BAB 5 MENGGAMBAR PETA MENTAL (MENTAL MAPPING) A. PENDAHULUAN Bab ini menyajikan pembahasan mengenai teknik menggambar peta melalui pendekatan proses survei sehingga menghasilkan peta mental (mental mapping). Peta tersebut pada intinya membuat gambar land use, tata bangunan dan lingkungan dengan skala peta yang lebih detail (contoh: peta skala 1:1000) dibandingkan dengan tugas-tugas sebelumnya. Materi teknik pembuatan peta ini disajikan dalam tiga minggu yaitu pada minggu 13, 14, dan 15. Pemahaman terhadap bentuk-bentuk dasar dapat melatih keterampilan kognitif, afektif dan motorik. Berdasarkan sasaran belajar mata kuliah Studio Pemetaan, pokok bahasan pada bab ini dirancang untuk mengasah pengetahuan mahasiswa tentang kemampuan penggambaran peta, melakukan survei lapangan, dan kemampuan dalam menyusun dan membuat mental mapping. Materi ini juga dirancang untuk melatih keterampilan mahasiswa dalam menggunakan alat survei berupa alat ukur, kamera, handy cam, dan selanjutnya data tersebut dituangkan dalam bentuk gambar. Selama proses pembelajaran, diharapkan agar mahasiswa mampu bekerja secara mandiri serta bersikap disiplin, jujur dan bertanggung jawab. Pengetahuan awal yang harus dimiliki oleh mahasiswa sebelum mempelajari unsur-unsur dasar penggambaran peta land use (guna lahan) melalui pendekatan mental mapping (peta mental) adalah pengetahuan tentang teknik menggambar peta dan teknik survei yang berbasis pada pengalaman dan penangkapan objek di lapangan. Pengetahuan tersebut menjadi modal awal karena keberhasilan dan kelancaran proses belajar mental mapping bergantung kepada penguasaan pengalaman dan teknik dari pengetahuan tersebut. Pada minggu ke-13 dilakukan
pembahasan tentang pengenalan peta
pariwisata, teknik fotografi, dan pengambilan gambar. Metode pembelajaran yang dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman serta latihan survei, yaitu kegiatan menggambar peta dan pengambilan gambar lapangan (foto-foto) dalam kampus. Dari materi pertemuan tersebut, selanjutnya setiap mahasiswa diberikan tugas tambahan yang akan diselesaikan di luar kelas berupa tugas survei atau pengamatan kondisi 94
land use (penggunaan lahan) dengan kasus di luar kampus (contoh: salah satu blok permukiman di tengah kota dengan luas lahan sekitar 1-2 ha/mhs). Selanjutnya masing-masing mahasiswa melakukan dokumentasi gambar-gambar pariwisata yang telah diperoleh dari hasil survei tersebut. Setelah mendapat pemahahaman dan pengalaman survei pada minggu ke-13 tentang teknik menggambar peta pariwisata dan pengambilan data gambar (fotofoto), maka pembahasan pada minggu ke-14 dilakukan tentang pembuatan peta pariwisata dengan substansi informasi lebih kompleks yang dilengkapi fakta-fakta kondisi lapangan berupa gambar-gambar atau foto-foto lapangan. Metode pembelajaran yang dilakukan adalah dengan melakukan praktikum penggambaran peta land use yang lebih detail dikombinasikan dengan menyajikan informasiinformasi atau foto-foto dokumentasi pariwisata sesuai kondisi lapangan. Isi gambar meliputi: lay out bangunan, pola dan ukuran jalan, vegetasi, prasarana dan sarana lingkungan, sungai atau kali, ukuran site, dan notasi-notasi gambar. Dari materi pertemuan tersebut, selanjutnya setiap mahasiswa diberikan tugas tambahan untuk melengkapi kembali tugas yang telah dibuat tentang beberapa informasi yang belum tercantum dalam peta land use. Tugas tersebut diselesaikan di luar kelas berupa tugas survei atau pengamatan kondisi land use dan foto-foto lapangan. Hasil survei tersebut selanjutnya akan diajukan kepada dosen pembimbing untuk pengecekan kebenaran dan ketepatannya sesuai dengan aturan atau acuan yang telah disepakati. Setelah mendapat pemahahaman pada minggu ke-14 tentang pelaksanaan survei peta pariwisata dan pengambilan data-data fisik lapangan, maka pada minggu ke-15 selanjutnya dilakukan pembahasan tentang teknik menggambar guna lahan, tata bangunan dan lingkungannya melalui pendekatan mental mapping. Materi ini berupa kegiatan penjelasan kelengkapan survei lapangan yang dikaitkan dengan konteks lingkungan. Mahasiswa diberi tugas menggambar track dan menyajikan dokumentasi yang ditangkap selama perjalanan lapangan. Mahasiswa kemudian melengkapi
peta
pariwisata
dengan
informasi-nformasi
pelengkap
kondisi
lingkungan sekitar di lapangan yang dilengkapi dengan foto-foto. Metode pembelajaran yang dilakukan berupa praktikum melengkapi gambar-gambar peta pariwisata yang dikombinasikan dengan menyajikan foto-foto dokumentasi. Dari materi pertemuan tersebut, selanjutnya setiap mahasiswa diberikan tugas tambahan
95
untuk melengkapi kembali tugas yang telah, termasuk informasi peta, ukuran, dan notasi gambar peta. Tugas tersebut diselesaikan di luar kelas dan diharapkan dapat dikumpulkan pada minggu ke-16 sekaligus mengikuti ujian akhir semester. Materi yang disajikan dalam bab ini terdiri atas tiga sub bab, yaitu pendahuluan, menggambar peta land use, dan menggambar mental mapping. Bab ini didominasi oleh pengembangan ketiga potensi kecerdasan baik menyangkut aspek kognitif, afektif, maupun keterampilan motorik. Teori-teori tentang teknik menggambar land use dan teknik survei diberikan dengan menggunakan metode ceramah interktif dan partisipatif. Sementara itu, tugas-tugas diberikan dalam bentuk pelaksanaan survei dan praktik menggambar di dalam kelas (metode belajar indoor dan outdoor). Penilaian kegiatan interaktif didasarkan pada tiga kompetensi, yaitu kognitif, afektif dan
motorik. Penilaian aspek kognitif berupa kemampuan mahasiswa
menangkap materi yang disampaikan dan kemampuan diskusi. Penilaian afektif lebih ditekankan kepada sikap mahasiswa yang tenang baik dalam belajar maupun pada kegiatan menggambar. Sedangkan kemampuan motorik mahasiswa dinilai saat mereka melakukan kegiatan mencatat, mengatur gambar, dan memotong ukuran kertas. Selanjutnya, sama seperti ceramah interaktif, penilaian tugas survei dan praktik menggambar didasarkan pada kompetensi kognitif, afektif dan motorik. Aspek kognitif yang menjadi indikator adalah mahasiswa memahami teori-teori dari menggambar peta land use dan mental mapping, serta pengambilan keputusan. Aspek afektif yang menjadi indikator adalah kedisiplinan, kejujuran, kebersamaan, dan sikap sopan selama proses pebelajaran. Terakhir, indikator penilaian aspek motorik adalah survei dan kegiatan menggambar peta land use yang berdasar pada teknik mental mapping. Secara rinci, kompetensi, indikator dan bobot penilaian dapat dilihat di dalam Tabel 5.1.
96
Tabel 5.1. Penilaian Capaian Belajar Materi Bab 5 Metode Ceramah Interaktif
Kompetensi Kognitif
Afektif
Motorik
Praktek Kognitif Menggambar peta land uses dan peta-peta tata bangunan dan lingkungan
Afektif
Motorik
B.
Indikator Mahasiswa mampu menangkap materi kuliah yang disampaikan, kemampuan berdiskusi dengan teman dan dosen. Mahasiswa bersikap tenang pada kegiatan menggambar. Mahasiswa aktif berdiskusi terhadap materi yang diberikan. sikap mahasiswa yang tenang baik dalam belajar maupun pada kegiatan menggambar mereka melakukan kegiatan mencatat, mengatur gambar, dan memotong ukuran kertas mahasiswa memahami teori-teori dari menggambar peta land use dan tata bangunan dan lingkungan, serta pengambilan keputusan Mahasiswa memahami teknik menggambar peta land use dan tata bangunan dan lingkungan. Mahasiswa memahami teknik penyajian gambar. Mahasiswa bersikap mandiri baik dalam kegiatan menggambar maupun pada kegiatan survei. Mahasiswa dapat berkolaborasi dengan mahasiswa lain selama proses pembelajaran, termasuk saling berkontribusi pada kegiatan survei. Mahasiswa jujur dalam mengerjakan tugas
Bobot (%) 4
4
2 1
4
10
1 1
2
2 10 4 4 6
8
20
90
6
Lay out tugas rapi dan bersih.
12
Teknik gambar garis dan penggunaan warna pada peta land use Terampil menggunakan alat gambar
12
Terampil melaksanakan survei tata bangunan dan lingkungan di lapangan Kelengkapan informasi data pada gambar sesuai kondisi lingkungan.
