalan di atas. Salah satu alternatif solusi yang perlu dan segera dilakukan adalah melakukan introdusir neo sistem silvikultur (baca: sistem silvikultur baru) yang memenuhi syarat-syarat yang meliputi (1) payung hukum yang jelas, (2) landasan ekologis yang adaptif maupun (3) kesesuaian aspek sosiologis kultural serta (4) rasional secara ekonomi. Dengan kata lain, tidak bisa tidak harus dilakukan sebuah upaya rekonstruksi terhadap sistem silvikultur hutan alam21. Bila melihat konfigurasi luas hutan primer, jumlah unit manajemen HPH dan produksi kayu bulat yang dihasilkan dari kegiatan pembalakan hutan berbasis sistem silvikultur TPTI memang dari hari ke hari semakin terbatas. Kondisi 19
Lihat Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), 2005. “Penetapan Jatah Produksi Tebangan, Sebuah Proyeksi”. Makalah dalam Forum Rapat Penyusunan Rencana Produksi Kayu Nasional Tahun 2006, yang diselenggarakan oleh Pusat Inventarisasi Dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta (Tidak dipublikasikan). 20 Anonimous. 2003. Rangkuman Data Strategis Kehutanan 2003. Departemen Kehutanan. Jakarta. 21 Rekonstruksi berdasarkan kamus ilmu-ilmu sosial memiliki pengertian ……
tersebut diperkuat dengan realitas sebagian besar unit manajemen HPH, terutama Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pembaharuan banyak diantara kawasan konsesinya didominasi dengan kawasan hutan sekunder atau kawasan bekas tebangan (Logged Over Area atau LOA). Artinya, sesuai dengan aturan sistem TPTI maka tegakan di kawasan hutan sekunder tersebut tidak boleh dibalak sebelum berakhirnya siklus tebangan pertama. Kegiatan yang lebih berorientasi pada aktivitas penanaman dan pemeliharaan. Apalagi
ijin
HPH
100
hektar
yang
diterbitkan
oleh
Bupati.
Kegiatan
pembalakannya -pada umumnya- sama sekali tidak memiliki landasan sistem silvikultur hutan alam. Ia murni semata-mata hanya merupakan kegiatan pembalakan. Tidak ada proses pengelolaan permudaan, apalagi kegiatan penanaman kembali. Atas dasar realitas yang berkembang di atas, pertanyaan kritis yang mengemuka terhadap praktek pengelolaan hutan alam produksi adalah apakah sistem silvikultur hutan alam produksi di luar Jawa (baca: sistem TPTI) telah gagal dalam mewujudkan konsep dan tujuannya. Utamanya melestarikan fungsi ekonomi pengusahaan hutan yang tercermin dari tercapainya optimalisasi pertumbuhan permudaan sebagai tegakan komersial pada siklus tebang berikutnya.
Tentu
jawabannya
tidaklah
mudah,
apalagi
sederhana.
