BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1.
Evaluasi Rancangan dan Implementasi Balanced Scorecard (BSC) Dalam rangka melaksanakan evaluasi atas langkah-langkah yang telah
dilakukan oleh Departemen Keuangan (Depkeu) dalam mengembangkan konsep BSC dapat menggunakan Nine Steps to Success Framework. Pada fase pertama yakni Building The Scorecard dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Mengevaluasi Organisasi (Organizational Assessment) Tujuan jangka panjang Depkeu tertuang dalam visi dan misinya, namun untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan budaya organisasi yang mendukung karena jika tidak diperhatikan budaya organisasi justru akan menghambat perkembangan organisasi. Salah satu unsur pembentuk budaya organisasi adalah nilai-nilai inti (core values). Menurut Wirawan (2007), nilai-nilai adalah kepercayaan permanen mengenai apa yang tepat dan tidak tepat yang mengarahkan tindakan dan perilaku karyawan dalam mencapai tujuan organisasi. Nilai-nilai merupakan pembentuk ideologi yang meresap ke dalam keputusan setiap hari. Nilai-nilai juga merupakan pedoman atau kepercayaan yang dipergunakan oleh orang atau organisasi untuk bersikap jika berhadapan dengan situasi yang harus membuat pilihan. Nilai-nilai berhubungan erat dengan moral dan kode etik yang menentukan apa yang harus dilakukan. Individu dan organisasi yang mempunyai nilai kejujuran, integritas, dan keterbukaan menganggap mereka harus bertindak jujur dan berintegritas tinggi. Pada saat membuat kuesioner untuk mengukur tingkat kesiapan strategis organisasi, ternyata ditemukan bahwa secara corporate-wide atau Depkeu-Wide tidak ada core values yang dinyatakan secara tertulis yang menjadi panduan bagi pegawai Depkeu dalam berperilaku. Nilainilai inti yang dinyatakan secara tertulis hanya dimiliki oleh masing-masing unit kerja eselon 1 dibawahnya. Padahal dalam menentukan visi, misi, dan nilai-nilai inti tiap-tiap unit kerja eselon 1 seharusnya berpedoman pada visi, misi, dan nilainilai inti Depkeu-Wide. Oleh karena itu Depkeu perlu menetapkan core values
126
Universitas Indonesia
Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
127
secara tertulis yang menjadi tuntunan tindakan dan perilaku pegawai agar organisasi dapat mencapai tujuannya. Sementara itu dalam kurun waktu lima tahun (2005-2009) masa pemerintahan Presiden SBY, pada dasarnya Depkeu telah melakukan tiga proses perubahan atau penyempurnaan dalam menentukan tujuan jangka menengah dan jangka pendek. Pertama, penetapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan (Menkeu) saat itu, Jusuf Anwar, dengan menyusun suatu dokumen perencanaan departemen yang selanjutnya disebut sebagai Road-Map Depkeu tahun 2005-2009 yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 464/KMK.01/2005. Kedua, setelah Sri Mulyani ditunjuk menjadi Menkeu menggantikan Jusuf Anwar, dengan mengacu kepada RPJMN dan Road-Map disusunlah Rencana Strategis (Renstra) Depkeu yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.01/2006 yang merupakan penajaman dari RPJMN dan Road-Map. Terakhir, dalam rapat pimpinan Depkeu pada tanggal 12 Desember 2007 di Bali Menkeu Sri Mulyani memutuskan untuk menggunakan BSC sebagai sistem manajemen kinerja sekaligus sistem manajemen strategis di departemen yang dipimpinnya dalam rangka meningkatkan kinerja dan pelaksanaan strategi Depkeu yang lebih terarah. Pada kesempatan itu Menkeu mengesahkan Strategy Map Depkeu-Wide dan Scorecard dalam lima tema strategis, menetapkan Pusat Harmonisasi dan Analisis Kebijakan (Pushaka) sebagai Strategic Management Office (SMO) yaitu pengelola kinerja strategis Menkeu menuju strategic focused organization, dan menyatakan perlunya menetapkan Key Performance Indicator (KPI) Manajer di setiap unit kerja eselon 1. Sementara itu, meskipun BSC merupakan sistem manajemen kinerja yang terbukti lebih baik, namun sistem manajemen kinerja sebelumnya yang menggunakan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau LAKIP (masih bersifat tradisional) tetap berjalan paralel karena berdasarkan Inpres No. 7 Tahun 1999 setiap instansi pemerintah tetap wajib menggunakan dan melaporkannya. Dalam penyusunan Road-Map dan Renstra, Depkeu telah melaksanakan analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) sebelum menetapkan tujuan dan sasaran strategisnya. Secara eksplisit analisis SWOT
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
128
memang tidak disebut dalam dokumen Renstra Depkeu, hanya digunakan istilah atau penamaan yang berbeda. Pada dokumen Road-Map hasil analisis disebut sebagai “Kondisi dan Permasalahan”, sedangkan pada Renstra diberi judul “Identifikasi Permasalahan”. Hasil analisis keduanya tidak jauh berbeda, hanya terdapat sedikit penyempurnaan saja. Secara garis besar hasil analisis tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Tantangan dan Isu Strategis Depkeu No. Tantangan 1 Menjaga stabilitas makro Indonesia
2
3
4
1 2 3 4 5 6 Meningkatkan pertumbuhan 7 ekonomi yang berkualitas untuk kesejahteraan masyarakat 8 9 Meningkatkan pengelolaan 10 keuangan dan kekayaan negara dengan adil, transparan, dan efisien 11 12
13 Mewujudkan Departemen 14 Keuangan yang bertaraf internasional dan dapat dipercaya 15
16
Isu Strategik Kemajuan produk keuangan dan perbankan Integrasi ekonomi global Adanya trauma pasar atas krisis ekonomi Indonesia Lemahnya pengawasan dan pengaturan Pengaruh APBN terhadap ekonomi makro Liberalisasi pasar Adanya pemusatan aset pada lembaga jasa keuangan negara Penghimpunan dana dari pasar modal masih rendah dibandingkan dari perbankan Otonomi daerah Ketergantungan pembiayaan APBN pada SBN dan pinjaman luar negeri Pembayaran pajak yang belum maksimal Kejahatan finansial (pencucian uang, penipuan kredit, dll) Kekayaan negara yang sangat besar Reformasi birokrasi (Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003) dengan penerapan e-Government Kompatibilitas Depkeu dengan standar internasional (perundangan, penyusunan APBN, statistika keuangan, dll) Penyusunan kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
Sumber: Departemen Keuangan dan PT LAPI ITB, 2008
Perubahan atau penyempurnaan yang dilaksanakan Depkeu secara terus menerus tersebut bertujuan untuk mencari cara terbaik dalam menerjemahkan visi, misi, dan strateginya ke dalam tujuan operasional sehingga aktivitas yang dijalankan dapat selaras dengan strategi organisasi tersebut. Pada tahap ini, Depkeu juga diharapkan dapat memahami keinginan pelanggannya untuk setiap tema strategis. Keinginan pelanggan atau lebih tepatnya stakeholder telah diidentifikasi khususnya Tema Pendapatan Negara. Tema ini mempunyai beberapa stakeholder yakni wajib pajak, importir atau eksportir, masyarakat, dunia usaha, DPR, dan pemerintah atau departemen teknis.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
129
Aspek lain dalam tahap ini seperti pemilihan jawara BSC dan tim BSC, jadwal penyusunan BSC, komitmen pengembangan BSC, dan rencana komunikasi akan dibahas secara detail dalam karya akhir ini dengan menggunakan kerangka pemikiran Niven (2005). 2. Mendefinisikan Strategi (Define Strategies) Tema strategi (strategic theme) dapat ditentukan berdasarkan hasil analisis SWOT yang menghasilkan pengetahuan mengenai operasi internal organisasi dan pengaruh eksternal terhadap organisasi. Kemudian hasil analisis SWOT tersebut dipilah menurut fungsi-fungsi Depkeu, dan dengan bantuan GML Performance Consulting disusunlah lima tema strategi Depkeu yang terdiri dari: • Tema Pendapatan Negara (Revenue Generation Theme;) • Tema Belanja Negara (Disbursement Theme); • Tema Pembiayaan APBN (Financing Theme); • Tema Kekayaan Negara (Asset Management Theme); • Tema Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank (Capital Market and Non-Bank Financial Instituons Theme). 3. Sasaran Strategis (Objectives Strategies) Tujuan strategis dari Tema Pendapatan Negara adalah ”meningkatkan dan mengamankan pendapatan negara dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan keadilan masyarakat.” Sasaran-sasaran strategis (objectives) Tema Pendapatan Negara yang merupakan penjabaran dari tema strategi telah ditetapkan oleh Depkeu sebanyak 19 Sasaran Strategis (SS) yang detailnya dapat dilihat penjelasannya dalam Bab 3. SS disusun berdasarkan Standard Operating Procedure (SOP), Uraian Jabatan (Urjab), Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) dari masing-masing unit kerja eselon 1 yang terkait dengan tema Pendapatan Negara, sehingga ada beberapa SS yang mempunyai beberapa unit eselon 1 yang bertanggungjawab atas pencapaian KPInya (lihat tabel 4.2.). Menurut Niven (2005), BSC adalah alat untuk memberikan fokus pada organisasi, menjaga organisasi tetap terpaku pada pengendali kesuksesan yang
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
130
paling penting dan menjaga pelengkap yang lain tetap disekitar pengendali tersebut. Pemimpin yang bertindak akan berfokus pada sedikit sekali prioritas yang dapat diraih orang lain. Jika segala hal menjadi prioritas, berarti tidak ada yang menjadi prioritas. Salah satu klien terbesar Niven ternyata hanya memiliki sembilan objectives pada peta strateginya, CEO-nya bersikeras bahwa peta strategi pada dasarnya adalah suatu alat komunikasi dan karena itu harus berupa dokumen yang sederhana dan pragmatis. Oleh karena itu, secara pragmatis disarankan bahwa sebaiknya organisasi mempunyai objectives lebih sedikit lebih baik yakni berkisar antara 10 sampai 15 sasaran strategis. Berdasarkan teori tersebut, disarankan agar jumlah sasaran strategis tema Pendapatan Negara dikurangi sampai jumlah yang ideal yakni antara 10 s.d. 15 SS, sehingga Depkeu dapat menjadi organisasi yang lebih berfokus pada strategi. Sasaran strategis yang terdapat dalam Tema Pendapatan Negara sudah dibuat cukup baik, singkat, jelas dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami, sehingga tidak ada keluhan dari para anggota tim BSC. 4. Peta Strategi Organisasi Sektor Publik (Public Sector Strategy Map) Pada organisasi sektor publik, pencapaian akhir strategy map adalah misi organisasi tersebut. Depkeu telah menyusun strategy map untuk kelima tema strategi yang dimilikinya dan seluruhnya mendorong untuk terwujudnya visi dan misi Depkeu seperti diperlihatkan pada gambar 4.1. Berdasarkan pengamatan terhadap strategy map dari kelima tema strategis yang ada, ternyata terdapat sasaran-sasaran strategis yang sejenis atau tidak jauh berbeda untuk perspektif learning and growth, sehingga terjadi pengulangan penggunaan SS, terjadi sedikit perbedaan hanya karena berbeda tema strateginya saja. Selain itu satuan kerja yang bertanggung jawab (Satker PIC) pun relatif sama dan hanya sedikit perbedaan karena berbeda tema strateginya. Misalnya pada aspek Sumber Daya Manusia (SDM), untuk tema Pendapatan Negara memiliki sasaran strategis: SS.PEND.16, merekrut dan mengembangkan SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi dalam pengelolaan pendapatan negara, dengan salah satu satker PIC adalah Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) yang mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan pendidikan dan
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
131
pelatihan pegawai Depkeu. Sementara itu pada bagian yang sama, tema Belanja Negara mempunyai sasaran strategis: SS.BEL.14, merekrut dan mengembangkan SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi di bidang penganggaran dan perbendaharaan negara, dengan salah satu satu satker PIC adalah BPPK juga.
Gambar 4.1. Strategy Map Depkeu-Wide Sumber: Departemen Keuangan dan GML Performance Consulting, 2008
Adanya pengulangan sasaran strategis pada strategy map Depkeu-Wide tersebut menandakan bahwa peta strategi tersebut tidak sederhana lagi dan tidak efisien. Apalagi jika dijumlah semua sasaran strategis dari lima tema strategi yang ada akan ditemukan jumlah yang cukup besar yakni 82 SS (206 KPI). Oleh karena itu diperlukan pengurangan jumlah SS dan penyederhanaan strategy map DepkeuWide yang akan memudahkan Menkeu selaku pimpinan tertinggi untuk melakukan evaluasi kinerja secara periodik. Untuk peta strategi tema Pendapatan Negara yang ditunjukkan pada gambar 4.2, masih terdapat kekurangan yaitu tidak adanya financial perspective. Menurut hasil evaluasi dari konsultan PT LAPI ITB, ketiadaan perspektif ini mengakibatkan analisis tentang motif atau orientasi organisasi dalam berkiprah
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
132
menjadi tidak lengkap atau menjadi kabur. Sebenarnya ada cara yang lebih baik untuk memperlakukan financial perspective dalam sebuah organisasi sektor publik seperti Depkeu. Alternatif pertama, memperlakukan financial sebagai fiduciary/budget, sehingga aspek kehati-hatian dalam mengelola uang negara tersebut menjadi sangat dikedepankan. Alternatif kedua, memperlakukan financial sebagai tangible assets melengkapi intangible assets dalam learning and growth perspective (yaitu: SDM, organisasi, dan sistem informasi), sehingga aspek efektivitas pengelolaan uang akan menjadi fokus utama. Dengan demikian diperlukan
modifikasi
strategy
map
tema
Pendapatan
Negara
dengan
memasukkan financial perspective supaya lebih baik.
Gambar 4.2. Strategy Map Tema Pendapatan Negara Sumber: Departemen Keuangan dan GML Performance Consulting, 2008
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
133
Pembahasan lebih mendalam untuk strategy map akan dilanjutkan pada sub bab berikutnya. 5. Pengukuran Kinerja (Performance Measures) Dalam mengukur kinerja dari masing-masing SS perlu diidentifikasi dan ditentukan indikator atau Key Performance Indicator (KPI). Pada Tabel 4.2. ditunjukkan bahwa setiap SS memiliki Indikator Kinerja Utama (IKU) atau KPI. Tema Pendapatan Negara secara keseluruhan mempunyai 44 IKU dan 16 High Impact KPI (berwarna hijau). Setiap IKU yang ditetapkan mempunyai satker PIC yang bertanggungjawab atas pencapaian target dari masing-masing IKU tersebut. Meskipun pada SS.PEND.5. terdapat dua KPI yang terlihat semata-mata hanya untuk mengetahui dan mengukur jumlah pelaporan yang diserahkan oleh BKF yaitu 5.1. Jumlah Pelaporan Perkembangan Ekonomi Secara Reguler dan 5.2. Jumlah Pelaporan Pengaruh Perubahan Indikator Ekonomi Terhadap Pendapatan Negara, namun setelah dilakukan konfirmasi kepada pihak Pushaka ternyata kedua KPI tersebut ditujukankan untuk mengukur pemenuhan target pelaporan dalam setahun dan juga mengukur tingkat responsivitas unit kerja BKF dalam membuat pelaporan untuk setiap perubahan indikator ekonomi yang terjadi. KPI yang digunakan dalam Tema Pendapatan Negara memiliki tiga tingkatan (seperti yang ditunjukkan pada kolom ketiga), yakni: a. KPI Exact KPI Exact merupakan ukuran yang ideal untuk mengukur hasil pencapaian SS yang diharapkan (measure results). Meskipun ideal, kadang KPI Exact sulit untuk dilakukan apalagi bila pengukurannya perlu dilakukan dalam frekuensi yang tinggi (sering) karena KPI ini membutuhkan proses, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. b. KPI Proxy KPI Proxy adalah indikator yang mengukur hasil tidak secara langsung, tetapi lewat sesuatu yang mewakili hasil tersebut. KPI ini memang tidak mengukur seakurat KPI Exact tetapi lebih memungkinkan untuk dilakukan pengukurannya karena proses, waktu, dan biaya yang diperlukan tidak sekomplek KPI Exact.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
134
Tabel 4.2. Indikator Kinerja Utama Tema Pendapatan Negara SS SS. Pend. 1
SS. Pend. 2
SS. Pend. 3
SS. Pend. 4
SS. Pend. 5
SS. Pend. 6
SS. Pend. 7
SS. Pend. 8
Key Performance Indikator (KPI)
Type KPI
1.1. Rasio Penerimaan Pajak terhadap PDB (Tax Ratio) 1.2. % Pencapaian Target Pendapatan - Pendapatan Pajak - Penerimaan Bea dan Cukai - Penerimaan PNBP 1.3. Rasio Realisasi Belanja Dibandingkan dengan Tingkat Pendapatan 2.1. Indeks Kepuasan - Indeks Pelayanan Perpajakan - Indeks Pelayanan Bea dan Cukai - Indeks Pelayanan Lelang 3.1. % WP Non-filer Dibanding Total WP 3.2. % Pemblokiran Dibandingkan dengan Jumlah Perizinan 3.3. % Jumlah Cukai yang Dibayar Tepat Waktu Dibandingkan dengan Jumlah Cukai Secara Keseluruhan 4.1. % Jumlah Rekomendasi yang Menjadi Kebijakan Perpajakan 4.2. Tingkat Manfaat Ekonomi (ERR) atas Fasilitas Kebijakan Pendapatan Negara yang Dikeluarkan Sesuai Tujuan 5.1. Jumlah Pelaporan Perkembangan Ekonomi Secara Reguler 5.2. Jumlah Pelaporan Pengaruh Perubahan Indikator Ekonomi Terhadap Pendapatan Negara 5.3. % Deviasi Asumsi Makro dan Target Defisit APBN 6.1. % Jumlah Kajian yang Dilakukan Sesuai Rencana 6.2. Rata-rata % Deviasi Koreksi Proyeksi Pendapatan Negara oleh Presiden 7.1. % Realisasi dari Janji Pelayanan ke Pihak Eksternal
SS. Pend. 10 SS. Pend. 11
SS. Pend. 12
SS. Pend. 13
SS. Pend. 14 SS. Pend. 15
SS. Pend. 16
SS. Pend. 17
SS. Pend. 18
SS. Pend. 19
BKF, DJP, DJBC
Exact Exact Exact Exact
DJP, BKF DJBC, BKF DJA, BKF DJP, DJBC
Exact Exact Exact Exact Proxy Proxy
DJP DJBC DJKN DJP DJBC BKF, DJBC
Proxy Proxy
BKF, DJP BKF
Proxy Proxy
BKF BKF
Proxy Proxy Proxy
BKF BKF BKF
Activity
DJP, DJBC, DJA, DJKN
7.2. Jumlah Kantor Pajak Modern yang Terealisasi 7.3. Jumlah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang Terealisasi 7.4. Rasio Peningkatan Pendapatan Anorganik dan Pelayanan di Kantor Modern dan Kantor Utama Terhadap Belanja Barang dan Modal
Activity Activity Activity
DJP DJBC DJP, DJBC
8.1. % Jumlah Sosialisasi dan Penyuluhan Terhadap Rencana
Activity
Proxy Exact
DJP, DJBC, BKF, DJA, DJKN DJP, DJBC, BKF, SETJEN BKF DJA
Exact Exact Proxy
DJKN DJKN DJPb
Proxy
DJPb
8.2. % Jumlah Berita Negatif Dibanding Total Pemberitaan
SS. Pend. 9
Satker PIC
Exact
Proxy
9.1. % Jumlah Rekomendasi yang Menjadi Kebijakan PNBP 9.2. Waktu yang Diperlukan Untuk Memproses Administrasi Pengaturan Mengenai PNBP 10.1. % Penyelesaian Piutang Negara 10.2. Nilai Hasil Lelang Terhadap Rencana 11.1. % Penerimaan Negara dari Dana yang Idle Dibandingkan Tingkat Rata-rata Pengembalian dari Masing-masing Instrumen yang Sama 11.2. % Kesesuaian antara Penerimaan Negara Dibandingkan dengan Dokumen Pembayaran 12.1. Jumlah Perjanjian Hibah yang Tercatat dalam APBN 12.2. Nilai Hibah yang Tercatat dalam APBN 12.3. Rasio Realisasi Terhadap Rencana Perolehan Hibah 13.1. % Pertambahan Wajib Pajak 13.2. % Pemenuhan Pembetulan SPT Terhadap Jumlah Himbauan Pembetulan 14.1. Tingkat Kepatuhan Penyampaian SPT 14.2. Jumlah Importir, Eksportir, dan PPJK 15.1. % Jumlah Kasus Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai yang Diproses di Pengadilan 15.2. % Realisasi Pemeriksaan / Audit Dibandingkan dengan Rencana 15.3. % Pencairan Tunggakan Terhadap Jumlah Tunggakan Pajak, Bea Masuk, dan Cukai 16.1. % Karyawan yang Sesuai Kompetensinya dengan Kebutuhan Kompetensi Jabatan Tematik 16.2. Jam Pelatihan per Karyawan di Jabatan Tematik
Activity Exact Exact Exact Proxy
BKF, DJPU DJA, DJPU DJA, DJPU DJP DJP
Proxy Proxy Proxy
DJP DJBC DJP, DJBC, ITJEN
Activity Activity
DJP, DJBC, ITJEN DJP, DJBC
Activity
DJP, DJBC, DJA, DJKN, SETJEN, BPPK DJP, DJBC, DJA, DJKN, SETJEN, BPPK DJP, DJBC, DJA, DJKN, ITJEN DJP, DJBC, DJA, DJKN
Exact
DJP, DJBC, DJA, DJKN
18.1. Jumlah Temuan Audit di Bidang Pendapatan Negara oleh BPK, BPKP, Itjen untuk Kasus yang Sama Berdasarkan Closing Conference
Proxy
DJP, DJBC, DJKN, ITJEN
18.2. % Rekomendasi Itjen / BPK / BPKP yang Telah Ditindaklanjuti untuk Semua Temuan 19.1. Jumlah Sistem Aplikasi ICT yang Terimplementasi Sesuai Rencana
Proxy
DJP, DJBC, ITJEN
16.3. Jumlah Pegawai Bidang Pendapatan Negara yang Terkena Kasus KKN 17.1. Jumlah SOP yang Dibangun / Perbaharui di Bidang Pendapatan Negara 17.2. % Sarana dan Prasarana Terpenuhi Sesuai Rencana DIPA
Proxy Activity Proxy
Activity
DJP, DJBC, SETJEN
Sumber: Departemen Keuangan dan GML Performance Consulting, 2007
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
DJA,
135
c. KPI Activity KPI Activity adalah KPI yang mengukur jumlah, biaya, dan waktu dari kegiatan-kegiatan (measure activities) yang berdampak pada SS yang bersangkutan. Sesuai namanya aktivitas disini berarti kegiatan. Oleh karena itu, pengukurannya berfokus pada proses kegiatan semata. KPI ini lebih mudah dilakukan daripada KPI Exact dan KPI Proxy. Di samping itu, Depkeu juga menggunakan IKU berdasarkan tingkat kendali (degree of controllability) yang terdiri dari: a. High, merupakan IKU yang tingkat kontrolnya tinggi, dalam hal ini pihak yang terlibat merupakan pihak internal suatu unit yang bersangkutan. b. Moderate, merupakan IKU yang tingkat kontrolnya sedang, dalam hal ini melibatkan antara pihak internal suatu unit yang bersangkutan dan beberapa pihak luar yang dapat berpengaruh. Semisal data untuk formula IKU berasal dari kementerian atau lembaga lain. c. Low, merupakan IKU yang tingkat kontrolnya rendah, dalam hal ini banyak aspek-aspek eksternal yang sulit untuk dikendalikan (uncontrollable), misalnya IKU mengenai persepsi stakeholders. Setiap IKU yang digunakan sebagai ukuran kinerja suatu SS dibuatkan Lembaran Indikator Kinerja Strategis yang disebut juga KPI Manual, berisi informasi detail mengenai IKU tersebut seperti definisi, formula, satuan pengukuran, PIC, sumber data, dan lain-lain. Contoh lembaran indikator diperlihatkan pada gambar 4.3. Secara best practice, sebenarnya dianjurkan agar setiap SS memiliki 1 sampai 2 KPI, dan secara total sebuah peta strategi organisasi hendaknya tidak melebihi 30 KPI (Luis dan Biromo, 2007). Pembatasan ini perlu dilakukan karena jumlah KPI yang terlalu banyak malah akan membuat organisasi tidak fokus pada pencapaian SS. Sementara itu, Niven (2005) menyatakan bahwa untuk menjaga agar organisasi berfokus pada strategi, sebagian besar ahli menyarankan supaya jumlah tolok ukur berkisar antara 20 sampai 25 ukuran yang merentangkan keempat perspektif BSC. Dalam artikelnya, Baum (2002) menyebutkan jika mempunyai lebih dari 20 tolok ukur penting untuk suatu departemen, maka departemen tersebut dianggap memiliki terlalu banyak tolok ukur. Oleh karena itu
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
136
jumlah IKU pada tema Pendapatan Negara perlu dikurangi sejalan dengan pengurangan SS yang ada yakni berkisar antara 20 sampai 30 IKU karena masingmasing SS memiliki 1 sampai 2 IKU dari sejumlah SS yang ideal yaitu antara 10 sampai 15 SS seperti yang telah dinyatakan sebelumnya.
