Kursus Online: Strategi dan Teknik Pendampingan Berbasis Sekolah
Bab 3 Teknologi: Katalisator untuk Perubahan? Dari Teknologi sebagai Katalisator untuk Komunitas sekolah: Melampaui kotak dan Bandwidth1
Retorika di sekitar kekuatan transformasional teknologi, khususnya di tahap-tahap awal diperkenalkannya ke sekolah-sekolah, melukiskan komputer sebagai hal yang memiliki kemampuan hakiki untuk meningkatkan pembelajaran siswa, menciptakan komunitas profesional yang kolaboratif, menanamkan kecakapan dengan urutan yang lebih tinggi dan memperbarui pelajaran. Pandangan tentang komputer sebagai suatu “pemberian perlakuan (treatment) yang kuat” yang justru mengganggu pembelajaran, kinerja guru, dan pencapaian siswa, sering menghasilkan melesetnya fokus pelatihan ketrampilan yang mengutamakan ketrampilan pengoperasian komputer, dimana terdapat pandangan bahwa apabila seorang guru dapat menguasai pengoperasian komputer, ia dapat menghasilkan transformasi proses belajar-mengajar. Sekalipun ada pelatihan kecakapan teknologi yang substansial, masih ada banyak guru yang mendekati teknologi dengan perasaan ragu-ragu bercampur takut. Pelatihan kecakapan sering tidak menghasilkan perubahan kebiasaan mengajar. Kesenjangan antara perolehan kecakapan dan penggunaannya di kelas terjadi sebab ada tiga kelemahan dalam pengejaran teknologi berbasis kecakapan. Pertama, sekalipun fokusnya pada penciptaan produk akademik tidak dapat dielakkan, (misalnya penggunaan PowerPoint untuk mempresentasikan pelajaran) dalam sesi-sesi pengembangan profesional yang khas, teknologi tetap merupakan fokus utama, dengan kurikulum sebagai fokus sekunder. Training seperti itu membuat teknologi dan kurikulum sebagai entitas terpisah dalam pikiran guru dan membuat manipulasi teknologi kelihatan lebih penting. Kedua, pelatihan kecakapan memiliki konsekuensi yang tidak diantisipasi dari guruguru yang yakin bahwa mereka harus menjadi pakar dalam pengoperasian teknologi, dalam memecahkan (troubleshooting) masalah-masalah teknis, dan implikasi-implikasi instruksional. Karena mereka tahu bahwa mereka tidak mempunyai cukup kepakaran dalam hal ini, para guru dapat saja mengelak penggunaan teknologi. Pada akhirnya, lamanya beberapa sesi pelatihan, yang kebanyakan berlangsung tiga sampai enam jam per aplikasi, telah membuat banyak guru percaya bahwa mereka harus mencurahkan porsi waktu kurikulum yang sama untuk melatih siswa dalam hal penggunaan teknologi, sekalipun blok waktu pengajaran seperti itu tidak tersedia. Untungnya, dengan memikirkan kembali caranya para guru belajar menggunakan teknologi, masalah dan kesalahan persepsi seperti itu dapat dielakkan. 1
Burns, M. & Dimock, K.V. (2007). Teknologi as a Catalyst for School Communities: Beyond Boxes and Bandwidth. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
DBE 2 USAID
1
Kursus Online: Strategi dan Teknik Pendampingan Berbasis Sekolah
Melebihi Pelatihan Kecakapan: Pendekatan 5J Apabila teknologi digunakan sebagai alat pengajaran, melekat dalamnya sebuah teknik pengajaran yang kuat, yang terikat pada tujuan-tujuan kurikuler, maka ia dapat mempromosikan pengajaran yang lebih baik dan kolaborasi siswa yang lebih baik yang meningkatkan pembelajaran siswa. Namun demikian—dan barangkali tidak diharapkan—pengembangan profesional harus memajukan baik integrasi teknologi maupun pembelajaran dengan meminimalisir pentingnya komputer dalam pengembangan profesional. Pendekatan “5J”, sesuai nama yang telah kita sepakati, memastikan agar semua pelajaran teknologi dalam setiap aktifitas pengembangan profesional merupakan: Job-related (Berkaitan dengan pekerjaan): Fokus pada kelas (yaitu kebutuhan pengajaran dan kurikulum) Just enough (Secukupnya): Menekankan kenyamanan, bukan profisiensi, dengan komputer Just in time (Tepat waktu): Memberikan kecakapan kepada para guru sesuai kebutuhan dan fokus hanya pada penggunaan alat yang ada pada mereka saat itu Just in case (Kalau-kalau): Mendorong para guru untuk membuat rencana secukupnya untuk mengantisipasi kalau-kalau komputer tidak berfungsi Just try it (Coba saja): Memberikan