Ketidakmampuan setiap unit manajemen HPH dalam menerapkan sistem silvikultur sebagai landasan utama aktivitas pengusahaan hutannya tidak sematamata disebabkan karena faktor-faktor yang bersifat teknis semata. Justru, faktorfaktor non teknis adakalanya lebih dominan dalam mempengaruhi kinerja penerapan sistem silvikultur TPTI. Namun demikian, melihat realitas yang berkembang dewasa ini, sangat diperlukan sebuah dialektika yang berisi upaya rekonstruksi atas status silvikultur sekaligus upaya merevitalisasi sistem silvikultur hutan alam dalam kerangka penyelamatan hutan alam produksi (baca : kehutanan sektor hulu), baik dalam konteks kualitas maupun kuantitasnya yang kini cenderung terus mengalami penurunan. Saran dan rekomendasi yang bersifat rekonstruktif solutif tersebut harus mampu menjawab berbagai perspektif permasalahan, yang meliputi (1) kontinuitas kemampuannya sebagai pemasok sumber penghara bahan baku bagi kelangsungan dan keberlanjutan industri perkayuan nasional, (2) kemampuan mempertahankan fungsi konservasi sumber daya hutan (3) terwujudnya
kelestarian keanekaragaman hayati, dan (4) keberlanjutan kehidupan komuniti. Karena itu solusi yang muncul sebagai keluaran harus menggabungkan tiga perspektif utama, yaitu perspektif kelestarian fungsi ekonomi, kelestarian fungsi ekologi dan lingkungan serta kelestarian fungsi sosial budaya . KOTAK 7.3. REKONSTRUKSI SILVIKULTUR HUTAN ALAM : SEBUAH KENISCAYAAN Melihat konfigurasi hutan alam produksi seluas 41.182.721 hektar telah menghasilkan kondisi penutupan lahan hutan primer sebesar 18.532.224,45 hektar atau 45 %. Sementara luas penutupan lahan berupa hutan bekas tebangan mencapai 11.119.334.,67 hektar atau 27 % dan penutupan lahan yang masuk ke dalam kategori hutan rusak, hutan non produktif dan kawasan pertanian mencapai 11.531.161,88 hektar atau 28 %. Dari kalkulasi luasan hutan tersebut, jumlah HPH berbasis sistem TPTI yang masih bertahan hanya mencapai 270 unit manajemen dengan luasan areal konsesi 28.085.864 hektar serta produksi kayu bulatnya mencapai 5,4 juta meter kubik. Jelas tidak seimbang dengan kebutuhan industri kayu yang kapasitas terpasangnya 64 juta M3 per tahun dengan kapasitas aktual 30 – 40 juta M3 per tahun. Tampaknya, ancaman stagnasi operasional bukan hanya sekedar prediksi, bahkan kemungkinan lebih buruk adalah kebangkrutan sektor kehutanan. Salah satu faktor kegagalan HPH adalah produktivitas panenan yang tercermin dari riap pertumbuhan tegakannya yang tidak mampu mengimbangi laju kebutuhan bahan baku kayu. Karenanya, rekonstruksi silvikultur hutan alam yang lebih adaptif dan produktif menjadi sebuah keniscayaan. Rekonstruksi sistem silvikultur hutan alam antara lain teraktualisasi melalui introdusir neo sistem silvikultur (baca: sistem silvikultur baru) yang memenuhi syarat-syarat (1) payung hukum yang jelas, (2) landasan ekologis yang adaptif, (3) kesesuaian aspek sosiologis kultural serta (4) rasional secara ekonomi. Lebih jauh, secara konseptual rekonstrusi silvikultur hutan alam tersebut harus mampu menjawab berbagai perspektif permasalahan faktual kehutanan dewasa ini, yang meliputi (1) kontinuitas kemampuannya sebagai pemasok sumber penghara bahan baku bagi kelangsungan dan keberlanjutan industri perkayuan nasional, (2) kemampuan mempertahankan fungsi konservasi sumber daya hutan (3) terwujudnya kelestarian keanekaragaman hayati, dan (4) keberlanjutan kehidupan komuniti. Karenanya, pilihan atas langkah rekonstruksi silvikultur hutan alam yang akan diterapkan meliputi tiga perspektif utama perubahan, yaitu (1) apakah sistem silvikultur yang ada masih layak dipertahankan, (2) apakah sistem yang sudah ada tetap dipertahankan dengan berbagai penyempurnaan, ataukah sebaliknya, (3) perlu dilakukan perubahan total terhadap sistem silvikultur yang telah ada, diganti sistem silvikutur baru yang akan lebih mampu mengakomodir kondisi pengusahaan hutan alam di Indonesia sesuai dengan perkembangan dan perubahan yang bersifat multidimensi. Hutan tanaman Meranti berbasis sistem TPTJ merupakan kunci yang bersifat solutif. Sumber : Berbagai literatur dan data primer yang diolah