Gambar 4.3. Contoh Lembaran Indikator Kinerja Strategis Sumber: Departemen Keuangan dan GML Performance Consulting, 2007
Setelah menetapkan KPI pada masing-masing SS, setiap unit eselon 1 (satker PIC) akan menentukan target yang akan dicapai selama satu tahun. Target yang ditetapkan merupakan target incremental (tambahan) berdasarkan baseline tahun sebelumnya. Selain itu target yang dipakai juga campuran antara single target dan range target. Depkeu melaksanakan pembaharuan target setiap tahun
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
137
yang menyeimbangkan antara tantangan yang memberi inspirasi dengan realitas praktis. 6. Inisiatif (Inisiatives) Inisiatif dibutuhkan untuk mendorong dan memastikan implementasi strategi tereksekusi dengan sukses. Inisiatif dibangun setelah berakhirnya proses pembuatan scorecard. Inisiatif mewakili berbagai program, aktivitas, proyek atau tindakan tertentu akan dilakukan organisasi untuk mencapai bahkan melebihi target kinerja organisasi. Pada Depkeu-Wide tidak memiliki strategic inisiative dari setiap KPI dan target yang telah ditentukan. Menurut keterangan dari Pushaka, hal ini disebabkan Depkeu merupakan holding type organization sehingga Depkeu-Wide bersifat strategis. Dengan demikian inisiatif baru dapat ditentukan pada level Depkeu-One ke bawah yang lebih bersifat teknis. Pada fase kedua dari Nine Steps yang menekankan kepada Implementing The Scorecard dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut: 7. Automasi (Automation) Setelah melalui proses tender, automasi BSC Depkeu diputuskan menggunakan software Actuate Performancesoft Suite yang ditawarkan oleh perusahaan Actuate Solution. Software ini dipilih karena telah memenuhi kriteria yang ditetapkan dan dipakai secara luas oleh lebih dari 3.500 organisasi di seluruh dunia. Di Indonesia, organisasi yang sudah menggunakan software ini adalah KPK,
Departemen
Perindustrian,
Departemen
Perdagangan,
Departemen
Pertanian, dan BP Migas. Dari hasil wawancara dengan Tim BSC DJP dan DJBC, ditemukan kendala bahwa akses dari kantor mereka masih belum stabil karena koneksi belum bagus. Selain itu, belum diadakan pelatihan yang intensif untuk menggunakan software tersebut. 8. Menurunkan Scorecard (Cascade Scorecards Support Strategy) Setelah tugas GML Performance Consulting selesai dalam membangun BSC Depkeu-Wide, selanjutnya melalui proses tender Tim LAPI ITB ditetapkan
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
138
sebagai pemenang tender pembangunan BSC Depkeu-One (level unit kerja eselon 1) dan Depkeu-Two (level unit kerja eselon 2) atau dengan kata lain melaksanakan proses cascading. Berdasarkan BSC Development Phase yang telah dibuat secara bersama oleh Depkeu dan GML, Tim LAPI ITB telah mempelajari dan mengusulkan berbagai penyesuaian dalam rangka penguatan KPI/KPI Manual dalam Depkeu-Wide. Tim LAPI ITB membentuk tim pendamping bagi masing-masing unit kerja eselon 1 untuk bekerja secara paralel dalam proses cascading strategy map dan penyusunan KPI untuk tingkat eselon 1 dan 2. Tim ini juga menempatkan personilnya di Depkeu yang berinteraksi secara langsung dengan Pushaka sebagai SMO. DEPKEU-WIDE (DEPARTEMEN) STRATEGIS DEPKEU-ONE (UNIT ESELON I)
DEPKEU-TWO (UNIT ESELON II) TAKTIS DEPKEU-THREE (UNIT ESELON III)
DEPKEU-FOUR (UNIT ESELON IV)
OPERASIONAL
Performance Appraisal
Sistem Manajemen Kinerja Individu SDM
Gambar 4.4. Pola Cascading Sumber: Departemen Keuangan dan PT LAPI ITB, 2008
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
139
Pola cascading yang dilakukan Tim LAPI ITB diperlihatkan pada gambar 4.4. Cascading dimulai dari Depkeu-Wide dan Depkeu-One yang sifatnya lebih strategis, dilanjutkan Depkeu-Two dan Depkeu-Three yang bersifat taktis, dan berikutnya adalah Depkeu-Four yang berkaitan dengan operasional. Akhir dari proses cascading, tim ini ditargetkan dapat menyelesaikan pekerjaannya pada akhir bulan Desember 2008 dengan program kerja sebagai berikut: a. Pengembangan Visi dan Misi; b. Pengembangan Strategy Map; c. Pengembangan Strategy Objectives; d. Pengembangan IKU Strategis; e. Perincian Manual IKU Strategis; f. Pengembangan Program Kerja Strategis; g. Perincian Charter Program Kerja Strategis yang Dikaitkan dengan Anggaran; h. Penggunaan SOP dalam implementasi Sistem Manajemen Kinerja Berbasis BSC; i. Pelatihan-pelatihan yang komprehensif untuk sosialisasi dan pembangunan BSC ke semua jajaran pimpinan di Depkeu. Pada proses cascading ini penyelarasan (alignment) antara Depkeu-Wide ke Depkeu-One dan Depkeu-One ke Depkeu-Two dilakukan untuk memberikan gambaran dan informasi tentang hubungan antara level executive team, top management, dan staff. Proses penyelarasan dilaksanakan secara vertikal dan horizontal dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: a. Compatible: outcomes dari unit bawah menjadi pembentuk outcomes unit di atasnya; b. Consistent and mutually supportive: sasaran strategis sampai dengan SOP memiliki kandungan muatan yang sama dan bersifat konvergen; c. Harmony: ukuran kinerja dari unit bawah dan unit atas harus seirama dan satu makna. Untuk tema Pendapatan Negara, dilakukan wawancara dengan Tim BSC DJP dan DJBC. Tim BSC DJP menjelaskan bahwa Depkeu-One DJP telah selesai disusun oleh DJP bersama konsultan GML Performance Consulting dengan menggunakan anggaran DJP sendiri, sedangkan Depkeu-Two dibantu oleh
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
140
konsultan Tim LAPI ITB. Sementara itu, Tim BSC DJBC dalam menyusun baik Depkeu-One maupun Two dibantu oleh konsultan Tim LAPI ITB. Menurut informasi yang diperoleh dari Tim BSC DJBC, dirasakan bahwa Tim LAPI ITB kurang kompeten dalam membimbing proses cascading sehingga proses ini berjalan dengan lambat dan berakibat target waktu penyelesaiaan Desember 2008 terlampaui. Dalam mengembangkan BSC Depkeu-One dan Depkeu-Two, Tim LAPI bekerja dengan meminta masukan SS dan KPI dari unit kerja eselon 1 kemudian mereka menyusunnya dalam strategy map, padahal pekerjaan seperti ini sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh Tim BSC DJP dan DJBC. Berdasarkan informasi tersebut, maka dilakukan konfirmasi kepada Pushaka, ternyata hal tersebut dibenarkan karena Pushaka juga merasakan ketidakmampuan konsultan ini dalam menyelesaikan tugas-tugasnya dalam proses cascading. Dengan terjadinya peristiwa seperti ini, dapat dijadikan pelajaran berharga bagi Pushaka untuk lebih berhati-hati lagi dalam memilih konsultan dengan cara melakukan cek referensi lebih cermat dan lebih teliti atas pekerjaan yang pernah diselesaikan oleh konsultan tersebut sebelum ditetapkan sebagai pemenang dalam tender. 9. Evaluasi dan Perubahan (Evaluate and Change) Evaluasi yang dilaksanakan adalah hanya atas IKU-IKU yang terdapat pada Depkeu-Wide karena Depkeu-One dan Depkeu-Two belum final akibat masih adanya beberapa perubahan yang diperlukan. Tiap tiga bulan sekali dilakukan evaluasi dan sampai saat ini evaluasi sudah terlaksana sebanyak empat kali terhadap sasaran-sasaran strategis setiap tema dan targetnya. Hasil pencapaian target atas IKU kemudian dianalisis penyebab jika target tidak tercapai, sehingga dapat dicari solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut. Proses evaluasi dan review atas BSC results Depkeu merupakan double loop process artinya hasil tersebut dijadikan pembelajaran untuk melakukan improvisasi dan perbaikan-perbaikan kinerja yang diperlukan. Dalam mengevaluasi prosentase tingkat pencapaian IKU, Depkeu menggunakan sistem polarisasi (tabel 4.3.) yang terdiri dari tiga status yang ditunjukkan dengan warna merah, kuning, dan hijau berdasarkan pencapaian dari masing-masing KPI tersebut.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
141
Sistem polarisasi IKU menunjukkan ekspetasi arah nilai aktual dari IKU dibandingkan dengan nilai target. Terdapat tiga jenis polarisasi, yaitu: a. Maximize: nilai aktual / realisasi / pencapaian IKU diharapkan lebih tinggi dari target; b. Minimize: nilai aktual / realisasi / pencapaian IKU diharapkan lebih kecil dari target; c. Stabilize: nilai aktual / realisasi / pencapaian IKU diharapkan berada dalam suatu rentang nilai tertentu. Tabel 4.3. Sistem Polarisasi IKU Polarisasi Maximize Minimize Stabilize X < 80% X >120% X<80% atau X>120% 80% ≤ X < 90% atau 80% ≤ X<100% 100%<X ≤ 120% 120 ≥ X > 110% X ≥ 100% X ≤ 100% 90% ≤ X ≤110
Status Merah Kuning Hijau
Sumber: Departemen Keuangan dan PT LAPI ITB, 2008
Selain itu dalam evaluasi juga terdapat sistem pembobotan status pencapaian SS atas masing-masing KPI sebagai berikut: a. Validity (V) terbagi atas tiga tipe KPI: • Exact (E) = orientasi pada tujuan (pengukuran ideal), bobot 0.5; • Proxy (P) = leading indicators bagi exact KPI untuk mencapai tujuan, bobot 0.3; • Activity (A) = orientasi pada kegiatan, bobot 0.2. b. Controllability (C) terbagi atas tiga level: • High (H) = pencapaian target secara dominan ditentukan oleh unit yang bersangkutan, bobot 0.5; • Moderate (M) = pencapaian target juga dipengaruhi unit lain di lingkungan Depkeu dan/atau diluar Depkeu, bobot 0.3; • Low (L) = pencapaian target sangat dipengaruhi secara dominan oleh unit lain diluar Depkeu, bobot 0.2. Sebagai contoh evaluasi pencapaian IKU dapat dilihat pada tabel 4.4. yang menunjukkan capaian beberapa IKU DJP dan DJBC pada tema Pendapatan Negara selama tahun 2008.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
142
Tabel 4.4. Contoh Pengukuran Pencapaian IKU Tahun 2008 PIC
SS PEND.1.2.1.
DJP PEND.15.2.1. PEND.15.3.1. PEND.1.2.2. DJBC PEND.3.2. PEND.15.2.2.