tekanan secukupnya dan memaksa guru menggunakan komputer dalam kelas mereka Alinea-alinea berikut melukiskan unsur-unsur pendekatan ini dengan lebih rinci. Berkaitan dengan Pekerjaan Aspek keterikatan dengan pekerjaan dari pendekatan 5J berarti bahwa, tidak seperti sesi-sesi pelatihan kecakapan yang biasa, yang memperlakukan penggunaan komputer sebagai suatu tujuan tersendiri, suatu pendekatan system pada komputer yang diterapkan pada pengembangan profesional. Dalam pendekatan seperti itu, kelas adalah “sistem” dan komputer hanyalah salah satu komponen dalam sistem itu—yaitu komponen yang mendukung pembelajaran dengan membuat pekerjaan dapat dicapai dengan lebih efisien, atau dengan membiarkan para siswa mengorganisir, menganalisa, atau mengkomunikasikan informasi, menciptakan produk atau bekerja sama dengan temannya. Dengan demikian komputer dilihat bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai cara untuk meningkatkan komponen-komponen dalam sistem kelas—yang terdiri dari guru, pengajaran, penilaian, kurikulum, dan pembelajaran siswa. Fokus kegiatan bukannya pada satu alat software, tetapi pada metode pengajaran, suatu pendekatan tertentu yang berdasarkan masalah atau proyek, atau suatu strategi manajemen kelas tertentu. DBE 2 USAID
2
Kursus Online: Strategi dan Teknik Pendampingan Berbasis Sekolah
Sebagai alat, komputer bersifat dinamis; fungsinya tidak statis tetapi terus menerus berubah sebagai respons pada kebutuhan pengajaran yang spesifik. Misalnya, para guru dapat memilih software yang paling dapat membantu mereka melakukan sebuah proyek dan menyelesaikan suatu produk akhir. Para guru tentu saja mendapatkan pengetahuan mekanik dan prosedural tentang komputer, tetapi fokus sesungguhnya ialah pada kekuatan-kekuatan generatif komputer—bagaimana komputer, kalau digunakan dengan baik, dapat menghasilkan pengetahuan dan ide-ide baru, memberi peluang untuk ungkapan inovatif dari ide-ide itu, dan memajukan kerjasama. Tidak ada kegiatan yang dilakukan demi pembelajaran para guru semata misalnya, software spreadsheet atau presentasi. Sebaliknya, tujuannya ialah untuk memahami bagaimana komputer dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai alat untuk menghasilkan pengetahuan, komunikasi, analisa, dan ekspresi diri. Dalam pendekatan ini, kegiatan-kegiatan pengembangan profesional bahkan tidak menggunakan komputer, atau digunakan bersama alat pembelajaran lainnya, misalnya buku, peta, pasokan seni, kalkulator, spidol dan kertas chart. Dengan kata lain, komputer adalah salah satu alat di antara banyak alat yang dapat digunakan untuk memajukan pembelajaran. Secukupnya (Just Enough) Fokus dari model pengembangan profesional ini bukanlah profisiensi dengan teknologi, tetapi pada kenyamanan dalam melekatkan teknologi pada kegiatan kurikulum sambil menekankan ditanamnya jumlah minimum kecakapan — “secukupnya” untuk menciptakan suatu produk atau memecahkan masalah. Suatu kegiatan khas yang melibatkan diberinya tidak lebih dari lima perintah kepada seorang guru dalam setiap kelompok kolaboratif untuk menggunakan suatu software dan setelah itu mengirim kembali orang yang sama untuk mengajarkannya kepada orang-orang lain di dalam kelompoknya. Ketika guru menemui tantangan/kesulitan dalam menggunakan software, fasilitator mendorong dilakukannya pemecahan masalah intragroup atau intergroup, referensi ke “lembar tips”, atau menggunakan menu bantuan software. Hanya ketika semua pilihan kolaboratif telah digunakan, para fasilitator turun tangan; sekalipun demikian, hanya dari ‘jarak jauh’, yaitu dengan memberikan bimbingan lisan dan tidak pernah mengambil mouse atau keyboard dari tangan guru. Tidak heran kalau di awalnya strategi ini tidak populer, dengan sungutsungut kebanyakan pengguna baru yang begitu bersemangat yang terbiasa “diberi ikan” dari pada harus memikirkan apa yang dapat dibuat dengan alat pancing. Untuk fasilitator, kadang-kadang sulit untuk tidak campur tangan ketika para guru kelihatannya bergumul dan mendesak fasilitator untuk menyelamatkan mereka dari frustrasinya berkaitan dengan teknologi.