Lebih jauh, persoalan teknis yang perlu diupayakan berkaitan dengan upaya rekonstruksi sistem silvikultur hutan alam di tengah berbagai permasalahan dan tantangan pengelolaan hutan dewasa ini terutama menyangkut tiga hal. Ketiganya meliputi (1) apakah sistem silvikultur yang ada masih layak dipertahankan, (2) apakah sistem yang sudah ada tetap dipertahankan dengan berbagai penyempurnaan, ataukah sebaliknya, (3) perlu dilakukan perubahan
total terhadap sistem silvikultur yang telah ada, diganti sistem silvikutur baru yang akan lebih mampu mengakomodir kondisi pengusahaan hutan alam di Indonesia sesuai dengan perkembangan dan perubahan yang bersifat multidimensi. Sebuah sistem yang tidak hanya sebatas dalam konteks percepatan permudaan dan penanaman areal bekas tebangan, namun juga harus mampu mengakomodir faktor - faktor ekologi maupun faktor – faktor sosial kultural lainnya, seperti (1) pertentangan antara issue keanekaragaman hutan alam versus monokulturisme pembangunan hutan tanaman yang mencerminkan produktivitas, (2) potensi konflik kawasan sebagai akibat tidak jelasnya status kawasan hutan dan lemahnya pengakuan hak ulayat atau hukum adat komunitas lokal, (3) ancaman perambahan sebagai dampak rendahnya kesejahteraan dan tiadanya alternatif mata pencaharian masyarakat desa hutan, (4) tuntutan penyediaan lapangan berusaha serta penyerapan tenaga kerja sektor kehutanan, (5) akses dan kemudahan pengawasan maupun berbagai aspek lain yang lebih luas. Jelas, diperlukan sebuah konsep yang akan mampu mewujudkan berbagai kondisional faktual di atas. Sebuah konsep yang akan mampu menjadi sebuah instrumen mujarab dalam melestarikan keberadaan hutan Meranti. Konsep silvikultur hutan alam tersebut tidak semata-mata hanya bersifat fomal seremonial, namun harus membumi dan layak terap. Dengan situasi resque atas kondisi hutan alam dewasa ini, dibutuhkan sebuah rekonstruksi silvikultur hutan alam yang memiliki payung hukum kuat, rasionalitas ekonomi, adaptif terhadap lingkungan, serta selaras dengan sistem sosial budaya komunitas lokal. Hutan tanaman Meranti berbasis sistem TPTJ merupakan kunci yang bersifat solutif. Dalam konteks pembangunan hutan tanaman meranti berbasis sistem TPTJ, terdapat lima rasionalitas yang melandasinya. Pertama, upaya penanaman kembali secara intensif tegakan unggulan setempat pada areal bekas tebangan menjadi sebuah landasan pemikiran bahwa proses pengelolaan hutan pada areal bekas tebangan sesungguhnya bisa meningkatkan potensi hutan sekaligus menjaga kelestarian hutan tanpa melalui proses pembukaan lahan dalam skala besar sebagaimana terjadi pada pembangunan HTI (baca: land clearing). Kedua, penerapan sistem TPTJ adalah alternatif solusi mempertahankan kualitas jenisjenis andalan setempat (JAS) dari ancaman kepunahan. Pada sistem ini dimungkinkan dilakukannya pengembangan jenis-jenis unggulan dalam suatu kawasan hutan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan dilakukannya rekayasa