KPI % Pencapaian Target Pendapatan Pajak % Realisasi Pemeriksaan Dibandingkan dengan Rencana % Pencairan Tunggakan Terhadap Jumlah Tunggakan % Realisasi Pencapaian Target Penerimaan Bea dan Cukai % Pemblokiran Dibanding dengan Jumlah Perijinan % Realisasi Audit DJBC Dibandingkan dengan Rencana
T/R Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi
Q1 25.13% 24.20% 15.40% 13.70% 5.00% 4.16% 25.00% 26.89% 2.50% 2.97% 25.00% 23.40%
Q2 21.38% 25.19% 14.70% 11.77% 5.00% 4.28% 25.00% 29.82% 5.00% 5.66% 25.00% 20.81%
Q3 25.13% 27.62% 28.00% 10.05% 5.00% 2.24% 25.00% 32.51% 7.50% 8.68% 25.00% 19.70%
Q4 31.45% 29.61% 11.90% 45.03% 5.00% 3.52% 25.00% 25.77% 10.00% 10.49% 25.00% 25.51%
Y-08 100.00% 106.84% 70.00% 80.56% 20.00% 14.19% 100.00% 114.99% 10.00% 10.79% 100.00% 89.42%
Sumber: Departemen Keuangan, 2009
Adapun penjelasan atas capaian IKU-IKU untuk kedua instansi tersebut adalah: a. PEND.1.2.1. Penerimaan pajak sampai dengan triwulan IV sebesar 571,101 triliun, melebihi target penerimaan tahun 2008 sebesar 534,530 triliun. Pertumbuhan penerimaan neto DJP triwulan I sebesar 52,94%, semester I sebesar 50,78% s.d. triwulan III sebesar 46,39%, dan s.d. Desember 2008 sebesar 33,99%. Sedangkan pertumbuhan penerimaan neto DJP tanpa PPh Migas berturut-turut 45,92%, 48,38%, 42,37%, dan 29,27%. Trend ini menunjukkan terjadinya perlambatan pertumbuhan penerimaan DJP sebagai akibat dari krisis keuangan global. b. PEND.15.2.1. Pemeriksaan bisa mencapai target karena (1) proses modernisasi UP2 yang telah mencakup seluruh Indonesia sehingga proses pemeriksaan di UP2 Kanwil DJP Jawa, Bali, dan Sumatera telah normal kembali, (2) penambahan jumlah fungsional pemeriksa di bulan Oktober 2008 dan adanya kebijakan terkait satuan
tugas
pemeriksaan
efektif
untuk
mempercepat
penyelesaian
pemeriksaan. c. PEND.15.3.1. Jumlah saldo tunggakan yang ada, sekitar 25-30% berkriteria macet. Pencairan digunakan (laporan rincian penambahan dan pembayaran dan KPL KW 615). Saldo akhir tahun 2007 dan awal 2008 masih belum rekonsiliasi.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
V/C Keterangan E/M
Maximize
A/H
Maximize
A/M
Maximize
E/M
Maximize
P/H
Minimize
A/H
Maximize
143
Rekomendasi perbaikan yang diberikan (1) pemetaan dan analisis jumlah tunggakan pajak berdasarkan sektor usaha yang memiliki tunggakan terbesar, umur tunggakan, kualitas tunggakan, dan jenis wajib pajak untuk prioritas tindakan penagihan, (2) membuat profil 100 besar penunggak pajak, (3) tindakan penagihan aktif untuk WP non kooperatif terutama melalui tindakan pemblokiran rekening. d. PEND.1.2.2. • Penerimaan bea masuk dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya penguatan kurs mata uang asing, volume impor, meningkatnya kepatuhan importer / PPJK terhadap peraturan, dan kualitas integritas pejabat DJBC yang membaik; • Penerimaan bea keluar pada Q4 mengalami penurunan karena menurunnya nilai ekspor CPO; • Penerimaan cukai melampaui target didorong oleh peningkatan produksi rokok. e. PEND.3.2 • Pemblokiran pada tahun 2008 melampaui prediksi sebesar 0,49%. Pemblokiran tersebut didominasi pemblokiran terhadap pengusaha BKC, Importir, dan Pengusaha Gudang Berikat; • Pemblokiran terhadap Pengusaha NPPBKC (Pabrikan Hasil Tembakau Golongan Kecil) disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah atas permintaan sendiri, terbukti melakukan tindak pidanan, dan hal-hal lain sebagaimana diatur dalam ketentuan untuk memeproleh ijin NPPBKC. f. PEND.15.2.2. Tidak tercapainya target yang telah ditetapkan dipengaruhi oleh beberapa hal: • Banyaknya permintaan audit dari unit lain, yang notabene tidak masuk ke dalam Daftar Rencana Objek Audit (DROA); • Jumlah auditor yang masih terbatas; • Anggaran / dana yang terbatas. Secara keseluruhan pencapaian IKU tema Pendapatan Negara adalah 73,44% (hijau), 12,50% (kuning), 9,38% (merah), dan 4,68% belum dapat dilaporkan pencapaiannya, sedangkan dari jumlah total IKU Depkeu-Wide
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
144
sebanyak 206 IKU pencapaiannya dapat dirinci 134 (65,05%) berwarna hijau, 26 (12,62%) berwarna kuning, 32 (15,53%) berwana merah, dan belum dapat dilaporkan pencapaianya sebanyak 14 IKU (6,80%). Hal ini menunjukkan perlunya upaya yang keras dari Depkeu untuk mengajak seluruh unit kerja eselon 1 bekerja keras memperbaiki kinerjanya dan mau menggunakan BSC sebagai sistem pengukuran kinerja. Untuk melakukan evaluasi disain dan implementasi BSC Depkeu, juga digunakan kerangka pemikiran Paul R. Niven dalam bukunya Balanced Scorecard Diagnostics yang menyarankan langkah-langkah yang dapat diterapkan organisasi jika ingin sukses mengimplementasikan BSC. Namun terdapat beberapa langkah yang sama dengan Nine Steps, oleh karena itu hanya akan dibahas langkahlangkah yang berbeda atau dibahas langkah-langkah yang sama tapi sifatnya melengkapi. Adapun langkah-langkah tersebut adalah: 1. Tahap I: First Things First a. Alasan Penggunaan BSC Suatu organisasi seharusnya memiliki alasan yang tepat untuk menerapkan BSC, sekaligus mengkomunikasikannya kepada seluruh karyawan agar mereka termotivasi untuk melakukan perubahan dengan mendukung implementasi BSC. Dalam memilih BSC sebagai management tool untuk memperbaiki kinerja departemen yang dipimpinnya, Menkeu terlebih dahulu meyakini bahwa BSC merupakan pilihan yang tepat dengan melakukan benchmarking ke negara lain yakni Singapura. BSC diharapkan dapat mempercepat program reformasi birokrasi yang sedang berjalan saat ini yang ingin melakukan perubahan pada Depkeu agar menjadi organisasi birokrasi yang lebih profesional. Kepala Pushaka sendiri menjadi Ketua Pengelola Indikator Kinerja Utama dalam Tim Reformasi Birokasi Depkeu. Dengan demikian Menkeu menyadari sepenuhnya bahwa penggunaan BSC merupakan proyek perubahan (change project) bukan hanya sekedar proyek penyusunan pengukuran kinerja. Meskipun Pushaka merasa bahwa alasan panduan dan penggunaan BSC sudah dikomunikasikan dengan baik kepada seluruh karyawan Depkeu, namun
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
145
dari hasil wawancara dengan KPI Manajer DJP dan DJBC dirasakan bahwa sebenarnya KPI Manajer tersebut kurang memahami sepenuhnya alasan panduan BSC. Hal ini berakibat kurangnya motivasi dari Tim BSC untuk menerapkan BSC yang tercermin dari masih adanya IKU Depkeu-Wide
yang berlum dapat
dilaporkan pencapaiannya sebanyak 6,8% untuk tahun 2008. b. Dukungan Eksekutif Menkeu sangat mendukung diterapkannya BSC sebagai sistem pengukuran kinerja di Depkeu. Hal tersebut juga dibenarkan oleh KPI Manajer DJP dan DJBC, mereka juga menambahkan bahwa Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai juga berkeinginan kuat agar BSC dapat diimplementasikan dengan baik di institusi masing-masing. Untuk meningkatkan komitmen semua pimpinan unit kerja eselon 1 (Sekjen/Dirjen/Kepala Badan/Irjen) dalam mendukung penerapan BSC, Depkeu menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.01/2009 tentang Kontrak Kinerja Depkeu-Wide. 2. Tahap II: Sebelum Anda Mengukur (Before You Measure) a. Pembentukan Tim BSC Untuk menyukseskan pengembangan dan implementasi BSC Depkeu, sejak awal Menkeu telah menunjuk Pusat Harmonisasi dan Analisis Kebijakan (Pushaka) sebagai Strategic Management Office (SMO) yang merupakan koordinator pengelolaan BSC Depkeu. Pushaka bertanggungjawab melakukan koordinasi tim-tim BSC di setiap unit eselon 1 yang dipimpin oleh KPI Manajernya masing-masing. Tugas KPI Manajer adalah menyiapkan KPI, melakukan validasi cara pengukuran KPI, mengelola operasional software BSC, membuat
laporan
pencapaian
KPI,
mengevaluasi
KPI
dan
melakukan
penyelarasan yang berkesinambungan dengan strategi, dan menjadi change agent untuk manajemen kinerja di satuan kerjanya. Tim BSC unit kerja eselon 1 ditunjuk oleh pimpinannya yang terdiri dari beberapa pejabat eselon 2, 3, dan 4. Untuk pekerjaan yang berkaitan dengan BSC biasanya ditangani oleh satu unit kerja eselon 3 dimana KPI Manajer dipegang oleh pejabat eselon 3 pada unit kerja tersebut. Unit kerja eselon 3 tersebut adalah Bagian Organisasi dan Tata Laksana (Ortala) yang dimiliki oleh semua unit kerja
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
146
eselon 1, yang salah satu tugas pokok dan fungsinya adalah menyiapkan bahan penyusunan prosedur dan metode kerja, monitoring, evaluasi dan pengembangan prosedur dan metode kerja, serta pengembangan kinerja organisasi. Pada unit kerja DJBC, hanya satu unit kerja eselon 3 yaitu Bagian Organisasi dan Tata Laksana (Ortala) yang ditugaskan menangani seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pengembangan dan implementasi BSC, sehingga terlihat lebih efektif dan efisien dalam hal koordinasi pekerjaan. Sementara itu, di DJP terdapat unit kerja eselon 3 lain selain Bagian Ortala yang menangani BSC yakni Sub Direktorat (Subdit) Transformasi Organisasi. Dalam pembagian tugasnya Subdit ini lebih berkonsentrasi kepada pengembangan BSC, sedangkan Bidang Ortala berfokus kepada operasional dan pelaporan hasil pengukuran kinerja menggunakan BSC. Berdasarkan hasil wawancara dengan para anggota tim BSC baik di DJP maupun DJBC, maka pada unit kerja eselon 1 untuk masa yang akan datang sebaiknya pekerjaan pengembangan dan implementasi BSC ditangani oleh satu unit kerja eselon 3 yang benar-benar berkonsentrasi mengelola BSC dengan alasan sebagai berikut: • Pada praktiknya, pekerjaan pengembangan dan implementasi BSC di unit kerja eselon 1, bukanlah satu-satunya pekerjaan yang harus di-handle oleh unit kerja eselon 3 tersebut karena masih banyak tugas rutin lain yang harus diselesaikan; • Ketika proses cascading sudah selesai dilakukan, dimana setiap pegawai telah memiliki personal scorecard, maka akan banyak pekerjaan yang berkaitan dengan BSC yang harus ditangani; • Apabila ditangani oleh satu unit kerja akan lebih mempermudah koordinasi pekerjaan; • Keanggotaan Tim BSC saat ini melekat pada suatu jabatan karena terkait dengan tugas pokok dan fungsi. Padahal seringkali terjadi pergantian pejabat karena adanya mutasi berkala. Jika BSC ditangani oleh satu unit kerja, maka dokumentasi BSC akan tersimpan dan terpusat pada satu tempat, sehingga akan mempermudah proses transfer knowledge BSC kepada pejabat yang baru. Menurut Niven (2005), setelah BSC diimplementasikan, tim BSC akan mengalami metamorfosis menjadi Kantor Manajemen Strategis (SMO). SMO
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
147
yang ada di Depkeu agak berbeda dengan yang dimaksud oleh Niven. Sejak awal Pushaka telah ditunjuk sebagai SMO yang bertanggung jawab dari pengembangan sampai dengan implementasi BSC di Depkeu. Meskipun agak berbeda dengan teori, namun kenyataannya proses pengembangan dan implementasi BSC dapat berjalan dengan baik. Tim BSC seharusnya dipimpin oleh seorang Jawara BSC (BSC Champion). Niven (2005) menjelaskan bahwa secara pragmatis, jawara BSC adalah seorang master tugas logistik dari proses yang menjadwalkan rapat, menelusuri hasilnya, memastikan distribusi materi, dan berinteraksi dengan eksekutif pendukung. Secara filosofis, jawara tersebut merupakan seorang ahli dalam masalah subyek, yang melahap literatur terbaru tentang scorecard, mengikuti seminar, membuat jaringan dengan organisasi lain, dan memastikan bahwa implementasi tersebut mengambil manfaat dari praktik terbaik yang telah terbukti. Jawara BSC di Depkeu dipegang oleh Menkeu sendiri, secara teori akan sulit sekali tugas sebagai jawara BSC dapat dipenuhi yakni menjadi master tugas logistik maupun ahli dalam subyek BSC karena sebagai Menteri tentu saja banyak tugas negara lain yang masih harus diselesaikan. Oleh karena itu, Pushaka sebagai tangan kanan Menkeu dalam mengelola BSC Depkeu telah mem-back up sepenuhnya tugas Menkeu sebagai jawara BSC. Menkeu menjadi motivator yang mendorong dengan kuat adanya rapat-rapat yang bersifat strategis dan monitoring implementasi BSC Depkeu. Sampai sejauh ini, Pushaka dapat menjalankan tugasnya tersebut dengan baik. b. Pelatihan BSC Pelatihan awal BSC sebaiknya dilaksanakan beberapa bulan sebelum pengembangan disain BSC dengan melatih sebanyak mungkin karyawan dalam suatu organisasi. Sampai sekarang Depkeu baru melakukan tiga kali pelatihan mengenai BSC tetapi sifatnya tidak menyeluruh. Pertama, bulan November 2007 yang melibatkan sebagian besar pimpinan unit eselon 1 dan beberapa eselon 2 dan 3 yang mendampingi pada saat dilakukan penyusunan peta strategi Depkeu-Wide. Kedua, diadakan workshop mengenai fungsi dan peran SMO dan KPI Manajer dalam implementasi BSC selama tiga hari tanggal 26-28 Maret 2008 yang diikuti semua KPI Manajer. Terakhir, para pejabat unit eselon 1 yang terkait dengan
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
148
proses cascading Depkeu-One dan Depkeu-Two. Oleh karena itu, pengetahuan yang baik mengenai BSC di Depkeu masih dimiliki kalangan terbatas. Depkeu perlu menyiapkan program pelatihan mengenai BSC yang menyeluruh kepada para pegawainya jika menginginkan penerapan BSC dapat berhasil dengan baik. c. Rencana Komunikasi Pushaka mengakui bahwa memang belum dilakukan rencana program sosialisasi dan internalisasi mengenai BSC secara masif dan intensif kepada seluruh pegawai Depkeu. Baru pada tahun 2009 ini akan difokuskan kepada pelaksanaan program komunikasi yang dikoordinasi oleh Pushaka yang bertujuan agar BSC dapat menjadi effectively daily management tool hingga ke level pejabat eselon 2. Selama ini sosialisasi diserahkan kepada masing-masing unit kerja eselon 1. Tim BSC DJP telah memulainya dengan menerbitkan buku Renstra yang menggunakan BSC sebagai sistem pengukuran kinerja, selain itu internalisasi melalui intranet juga telah dilakukan dengan menyebarkan Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur mengenai Renstra DJP yang berbasis BSC tersebut. Beberapa kali sosialisasi juga sudah dilakukan kepada pegawai DJP bahwa pada masa mendatang akan dilaksanakan sistem pengukuran kinerja individu. Apabila rencana komunikasi tidak digarap dengan serius maka ada potensi Depkeu akan melakukan kesalahan nomor 6 dari Six Fatal Mistakes (Baum, nd) yakni gagal melembagakan inisiatif kinerja di seluruh organisasi. d. Terminologi Daftar terminologi dibuat untuk memastikan bahwa setiap orang dalam organisasi mempunyai pengertian yang sama mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam BSC. Depkeu belum mempunyai daftar terminologi ini sehingga masih sering ditemui penggunaan istilah dalam BSC Depkeu yang tidak konsisten yang dapat membingungkan pegawai Depkeu dan tim BSC sendiri. Pushaka baru merencanakan pembuatan buku mengenai BSC sekaligus berisi istilah-istilah baku yang akan digunakan dalam implementasi BSC Depkeu. e. Rencana Implementasi Depkeu bersama konsultan BSC yang pertama yakni GML Performance Consulting telah membuat rencana komprehensif yang meliputi fase perencanaan dan fase pengembangan. Rencana komprehensif tersebut diberi nama BSC
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
149
Development Timeline yang terdiri dari lima fase dan sudah dijelaskan secara detail pada Bab 3. Meskipun setelah fase pertama GML tidak menjadi konsultan lagi, tetapi konsultan berikutnya – PT LAPI ITB – tetap menjalankan rencana yang telah dibuat tersebut. Pelaksanaan mengalami beberapa kali keterlambatan seperti pemilihan software BSC karena proses tender yang memakan waktu lama, ketidakmampuan PT LAPI ITB menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, masih ada KPI Manajer yang belum dapat menentukan KPI dan target, dan lain-lain. Keterlambatan pelaksanaan rencana ini sebaiknya dicegah supaya tidak terus terjadi karena akan menyebabkan organisasi kehilangan momentum dan semangat untuk menerapkan BSC. 3. Tahap III: Peta Strategi (Strategy Map) Pada fase pertama BSC Developmet Timeline, GML telah mengadakan lokakarya (workshop) pengembangan peta strategi Depkeu-Wide di lokasi yang mendorong refleksi, kreatifitas, dan wawasan. Lokakarya ini diikuti hampir semua pimpinan unit kerja eselon 1 Depkeu yang didampingi beberapa unit eselon 2 dan 3 yang menghasilkan peta strategi dengan lima tema strateginya. Dalam perancangan scorecard harus memperhatikan hubungan sebab akibat (cause and effect relationship) yang akan bermuara kepada objectives akhir suatu organisasi. Pada organisasi sektor publik, sasaran akhirnya adalah pencapaian misi organisasi tersebut. Menurut Kaplan dan Norton (2004) hubungan sebab akibat antara perspektif yang satu dengan yang lainnya dapat diperjelas dengan dalam suatu representasi visual yang disebut peta strategi. Peta strategi diharapkan dapat secara kreatif mengkaitkan objectives yang ada dengan cara mengungkapkan cerita strategis yang memikat yang memungkinkan semua karyawan suatu organisasi dapat memahaminya dan mendapatkan pandangan tambahan mengenai kegiatan organisasinya. Hubungan sebab akibat pada peta strategi tema Pendapatan Negara dapat dijelaskan sebagai berikut: • Learning and growth perspective merupakan perspektif paling bawah yang bertujuan untuk mempersiapkan dan mempertahankan infrastruktur sehingga dapat mendukung tercapainya tujuan perspektif di atasnya, bukan hanya pada
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
150
saat ini tapi juga pada masa yang akan datang. Perspektif ini menekankan kepada peningkatan kompetensi SDM, membangun organisasi yang modern, mewujudkan good governance, dan menciptakan sistem teknologi yang terintegrasi. Menurut Pushaka, pencapaian good governance sendiri secara implisit sebenarnya juga merupakan tujuan dari financial perspective dimana anggaran keuangan Depkeu diharapkan dapat dikelola dengan transparan, efektif, dan efisien.
TUJUAN STRATEGIS
STRATEGIC DRIVER PERSPECTIVE
STRATEGIC OUTCOMES PERSPECTIVE
MENINGKATKANDAN MENGAMANKAN PENDAPATAN NEGARA DENGAN MEMPERTIMBANGKAN PERKEMBANGAN EKONOMI DAN KEADILAN MASYARAKAT
TINGKAT PENDAPATAN YANG OPTIMAL
PERUMUSAN KEBIJAKAN
LEARNING AND GROWTH PERSPECTIVE
TINGKAT KEPERCAYAAN STAKEHOLDER YANG TINGGI
TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK YANG
PELAYANAN DAN PENGADMINISTRASIAN
PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM
ORGANISASI MODERN SDM BERINTEGRITAS DAN BERKOMPETENSI TINGGI
SISTEM TEKNOLOGI YANG TERINTEGRASI GOOD GOVERNANCE
Gambar 4.5. Cause and Effect Relationship Tema Pendapatan Negara Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
151
• Internal business process perpective diganti namanya menjadi strategic driver perpective yang terdiri dari tiga aspek yakni perumusan kebijakan, pelayanan dan pengadministrasian, pengawasan dan penegakan hukum. Perspektif ini bertujuan untuk mengidentifikasi proses kritis yang diperlukan dalam mencapai outcome yang diinginkan yaitu memenuhi harapan stakeholders. • Customer perspective diganti menjadi strategic outcomes perspective karena Depkeu tidak berhubungan dengan pelanggan dan segmen pasar. Dengan dukungan strategic driver perspective diharapkan Depkeu dapat memenuhi keinginan stakeholder yaitu tingkat kepatuhan wajib pajak dan tingkat kepercayaan stakeholder yang tinggi yang dapat mewujudkan tingkat pendapatan yang optimal. Secara sederhana, cerita strategis yang mengungkapkan cause and effect relationship antara beberapa perspektif peta strategi tema Pendapatan Negara diperlihatkan pada gambar 4.5. 4. Tahap IV: Ukuran, Target, dan Inisiatif 5. Tahap V: Melakukan Cascading untuk Mendorong Keselarasan Organisasi (Cascading the Balanced Scorecard to Drive Organizational Alignment) Tahap 4 dan 5 telah dibahas dengan memakai kerangka berpikir Nine Steps to Success Fremework. 6. Tahap VI: Keterkaitan Proses BSC yang Penting (Key Balanced Scorecard Process Linkages) a. Alokasi Sumber Daya Strategis BSC dan Pembuatan Anggaran Sistem penganggaran di Depkeu yang tadinya masih menggunakan cara tradisional secara perlahan diubah dan disesuaikan dengan perkembangan manajemen
anggaran.
Dengan
diimplementasikannya
BSC,
Depkeu
menyempurnakan sistem anggaran dengan mengintegrasikan antara BSC dengan Performance Based Budgeting (PBB) yakni mengkaitkan proses penganggaran dengan BSC. Langkah-langkah yang dilaksanakan adalah: • Pada tahap awal akan disinkronkan IKU BSC dengan PBB. IKU yang tidak dapat disinkronisasi tetap digunakan dalam pengukuran kinerja berbasis BSC;
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
152
• Direktorat Sistem Penganggaran DJA, Biro Perencanaan Keuangan Setjen, dan Pushaka akan menyusun Champion Team Integrasi BSC dengan PBB; • Champion Team melakukan reguler meeting (satu bulan sekali) membahas integrasi dan menjalankan Pilot Project dengan pengawasan DJA dan Bapppenas; • Champion team bertugas menyusun road-map implementasi PBB tahun 2009 di Depkeu dan draft manual implementasi PBB 2010; • Champion team akan memperoleh pembekalan / capacity building berupa knowledge sharing antara Tim PBB dan Tim BSC, training diberikan oleh nara sumber kompeten (TAMF-GPF Ausaid dan konsultan PT OTI). b. Mengaitkan Kinerja dengan Kompensasi Keberadaan sistem kompensasi insentif di perusahaan manapun di seluruh dunia merupakan bukti bahwa kekuatan uang adalah motivator ekstrinsik perilaku manusia. Namun sayang, Depkeu belum mengkaitkan antara pengukuran kinerja melalui BSC dengan sistem kompensasi pegawai. Padahal jika hal ini dilaksanakan, selain akan membuat pegawai ingin tahu mengenai BSC juga akan memotivasi pegawai untuk berperilaku selaras dengan strategi Depkeu. c. Corporate Governance Keinginan Depkeu untuk mewujudkan corporate governance sudah ditunjukkan dengan ditetapkannya sasaran strategis pada learning and growth perspective Tema Pendapatan Negara yakni SS.PEND.18. Mewujudkan good governance dalam pengelolaan pendapatan negara bagi stakeholders. 7. Tahap VII: Membagikan Hasil-hasil BSC (Sharing Balanced Scorecard Results) Penerapan BSC di Depkeu mendorong terciptanya rapat manajemen yang berpusat pada strategi yang diadakan per kuartal / triwulanan. Rapat ini dipimpin langsung oleh Menkeu dan dihadiri seluruh tim BSC unit kerja eselon 1 yang dipimpin oleh pejabat eselon 1 masing-masing. Dalam rapat ini setiap unit kerja eselon 1 melaporkan perkembangan pengukuran kinerja masing-masing disertai dengan penjelasan mengapa kurang / melebihi target. Adanya rapat manajemen
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
153
strategis pada level departemen ini ternyata men-drive rapat strategis di level unit kerja eselon 1. Untuk menyiapkan bahan rapat triwulanan dengan Menkeu ini, Tim BSC DJBC melaksanakan rapat strategis setiap bulan yang diipimpin langsung oleh Dirjen Bea dan Cukai. Sementara itu, untuk DJP, sebelum diterapkan BSC sudah melaksanakan rapat pimpinan rutin yang diadakan empat kali dalam setahun (triwulanan) yang dihadiri semua pejabat eselon 2 dan Dirjen Pajak, oleh karena itu untuk kepentingan pelaporan monitoring pengukuran kinerja, rapat pimpinan juga membahas hasil pengukuran BSC tersebut. Sementara itu dua kali setahun dilaksanakan workshop brainstorming renstra untuk evaluasi sekaligus mencari masukan pengembangan renstra DJP. Mulai kuartal keempat (Q4) tahun 2008, analisis dan pelaporan hasil pengukuran
kinerja
BSC
Depkeu-Wide
menggunakan
software
Actuate
Performancesoft Suite setelah sebelumnya dilaksanakan secara manual. Berdasarkan evaluasi disain dan implementasi BSC menggunakan Nine Steps to Success Framework dan Balanced Scorecard Diagnostics, bisa disimpulkan bahwa Depkeu belum melaksanakan implementasi BSC secara lengkap dan ideal karena masih ada beberapa hal yang sama sekali belum dilakukan dan masih banyak juga belum selesai dilakukan dan ideal seperti yang diharapkan dalam teori. Secara ringkas ikhtisar evaluasi dapat dilihat pada Tabel 4.5. Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa Depkeu sama sekali belum memiliki dan melakukan komponen BSC seperti nilai-nilai inti yang dinyatakan secara tertulis, rencana komunikasi, daftar terminologi, dan pengkaitan kinerja dengan kompensasi, sedangkan inisiatif memang belum ada pada DepkeuWide karena sifatnya yang strategis namun pada level Depkeu-One dan Two sudah ada. Sementara itu komponen yang belum selesai dilakukan adalah manajemen perubahan (reformasi birokrasi masih berjalan), automasi (belum ada pelatihan), proses cascading, alokasi sumber daya dan anggaran. Komponen BSC yang kurang ideal adalah alasan penggunaan BSC, pembentukan tim BSC untuk unit
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
154
kerja eselon 1, pelatihan BSC untuk seluruh pegawai, dan rencana implementasi yang masih tidak tepat waktu dilaksanakan. Untuk peta strategi, tema strategi, sasaran strategi, KPI, dan target masih kurang ideal karena Depkeu belum memiliki BSC yang streamline dan simple. Tabel 4.5. Evaluasi Komponen BSC Sukses di Departemen Keuangan
Sumber: telah diolah kembali
4.2.