DBE 2 USAID
3
Kursus Online: Strategi dan Teknik Pendampingan Berbasis Sekolah
Prinsip “secukupnya” melampaui pelajaran berkaitan dengan software dan mencakup juga akses pada hardware. Para guru sering percaya bahwa lebih banyak berarti lebih baik — yang dimaksud ialah lebih banyak teknologi dalam kelas akan menghasilkan lebih banyak lingkungan yang berpusat pada pelajar dan bahwa keterbatasan hardware akan menghalangi terciptanya lingkungan seperti itu. Hardware terbatas dikutip para guru sebagai alasan mereka tidak lagi mengusahakan pendekatan kolaboratif. Keluhan seperti “Saya hanya punya satu komputer tetapi ada dua puluh lima siswa ”; “Saya punya tiga puluh siswa tetapi hanya ada empat komputer”; atau “Kalau saja saya punya lebih banyak komputer” adalah hal yang sering terdengar. Untuk mengatasi keterbatasan hardware seperti itu, sesi-sesi pengembangan profesional harus memakai ratio siswa-komputer yang sama (1:25 atau 1:4) yang dihadapi para guru di kelas mereka sendiri, dengan fokus pada kegiatan yang menekankan kolaborasi, negosiasi, dan berbagi satu sumber daya (komputer). Strategi pengelompokan seperti itu menunjukkan kepada para guru bahwa kekurangan sumber daya justeru dapat memperbesar dan bukan menghalangi kolaborasi dan bahwa inovasi tidak selalu tergantung pada sumber daya. Tepat Waktu Seperti ide tentang “secukupnya/just enough,” pengembangan profesional harus mendukung pembelajaran para guru “tepat waktu”—yaitu ketika mereka siap untuk belajar. Para fasilitator harus terus menerus meminta kepada guru untuk mengidentifikasi tujuan dan kebutuhan pembelajaran yang harus ditangani selama sesi-sesi pengembangan profesional. Segera setelah topik-topik diidentifikasi, sesi-sesi dapat dikembangkan untuk membantu para guru mempelajari kecakapan-kecakapan dan praktek-praktek itu ketika dibutuhkan. Selain itu, penting sekali untuk menggunakan teknologi yang tersedia di sekolah-sekolah para guru. Kalau tidak, pelajaran teknologi tidak dapat diterapkan tepat waktu. Apakah para guru mempunyai akses pada produk-produk berbasis Microsoft-, Linux-, atau Apple, pengembangan profesional harus dirancang sedemikian rupa sehingga alat-alat software ini digunakan selama sesi-sesi berlangsung. Dengan demikian, para guru dapat mengambil apa yang dipelajari dalam sesi dan langsung diterapkan dalam kelas. Para guru jangan diberi instruksi mengenai platform yang tidak mereka gunakan, juga instruksi tidak boleh menggunakan software yang tidak dimiliki, kecuali kalau sekolah dapat menyediakan dengan langsung membeli. Satu unsur penting lagi yang harus disediakan tepat waktu ialah dukungan follow up. Sebagai fasilitator atau koordinator lapangan, seringlah mengecek dengan para guru untuk memastikan bantuan apa yang dibutuhkan berkaitan dengan penggunaan teknologi dan praktek-praktek yang berpusat pada siswa dalam kelas. Bantuan tambahan berkaitan dengan perencanaan pelajaran (lesson planning) atau software harus tersedia pada waktu yang diperlukan di mana para guru siap untuk DBE 2 USAID
4
Kursus Online: Strategi dan Teknik Pendampingan Berbasis Sekolah
mendekati topik-topik itu. Sesi-sesi follow-up bulanan yang waktunya bersamaan dengan satu proyek tertentu yang mungkin telah dijadwalkan kepada para guru harus diberi bantuan tepat waktu. Kalau-kalau Sebelum kegiatan pengembangan profesional, para guru harus diminta untuk menggambarkan ketakutan mereka mengenai teknologi. Seperti yang disebut di atas, para guru biasanya menyuarakan keprihatinan mereka tentang manajemen kelas yang memiliki sumber daya hardware yang terbatas. Bagaimana mereka dapat menggunakan teknologi kalau yang ada cuma satu, dua atau empat komputer sedangkan siswanya berjumlah dua puluh lima sampai tiga puluh lima? Mereka juga khawatir tentang apa yang akan dibuat kalau komputer rusak. Dan bagaimana kalau siswa tidak dapat menggunakan atau tidak dapat memelajari softwarenya dengan mudah, terutama apabila guru juga