tanaman unggulan untuk mendapatkan produksi setinggi mungkin. Dengan demikian, pembangunan hutan tanaman meranti sekaligus mengeliminir kritikan atau kecaman atas pembangunan HTI yang bersifat monokultur. Ketiga, pemeliharaan intensif pada sistem silvikultur TPTJ memungkinkan pertumbuhan tanaman menjadi optimal. Segala kebutuhan tanaman untuk berkembang, misalnya kebutuhan ruang tumbuh, bukaan naungan, penyiangan, pendangiran, pemupukan, pruning, pencegahan hama penyakit dapat dikelola dengan baik. Keempat, dengan jalur tanam yang bersih dari gulma memudahkan dilakukannya kegiatan monitoring, sehingga bisa terdeteksi berbagai perubahan yang terjadi sedini mungkin. Dalam konteks tersebut, kegiatan monitoring internal maupun pengawasan oleh pihak eksternal (instansi Pemerintah) menjadi lebih mudah sehingga lemahnya sistem pengawasan dan kontrol di masa lalu akan dapat teratasi.. Kelima, sistem TPTJ tidak semata-mata memberikan dampak positif bagi pihak pengelolanya semata. Dalam skala yang lebih luas, penerapan sistem TPTJ akan memberikan dampak positif terhadap konfigurasi ketenagakerjaan lokal. Intinya, praktek pemeliharaan intensif pada sistem silvikultur TPTJ berarti membuka peluang penyerapan tenaga kerja dan peluang usaha yang tidak kecil. Keenam, sistem TPTJ mengakomodir kelemahan sistem silvikultur hutan alam sebelumnya, khususnya berkaitan dengan aspek tenurial lahan atau kawasan hutan. Penanaman sistem silvikultur TPTJ yang intensif berarti menutup peluang terjadinya perambahan areal karena areal-areal bekas tebangan dikelola secara intensif sehingga masyarakat lokal akan mengakui dan menghargai tegakan hutan tanaman pihak perusahaan. Tak pelak, berdasarkan berbagai rasionalitas yang gamblang di atas, kiranya tiada lagi keraguan atas kelayakan penerapan konsep sistem silvikultur TPTJ. Kelebihan lain dari sistem silvikultur TPTJ yang sangat prospektif sebagai solusi terhadap permasalahan kehutanan dewasa ini adalah dalam konteks kemampuan produksi hasil hutan kayunya. Berdasarkan kalkulasi data hasil riset PT. SBK diketahui bahwa prediksi produksi kayu meranti dari sistem TPTJ mencapai 145, 5 M3 per hektar yang terdiri dari hasil produksi tanaman dalam jalur TPTJ sebesar 83,5 meter kubik22 sementara panenan dari areal hutan alam 22
Angka prediksi potensi tebangan jalur tanam pada akhir daur (35 tahun) merupakan angka 3 perkalian dari 80 pohon x 90% x 50% x 2,9 m /pohon (56 Cm dan tinggi 17 m) x fe.
di antara jalur mencapai 62 meter kubik23. Angka produksi itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sistem silvikultur TPTI yang setiap hektar rata-rata memproduksi kayu logs hanya berkisar 40-60 meter kubik24. Dengan demikian, secara simulatif dapat diperkirakan bahwa kemampuan pemenuhan bahan baku industri perkayuan dari praktek pengelolaan hutan berbasisi sistem TPTJ akan lebih besar dua hingga tiga kali dari kemampuan pasokan bahan baku kayu yang berasal dari sistem pengelolaan hutan alam berbasis sistem TPTI. Dengan demikian, praktek pembalakan hutan alam yang dilakukan dengan menerapkan sistem TPTJ akan dapat diperkecil skala dan intensitasnya dibanding dengan pembalakan hutan alam berbasis sistem TPTI. Apabila masalah teknis telah teratasi, maka perlu diupayakan aktualisasi hal-hal yang bersifat non teknis. Kondisi ini penting,
karena
masalah teknis
biasanya dianggap bukan lagi menjadi kendala mengingat kapasitas dan kompetensi rimbawan Indonesia yang relatif telah mumpuni. Padahal, dengan melihat realitas persoalan pengusahaan hutan secara teknis, sumber kekacauan sesungguhnya terletak dari pengabaian penerapan sistem silvikultur sebagai landasan pengelolaan hutan alam produksi. Hal itu disebabkan karena berbagai faktor non teknis yang bersifat sosial, ekonomi dan
