39
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1.
Uji Akar Unit (Unit Root Test) Stasioneritas merupakan salah satu prasyarat penting dalam model
ekonometrika untuk data runtut waktu (time series). Data stasioner adalah data yang menunjukkan mean, varians dan autovarians (pada variasi lag) tetap sama pada waktu kapan saja data itu dibentuk atau dipakai, artinya dengan data yang stasioner model time series dapat dikatakan lebih stabil. Apabila data yang digunakan dalam model ada yang tidak stasioner, maka data tersebut dipertimbangkan kembali validitas dan kestabilannya, karena hasil regresi yang berasal dari data yang tidak stasioner akan menyebabkan spurious regression. Spurious regression adalah regresi yang memiliki R2 yang tinggi, namun tidak ada hubungan yang berarti dari keduanya. Salah satu konsep formal yang dipakai untuk mengetahui stasioneritas data adalah melalui uji akar unit (unit root test). Uji ini merupakan pengujian yang populer, dikembangkan oleh David Dickey dan Wayne Fuller dengan sebutan Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test. Jika suatu data time series tidak stasioner pada orde nol, I(0), maka stasioneritas data tersebut bisa dicari melalui order berikutnya sehingga diperoleh tingkat stasioneritas pada order ke-n (first difference atau I(1), atau second difference atau I(2), dan seterusnya. Beberapa model yang dapat dipilih untuk melakukan Uji ADF12 : ΔYt = δYt-1 + ut (tanpa intercept)
(4.1)
ΔYt = β + δYt-1 + ut (dengan intercept)
(4.2)
ΔYt = β1 + β2t + δYt-1 + ut (intercept dengan trend waktu)
(4.3)
Δ= first difference dari variabel yang digunakan t = variabel trend Hipotesis untuk pengujian ini adalah : H0 : δ = 0 (terdapat unit root, tidak stasioner) 12
Nachrowi D Nachrowi dan Hardius Usman. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. LPFEUI. 2006. h. 355
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
40
H1 : δ ≠ 0 (tidak terdapat unit root, stasioner) Seluruh data yang digunakan dalam regresi dilakukan uji akar unit dengan berpatokan pada nilai batas kritis ADF (lihat lampiran 5). Hasil uji akar unit dengan membandingkan hasil t-hitung dengan nilai kritis McKinnon adalah sebagai berikut : Tabel 4.1 Hasil Pengujian Akar Unit
Variabel Ln_C Ln_Y R_D R_SBI In Ln_F P
Tingkat Stasioneritas Level First Difference |t-statistic| Keterangan |t-statistic| Keterangan 1.491725 tidak stasioner 2.542858 ** stasioner 13.20894 * stasioner 7.035372 * stasioner 0.845028 tidak stasioner 3.205537 * stasioner 0.838807 tidak stasioner 3.215361 * stasioner 4.375474 * stasioner 8.930956 * stasioner 10.29283 * stasioner 1.771513 *** stasioner 0.60152 tidak stasioner 9.29208 * stasioner
Keterangan : * > nilai kritis McKinnon pada α =1% ** > nilai kritis McKinnon pada α = 5% *** > nilai kritis McKinnon pada α =10% Sumber : Output EViews (telah diolah kembali)
Pada tingkat level ada beberapa variabel yang tidak stasioner sehingga perlu dilihat variabel tersebut di tingkat first difference. Hasilnya terlihat bahwa seluruh variabel dapat stasioner pada tingkat first difference dengan berbagai kondisi.
4.2.
Estimasi dan Hasil Regresi Model Model untuk mengestimasi di sini menggunakan sensitivitas dari
permintaan uang kartal terhadap adanya beban pajak. Dilandasi pemikiran bahwa uang kartal menjadi alat transaksi yang paling disukai oleh para pelaku kegiatan underground economy karena sifatnya yang tidak mudah dilacak oleh otoritas negara, khususnya oleh otoritas pajak. Peningkatan permintaan uang kartal menjadi salah satu indikator adanya peningkatan underground economy. Model
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
41
tersebut mengukur apakah perubahan beban pajak akan merubah permintaan uang kartal. Oleh karena uang kartal merupakan bagian dari permintaan uang, maka model ini menggunakan model standar permintaan uang dengan menambahkan variabel pajak. Variabel ini ditambahkan karena pajak dapat memengaruhi permintaan uang kartal dengan menciptakan “insentif” menghindari pajak yaitu dengan menggunakan lebih banyak uang kartal untuk melakukan transaksi. Berdasarkan apa yang telah disampaikan, maka dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) melalui program EViews 6 akan dilakukan beberapa alternatif estimasi model sebagai berikut :
4.2.1. Model 1 (dengan Variabel Bunga SBI 3 bulan) SBI 3 bulan dalam hal tertentu dapat dipersamakan dengan 91-days Treasury Bill sebagaimana yang digunakan dalam model Ebrima Faal13. Model regresi adalah sebagai berikut : Ln(C) = β0 + β1 Ln(Y) + β2 (R_SBI) + β3 (In) + β4 Ln(F) + β5 (P) + u
(4.4)
Hasil regresi melalui program EViews 6 pada akhirnya tersaji pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Hasil Regresi Model 1 Variabel Dependen : Ln_C Metode : Ordinary Least Squares (OLS) Variabel Nilai Koefisien Std. Error t-statistic Ln_Y (-1) 1.520477 0.310775 4.892529 R_SBI -0.012392 0.002952 -4.198146 IN (-3) 0.005182 0.002822 1.836174 LN_F -0.404600 0.140525 -2.879202 P 0.009405 0.004233 2.221699 c -1.085316 0.690365 -1.572090 R-squared 0.912821 Adjusted R-squared 0.898760 F-statistic 64.91789 Prob (F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 1.848313
Prob. 0.0000 0.0002 0.0759 0.0072 0.0337 0.1261
Sumber : Output EViews (telah diolah kembali) 13
Mandala Manurung dan Prathama Rahardja. 2004. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter. FEUI.
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
42
Bentuk persamaan Model 1 : Ln(C* t )= -1,085+1,52Ln(Y t-1)-0,012(R_SBI t)+0,005(Int-3)-0,404Ln(Ft)+0,009(P t)…. (4.5)
4.2.2. Model 2 (dengan Variabel Bunga Deposito 1 bulan) Berdasarkan penelitian yang dilakukan Suherman (2003) dalam tesisnya yang berjudul “Estimasi Model Permintaan Uang Kartal Indonesia”, deposito berjangka 1 bulan merupakan salah satu variabel yang memengaruhi permintaan terhadap uang kartal14. Model regresi adalah sebagai berikut : Ln(C) = β0 + β1 Ln(Y) + β2 (R_D) + β3 (In) + β4 Ln(F) + β5 (P) + u
(4.6)
Hasil regresi melalui program EViews 6 pada akhirnya tersaji pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil Regresi Model 2 Variabel Dependen : Ln(C) Metode : Ordinary Least Squares (OLS) Variabel Nilai Koefisien Std. Error t-statistic Ln_Y (-1) 1.495770 0.304560 4.911250 R_D -0.012389 0.002802 -4.421217 IN (-3) 0.004904 0.002747 1.785269 LN_F -0.374325 0.136479 -2.742722 P 0.009226 0.004150 2.223012 c -1.235734 0.666023 -1.855393 R-squared 0.916137 Adjusted R-squared 0.902611 F-statistic 67.73006 Prob (F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 1.888599
Prob. 0.0000 0.0001 0.0840 0.0100 0.0336 0.0731
Sumber : Output EViews (telah diolah kembali)
Bentuk persamaan Model 2 : Ln(C* t )= -1,236+1,496Ln(Y t-1)-0,012(R_D t)+0,005(Int-3)-0,374Ln(Ft)+0,009(P t)…. (4.7) 14
Suherman, “Estimasi Model Permintaan Uang Kartal Indonesia”. Tesis. Universitas Indonesia. Tahun 2003.