12
12
60
12
PENGANTAR TENTANG GUNA LAHAN
1. Pengertian Lahan merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dikatakan sebagai sumber daya alam yang penting karena lahan tersebut merupakan tempat manusia melakukan segala aktifitasnya. Pengertian lahan dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi fisik geografi, lahan adalah tempat yang mempunyai kualitas fisik tertentu yang dimanfaatkan untuk sebuah hunian. Sementara ditinjau dari segi ekonomi lahan adalah suatu 97
sumber daya alam yang mempunyai peranan penting dalam produksi (Lichrield dan Drabkin, 1980) dalam http://eprints.undip.ac.id diakses 1 Desember 2014. Lahan merupakan sumber daya alam karunia dari Tuhan yang bersifat langka karena tidak bisa diperbaharui maupun ditambah jumlahnya, terlebih lagi untuk daerah perkotaan yang memilki lahan yang terbatas. Lahan ialah suatu permukaan tanah yang menjadi pijakan manusia, hewan, tumbuhtumbuhan dan berbagai macam kegiatan lainnya, sedangkan untuk tanah ialah lebih mengarah kepada jenis-jenis kimia yang terkandung di dalamnya. Lahan sendiri mempunyai sifat rentan terhadap konflik, sehingga perlu dikelola oleh pemerintah sebagai pihak yang berwenang diantara stakeholders lainnya yaitu pihak masyarakat dan pihak swasta. Menurut Mochtarram (2001) dalam http://elib.unikom.ac.id/download, lahan mempunyai beberapa ciri, yaitu: a. Permanen, artinya tidak berubah-ubah (bersifat tetap) dan tidak bisa diperbaharui. b. Supply (ketersediaan), artinya lahan terbatas dan langka. c. Menjadi tumpuan harapan dari berbagai kepentingan para stakeholders. Karena itu maka penggunaan lahan perlu dikelola serta direncanakan fungsi dan penggunaan lahannya sesuai dengan karakteristik lahan tersebut sehingga mampu meredam konflik dimasa yang akan datang. Agar lahan tidak beralih fungsi menjadi hal yang tidak sesuai dengan rencana maka diperlukan penataan penggunaan lahan (land use planning).
2. Jenis Penggunaan Lahan Perkotaan Lahan kota terbagi menjadi lahan terbangun dan lahan tak terbangun. Lahan terbangun terdiri atas: perumahan, industri, perdagangan, jasa dan perkantoran. Sedangkan lahan tak terbangun terbagi menjadi lahan tak terbangun yang digunakan untuk aktivitas kota (kuburan, rekreasi, transportasi, ruang terbuka) dan lahan tak terbangun non aktivitas kota (pertanian, perkebunan, area perairan, produksi dan penambangan sumber daya alam). Untuk mengetahui penggunaan lahan di suatu, wilayah, maka perlu diketahui komponen-komponen penggunaan lahannya.
98
Gambar 5.1. Tata Guna Lahan Alun-Alun Kota Magelang
Berdasarkan jenis pengguna lahan dan aktivitas yang dilakukan di atas lahan tersebut, maka dapat diketahui komponen-komponen pembentuk guna lahan (Chapin dan Kaiser, 1979). Menurut Maurice Yeates (1980), komponen penggunaan lahan suatu wilayah terdiri atas: permukiman, industri, komersial, jalan, tanah publik, dan tanah kosong. Sedangkan menurut Hartshorne, komponen penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi (Hartshorne, 1980):
99
a. Private Uses, adalah penggunaan lahan berupa permukiman, komersial, dan industri. b. Public Uses, adalah penggunaan lahan untuk rekreasi dan pendidikan, dan c. Jalan
Gambar 5.2. Peta Guna Lahan Kota Makassar
Selanjutnya menurut Lean dan Goodall (1976), komponen penggunaan lahan dibedakan menjadi a. Penggunaan lahan yang menguntungkan Penggunaan lahan yang menguntungkan merupakan penggunaan lahan yang dapat mengungguli persaingan seara bersamaan terhadap jenis penggunaan lahan yang tergolong tidak menguntungkan. Komponen penggunaan lahan ini meliputi penggunaan lahan untuk: pertokoan, perumahan, industri, kantor, dan bisnis. Keberadaan guna lahan ini tidak lepas dari dukungan penggunaan lahan lainnya yang cenderung tidak menguntungkan, seperti penggunaan lahan untuk sekolah, rumah sakit, taman, tempat pembuangan sampah, dan sarana prasarana. Pengadaan sarana dan prasarana yang lengkap merupakan suatu contoh bagaimana guna lahan yang menguntungkan dari suatu lokasi dapat mempengaruhi guna lahan yang lain. Jika lahan digunakan untuk suatu tujuan yang dapat menunjang guna lahan disekitarnya, maka hal ini dapat
100
meningkatkan nilai lahan. Dengan demikian akan memungkinkan beberapa guna lahan bekerjasama meningkatkan keuntungannya dengan berlokasi dekat pada salah satu guna lahan. b. Penggunaan lahan yang tidak menguntungkan Komponen penggunaan lahan ini meliputi penggunaan lahan untuk jalan, taman, pendidikan dan kantor pemerintahan. Guna lahan utama yang dapat dikaitkan dengan fungsi perumahan di perkotaan adalah guna lahan: komersial, industri, dan guna lahan publik maupun semi publik. Masing masing guna lahan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Guna lahan komersial Dalam hal ini fungsi komersial dapat dikombinasikan dengan perumahan adalah fasilitas komersil yang memberikan pelayanan langsung pada kebutuhan masyarakat dalam permukiman. Sedangkan guna lahan komersial yang harus dihindari dari perumahan adalah perdagangan grosir dan perusahaan besar. b. Guna lahan industri Keberadaan industri tidak saja dapat memberikan kesempatan kerja namun juga memberikan nilai tambah melalui landscape dan estetika bangunan yang ditampilkannya. Jenis industri yang harus dihindari dari perumahan adalah industri pengolahan minyak, industri kimia, pabrik baja dan industri pengolahan hasil tambang. c. Guna lahan publik maupun semi publik Guna lahan ini meliputi guna lahan untuk pemadam kebakaran, tempat ibadah, sekolah, area rekreasi, kuburan, rumah sakit, terminal dan lain-lain. Berikut akan dikemukakan secara khusus tentang guna lahan fasilitas perdagangan di perkotaan. Definisi fasilitas perdagangan ialah fasilitas yang memiliki kegiatan transaksi jual beli barang antara konsumen dan penjual, dengan menggunakan uang sebagai alat alat pembayaran dalam perdagangan modern (Sukirno, 1984). Perdagangan merupakan suatu kegiatan usaha yang menempatkan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat pada konsumen yang tepat waktu, tempat, dan promosi yang tepat. Kegiatan perdagangan merupakan salah satu kegiatan perkotaan yang memberikan pengaruh besar
101
terhadap pertumbuhan dan perkembangan kota. Kegiatan perdagangan adalah kegiatan jual beli barang dan jasa yang dilakukan secara terus menerus dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan jasa dengan disertai imbalan kompensasi. Menurut Dirjen Cipta Karya Dep. PU, Jenis-jenis fasilitas perdagangan berdasarkan fungsi dan lokasinya diantaranya: http://elib. unikom.ac.id/download. a. Warung Fungsi utama warung adalah menjual kebutuhan sehari-hari (kebutuhan primer). Lokasinya terletak di tempat pusat lingkungan yang mudah dicapai dan mempunyai radius maksimal 500 meter dan minimal jumlah penduduk pendukung sebesar 250 jiwa. 2. Pertokoan Fungsi utama pertokoan adalah untuk menjual barang-barang keperluan sehari-hari berupa toko-toko. 3. Pusat Perbelanjaan Fungsi utama pusat perbelanjaan adalah untuk menjual kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Lokasinya terletak pada jalan utama lingkungan dan mengelompok dengan pusat lingkungan. 4. Pusat Perbelanjaan dan Niaga Fungsi utama pusat perbelanjaan adalah untuk menjual kebutuhan primer, sekunder, dan tersier dilengkapi dengan sarana niaga lainnya seperti kantor, bank, industri kecil, dan lain sebagainya. Lokasinya mengelompok dengan pusat kecamatan. 5. Pusat Perbelanjaan dan Niaga Fungsi utama pusat perbelanjaan adalah untuk menjual kebutuhan primer, sekunder, dan tersier dilengkapi dengan sarana niaga lainnya seperti kantor, bank, industri kecil, dan lain sebagainya tetapi skalanya lebih besar. Lokasinya mengelompok dengan pusat wilayah.
102
C. TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN 1. Pengertian Tata Bangunan Berdasar pada Permen PU no 6 tahun 2007, tata bangunan adalah produk dari penyelenggaraan bangunan gedung beserta lingkungannya sebagai wujud pemanfaatan ruang, meliputi berbagai aspek termasuk pembentukan citra/karakter fisik lingkungan, besaran, dan konfigurasi dari elemen-elemen: blok, kaveling/petak lahan, bangunan, serta ketinggian dan elevasi lantai bangunan, yang dapat menciptakan dan mendefinisikan berbagai kualitas ruang kota yang akomodatif terhadap keragaman kegiatan yang ada, terutama yang berlangsung dalam ruang-ruang publik. Tata bangunan juga merupakan sistem perencanaan sebagai bagian dari penyelenggaraan bangunan gedung beserta lingkungannya, termasuk sarana dan prasarana pada suatu lingkungan binaan, baik di perkotaan maupun di perdesaan sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dengan aturan tata ruang yang berlaku dalam RTRW Kabupaten/Kota, dan rencana rincinya.