politik, seperti dukungan
legislasi dan kelembagaan, insentif fiskal, serta penerapan prinsip-prinsip good corporate government (GCG). Pada akhirnya, di tengah pencanangan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK)25 oleh Presiden SBY pada tanggal 11 Juni
23
Angka prediksi potensi tebangan jalur antara pada akhir daur (35 tahun) merupakan angka 3 perkalian dari 28 pohon x 0,80 x 75% x 90% (10% pohon induk) x 4,1 m /pohon ( 65 cm dan tinggi 18 m) x fe 24 Produksi kayu sistem TPTJ hanya bisa didekati dengan produksi kayu Hutan Tanaman Industri sistem tebang habis yang setiap hektar mencapai 150-200 meter kubik. Bedanya, pada HTI jenisjenis yang ditanam adalah jenis yang cepat tumbuh yang pada umumnya digunakan sebagai bahan baku industri pulp dan kertas dengan jangka waktu panen yang lebih singkat, yaitu sekitar 8 – 10 tahun. 25 Lihat dokumen RPPK Kadin Indonesia, khususnya revitalisasi kehutanan. Beberapa alasan mengapa revitalisasi kehutanan perlu dilakukan antara lain (1) menurunnya peran dan fungsi kehutanan dalam pembangunan nasional akibat meningkatnya degradasi sumber daya hutan, (2) sektor kehutanan memiliki keunggulan komparatif, dimana Indonesia masih memiliki kawasan hutan cukup luas dan berfungsi sebagai paru-paru hijau dunia serta kaya dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, (3) dalam jangka panjang sektor kehutanan dapat menjadi salah satu penggerak perekonomian nasional, (4) pemintaan pasar atas produk kehutanan secara nasional maupun global cenderung meningkat terus, (5) industri kehutanan dalam arti luas dapat bersaing secara gobal dan mempunyai daya saing yang tinggi, (6) untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang hidupnya bergantung pada SDH,
2005 di Purwakarta, Jawa Barat beberapa waktu lalu, yang telah ditinjaklanjuti oleh
Menteri
Kehutanan
dengan
memfokuskan
program
percepatan
pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), maka rekonstruksi silvikultur hutan alam sebagai bagian dari upaya mewujudkan keberhasilan pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman merupakan sebuah momentum. Sebagai tindak lanjut dari pencanangan program aksi revitalisasi kehutanan, dalam implementasinya sangat diperlukan sebuah kemauan politik yang kuat dari pemerintah (eksekutif) sebagai regulator. Mulai dari jajaran eksekutif di tingkat pusat maupun jajaran eksekutif di tingkat daerah, baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota. Di tengah perkembangan
bandul
politik
yang
mengedepankan
equilibrium
antar
kelembagaan negara, maka sangat diperlukan pula dukungan pihak legislatif selaku lembaga monitoring dan kontrol. Dari lembaga inilah berbagai peraturan perundang-undangan yang diperlukan bagi terciptanya aspek kepastian hukum dan kondusifnya iklim berusaha di sektor kehutanan muncu. Terakhir, sangat diperlukan pula pastisipasi aktif institusi yudikatif
dalam kerangka fungsi
penegakan hukum setiap aturan main secara tegas, konsisten dan non diskriminasi. Ketiga institusi sebagai cerminan aparatus negara di atas secara sinergis – koordinatif diharapkan akan mampu menjadikan rekonstruksi sistem silvikultur hutan alam sebagai sebuah agenda prioritas dan strategis dalam pembangunan kehutanan ke depan. Dengan demikian, revitalisasi sektor kehutanan akan terwujud yang tercermin dari kebangkitan dunia usaha kehutanan dalam pembangunan nasional ke depan.
dan (7) resiliensi industri-industri sektor kehutanan yang rendah, rata-rata hanya berbasiskan terhadap keunggulan bahan baku.