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
43
4.3.
Pengujian Statistik
4.3.1. Uji Kointegrasi Uji ini dikembangkan berdasarkan adanya persepsi model data yang tidak stasioner secara individu akan tetapi kombinasi linear antara dua atau lebih data time series dapat menjadi stasioner. Untuk mengetahuinya dilakukan pengujian metode Engle Granger dengan pendekatan Augmented Dicky Fuller Test. Pengujian dengan jalan ini lebih dikenal sebagai uji kointegrasi. Jika variabelvariabel dalam model terkointegrasi maka dapat diartikan kombinasi dari dua atau lebih dalam regresi adalah stasioner. Persamaan yang digunakan untuk tes Engle-Granger adalah : ∆ ̂=
̂
+∑
∆ ̂
+
(4.8)
Hipotesis untuk pengujian adalah : H0
: ρ = 0, (variabel-variabel dalam model tidak terkointegrasi)
H1
: ρ ≠ 0, (variabel-variabel dalam model terkointegrasi) Adapun tahapan pengujian kointegrasi menggunakan program EViews 6
dimulai dengan melakukan regresi terhadap masing-masing persamaan dalam Model 1 dan Model 2. Dari hasil regresi di atas, lalu dibuat Residual Series-nya. Nilai residu ini yang kemudian diuji dengan menggunakan Uji ADF. Jika stasioner, berarti regresi tersebut merupakan regresi terkointegrasi.
Tabel 4.4 Hasil Uji Kointegrasi : Tingkat Stasioneritas Residual Model 1 Model 2
Level |t-statistic|
Keterangan
5.695178 * 5.825312 *
Stasioner, α = 1% Stasioner, α = 1%
Sumber : Output EViews (telah diolah kembali)
Pada Model 1, menunjukkan nilai |t-statistik| yaitu 5,695178 lebih besar dari MacKinnon critical value pada tingkat kepercayaan 99% (4,234972), sehingga H0 ditolak. Hal tersebut menunjukkan bahwa residual dari Model 1 tersebut stasioner atau terkointegrasi.
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
44
Pada Model 2, menunjukkan nilai |t-statistik| yaitu 5,825312 lebih besar dari MacKinnon critical value pada tingkat kepercayaan 99% (4.234972), sehingga H0 ditolak. Itu menunjukkan bahwa residual dari Model 2 tersebut ternyata juga stasioner atau terkointegrasi. Dengan demikian, baik Model 1 maupun Model 2 tidak spurious, walaupun secara individu tidak semua variabel stasioner pada tingkat level I(0), akan tetapi kombinasi linier antara dua data atau lebih data time series dapat menjadi stasioner. Hasil ini meyakinkan bahwa seluruh data penelitian bisa digunakan di dalam mengestimasi model penelitian. 4.3.2. Uji Koefisien Determinasi (R2) Uji koefisien determinasi dilakukan dengan maksud untuk melihat seberapa besar pengaruh perubahan variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model mampu menjelaskan pengaruhya terhadap variabel tidak bebasnya. Uji ini melihat nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dari persamaan yang diestimasi. Dari hasil estimasi Model 1 dan Model 2 diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,91. Artinya 91% permintaan uang kartal dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas dalam model yaitu pendapatan disposabel (lag 1), tingkat bunga (SBI 3 bulan/Deposito 1 bulan), inflasi (lag 3), jumlah mesin ATM dan kantor cabang bank, serta beban pajak. Sedangkan sisanya sebesar 9% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Dari hasil regresi juga diperoleh nilai adjusted R2 sebesar 0,90. Artinya setelah disesuaikan dengan besarnya jumlah koefisien pada persamaan, sekitar 90% perubahan variabel tidak bebas, yaitu permintaan uang kartal, dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya. Sementara sisanya sebesar 10% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak termasuk ke dalam model.
4.3.3. Uji t-statistik Pengujian t-statistik digunakan untuk menguji pengaruh parsial dari variabel-variabel bebas terhadap variabel tidak bebasnya. Uji ini dilakukan
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
45
dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel. Hipotesis dalam uji ini adalah sebagai berikut : Hipotesis untuk hasil regresi untuk variabel yang berkorelasi positif : H0 : βi = 0 ; variabel bebas tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat H1 : βi > 0 ; variabel bebas mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat Hipotesis untuk hasil regresi untuk variabel yang berkorelasi negatif : H0 : βi = 0 ; variabel bebas tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat H1 : βi < 0 ; variabel bebas mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat Dengan ketentuan bahwa bila diperoleh : -
|t-stat| > t-tabel maka H0 ditolak, artinya terdapat pengaruh signifikan antara variabel bebas terhadap variabel terikat.
-
|t-stat| < t-tabel maka H0 tidak ditolak, artinya tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabel bebas terhadap variabel terikat. Tabel 4.5 Nilai t-tabel α
Degree of Freedom (df)
1%
5%
10%
n-k = 40 – 5 = 35
2,7238
2,0301
1,6896
n = jumlah observasi, k = jumlah variabel bebas Sumber : output Microsoft Excel (telah diolah kembali)
Tabel 4.5 di atas menunjukkan nilai batas kritis pengujian t-statistik sementara Tabel 4.6 dan Tabel 4.7 merupakan hasil pengujian t-statistik.
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
46
Tabel 4.6 Hasil Uji t-statistik Model 1 Variabel
t-statistic
H0
Keterangan
Ln_Y (-1)
4.892529
Ditolak
Signifikan pada α = 1%
R_SBI
-4.198146
Ditolak
Signifikan pada α = 1%
In (-3)
1.836174
Ditolak
Signifikan pada α = 10%
LN_F
-2.879202
Ditolak
Signifikan pada α = 1%
P
2.221699
Ditolak
Signifikan pada α = 5%
c
-1.572090
Diterima
Tidak Signifikan
Sumber : Output EViews (telah diolah kembali)
Dengan demikian seluruh variabel bebas pada Model 1 yaitu : Pendapatan (lag 1), SBI 3 bulan, Inflasi (lag 3), Inovasi Keuangan dan Perkembangan Perbankan, serta variabel Pajak, masing-masing berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Permintaan Uang Kartal.
Tabel 4.7 Hasil Pengujian t-statistik Model 2 Variabel
t-statistic
H0
Keterangan
Ln_Y (-1)
4.911250
Ditolak
Signifikan pada α = 1%
R_D
-4.421217
Ditolak
Signifikan pada α = 1%
IN (-3)
1.785269
Ditolak
Signifikan pada α = 10%
LN_F
-2.742722
Ditolak
Signifikan pada α = 1%
P
2.223012
Ditolak
Signifikan pada α = 5%
c
-1.855393
Ditolak
Signifikan pada α = 10%
Sumber : Output EViews (telah diolah kembali)
Dengan demikian seluruh variabel bebas pada Model 2 yaitu : Pendapatan (lag 1), Bunga Deposito 1 bulan, Inflasi (lag 3),
Inovasi Keuangan dan
Perkembangan Perbankan, serta variabel Pajak, masing-masing berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Permintaan Uang Kartal.