Gambar 5.3 Peta Permukinan dan Ruang Terbuka di Makassar
103
Gambar 5.4 Peta Permukiman dan Lalu Lintas di Kawasan Kota Makassar
Dalam hal penataan bangunan, terdapat beberapa hal yang menjadi komponen penataan bangunan yaitu antara lain: a. Pengaturan blok lingkungan, yaitu perencanaan pembagian lahan dalam kawasan menjadi blok dan jalan, di mana blok terdiri atas petak lahan/kaveling dengan konfigurasi tertentu. Pengaturan ini terdiri atas: bentuk dan ukuran blok, pengelompokan dan konfigurasi blok, ruang terbuka hijau. b. Pengaturan kaveling/petak lahan, yaitu perencanaan pembagian lahandalam blok menjadi sejumlah kaveling/ petak lahan dengan ukuran, bentuk, pengelompokan dan konfigurasi tertentu. Pengaturan ini terdiri atas: bentuk dan ukuran kaveling, pengelompokan dan konfigurasi kaveling, dan ruang terbuka hijau. c. Pengaturan bangunan, yaitu perencanaan pengaturan massa bangunan dalam blok/kaveling. Pengaturan ini terdiri atas: pengelompokan bangunan, letak dan orientasi bangunan, sosok massa bangunan, dan ekspresi arsitektur bangunan. d. Pengaturan ketinggian dan elevasi lantai bangunan, yaitu perencanaan pengaturan ketinggian dan elevasi bangunan baik pada skala bangunan tunggal maupun kelompok bangunan pada lingkungan yang lebih makro
104
(blok/kawasan). Pengaturan ini terdiri atas: ketinggian bangunan, komposisi garis langit bangunan, dan ketinggian lantai bangunan.
Gambar 5.5. Peta Tata Letak Bangunan (Blok, Kaveling, Jalan)
2. Prinsip-Prinsip Penataan Bangunan Umumnya, penataan bangunan dalam perancangan kota mengatur akan ketinggian, sempadan dan koefisien lantai bangunan. Pada beberapa kasus perancangan kota menyarankan untuk meliputi pula penampilan dan konfigurasi bangunan, misalnya hal yang berkaitan dengan warna, bahan bangunan, tekstur, bentuk muka (fasad). Secara tradisional, hal-hal ini menjadi hak arsitek bersama kliennya. Tapi, sebenarnya hal ini menyangkut kepentingan masyarakat dan berdampak pada lingkungan kota. Untuk menciptakan tatanan di dalam suatu komposisi arsitektur, penataan lebih kearah pada suatu kondisi dimana setiap bagian dari seluruh komposisi saling berhubungan dengan bagian lain dengan tujuan untuk menghasilkan suatu susunan yang harmonis. Penataan tanpa variasi dapat mengakibatkan adanya sifat monoton dan membosankan, variasi tanpa tatanan menimbulkan
kekacauan.
Kesan
untuk
menyatukan
berbagai
variasi
merupakan sesuatu yang ideal. Hamid Shirvani (1985) menyebutkan tiga isu utama yang berkaitan dengan bentuk dan massa bangunan perkotaan, yaitu:
105
a. "skala" yang berkaitan dengan ketinggian pandang manusia, sirkulasi, bangunan-bangunan berdekatan, dan ukuran lingkungan; b. "ruang kota" berkaitan dengan bentuk-bentuk bangunan, skala dan suasana penutupan ruang antar bangunan, dan macam ruang kota; c. "massa perkotaan" meliputi bangunan-bangunan, permukaan tanah, obyekobyek dalam ruang yang dapat membentuk ruang kota dan membentuk pola kegiatan, dalam skala besar atau kecil. Selain
dari
ketiga
isu
utama
diatas,
Darmawan. E,
(2003)
menyebutkan hal-hal yang harus diperhatikan dalam penataan bentuk dan massa bangunan dalam perancangan kota, yaitu: a. Ketinggian bangunan b. Besaran bangunan c. Koefisien lantai dasar d. Building coverage e. Ragam f. Pola bangunan g. Skala h. Material, tekstur, dan warna Setiap
perancangan
kota
harus
memperhatikan
elemen-elemen
perancangan yang ada sehingga kota akan memiliki karakteristik yang jelas. Menurut Hamid Sirvani, terdapat 8 macam elemen yang membentuk sebuah kota (terutama pusat kota), yakni: tata guna lahan, bentuk dan kelompok bangunan, ruang terbuka, parkir dan sirkulasi, tanda-tanda, jalur pejalan kaki, pendukung kegiatan, dan preservasi. (http://fariable.blogspot.com) a. Tata Guna Lahan merupakan rancangan 2 dimensi berupa denah peruntukan lahan sebuah kota. unit-unit bangunan akan dibangun di tempat2 sesuai fungsi bangunan tersebut. Sebagai contoh di dalam sebuah kawasan industri akan terdapat berbagai macam bangunan industri. Demikian pula halnya dengan kawasan perdagangan akan terdapat berbagai macam pertokoan.
106
b. Bentuk dan Massa Bangunan Yaitu membahas mengenai bagaimana bentuk dan massa2 bangunan yang ada dapat membentuk suatu kota serta bagaimana hubungan antar-massa bangunan yang ada. Bentuk dan massa bangunan meliputi: ketinggian bangunan, jarak antar bangunan, bentuk bangunan, fasad bangunan, dan sebagainya sehingga dapat membentuk ruang menjadi teratur.
Gambar 5.6. Bentuk dan Massa Bangunan di Alun-Alun Kota Magelang
c. Sirkulasi dan Parkir Adalah elemen perancangan kota yang secara langsung dapat membentuk dan mengontrol pola kegiatan kota, seperti sistem transportasi, jalan publik, pedestrian way, dan tempat transit. Tempat parkir mempunyai pengaruh langsung pada suatu lingkungan yaitu pada kegiatan komersial di daerah perkotaan dan mempunyai pengaruh visual pada beberapa daerah perkotaan.
107
Gambar 5.7. Sirkulasi dan Parkir Kendaraan di Kawasan Perkotaan
d. Ruang Terbuka Ruang terbuka sangat terkait dengan lansekap yang terdiri atas elemen keras ( jalan, trotoar, patun, bebatuan dsb) serta elemen lunak (tanaman, air). Ruang terbuka biasanya berupa lapangan, jalan sempadan rumah, sempadan sungai, green belt, taman, dsb. e. Jalur Pejalan Kaki Elemen pejalan kaki harus dikaitkan dengan interaksinya pada elemen2 dasar desain tata kota, serta lingkungan kota dan pola2 aktifitas sesuai rencana pembangunan kota tertentu. Street furniture dapat berupa pohon2, rambu2, lampu, tempat duduk.
108
Gambar 5.8. Salah Satu Model Trotoar di Perkotaan
f. Aktifitas Pendukung. Meliputi segala fungsi dan aktifitas yang memperkuat ruang terbuka publik, karena aktifitas dan ruang saling melengkapi. Pendukung aktifitas tidak hanya berupa sarana pendukung jalur pejalan kaki atau plaza, tetapi juga mempertimbangkan guna dan fungsi elemen kota yang dapat membangkitkan aktifitas, seperti pusat perbelanjaan, taman rekreasi, alun2/lapangan, dsb. g. Penandaan Penandaan yang dimaksud adalah petunjuk arah jalan, rambu lalu lintas, media iklan, dll. Keberadaan penanda sangat mempengaruhi visualisasi kota, baik makro maupun mikro, jika jumlahnya cukup banyak dan memiliki karakter yang berbeda. Sebagai contoh, tidak teraturnya penanda, akan dapat menutup fasad bangunan yang menyebabkan tampilan bangunan terganggu. h. Preservasi Preservasi adalah perlindungan terhadap lingkungan tempat tinggal dan urban places (lapangan, plaza, area perbelanjaan) yang ada dan memiliki ciri khas. Manfaat dari preservasi adalah: peningkatan nilai lahan, peningkatan
109
nilai lingkungan, menghindarkan pengalihan bentuk, menjaga identitas kawasan perkotaan, dan peningkatan pendapatan daerah.
Gambar 5.9. Kawasan kota lama Semarang.
D.
PETA MENTAL (MENTAL MAPPING)
1. Pengertian Mental Mapping Pada awal tahun 1970-an, ‘peta mental’ dipopulerkan oleh Gauld and White (1986) dimana peta mental yang biasa juga disebut mental mapping atau cognitive map, dapat berupa gambaran jalur sirkulasi seseorang yang diungkapkan pada orang lain, atau gambaran peta yang dipresentasikan berdasarkan letak sebuah tempat. Roger Downs and David Stea (1973) mendefinisikan cognitive mapping sebagai suatu konsep yang meliputi proses pemahaman yang membuat orang dapat menggambarkan, mengkodekan, menyimpan dan mengolah informasi tentang lingkungan spasialnya. Informasi tersebut mengacu pada atribut dan lokasi yang relatif bagi pengamat terhadap lingkungannya, dan merupakan komponen yang sangat mempengaruhi proses adaptasi dalam membentuk ruang spasial (http://raja-kotakita.blogspot.com/) Peta mental terdiri dari informasi spasial tentang lingkungan, ciri-ciri sebuah tempat dan jalur sirkulasi, lokasi, jarak dan pencapaian (aksesibilitas).