Evaluasi Strategy Map Departemen Keuangan
4.2.1. Evaluasi Strategy Map Tema Pendapatan Negara Organisasi sektor publik tidak bisa lepas dari pengukuran keuangan yang terdapat pada financial perspective karena memiliki kewajiban dan tanggung
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
155
jawab atas pemakaian biaya operasional (Moore, 2002). Harapan kondisi keuangan yang sehat tentunya dapat dilihat dari akuntabilitas, transparansi, efisiensi, efektivitas, dan sebagainya. Penempatan perspektif ini tergantung pada bagaimana organisasi sektor publik tersebut memperlakukannya, yakni sebagai input atau output. Input merupakan sumber dana yang digunakan sebagai modal organisasi, sedangkan output merupakan hasil dana yang ingin didapat (outcome) oleh organisasi. Namun seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada strategy map tema Pendapatan Negara tidak terdapat financial perspective. Menurut penjelasan Pushaka, meskipun tidak disebutkan perspektif keuangan sebenarnya secara implisit terdapat pada learning and growth perpective yang terletak paling bawah pada peta strategi. Sasaran strategis yang mendukungnya adalah SS.PEND.18. yaitu mewujudkan good governance dalam pengelolaan pendapatan negara bagi stakeholder, sedangkan IKU yang digunakan ada dua yakni: • Jumlah temuan audit di bidang Pendapatan Negara oleh BPK, BPKP, Itjen untuk kasus yang sama berdasarkan closing conference; •
Persentase (%) rekomendasi Itjen / BPK / BPKP yang telah ditindaklanjuti untuk semua temuan.
Kedua IKU tersebut diatas memang menunjukkan pengukuran kinerja keuangan Depkeu berdasarkan hasil audit lembaga pengawasan keuangan eksternal yang independen yang merupakan amanat Undang-undang. Meskipun demikian, dalam praktiknya penggunaan kata good governance lebih menunjukkan kepada upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan budaya good governance pada organisasi Depkeu sehingga aspek keuangan sama sekali diabaikan dalam strategy map tema Pendapatan Negara atau dengan kata lain tidak ada financial perspective. Niven (2003) menyatakan bahwa ”No complete balanced scorecard without financial perspective”. Meskipun organisasi sektor publik meletakkan misi sebagai pencapaian akhir dan bukan financial perspective, namun perspektif ini tidak boleh ditiadakan. Setiap organisasi sektor tidak bisa lepas dari aspek keuangan, walaupun mungkin hanya sebatas mengelola anggaran keuangan yang ada. Selain berkewajiban sebagai pengelola anggaran departemennya sendiri,
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
156
Depkeu juga merupakan instansi pemerintah yang bertugas sebagai penghimpun dana dari masyarakat yang nantinya akan digunakan untuk membiayai APBN. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa aspek keuangan merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan strategy map Depkeu karena Depkeu mempunyai tugas sebagai pengelola anggaran dan sekaligus penghimpun dana. Dengan demikian, financial perspective seharusnya dimunculkan secara eksplisit pada strategy map tema Pendapatan Negara agar setiap pegawai dapat langsung mengetahui bahwa Depkeu juga melaksanakan pengukuran kinerja keuangan. Pada strategy map, perspektif ini dapat diperlakukan sebagai input dan output karena Depkeu memiliki peran sebagai penghimpun dana dan pengelola anggaran. Sementara itu mengenai letak financial perspective pada strategy map, sebaiknya financial perspective ditempatkan sejajar dan satu level dengan customer perspective pada bagian atas dan langsung di bawah misi yang ingin dicapai (Kaplan dan Norton, 2004). Namun karena pada strategy map tema Pendapatan Negara tidak terdapat customer perspective melainkan sudah diganti menjadi perspektif stakeholder atau strategic outcomes yang pada dasarnya adalah sama, maka financial perspective diletakkan sejajar dan satu level dengan perspektif tersebut. Hal ini dapat dilihat pada gambar modifikasi strategy map tema Pendapatan Negara (gambar 4.6). Rancangan strategy map yang hampir mirip dipandang dari SS yang ingin dicapai pada financial perspective dapat dilihat pada organisasi State Department of Transportation dan State of Michigan Department of The Treasury yang dijelaskan pada Bab 2, meskipun letak perspektif keuangan pada strategy map organisasi tersebut agak berbeda. Berdasarkan fungsi Depkeu sebagai penghimpun dana dan pengelola anggaran, maka dipandang perlu untuk memasukkan dua SS yang berkaitan dengan kedua fungsi tersebut pada financial perspective yaitu Meningkatkan Pendapatan Negara (SS PEND.4.) dan Mengelola Anggaran yang Efisien dan Efektif (SS PEND.5.). Pada perspektif strategic outcome tema Pendapatan Negara terdapat SS PEND.1. yaitu Tingkat Pendapatan yang Optimal, yang mempunyai tiga IKU yang selalu dimonitor yaitu: • Rasio Penerimaan Pajak terhadap PDB (Tax Ratio);
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
157
• % Pencapaian Target Pendapatan; • Rasio Realisasi Belanja Dibandingkan dengan Tingkat Pendapatan.
Gambar 4.6. Modifikasi Strategy Map Tema Pendapatan Negara Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
158
Apabila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa IKU kedua dari SS tersebut yakni % Pencapaian Target Pendapatan merupakan target sejumlah dana yang ingin dicapai oleh Depkeu dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai penghimpun dana dari masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa IKU kedua ini sebenarnya merupakan IKU pada financial perspective yang diperlakukan sebagai output (hasil dana yang ingin dicapai oleh suatu organisasi). Berdasarkan hal tersebut, maka Depkeu sebaiknya memindahkan IKU kedua tersebut menjadi salah satu IKU pada financial perspective yaitu SS PEND.4. (Meningkatkan Pendapatan Negara), sedangkan IKU pertama dan ketiga tetap menjadi IKU dari SS PEND.1. Untuk SS PEND.1. sendiri, sebaiknya tetap dipertahankan sebagai SS pada perspektif stakeholder dan lebih berfokus melakukan pengukuran kinerja dengan IKU-IKU yang menggunakan rasio-rasio yang berhubungan dengan optimalisasi pendapatan negara karena hal tersebut memang diharapkan oleh para stakeholders Depkeu.
Gambar 4.7. Modifikasi Cause and Effect Relationship Tema Pendapatan Negara Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
159
Modifikasi dengan menambahkan financial perspective yang dilakukan pada strategy map tema Pendapatan Negara ini juga berpengaruh dan mengubah visualisasi cause and effect relationship pada peta strategi tersebut. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.7.
4.2.2. Evaluasi Strategy Map Depkeu-Wide
Gambar 4.8. Executive Summary Strategy Map Sumber: Departemen Keuangan, 2009
Penggunaan SS yang sejenis dan berulang seperti telah dijelaskan sebelumnya di antara lima tema strategi yang berbeda dalam strategy map Depkeu-Wide menyebabkan ketidakefisienan. Seiring berjalannya waktu Pushaka mulai merasakan bahwa strategy map Depkeu-Wide terlalu kompleks dan kurang fokus karena banyaknya SS dan KPI yang ada terlalu banyak seperti yang
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
160
dikatakan para ahli BSC. Dalam rapat Forum Staf Ahli (FORSA) tanggal 6 Februari 2009, Menkeu berpandangan bahwa: • Perlunya pengkajian IKU Depkeu-Wide agar lebih mencerminkan kinerja riil Depkeu; • Perlunya membangun strategy focused organization yang akan men-drive 60% sampai 70% agenda Menkeu; • Perlunya membangun budaya kinerja yang tinggi di level eselon 1 dan 2 melalui monitoring pencapaian peta strategi Depkeu-Wide, One, dan Two. Hasil penyempurnaan dari Depkeu-Wide yang mencakup lima strategy map disebut sebagai Executive Summary Strategy Map (lihat gambar 4.8). Langkahlangkah yang dilaksanakan dalam pennyusunan executive summary adalah: a. Penyempurnaan peta strategi Depkeu-Wide; • Melaksanakan brainstorming untuk penyusunan executive summary untuk satu peta strategi level Menkeu melalui penggabungan SS sejenis yang berasal dari lima peta strategi Depkeu-Wide; • Adanya keterwakilan seluruh unit eselon 1 sebagai unit in charge. b. Penyusunan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan IKU yang bertujuan: • Sebagai landasan pengelolaan IKU dengan pendekatan BSC; • Sebagai pendorong internalisasi prinsip budaya manajemen kinerja tinggi. Setelah penyempurnaan selesai dilakukan dengan dibantu konsultan dari Depkeu Australia, maka hasilnya dapat diperbandingkan dalam tabel 4.6. Tabel 4.6. Perbandingan Strategy Map Depkeu-Wide Lama dan Baru Uraian
5 Strategy Map
Jumlah IKU Jumlah SS Customer Perspective Keterwakilan Tupoksi Fokus Strategi / Integrated Perspective Kemudahan Monitoring Kemudahan Link dengan PBB Kemudahan Deteksi Problem Suboptimasi
206 82 (-) (+)
Executive Summary Strategy Map 41 20 (+) (+)
(-) (-)
(+) (+)
(-)
(+)
(-)
(+)
Sumber: Departemen Keuangan, 2009
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
161
Executive Summary Strategy Map Depkeu-Wide dicantumkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.01/2009 yang mengatur Kontrak Kinerja antara Menkeu dengan semua pejabat eselon 1 atas IKU-IKU yang menjadi tanggung jawabnya.
Gambar 4.9. Modifikasi Executive Summary Strategy Map Sumber: telah diolah kembali
Meskipun demikian, peta strategi lama yang terdiri dari lima tema strategi tersebut tetap digunakan secara paralel. Tentu saja hal ini merupakan sesuatu yang tidak efisien karena melakukan pekerjaan yang sama secara berulang. Jika peta
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
162
strategi baru sudah disepakati, sebaiknya peta lama tidak usah dipakai lagi. Langkah selanjutnya melakukan penyesuaian peta strategi Depkeu-One dan Two yang sudah jadi untuk diselaraskan (aligned) dengan strategy map Depkeu-Wide yang baru (gambar 4.8). Selain itu, peta strategi yang baru juga perlu dilakukan penyempurnaan karena belum mencantumkan financial perspective seperti halnya dalam pembahasan strategy map tema Pendapatan Negara. Pada dasarnya modifikasi yang dilakukan adalah sama yaitu menempatkan financial perspective sejajar dan satu level dengan customer perspective dengan dua SS yang sama untuk mendorong tercapainya optimalisasi pendapatan negara pada perspektif stakeholder (lihat gambar 4.9.). 4.3.
Evaluasi Efektivitas Implementasi BSC Menggunakan Kerangka MBCPE untuk Mewujudkan Departemen Keuangan yang Berkinerja Unggul MBCPE, yang lebih dikenal dengan kriteria Baldrige, merupakan
manajemen penguji modern yang mampu mendeteksi efektivitas pendekatan yang ditetapkan,
kesesuaian
antara
pendekatan
atau
perencanaan
dengan
pelaksanaannya, serta dengan hasil yang diperoleh. Kriteria ini juga menguji kemampuan kelangsungan hidup dari suatu organisasi karena mengukur berdasarkan persyaratan-persyaratan kinerja unggul yang komprehensif. Kriteria Baldrige bukanlah alat (tool) atau teknik (technique), tetapi lebih merupakan state of mind-guidance (penuntun) bagi suatu organisasi untuk mencapai kinerja unggul. Kriteria Baldrige tidak secara spesifik mensyaratkan penggunaan
tool
tertentu
untuk
meningkatkan
kinerja,
tetapi
lebih
mempertanyakan efektivitas tool tersebut dalam implementasinya. Kriteria Baldrige mengarahkan kepada pembentukan budaya organisasi yang efektif dan menuntun pencapaian kinerja unggul. Berdasarkan uraian tersebut diatas, akan dilakukan evaluasi efektivitas implementasi BSC dengan menggunakan kerangka MBCPE dalam rangka ingin mengetahui kemampuan Depkeu menjadi organisasi yang berkinerja unggul. Pembahasan evaluasi menggunakan urutan tujuh kategori yang dipersyaratkan dalam kriteria Baldrige sebagai berikut:
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
163
1. Leadership Dalam kategori ini masih banyak hal yang kurang dilakukan oleh Depkeu. Secara terbuka dalam suatu wawancara pihak Pushaka mengakui memang belum berkonsentrasi mengembangkan leadership di Depkeu. Namun dengan adanya implementasi BSC secara tidak langsung aspek ini juga tersentuh, apalagi dalam organizational capital di learning and growth perspective, suatu organisasi juga harus menyiapkan para pemimpin untuk mempunyai leadership yang ideal. Dari hasil penelitian tingkat kesiapan strategis organisasi juga didapatkan data dan informasi bahwa para pemimpin Depkeu tidak melakukan dengan baik pengkomunikasian visi, misi, dan nilai-nilai inti kepada para bawahan, sedangkan komunikasi atasan dan bawahan dan dorongan dari pemimpin untuk melakukan inovasi masih mempunyai nilai rata-rata yang rendah. Selain itu, Depkeu belum mempunyai sistem kepemimpinan yang mampu menciptakan pemimpin dengan kepemimpinan yang ideal, yang ada hanya sebatas standar kompetensi untuk menduduki suatu jabatan, dan penilaian leadership seorang pejabat juga belum dilaksanakan dengan baik. Tabel 4.7. Evaluasi Kategori Leadership
No.
Sudah Kurang Belum Dilakukan Dilakukan Dilakukan
Item-item Kriteria Baldrige
1 Leadership a Menciptakan visi, misi, dan nilai-nilai organisasi b Mengkomunikasikan visi, misi, dan nilai-nilai organisasi c Menciptakan lingkungan yang mendorong pemberdayaan, inovasi, kegesitan, perilaku etis, dan pembelajaran organisasi dan pegawai d Melaksanakan komunikasi dua arah dengan seluruh pegawai dan pihak luar e Mendorong upaya fokus pada pencapaian sasaran strategis, perbaikan kinerja, dan pencapaian visi organisasi f Menyeimbangkan kebutuhan dan harapan pelanggan dan stakeholders g Mendorong upaya mewujudkan good governance h Melakukan sistem evaluasi yang fair kepada pimpinan senior i Menerapkan sistem kepemimpinan yang baik j Mendorong perilaku etis pada seluruh interaksi internal dan eksternal organisasi k Memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan komunitas penting
V V V V V V V V V V V
Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
164
2. Strategic Planning Dengan mendisain dan mengimplemantasikan BSC sebagai pengukuran kinerja sekaligus sistem manajemen strategis membuat sebagian besar kategori kedua kriteria Baldrige sudah dilakukan, meskipun pada saat ini proses cascading baru mencapai Depkeu-Two. Rencana program pengembangan SDM masih terus disempurnakan dan sosialisasi renstra dan BSC memang masih kurang dilakukan Depkeu, sedangkan analisis gap pencapaian KPI masih belum bisa dilaksanakan sepenuhnya mengingat masih ada KPI yang belum dapat diukur. Tabel 4.8. Evaluasi Kategori Strategic Planning No.
Sudah Kurang Belum Dilakukan Dilakukan Dilakukan
Item-item Kriteria Baldrige
2 Strategic Planning a Menyusun rencana strategis yang komprehensif b Menetapkan sasaran strategis c Menentukan sasaran strategis penting dan menetapkan jadwal pencapaiannya d Memperhatikan aspek inovasi dalam penetapan sasaran strategis e Menyusun action plan jangka pendek dan jangka panjang untuk menindaklanjuti renstra yang telah dibuat f Menetapkan indikator untuk mengukur efektifitas tindakan g Menyiapkan rencana penyediaan sumber daya manusia yang dapat mendukung pencapaian renstra dan rencana tindakan h Melakukan sosialisasi dan internalisasi renstra dan sistem pengukuran kinerja i Melakukan analisis gap pencapaian KPI
V V V V V V V V V
Sumber: telah diolah kembali
3. Customer Focus Tabel 4.9. Evaluasi Kategori Customer Focus No.
Sudah Kurang Belum Dilakukan Dilakukan Dilakukan
Item-item Kriteria Baldrige
3 Customer Focus a Menentukan jenis layanan yang akan diberikan b Menentukan pelanggan dan stakeholders yang harus dilayani dengan baik c Membangun sistem layanan konsumen / stakeholders yang unggul d Membangun budaya fokus kepada pelanggan dan stakeholder e Menciptakan sistem manajemen komplain yang mampu menangani keluhan dengan efektif dan efisien f Menentukan ukuran kepuasan dan loyalitas pelanggan dan stakeholders g Melakukan pengumpulan dan analisis data mengenai pelanggan dan stakeholders
V V V V V V V
Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
165
Kesadaran untuk memiliki budaya yang fokus kepada pelanggan dan stakeholders sudah cukup tinggi di Depkeu. Hal ini didukung dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa budaya Depkeu cenderung pragmatic culture yang menganggap bahwa konsumen adalah segalanya. Reformasi birokrasi punya andil yang besar dalam mewujudkan upaya untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Salah satu program yang dinilai cukup berhasil adalah program layanan unggulan yang berusaha mengubah persepsi masyarakat atas kinerja layanan publik Depkeu dengan cara membentuk Kantor Pelayanan Pajak Modern dan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Kepuasan pelanggan secara periodik juga disurvei oleh lembaga independen dan selama ini memberikan hasil yang cukup memuaskan. Depkeu juga sudah menciptakan sistem manajemen komplain dimana masyarakat dapat dengan mudah mengajukan pertanyaan atau komplain, hanya saja respon balik masih kurang dan belum seperti yang diharapkan karena membutuhkan waktu yang masih cukup lama. Oleh karena itu, untuk kategori ketiga yaitu customer focus sudah banyak ítem-item kriteria Baldrige yang dapat dipenuhi oleh Depkeu.
4. Measurement, Analysis, and Knowledge Management Tabel 4.10. Evaluasi Kategori Measurement, Analysis, and Knowledge Management
No.
Sudah Kurang Belum Dilakukan Dilakukan Dilakukan
Item-item Kriteria Baldrige
4 Measurement, Analysis, and Knowledge Management a Melaksanakan pengukuran kinerja b Melakukan evaluasi dan review hasil pengukuran kinerja c Melakukan perbaikan pengukuran kinerja d Mengelola data dan informasi dengan kualitas tinggi dan tepat waktu untuk seluruh pengguna utama e Mengelola knowledge management untuk kemajuan organisasi f Mengelola sistem teknologi informasi untuk mendukung kegiatan organisasi
V V V V V V
Sumber: telah diolah kembali
Dengan menerapkan BSC sebenarnya Depkeu sudah melaksanakan pengukuran dan analisis data yang dapat digunakan untuk peninjauan ulang
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
166
kinerja organisasi, bahan pengambilan keputusan, dan menentukan keunggulan kualitas serta keunggulan kinerja. Namun karena proses disain BSC masih belum selesai yakni baru mencapai proses cascading Depkeu-Two, maka kategori ini kurang optimal dilaksanakan oleh Depkeu. Sementara itu, untuk pengelolaan knowledge management juga masih kurang dilakukan dengan baik karena sesuai dengan hasil penelitian tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan mempunyai nilai rata-rata yang rendah.