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
47
4.3.4. Uji F-statistik Uji F-stat digunakan untuk menguji tingkat signifikansi dari pengaruh secara bersama-sama dalam menjelaskan variasi variabel terikatnya. Uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai F hitung dengan nilai F tabel. Hipotesis dalam uji ini adalah sebagai berikut : H0 : β0 = β1 = β2 = β3 = β4 =...= βi =0 ; semua variabel bebas secara bersama-sama tidak memengaruhi variabel terikat. H1 : salah satu β ≠ 0
; ditemukan paling tidak satu variabel bebas yang
memengaruhi variabel terikat. Dengan tingkat signifikansi dan derajat kebebasan tertentu : Fα(k,n-k-1), dimana α adalah tingkat signifikansi, n menunjukkan jumlah observasi, k menunjukkan jumlah variabel bebas dan merupakan derajat kebebasan untuk pembilang (N1), serta n-k-1 menunjukkan derajat kebebasan untuk penyebut (N2). Apabila ternyata setelah dihitung nilai F > F-tabel, maka H0 ditolak atau dengan kata lain bahwa paling tidak ada satu slope regresi yang signifikan secara statistik. Dimana k adalah jumlah variabel bebas (koefisien slope), dan n jumlah observasi (sampel).
Tabel 4.8. Nilai F-tabel N1 k=5
α
N2 n-k-1=40-5-1=34
1%
5%
10%
3,6106
2,4936
2,0244
Sumber : Output Microsoft Excel (telah diolah kembali)
Dari hasi regresi Model 1 diperoleh F-hitung 64.91789. Nilai ini lebih besar dari F-tabel pada tingkat signifikansi 1%. Sehingga H0 ditolak yang artinya secara statistik variabel bebas : Pendapatan (lag 1), Bunga SBI 3 bulan, Inflasi (lag 3), Inovasi, dan Pajak secara bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel Permintaan Uang Kartal. Dari hasi regresi Model 2 diperoleh F-hitung 67.73006. Nilai ini lebih besar dari F-tabel pada tingkat signifikansi 1%. Sehingga H0 ditolak yang artinya
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
48
secara statistik variabel bebas : Pendapatan (lag 1), Bunga Deposito 1 bulan, Inflasi (lag 3), Inovasi, dan Pajak secara bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel Permintaan Uang Kartal.
4.4.
Pengujian Pelanggaran Asumsi Klasik Model Regresi Linier
4.4.1. Multikolinieritas Multikolinier adalah situasi adanya korelasi antara variabel bebas dengan variabel bebas lainnya. Konsekuensinya meskipun hasil estimasi masih BLUE (Best Linear Unbiased Estimator), akan tetapi multikolinieritas dapat menyebabkan standard error yang lebih besar, nilai koefisien determinasi (R2) tetap tinggi dan uji F-stat signifkan meskipun banyak variabel yang tidak signifikan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa sebuah model persamaan dinyatakan terdapat gangguan multikolinear apabila R2-nya tinggi namun hanya sedikit atau bahkan tidak ada variabel bebasnya yang signifikan pada pengujian tstatistik. Berdasarkan hasil uji t-statistik, ternyata seluruh variabel bebas yang digunakan baik pada Model 1 maupun Model 2, signifikan dalam memengaruhi variabel tidak bebas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa multikolinearitas tidak menjadi masalah pada model penelitian ini15.
4.4.2. Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE adalah var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau dengan kata lain, semua residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi seperti itu disebut dengan homoskedastis. Sedangkan apabila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastis. Uji formal untuk masalah ini salah satunya adalah Uji White / White-Test. Uji ini dapat dilakukan secara langsung dengan program EViews. Berdasarkan uji White-Test menggunakan Program EViews versi 6, didapatkan Probabilitas Chi-Square dari Obs*R-squared atas Model 1 sebesar
15
Nachrowi D Nachrowi dan Hardius Usman. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. LPFEUI. 2006.
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
49
0,6285 atau lebih besar dari α = 5%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Model 1 tidak mengandung heteroskedastisitas. Pada Model 2, Probabilitas Chi-Square dari Obs*R-squared adalah sebesar 0,6171 atau lebih besar dari α = 5%. Dengan demikian Model 2 pun tidak mengandung heteroskedastisitas.
4.4.3. Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Autokoreasi mengakibatkan varians residual yang akan diperoleh lebih rendah daripada semestinya sehingga mengakibatkan R2 lebih tinggi dari seharusnya. Selain itu pengujian hipotesis dengan menggunakan tstatistik dan F-statistik akan menyesatkan. Uji yang dilakukan : a) Uji Durbin-Watson Dilakukan dengan membandingkan nilai DW statistik dengan Tabel DW. Dengan ketentuan seperti pada gambar 4.1. Tidak tahu Korelasi Positif
0
Tidak tahu Tidak ada korelasi
dL
dU
Korelasi negatif
4-dU
4-dL
4
Gambar 4.1. Aturan Membandingkan Uji DW dengan Tabel DW Sumber : Nachrowi, D.N. dan Hardius Usman. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. LPFEUI
Nilai DW-stat dalam Model 1 adalah : 1,848 Nilai DW-stat dalam Model 2 adalah : 1,889
Tabel 4.9 Nilai Tabel DW α=5% n 40
k 5
dL
dU
1,230
1,786
Sumber : Damodar Gujarati, Basic Econometrics.
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
50
Berdasarkan Tabel 4.9 di atas, maka dapat dihitung nilai dari (4-dL) yaitu sebesar 2,770 sementara nilai (4-dU) adalah 2,214. Oleh karena nilai DW-stat hasil regresi dalam Model 1 adalah 1,848 dan Model 2 adalah 1,889 atau berada di antara nilai dU dan 4-DU, maka dapat disimpulkan bahwa baik Model 1 dan Model 2 tidak ada korelasi positif maupun negatif atau tidak ada autokorelasi.
b) Uji Breusch-Godfrey (Uji BG). Berdasarkan Uji BG menggunakan program EViews versi 6, didapatkan Probabilitas Chi-Square dari Obs*R-squared Model 1 adalah sebesar 0,6971 (lebih besar dari α = 5%). Sementara Probabilitas Chi-Square dari Obs*Rsquared Model 2 adalah sebesar 0,7093 (lebih besar dari α = 5%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada Model 1 maupun Model 2, keduanya tidak ada masalah dengan autokorelasi.
4.5.
Analisis Ekonomi Hasil Estimasi Model Hasil regresi yang telah diperoleh (lihat persamaan 4.5 dan 4.7)
selanjutnya dianalisis pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel tidak bebasnya yang ditunjukkan oleh koefisien dalam persamaan. Analisis ini diperlukan untuk melihat apakah kecenderungan model secara empiris sudah memenuhi kaidah-kaidah dalam teori ekonomi.