110
Hubungan antara ‘pengamat dan objek’ serta ‘objek dan objek’ ada di dalam peta mental yang merupakan produk akhir dari proses pemetaan (cognitive mapping process) (Dawn and Stea, 1977). Walaupun setiap orang dapat melakukan
pemetaan,
namun
masing-masing
individu
akan
mempresentasikannya dengan cara yang berbeda dan tidak ada istilah sempurna
dalam
menggambarkan
peta
mental.
Penyimpangan
dan
ketidaklengkapan dalam menggambarkan peta mental disebabkan beragam faktor yang mempengaruhi masing-masing individu seperti pengalaman, proses sosial, dan faktor-faktor demografi.
2. Komponen Peta Mental Dalam proses pemetaan, secara umum gambaran yang ditampilkan merupakan bentuk-bentuk geometris yang berupa titik, garis, area, dan permukaan (Golledge, R.G., 1999). Elemen geometris ini menggambarkan berbagai aspek fisik lingkungan. Landmarks merupakan titik utama yang biasanya menjadi gambaran dan mampu memberi informasi berupa identitas, lokasi, dominasi (keutamaan) dari keseluruhan landmark. Garis juga memegang peranan penting dalam pemetaan, selain sebagai batasan wilayah juga sebagai rute atau jalur pencapaian dari landmark, jalur lurus atau berliku, dan merupakan penghubung antar lokasi. Area digunakan untuk menggambarkan ruang spasial dua dimensi, yang meliputi wilayah, permukiman, komunitas, kawasan perkotaan, dan kawasan administratif. Informasi yang menggambarkan permukaan (topografi), gradasi atau ketinggian lahan (kontur), atau dapat juga menggambarkan kualitas permukaan, dan keamanan serta kemudahan pencapaian.
3. Beberapa Teori tentang Mental Mapping Konsep peta mental mengacu pada persepsi personal tiap individu terhadap lingkungan di sekitarnya. Persepsi adalah proses dimana seseorang memperoleh informasi dari lingkungan sekitar yang memerlukan pertemuan nyata dengan suatu objek dan juga membutuhkan proses kognisi dan afeksi. Persepsi membantu seseorang menggambarkan dan menjelaskan apa yang telah
111
dilakukannya (Halim, Dedy, 2005). Ada empat teori persepsi yang dijadikan pendekatan dalam menggambarkan peta mental yaitu: a. Teori Gestalt Teori
ini
menjelaskan
proses
penyimpulan
persepsi
melalui
pengorganisasian komponen-komponen yang memiliki keterhubungan pola ataupun kemiripan menjadi suatu kesatuan. Dasar pengintegrasian adalah organisasi spontan yang berasal dari masukan sensori kepada otak seseorang. Seseorang cenderung mempersepsikan apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh (Halim, Dedy, 2005). Teori Gestalt banyak dipakai dalam proses desain dan cabang seni rupa lainnya, karena banyak menjelaskan bagaimana persepsi visual bisa terbentuk. Wertheimer dalam Behrens (1998) memformulasikan teori Gestalts bahwa dalam membentuk kesatuan diperlukan tiga elemen utama yaitu: kesamaan bentuk (similiarity), kedekatan posisi (proximity), dan kesinambungan pola (continuity). Setelah teori gestalts mulai populer dalam desain, selanjutnya ada penambahan pada elemen-elemen tersebut seperti pelingkup (closure), bentuk penutup (closed form), yang biasanya digunakan untuk perancangan lingkungan. Prinsip gestalts yang terakhir memasukkan pengalaman (experience) yang merupakan elemen non visual yang dapat mendukung makna simbolik. Teori Gestalt menyimpulkan bahwa persepsi-persepsi diorganisasikan ke dalam bentuk-bentuk dan latarnya. Pola garis-garis, bidang-bidang, dan obyek-obyek terlihat memiliki kualitas tertentu. Ini menjelaskan isomorphism antara pengalaman persepsi dan proses-proses neurologis manusia yang merupakan dasar teori Gestalt (Arnheim, 1977). b. Teori Steven’s Power Teori Stven’s Power menunjukkan banyak hal dari penilaian psikologis berhubungan satu sama lain dengan fenomena fisik yang memilki fungsi rasional. Beberapa persepsi membutuhkan asumsi yang dibuat mengenai apa yang terjadi pada bagian-bagian indera. Dengan kata lain, ada reaksi-reaksi khusus terhadap sensasi-sensasi, namun interpretasi juga membutuhkan lebih dari sekedar penjelasan fisiologis yang sederhana. Stevens dalam
112
(Halim, Dedy, 2005) menunjukkan banyak kasus mengenai penilaianpenilaian psikologis yang berhubungan satu sama lain dengan fenomena fisik berdasarkan rasio. Kesimpulan dari teori Steven’ Power adalah bahwa penilaian persepsi tidak dapat terisolasi (berdiri sendiri) dari penilaian psikologis dan hal ini menggambarkan hubungan relatif antar stimulus yang menjadi faktor penting dalam melakukan penilaian.
c. Teori Transaksional Teori ini menjelaskan tentang peranan pengalaman persepsi dan menekankan hubungan dinamis antara manusia dan lingkungan. Persepsi merupakan hubungan timbal balik dimana lingkungan dan pengamat saling bergantung satu dengan lainnya. Informasi yang didapat seseorang dari lingkungannya memiliki hakekat yang berbeda-beda yang tergantung pada tindakan. Orang dapat menggambarkan persepsi mereka secara terstruktur atau hanya berdasar pada pengalamannya. Penjelasan mengenai pengalaman terdapat unsur moods, perasaan, dan laporan diri (self-reports). Sedangkan penjelasan secara terstruktur melibatkan laporan mengenai hasil pegamatan yang aktual tentang struktur fisikal dan sosial yang telah dilihat. Dalam hal ini kontribusi teori Transaksional terhadap teori perancangan adalah, pengalaman membentuk orang untuk memberikan perhatian kepada lingkungan dan kepada apa yang dianggap penting.
d. Penerapan Peta Mental pada Urban Design Perancangan perkotaan berhubungan dengan perancangan fisik suatu tempat dan berhadapan dengan skala yang lebih detail dan dapat termasuk seni dari perancangan perkotaan dengan unsur arsitektur lansekap. Dapat juga disebutkan bahwa perancangan kota merupakan ruang yang terbentuk antar elemen perkotaan dalam mengakomodasi kegiatan perkotaan itu sendiri sesuai dengan fungsinya. Perancangan kota merupakan bidang yang menyentuh langsung dengan konsep kenyamanan ber-kota, sehingga konsep-konsep persepsi yang melahirkan peta mental dari masyarakat setempat maupun pendatang dapat dijadikan acuan bagi penyelesaian
113
masalah perancangan kota. Karena permasalahan perancangan kota yang kompleks, maka substansi penelitian tentang pemanfaatan peta mental terhadap upaya peningkatan kualitas perancangan kota juga dapat ditinjau dari berbagai aspek. Peta mental juga digunakan dalam mengidentifikasi kondisi sosial masyarakat seperti penelitian Ramadier dan Moser (1998) yang menghasilkan perlunya memasukkan elemen-elemen sosial berupa perilaku perkotaan (urban behavior) dalam perancangan kota untuk mengurangi kesenjangan sosial. Selain itu peta mental juga dapat digunakan sebagai referensi bagi peningkatan kualitas pariwisata perkotaan dengan melakukan pemetaan terhadap perilaku wisatawan, pencapaian menuju objek wisata. Selanjutnya, penerapan konsep peta mental tidak hanya dilakukan secara manual, namun lebih dari itu berbagai upaya terus dilakukan guna mendapatkan suatu kajian peta mental yang lebih akurat dan fleksibel baik secara teknis maupun substansi penelitian. Dari berbagai pertimbangan dalam menggambarkan kondisi lingkungan fisik, peta
mental
dapat
digunakan
sebagai
alat
yang
terukur
dalam
mempresentasikan ruang perkotaan. Pertama, penelitian terhadap masyarakat penghuni kawasan tertentu, dapat bermanfaat sebagai kajian kebiasaan atau perilaku masyarakat
perkotaan (urban behaviour)
guna
mendiagnosa
permasalahan yang ada (hubungan kemasyarakatan, pemanfaatan lahan dan sebagainya), pada tahap ini lebih di fokuskan pada tingkat kenyamanan dan pemanfaatan bagi masyarakat terhadap lingkungan binaannya secara sosial. Kedua, menggunakan konsep pemetaan untuk mendapatkan data fisik dan visual baik berupa kebutuhan ruang gerak, tekstur, dan estetika bentuk yang ditampilkan pada elemen perkotaan. Ketiga, ruang perkotaan merupakan ruang milik publik yang penggunanya adalah masyarakat dengan beragam keinginan dan kebutuhan, sehingga penggalangan informasi dari masyarakat dalam bentuk peta mental akan sangat bermanfaat dalam penyelesaian masalah perancangan secara objektif (http://raja-kotakita.blogspot.com/).
114
E.