5. Workforce Focus Tabel 4.11. Evaluasi Kategori Workforce Focus
No.
Sudah Kurang Belum Dilakukan Dilakukan Dilakukan
Item-item Kriteria Baldrige
5 Workforce Focus a Mempunyai dan menjalankan sistem manajemen pengukuran kinerja pegawai b Mengkaitkan sistem manajemen pengukuran kinerja pegawai dengan praktek kompensasi, reward, recognition, dan insentif c Mempunyai rencana suksesi kepemimpinan dan jenjang karier bagi seluruh pegawai
V V V
d Memiliki sistem kerja yang mendorong pelatihan, pendidikan untuk meningkatkan pengetahun, ketrampilan, dan cara kerja e Melakukan pengukuran terhadap pencapaian peningkatan keselamatan pegawai, keamanan, dan kesehatan pegawai f Mempunyai kebijakan peningkatan kesejahteraan, kepuasan, dan motivasi pegawai
V V V
Sumber: telah diolah kembali
Sistem pengukuran kinerja individu belum bisa dilaksanakan karena proses cascading BSC belum selesai, dan sesuai dengan pembahasan sebelumnya bahwa Depkeu belum mengkaitkan BSC dengan kompensasi, reward, recognition, dan insentif. Sementara hal-hal lain mengenai pegawai seperti pelatihan dan pendidikan, jenjang karier yang jelas, keselamatan, keamanan, kesehatan, kesejahteraan, kepuasan, dan motivasi masih terus dibenahi sehingga belum dirasakan manfaatnya oleh pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa Depkeu masih kurang fokus kepada para pegawainya sehingga kategori kelima ini masih kurang dipenuhi oleh Depkeu.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
167
6. Process Management Meskipun sebagian besar disain proses-proses utama penciptaan nilai yang berkontribusi pada pencapaian misi organisasi selesai dilakukan tapi karena proses cascading BSC belum selesai berakibat pengukuran kinerja pada proses tersebut belum bisa dilakukan, sehingga perancangan, pengimplementasian, dan perbaikan atas proses-proses tersebut kurang optimal termasuk dalam mengelola keadaan darurat. Dengan demikian kategori ini masih kurang dilakukan oleh Depkeu. Tabel 4.12. Evaluasi Kategori Process Management
No.
Belum Sudah Kurang Dilakukan Dilakukan Dilakukan
Item-item Kriteria Baldrige
6 Process Management a Mendisain proses-proses utama penciptaan nilai yang berkontribusi pada pencapaian misi organisasi b Mempunyai sistem manajemen kerja untuk menghadapi keadaan darurat c Merancang dan mengimplementasikan proses-proses penciptaan nilai yang sesuai dengan teknologi baru, pengetahuan organisasi, pengendalian biaya, produktivitas, dan faktor efisiensi dan efektivitas d Mengelola dan melakukan perbaikan proses-proses penciptaan nilai
V V
V V
Sumber: telah diolah kembali
7. Results Tabel 4.13. Evaluasi Kategori Results
No.
Sudah Kurang Belum Dilakukan Dilakukan Dilakukan
Item-item Kriteria Baldrige
7 Results a Mengukur kepuasan pelanggan dan stakeholders b Mengukur kinerja pelayanan kepada pelanggan dan stakeholders c Mengukur kinerja keuangan d Mengukur kinerja sumber daya manusia termasuk sistem kerja, pembelajaran pegawai, dan kesejahteraan serta kepuasan pegawai e Mengukur kinerja operasional termasuk produktivitas, pencapaian sasaran, dan rencana tindakan f Mengukur good governance dan hasil kepemimpinan senior yang meliputi implementasi renstra, akuntabilitas fiskal, kepatuhan hukum, perilaku etis, tanggung jawab sosial dan aktivitas penunjang komunitas
V V V V V
V
Sumber: telah diolah kembali
Depkeu belum bisa melaksanakan pengukuran kinerja secara keseluruhan mengingat proses disain dan implementasi BSC belum selesai meskipun sampai
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
168
level Depkeu-One sudah dilaporkan secara berkala. Hal ini menyebabkan pemenuhan kategori ketujuh masih kurang dilakukan. Vokurka (2004) menyatakan bahwa secara keseluruhan terdapat banyak hubungan antara perspektif BSC dengan MBCPE. MBCPE melakukan identifikasi atas proses yang diperlukan untuk perspektif BSC. MBCPE juga lebih memusatkan perhatian kepada manajemen dan perbaikan dari proses ini, sedangkan BSC hanya melakukan pengukuran saja. Oleh karena itu kategori hasil dari MBCPE dapat digunakan sebagai BSC suatu organisasi. Hasil evaluasi ini juga membuktikan bahwa BSC merupakan bagian dari MBCPE sehingga ketika BSC diimplementasikan pada suatu organisasi, maka organisasi tersebut akan mengarah kepada organisasi yang berkinerja unggul. Oleh karena itu, meskipun disain dan implementasi BSC Depkeu belum sempurna, namun Depkeu sudah on the track menuju organisasi yang memiliki kinerja unggul. Untuk kategori lain yang dipersyaratkan oleh kriteria Baldrige namun tidak tercakup dalam BSC dapat mulai dilaksanakan oleh Depkeu bersamaan dengan penyempurnaan implementasi BSC yang masih terus berlangsung. Depkeu hendaknya segera memperbaiki kekurangan yang diketahui dari evaluasi tersebut diatas, sehingga dapat segera terwujud Depkeu yang berkinerja unggul.
4.4.
Mengukur
Tingkat
Kesiapan
Strategis
(Strategic
Readiness)
Organisasi 4.4.1. Operasionalisasi Variabel Kegiatan operasionalisasi variabel merupakan semua aktivitas yang dilakukan untuk memperoleh data empiris-kuantitatif mengenai variabel tersebut, sehingga akan diperoleh spesifikasi mengenai apa yang akan diukur dan bagaimana cara mengukurnya. Berdasarkan penjelasan diatas, dilakukan pengukuran atas 4 (empat) variabel yang kemudian dijabarkan menjadi beberapa indikator yang disajikan dalam tabel 4.14.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
169
Tabel 4.14. Variabel dan Indikator Penelitian No.
Variabel
1 Culture
Sub Variabel (Dimensi)
Indikator
Proces Oriented vs Result P1 Depkeu menghargai inisiatif dan kreatifitas pegawainya dalam bekerja P2 Setiap pegawai merasa pekerjaannya menantang Oriented Culture Job Oriented vs P3 Depkeu menganggap dan memperlakukan sumber daya manusia sebagai aset yang berharga Employee Oriented dan merupakan sumber daya paling penting dibanding sumber daya modal, teknologi, gedung, Culture dan sebagainya
Profesional vs Parochial Culture Close System vs Open System Culture Tight Control vs Loose Control Culture Normative vs Pragmatic Culture
2 Leadership Fokus kepada Pelanggan
Inovasi
Hasil Kerja Meningkatkan Pemahaman Pegawai Terhadap Visi, Misi, dan Nilai Inti Pertanggungjawaban
Komunikasi
Kerjasama
3 Alignment Menciptakan Intrinsik
Motivasi
Menciptakan Eksintrik
Motivasi
Perilaku Pegawai
4 Teamwork Kerjasama dan Knowledge Berbagi Pengetahuan Sharing
P4 Pegawai lebih menghargai atasan bila atasan tersebut meminta pendapat bawahannya sebelum mengambil keputusan P5 Pegawai merasa bangga dapat bekerja dan menjadi bagian dari organisasi Depkeu P6 Pegawai merasa nyaman dan tenteram dalam bekerja, dan yakin akan terus bekerja di Depkeu P7 Depkeu melakukan perubahan dalam menghadapi tuntutan perubahan dari lingkungan luar/eksternal P8 Pegawai baru dapat dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan kerja P9 Depkeu memberikan kebebasan kepada pegawai untuk melakukan pekerjaannya dengan cara yang terbaik menurut karyawan P10 Pegawai tidak merasa perlu diarahkan dan diawasi terus agar dapat produktif bekerja P11 Depkeu menunjukkan komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat P12 Pegawai terlihat berusaha memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat P13 Atasan berusaha menjamin bahwa setiap pengambilan keputusan dalam pekerjaan selalu memperhatikan kemudahan pelayanan kepada masyarakat P14 Atasan mendorong bawahan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat P15 Atasan mendorong dan menumbuhkan pengembangan inovasi dalam penyelesaian pekerjaan P16 Atasan memberikan penghargaan kepada bawahan yang telah berhasil mengembangkan inovasi dalam pekerjaan P17 Atasan menghargai dan memuji bawahan yang kinerjanya bagus P18 Atasan memonitor bawahan dalam rangka mencapai hasil kerja terbaik P19 Atasan mengkomunikasikan visi, misi, dan nilai-nilai organisasi secara jelas dan gamblang P20 Atasan memiliki visi dan nilai-nilai yang jelas dalam melaksanakan tugas manajerial sehingga menjadi panutan bawahannya P21 Atasan memonitor bawahannya agar memiliki tanggung jawab yang baik atas pekerjaannya P22 Atasan mendorong pegawai untuk menggunakan alasan dan bukti dalam mempertanggungjawabkan pekerjaan P23 Tidak ada hambatan bagi bawahan untuk berkomunikasi secara formal maupun informal dengan atasan P24 Atasan mudah diajak berdiskusi dalam mencari solusi permasalahan dalam pekerjaan P25 Atasan menunjukkan banyak perhatian terhadap apa yang ingin dicapai pegawai P26 Atasan menunjukkan apresiasi bahwa keberhasilan merupakan hasil kerja bersama P27 Atasan dan pegawai saling membantu satu sama lain P28 Atasan mengkomunikasikan visi, nilai-nilai, kebijakan dan strategi Depkeu secara jelas dan efektif mempengaruhi perilaku para pegawai P29 Sosialisasi visi, misi, dan nilai-nilai organisasi Depkeu menggunakan sarana komunikasi yang luas seperti brosur, majalah/bulletin kantor, pertemuan informal, program orientasi dan pelatihan, intranet, program internalisasi, dll P30 Setiap pegawai dituntut menyusun sasaran kinerja individu secara periodik dan dievaluasi pencapaiannya sesuai periode yang telah ditetapkan P31 Depkeu memiliki grand scenario sasaran yang diterjemahkan ke dalam sasaran pada unit kerja yang lebih kecil dan diukur tingkat pencapaiannya dengan nilai kinerja unit P32 Pencapaian sasaran berkaitan langsung dengan imbalan baik material maupun non material kepada pegawai P33 Semua pegawai memahami visi, misi dan nilai-nilai Depkeu dan menjadi acuan perilaku P34 Semua pegawai memiliki persepsi yang cenderung seragam karena memiliki visi, misi, dan nilainilai yang dipahami bersama P35 Visi, misi, dan nilai-nilai telah membuat tujuan para pegawai selaras dengan tujuan Depkeu P36 Depkeu menanamkan pentingnya kerjasama dalam pekerjaan sebagai teamwork P37 Dalam beberapa segi masing-masing unit kerja masih menonjolkan keangkuhan sektoral dalam pekerjaan yang seharusnya diselesaikan secara bersama-sama antar unit kerja P38 Semua pegawai sering saling bertukar informasi maupun pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan P39 Depkeu menyediakan fasilitas komunikasi berupa telepon, faximile, intranet yang memudahkan pegawai dalam berbagi pengetahuan untuk menyelesaikan pekerjaan P40 Depkeu terus berusaha menyempurnakan sistem manajemen pengetahuan yang sekarang dilaksanakan melalui rapat-rapat internal dan intranet untuk memudahkan pegawai saling berbagi pengetahuan dalam penyelesaian pekerjaan
Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
170
4.4.2. Populasi dan Sampel Data yang akan dipakai dalam penelitian belum tentu merupakan keseluruhan dari suatu populasi. Hal ini patut dimengerti mengingat adanya beberapa kendala seperti misalnya kendala biaya, waktu, tenaga, dan masalah heterogenitas dan homogenitas dari elemen populasi tersebut. Dengan alasan inilah, maka dalam penelitian ini menggunakan sampel. Sampel merupakan bagian kecil dari suatu populasi, sedangkan populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas objek / subjek yang mempunyai karakteristik tertentu dan mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel (Umar,2001). Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang merupakan pegawai Depkeu yang terkait dengan Tema Pendapatan Negara. Sampel diambil dari pegawai yang bekerja di kantor pusat, kantor wilayah, dan kantor pelayanan.
4.4.3. Teknik Pengambilan Sampel Setelah jumlah sampel yang akan diambil dari populasi telah ditentukan, selanjutnya pengambilan sampel pun harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan dalam bentuk teknik sampling. Tabel 4.15. Penyebaran dan pengembalian Kuesioner Unit Kerja Jenis Kantor Eselon 1 DJP Kantor Pusat
DJBC
Nama Kantor
Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Kantor Wilayah Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar Kantor Pelayanan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Mampang Prapatan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Menteng Kantor Pusat Sekretariat Direktorat Jenderal Kantor Wilayah Kantor Wilayah DJBC Jakarta Kantor Pelayanan Kantor Pelayanan Utama Tipe A DJBC Tanjung Priok Jumlah
Jumlah Jumlah Kuesioner Kuesioner Disebarkan Dikembalikan 10
9
10
9
10
10
10
9
10
10
10
9
15 20
15 20
21
21
116
112
Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
171
Adanya keterbatasan dalam hal waktu, biaya, dan tenaga maka sampling yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling, dimana pemilihan unit sampling didasarkan pada pertimbangan atau penilaian subjektif dan tidak ada penggunaan teori probabilitas. Jenis nonprobability sampling yang digunakan adalah convenience sampling (accidental sampling). Metode ini merupakan prosedur sampling yang memilih sampel dari orang yang paling mudah ditemui. Metode ini digunakan karena keterbatasan waktu dan tenaga yang ada. Dalam penelitian ini disebarkan 116 kuesioner. Dari 116 kuesioner ini diperoleh pengembalian sebanyak 112 buah kuesioner (respon rate 96,55%) dengan proses penyebaran dan pengumpulan kuesioner memakan waktu kurang lebih tiga bulan (pertengahan Januari s.d. pertengahan April 2009) karena banyaknya kantor yang harus didatangi (lihat Tabel 4.15.). Dengan demikian, data valid yang dapat diolah untuk tahap analisis selanjutnya adalah sebanyak 112 kuesioner.
4.4.4. Profil Responden Berdasarkan 112 kuesioner yang telah dikembalikan, diperoleh profil responden seperti yang disajikan pada Tabel 4.16. yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Berdasarkan Jenis Kelamin Menurut jenis kelamin, responden didominasi oleh laki-laki sebesar 78%, sedangkan perempuan hanya 22%. b. Berdasarkan Usia Ditinjau dari segi usia, rentang usia responden terbesar adalah kelompok usia 32-39 tahun dengan jumlah prosentase 44%. Diikuti kelompok usia 26-31 tahun sebanyak 30%, usia 40-49 tahun sebesar 14%, usia 18-25 tahun 8% dan kelompok responden terkecil adalah usia 50 tahun keatas sebanyak 5%. c. Berdasarkan Masa Kerja Menurut masa kerja, responden terbesar terdapat pada kelompok masa kerja lebih dari 10 tahun sebesar 60%. Berikutnya adalah kelompok masa kerja 5-10
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
172
tahun sebesar 33% dan yang terkecil kelompok masa kerja kurang dari 5 tahun hanya sebesar 7%. Tabel 4.16. Profil Responden No. Profil Responden Jumlah Persentase 1 Jenis Kelamin a. Laki-laki 87 78% b. Perempuan 25 22% 112 100% Total 2 Usia a. 18-25 tahun 9 8% b. 26-31 tahun 33 29% c. 32-39 tahun 49 44% d. 40-49 tahun 16 14% e. 50 tahun ke atas 5 4% 112 100% Total 3 Masa Kerja a. < 5 tahun 8 7% b. 5-10 tahun 37 33% c. > 10 tahun 67 60% 112 100% Total 4 Pendidikan Terakhir a. SMU / sederajat 15 13% b. Diploma 3 11 10% c. S1 / D4 54 48% d. S2 31 28% e. S3 1 1% 112 100% Total 5 Golongan / Pangkat a. Gol II 34 30% b. Gol III 75 67% c. Gol IV 3 3% 112 100% Total 6 Unit Kerja a. Kantor Pelayanan 40 36% b. Kantor Wilayah 39 35% c. Kantor Pusat 33 29% 112 100% Total 7 Unit Kerja Eselon 1 a. DJP 56 50% b. DJBC 56 50% 112 100% Total Sumber: telah diolah kembali
d. Berdasarkan Pendidikan Terakhir Dilihat dari pendidikan terakhir yang telah ditempuh, jumlah responden paling besar memiliki pendidikan terakhir S1 atau D4 sebesar 48%. Kemudian
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
173
disusul kelompok yang berpendidikan S2 sebanyak 28%, kelompok SMU atau sederajat sebesar 13%, kelompok Diploma 3 sebesar 10%, dan kelompok berpendidikan S3 merupakan kelompok responden terkecil sebesar 1%. e. Berdasarkan Golongan/Pangkat Dari hasil pengembalian kuesioner ternyata tidak ditemukan pegawai yang mempunyai golongan I. Hal tersebut merupakan hal yang wajar karena dalam beberapa tahun belakangan ini penerimaan pegawai Depkeu hanya membuka kesempatan untuk lulusan Sarjana, selain lulusan Diploma 3 dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang direkrut tiap tahunnya. Pada saat mereka mulai bekerja golongan minimal lulusan Diploma 3 adalah golongan II, sedangkan lulusan Sarjana adalah golongan III. Berdasarkan golongan / pangkat diketahui bahwa ternyata jumlah responden terbesar adalah kelompok golongan III sebesar 67%, sementara golongan II sebesar 30%, dan yang terkecil adalah kelompok golongan IV sebesar 8%. f. Berdasarkan Unit Kerja Unit kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jenis kantor tempat pegawai Depkeu bekerja yang terdiri dari kantor pelayanan, kantor wilayah, dan kantor pusat. Sampel kuesioner sengaja diambil dengan jumlah yang seimbang untuk masing-masing kantor dengan tujuan supaya tiap jenis kantor tersebut dapat mewakili populasi. Dengan demikian, jumlah responden yang terdapat pada ketiga jenis kantor tersebut hampir sama yaitu kantor pelayanan sejumlah 36%, kantor wilayah sebanyak 35%, dan kantor pusat sebesar 30%. g. Berdasarkan Unit Kerja Eselon 1 Dalam karya akhir ini, dimaksudkan untuk meneliti unit kerja eselon 1 Depkeu yang terkait dengan Tema Pendapatan Negara. Meskipun ada beberapa unit kerja eselon 1 yang terkait dengan tema tersebut, namun dengan mengambil sampel dari unit kerja eselon 1 DJP dan DJBC sudah cukup mewakili populasi yang ada karena sebagian besar jumlah pegawai kedua instansi tersebut dominan terhadap jumlah seluruh pegawai unit kerja eselon 1 yang terkait dengan Tema Pendapatan Negara. Bahkan jumlah pegawai DJP sendiri mencapai 50% dari jumlah pegawai Depkeu secara keseluruhan. Jumlah sampel responden yang
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
174
diambil dari kedua intansi tersebut sama yaitu sebesar 50% supaya dapat mewakili populasi yang ada.
4.4.5. Pengujian Instrumen Pengumpulan Data (Kuesioner) Untuk menguji apakah instrumen pengumpulan data yang digunakan (kuesioner) sudah baik, maka dilakukan uji realibilitas dan uji validitas.
4.4.5.1. Uji Reliabilitas Reliabilitas mengacu pada suatu skala yang menghasilkan hasil yang konsisten jika dilakukan pengulangan pengukuran. Dalam penelitian ini digunakan internal consistency reliability dengan coefficient alpha atau Cronbach’s alpha di mana jika nilainya di atas 0.6 maka data yang dikumpulkan semakin dapat dipercaya (Malhotra, 2007). Pengujian reliabilitas dilakukan terhadap empat variabel dengan menggunakan program SPSS didapat hasil sebagai berikut: Tabel 4.17. Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items Variabel V1 Tingkat Kesiapan Budaya Organisasi (Culture) 0.866 12 V2 Tingkat Kesiapan Kepemimpinan (Leadership ) 0.951 15 V3 Tingkat Kesiapan Keselarasan dengan Strategi (Alignment ) 0.915 8 V4 Tingkat Kesiapan Kerjasama dan Berbagi Pengetahuan 0.715 -> 0.804 5 -> 4 (Teamwork and Knowledge Sharing ) Sumber: telah diolah kembali
Berdasarkan Tabel 4.17. diketahui bahwa keempat variabel tersebut mempunyai coefficient alpha atau cronbach’s alpha lebih besar daripada 0.6, meskipun pada variabel 4 (V4) telah dilakukan penghitungan ulang karena terdapat satu pernyataan yaitu P37 yang tidak valid yang kemudian tidak digunakan lagi dalam pengujian-pengujian statistik selanjutnya. Dengan demikian keempat variabel tersebut reliable sehingga kuesioner dapat digunakan untuk penelitian.