4.5.1. Hubungan Pendapatan dan Tingkat Bunga dengan Permintaan Uang Kartal Berdasarkan teori yang dikemukakan Keynes, pendapatan mempunyai korelasi positif dengan permintaan uang. Pada model ini digunakan pendapatan disposabel satu periode sebelumnya (lag satu) yang dapat dijelaskan bahwa ketergantungan suatu variabel tak bebas (permintaan uang) atas variabel yang menjelaskan (pendapatan disposabel) tidak bersifat seketika. Secara psikologis, orang tidak akan mengubah permintaan uang kartal dengan segera mengikuti peningkatan pendapatan.
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
51
Hasil regresi menunjukkan hal yang sama yaitu koefisien dari pendapatan disposabel pada Model 1 adalah sebesar 1,520 yang dapat diinterpretasikan setiap peningkatan 1% pendapatan disposabel satu periode sebelumnya, ceteris paribus, akan menyebabkan kenaikan permintaan uang kartal sebesar 1,520%. Sementara koefisien dari pendapatan disposabel pada Model 2 adalah sebesar 1,496 yang dapat diinterpretasikan setiap peningkatan 1% pendapatan disposabel satu periode sebelumnya, ceteris paribus, akan menyebabkan kenaikan permintaan uang kartal sebesar 1,496%. Sedangkan tingkat suku bunga yang merupakan opportunity cost dari memegang uang, tentu saja berkorelasi negatif dengan permintaan uang. Pada Model 1 yang menggunakan suku bunga SBI 3 bulan, maupun Model 2 yang menggunakan suku bunga deposito 1 bulan, memiliki koefisien bernilai -0,012 yang dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan 1% poin tingkat suku bunga SBI 3 bulan maupun deposito 1 bulan (misalnya dari 7% menjadi 8%), ceteris paribus, akan menyebabkan permintaan uang kartal turun sebesar 1,2%.
4.5.2. Hubungan Inflasi dengan Permintaan Uang Kartal Permintaan uang riil adalah permintaan yang dikaitkan dengan perubahan tingkat harga umum yang memengaruhi daya beli uang (purchasing power of money). Jika harga umum naik atau terjadi inflasi dengan jumlah uang nominal yang sama, jumlah barang yang dapat dibeli menjadi lebih sedikit. Atau jika terjadi inflasi maka daya beli uang menurun. Untuk melaksanakan tingkat transaksi yang sama, jumlah uang yang dibutuhkan secara nominal akan meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa koefisien dari variabel inflasi dengan penyesuaian waktu (lag) tiga pada Model 1 dan Model 2 bernilai positif 0,005. Ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan 1% poin tingkat inflasi, ceteris paribus, akan menyebabkan permintaan uang kartal meningkat sebesar 0,5%.
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
52
4.5.3. Hubungan Inovasi Keuangan dengan Permintaan Uang Kartal Menurut Ebrima Faal (2003), inovasi keuangan dapat memengaruhi keinginan memegang uang kartal. Inovasi keuangan dalam hal ini direfleksikan dengan perkembangan jumlah mesin ATM dan pembukaan kantor-kantor cabang bank. Dalam kenyataannya, mesin ATM dan kantor cabang bank menjadi substitusi yang dekat sehingga untuk keperluan penelitian ini mesin ATM dianggap cabang dari bank. Oleh karenanya variabel Inovasi Keuangan adalah jumlah dari kantor cabang bank dan mesin ATM. Perkembangan dalam jasa di bidang perbankan ini menurut model permintaan transaksi Baumol (1952) akan membuat biaya total memegang uang menjadi kecil, sehingga akan menurunkan permintaan terhadap uang tunai (kartal). Hasil regresi pada penelitian ini menunjukkan hal yang sama yaitu dengan koefisien -0,405 pada Model 1 dapat diinterpretasikan bahwa setiap terjadi peningkatan 1% jumlah mesin ATM dan kantor cabang, maka permintaan uang kartal akan menurun sebesar 0,405%. Sementara pada Model 2 koefisien bernilai -0,374 yang dapat diinterpretasikan bahwa setiap terjadi peningkatan 1% jumlah mesin ATM dan kantor cabang, maka permintaan uang kartal akan menurun sebesar 0,374%.
4.5.4. Hubungan Beban Pajak dengan Permintaan Uang Kartal Variabel beban pajak merupakan variabel penting dalam mengestimasi besarnya underground economy melalui pendekatan permintaan uang kartal. Jika variabel ini tidak signifikan pada pengujian statistik t-stat, maka pendekatan permintaan currency tidak bisa digunakan untuk mengestimasi besarnya permintaan uang kartal. Insentif untuk menghindari pajak berpengaruh dengan permintaan uang kartal yaitu dengan menggunakan uang kartal yang lebih banyak untuk melakukan transaksi. Penggunaan atau penyimpanan uang non kartal seperti transaksi perbankan, obligasi, atau saham, menanggung resiko deteksi yang lebih besar, terutama oleh otoritas pajak. Beberapa contoh kaitan langsung antara transaksi perbankan dengan kemungkinan terkena pajak adalah :
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
53
-
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia, pihak bank akan memotong pajak sebesar 20% atas bunga tabungan, deposito, dan Sertifikat Bank Indonesia, dalam batasan-batasan tertentu (misalnya pemotongan hanya dilakukan terhadap pemilik tabungan atau deposito di atas Rp 7.500.000,00).
-
Pihak bank akan melaporkan kepada Kantor Pajak nama-nama nasabah yang dilakukan pemotongan berupa Bukti Pemotongan (lihat lampiran 16). Dalam bukti potong tersebut terdapat data nama, alamat, maupun keterangan sudah memiliki NPWP atau belum bagi orang yang dilakukan pemotongan pajak tersebut. Jika sudah memiliki NPWP, akan di cross check ke Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) yang bersangkutan. Bagi yang belum memiliki NPWP tentunya pihak otoritas pajak akan dapat menetapkan pemberian NPWP secara jabatan yang pada akhirnya dapat menghitung kewajiban-kewajiban pajak yang lain.
-
Berdasarkan Pasal 35 UU KUP, pihak ketiga (termasuk bank), wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak.
Beberapa hal di atas menunjukkan bahwa untuk meminimalisir deteksi oleh otoritas pajak, maka para pelaku ekonomi lebih menyukai transaksi uang tunai (kartal). Hal ini terbukti dari hasil regresi pada Model 1 dan Model 2, yaitu variabel pajak memiliki nilai koefisien 0,009 yang dapat diinterpretasikan bahwa jika beban pajak naik sebesar 1% poin (misalnya dari 20% menjadi 21%), ceteris paribus, maka permintaan terhadap uang kartal meningkat sebesar 0,9%.
4.6.
Mengukur Besarnya Underground Economy Hasil estimasi persamaan (4.5) atau (4.7) menunjukkan besarnya
permintaan uang kartal secara keseluruhan, baik yang digunakan untuk transaksi dalam aktivitas official economy maupun aktivitas underground economy. Besarnya uang kartal riil yang digunakan dalam official economy diperoleh dari hasi
regresi
persamaan
(4.5)
atau
(4.7)
dengan
mengeliminasi
atau
menghilangkan variabel pajak. Selisih antara kedua hasil estimasi tersebut
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
54
menunjukkan besarnya uang kartal underground. Secara sederhana uang kartal underground dapat diperoleh melalui : CUGE
= C - CY
(4.9)
Keterangan : CUGE
= uang kartal dalam aktivitas underground economy
C
= uang kartal yang beredar di masyarakat, merupakan hasil estimasi ( C* )
CY
= uang kartal yang digunakan dalam aktivitas official economy, merupakan hasil estimasi tanpa memasukkan variabel pajak (C**)
Hasil penghitungan uang kartal yang digunakan dalam aktivitas underground economy di Indonesia periode 2000 – 2009 tersaji pada Tabel 4.10 dan Tabel 4.11. Uang kartal dalam underground economy mencapai rata-rata Rp 13,72 Triliun - Rp 13,77 Triliun setiap periode triwulan. Nilai ini sekitar 11% - 12 % dari uang kartal total yang beredar di masyarakat.