MEMBUAT PETA PARIWISATA INTERAKTIF Peta pariwisata adalah peta yang menggambarkan atau menjelaskan lokasi-
lokasi tempat tujuan wisata di dalam suatu kota atau kabupaten dan lainnya, diantaranya wisata seperti menikmati keindahan alam.Peta ini diharapkan dapat menjelaskan arah dan tujuan ke tempat wisata tersebut dan sedikit menolong para turis untuk sampai ke tempat tujuan wisata
tanpa kesulitan sehingga akan
mengurangi cost biaya tinggi. Dengan penyajian peta pariwisata sesuai dengan skala sangat berguna merencanakan berapa hari akan tinggal, menentukan rute secara langsung seperti memperhitungkan jarak tujuan yang akan di tempuh berapa jam untuk sampai ke tempat tujuan, serta berapa yang harus di keluarkan untuk tranportasinya, dimana kita harus istirahat dimana ada penginapan (Hotel), sarana transfortasi apa yang di gunakan di tempat tujuan wisata. (http://sistiminformasi geografi.blogspot.com).
Di bawah ini contoh-contoh tampilan peta pariwisata
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Gambar 5.10. Gambar Peta Pariwisata Kota Banda Aceh Sumber: http://sistiminformasi geografi.blogspot.com
115
Gambar 5.11 Gambar Peta Land Use Kota Banda Aceh Sumber: http://sistiminformasi geografi.blogspot.com
Gambar 5.11 Gambar Peta Land Use Kota Blitar
116
Gambar 5.12. Gambar Peta Land Use Kota Makassar
F.
TATA LETAK /LAYOUT PETA Pada Bab sebelumnya telah dibahas tentang cara membaca peta sebagai
tahapan pertama dalam penggunaan peta. Pembacaan peta pada bahasan ini yakni mencoba mengidentifikasi simbol dari peta, dan membaca apa arti simbol tersebut. Untuk dapat melakukan pekerjaan ini, kita harus mengetahui tentang bahasa peta. Bahasa peta adalah informasi tentang peta yang meliputi: judul, nomor lembar peta, skala, orientasi, sumber pembuat peta, proyeksi peta, legenda, administrasi indeks. Dengan demikian, begitu melihat simbol di dalam peta, pembaca akan menjadi jelas mengenai makna ataupun bentuk unsur lingkungan apa yang tergambar dalam peta. Kesalahan yang sering terjadi adalah pengguna langsung berusaha menterjemahkan arti simbol-simbol tanpa mempelajari keterangan/legenda dan informasi lain terlebih dahulu. Merancang tata letak peta merupakan tahapan kerja yang penting diperhatikan bagi setiap orang yang akan menggambar peta. Hal itu dimaksudkan agar peta benar-
117
benar komunikatif, mudah dibaca dan ditafsirkan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pengguna peta. Adapun unsur-unsur peta yang perlu ditata posisinya adalah: judul peta, skala peta, keterangan/legenda, koordinat lintang dan bujur, inset peta, sumber data, dan informasi-informasi lain. Unsur-unsur tersebut sedapat mungkin ditempatkan pada komposisi yang seimbang (balance) dalam tata letak informasi tepi. Selain itu ukuran huruf (text), tipe huruf (style) perlu dipertimbangkan besar-kecilnya. Pada umumnya peta tematik menggambarkan daerah yang berbentuk pulau, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa, suatu negara atau dapat pula kawasan hutan, daerah aliran sungai, dan lain-lain. Daerah atau wilayah tersebut memiliki variasi bentuk kerangka letak yang bermacam-macam. Oleh karena itu penyusunan tata letak informasi peta harus menyesesuaikan, dengan tetap berpedoman pada prinsip keseimbangan.
G.
LINGKUP TUGAS Berdasarkan pada substansi materi bahan ajar khsusunya pada tahap minggu
ke-13 sampai minggu ke-15 yaitu menyangkut materi pembuatan peta pariwisata dan peta tata bangunan dan lingkungannya. Lingkup tugas mahasiswa sebagai tugas pendukung kuliah yang diberikan pada minggu ke-13 adalah menggambar tata letak bangunan dalam kampus. Mahasiswa diberi tugas survei dalam kampus dengan mengukur dan menggambar perletakan bangunan pada kawasan kampus tertentu. Dari survei tersebut diperoleh data tata letak bangunan kampus. Pada akhir kuliah, mahasiswa diberi tugas tambahan berupa tugas menggambar peta pariwisata pada salah satu kawasan permukiman/perumahan padat di kawasan perkotaan (Kota Makassar). Lokasi tugas tersebut dibagikan kepada mahasiswa secara acak dengan luas kawasan sekitar 1 ha untuk masing-masing mahasiswa. Setiap mahasiswa kemudian melakukan survei secara mandiri ke masing-masing lokasi tugasnya, dengan menyiapkan peralatan dan bahan untuk survei sesuai pembekalan dari dosen pengampu. Produk peta yang dihasilkan adalah peta tata letak bangunan yang dilengkapi dengan notasi fungsi bangunan, ukuran, dan pola jalan. Lingkup tugas mahasiswa sebagai tugas pendukung kuliah yang diberikan pada minggu ke-14 adalah merampungkan gambar tata letak bangunan di kawasan
118
perkotaan yang telah dikerjakan di rumah. Mahasiswa diberi penjelasan tentang ketepatan skala, kesesuaian warna fungsi bangunan, ukuran bangunan dan site yang tepat, dan kelengkapan notasi gambar. Standar warna fungsi bangunan yang digunakan mengacu dengan standar warna yang digunakan dalam perencanaan dan perancangan kota, yaitu: -
Warna Kuning
: Perumahan/Permukiman
-
Warna Merah
: Perkantoran (pemerintah)
-
Warna Merah Mudah: Perkantoran swasta
-
Warna Ungu
: Perdagangan
-
Warna Orange
: Fasilitas Sosial
-
Warna Coklat
: Terminal/Industri/Pelabuhan
-
Warna Abu-Abu
: Pergudangan
-
Warna Hijau
: Ruang Terbuka Hijau
-
Warna Putih
: Fungsi tidak jelas (termasuk pengerasan)
-
Warna Hitam
: Jaringan Jalan
-
Warna Biru
: Laut, Sungai, Kali
Pada akhir kuliah, mahasiswa diberi tugas berlanjut yaitu melengkapi tugas menggambar peta pariwisata yang sudah ada, dengan beberapa elemen lingkungan dan sarana dan prasarana yang ada di apangan. Dengan demikian mahasiswa diperkenankan melakukan survei lanjut dengan melakukan pengukuran secara detail, melengkapi site dengan gambar-gambar tampak bangunan yang ada di dalam site (menggunakan foto-foto bangunan), melengkapi dengan pohon/vegetasi dan gambar sarana dan prasarana lingkungan seperti saluran air, trotoar, potongan jalan, tiang listrik, lapangan parkir, tempat pembuangam sampah sementara (TPS), dll. Produk peta yang dihasilkan adalah peta tata bangunan dan lingkungan yang dilengkapi dengan ukuran, pola jalan, vegetasi, blok bangunan yang dilengkapi dengan garis atap, sarana/prasarana lingkungan, dan notasi fungsi bangunan yang dilengkapi dengan gambar tampak bangunan. Lingkup tugas mahasiswa sebagai tugas pendukung kuliah yang diberikan pada minggu ke-15 adalah merampungkan gambar tata bangunan dan lingkungan yang telah dikerjakan di rumah. Mahasiswa diberi penjelasan tentang ketepatan skala, kesesuaian warna fungsi bangunan, ukuran bangunan dan site, pola jalan, vegetasi,
119
blok bangunan yang dilengkapi dengan garis atap, sarana/prasarana lingkungan, dan notasi fungsi bangunan yang dilengkapi dengan gambar tampak bangunan. Pada akhir kuliah, mahasiswa diberi tugas berlanjut yaitu melengkapi tugas menggambar peta tata bangunan dan lingkungan yang sudah ada, terutama memperbaiki teknik presentasi tugas. beberapa elemen lingkungan dan sarana dan prasarana yang ada di lapangan. Produk peta yang dihasilkan adalah peta tata bangunan dan lingkungan yang dilengkapi dengan notasi dan gambar tampak bangunan. Sekiranya data mahasiswa masih kurang lengkap, maka mahasiswa bersangkutan diberi kesempatan untuk melakukan survei ulang dalam rangka memperbaiki akurasi peta yang dibuat. Hal itu dimaksudkan agar peta benar-benar komunikatif, mudah dibaca dan ditafsirkan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pengguna peta.
H.