4.4.5.2. Uji Validitas Menurut Malhotra (2007) validitas adalah suatu alat ukur yang dapat didefinisikan sebagai perbedaan yang luas dalam skor skala observasi yang
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
175
mencerminkan perbedaan yang sebenarnya di antara karakteristik objek yang dapat diukur dibandingkan dengan sistematik atau random error. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Meteran yang valid dapat digunakan untuk mengukur panjang dengan teliti karena meteran memang alat untuk mengukur panjang. Meteran tersebut menjadi tidak valid jika digunakan untuk mengukur berat. Tabel 4.18. Item-Total Statistics Variabel Pernyataan V1
V2
V3
V4
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 P19 P20 P21 P22 P23 P24 P25 P26 P27 P28 P29 P30 P31 P32 P33 P34 P35 P36 P37 P38 P39 P40
Corrected ItemTotal Correlation 0.626 0.323 0.523 0.423 0.682 0.577 0.700 0.585 0.471 0.424 0.749 0.550 0.662 0.728 0.726 0.706 0.720 0.735 0.697 0.823 0.762 0.686 0.588 0.763 0.797 0.807 0.800 0.709 0.754 0.735 0.681 0.637 0.810 0.712 0.743 0.519 0.054 0.512 0.613 0.720
Corrected ItemTotal Correlation 0.565 0.539 0.631 0.757
Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
176
Dalam penelitian ini, uji validitas yang digunakan adalah construct validity yang dilakukan dengan factor analysis yaitu dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen dalam suatu faktor dan mengkorelasikan skor faktor dengan skor total. Jika Corrected Item-Total Correlation diatas 0.3, maka variabel tersebut valid. Pengujian validitas dilakukan terhadap seluruh pernyataan (P1 s.d. P40) yang menjabarkan keempat variabel kuesioner (lihat Tabel 4.18). Dari hasil pengujian validitas yang telah dilaksanakan, hampir seluruh pernyataan memiliki corrected item-total correlation di atas 0.3 kecuali pernyataan nomor 37 (P37) yang hanya mempunyai skor 0.054 (di bawah 0.3). Oleh karena itu P37 tidak valid dan selanjutnya dikeluarkan atau tidak digunakan lagi dalam penelitian. Kemudian terhadap semua pernyataan yang menjelaskan V4 yaitu P36, P38, P39, dan P40 dilakukan pengujian validitas ulang. Hasil dari pengujian ulang tersebut diatas 0.3 atau valid. Dengan demikian seluruh pernyataan kecuali P37 (yang sudah dikeluarkan) adalah valid sehingga dapat dipergunakan untuk penelitian. 4.4.6. Analisis Tingkat Kesiapan Strategis Organisasi Untuk mengetahui tingkat kesiapan strategis organisasi, setelah dilakukan pengujian statistik deskriptif atas 112 data kuesioner yang dikembalikan oleh responden diperoleh hasil penelitian yang dibahas di bawah ini.
4.4.6.1. Tingkat Kesiapan Budaya Organisasi (Culture) Pada pengukuran tingkat kesiapan budaya organisasi, digunakan teori dimensi budaya organisasi menurut Hofstede yang menurut hasil penghitungan statistik dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Process Oriented vs Result Oriented Culture Berdasarkan gambar 4.10. dapat dijelaskan bahwa mayoritas responden membenarkan pernyataan 1 (P1) sejumlah 55% dan P2 sejumlah 60% yang mengarah kepada dimensi budaya result oriented dengan rata-rata kedua pernyataan tersebut sebesar 3,61, sehingga dimensi budaya Depkeu lebih cenderung result oriented daripada process oriented. Dalam dimensi budaya organisasi yang result oriented, perhatian organisasi lebih ditujukan pada hasil
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
177
kegiatan ketimbang prosesnya, sehingga pegawai terbiasa penuh inisiatif dan kreatif dalam bekerja, serta pegawai berusaha secara maksimal dan menganggap setiap hari pasti ada tantangan baru.
Gambar 4.10. Process Oriented vs Result Oriented Culture Sumber: telah diolah kembali
b. Job Oriented vs Employee Oriented Culture
Gambar 4.11. Job Oriented vs Employee Oriented Culture Sumber: telah diolah kembali
Budaya Depkeu dalam dimensi job vs employee oriented tampak lebih cenderung employee oriented karena sebagian besar jawaban responden yaitu 62% untuk P3 dan 85% untuk P4 dengan rata-rata keduanya sebesar 4,11. Pada dimensi employee oriented, pegawai menginginkan agar organisasi memperhatikan
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
178
kepentingan mereka dan pegawai dilibatkan dalam pengambilan keputusankeputusan penting.
c. Professional vs Parochial Culture Untuk dimensi professional vs parochial culture, mayoritas jawaban responden sebesar 89% atas P5 dan 82% atas P6 (rata-rata kedua pernyataan 4,64), menyatakan lebih menonjol parochial culture yang berarti bahwa ketergantungan pegawai pada atasan dan organisasi cenderung sangat tinggi sehingga pegawai merasa merupakan bagian integral dari organisasi.
Gambar 4.12. Professional vs Parochial Culture Sumber: telah diolah kembali
d. Close System vs Open System Culture
Gambar 4.13. Close System vs Open System Culture Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
179
Menurut gambar 4.10 dapat dikemukakan bahwa pada dimensi budaya close vs open system, sebagian besar responden sebanyak 90% untuk P7 dan 76% untuk P8 dimana keduanya mempunyai rata-rata 4,42, menyatakan bahwa budaya Depkeu lebih terbuka. Budaya yang berdimensi open system menunjukkan bahwa para pegawainya lebih terbuka dan responsif terhadap usulan perubahan organisasi dan lebih terbuka pada pendatang baru dan orang luar.
e. Tight Control vs Loose Control Culture
Gambar 4.14. Tight Control vs Loose Control Culture Sumber: telah diolah kembali
Dalam penelitian ini terlihat bahwa dimensi budaya Depkeu lebih bersifat tight controlled karena mayoritas jawaban responden sebesar 53% atas P9 dan 52% atas P10 dengan rata-rata keduanya sebesar 3,53 memberikan jawaban yang mengarah kepada dimensi budaya tersebut. Budaya organisasi yang bersifat lebih tight controlled bercirikan cenderung menerapkan aturan-aturan yang ketat dan bahkan dalam batas-batas tertentu cenderung kaku. Biasanya jam kerja dibatasi tetap dan tidak flesibel. f. Normative vs Pragmatic Culture Pada dimensi budaya normative vs pragmatic, menurut hasil penelitian budaya Depkeu lebih berorientasi pragmatic karena sebagian besar responden yaitu 92% pada P11 dan 94% pada P12 dengan rata-rata keduanya sebesar 4,79 hampir selalu merasakan dimensi budaya tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
180
pegawai Depkeu lebih berorientasi kepada konsumen dan menganggap bahwa konsumen adalah segalanya.
Gambar 4.15. Normative vs Pragmatic Culture Sumber: telah diolah kembali
4.4.6.2. Evaluasi Komptabilitas Budaya dan Strategi Untuk mengevaluasi dan membahas mengenai komptabilitas budaya dan strategi Depkeu, akan dimulai dari pemahaman dan perilaku pegawai terhadap visi, misi, dan nilai-nilai inti organisasi. Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa pemahaman pegawai terhadap visi, misi, dan nilai-nilai inti organisasi untuk dijadikan pedoman dalam berperilaku masih cukup rendah yaitu rata-rata 3,57. Beberapa hal yang dapat dianalisis lebih jauh dari penelitian ini adalah kenyataan bahwa visi dan misi Depkeu sangat mengutamakan penguasaan teknologi, peningkatan kapabilitas organisasi, pengembangan produk layanan, integritas dan profesionalitas sumber daya manusia. Sasaran strategis Depkeu ditekankan kepada terwujudnya pengelolaan keuangan yang accountable dan sustainable yang didukung oleh pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, peningkatan mutu pelayanan masyarakat, kepastian hukum, transparansi, kredibilitas, dan profesionalisme dalam pekerjaan. Selain itu, pada saat ini Depkeu sedang giat melaksanakan perubahan yang cukup masif yang disebut reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan aparatur negara yang bersih, profesional, dan bertanggung
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
181
jawab, serta menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang prima. Namun, penelitian ini menemukan bahwa dimensi dan nilai-nilai budaya yang dianut pegawai belum mampu mendukung strategi yang dipilih Depkeu. Meskipun ada beberapa dimensi budaya sudah mendukung terwujudnya strategi, tetapi rata-rata dari dimensi dan nilai-nilai budaya tersebut masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi Depkeu belum mampu berperan sebagai alat kontrol sosial yang efektif dalam kehidupan organisasi. Dari enam dimensi budaya yang diukur melalui penelitian diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4.19. Jawaban Responden Tingkat Kesiapan Budaya Organisasi
Variabel V1
Pernyataan
Dimensi D1 Proces Oriented vs Result Oriented Culture D2 Job Oriented vs Employee Oriented Culture D3 Profesional vs Parochial Culture
D4 Close System vs Open System Culture D5 Tight Control vs Loose Control Culture D6 Normative vs Pragmatic Culture
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12
1 Tidak Pernah 1% 1% 1% 0% 0% 0% 0% 0% 4% 2% 0% 0%
Jawaban Responden 2 3 4 5 Jarang Hampir Jarang Sering Selalu Sekali 14% 30% 38% 10% 9% 31% 51% 5% 7% 30% 37% 19% 6% 9% 41% 29% 1% 10% 25% 32% 4% 15% 35% 29% 0% 10% 30% 38% 5% 19% 45% 22% 17% 32% 30% 14% 12% 38% 28% 13% 2% 6% 27% 40% 0% 6% 32% 39%
6
Rata-rata
Selalu 7% 4% 6% 15% 32% 18% 22% 9% 3% 8% 25% 22%
Rata-rata Dimensi
3.62 3.60 3.84 4.38 4.85 4.42 4.72 4.11 3.43 3.62 4.80 4.78
Sumber: telah diolah kembali
Di antara enam dimensi budaya tersebut, diketahui bahwa terdapat dua dimensi budaya yang dominan yang tidak selaras dengan strategi yang dipilih oleh Depkeu yakni parochial culture dan tight control culture yang diuraikan lebih mendetail dibawah ini. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa ternyata masih banyak pegawai yang merasa nyaman dan tenteram dalam bekerja dan yakin akan terus bekerja di Depkeu. Selain itu, mereka juga bangga dapat bekerja dan menjadi pengawai negeri sipil di Depkeu. Hal ini berakibat baik di dalam maupun di luar organisasi,
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
3.61 4.11 4.64 4.42 3.53 4.79
182
perilaku mereka hampir tidak ada bedanya. Semuanya dipengaruhi oleh normanorma yang berlaku di dalam organisasi. Semuanya ini menunjukkan bahwa dimensi budaya Depkeu lebih cenderung parochial culture. Padahal berdasarkan strategi terpilih seharusnya dimensi budaya yang terbentuk lebih berorientasi professional culture, dimana pegawai merasa bahwa kehidupan pribadi adalah urusan mereka sendiri, dan alasan sebuah organisasi merekrut mereka adalah semata-mata karena kompetensi dan jika mereka menganggap bahwa organisasi tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, baik dalam hal personal development, professional development, dan career development, maka karyawan dengan sukarela akan memilih organisasi lain yang sekiranya bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut . Dimensi budaya lain yang dirasakan masih belum mendukung adalah tight control culture dimana pegawai merasa perlu diarahkan dan diawasi terus agar dapat produktif bekerja, selain itu pegawai juga merasa bahwa Depkeu kurang memberikan kebebasan kepada mereka dalam melakukan pekerjaan dengan cara yang terbaik menurut mereka sendiri. Dalam dimensi budaya ini organisasi cenderung menerapkan aturan-aturan yang ketat dan bahkan dalam batas-batas tertentu cenderung kaku. Padahal berdasarkan strategi yang dipilihnya, Depkeu diharapkan mempunyai budaya yang lebih berorientasi loose control culture. Pada dimensi budaya ini, organisasi seolah-olah tidak memiliki alat kendali dan tata aturan formal yang memungkinkan organisasi tersebut bisa mengendalikan orangorang yang bekerja di dalamnya. Kalaulah ada alat kendali, paling-paling berupa konvensi yang secara sosial dan moral bisa mengikat mereka sebagai alat kendali. Akibatnya secara operasional, setiap orang hampir tidak ada yang peduli dengan biaya, target waktu hampir tidak terpenuhi dan sebagian orang bekerja dengan santai. Namun bukan berarti organisasi dengan loose control bisa disebut organisasi yang tidak efektif. Sebaliknya jika konvensi bisa berjalan dengan baik justru organisasi semacam ini biasanya memiliki kinerja yang lebih baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat kesiapan budaya organisasi Depkeu dalam mengimplementasikan BSC adalah cukup siap, meskipun masih ada dua hal penting yang perlu dibenahi segera. Pertama, mengubah budaya yang belum selaras dengan strategi yaitu parochial culture
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
183
menjadi professional culture dan tight control culture menjadi loose control culture. Kedua, meningkatkan nilai rata-rata budaya organisasi yang sudah selaras dengan strategi dengan cara melakukan sosialisasi dan internalisasi visi, misi, nilai-nilai inti, dan komponen budaya Depkeu yang lain dengan lebih intensif sehingga dapat dijadikan pedoman pegawai dalam berperilaku.
4.4.6.3. Evaluasi Manajemen Budaya Hal lain yang perlu dibenahi di Depkeu adalah secara garis besar Depkeu dapat dikatakan belum memiliki suatu manajemen budaya yang baku. Hal ini ditunjukkan dari tidak dimilikinya core values untuk Depkeu sebagai holding organization. Padahal core values merupakan elemen budaya organisasi yang sangat penting yang mendorong para pegawai Depkeu untuk berperilaku selaras dengan strategi yang dipilih. Oleh karena Depkeu belum memiliki suatu manajemen budaya yang baku dan terstruktur, proses institusionalisasi visi dan strategi di Depkeu sangat mengandalkan aspek komunikasi semata. Visi dan misi berusaha dikomunikasikan kepada semua pegawai. Langkah yang telah dilakukan Depkeu sejauh ini belum mencerminkan pendekatan seperti yang dikemukakan Kotter dan Hesket (1992). Apabila dipandang dari pendekatan Pierce dan Robinson (1991), Depkeu berada pada kuadran 3. Depkeu berusaha melakukan beberapa perubahan organisasi untuk mengimplementasikan strategi. Tetapi perubahan tersebut secara potensial tidak konsisten dengan budaya organisasi yang ada. Dengan demikian Depkeu perlu melakukan implementasi manajemen budaya organisasi yang terencana dengan baik. Implementasi ini membutuhkan komitmen yang kuat dari pimpinan Depkeu. Pimpinan puncak tidak hanya sebagai motivator tetapi juga harus mampu member contoh bagi pegawai agar proses implementasi budaya berjalan sesuai dengan rencana. Satu contoh bagus telah ditunjukkan DJP yang baru saja selesai mendefinisikan core values dan sekarang sedang gencar melakukan sosialisasi dan internalisasi ke seluruh pegawainya.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
184
4.4.6.4. Tingkat Kesiapan Kepemimpinan (Leadership) Pada pengukuran tingkat kesiapan kepemimpinan, dikembangkan kuesioner berdasarkan teori kepemimpinan transformatif yang ditulis Kaplan dan Norton (2004) dalam artikel berjudul Measuring the Strategic Readiness of Intangible Assets. Setelah dilakukan pengujian statistik deskriptif diperoleh hasil sebagai berikut: a. Fokus kepada Pelanggan
Gambar 4.16. Fokus kepada Pelanggan Sumber: telah diolah kembali
Menurut hasil penelitian dari gambar 4.16. diketahui bahwa mayoritas responden yaitu 84% hampir selalu menjumpai atasan berusaha menjamin bahwa setiap pengambilan keputusan dalam pekerjaan selalu memperhatikan kemudahan pelayanan kepada masyarakat, dan 90% hampir selalu melihat atasan mendorong bawahan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Kedua pernyataan (P13 dan P14) mempunyai rata-rata 4,47 sehingga dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan di Depkeu lebih berorientasi untuk fokus kepada pelanggan. b. Inovasi Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar pegawai Depkeu sebanyak 75% sering menemui bahwa atasan mendorong dan menumbuhkan pengembangan inovasi dalam penyelesaian pekerjaan, namun hanya 41% yang memberikan penghargaan kepada bawahan yang telah berhasil mengembangkan
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
185
inovasi dalam pekerjaan. Dengan rata-rata 3,84 untuk pernyataan P15 dan P16, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan di Depkeu cenderung mendorong adanya inovasi dalam pekerjaan.
Gambar 4.17. Inovasi Sumber: telah diolah kembali
c. Hasil Kerja Menurut penelitian mayoritas responden sejumlah 62% sering menjumpai atasan menghargai dan memuji bawahan yang kinerjanya bagus, sedangkan 77% sering melihat atasan memonitor bawahan dalam rangka mencapai hasil kerja yang terbaik. Rata-rata pernyataan P17 dan P18 adalah 3,92 sehingga dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan di Depkeu cenderung mewujudkan hasil kerja / kinerja bawahan menjadi lebih baik.
Gambar 4.18. Hasil Kerja Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
186
d. Meningkatkan Pemahaman Pegawai Terhadap Visi, Misi, dan Nilai Inti Dari hasil penelitian, diketahui bahwa sebagian besar responden sebesar 55% jarang menjumpai atasan mengkomunikasikan visi, misi, dan nilai-nilai organisasi secara jelas dan gamblang, namun sebesar 52% responden sering melihat atasan memiliki visi dan nilai-nilai yang jelas dalam melaksanakan tugas manajerial sehingga menjadi panutan bawahannya. Berdasarkan rata-rata pernyataan P19 dan P20 sebesar 3,48 dapat dibuat kesimpulan bahwa kepemimpinan Depkeu kurang berorientasi kepada peningkatan pemahaman pegawai terhadap visi, misi, dan nilai inti Depkeu.
Gambar 4.19. Meningkatkan Pemahaman Pegawai Terhadap Visi, Misi, dan Nilai Inti Sumber: telah diolah kembali
e. Pertanggungjawaban Hasil penelitian memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai Depkeu sebanyak 79% sering menemui bahwa atasan memonitor bawahannya agar memiliki tanggung jawab atas pekerjaannya, sedangkan sebesar 77% sering menjumpai atasan mendorong bawahan untuk menggunakan alasan dan bukti dalam mempertanggungjawabkan pekerjaan. Dari rata-rata kedua pernyataan tersebut (P21 dan P22) sebesar 4,08 dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan di Depkeu berorientasi menciptakan pertanggungjawaban yang baik para bawahan atas pekerjaannya.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
187
Gambar 4.20. Pertanggungjawaban Sumber: telah diolah kembali
f. Komunikasi Dilihat dari hasil penelitian bisa diketahui bahwa ternyata sebagian besar responden sebesar 74% hampir selalu menjumpai bahwa tidak ada hambatan bagi bawahan untuk berkomunikasi secara formal maupun informal dengan atasan, sementara itu 73% responden hampir selalu menemui bahwa atasan mudah diajak berdiskusi dalam mencari solusi permasalahan dalam pekerjaan. Nilai rata-rata dari pernyataan P23 dan P24 adalah 4,23 sehingga dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan di Depkeu cenderung mudah diajak berkomunikasi oleh bawahan.
Gambar 4.21. Komunikasi Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
188
g. Kerjasama Hasil penelitian memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai Depkeu sebesar 56% sering menemui atasan menunjukkan banyak perhatian terhadap apa ingin dicapai bawahan, 69% sering melihat atasan menunjukkan apresiasi bahwa keberhasilan merupakan hasil kerja bersama, dan 79% hampir selalu menjumpai atasan dan bawahan saling membantu satu sama lain. Hal ini diperkuat dengan nilai rata-rata pernyataan P25, P26, dan P27 mencapai 4,04 sehingga dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan di Depkeu cenderung meningkatkan kerjasama dalam bekerja.