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
55
Tabel 4.10 Uang Kartal Underground (Dari Model 1) C** (Rp Triliun)
Kartal UGE Riil (Rp Triliun)
Kartal UGE Nominal (Rp Triliun)
Rasio thd Uang Kartal Total (%)
Periode
C* (Rp Triliun) (1)
(2)
(3)=(1)-(2)
(4)=(3)x(Deflator PDB)
(5)=(4):Kartal Aktual
2000 1 2 3 4 2001 1 2 3 4 2002 1 2 3 4 2003 1 2 3 4 2004 1 2 3 4 2005 1 2 3 4 2006 1 2 3 4 2007 1 2 3 4 2008 1 2 3 4 2009 1 2 3 4 Rata-rata
91.14 89.87 92.25 105.01 98.95 93.44 94.90 102.62 90.80 92.04 96.79 106.25 95.03 100.51 108.12 118.64 99.53 107.30 112.62 123.04 107.34 111.37 114.53 118.70 104.66 111.04 116.99 125.27 114.56 123.23 128.78 137.48 122.83 127.76 133.62 138.98 124.93 127.66 124.20 140.43 111.83
81.61 82.57 84.66 94.72 86.45 83.53 84.54 85.80 81.39 82.79 87.09 92.38 84.70 90.59 97.44 101.34 88.98 96.69 100.94 104.70 95.46 99.44 101.78 102.33 93.46 98.85 104.84 107.89 103.39 109.92 114.08 117.54 109.79 112.57 117.34 120.87 112.80 114.02 112.48 121.97 99.09
9.53 7.30 7.59 10.29 12.51 9.91 10.35 16.82 9.41 9.25 9.70 13.87 10.33 9.91 10.68 17.30 10.55 10.61 11.68 18.35 11.89 11.93 12.74 16.37 11.20 12.19 12.15 17.39 11.17 13.31 14.69 19.94 13.03 15.19 16.28 18.12 12.13 13.64 11.72 18.46 12.74
5.72 4.55 4.86 6.78 8.57 7.22 7.59 12.42 7.04 7.00 7.45 10.85 8.36 7.90 8.58 14.08 8.87 9.18 10.35 16.60 11.12 11.57 12.78 17.83 12.34 13.66 14.06 20.56 13.64 16.60 18.88 26.39 18.19 22.70 25.42 28.08 18.91 21.90 19.14 30.86 13.72
11% 8% 9% 9% 14% 11% 11% 16% 10% 10% 10% 13% 12% 10% 11% 15% 10% 9% 10% 15% 11% 11% 11% 14% 11% 11% 11% 14% 11% 11% 12% 14% 11% 12% 11% 13% 10% 11% 9% 14% 11%
Sumber : Hasil Pengolahan
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
56
Tabel 4.11 Uang Kartal Underground (Dari Model 2) Periode
C* (Rp Triliun)
C** (Rp Triliun)
Kartal UGE Riil (Rp Triliun)
(1)
(2)
(3)=(1)-(2)
(4)=(3)x(Deflator PDB)
(5)=(4):Kartal Aktual
80.67 81.86 85.05 95.29 86.11 84.18 85.01 86.15 81.80 83.04 87.23 91.60 84.50 90.18 97.98 102.48 90.29 97.07 101.31 104.95 95.89 99.87 101.00 102.45 94.61 99.64 105.92 108.99 103.68 110.24 114.73 118.18 111.13 114.34 117.97 121.60 112.99 113.11 112.02 122.15 99.43
9.42 7.24 7.62 10.35 12.46 9.99 10.41 16.89 9.46 9.28 9.72 13.76 10.30 9.87 10.74 17.49 10.71 10.65 11.72 18.39 11.94 11.98 12.65 16.39 11.34 12.29 12.28 17.56 11.20 13.35 14.77 20.05 13.19 15.43 16.37 18.23 12.15 13.53 11.67 18.48 12.78
5.65 4.51 4.88 6.82 8.54 7.28 7.63 12.47 7.08 7.02 7.47 10.76 8.34 7.86 8.62 14.24 9.01 9.21 10.39 16.64 11.17 11.62 12.68 17.85 12.49 13.77 14.20 20.77 13.67 16.65 18.99 26.54 18.42 23.05 25.56 28.25 18.95 21.73 19.07 30.90 13.77
11% 8% 9% 9% 14% 11% 11% 16% 10% 10% 10% 13% 12% 10% 11% 15% 10% 9% 10% 15% 11% 11% 11% 14% 11% 11% 11% 14% 11% 11% 12% 14% 11% 12% 11% 13% 10% 11% 9% 14% 12%
2000 1 90.09 2 89.09 3 92.68 4 105.64 2001 1 98.57 2 94.18 3 95.42 4 103.04 2002 1 91.26 2 92.32 3 96.95 4 105.35 2003 1 94.80 2 100.05 3 108.72 4 119.97 2004 1 101.00 2 107.73 3 113.03 4 123.34 2005 1 107.83 2 111.85 3 113.65 4 118.84 2006 1 105.95 2 111.92 3 118.19 4 126.55 2007 1 114.88 2 123.58 3 129.51 4 138.22 2008 1 124.32 2 129.76 3 134.34 4 139.82 2009 1 125.14 2 126.64 3 123.70 4 140.64 Rata-rata 112.21 Sumber : Hasil Pengolahan
Kartal UGE Nominal (Rp Triliun)
Rasio thd Uang Kartal Total (%)
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
57
Untuk mendapatkan besaran nilai underground economy maka uang kartal yang digunakan dalam aktivitas underground economy dikalikan dengan velocity of money (kecepatan uang beredar). Besarnya kecepatan uang beredar yang ada dalam underground economy sangatlah susah untuk diukur, untuk itu diasumsikan bahwa kecepatan uang beredar yang ada dalam underground economy sama besar dengan yang ada pada official economy. Hal ini juga yang menjadi kelemahan penelitian melalui pendekatan moneter ini karena diperkirakan besarnya kecepatan uang beredar dalam underground economy lebih besar dibanding dengan yang terjadi dalam official economy. Secara sederhana kecepatan uang beredar didefinisikan sebagai rasio antara pendapatan nominal (PDB Nominal) terhadap jumlah uang nominal. Sehingga kecepatan uang beredar dalam official economy adalah rasio antara PDB Nominal terhadap jumlah uang nominal yang legal ( “Legal Money” / LM) . Legal Money diperoleh dari kuantitas uang untuk transaksi (dalam hal ini jumlah uang beredar M1) dikurangi dengan uang kartal underground economy yang didapat dari persamaan kolom (4) pada Tabel 4.10 atau Tabel 4.11. Vunderground = Vofficial = PDB / LM = PDB / (M1-CUGE)
(4.10)
Setelah kecepatan uang beredar dalam aktivitas underground economy dihitung sebagaimana tersaji dalam Tabel 4.12,
maka besaran underground
economy di Indonesia periode 2000.1 – 2009.4 dapat dihitung melalui perkalian antara uang kartal dalam aktivitas underground economy (kolom 4 pada Tabel 4.10 dan Tabel 4.11) dengan Vunderground tersebut. Estimasi besaran underground economy secara triwulanan dapat dilihat pada Tabel 4.13. Besaran nilai underground economy yang sudah diukur, dapat digunakan untuk memperkirakan nilai potensi pajak, yaitu dengan mengalikannya dengan tarif pajak rata-rata. Hasilnya disajikan pada Tabel 4.14. Proxy untuk tarif pajak rata-rata secara agregat adalah total penerimaan pajak dibagi dengan tax base yang dalam hal ini adalah nilai PDB, atau dengan kata lain tax to GDP ratio.