METODE PELAKSANAAN SURVEI Metode pelaksanaan survei sebagai bagian dari penyelesaian tugas
menggambar peta pariwisata dan peta tata bangunan dan lingkungan berdasarkan kasus lokasi yang ditentukan seyogyanya telah tercantum dalam pembahasan materi perkuliahan (studio) pada minggu ke-13. Metode tersebut akan menjadi acuan mahasiswa mulai dari persiapan survei, kegiatan survei, dan sampai pada kegiatan penggambaran data-data hasil survei. Adapun lingkup kegiatan yang dilakukan tersebut secara garis besar terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu antara lain: Pendahuluan (persiapan); Survei dan pemotretan; Kompilasi data dan penggambaran Untuk lebih jelasnya mengenai metodologi pelaksanaan, berikut ini akan diuraikan mengenai masing-masing kegiatan yang akan dilakukan. a. Persiapan Tahap awal dalam pekerjaan survei adalah persiapan. Kegiatan persiapan terbagi 2 yaitu persiapan dasar dan persiapan survei. Persiapan dasar, adalah pengumpulan referensi yang berkaitan dengan peninjauan lapangan, seperti buku-buku pedoman survei, buku ajar mata kuliah Studio Pemetaan, serta peraturan-peraturan pemerintah berupa norma, standar, pedoman, dan manual
(NSPM) terkait
dengan
120
permasalahan kawasan yang akan di survei. Referensi tersebut dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan survei. Persiapan survei adalah persiapan menyangkut kegiatan yang dilakukan secara langsung ke lokasi atau kawasan peninjauan yang ditentukan. Beberapa bahan yang perlu disiapkan antara lain peta-peta citra, google earth, rupa bumi, peta administrasi, peta pariwisata (diperoleh dari kantor pariwisata, sarana pariwisata, atau travel), peta tata guna lahan, termasuk data-data sekunder yang berkaitan langsung dengan kawasan survei. Di samping itu juga perlu disiapkan data berupa peta dasar, surat survei untuk instansi yang akan dihubungi termasuk menjadi tanda pengenal kepada masyarakat setempat, serta mempersiapkan daftar pertanyaan yang akan diajukan untuk memperoleh berbagai macam informasi lapangan. Kebutuhan data tersebut tidak terpaku pada jenis data yang tertera pada tabel yang disiapkan. Setelah melakukan survey, data-data yang diperoleh akan diperbaiki dan dilengkapi sesuai kebutuhan dan karakteristik spesifik di kawasan survei.
b. Pengumpulan Data dan Survei Kegiatan pengumpulan data dan survei ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
nyata
kondisi
kawasan
survei
sesuai
yang
ditugaskan.
Pengumpulan data yang akan dilakukan dalam survei ini dibagi atas dua kelompok besar, yaitu Pengumpulan data sekunder dan pengumpulan data primer. Pengumpulan data sekunder Survei ini dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi yang telah terdokumentasikan dalam buku, laporan dan statistik yang dapat diperoleh dari instansi tertentu. Pengumpulan data primer Survei ini dilakukan untuk mendapatkan data atau gambar terbaru/terkini langsung dari lapangan. Data primer ini akan diperoleh secara langsung di lapangan. Untuk melengkapi data-data fisik tersebut juga perlu dilakukan wawancara kepada pihak-pihak tertentu yang ada di lokasi, terutama
121
terkait dengan informasi pengguna atau penghuni bangunan, serta masyarakat yang ada di lokasi survei. Survei data primer yang akan dilakukan yaitu antara lain: Survei land use dan bangunan, Survei yang dilakukan adalah pengecekan di lapangan mengenai guna lahan eksisting serta bangunan penting yang ada di lokasi survei. Masukan tersebut dapat diperoleh melalui wawancara pemilik/pengguna bangunan dan masyarakat sekitar.
Survei kondisi lingkungan Survei ini dilakukan untuk memperoleh data gambaran kondisi lokasi dengan cara melakukan pengamatan lapangan dan mengambil gambar (foto-foto) lokasi, termasuk tampak bangunan. Foto-foto tersebut selanjutnya diprint dan ditempel pada kertas gambar sebagai elemen ketengan. Di samping itu mahasiswa juga diharapkan dapat mengamati apa adanya aktifitas yang terjadi di lokasi tersebut, dalam kaitannya dengan fungsi bangunan dan kawasan.
Survei sarana dan prasarana (utilitas) Survei ini dilakukan untuk memperoleh data sarana dan prasarana dengan cara pengamatan lapangan dan pengukuran elemen-elemen sarana dan prasarana lingkungan.
Survei jaringan jalan Survei ini dilakukan untuk memperoleh data tentang kondisi sistem dan jaringan jalan di lokasi survei. Mengamati fungsi dan peran taffic light, dan lain-lain.
c. Kompilasi Data Kegiatan pengumpulan data dan survei ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran nyata kondisi kawasan survei sesuai yang ditugaskan oleh dosen pengampu.
122
d. Kategori Data Semua data dan informasi yang telah diperoleh dari hasil kegiatan pengumpulan data dan survei kemudian dicatat dan dikategorikan sesuai dengan jenisnya. Pada dasarnya kegiatan kategori data ini dilakukan dengan cara mengelompokkan, mentabulasi, dan mengsistematisasi data-data tersebut. Hasil dari kegiatan ini adalah tersusunnya data dan informasi yang telah diperoleh sehingga mudah untuk dimasukkan dalam gambar atau keterangan gambar. Hasil dari kegiatan ini adalah tersusunnya data dan informasi yang telah diperoleh sehingga akan mempermudah pelaksanaan tahapan penggambaran.
e. Penyajian Hasil Survei (Penggambaran) Setelah dilaksanakan kegiatan survei dan pengkategorian data, maka dapat dilakukan penyajian hasil survei melalui kegiatan penggambaran. Teknis penggambaran pada bagian ini akan mengacu pada beberapa pemberian materi dari minggu pertama hingga pada pemberian materi minggu ke-15. Data-data yang telah diperoleh pada kegiatan survei selanjutnya disajikan dalam bentuk gambar. Gambar-gambar yang memuat data-data yang telah diperoleh tersebut, selanjutnya dikomunikasikan dan didiskusikan dengan teman mahasiswa dan dosen. Dari hasil diskusi tersebut setiap mahasiswa memperoleh informasi perbaikan gambar atau kelengkapan data yang telah ada. Sekiranya diperlukan tambahan informasi atau data dari lapangan, maka mahasiswa bersangkutan kembali melakukan survei sesuai dengan tambahan data atau informasi yang diperlukan. Kegiatan survei ulang tersebut dilakukan sendiri oleh mahasiswa secara mandiri sesuai dengan waktu yang tersedia di luar waktu sekolah. Adapun proses finalisasi penggambaran peta mulai dari peta pariwisata sampai pada pembuatan peta tata bangunan dan lingkungan, dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: Menyiapkan kertas gambar A2 dan pinsil HB, B, dan 2B serta karet penghapus. Di samping itu juga menyiapkan data-data lapangan yang telah di kategorikan.
123
Menentukan besaran gambar berdasarkan skala yang telah ditetapkan dosen. Jangan lupa tetapkan skala gambar acuan yang digunakan ketika survei. Gambar harus dilengkapi dengan skala angka dan skala garis. Membuat grid-grid pada gambar. Besaran grid harus disesuaikan dengan skala gambar. Menggambar jaringan jalan, mulai dari jaringan jalan utama, sampai pada jaringan jalan stapak atau lorong. Menggambar lay out bangunan sesuai ukurannya. Menggambar sarana dan prasarana lingkungan pada site, gambar dilengkapi dengan ukuran. Memberi warna pada gambar sesuai dengan fungsinya, termasuk menggambar vegetasi, serta melengkapi garis atap bangunan. Menempelkan gambar foto-foto tampak bangunan dan keterangannya. Melengkapi notasi-notasi dan keterangan gambar. I.
PERMASALAHAN YANG DITEMUI SAAT SURVEI LAPANGAN Kegiatan survei yang dilakukan oleh setiap mahasiswa (surveyor) dalam
rangka untuk memperoleh data atau informasi terkait dengan gambar tata bangunan dan lingkungan, kadang-kadang tidak berjalan sesuai harapan. Terkadang mengalami beberapa hambatan dan kendala mulai dari kendala sederhana hingga pada kendala besar berupa kegagalan survei yang dilakukannya. Tentu saja inti dari kesuksesn survei adalah masalah perencanaan survei. Segala macam aktifitas, peralatan, bahan, dan tenaga yang dibutukan dalam survei, sebaiknya direncanakan dengan matang oleh surveyor sebelum melaksanakan kegiatan survei pada hari H. Beberapa surveyor mengemukakan kelemahan dan keunggulan yang dilakukannya dalam melakukan survei sehingga pelaksanaan surveinya berhasil secara efisien dan efektif. Dalam hal ini setiap surveyor perlu menentukan dan mengelola kegiatan apa saja yang akan dilaksanakan baik sebelum survei, pada waktu survei, dan setelah survei; peralatan dan bahan apa saja yang dibutuhkan; serta siapa dan berapa orang yang akan membantu kegiatan survei. Hal tersebut semuanya direncanakan dengan matang sebelumnya. Dari hasil pengamatan selama ini terhadap beberapa pengalaman survei
124
yang dilakukan oleh mahasiswa, diperoleh beberapa kendala dan hambatan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan survei yang tidak disertai dengan Surat Survei Secara umum dipahami bahwa setiap orang atau kelompok yang akan melakukan kegiatan kunjungan survei ke suatu instansi, maka prosedur utama yang disyaratkan adalah ketersediaan surat survei sebagai suatu syarat legal formal. Namun demikian kunjungan survei dengan tujuan instansi masyarakat kadang-kadang dianggap sebagian orang sebagai sebuah instansi yang tidak mensyaratkan surat survei yang formal. Padahal kenyataannya dalam kondisi perkotaan secara umum elemen masyarakat tetap mensyaratkan kepada pengunjung asing (tidak dikenal) agar dapat menunjukkan surat tanda pengenal yang dalam hal ini surat survei yang bersifat legal dan diketahui oleh aparat pemerintah setempat. Dengan demikian ketidaksiapan surveyor dalam menyiapkan surat survei pada waktu berkunjung pada suatu kawasan yang diarahkan sesuai tugas mata kuliah, akan menjadi kendala awal yang sangat menyakitkan. Hal tersebut akan berdampak fatal jika secara berlarut-larut tidak dapat memenuhi permintaan instansi masyarakat yang dikunjungi, karena dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap surveyor atau lembaga asalnya yang menyebabkan tidak diperolehnya data atau informasi yang dibutuhkan. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk menyiapkan surat survei yang ditanda tangani oleh Dekan Fakultas sebelum berangkat survei. Memang terdapat masalah untuk pengurusan surat survei tersebut di kampus, jika waktu yang diperlukan untuk pengurusannya relatif singkat (hanya sehari). Prosedur yang dilakukan di Fakultas Teknik selama ini memang ratarata memerlukan waktu lebih dari satu hari, yaitu mulai dari surveyor membuat usulan surat survei kepada Ketua Jurusan, selanjutnya Ketua Jurusan mendisposisi permintaan surat survei tersebut kepada Dekan. Prosedur tersebut akan semakin sulit jika surat tersebut diurus secara sendiri-sendiri oleh tiap mahasiswa, dan apalagi jika salah satu pejabat yang di maksud tidak ada di tempat.