Gambar 4.22. Kerjasama Sumber: telah diolah kembali
Berdasarkan
keseluruhan
analisis
pada
variabel
tingkat
kesiapan
kepemimpinan (leadership) diketahui bahwa nilai rata-rata pada dimensi fokus kepada pelanggan, inovasi, hasil kerja, pertanggungjawaban, komunikasi, dan kerjasama diatas 3,5, sedangkan dimensi meningkatkan pemahaman pegawai kepada visi, misi, dan nilai inti dibawah 3,5. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pegawai Depkeu tidak mempunyai kesiapan kepemimpinan hanya pada dimensi meningkatkan pemahaman pegawai kepada visi, misi, dan nilai inti.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
189
Tabel 4.20. Jawaban Responden Tingkat Kesiapan Kepemimpinan Variabel V2
D7 D8 D9 D10 D11 D12 D13
1 Dimensi Pernyataan Tidak Pernah Fokus kepada Pelanggan P13 2% P14 1% Inovasi P15 0% P16 2% Hasil Kerja P17 1% P18 1% Meningkatkan Pemahaman Pegawai P19 5% Terhadap Visi, Misi, dan Nilai Inti P20 3% Pertanggungjawaban P21 0% P22 2% Komunikasi P23 0% P24 1% Kerjasama P25 2% P26 2% P27 2%
Jawaban Responden 2 3 4 5 Jarang Hampir Jarang Sering Sekali Selalu 1% 14% 43% 28% 2% 7% 38% 30% 4% 21% 42% 22% 8% 49% 23% 13% 6% 30% 43% 14% 5% 17% 49% 21% 14% 36% 29% 11% 13% 32% 35% 13% 6% 14% 57% 13% 2% 20% 46% 21% 2% 24% 31% 32% 4% 22% 32% 31% 11% 31% 33% 16% 5% 26% 30% 28% 2% 18% 38% 24%
6
Rata-rata
Selalu 13% 22% 11% 5% 5% 7% 5% 5% 9% 10% 11% 10% 7% 11% 17%
4.31 4.62 4.15 3.53 3.79 4.04 3.41 3.54 4.04 4.12 4.26 4.19 3.72 4.09 4.31
Sumber: telah diolah kembali
4.4.6.5. Tingkat Kesiapan Keselarasan dengan Strategi (Alignment) Dalam mengukur tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi (alignment), dikembangkan kuesioner dengan berpedoman kepada artikel Kaplan dan Norton (2004) yang berjudul Measuring the Strategic Readiness of Intangible Assets. Setelah dilakukan pengujian statistik deskriptif diperoleh hasil sebagai berikut: a. Menciptakan Motivasi Intrinsik
Gambar 4.23. Menciptakan Motivasi Intrinsik Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
Rata-rata Dimensi 4.47 3.84 3.92 3.48 4.08 4.23 4.04
190
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pegawai Depkeu sebanyak 52% sering menjumpai bahwa atasan mengkomunikasikan visi, nilainilai, kebijakan dan strategi Depkeu secara jelas dan efektif mempengaruhi perilaku para pegawai, sedangkan 67% sering mendengar adanya sosialisasi visi, misi, dan nilai-nilai organisasi Depkeu menggunakan sarana komunikasi yang luas seperti brosur, majalah / bulletin kantor, pertemuan informal, program orientasi dan pelatihan, intranet, program internalisasi, dll. Kedua pernyataan (P28 dan P29) memiliki nilai rata-rata 3,72, sehingga dapat disimpulkan bahwa Depkeu berorientasi untuk menciptakan motivasi intrinsik pegawainya dalam rangka mewujudkan keselarasan dengan strategi. b. Menciptakan Motivasi Ekstrinsik
Gambar 4.24. Menciptakan Motivasi Ekstrinsik Sumber: telah diolah kembali
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa mayoritas responden sebanyak 54% sering menjumpai bahwa setiap pegawai dituntut menyusun sasaran kinerja individu secara periodik dan dievaluasi pencapaiannya sesuai dengan periode yang telah ditetapkan, 74% sering memperhatikan bahwa Depkeu memiliki grand scenario sasaran yang diterjemahkan ke dalam sasaran pada unit kerja yang lebih kecil dan diukur tingkat pencapaiannya dengan nilai kinerja unit, namun 56% jarang melihat bahwa pencapaian sasaran berkaitan langsung dengan imbalan baik material maupun non material kepada pegawai. Ketiga pernyataan P30, P31, dan P32 mempunyai nilai rata-rata 3,70, oleh karena itu dapat
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
191
disimpulkan bahwa Depkeu cenderung menciptakan motivasi ekstrinsik pegawainya dalam rangka mewujudkan keselarasan dengan strategi. c. Perilaku Pegawai
Gambar 4.25. Perilaku Pegawai Sumber: telah diolah kembali
Menurut hasil penelitian diketahui bahwa sebagian responden sebesar 52% sering menemui bahwa semua pegawai memahami visi, misi, dan nilai-nilai Depkeu dan menjadi acuan perilaku, 60% sering melihat semua pegawai memiliki persepsi yang cenderung seragam karena memiliki visi, misi, dan nilai-nilai yang dipahami bersama, dan 63% sering menjumpai visi, misi, dan nilai-nilai telah membuat tujuan para pegawai selaras dengan tujuan Depkeu. Berdasarkan nilai rata-rata sebesar 3,75 dari ketiga pernyataan P33, P34, dan P35 dapat dibuat kesimpulan bahwa pegawai Depkeu cenderung berperilaku selaras dengan strategi karena memiliki pemahaman yang sama atas visi, misi, dan nilai-nilai inti. Dari hasil seluruh analisis atas variabel tingkat kesiapan keselarasan strategi, dapat dikemukakan bahwa dimensi perilaku pegawai mempunyai nilai rata-rata paling tinggi diantara dua dimensi yang lain. Berdasakan nilai rata-rata ketiga dimensi tersebut dapat disimpulkan bahwa Depkeu mempunyai kesiapan keselarasan strategi untuk semua dimensi yang terdiri dari dimensi menciptakan motivasi intrinsik, menciptakan motivasi ekstrintrik, dan perilaku pegawai.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
192
Namun tingkat kesiapan ini masih harus terus diupayakan untuk ditingkatkan karena nilai rata-rata keseluruhan masih rendah (kurang lebih 3,70). Tabel 4.21. Jawaban Responden Tingkat Kesiapan Keselarasan dengan Strategi
Variabel
Dimensi
V3 D14 Menciptakan Motivasi Intrinsik D15 Menciptakan Motivasi Eksintrik
D16 Perilaku Pegawai
Jawaban Responden 1 2 3 4 5 6 Rata-rata Pernyataan Rata-rata Hampir Tidak Jarang Dimensi Selalu Jarang Sering Selalu Pernah Sekali P28 5% 8% 35% 35% 11% 6% 3.56 3.72 P29 2% 8% 23% 41% 21% 5% 3.87 P30 5% 13% 28% 32% 13% 9% 3.62 P31 3% 5% 19% 39% 19% 16% 4.15 3.70 P32 5% 20% 32% 30% 9% 5% 3.33 P33 3% 12% 34% 34% 13% 5% 3.57 P34 3% 11% 27% 38% 13% 8% 3.73 3.75 P35 1% 6% 30% 35% 19% 10% 3.94
Sumber: telah diolah kembali
4.4.6.6. Tingkat Kesiapan Kerjasama (Teamwork) dan Berbagi Pengetahuan (Knowledge Sharing) Untuk mengukur tingkat kesiapan kerjasama (teamwork) dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing), dikembangkan kuesioner berdasarkan kepada artikel Kaplan dan Norton (2004) yang berjudul Measuring the Strategic Readiness of Intangible Assets. Setelah dilakukan pengujian statistik deskriptif diperoleh hasil sebagai berikut: a. Kerjasama Menurut hasil penelitian, sebagian besar responden sebesar 81% hampir selalu merasakan Depkeu menanamkan pentingya kerjasama dalam pekerjaan sebagai teamwork. Dengan nilai rata-rata 4,35 atas pernyataan P36, maka dapat disimpulkan bahwa Depkeu berorientasi mewujudkan kerjasama antar pegawai dalam penyelesaian pekerjaan.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
193
Gambar 4.26. Kerjasama Sumber: telah diolah kembali
b. Berbagi Pengetahuan
Gambar 4.27. Berbagi Pengetahuan Sumber: telah diolah kembali
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa mayoritas responden sebanyak 72% sering menemui semua pegawai sering saling bertukar informasi maupun pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan, 85% hampir selalu memperhatikan bahwa Depkeu menyediakan fasilitas komunikasi berupa telepon, faximile, intranet yang memudahkan pegawai dalam berbagi pengetahuan untuk menyelesaikan pekerjaan, dan 85% hampir selalu merasakan Depkeu terus berusaha menyempurnakan sistem manajemen pengetahuan yang sekarang dilaksanakan melalui rapat-rapat internal dan intranet untuk memudahkan
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
194
pegawai saling berbagi pengetahuan dalam penyelesaian pekerjaan. Dari nilai rata-rata 4,39 atas pernyataan P38, P39, dan P40 dapat ditarik kesimpulan bahwa Depkeu cenderung mendukung para pegawai untuk saling berbagi pengetahuan dalam penyelesaian pekerjaan. Menurut hasil keseluruhan analisis atas variabel tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan, dapat diungkapkan bahwa nilai rata-rata dari kedua dimensi hampir sama yakni dimensi kerjasama sebesar 4,35 dan dimensi berbagi pengetahuan 4,39. Berdasakan nilai rata-rata kedua dimensi tersebut dapat disimpulkan bahwa Depkeu mempunyai kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan untuk semua dimensi, meskipun masih perlu ditingkatkan. Tabel 4.22. Jawaban Responden Tingkat Kesiapan Kerjasama dan Berbagi Pengetahuan
Variabel
Dimensi
V4 D17 Kerjasama D18 Berbagi Pengetahuan
Jawaban Responden 1 2 3 4 5 Pernyataan Tidak Jarang Hampir Jarang Sering Selalu Pernah Sekali P36 2% 5% 12% 38% 23% P38 0% 5% 22% 41% 26% P39 1% 4% 12% 30% 30% P40 1% 5% 9% 32% 31%
6
Rata-rata
Selalu 20% 5% 25% 22%
4.35 4.04 4.58 4.55
Sumber: telah diolah kembali
4.4.6.7. Evaluasi Nilai Rata-rata Tingkat Kesiapan Strategis Organisasi Dari hasil análisis atas semua variabel dari tingkat kesiapan strategis organisasi, diketahui bahwa nilai rata-rata masing-masing variabel sebagai berikut: Tabel 4.23. Nilai Rata-rata Tingkat Kesiapan Strategis Organisasi Variabel Rata-rata V1 4.18 V2 4.01 V3 3.72 V4 4.37 Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
Rata-rata Dimensi 4.35 4.39
195
Untuk mengukur tingkat kesiapan budaya organisasi (V1), penggunaan nilai-rata-rata kurang tepat digunakan terutama pada dimensi budaya yang tidak selaras dengan strategi karena dapat memberikan hasil yang kurang tepat. Oleh karena itu, nilai rata-rata keseluruhan untuk pengukuran tingkat kesiapan budaya organisasi tidak dapat diperbandingkan dengan yang lain. Dengan demikian dari ketiga variabel sisanya (V2, V3, dan V4) dapat dikatakan bahwa V4 memiliki nilai yang paling tinggi artinya Depkeu memiliki tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan yang paling baik di antara yang lain. Meskipun secara keseluruhan nilai rata-rata dari tingkat kesiapan strategis organisasi masih kurang memuaskan karena memiliki nilai rata-rata yang rendah. Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya pada masingmasing tingkat kesiapan strategis organisasi dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan
organisasi
Depkeu
telah
memiliki
cukup
kesiapan
untuk
melaksanakan implementasi sistem pengukuran kinerja BSC, meskipun masih terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki yaitu: • Pada tingkat kesiapan budaya organisasi, Depkeu perlu melakukan upaya untuk mengubah dua dimensi budaya yang dimiliki oleh para pegawainya pada saat ini yang tidak selaras dengan strategi yang dipilih oleh Depkeu yakni parochial culture dan tight control culture. Selain itu Depkeu perlu memiliki sistem manajemen budaya yang baku dan terstruktur sehingga proses institusionalisasi visi, misi, dan strategi di Depkeu dapat berjalan dengan baik. • Pada tiga tingkat kesiapan yang lainnya yaitu leadership, alignment, dan teamwork and knowledge sharing, ternyata masih memiliki nilai rata-rata yang rendah. Oleh karena itu, Depkeu perlu menciptakan program kegiatan yang dapat mendorong peningkatan nilai rata-rata dari masing-masing tingkat kesiapan ini. Misalnya: untuk meningkatkan tingkat kesiapan leadership, Depkeu dapat mengadakan program pelatihan kepemimpinan transformatif yang wajib diikuti oleh seluruh pejabat eselon yang ada. Program kegiatan seperti ini juga perlu diciptakan untuk mendorong peningkatan nilai rata-rata dimensi budaya yang sudah selaras dengan strategi pada tingkat kesiapan budaya organisasi yakni result oriented culture, employee oriented culture,
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
196
open system culture, dan pragmatic culture karena masing-masing masih memiliki nilai rata-rata yang rendah.
4.4.7. Analisis Perbedaan Tingkat Kesiapan Strategis Organisasi 4.4.7.1. Perbedaan Tingkat Kesiapan Strategis Organisasi Berdasarkan Jenis Kelamin Untuk menganalisis perbedaan tingkat kesiapan strategis organisasi hipotesis yang akan diuji adalah: • H011 : tidak ada perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi antar jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) H111 : ada perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi antar jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) • H021 : tidak ada perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan antar jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) H121 : ada perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan antar jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) • H031 : tidak ada perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi antar jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) H131 : ada perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi antar jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) • H041 : tidak ada perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan antar jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) H141 : ada perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan antar jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) Uji hipotesis yang dilakukan menggunakan t test karena banyaknya faktor pada jenis kelamin hanya ada dua yaitu laki-laki dan perempuan, dengan hasil yang dapat dilihat pada tabel 4.24. Pada kolom Levene’s Test bisa dilihat hasil nilai signifikasinya. Jika nilai signifikansi pada kolom tersebut < 0.05 maka nilai signifikansi pada kolom t-test (lihat kolom sig. 2-tailed) diperoleh dari baris equal variances not assumed, sedangkan apabila nilai signifikansi > 0.05 maka nilai signifikansi pada kolom ttest (lihat kolom sig. 2-tailed) diperoleh dari baris equal variances assumed.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
197
Tabel 4.24. Independent Sample Test dari Jenis Kelamin
V1 Equal variances assumed Equal variances not assumed V2 Equal variances assumed Equal variances not assumed V3 Equal variances assumed Equal variances not assumed V4 Equal variances assumed Equal variances not assumed
Levene's Test for Equality of Variances F Sig 4.011 0.048 0.760
0.385
2.265
0.135
3.115
0.080
t-test for Equality of Means t -0.320 -0.405 -0.701 -0.784 -0.484 -0.552 -0.326 -0.379
df
Sig. (2-tailed) 110 0.749 60.630 0.687 110 0.485 46.726 0.437 110 0.630 48.583 0.583 110 0.745 50.408 0.706
Sumber: telah diolah kembali
Dari pengujian tersebut diperoleh hasil bahwa keempat variabel tersebut mempunyai nilai signifikansi > 0,05, artinya tidak ada perbedaan penilaian tingkat kesiapan strategis organisasi yang signifikan antar jenis kelamin. Dengan demikian penilaian tidak dipengaruhi oleh faktor laki-laki dan perempuan. Semua merasakan hal yang relatif sama mengenai keempat variabel tersebut di atas.
4.4.7.2. Perbedaan Tingkat Kesiapan Strategis Organisasi Berdasarkan Usia Untuk menganalisis perbedaan tingkat kesiapan strategis organisasi hipotesis yang akan diuji adalah: • H012 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi antar kelompok usia H112 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok usia yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi • H022 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan antar kelompok usia H122 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok usia yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan • H032 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi antar kelompok usia H132 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok usia yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
198
• H042 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan antar kelompok usia H142 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok usia yang mempunyai ada perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan Adapun lima faktor dalam kelompok usia yang ada adalah 18-25 tahun, 26-31 tahun, 32-39 tahun, 40-49 tahun, dan 50 tahun ke atas. Uji hipotesis yang dilakukan menggunakan uji ANOVA, dengan hasil sebagai berikut: Tabel 4.25. Test of Homogeneity of Variances Menurut Usia V1 V2 V3 V4
Levene Statistic 1.613 0.814 2.406 1.430
df1 4 4 4 4
df2 107 107 107 107
Sig. 0.176 0.519 0.054 0.229
Sumber: telah diolah kembali
Hasil pengujian memperlihatkan keempat hipotesis pada kolom Test of Homogeneity of Variances mempunyai: • Nilai signifikansi H112 sebesar 0.176>0.05; • Nilai signifikansi H122 sebesar 0.519>0.05; • Nilai signifikansi H132 sebesar 0.054>0.05; • Nilai signifikansi H142 sebesar 0.229>0.05. Hal ini berarti populasi tersebut mempunyai varian yang sama sehingga uji ANOVA dapat dilakukan karena memiliki nilai signifikansi > 0.05. Tabel 4.26. Uji ANOVA Menurut Usia
V1 V2 V3 V4
Sig. 0.407 0.126 0.073 0.030
Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
199
Selanjutnya dilaksanakan uji ANOVA yang memberikan hasil bahwa variabel V1, V2, dan V3 mempunyai nilai signifikansi > 0.05, artinya tidak ada perbedaan penilaian tingkat kesiapan budaya organisasi (V1), tingkat kesiapan kepemimpinan (V2), dan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi (V3) yang signifikan di antara faktor-faktor dalam kelompok usia. Dengan demikian penilaian tidak dipengaruhi oleh faktor usia 18-25 tahun, 26-31 tahun, 32-39 tahun, 40-49 tahun, dan 50 tahun ke atas. Semua merasakan hal yang relatif sama mengenai ketiga variabel tersebut di atas. Sementara itu, hasil uji ANOVA memperlihatkan bahwa variabel V4 memiliki nilai signifikansi < 0.05, artinya terdapat perbedaan signifikan penilaian tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan (V4) di antara faktor-faktor dalam kelompok usia. Penilaian dipengaruhi oleh paling sedikit satu faktor dalam kelompok usia yang diakibatkan adanya perbedaan kemampuan untuk menggunakan peralatan komputer yang disediakan di kantor, perbedaan kemauan untuk bekerjasama dan berbagi pengetahuan, perbedaan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki untuk dibagikan, perbedaan latar belakang pendidikan, dan sebagainya.
4.4.7.3. Perbedaan Tingkat Kesiapan Strategis Organisasi Berdasarkan Masa Kerja Untuk menganalisis perbedaan tingkat kesiapan strategis organisasi hipotesis yang akan diuji adalah: • H013 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi antar kelompok masa kerja H113 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok masa kerja yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi • H023 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan antar kelompok masa kerja H123 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok masa kerja yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan • H033 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi antar kelompok masa kerja
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
200
H133 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok masa kerja yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi • H043 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan antar kelompok masa kerja H143 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok masa kerja yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan Adapun tiga faktor dalam kelompok masa kerja yang ada adalah < 5 tahun, 5 s.d. 10 tahun, dan > 10 tahun. Uji hipotesis yang dilakukan menggunakan uji ANOVA, dengan hasil sebagai berikut: Tabel 4.27. Test of Homogeneity of Variances Menurut Masa Kerja
V1 V2 V3 V4
Levene Statistic 0.520 0.665 1.037 3.671
df1 2 2 2 2
df2 109 109 109 109
Sig. 0.596 0.516 0.358 0.029
Sumber: telah diolah kembali
Hasil pengujian memperlihatkan keempat hipotesis pada kolom Test of Homogeneity of Variances mempunyai: •
Nilai signifikansi H113 sebesar 0.596>0.05;
•
Nilai signifikansi H123 sebesar 0.516>0.05;
•
Nilai signifikansi H133 sebesar 0.358>0.05;
•
Nilai signifikansi H143 sebesar 0.029<0.05. Hal ini berarti populasi tersebut mempunyai varian yang sama untuk H113,
H123, dan H133 sehingga uji ANOVA dapat dilakukan karena memiliki nilai signifikansi > 0.05, sedangkan H143 yang memiliki nilai signifikansi < 0.05 berarti populasi tersebut mempunyai varian yang berbeda sehingga uji ANOVA tidak dapat dilakukan, kemudian diganti menggunakan uji Kruskal Wallis. Selanjutnya dilaksanakan uji ANOVA dan Kruskal Wallis dan diperoleh hasil:
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
201
Tabel 4.28. Uji ANOVA Menurut Masa Kerja
V1 V2 V3
Sig. 0.385 0.665 0.983
Sumber: telah diolah kembali
Tabel 4.29. Uji Kruskal Wallis Menurut Masa Kerja
Chi-Square Df Asymp. Sig.