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
58
Tabel 4.12 Kecepatan Uang Beredar dalam Underground Economy Periode 2000
1 2 3 4 2001 1 2 3 4 2002 1 2 3 4 2003 1 2 3 4 2004 1 2 3 4 2005 1 2 3 4 2006 1 2 3 4 2007 1 2 3 4 2008 1 2 3 4 2009 1 2 3 4 Rata-rata
VelocityUGE Model 1 Model 2 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Sumber : Hasil Pengolahan
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
59
Tabel 4.13 Periode
2000
1 2 3 4 2001 1 2 3 4 2002 1 2 3 4 2003 1 2 3 4 2004 1 2 3 4 2005 1 2 3 4 2006 1 2 3 4 2007 1 2 3 4 2008 1 2 3 4 2009 1 2 3 4 Rata-rata
Estimasi Underground Economy
Model 1 Model 2 Nominal Riil Rasio thd PDB Nilai Nominal Nilai Riil Rasio thd PDB (Rp Triliun) (Rp Triliun) (%) (Rp Triliun) (Rp Triliun) (%) (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
15.67 11.87 13.43 15.97 23.70 19.65 20.68 31.32 19.33 26.97 20.18 27.68 24.00 21.07 22.28 33.80 22.66 23.06 26.74 41.95 29.37 30.31 34.90 51.20 36.44 37.07 38.25 52.74 38.23 43.92 49.60 62.87 51.93 64.85 74.56 83.46 57.46 65.38 59.05 94.32 37.95
26.11 19.03 20.95 24.24 34.59 26.97 28.21 42.42 25.85 35.63 26.28 35.40 29.64 26.46 27.75 41.52 26.93 26.67 30.16 46.36 31.40 31.24 34.79 47.01 33.09 33.08 33.07 44.59 31.31 35.20 38.59 47.49 37.20 43.40 47.75 53.86 36.86 40.71 36.16 56.41 34.86
4.81 3.52 3.72 4.36 6.13 4.72 4.84 7.51 4.42 5.98 4.27 5.99 4.84 4.23 4.32 6.72 4.22 4.09 4.49 7.00 4.65 4.52 4.89 6.75 4.66 4.56 4.39 6.04 4.15 4.55 4.81 6.07 4.65 5.27 5.60 6.55 4.41 4.75 4.07 6.36 5.07
15.48 11.76 13.49 16.07 23.60 19.81 20.80 31.46 19.44 27.06 20.22 27.43 23.94 20.97 22.41 34.20 23.00 23.16 26.84 42.06 29.51 30.44 34.62 51.27 36.91 37.38 38.66 53.31 38.34 44.05 49.89 63.23 52.59 65.92 74.98 84.00 57.56 64.83 58.80 94.46 38.10
25.79 18.86 21.06 24.40 34.44 27.20 28.37 42.61 25.98 35.74 26.32 35.08 29.57 26.33 27.91 42.01 27.35 26.78 30.28 46.48 31.55 31.38 34.51 47.07 33.51 33.36 33.43 45.08 31.41 35.31 38.82 47.76 37.67 44.12 48.02 54.20 36.92 40.36 36.01 56.50 34.99
(6)
4.75 3.49 3.74 4.39 6.10 4.76 4.87 7.55 4.45 6.00 4.28 5.94 4.82 4.21 4.34 6.80 4.29 4.10 4.51 7.02 4.67 4.54 4.85 6.76 4.72 4.60 4.44 6.10 4.17 4.57 4.84 6.11 4.71 5.36 5.63 6.59 4.42 4.71 4.05 6.37 5.08
Sumber : Hasil Pengolahan
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
60
Tabel 4.14 Periode
Model 1 Potensi Pajak Rasio thd PDB (Rp Triliun) (%) (1)
2000
1 2 3 4 2001 1 2 3 4 2002 1 2 3 4 2003 1 2 3 4 2004 1 2 3 4 2005 1 2 3 4 2006 1 2 3 4 2007 1 2 3 4 2008 1 2 3 4 2009 1 2 3 4 Rata-rata
Potensi Pajak atas Underground Economy
1.73 1.01 1.15 1.65 3.20 2.20 2.39 5.61 2.12 2.86 2.13 3.87 2.76 2.19 2.32 5.33 2.54 2.40 2.93 6.77 3.45 3.43 4.12 7.60 4.12 4.31 4.20 7.88 3.92 5.02 6.01 9.85 5.83 8.21 9.69 11.66 5.87 7.39 5.85 13.29 4.72
(2)
0.53 0.30 0.32 0.45 0.83 0.53 0.56 1.35 0.48 0.63 0.45 0.84 0.56 0.44 0.45 1.06 0.47 0.43 0.49 1.13 0.55 0.51 0.58 1.00 0.53 0.53 0.48 0.90 0.43 0.52 0.58 0.95 0.52 0.67 0.73 0.91 0.45 0.54 0.40 0.90 0.62
Model 2 Potensi Pajak Rasio thd PDB (Rp Triliun) (%) (4)
(3)
1.71 1.00 1.16 1.66 3.19 2.22 2.40 5.63 2.13 2.87 2.14 3.84 2.75 2.18 2.33 5.39 2.58 2.41 2.94 6.79 3.46 3.45 4.08 7.61 4.18 4.35 4.24 7.96 3.93 5.03 6.04 9.91 5.90 8.34 9.74 11.73 5.88 7.32 5.83 13.31 4.74
0.52 0.30 0.32 0.45 0.82 0.53 0.56 1.35 0.49 0.64 0.45 0.83 0.55 0.44 0.45 1.07 0.48 0.43 0.49 1.13 0.55 0.51 0.57 1.00 0.53 0.53 0.49 0.91 0.43 0.52 0.59 0.96 0.53 0.68 0.73 0.92 0.45 0.53 0.40 0.90 0.63
Sumber : Hasil Pengolahan
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
61
Tabel 4.15 Ukuran Underground Economy di Indonesia Tahun 2000 – 2009
Model 1 Model 2 TAHUN Nominal Riil Growth Rasio PDB Nominal Riil Growth Rasio PDB (Rp Triliun) (Rp Triliun) % % (Rp Triliun) (Rp Triliun) % % 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
(1)
(2)
56.93 95.34 94.17 101.15 114.41 145.78 164.50 194.61 274.79 276.20 151.79
90.33 132.19 123.15 125.36 130.13 144.44 143.83 152.60 182.21 170.13 139.44
(3)
(4)
(5)
(6)
46.33 -6.84 1.79 3.81 11.00 -0.42 6.10 19.40 -6.63 8.28
4.10 5.79 5.17 5.02 4.98 5.25 4.93 4.93 5.55 4.92 5.06
56.80 95.66 94.14 101.52 115.06 145.84 166.26 195.52 277.49 275.65 152.39
90.10 132.62 123.13 125.82 130.89 144.51 145.37 153.30 184.01 169.79 139.96
(7)
(8)
47.18 -7.15 2.18 4.03 10.40 0.59 5.46 20.03 -7.73 8.33
4.09 5.81 5.17 5.04 5.01 5.26 4.98 4.95 5.60 4.91 5.08
Sumber : Hasil Pengolahan
Secara nominal underground economy di Indonesia mengalami fluktuasi dengan nilai rata-rata sebesar Rp 151,79 Triliun – Rp 152,39 Triliun setiap tahunnya. Apabila dibandingkan dengan nilai PDB, maka secara rata-rata besarnya mencapai 5,06% – 5,08%. Nilai rasio ini berada di bawah angka ratarata rasio underground economy untuk negara berkembang menurut hasil penelitian Schneider dan Enste yaitu sekitar 35-44%, maupun sinyalemen yang pernah di sampaikan oleh para ekonom Indonesia seperti Chatib Basri dan Faisal Basri. Untuk diingat kembali bahwa ukuran underground economy yang relatif kecil tersebut hanya pengukuran melalui adanya ekses permintaan uang kartal akibat adanya beban pajak. Jika mengacu pada penggolongan underground economy yang disampaikan oleh Feige (1990), hasil ini mungkin lebih condong kepada underground economy dalam golongan unreported economy, yaitu pendapatan yang tidak dilaporkan kepada otoritas negara dalam hal ini khususnya instansi pajak, dengan maksud untuk menghindari tanggung jawab membayar pajak. Apabila keseluruhan nilai underground economy diibaratkan
sebagai
sebuah tutup gelas, maka hasil penelitian ini mungkin hanya mengukur bagian yang dipegang dari tutup gelas tersebut. Kegiatan underground economy yang
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
62