tidak merasa nyaman dengan software itu? Kekhawatiran tersebut merefleksikan ketakutan yang lebih besar berkaitan dengan kontrol. Teknologi mengancam untuk mengganggu keseimbangan kelas yang didasarkan pada kontrol dan keahlian guru dalam segala hal. Keterbatasan hardware mengharuskan adanya pengelompokan, yang membuat para guru lebih sulit mengontrol kelas pada umumnya dan khususnya siswa yang susah dikendalikan. Ketidak-mampuan membantu siswa dalam hal software atau untuk menyelesaikan masalah komputer dapat membuat para guru tidak kelihatan sebagai orang yang tahu segala-galanya. Para guru takut kalau-kalau terjadi kekacau-balauan Pengembangan profesional dapat membantu guru menangani masalah kontrol seperti dia atas dengan mengadopsi sikap “kalau-kalau” terhadap komputer yang menekankan perencanaan kegiatan kelas yang seksama. Dengan melihat komputer sebagai salah satu alat dalam tas yang berisi alat-alat pembelajaran, para guru mengurangi kemungkinan tertangkap sebagai orang yang tidak sadar ketika komputer tidak berfungsi atau apabila satu kegiatan dengan komputer gagal sama sekali. Melalui pengelompokan siswa yang disengaja yang memiliki keahlian teknis yang berbeda, guru dapat mendelegasikan pelatihan komputer kepada siswa, dengan demikian mereka bebas dari beban tersebut dan mengalihkan beberapa kendali kepada siswa. Dan dengan memakai beberapa alat, baik “high-tech” maupun “low-tech,” para guru dapat mengukur apakah dan bagaimana komputer dapat menghasilkan sesuatu yang berbeda dalam hal pembelajaran siswa. Berdasarkan pengetahuan itu, mereka dapat mengambil keputusan yang lebih baik tentang kapan teknologi dapat membantu mereka untuk melakukan sesuatu dengan lebih efektif atau membantu siswa belajar. Pendekatan ‘kalau-kalau’ ini memaksa para guru membuat rencana dan mengorganisir pelajaran dalam cara yang lebih detil dan komprehensif dari pada yang diminta apabila komputer bukan bagian dari kegiatan. Dengan cara memikirkan dengan saksama dan
DBE 2 USAID
5
Kursus Online: Strategi dan Teknik Pendampingan Berbasis Sekolah
membuat rencana untuk mengantisipasi semua kemungkinan, para guru dapat menyiapkan diri dan mengorganisir pelajaran dengan lebih baik. Coba saja Yang menjadi hal yang inti bagi perubahan dan terbentuknya komunitas praktek manapun juga adalah konsep tindakan dan praktek perubahan (changing practice). Harapan harus jelas, bahwa setelah setiap satu sesi pengembangan profesional, para guru akan kembali ke kelas, menggunakan satu pendekatan mengajar dan teknologi yang baru di sana, dan melaporkan hasilnya kepada kolega serta fasilitator. Dalam model ini, para guru tidak diharapkan untuk memproduksi hasil-hasil khusus dengan menggunakan teknologi; namun demikian, mereka diharapkan untuk mengimplementasikan apa yang telah mereka pelajari. Dengan demikian, ketika setiap orang “mencoba saja ” teknologi, implementasinya menjadi suatu pekerjaan yang sedang berlangsung (a work in progress) yang pada dirinya menuntut kolaborasi di antara para guru. Tiga strategi membantu memastikan agar para guru “mencoba saja” teknologi. Salah satunya ialah tidak terlalu menekankan (deemphasize) pentingnya para guru memakai software dan hardware. Sebaliknya, para guru didorong untuk melihat diri mereka sebagai project managers yang menyiapkan kegiatan, dengan siswa sebagai anggota tim yang melaksanakan bagian teknisnya. Strategi kedua ialah memberikan kepada para guru dukungan follow-up dan mendorong adanya dukungan teman. Strategi terakhir ialah mengumpulkan input dari dua kelompok yang biasanya tidak dilihat/dilibatkan dalam pengembangan profesional dan tidak dianggap sebagai agen perubahan - para guru baru dan mereka yang biasa menghambat (resistors). Dalam kelompok-kelompok diskusi yang besar, input dari yang dianggap ahli atau pemimpin harus dianggap penting, tetapi pendapat dan keberatan orang-orang baru dan yang juga disebut sebagai guru-guru penghambat harus