V4 0.263 2 0.877
Sumber: telah diolah kembali
Selanjutnya dilaksanakan uji ANOVA dan Kruskal Wallis yang memberikan hasil bahwa keempat variabel tersebut mempunyai nilai signifikansi > 0,05, artinya tidak ada perbedaan penilaian tingkat kesiapan strategis organisasi yang signifikan antara faktor-faktor dalam kelompok masa kerja. Dengan demikian penilaian tidak dipengaruhi oleh faktor masa kerja < 5 tahun, 5 s.d. 10 tahun, dan > 10 tahun. Semua merasakan hal yang relatif sama mengenai keempat variabel tersebut di atas.
4.4.7.4. Perbedaan Tingkat Kesiapan Strategis Organisasi Berdasarkan Pendidikan Terakhir Untuk menganalisis perbedaan tingkat kesiapan strategis organisasi hipotesis yang akan diuji adalah: • H014 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi antar kelompok pendidikan terakhir H114 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok pendidikan terakhir yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi • H024 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan antar kelompok pendidikan terakhir H124 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok pendidikan terakhir yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
202
• H034 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi antar kelompok pendidikan terakhir H134 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok pendidikan terakhir yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi • H044 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan antar kelompok pendidikan terakhir H144 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok pendidikan terakhir yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan Adapun lima faktor dalam kelompok pendidikan terakhir yang ada adalah SMU atau sederajat, Diploma 3, S1, S2, dan S3. Uji hipotesis yang dilakukan menggunakan uji ANOVA, dengan hasil sebagai berikut: Tabel 4.30. Test of Homogeneity of Variances Menurut Pendidikan Terakhir
V1 V2 V3 V4
Levene Statistic 1.379 0.868 0.415 1.957
df1 3 3 3 3
df2 107 107 107 107
Sig. 0.253 0.460 0.743 0.125
Sumber: telah diolah kembali
Hasil pengujian memperlihatkan keempat hipotesis pada kolom Test of Homogeneity of Variances mempunyai: • Nilai signifikansi H114 sebesar 0.253>0.05; • Nilai signifikansi H124 sebesar 0.460>0.05; • Nilai signifikansi H134 sebesar 0.743>0.05; • Nilai signifikansi H144 sebesar 0.125>0.05. Hal ini berarti populasi tersebut mempunyai varian yang sama sehingga uji ANOVA dapat dilakukan karena memiliki nilai signifikansi > 0.05.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
203
Tabel 4.31. Uji ANOVA Menurut Usia
V1 V2 V3 V4
Sig. 0.282 0.699 0.224 0.065
Sumber: telah diolah kembali
Selanjutnya dilaksanakan uji ANOVA yang memberikan hasil bahwa keempat variabel tersebut mempunyai nilai signifikansi > 0,05, artinya tidak ada perbedaan penilaian tingkat kesiapan strategis organisasi yang signifikan antara faktor-faktor dalam kelompok pendidikan terakhir. Dengan demikian penilaian tidak dipengaruhi oleh faktor pendidikan terakhir SMU atau sederajat, Diploma 3, S1, S2, dan S3. Semua merasakan hal yang relatif sama mengenai keempat variabel tersebut di atas.
4.4.7.5. Perbedaan Tingkat Kesiapan Strategis Organisasi Berdasarkan Golongan/Pangkat Untuk menganalisis perbedaan tingkat kesiapan strategis organisasi hipotesis yang akan diuji adalah: • H015 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi antar kelompok golongan/pangkat H115 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok golongan/pangkat yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi • H025 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan antar kelompok golongan/pangkat H125 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok golongan/pangkat yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan • H035 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi antar kelompok golongan/pangkat H135 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok golongan/pangkat yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
204
• H045 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan antar kelompok golongan/pangkat • H145 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok golongan/pangkat yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan Adapun tiga faktor dalam kelompok golongan/pangkat yang ada adalah gol II, gol III, dan gol IV. Uji hipotesis yang dilakukan menggunakan uji ANOVA, dengan hasil sebagai berikut: Tabel 4.32. Test of Homogeneity of Variances Menurut Golongan / Pangkat
V1 V2 V3 V4
Levene Statistic 0.401 0.131 0.023 3.455
df1 2 2 2 2
df2 109 109 109 109
Sig. 0.671 0.878 0.977 0.035
Sumber: telah diolah kembali
Hasil pengujian memperlihatkan keempat hipotesis pada kolom Test of Homogeneity of Variances mempunyai: • Nilai signifikansi H115 sebesar 0.671>0.05; • Nilai signifikansi H125 sebesar 0.878>0.05; • Nilai signifikansi H135 sebesar 0.977>0.05; • Nilai signifikansi H145 sebesar 0.035<0.05. Hal ini berarti populasi tersebut mempunyai varian yang sama untuk H115, H125, dan H135 sehingga uji ANOVA dapat dilakukan karena memiliki nilai signifikansi > 0.05, sedangkan H145 memiliki nilai signifikansi < 0.05 berarti populasi tersebut mempunyai varian yang berbeda sehingga uji ANOVA tidak dapat dilakukan. Uji ANOVA kemudian diganti menggunakan uji Kruskal Wallis. Selanjutnya dilaksanakan uji ANOVA dan Kruskal Wallis dan diperoleh hasil:
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
205
Tabel 4.33. Uji ANOVA Menurut Golongan / Pangkat
V1 V2 V3
Sig. 0.065 0.185 0.021
Sumber: telah diolah kembali
Tabel 4.34. Uji Kruskal Wallis Menurut Golongan / Pangkat
Chi-Square Df Asymp. Sig.
V4 6.315 2 0.043
Sumber: telah diolah kembali
Selanjutnya dilaksanakan uji ANOVA dan Kruskal Wallis yang memberikan hasil variabel V1 dan V2 mempunyai nilai signifikansi > 0.05, artinya tidak ada perbedaan penilaian tingkat kesiapan budaya organisasi (V1) dan tingkat kesiapan kepemimpinan (V2) yang signifikan di antara faktor-faktor dalam kelompok golongan/pangkat. Dengan demikian penilaian tidak dipengaruhi oleh faktor golongan/pangkat gol II, gol III, dan gol IV. Semua merasakan hal yang relatif sama mengenai kedua variabel tersebut di atas. Sementara itu, hasil uji ANOVA memperlihatkan bahwa variabel V3 dan V4 memiliki nilai signifikansi < 0.05, artinya terdapat perbedaan signifikan penilaian tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi (V3) dan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan (V4) di antara faktor-faktor dalam kelompok golongan/pangkat. Pada tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi (V3), penilaian dipengaruhi oleh paling sedikit satu faktor dalam kelompok golongan/pangkat yang diakibatkan adanya perbedaan pendidikan terakhir menyebabkan perbedaan pemahaman, kepedulian kepada visi, misi, dan nilai-nilai inti organisasi belum merata, perbedaan frekuensi menerima sosialisasi visi, misi, dan nilai-nilai inti organisasi akibat adanya perbedaan jabatan yang dimiliki oleh pegawai, dan sebagainya.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
206
Pada tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan (V4), penilaian dipengaruhi oleh paling sedikit satu faktor dalam kelompok golongan/pangkat yang diakibatkan adanya perbedaan latar belakang pendidikan, perbedaan kemampuan untuk menggunakan komputer yang disediakan oleh kantor, masa kerja yang berbeda menyebabkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki tidak sama, dan sebagainya.
4.4.7.6. Perbedaan Tingkat Kesiapan Strategis Organisasi Berdasarkan Unit Kerja Untuk menganalisis perbedaan tingkat kesiapan strategis organisasi hipotesis yang akan diuji adalah: • H016 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi antar kelompok unit kerja H116 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok unit kerja yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi • H026 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan antar kelompok unit kerja H126 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok unit kerja yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan • H036 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi antar kelompok unit kerja H136 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok unit kerja yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi • H046 : tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan antar kelompok unit kerja H146 : paling sedikit terdapat satu faktor dalam kelompok unit kerja yang mempunyai perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan Adapun tiga faktor dalam kelompok unit kerja yang ada adalah kantor pelayanan, kantor wilayah, dan kantor pusat. Uji hipotesis yang dilakukan menggunakan uji ANOVA, dengan hasil sebagai berikut:
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
207
Tabel 4.35. Test of Homogeneity of Variances Menurut Unit Kerja
V1 V2 V3 V4
Levene Statistic 4.008 1.422 1.919 2.985
df1 2 2 2 2
df2 109 109 109 109
Sig. 0.021 0.246 0.152 0.055
Sumber: telah diolah kembali
Hasil pengujian memperlihatkan keempat hipotesis pada kolom Test of Homogeneity of Variances mempunyai: • Nilai signifikansi H116 sebesar 0.021<0.05; • Nilai signifikansi H126 sebesar 0.246>0.05; • Nilai signifikansi H136 sebesar 0.152>0.05; • Nilai signifikansi H146 sebesar 0.055>0.05. Hal ini berarti populasi tersebut mempunyai varian yang sama untuk H126, H136, dan H146 sehingga uji ANOVA dapat dilakukan karena memiliki nilai signifikansi > 0.05, sedangkan H116 memiliki nilai signifikansi < 0.05 berarti populasi tersebut mempunyai varian yang berbeda sehingga uji ANOVA tidak dapat dilakukan. Uji ANOVA kemudian diganti menggunakan uji Kruskal Wallis. Selanjutnya dilaksanakan uji ANOVA dan Kruskal Wallis dan diperoleh hasil: Tabel 4.36. Uji ANOVA Menurut Unit Kerja
V2 V3 V4
Sig. 0.603 0.449 0.899
Sumber: telah diolah kembali
Tabel 4.37. Uji Kruskal Wallis Menurut Unit Kerja
Chi-Square Df Asymp. Sig.
V4 0.853 2 0.653
Sumber: telah diolah kembali
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
208
Selanjutnya dilaksanakan uji ANOVA dan Kruskal Wallis yang memberikan hasil bahwa keempat variabel tersebut mempunyai nilai signifikansi > 0,05, artinya tidak ada perbedaan penilaian tingkat kesiapan strategis organisasi yang signifikan antara faktor-faktor dalam kelompok unit kerja. Dengan demikian penilaian tidak dipengaruhi oleh faktor unit kerja kantor pelayanan, kantor wilayah, dan kantor pusat. Semua merasakan hal yang relatif sama mengenai keempat variabel tersebut di atas.
4.4.7.7. Perbedaan Tingkat Kesiapan Strategis Organisasi Berdasarkan Unit Kerja Eselon 1 Untuk menganalisis perbedaan tingkat kesiapan strategis organisasi hipotesis yang akan diuji adalah: • H017 : tidak ada perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi antar unit kerja eselon 1 (DJP dan DJBC) H117 : ada perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi antar unit kerja eselon 1 (DJP dan DJBC) • H027 : tidak ada perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan antar unit kerja eselon 1 (DJP dan DJBC) H127 : ada perbedaan tingkat kesiapan kepemimpinan antar unit kerja eselon 1 (DJP dan DJBC) • H037 : tidak ada perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi antar unit kerja eselon 1 (DJP dan DJBC) H137 : ada perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi antar unit kerja eselon 1 (DJP dan DJBC) • H047 : tidak ada perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan antar unit kerja eselon 1 (DJP dan DJBC) H147 : ada perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan antar unit kerja eselon 1 (DJP dan DJBC) Uji hipotesis yang dilakukan menggunakan t test karena jumlah faktor pada unit kerja eselon 1 hanya ada dua yaitu DJP dan DJBC, dengan hasil sebagai berikut:
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
209
Tabel 4.38. Independent Sample Test dari Unit Kerja Eselon 1
V1 Equal variances assumed Equal variances not assumed V2 Equal variances assumed Equal variances not assumed V3 Equal variances assumed Equal variances not assumed V4 Equal variances assumed Equal variances not assumed
Levene's Test for Equality of Variances F Sig 5.408 0.022 5.492
0.021
1.753
0.188
11.745
0.001
t-test for Equality of Means t df Sig. (2-tailed) -2.155 110 0.033 -2.155 97.116 0.034 -1.733 110 0.086 -1.733 98.420 0.086 -1.985 110 0.050 -1.985 104.560 0.050 -0.161 110 0.872 -0.161 95.987 0.873
Sumber: telah diolah kembali
Pada kolom Levene’s Test bisa dilihat hasil nilai signifikasinya. Jika nilai signifikansi pada kolom tersebut < 0.05 maka nilai signifikansi pada kolom t-test (lihat kolom sig. 2-tailed) diperoleh dari baris equal variances not assumed, sedangkan apabila nilai signifikansi > 0.05 maka nilai signifikansi pada kolom ttest (lihat kolom sig. 2-tailed) diperoleh dari baris equal variances assumed. Dari pengujian tersebut diperoleh hasil bahwa variabel V1 mempunyai nilai signifikansi < 0.05, artinya terdapat perbedaan signifikan penilaian tingkat kesiapan budaya organisasi (V1) antar DJP dan DJBC (unit kerja eselon 1). Perbedaan penilaian tersebut diakibatkan suasana lingkungan kerja yang berbeda, jenis pekerjaan yang tidak sama, kepemimpinan yang dimiliki atasan berbeda, dan sebagainya. Sementara itu, hasil uji ANOVA memperlihatkan bahwa variabel V2, V3, dan V4 memiliki nilai signifikansi > 0.05, artinya tidak ada perbedaan penilaian tingkat kesiapan kepemimpinan (V2), tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi (V3), dan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan (V4) yang signifikan antar unit kerja eselon 1. Dengan demikian penilaian tidak dipengaruhi oleh faktor DJP dan DJBC. Semua merasakan hal yang relatif sama mengenai ketiga variabel tersebut di atas.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
210
Tabel 4.39. Rekapitulasi Hasil Analisis Perbedaan Tingkat Kesiapan Strategis Organisasi Berdasarkan Profil Responden
Tingkat Kesiapan No. Profil Responden 1 Jenis Kelamin 2 Usia 3 Masa Kerja 4 Pendidikan Terakhir 5 Golongan / Pangkat 6 Unit Kerja 7 Unit Kerja Eselon 1
Culture
Leadership
Alignment
Tidak ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda Ada beda
Tidak ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda
Tidak ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda Ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda
Teamwork and Knowledge Sharing Tidak ada beda Ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda Ada beda Tidak ada beda Tidak ada beda
Sumber: telah diolah kembali
Dengan menggunakan pengujian t-test, Kruskal Wallis, dan ANOVA, hasil analisis perbedaan tingkat kesiapan strategis organisasi berdasarkan kelompok jenis kelamin, usia, masa kerja, pendidikan terakhir, golongan/pangkat, unit kerja, dan unit kerja eselon 1 menunjukkan bahwa sebagian besar tidak ada perbedaan yang signifikan, hanya ada beberapa yang menunjukkan perbedaan yang dapat dilihat pada tabel 4.39. Dalam penelitian adanya perbedaan tersebut disebabkan beberapa hal sebagai berikut: • Adanya perbedaan tingkat kesiapan budaya organisasi antar DJP dan DJBC (unit kerja eselon 1) karena suasana lingkungan kerja yang berbeda, jenis pekerjaan yang tidak sama, kepemimpinan yang dimiliki atasan berbeda, dan sebagainya; • Adanya perbedaan tingkat kesiapan keselarasan dengan strategi pada kelompok golongan/pangkat karena adanya perbedaan pendidikan terakhir menyebabkan perbedaan pemahaman, kepedulian kepada visi, misi, dan nilai-nilai inti organisasi belum merata, perbedaan frekuensi menerima sosialisasi visi, misi, dan nilai-nilai inti organisasi akibat adanya perbedaan jabatan yang diemban oleh pegawai, dan sebagainya; • Adanya perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan pada kelompok usia karena adanya perbedaan kemampuan untuk menggunakan
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
211
peralatan komputer yang disediakan di kantor, perbedaan kemauan untuk bekerjasama
dan
berbagi
pengetahuan,
perbedaan
pengetahuan
dan
pengalaman yang dimiliki untuk dibagikan, perbedaan latar belakang pendidikan, dan sebagainya; • Adanya perbedaan tingkat kesiapan kerjasama dan berbagi pengetahuan pada kelompok golongan/pangkat karena adanya perbedaan latar belakang pendidikan, perbedaan kemampuan untuk menggunakan komputer yang disediakan oleh kantor, masa kerja yang berbeda menyebabkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki tidak sama, dan sebagainya. Dari hasil analisis perbedaan, Depkeu perlu melakukan identifikasi perbedaan yang dilanjutkan dengan menciptakan program kegiatan yang dapat meminimalkan perbedaan tersebut yang ditujukan kepada kelompok responden yang masih mempunyai nilai rata-rata rendah yang mengarah kepada peningkatan nilai rata-rata tingkat kesiapan strategis organisasi secara keseluruhan. Sebagai contoh: untuk meningkatkan nilai rata-rata tingkat kesiapan keselarasan strategis dapat dilaksanakan program internalisasi visi, misi, dan nilai-nilai Depkeu yang ditujukan kepada pegawai yang mempunyai golongan III karena memiliki nilai rata-rata yang paling rendah dibanding pegawai yang lain. Secara sederhana, analisis perbedaan dapat membantu mengidentifikasi kelompok responden yang memerlukan
perhatian
dan
perbaikan,
sehingga
Depkeu
dapat
lebih
memprioritaskan dan berfokus kepada kelompok responden tersebut. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa untuk menjadi organisasi yang berkinerja unggul sesuai dengan MBCPE, Depkeu telah merancang dan mengimplementasikan BSC sebagai sistem pengukuran kinerja dan sekaligus sistem manajemen strategis meskipun banyak hal yang masih perlu diselesaikan dan disempurnakan. Pengukuran tingkat kesiapan strategis organisasi yang dilaksanakan dimaksudkan untuk mengukur secara sistematis keselarasan dari organization capital yang dimiliki Depkeu dengan strategi yang dipilih yang telah dituangkan dalam desain BSC Depkeu. Berdasarkan hasil evaluasi dan analisis perbedaan tingkat kesiapan strategis organisasi yang meliputi tingkat kesiapan culture, leadership, alignment, dan
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
212
knowledge sharing tersebut, terungkap bahwa secara garis besar dapat dikatakan bahwa Depkeu mempunyai tingkat kesiapan yang cukup baik meskipun nilai ratarata dari hasil penelitian masih rendah dan perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkannya. Selain itu dari aspek culture ternyata juga belum mendukung dan masih ditemukan dimensi budaya yang tidak selaras dengan strategi Depkeu. Dengan demikian, jalan panjang masih harus dilalui Depkeu dalam memenuhi semua kriteria Malcolm Baldrige untuk menjadi organisasi yang berkinerja unggul karena Depkeu masih harus terlebih dahulu bekerja keras dalam upaya meningkatkan tingkat kesiapan organization capitalnya agar dapat mengimplementasikan BSC dengan baik sebagai prasyarat awal pemenuhan MBCPE.
4.4.8. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat beberapa kelemahan yang dapat teridentifikasi antara lain: 1. Pada penelitian tingkat kesiapan budaya organisasi, pernyataan yang digunakan untuk mengukur dimensi budaya professional vs parochial culture (P5 dan P6) merupakan pernyataan budaya organisasi yang tidak selaras dengan strategi Depkeu, sedangkan pernyataan-pernyataan yang digunakan untuk mengukur dimensi budaya yang lainnya merupakan pernyataan budaya organisasi yang selaras dengan strategi Depkeu. Hal ini berakibat secara keseluruhan nilai ratarata tingkat kesiapan budaya organisasi tidak dapat dihitung dan tidak dapat diperbandingkan dengan nilai rata-rata tingkat kesiapan yang lainnya. 2. Penelitian yang bertujuan mengetahui apakah terdapat perbedaan penilaian tingkat kesiapan strategis organisasi yang diakibatkan adanya perbedaan profil responden yakni jenis kelamin, usia, masa kerja, pendidikan terakhir, golongan/pangkat, unit kerja, dan unit kerja eselon 1 digunakan pengujian ANOVA. Hasil uji ANOVA hanya menunjukkan secara umum apakah semua faktor yang terdapat di dalam suatu kelompok profil responden mempunyai nilai rata-rata (mean) populasi yang sama atau berbeda. Jika terjadi perbedaan, untuk mengetahui lebih detail perbedaan antar faktor dalam suatu kelompok diperlukan penelitian lebih lanjut.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.
213
3. Penelitian ini dilakukan dengan responden yang berada di Jakarta saja, sehingga hasil penelitian belum dapat digeneralisasi pada keseluruhan karakteristik pegawai DJP dan DJBC, padahal pegawai kedua instansi pemerintah tersebut tersebar di seluruh Indonesia. Oleh karena itu untuk menguji validitas ekternal penelitian ini diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan responden yang berjunlah besar dan memiliki karakteristik yang benar-benar mewakili populasi DJP dan DJBC.
Universitas Indonesia Evaluasi rancangan..., Agung Kadarmanta, FE UI, 2009.