dilakukan oleh penjual gorengan di pinggir jalan misalnya, barangkali tidak tercakup oleh hasil penelitian ini karena kemungkinan besar mereka termasuk yang tidak sensitif terhadap adanya perubahan beban atau tarif pajak. Apabila diperhatikan, besaran underground economy pada tahun 2001 secara riil mengalami kenaikan yang sangat signifikan yaitu sebesar 46,33% 47,18% dibanding tahun sebelumnya. Tahun 2001 adalah saat diberlakukannya paket peraturan di bidang perpajakan diantaranya yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 yang mengatur Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (ketentuan formil di bidang perpajakan), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 yang mengatur Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang mengatur Pajak Pertambahan Nilai. Contoh perubahan ketentuan perpajakan yang mulai berlaku 1 Januari 2001 tersebut adalah diterapkannya lapisan Penghasilan Kena Pajak dan Tarif Pajak yang berbeda untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi dan WP Badan atau Bentuk Usaha Tetap.
WP Orang Pribadi Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25 juta
5%
Rp 25 juta – Rp 50 juta
10%
Rp 50 juta – Rp 100 juta
15%
RP 100 – Rp 200 juta
25%
Di atas 200 juta
35%
WP Badan dan Bentuk Usaha Tetap Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50 juta
10%
Rp 50 juta – Rp 100 juta
15%
Di atas 100 juta
30%
Lapisan Penghasilan Kena Pajak dan Tarif Pajak sebelum tahun 2001 tidak dibedakan antara WP Badan dan WP Orang Pribadi yaitu : Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25 juta
10%
Rp 25 juta – Rp 50 juta
15%
Di atas Rp 50 juta
30%
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
63
Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa kebijakan perpajakan yang diambil ternyata semakin meningkatkan kegiatan underground economy. Demikian pula pada tahun 2008, underground economy secara riil mengalami kenaikan cukup tinggi yaitu 19,40% - 20,03%. Pada tahun tersebut pemerintah juga baru saja memberlakukan kebijakan di bidang perpajakan yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sementara itu nilai potensi pajak atas kegiatan underground economy yang telah dihitung mencapai rata-rata Rp 4,72 Triliun – Rp 4,74 Triliun tiap periode triwulan atau Rp 18,88 Triliun – Rp 18,96 Triliun setiap tahunnya. Ini berarti sekitar 0,62% - 0,63% dari nilai PDB.
Tabel 4.16 Potensi Pajak dari Underground Economy di Indonesia Tahun 2000 – 2009 TAHUN
Model 1 Potensi Pajak UGE Growth (Rp Triliun) % (1) (2)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
5.53 13.40 10.98 12.59 14.64 18.60 20.51 24.80 35.38 32.40 18.88
Rata-rata
142.15 -18.09 14.71 16.27 27.00 10.29 20.91 42.66 -8.42 27.50
Rasio PDB % (3)
0.40 0.81 0.60 0.63 0.64 0.67 0.61 0.63 0.71 0.58 0.62
Model 2 Potensi Pajak UGE Growth (Rp Triliun) % (4) (5)
5.52 13.45 10.97 12.65 14.72 18.60 20.73 24.92 35.72 32.34 18.96
Rasio PDB % (6)
143.55 -18.43 15.37 16.33 26.39 11.43 20.21 43.34 -9.45 27.64
0.40 0.82 0.60 0.63 0.64 0.67 0.62 0.63 0.72 0.58 0.63
Sumber : Hasil Pengolahan
Potensi pajak disini diinterpretasikan sebagai pajak yang tidak dilaporkan oleh pelaku kegiatan underground economy. Pelaku tersebut dapat digolongkan menjadi dua : a) Belum terdaftar pada kantor pelayanan pajak (belum memiliki NPWP), b) Sudah memiliki NPWP. Semuanya memiliki peluang untuk melakukan penggelapan pajak (tax evasion). Pelaku yang belum memiliki NPWP dapat pula digolongkan menjadi dua. Pertama, yang benar-benar tidak mengetahui peraturan perpajakan, dan yang
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
64
kedua yang mengetahui peraturan perpajakan namun sengaja tidak mendaftarkan diri pada kantor pelayanan pajak. Seluruh penghasilan bagi golongan a) ini luput dari penerimaan negara. Kebanyakan golongan a) ini melakukan transaksi secara tunai karena ketika sudah berhubungan dengan pihak bank, akan lebih mudah menjadi data bagi pihak Direktorat Jenderal Pajak. Sementara bagi golongan b), mungkin sebagian penghasilan telah dilaporkan pajaknya, namun bisa jadi dia melakukan manipulasi dengan melaporkan penghasilan yang lebih rendah dari yang sebenarnya. Supaya tidak mudah terlacak oleh pemeriksa pajak, tindakan yang paling sering dilakukan adalah dengan mengecilkan pencatatan penjualan atau penghasilan tunai. Media transaksi uang tunai relatif lebih susah dilacak apabila dibandingkan transaksi yang melibatkan pihak lembaga keuangan (bank). Bagaimanapun juga, kebanyakan orang cenderung untuk membayar pajak dengan serendahrendahnya, bahkan bila perlu tidak membayar sama sekali. Bagi
pelaku
underground
economy
ini
ada
dua
faktor
yang
menyebabkannya tidak memenuhi kewajiban pajak16 : c) Unwillingness to pay (keengganan untuk membayar), Lebih baik menyimpan uangnya untuk memenuhi kebutuhan dari pada menyetorkan ke negara d) Ketidakpercayaan terhadap pemerintah Atas dasar ini mereka tidak mau melapor pada kantor pelayanan pajak karena mereka berpikir suatu saat pemerintah akan terus meningkatkan tarif pajak, birokrasi pajak yang berbelit-belit, bahkan tidak tertutup kemungkinan akan terkena sanksi-sanksi jika terjadi kesalahan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Selain itu masyarakat pada umumnya menilai bahwa institusi Direktorat Jenderal Pajak sarat dengan korupsi. Mereka berpikir buat apa membayar pajak jika hanya dikorupsi oleh pegawai-pegawai pajak. Apalagi dengan munculnya kasus Gayus Tambunan -- seorang pegawai pajak yang diduga memiliki rekening bernilai milyaran rupiah, yang tidak mungkin
16
Iqbal, Z. and S.K. Qureshi. (1998). The Underground Economy and Tax Evasion in Pakistan : A Fresh Assessment. International Monetary Fund Working Paper. 00/26
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
65
diperoleh dari penghasilan sebagai seorang pegawai negeri sipil -- semakin membuat publik tidak percaya kepada pemerintah khususnya institusi pajak.