dihargai. Kedua kelompok itu harus didorong untuk berbagi ketakutan, frustrasi, dan keberatan tanpa dikecam atau dicela. Para guru baru membantu mengingatkan mereka yang jauh lebih berpengalaman bahwa manajemen kelas, pengorganisasian dan perencanaan yang baik serta kecakapan komunikasi merupakan hal yang penting sekali dalam hal keberhasilan implementasi pendekatan yang berpusat pada siswa dan pendekatan teknologi yang terintegrasi. Mereka yang menolak dapat mengartikulasikan keyakinan guru yang fundamental, yang sekalipun tersembunyi atau tertanam (embedded), dan pernyataan mereka dapat mengungkapkan adanya dikotomi dan inkonsistensi berbasis sekolah yang dapat merongrong penggunaan komputer yang optimal atau bahkan mengikis habis tipe-tipe lingkungan pelajaran yang secara jelas diperjuangkan sekolah. Fasilitator dapat menunjukkan empati dalam meresponsi ketakutan dan kekhawatiran guru seperti itu, sambil menekankan pendekatan ‘coba saja’ yang memotivasi kolega mereka untuk mendesak dan mengundang guru-guru yang ketakutan dan yang resistan itu untuk bekerjasama dalam satu kegiatan integrasi teknologi kecil, atau DBE 2 USAID
6
Kursus Online: Strategi dan Teknik Pendampingan Berbasis Sekolah
bahkan lebih mudah lagi, memberi kesempatan kepada siswa untuk menggunakan satu hardware atau software untuk kegiatan tertentu.
Mentransformasikan Belajar dan Mengajar Secara kumulatif, pendekatan 5J ini dapat menghasilkan transformasi bukan saja berkaitan dengan pengajaran dalam kelas, tetapi juga dalam interaksi antar siswa, hubungan guru-siswa, dan kolaborasi guru. Dengan metode 5J ini, penggunaan teknologi di kelas dapat sangat diperluas sekalipun usaha-usaha sebelumnya tidak mencukupi. Peran siswa dan guru dapat berubah sedemikian rupa sehingga dapat memberdayakan siswa, termasuk siswa yang darinya para guru tidak banyak berharap. Pemakaian Meningkat Kami menemukan bahwa penggunaan reguler menyeluruh teknologi instruksional oleh para guru meningkat dari 17 persen sebelum pengembangan profesional berbasis 5J (dan setelah berjam-jam pelatihan kecakapan) sampai 80 persen setelah dua tahun. Juga, penggunaan teknologi instruksional dalam kelas reguler dengan aplikasi meningkat dramatis—dalam beberapa kasus tiga kali lipat (seperti halnya spreadsheets) atau meningkat dua puluh lima kali lipat (dalam kasus software presentasi elektronik). Dua karakteristik penting dari pendekatan 5J yang mendukung adopsi teknologi yang berkembang pesat ini. Pertama, pendekatan 5 J membawa para guru dengan cepat memasuki proses perolehan pengetahuan dari tahap cognitive pembelajaran komputer—yang fokus pada perolehan kecakapan, suatu tanda penting tentang pelatihan teknologi—ke tahap associative, yang dengannya mereka dapat langsung menerapkan suatu kecakapan tanpa harus memikirkan dulu bagaimana melakukannya, kemudian tahap autonomous pelajaran komputer, ketika kecakapan menjadi begitu otomatis sehingga kecakapan hanya membutuhkan keterlibatan kognitif yang minimal (Anderson, 1995). Kedua, pendekatan 5J lebih mudah dan lebih cepat mengintegrasikan komputer ke dalam lingkungan kelas yang ada. Rogers (1995) mengidentifikasi lima kriteria yang mempengaruhi tingkat adopsi suatu inovasi tertentu. Kelima kriteria itu merupakan keuntungan relatif (relative advantage), yaitu membantu pengadopsian (membantu pengadopsi melakukan sesuatu secara lebih baik); kompatibilitas (sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman adopter); kurangnya kerumitan/kompleksitas; kemungkinan pengujicobaan (tingkat di mana ada kesempatan untuk melakukan eksperimen dan praktek dengan peralatan); dan observabilitas (dimana guru dapat mengobservasi penggunaan inovasi). Pendekatan 5 J cocok sekali dengan kerangka seperti itu. Ia memusatkan perhatian dan memberi contoh kompatibilitas teknologi baik pada kurikulum maupun pengajaran dan menunjukkan bagaimana dan apabila digunakan dengan benar, teknologi dapat meningkatkan pengajaran.