125
2. Tidak lengkapnya peralatan pendukung survei Secara umum dipahami bahwa kesuksesan sebuah kegiatan survei sangat tergantung dengan peralatan pendukung survei. Untuk kegiatan survei tata bangunan, tata guna lahan, tempat-tempat atau bangunan-bangunan penting dibutuhkan peralatan sederhana pendukung survei, seperti alas kertas (karton/tripleks ukuran legal), handy cam, kamera, kompas, meteran atau roda meter, buku catatan dan alat tulis. Di samping juga dibutuhkan peralatan sekunder seperti payung, topi, baterai, tas/bag peralatan, alat komunikasi, dan snack serta uang secukupnya. Permasalahan atau hambatan pertama yang mungkin terjadi adalah ketika surveyor tidak membawa salah satu atau beberapa perlatan seperti yang telah disebutkan. Hal tersebut merupakan kesalahan yang fatal terutama jika lupa membawa peralatan yang sangat penting, seperti alat tulis, kamera, atau alat ukur. Permasalahan dan hambatan kedua adalah walaupun peralatan yang disyaratkan di atas telah dibawa serta ke lokasi survei, akan tetapi peralatan tersebut tidak memiliki kualitas yang siap pakai, misalnya alat ukur yang tidak valid, kamera yang lensanya terganggu, serta alat tulis yang macet, juga akan sangat mengganggu keberhasilan survei. Oleh karena itu, sebelum berangkat survei ada baiknya memeriksa kesiapan kualitas peralatan yang akan di bawa. Permasalahan dan hambatan ketiga adalah walaupun peralatan utama serta kualitas peralatan yang disyaratkan di atas telah dibawa serta ke lokasi survei, akan tetapi peralatan tersebut tidak didukung oleh peralatan sekunder (penunjang), juga akan sangat mengganggu keberhasilan survei. Peralatan sekunder sangat berperan mendukung kualitas peralatan utama, misalnya lupa membawa payung atau topi, padahal kondisi di lokasi mengalami hujan atau panas terik. Demikian pula lupa membawa baterai cadangan, padahal kamera atau handy cam mengalami low bat; lupa membawa tas/bag sehingga peralatan yang digunakan sangat merepotkan untuk dibawa-bawa, dan bahkan salah satu peralatan akan jatuh dan fatal; lupa membawa alat komunikasi sehingga mengalami keterbatasan untuk mengakses informasi pada saat survei. Oleh karena itu, sebelum berangkat survei ada baiknya memeriksa kesiapan peralatan sekunder yang akan di bawa ke tempat survei.
126
3. Tidak lengkapnya arsip data sekunder Terkait dengan tidak lengkapnya arsip data sekunder ketika melaksanakan survei seperti seperti peta dasar, peta tematik, peta google earth, dll; akan sangat mengurangi keakuratan, kecepatan, dan banyaknya informasi yang diperoleh. Permasalahan atau hambatan pertama yang mungkin terjadi adalah ketika surveyor tidak membawa salah satu atau beberapa arsip data sekunder seperti yang telah disebutkan. Hambatan kedua adalah walaupun arsip yang disyaratkan di atas telah dibawa serta ke lokasi survei, akan tetapi arsip data sekunder tersebut tidak memiliki kualitas resolusi (keakuratan) atau resolusi printer yang baik, misalnya gambar petanya kabur atau tidak jelas dan atau skala gambar tidak tepat, juga akan sangat mengganggu keberhasilan dan kecepatan pelaksanaan survei. Oleh karena itu, sebelum berangkat survei ada baiknya memeriksa kesiapan kelengkapan dan kualitas arsip data sekunder yang akan di bawa ke tempat survei.
4. Survei sendiri, tanpa teman Terkait dengan teknis pelaksanaan survei, tentu sangat berbeda tingkat kecepatan dan kuantitas data yang dihasilkan jika kegiatan survei dilakukan sendiri dibandingkan dengan berdua dengan tenaga pendukung. Permasalahan yang mungkin terjadi jika melakukan survei sendiri, di samping dengan banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan survei data dan informasi pada waktu tertentu, juga akan sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologi surveyor termasuk aspek konfidensi. Kadang-kadang surveyor membutuhkan pengambilan keputusan, dan pada saat tersebut sangat dibutuhkan komunikasi dengan orang lain pada waktu tersebut. Dengan adanya tenaga pendukung, secara otomatis akan sangat membantu meningkatnya kemudahan, volume, dan kecepatan kerja surveyor, serta secara psikologis minimal sangat memberikan motivasi dan akan mengingatkan kepada surveyor. Oleh karena itu, sebelum berangkat survei ada baiknya memperhitungkan untuk menhadirkan tenaga pendukung survei. Tenaga pendukung harus disesuaikan dengan rencana dan keterlibatan kerja. Tenaga pendukung tidak perlu terlalu banyak cukup berdua atau bertiga saja, sebab jika terlalu banyak, maka jumlah tenaga
127
pendukung yang berlebihan tersebut justeru akan menjadi faktor penghambat terhadap ketelitian, volume, dan kecepatan kerja surveyor. Dalam hal ini surveyor diharapkan mampu mengelola sumberdaya baik terhadap jumlah, maupun siapa yang akan diajak menjadi tenaga pendukung. Jika hal tersebut salah maka akan berdampak negatif seperti yang telah diungkapkan di atas. Ada baiknya jika para mahasiswa melakukan sharing tenaga dengan temannya, yaitu melakukan kegiatan survei yang tidak bersamaan misalnya antara waktu pagisiang, dan siang sampai sore. Mereka dapat saling membantu menyukseskan tugasnya masing-masing, sehingga mereka berdua dapat sukses dengan cara yang mudah dan efektif.
5. Melakukan wawancara dengan responden yang tidak kooperatif Terkait dengan kegiatan survei yang dapat mengumpulkan data dan informasi yang tepat, maka sangat diharapkan agar dapat menyukseskan kegiatan wawancara dengan responden di lokasi survei. Permasalahan dan hambatan awal yang dapat ditemui adalah memilih siapa orang yang akan diwawancarai di lapangan, dan berapa orang yang akan diwawancarai terkait dengan tujuan survei. Hal tersebut harus ditentukan sebelum survei termasuk telah menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan. Jika ha tersebut telah siap, maka hal yang perlu diingat adalah bagaimana meyakinkan responden tentang apa tujuan yang akan dicari. Ketidaktegasan atau ketidakjujuran surveyor dalam menyampaikan tujuan survei akan dapat berdampak pada ketidakpercayaan atau keragu-raguan responden dalam memberikan informasi atau data. Jika hal tersebut terjadi, maka dapat mengakibatkan kegagalan survei. Pada kegiatan survei mata kuliah studio pemetaan ini tentu saja pertanyaan terhadap responden meliputi pertanyaan sederhana tentang fakta lapangan yang belum jelas seperti: jenis fungsi bangunan tertentu, kegiatan masyarakat, kondisi bawah tanah yang tidak terlihat (misalnya saluran air, dll), arah jalur jalan, ukuran bangunan, dll. Masalah lain yang juga mungkin terjadi adalah jika berhadapan dengan responden yang tidak koperatif. Jika memungkinkan jangan lakukan wawancara kepada orang yang lagi sibuk, atau orang yang tidak bersedia diganggu. Untuk itu surveyor sebaiknya pintar-pintar dalam mendekati masyarakat atau penghuni
128
di mana mereka akan mengambil data, dan jangan lupa membawa tanda pengenal (misalnya surat survei, seragam, KTP, dll).