Gambar 4.2 Foto Gayus Tambunan Sumber : kompas.com
Jika seluruh pajak atas kegiatan underground economy dapat menjadi bagian dari penerimaan negara, maka diharapkan defisit anggaran dapat ditekan sehingga memungkinkan untuk mengurangi pos hutang luar negeri. Rata-rata defisit anggaran Indonesia
periode 2000-2009 mencapai Rp 28,81 Triliun
sedangkan rata-rata nilai pajak aktivitas underground economy berdasarkan penghitungan penelitian ini adalah sebesar Rp 18,88 Triliun – Rp 18,96 Triliun.
Tabel 4.17 Perkembangan Defisit Anggaran Tahun 2000-2009 TAHUN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
Defisit Anggaran (Rp Triliun) -16.10 -40.50 -23.70 -35.10 -23.80 -14.41 -29.14 -49.84 -4.12 -51.34 -28.81
% PDB -1.16 -2.46 -1.30 -1.74 -1.04 -0.52 -0.87 -1.26 -0.08 -0.91 -1.14
Sumber : Departemen Keuangan RI
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
66
4.7.
Underground Economy dan Kebijakan Publik Kenaikan
underground
economy
akan
menurunkan
penerimaan
penghasilan bagi negara yang pada gilirannya mengurangi kualitas dan kuantitas barang dan jasa publik yang disediakan [Schneider dan Enste (2000)]. Kehilangan penerimaan penghasilan ini kemudian akan diupayakan baik melalui peningkatan tarif pajak atau menaikan harga barang-barang yang bersifat inelastis. Untuk mengurangi harga dalam negeri pemerintah kemudian mengurangi jumlah uang beredar dan meningkatkan tingkat suku bunga, yang mengurangi penciptaan kredit dan tingkat investasi. Akibatnya, aktivitas ekonomi secara keseluruhan akan mengalami penurunan. Pajak merupakan salah satu faktor pemicu adanya underground economy. Apabila pemerintah menaikan tarif pajak, maka justru akan memicu orang untuk semakin menghindarinya sehingga memilih melakukan aktivitas underground economy. Menggunakan hasil besaran underground economy yang telah diperoleh sebagaimana tersaji pada Tabel 4.13, dapat diketahui seberapa besar elastisitasnya terhadap adanya perubahan tarif pajak rata-rata, yaitu dengan melakukan regresi melalui metode Ordinary Least Square (OLS) dalam bentuk model : Ln(UGE)t = β0 + β1 (Tarif Pajak)t + Ln(UGE)t-1 + u
(4.11)
Tarif Pajak adalah tarif pajak rata-rata yang menggunakan proxy perbandingan total penerimaan pajak terhadap PDB (tax to GDP ratio). Penambahan lag dimaksudkan untuk menghilangkan autokorelasi. Tabel 4.18 Hasil Regresi Pengaruh Tarif Pajak Terhadap Underground Economy Variabel Tarif Pajak Rata2 Ln_UGE(-1) C R-squared Prob. F-stat DW-stat White Test BG-Test
Ln_UGE Model 1 Nilai Koefisien Prob. t-stat 0.089388 0.0000 0.835584 0.0000 -0.456524 0.0907 0.871004 0.00000 2.009735 *) 0.7883 0.7293 **)
Ln_UGE Model 2 Nilai Koefisien Prob. t-stat 0.089203 0.0000 0.835097 0.0000 -0.451687 0.0918 0.87266 0.00000 1.997989 *) 0.7845 0.7404 **)
*) tidak ada heteroskedastisitas **) tidak mengandung autokorelasi
Sumber : Hasil Pengolahan
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.
67
Baik Ln_UGE Model 1 maupun Ln_UGE Model 2, secara umum dapat dituliskan dalam bentuk persamaan : Ln(UGEt)= -0,45 + 0,09 (Tarif Pajakt) + 0.84 Ln(UGEt-1)
(4.12)
Dalam bentuk model di atas, nilai elastisitas dapat dihitung dengan rumus : [Nilai koefisien Tarif Pajak (β1 )] x [rata-rata nilai variabel Tarif Pajak.] Rata-rata nilai variabel tarif pajak (dalam satuan persen) dari dari tahun 2000 – 2009 adalah 12,01. Sehingga diperoleh nilai elastisitas : (0,09) x (12.01) = 1.08 Berdasarkan hasil estimasi di atas dapat diinterpretasikan bahwa tarif pajak memang berpengaruh positif secara signifikan terhadap besarnya underground economy. Hal ini ditunjukkan dengan Probabiliti t-stat lebih kecil dari α = 5% (0,0000 < 0,05). Nilai elastisitas 1,08 menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 persen tarif pajak rata-rata akan meningkatkan besarnya underground economy sebesar 1,08 persen. Peningkatan underground economy menciptakan masalah bagi para pembuat kebijakan terutama untuk merumuskan kebijakan fiskal dan moneter. Sektor fiskal
dihadapkan pada kondisi untuk mengamankan pembiayaan
pengeluaran pemerintah yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak. Apabila upaya pengamanan dilakukan dengan meningkatkan tarif pajak, maka dapat menimbulkan Tax Distortions (distorsi pajak), yaitu kondisi yang justru menyebabkan masyarakat tidak bergairah bekerja atau mendorongnya untuk bekerja pada aktivitas underground economy. (Blanchard, 2006). Sementara itu di sektor moneter, kehadiran underground economy dan peningkatannya yang tinggi akan menjadi tanda tanya seberapa banyak jumlah uang beredar yang dibutuhkan untuk mendapatkan pertumbuhan PDB yang lebih baik. Apabila besarnya porsi uang kartal beredar yang digunakan dalam aktivitas underground economy dapat diperkirakan (seperti dalam penelitian ini porsi uang kartal underground economy rata-rata adalah sebesar 11% - 12% dari uang kartal yang
beredar),
maka
barangkali
otoritas
moneter
dapat
lebih
memperhitungkannya dalam merumuskan kebijakan moneter secara lebih tepat.
Universitas Indonesia Estimasi underground..., Kuntarto Purnomo, FE UI, 2010.