DBE 2 USAID
7
Kursus Online: Strategi dan Teknik Pendampingan Berbasis Sekolah
Sesi pengembangan profesional menekankan kesederhanaan dalam pemakaian komputer dan memberi peluang kepada para guru untuk melakukan eksperimen dengan komputer. Karena dalam pendekatan ini, keterpaparan pada teknologi ditanam dalam kegiatan kolaboratif yang didasarkan pada penyelidikan (inquiry-based), yang mempromosikan kecakapan tingkat tinggi dan memberi contoh pada guru (fasilitator sesi) sebagai pemandu dan siswa (dalam hal ini para guru) sebagai pelajar aktif, para guru dapat mengimport isi sesi (session content) secara borongan dan menyesuaikannya dengan daerah isi (content) tertentu. Dalam banyak hal, guru merupakan pengguna teknologi yang patut dicontoh—lebih bersifat reflektif dan kurang refleksif mengenai kapan, bagaimana dan mengapa harus memakai komputer dalam kelas. Mereka belajar menggunakan teknologi bukan demi teknologi, tetapi karena teknologi dapat membantu siswa melakukan sesuatu dengan lebih baik atau memberi siswa kesempatan untuk melakukan sesuatu yang mustahil dilakukan tanpa teknologi. Dalam pengalaman kita, para guru mengintegrasikan penggunaan komputer dalam kegiatan berbasis proyek, yang kolaboratif, proyek-proyek yang diciptakan dari komputer yang memiliki kognitif yang kompleksitasnya makin besar, dan memberikan siswa otonomi yang lebih besar untuk merancang produk-produk kelas berbasis teknologi. Penggunaan teknologi instruksional yang meningkat, yang disatukan dengan penekanan model “secukupnya” yang terus menerus ”—yaitu kultivasi kecakapan minimum—membantu beralihnya guru ke arah pendekatan integrasi teknologi yang berpusat pada siswa. Kenyamanan dengan teknologi harus lebih diutamakan dari pada kepakaran, dengan hasil bahwa para guru mengijinkan siswa menggunakan satu aplikasi teknologi sekalipun guru sendiri belum menguasainya. Kenyamanan teknologi membuat kepercayaan lama bahwa guru tidak dapat menggunakan komputer kecuali ia ahli menggunakannya tidak berlaku lagi. Para guru juga mengakui bahwa input dalam jumlah kecil (pengetahuan teknisnya) dapat menghasilkan output yang besar (karya siswa yang meningkat karena penggunaan alat-alat teknologi). Akibatnya, para guru merasa lebih nyaman membiarkan para siswa saling mengajar dan pada saatnya para guru sendiri belajar bagaimana menggunakan software. Tentu, para guru dapat menyerahkan beberapa kontrol kepada siswa; pertama dalam bidang teknologi dan mulai melihat siswa sebagai kolega yang sederajat (coequal) atau bahkan lebih superior dalam pengetahuan teknologi, bahkan guru sering menyuarakan keheranan mereka atas kecakapan siswa. Lambat laun mereka mulai memberikan siswa lebih banyak kontrol dan kebebasan untuk riset dan berekspresi dari pada kalau teknologi tidak tersedia. Perubahan Peran Desentralisasi kewenangan yang terjadi bertahap di mana teknologi dipakai dapat juga berkembang ke bidang-bidang lain. Ketika siswa sudah membuktikan diri lancar menggunakan komputer, dan pada saat tingkat keterlibatan dan kualitas pekerjaan DBE 2 USAID
8
Kursus Online: Strategi dan Teknik Pendampingan Berbasis Sekolah