6. Mendeteksi bangunan yang terletak dalam site yang tertutup Permasalahan lapangan yang juga sering terjadi adalah terkait dengan keterbatasan surveyor untuk menjangkau bagian-bagian dari kawasan survei. Misalnya saja ketika survei kawasan perumahan tertentu, terdapat bangunan pada daerah tengah-tengah blok kawasan atau perumahan, namun tidak dapat di jangkau. Keterbatasan jangkauan dapat disebabkan oleh tidak adanya akses jalur jalan, atau akses ke bangunan tersebut sengaja ditutup. Langkah yang dapat dilakukan oleh surveyor adalah dengan melihat letak bangunan yang tidak dapat diakses tersebut melalui data peta google earth. Selanjutnya melakukan pengukuran bangunan dengan menggunakan referensi pada bangunan lain yang sejajar atau berkaitan dengan bangunan tersebut. Di samping itu juga dapat dilakukan komunikasi dengan responden terkait dengan ukuran bangunan, fasilitas bangunan, fungsi bangunan, dan material yang digunakan pada bangunan tersebut. Hal ini sangat terkait dengan kelincahan surveyor dalam mengambil sikap dan teknis kerja di lapangan.
7. Perubahan fungsi bangunan Perubahan fungsi bangunan sesuai yang terlihat pada peta dengan kondisi eksisting bangunan di lokasi. Hal ini dapat mengakibatkan kesalahan dalam pengumpulan data atau informasi, misalnya saja dari fungsi rumah menjadi industri atau gudang, dari fungsi kantor menjadi gudang, dan sebagainya. Oleh karena itu pada akhir kegiatan, sebaiknya surveyor menanyakan melakukan klarifikasi kepada responden tertentu terhadap seluruh unit bangunan atau lahan yang terdapat dalam kawasan survei saat ini.
129
J.
CONTOH SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)
MATAKULIAH: STUDIO PEMETAAN (103 D520 4) SENIN, 8 DESEMBER 2014 Final Test
1. Buatlah gambar garis kontur di bawah ini dengan skala 1:500. Kemudian Buatlah potongan A-A.
9000
7500
4500
3000
6000
Gambar Garis Kontur Skala 1: 1500
130
2.
Gambarlah Peta Tata Guna Lahan di bawah ini dengan skala diperkecil 3X.
Beri warna sesuai dengan fungsi lahan masing-masing
K.
K. DAFTAR PUSTAKA Arnheim, R. (1977). The Dynamics of Architectural Form, University of California Press, Berkeley & Los Angeles. Aryono Prihandito. 1989. Kartografi. Yogyakarta: PT. Mitra Widya. Behrens, R.R. (1998) Art, Design and Gestalt Theory, (http://mitpress2. mit.edu/ejournals/Leonardo), (retrieved: 21 December 2007) Bos E.S. (1973). Cartographic Principles in Thematic Mapping. The Netherlands. ITC Lecture Note, Enschede. Downs and Stea (1973) Image and Environment: Cognitive Mapping and Spatial. Dawn, R, M. & Stea, D. (1977) Maps in Mind: Reflexions in Cognitive Mapping. Harper & Row Publisher, New York:. Gauld, P. and White, R. (1986). Mental Maps. 2nd edition, Routledge, London.
131
Golledge, R.G. (1999) Human Wayfinding and Cognitive Maps, in Wayfinding Behavior: Cognitive Mapping and Other Spatial Process, Baltimore: John Hopkins University Press. Halim, Dedy (2005) Psikologi Arsitektur, Pengantar Kajian Lintas Disiplin. Jakarta: Grasindo. I Made Sandy. 1986. Esensi Kartografi. Jakarta: Jurusan Geografi FMIPA UI. Kraak & Ormeling (2007). Kartografi Visualisasi Data Geospasial.(Penerjemah Sukendra Martha, dkk. ed.2). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ramadier & Moser (1998) Social Legibility, The Kognitive Map and Urban Behavior. Jurnal of Environmental Psychology. 18. 307-319 Suwarjono dan Sukotjo (1993). Pengetahuan Peta. Yogyakarta: Fak. Geografi UGM. Watt, Kenneth (1961). Urban Planning Survey. Based on Djakarta, Indonesia. Division of Regional & City Planning Bandung Institute of Technology.
132
BAB 6 PENUTUP Sangat disadari bahwa pengadaan buku ajar khususnya pada mata kuliah Studio Pemetaan ini sangat urgen dalam mendukung pencapaian tujuan dan sasaran pembelajaran dan kurikulum pada umumnya. Dalam kurikulum Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota Universitas Hasanuddin, mata kuliah Studio Pemetaan ini merupakan salah mata kuliah inti yang ditawarkan pada awal perkuliahan anak baru. Mata kuliah ini menyajikan materi perkuliahan dalam tiga bagian, yaitu bagian pengantar, isi, dan evaluasi. Bagian pengantar diberikan pada minggu pertama perkuliahan, bagian isi diberikan pada minggu kedua sampai minggu ke tujuh, dan dari minggu ke delapan sampai pada minggu ke lima belas. Sedangkan kegiatan evaluasi diberikan pada minggu ke tujuh dan minggu ke enam belas. Pada setiap tata muka/praktikum dari kegiatan perkuliahan mulai dari minggu pertama sampai minggu ke enam belas, semuanya dilakukan di studio gambar. Dalam hal ini mata kuliah ini dominan melatih keterampilan motorik yaitu melakukan kegiatan menggambar, serta selebihnya melatih perkembangan kognitif dan afektif khususnya pada mahasiswa tahap awal (mahasiswa baru). Karena itu sangat disyaratkan kesiapan mental, tenaga, dan kedisiplinan mahasiswa dalam mengikuti mata kuliah ini. Mata kuliah ini menjadi peletak dasar pemberian kompetensi mahasiswa berupa kemampuan menggambar berbagai macam peta secara manual, yang diharapkan dapat menjadi bekal dalam memasuki mata kuliah lanjutan pada semester berikutnya, terutama mata kuliah Studio Pemetaan dan Studio Perencanaan Tapak. Berdasarkan hal tersebut maka materi yang disajikan dalam mata kuliah ini meliputi: kompetensi dalam menggambar garis dan spasial dalam bentuk dua dimensi, teknik penyajian gambar, menggambar berbagai macam peta, serta menggambar peta pariwisata dan tata bangunan yang diperoleh melalui pendekatan mental mapping. Agar dapat memudahkan mahasiswa dalam menggunakan buku ajar ini, maka buku ini dilengkapi dengan berbagai contoh tugas, bahan presentasi, serta beberapa referensi yang dapat membantu mahasiswa dalam meningkatkan pemahamannya terkait dengan substansi materi yang diberikan. 133
Semoga buku ajar ini dapat memudahkan dan dapat bermanfaat baik kepada mahasiswa mata kuliah Studio pemetaan, maupun kepada mahasiswa lain yang terkait, serta dosen pengampu yang berkenan menggunakan buku ajar ini.
134
DAFTAR PUSTAKA Arnheim, R. (1977). The Dynamics of Architectural Form, University of California: Berkeley & Los Angeles Press. Aryono Prihandito. 1989. Kartografi. Yogyakarta: PT. Mitra Widya. Behrens, R.R. (1998) Art, Design and Gestalt Theory, (http://mitpress2.mit.edu/ejournals/Leonardo/ ), (retrieved: 21 December 2007) Bos E.S. (1973). Cartographic Principles in Thematic Mapping. The Netherlands. ITC Lecture Note, Enschede. Ching, D.K, (1985), Form, Order, and Space. Terjemahan. Jakarta: Erlangga Dawn, R, M. & Stea, D. (1977) Maps in Mind: Reflexions in Cognitive Mapping. New York: Harper & Row Publisher. Downs, R.M. and Stea, D, (1973) Image and Environment: Cognitive Mapping and Spatial Dawn, R, M. & Stea, D. (1977) Maps in Mind: Reflexions in Cognitive Mapping. New York: Harper & Row Publisher. Gauld, P. and White, R. (1986). Mental Maps. 2nd edition, London: Routledge. Downs, R.M. and Stea, D, (1973) Image and Environment: Cognitive Mapping and Spatial Halim, Dedy (2005) Psikologi Arsitektur, Pengantar Kajian Lintas Disiplin. Jakarta: Grasindo. I Made Sandy (1986). Esensi Kartografi. Jakarta: Jurusan Geografi FMIPA UI. Gauld, P. and White, R. (1986). Mental Maps. 2nd edition, London: Routledge. Golledge, R.G. (1999) Human Wayfinding and Cognitive Maps, in Wayfinding Behavior: Cognitive Mapping and Other Spatial Process, Baltimore: John Hopkins University Press. Kraak, Menno-Jan & Ferjan Ormeling (2007). Kartografi Visualisasi Data Geospasial.(Penerjemah Sukendra Martha, dkk. ed.2). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lukman Aiz dan Ridwan said (1985). Peta Tematik. Bandung: Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik dan Perencanaan ITB.
135
Ramadier, T. & Moser, G. (1998) Social Legibility, The Kognitive Map and Urban Behavior. Jurnal of Environmental Psychology. 18. 307-319 Sinaga, Maruli (1995). Pengetahuan Peta. Lecture Note.Yogyakarta: Prog Pascasarjana UGM. Sinaga, Maruli. 1995. Pengetahuan Peta. Lecture Note.Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM. Subagio (2003). Pengetahuan Peta. Bandung: ITB. Suwarjono dan Mas Sukotjo (1993). Pengetahuan Peta. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Watt, Kenneth (1961). Urban Planning Survey. Based on Djakarta, Indonesia. Division of Regional & City Planning Bandung Institute of Technology.
136