mereka mulai meningkat akibat pemakaian komputer di kelas, para guru mulai mendesentralisasikan kontrol dalam daerah kekuasaan/domain lain juga, misalnya dengan memberi kepada siswa pilihan akan produk akhir, yang memberi mereka kebebasan melakukan suatu pekerjaan dengan kecepatannya sendiri dan membiarkan mereka melakukan hal untung-untungan (venture) melampaui ruang kelas untuk melakukan riset dan komunikasi. Satu lagi aspek perubahan peran dari teknologi yang terletak pada apa yang secara khas dilihat sebagai masalah: keterbatasan hardware dalam hal memajukan kolaborasi siswa, yang justru terbukti lebih. Karena tidak ada kelas, kecuali laboratorium, yang benar-benar mempunyai ratio siswa–komputer yang sempurna, para guru harus mengelompokkan siswa untuk memanfaatkan teknologi. Untuk membantu pengelompokan itu, bentangan (landscape) kelas yang fisik maupun organisasional menjadi kurang terdesentralisasi. Siswa bekerja sama dan saling membantu—dan tidak selalu bergantung pada guru—untuk mendapatkan bimbingan dan input yang kreatif. Dalam dinamika seperti ini, guru lebih berperan sebagai fasilitator. Seperti halnya perubahan akan terjadi ketika para guru menyerahkan beberapa kendali (kontrol) kepada siswa sebagai respons pada implementasi teknologi, perubahan, yang merupakan hasil/akibat dari pekerjaan yang dicapai lewat kerja kelompok dapat membuat banyak guru mengatur kembali (restructure) kurikulumnya dengan tujuan memberi lebih banyak kesempatan kepada penggunaan teknologi dan kegiatan siswa. Perubahan Harapan Di sekolah-sekolah di mana murid berasal dari keluarga dengan penghasilan rendah, dan/atau dari etnis yang berbeda, banyak guru tidak banyak berharap adanya keunggulan akademik. Akan tetapi, kalau dengan penggunaan teknologi, mereka menunjukkan kemampuan yang baik, para guru tidak ragu memberikan mereka kebebasan yang lebih besar, yang pada gilirannya menghasilkan perbaikan kinerja siswa. “Saya terkejut karena dia tahu begitu banyak tentang sejarah - dan komputer,” komentar salah seorang guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada saat mengobservasi seorang siswa tertentu dengan kemampuan terbatas yang menggunakan teknologi untuk menciptakan peta konsep Perang Revolusioner. Kelas (laboratorium) dengan ratio siswa-komputer 1:1 sering menunjukkan tingkat pendekatan berpusat siswa yang rendah. Dalam kelas-kelas seperti ini, para siswa tidak saling berintegrasi melainkan dengan teknologi, bahkan pada saat para siswa seharusnya bekerja sama untuk suatu kegiatan tertentu. Ada kecenderungan yang lebih besar bahwa kesatuan (kohesi) kelompoknya rendah, di mana masing-masing siswa berhubungan dengan komputernya dan bekerja secara independen. Pada intinya, sekalipun kegiatan dalam kelas seperti ini bersifat kooperatif, di mana setiap siswa lebih banyak bekerja sendiri, hanya ada sedikit konsultasi dengan teman, mereka tidak kolaboratif. Yang dimaksud ialah bahwa para siswa tidak bekerja bersama melakukan tugas yang sama juga. Dalam ruang-ruang kelas ini, kami temukan bahwa teknologi DBE 2 USAID
9
Kursus Online: Strategi dan Teknik Pendampingan Berbasis Sekolah
berfungsi sebagai alat untuk pembelajaran individual, dan bukan untuk pembelajaran bersama (shared learning). Laboratorium komputer berlawanan dengan efek pengembangan komunitas dari teknologi yang diperkenalkan sebagai sebuah alat baru dalam pengaturan kelas biasa.
DBE 2 USAID
10